T1 852011025 BAB III

(1)

BAB III

ANALISIS KOMPOSISI A. Konsep Penyusunan Komposisi “Baru Klinthing”

Komposisi musik program “Baru Klinthing” merupakan representasi cerita rakyat “Baru Klinthing”. Pergerakan alur komposisi disesuaikan dengan tiap bagian cerita rakyat tersebut. Komposisi ini dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan urutan peristiwa yang menjadi tema utama pada bagian-bagian cerita.

Bagian pertama yakni “Kelahiran Baru Klinthing” cerita ini berawal dari sebuah desa bernama Ngasem, hiduplah sepasang suami istri yang sudah lama menikah namun belum dikaruniai seorang anak, sang suami akhirnya memutuskan untuk pergi bertapa agar segera dikarunia seorang anak, cerita berlanjut dengan kelahiran bayi yang diberi nama Baru Klinthing, namun bayi ini berwujud ular, ajaibnya meski berwujud ular, Baru Klinthing dapat berbicara layaknya manusia. Seiring berjalanya waktu Baru Klinthing mulai mencari siapa ayahnya selama ini, ditemuilah ayahnya yang masih bertapa di lereng gunung Telomoyo, namun ayahnya tidak pecaya bahwa Baru Klinthing adalah anak yang dilahirkan oleh istrinya. Untuk meyakinkan ayahnya, Baru Klinthing melingkari gunung Telomoyo dengan tubuhnya atas perintah sang ayah dan akhir dari bagian pertama ini ditutup dengan pertapaan Baru Klinthing untuk menjadi manusia seutuhnya di Bukit Tugur.

Bagian kedua yakni Pertempuran di Bukit Tugur, secara garis besar bagian kedua ini menceritakan tentang peperangan Baru Klinthing dengan penduduk desa Pathok yang menjadikan Baru Klinthing akhirnya mati dan menjelma menjadi anak laki-laki yang tubuhnya kotor dan penuh luka.

Bagian ketiga yakni Tenggelamnya Desa Pathok, ini menceritakan tentang ketidakterimaan Baru Klinthing atas perlakuan penduduk desa Pathok terhadapnya, ia melakukan sayembara penancapan lidi di tengah-tengah penduduk yang menghidangkan dagingnya untuk santapan pesta, barang siapa yang bisa mencabut lidi tersebut, bisa sekehendak hati melakukan apapun


(2)

kepadanya. Namun tidak ada satupun yang berhasil mencabut kecuali dirinya sendiri, begitu lidi itu tercabut air menyembur begitu kuat dari bekas tancapan lidi tersebut, seluruh warga berusaha menyelamatkan diri namun gagal, karena banjir telah menenggelamkan seluruh isi desa. Seketika desa tersebut berubah menjadi rawa, yang kini dikenal dengan Rawa Pening. Setelah peristiwa itu Baru Klinthing kembali menjadi ular untuk menjaga Rawa Pening.

Komposisi ini menggunakan kombinasi leitmotif dan tone painting yang berfungsi menggambarkan simbol dan tokoh-tokoh dalam cerita, berikut ini adalah leitmotif yang digunakan dalam “Baru Klinthing” Komposisi Musik Progam Untuk Kuartet Gesek, guna menggambarkan para tokoh:

1.Tokoh Nyi Skarlanta

Gambar 3.1. 2.Tokoh Ki Hajar

Gambar 3.2.

3.Tokoh Baru Klinthing

Gambar 3.3.

Komposisi ini menggunakan format kuartet gesek yang terdiri dari biola satu, biola dua, biola alto, dan cello. Leitmotif Nyi Sekarlanta dimainkan oleh biola dua, leitmotif tokoh Ki Hajar dengan karakter seorang kepala keluarga di mainkan oleh instrument cello yang memiliki register suara rendah,besar dan menjadi root yang menandakan sebagai pemimpin. Instrumen biola satu dengan karakter suaranya yang nyaring, dan memiliki register suara yang


(3)

paling tinggi diantara instrument gesek lainya mewakili leitmotif Baru Klinthing, ketiga leitmotif tersebut muncul bergantian sesuai dengan alur munculnya tokoh yang diwakili oleh tiga instrument tersebut.

Bentuk program yang digunakan dalam komposisi ini adalah narative, yakni musik yang disusun sesuai bagian-bagian alur cerita.

B. Analisis Bentuk dan Struktur Komposisi “Baru Klinthing”

1. Bagian I “Kelahiran Baru Klinthing”

Dalam bagian pertama terdapat pengenalan tokoh, Nyi Skarlanta yang merupakan ibu Baru Klinthing, Ki hajar adalah ayah Baru Klinthing dan tokoh utama yakni Baru Klinthing, dalam bagian ini berawal dari kebahagiaan sepasang suami istri yang hidup dalam sebuah desa bernama Ngasem.

Gambar 3.4. Birama 1-8 Suasana pagi

Cerita ini dimulai dengan tonalitas G mayor untuk mendeskripsikan suasana pedesaan yang indah tenang dan damai.1 menggunakan sukat 4/4

1 Rita S teb lin “Affective Key Characterictics of G Major” A History of Key Characterictics in the 18th and Early 19th Centuries UMI Research Press (1983)


(4)

dengan tempo sedang, pada birama tiga ketukan kedua biola alto memainkan melodi untuk menggambarkan suasana angin di pagi hari, pengolahan dinamika cresscendo dan decresscendo digunakan untuk menguatkan suasana.

Gambar 3.5. Birama 9-17 Pengenalan tokoh Nyi Skarlanta dan Ki Hajar

Birama 9-12 pengenalan leitmotif tokoh Nyi Skarlanta, masih dalam tonalitas G mayor yang dimainkan oleh instrument biola dua dan diteruskan dengan leitmotif Ki Hajar dibirama 13-17 pada instrument cello yang diakhiri dengan kadens otentik yakni dari akor V-I.


(5)

Gambar 3.6. Suasana Kesedihan

Birama 18-31 mendeskripsikan suasana sedih belum dikaruniainya seorang anak dengan mengunakan tonalitas Am harmonis2 pada birama 24 terdapat kandens setengah yakni pergerakan dari akor iV ke akor V yang menandakan kesedihan belum berahir, berlanjut Pada birama 31 penggunakan akor VI yakni nada E mayor dimaksudkan untuk menggambarkan kesedihan yang akan berujung pada suka cita, dengan mengiring kepergian Ki Hajar untuk bertapa agar segera dikaruniai seorang anak.

Gambar 3.7. Suasana Pertapaan

2


(6)

Birama 32-40 mendeskripsikan suasana ketenangan dalam pertapaan, yang mana pada instrument cello hanya menahan satu nada menggunakan tehnik legato dengan menggunakan tonalitas Em harmonis.3 Penggunaan akor ini mengarah pada suasana ratapan penuh harap, yang berahir pada akor I, penggunaan tanda staccato pada birama 40 mengartikan berahirnya pertapaan.

Gambar 3.8. Birama 41-53 Kelahiran Baru Klinthing

Birama 41-53 terdapat perubahan tanda sukat dari 4/4 menuju sukat 3/4 dan perubahan tempo dari lento menuju pada tempo 100, terdapat pula tehnik glissando4 pada birama 41 yang diartikan sebagai kelahiran tokoh utama yakni Baru Klinthing, serta penggunaan teknik staccato untuk menggambarkan suasana ketegangan saat kelahiran berlangsung, pada birama 47-49 muncul leitmotif Baru Klinthing yang dimainkan oleh instrument biola satu yang dimodulasi pada tonalitas A mayor.

3

Em harmonis adalah tangga nada yang terdiri dari E,F#,G,A,B,C,D#.E. 4

Glissando : tehnik meluncurkan bunyi dari sebuah nada menuju nada lainyayang umunya cukup jauh menyentuh sebanyak mungkin nada-nada yang dilaluinya.


(7)

Gambar 3.9.. Birama 54-57 Pertumbuhan Baru Klinthing

Cerita berlanjut dengan tumbuhnya Baru Klinthing menjadi seekor ular , kini kembali menggunakan tonalitas G mayor, penggunaan tehnik trill5 pada birama 54 ketukan ke empat diartikan sebagai pertumbuhan ular kecil yang semakin lama semakin membesar, seiring berjalanya waktu Baru Klinthing tumbuh dewasa ia mulai mencari siapa ayahnya, suasana penuh tanya ini muncul pada birama 62-67 yang digambarkan pada biola satu dan biola dua, ditonalitas Bbm. Cerita berlanjut pada pertemuan baru klinthing dengan sang ayah yang ditandai dengan munculnya leitmotif Ki Hajar dibirama 68-72 pada tonalitas A mayor.

Gambar 3.10. Birama 73-80 Melingkari Gunung

Namun karena berwujud ular Ki Hajar sempat tidak percaya, akhirnya Baru Klinthing diutus melingkari gunung Telomoyo untuk membuktikan bahwa ia benar anaknya, suasana ini digambarkan dengan adanya perubahan dari tempo lento menjadi tempo 120 serta munculnya potongan leitmotif Baru Klinthing yang dikembangkan dan diubah menjadi sukat 4/4 pada biola satu,

5Trill

: hiasan yang berupa perulangan cepat dari sebuah nada yang diseling dengan nada terdekat di atasnya.


(8)

dan pada biola dua memainkan tone painting untuk penggambaran gunung yang dilingkari oleh Baru Klinthing.

Gambar 3.11. Birama 82-87 Pertapaan Baru Klinthing

Akhirnya Baru Klinthing mampu meyakinkan bahwa ia benar-benar anak yang selama ini diharapkan Ki Hajar dalam pertapaanya, lalu Ki Hajar mengutus Baru Klinthing untuk bertapa agar kelak wujudnya dapat berubah menjadi manusia yang utuh, penggambaran suasana ini masih dalam tonalitas A mayor, instrumen viola dan cello hanya memainkan satu nada dengan pemakaian teknik legato untuk menggambarkan suasana tenang, menutup bagian satu ini penggunaan not utuh pada birama 87 menandakan keinginan Baru Klinthing untuk menjadi manusia seutuhnya.

2. Bagian II “Pertempuran di Bukit Tugur”

Secara garis besar bagian kedua ini menceritakan peperangan Baru Klinthing tepat dimana dia sedang melakukan pertapaan untuk menjadi manusia seutuhnya.


(9)

Gambar 3.12. Birama 1-10 Suasana Pesta

Cerita berlanjut didekat bukit dimana Baru Klinthing bertapa, terdapat sebuah desa yang akan menyelenggarakan pesta sedekah bumi, bagian ini disampaikan pada birama 1-10 dengan tempo allegreto, ditangga nada D mayor dengan sukat 4/4.

Gambar 3.13. Birama 11-23 Perburuan.

Pada birama 11-23 merupakan gambaran penduduk desa melakukan perburuan dihutan untuk dijadikan hidangan pesta, kemudian ditemuilah Baru


(10)

Klinthing yang sedang dalam pertapaanya menjadi manusia, bagian ini disampaikan pada tonalitas Bm natural.6

Gambar 3.14. Birama 24-31 Peperangan

Berlanjut pada birama 24-31 yakni peperangan penduduk dengan Baru Klinthing masih dalam tonalitas Bm natural penggunaan triplet7 dinada F pada biola satu dan biola dua yang bergantian menggambarkan peperangan antara Baru Klinthing dan penduduk desa, berlanjut pada birama 30 semua instrument memainkan tehnik tremolo dengan dinamika deccresendo untuk menandakan puncak peperangan sekaligus kekalahan Baru Klinthing, dalam bagian ini diakhiri dengan kadens setengah yakni mengarah kepada akor V. Cerita berlanjut pada birama 31-51 masih dalam tangga nada Bm meceritakan kematian Baru Klitnhing yang dagingnya dipotong-potong oleh penduduk

6

B minor natural adalah tangga nada yang terdiri dari : B, C#, D,E,F#,G,A,B 7Triplet


(11)

desa, suasana ini ditandai dengan dimunculkanya kembali suasana perburuan pada birama 11 namun terdapat tehnik pizzicato8 yang dimainkan oleh biola satu untuk menggambarkan tubuh Baru Klinthing yang sudah dipotong-potong dan dibawa kedesa untuk santapan pesta.

Gambar 3.15 Birama 52-58 Penjelmaan Baru Klinthing.

Birama 52-58 merupakan transisi perubahan tempo dari allegreto menjadi tempo lento disertai munculnya bentuk vareasi leitmotif Baru Klinthing yang di augmentasi9 menjadi sukat 4/4 pada tonalitas F# minor untuk menggambarkan suasana kesedian penjelmaan Baru Klinthing menjadi anak laki-laki kecil yang kotor dan terdapat banyak luka ditubuhnya, digunakanya kandens otentik yakni dari akor V menuju ke akor I untuk menandai berakhirnya bagian dua ini.

8Pizzicato

: dipetik. 9Augmentasi

: Tehnik pengolahan motif berupa penambahan harga not atau tanda istirahat pada sebuah motif atau tema.


(12)

3. Bagian III “Tenggelamnya Desa Pathok”

Secara garis besar bagian terahir ini menceritakan tentang ketidak

terimaan Baru Klinthing atas perlakuan penduduk desa kepadanya, diadakanya sayembara pencabutan lidi yang akhirnya tidak ada seorang pun yang mampu mencabutnya kecuali dirinya sendiri, setelah lidi itu tercabut terjadilah bencana banjir yang menenggelamkan seluruh isi desa.

Gambar 3.16. Birama 1-12 Bertemunya Baru Klinthing Dengan Nyi Latung.

Babak ini diawali dengan bertemunya Baru Klinthing dengan seorang nenek tua bernama Nyi Latung, nenek inilah yang menolong Baru Klinthing dalam keadaanya yang menyedihkan. Suasana ini digambarkan pada tonalitas F#m dengan menggunakan tempo Lento dan sukat 4/4, pada birama 8-11 muncul leitmotif penjelmaan Baru Klinthing yang diakhiri dengan kadens otentik pada birama 12.


(13)

Gambar 3.17. Birama 12-31 Penancapan Lidi

Pada bagian cerita selanjutnya Baru Klinthing mendatangi acara pesta sedekah bumi yang sedang berlangsung dengan membawa rasa kekecewaan kepada penduduk desa atas perlakuan terhadapnya, untuk menggambarkan peristiwa tersebut pada birama 12-17 dimunculkan kembali suasana pesta yang ada pada bagian II namun untuk bagian III ini menggunakan tonalitas A mayor dengan tempo Allegretto yang disabung dengan modulasi pada tonalitas F# minor pada birama 18-27 untuk menggambarkan penancapan lidi yang dilakukan oleh Baru Klinthing ditengah ramainya pelaksanaan pesta sedekah bumi, pemakaian tehnik staccato dan penggunaan not 1/8 pada instrument viola dan cello dibangun untuk menguatkan suasana tegang tersebut, sayembara itu dilakukan Baru Klinthing kepada seluruh penduduk desa. Barang siapa yang mampu mencabut lidi tersebut berhak berbuat sekehendak hati kepadanya


(14)

Gambar 3.18. Birama 28-31 Pencabutan Lidi

Seluruh penduduk desa tertantang untuk mencabut lidi tersebut namun tidak ada satupun yang berhasil, suasana ini digambarkan dengan penggunaan triplet pada birama 28-29 disertai aksen pada birama 30 untuk menimbulkan kesan kebingungan seluruh penduduk desa, karena Baru Klinthing mampu mencabutnya sendiri tanpa beban. Suasana ini digambarkan dengan pemakaian fermata pada not utuh dibirama 31.

Gambar 3.18. Birama 32-48 Keluarnya Air Bah Dari Bekas Tancapan Lidi.

Air menyembur begitu kuat dari bekas lidi yang ditancapkan oleh Baru Klinthing, seluruh penduduk desa berusaha menyelamatkan diri namun mereka semua gagal karena air telah menenggelamkan seluruh isi desa dengan seketika. Suasana riuh ini digambarkan pada birama 32-48 dengan penggunaan triplet yang dimainkan oleh biola satu dan dua.


(15)

Gambar 3.19. Birama 49-54 Terbentuknya Rawa Pening

Seketika desa Ngasem berubah menjadi danau atau yang kini disebut dengan Rawa Pening, penggunaan tone painting not 1/32 yang dimainkan oleh biola satu pada birama 49 bertujuan untuk menggambarkan gulunggan air yang menyerupai ombak, berlanjut pada birama 53 terdapat trill yang dimainkan oleh biola satu dan biola dua ini menggambarkan kembalinya Baru Klinthing menjadi seekor ular yang diyakini menjadi ular penjaga Rawa Pening, kadens yang menutup cerita ini adalah kadens otentik.


(16)

(1)

desa, suasana ini ditandai dengan dimunculkanya kembali suasana perburuan pada birama 11 namun terdapat tehnik pizzicato8 yang dimainkan oleh biola satu untuk menggambarkan tubuh Baru Klinthing yang sudah dipotong-potong dan dibawa kedesa untuk santapan pesta.

Gambar 3.15 Birama 52-58 Penjelmaan Baru Klinthing.

Birama 52-58 merupakan transisi perubahan tempo dari allegreto

menjadi tempo lento disertai munculnya bentuk vareasi leitmotif Baru Klinthing yang di augmentasi9 menjadi sukat 4/4 pada tonalitas F# minor untuk menggambarkan suasana kesedian penjelmaan Baru Klinthing menjadi anak laki-laki kecil yang kotor dan terdapat banyak luka ditubuhnya, digunakanya kandens otentik yakni dari akor V menuju ke akor I untuk menandai berakhirnya bagian dua ini.


(2)

3. Bagian III “Tenggelamnya Desa Pathok”

Secara garis besar bagian terahir ini menceritakan tentang ketidak

terimaan Baru Klinthing atas perlakuan penduduk desa kepadanya, diadakanya sayembara pencabutan lidi yang akhirnya tidak ada seorang pun yang mampu mencabutnya kecuali dirinya sendiri, setelah lidi itu tercabut terjadilah bencana banjir yang menenggelamkan seluruh isi desa.

Gambar 3.16. Birama 1-12 Bertemunya Baru Klinthing Dengan Nyi Latung.

Babak ini diawali dengan bertemunya Baru Klinthing dengan seorang nenek tua bernama Nyi Latung, nenek inilah yang menolong Baru Klinthing dalam keadaanya yang menyedihkan. Suasana ini digambarkan pada tonalitas F#m dengan menggunakan tempo Lento dan sukat 4/4, pada birama 8-11 muncul leitmotif penjelmaan Baru Klinthing yang diakhiri dengan kadens otentik pada birama 12.


(3)

Gambar 3.17. Birama 12-31 Penancapan Lidi

Pada bagian cerita selanjutnya Baru Klinthing mendatangi acara pesta sedekah bumi yang sedang berlangsung dengan membawa rasa kekecewaan kepada penduduk desa atas perlakuan terhadapnya, untuk menggambarkan peristiwa tersebut pada birama 12-17 dimunculkan kembali suasana pesta yang ada pada bagian II namun untuk bagian III ini menggunakan tonalitas A mayor dengan tempo Allegretto yang disabung dengan modulasi pada tonalitas F# minor pada birama 18-27 untuk menggambarkan penancapan lidi yang dilakukan oleh Baru Klinthing ditengah ramainya pelaksanaan pesta sedekah bumi, pemakaian tehnik staccato dan penggunaan not 1/8 pada instrument viola dan cello dibangun untuk menguatkan suasana tegang tersebut, sayembara itu dilakukan Baru Klinthing kepada seluruh penduduk desa. Barang siapa yang mampu mencabut lidi tersebut berhak berbuat sekehendak hati kepadanya


(4)

Gambar 3.18. Birama 28-31 Pencabutan Lidi

Seluruh penduduk desa tertantang untuk mencabut lidi tersebut namun tidak ada satupun yang berhasil, suasana ini digambarkan dengan penggunaan triplet pada birama 28-29 disertai aksen pada birama 30 untuk menimbulkan kesan kebingungan seluruh penduduk desa, karena Baru Klinthing mampu mencabutnya sendiri tanpa beban. Suasana ini digambarkan dengan pemakaian

fermata pada not utuh dibirama 31.

Gambar 3.18. Birama 32-48 Keluarnya Air Bah Dari Bekas Tancapan Lidi.

Air menyembur begitu kuat dari bekas lidi yang ditancapkan oleh Baru Klinthing, seluruh penduduk desa berusaha menyelamatkan diri namun mereka semua gagal karena air telah menenggelamkan seluruh isi desa dengan seketika. Suasana riuh ini digambarkan pada birama 32-48 dengan penggunaan


(5)

Gambar 3.19. Birama 49-54 Terbentuknya Rawa Pening

Seketika desa Ngasem berubah menjadi danau atau yang kini disebut dengan Rawa Pening, penggunaan tone painting not 1/32yang dimainkan oleh biola satu pada birama 49 bertujuan untuk menggambarkan gulunggan air yang menyerupai ombak, berlanjut pada birama 53 terdapat trill yang dimainkan oleh biola satu dan biola dua ini menggambarkan kembalinya Baru Klinthing menjadi seekor ular yang diyakini menjadi ular penjaga Rawa Pening, kadens yang menutup cerita ini adalah kadens otentik.


(6)