Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kepuasan Kerja dan Etos Kerja terhadap Kinerja Guru SMA Kristen di Salatiga T2 832008006 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
Dunia
pendidikan
sedang
goncang
oleh
berbagai
perubahan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat,
serta di tantang untuk dapat menjawab berbagai permasalahan
lokal dan perubahan global yang terjadi begitu pesat. Guru
merupakan
komponen
yang
paling
berpengaruh
terhadap
terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh
karena itu upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk
meningkatkan
kualitas
pendidikan
tidak akan
memberikan
sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang
profesional dan berkualitas. Keprofesionalan guru terlihat dari
kinerja yang dihasilkan dan dalam bab ini akan dibahas berbagai
fenomena terkait dengan kinerja guru pada umumnya dan secara
khusus pada guru SMA Kristen di Salatiga.
1.1 LATAR BELAKANG
Era globalisasi dewasa ini sudah menjadi kenyataan
yang harus dihadapi oleh setiap bangsa dan negara. Proses
interaksi
dan
saling
pengaruh-mempengaruhi,
bahkan
pergesekan kepentingan antar-bangsa terjadi dengan cepat
dan mencakup masalah yang semakin kompleks. Batasbatas teritorial negara tidak lagi menjadi pembatas bagi
kepentingan masing-masing bangsa dan negara. Setiap
bangsa di dunia dewasa ini tidak dapat terlepas satu dengan
yang lain. Oleh karena itu, satu sama lain harus melakukan
kerjasama
guna
mencapai
tujuan
bangsa
tersebut.
Globalisasi merupakan salah satu hal yang harus dihadapi
oleh berbagai macam bangsa yang ada di dunia (Winarto,
2009).
Sebagai anggota masyarakat dunia, Indonesia pasti
tidak dapat dan tidak akan mengisolasi diri dari pergaulan
internasional. Indonesia menjadi salah satu Negara yang
turut dipengaruhi oleh perubahan global. Ada berbagai
aspek dalam kehidupan di Negara ini yang mengalami
perubahan
sebagai
akibat
dari
globalisasi.
Saat
ini,
pendidikan menjadi begitu penting di kacamata nasional
dan internasional. Dalam rangka mewujudkan tatanan
pendidikan yang mandiri dan berkualitas sebagaimana
diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan
nasional,
perlu
dilakukan
berbagai
upaya
strategis dan integral yang menunjang penyelenggaraan
pendidikan.
Kesempatan
memperoleh
pendidikan
yang
berkualitas berlaku untuk semua (education for all), mulai
dari usia dini sebagai masa the golden age sampai jenjang
pendidikan tinggi. Konsep yang diterapkan oleh UNESCO ini
memerlukan dukungan yang kuat dari semua pihak yang
terlibat dalam dunia pendidikan (stakeholders). Tanpa
partisipasi aktif dari semua pihak, tentunya akan sulit
menghasilkan pendidikan yang berkualitas di Indonesia ini.
Saat ini, persaingan global tidak terjadi di sektor ekonomi
saja tetapi itu juga terjadi di sektor pendidikan. Pendidikan
di Indonesia juga dituntut agar berkualitas seperti di luar
negeri (Rachmawati & Kurniati, 2010).
2
Dunia pendidikan di Indonesia mengalami berbagai
perubahan seiring dengan bergeraknya arus globalisasi.
Dalam persaingan global, pendidikan merupakan salah satu
sarana yang dapat dijadikan pengembangan modal sosial
(social capital). Modal sosial sendiri dapat berarti SDM
(Sumber
Daya
kepercayaan,
Manusia)
yang
kesediaan,
mempunyai
dan
kejujuran,
kemampuan
untuk
bekerjasama, berkoordinasi, penjadwalan waktu dengan
tepat, dan kebiasaan untuk berkontribusi dalam upaya
pembangunan
(Kapahang,
modal
dapat
sosial
2001).
berarti
Jadi,
pengembangan
terciptanya
insan
yang
sempurna.
Jika ini yang diharapkan, berarti era globalisasi
merupakan
tantangan
pendidikan
harus
sendiri.
Pada
menciptakan
era
SDM
ini
lembaga
yang
mampu
berkompetensi dan berprestasi serta mampu menghadapi
akulturasi budaya yang luar biasa, terutama dari negaranegara Barat (Miftahuddin, 2011).
Kenyataan yang terjadi, SDM Indonesia menempati
posisi yang cukup memprihatinkan dalam EDI (Education
Development
Index).
Pada
Desember
2009,
Indeks
Pembangunan Pendidikan yang terdapat pada laporan EFA
(Education For All) yang dipublikasikan dalam Global
Monitoring
Report
serta
dikeluarkan
Pendidikan,
Ilmu
Pengetahuan,
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
oleh
Organisasi
dan
Kebudayaan
(UNESCO)
menyebutkan
peringkat Indonesia berada pada posisi 71. Data ini
merupakan
sebagian
kecil
bukti
bahwa
peningkatan
kualitas SDM di Indonesia saat ini menjadi hal yang perlu
diprioritaskan.
Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui
berbagai upaya, salah satunya yakni peningkatan kualitas
pendidikan. Pendidikan memang erat kaitannya dengan
pembentukan mental yang berakhlak. Pendidikan tidak
hanya berarti memberikan pelajaran kepada subjek didik
agar dapat menyesuaikan diri terhadap situasi kehidupan
nyata. Tetapi, lebih dari itu adalah tempat meningkatkan
kualitas hidup manusia dengan mempertinggi pengalaman
moral. Di samping itu, pendidikan tidak hanya bertujuan
untuk pembentukan kecerdasan, namun juga bagaimana
pendidikan dapat membentuk tingkah laku yang cerdas
sebagai tujuan utama. Sehingga tidak dapat dipungkiri
bahwa pendidikan adalah sarana tempat pembentukan
watak atas nilai-nilai budaya yang luhur. Sementara itu,
terbentuknya watak, kepribadian, dan kualitas manusia
yang lain tidak dapat dilepaskan dari kecerdasan tingkah
laku seseorang (Barnadib, 1996). Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka guru sebagai pelaksana pendidikan di
sekolah menjadi penggerak utama.
Guru
merupakan
elemen
kunci
dalam
sistem
pendidikan, khususnya di sekolah. Semua komponen lain,
mulai
dari
kurikulum,
sebagainya tidak
sarana-prasarana,
biaya,
dan
akan banyak berarti apabila esensi
pembelajaran yaitu interaksi guru dengan peserta didik
4
tidak
berkualitas.
Semua
komponen
lain,
terutama
kurikulum akan “hidup” apabila dilaksanakan oleh guru.
Begitu pentingnya peran guru dalam mentransformasikan
input-input pendidikan, sehingga tidak akan ada perubahan
atau peningkatan guru (Atmojo, 2009). Lebih lanjut Atmojo
(2009) menyatakan kualitas tanpa adanya perubahan dan
peningkatan kualitas bahwa guru merupakan komponen
vital, penggerak utama sebagai faktor kesuksesan dari
sistem pendidikan dan pengajaran yang akhirnya akan
mempengaruhi
produktivitas
sekolah.
Dalam
keadaan
seperti ini guru mengembangkan “multi fungsi atau multi
peran” antara lain, sebagai motivator dan pembimbing
dalam
proses
belajar-mengajar
agar
siswa
dapat
menemukan, melengkapi serta mendiskusikan berbagai
alternatif jawaban terhadap masalah-masalah tertentu.
Guru merupakan sosok penting yang memiliki peran
strategis dalam dunia pendidikan. Peran dan fungsinya
sebagai “ujung tombak” dalam proses pendidikan, bahkan
guru merupakan orang yang paling bertanggung jawab
terhadap peningkatan kualitas pendidikan (Bernadib, 1996).
Mengingat tugas dan tanggung jawab guru yang begitu
penting,
sehingga
pemerintah
melindungi
hak
dan
kewajibanguru melalui Undang-undang Nomor 14 tahun
2005 tentang guru dan dosen.Melalui undang-undang ini
diharapkan kinerja guru dapat meningkat yang jugadiikuti
dengan meningkatnya kualitas pendidikan. Guru memegang
perananpenting
dan
strategis
terutama
dalam
upaya
membentuk
watak
kepribadian
dan
bangsa
nilai-nilai
melaluipengembangan
yang
diinginkan,
sehinggakedudukannya sulit untuk digantikan.Mencermati
peran guru yang begitu kompleks, maka salah satu upaya
yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas
sekolah adalah melalui peningkatan kinerja guru. Hal ini
sejalan
dengan
pendapat
Kusumastuti
(2001),
yang
menyatakan bahwa pengembangan mutu pendidikan dapat
ditempuh melalui pengembangan mutu para pendidiknya
dengan jalan peningkatan kinerja.
Sebagai pengajar atau pendidik, guru merupakan
salah satu faktor penentu keberhasilan setiap upaya
pendidikan.
Kinerja
melaksanakan
guru
pembelajaran,
dalam
merencanakan
merupakan
faktor
dan
utama
dalam pencapaian tujuan pengajaran (Musarofah, 2008).
Adanya peningkatan dalam mutu pendidikan tidak terlepas
dari peran guru sebagai unsur utama dalam keseluruhan
proses
pendidikan.
Guru
mempunyai
tugas
untuk
membimbing, mengarahkan, dan juga menjadi teladan yang
baik bagi para peserta didik. Jadi dengan setumpuk tugas
serta tanggung jawab yang diembannya guru, mampu
menunjukkan bahwa dia dapat menghasilkan kinerja yang
baik demi terciptanya pendidikan yang bermutu.
Kinerja sangat penting bagi sebuah organisasi di
sekolah dalam upaya mencapai tujuannya. Dalam konteks
pengembangan sumber daya manusia kinerja seorang guru
dalam sebuah organisasi sekolah sangat dibutuhkan untuk
6
mencapai kinerja yang baik bagi guru itu sendiri dan juga
untuk keberhasilan sekolah mencapai tujuannya. Guru
yang memiliki kinerja baik akan terlihat dari hasil yang
dicapai yakni berjalannya pendidikan yang bermutu dan
berkualitas.
Namun,
hal
ini
masih
jauh
dari
yang
diharapkan. Dalam harian Kompas (Kompas.com) pada
tanggal 7 Maret 2012 menyatakan bahwa secara umum,
kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia masih
belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari sisi kualifikasi
pendidikan, hingga saat ini, dari 2,92 juta guru, baru
sekitar 51 persen yang berpendidikan S-1 atau lebih,
sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1.Begitu pun
dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau
sekitar 70,5 persen guru yang memenuhi syarat sertifikasi.
Adapun 861.67 guru lainnya belum memenuhi syarat
sertifikasi, yakni sertifikat yang menunjukkan guru tersebut
profesional.
Pada
suatu
kesempatan,
Musarofah
(2008)
menyatakan bahwa kinerja individu dapat bersifat positif
maupun negatif, serta mendatangkan dampak yang berbeda
pada masing-masing sifat tersebut. Lebih lenjut dikatakan
bahwa jika individu memiliki kinerja positif, maka hal
utama yang akan diuntungkan adalah tercapainya tujuan
organisasi.
Selain
itu,
pekerjaan
yang
diberikan
terselesaikan dengan baik serta adanya kepuasan dari
dalam diri individu tersebut terhadap pekerjaannya sendiri.
Sementara itu, individu yang memiliki kinerja negatif
berdampak pada menurunkan citra perusahaan karena
tidak tercapainya tujuan organisasi.
Kinerja guru juga dapat dilihat dari persiapan materi
ketika
kegiatan
Penelitian
belajar
yang
mengajar
dilakukan
oleh
akan
berlangsung.
Musarofah
(2008)
menemukan bahwa dari delapan belas guru yang menjadi
subjek
penelitian,
sebelas
diantaranya
kurang
mempersiapkan materi pelajaran sebelum proses belajar
mengajar berlangsung. Dampak dari kurangnya persiapan
adalah materi yang diajarkan tidak mendalam, sehingga
peserta
didik
yang
mengikuti
proses
belajar
tidak
memperoleh makna dari materi yang disampaikan. Hal ini
bertolak belakang dengan kompetensi profesional yang
harus dimiliki oleh setiap guru, di mana kompetensi
profesional yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru
dalam perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran.
Guru mempunyai tugas untuk mengarahkan kegiatan
belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, untuk
itu guru dituntut mampu menyampaikan bahan pelajaran.
Guru harus selalu meng-update, dan menguasai materi
pelajaran yang disajikan. Persiapan diri tentang materi
diusahakan
dengan
jalan
mencari
informasi
melalui
berbagai sumber seperti membaca buku-buku terbaru,
mengakses dari internet, selalu mengikuti perkembangan
dan kemajuan terakhir tentang materi yang disajikan
(Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007). Dengan demikian,
SDM yang dihasilkan melalui proses belajar seperti ini
8
adalah individu-individu yang memiliki daya saing rendah
dalam masyarakat.
Selain
itu,
guru
memiliki
karakter
yang
dapat
diteladani juga merupakan salah satu ciri dari guru yang
berkinerja tinggi. Hal ini sejalan dengan Permendiknas
Nomor 12 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa salah satu
kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dengan kinerja
tinggi
adalah
kompetensi
kepribadian,
dimana
guru
bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan
kebudayaan nasional Indonesia. Hal ini bertolak belakang
dengan peristiwa yang terjadi di Provinsi Banten pada bulan
Oktober 2010 dimana seorang oknum guru dilaporkan ke
pihak yang berwajib karena kedapatan melakukan tindakan
asusila terhadap muridnya sendiri (www.metrotvnews.com,
2010). Tindakan asusila yang dilakukan tersebut bertolak
belakang dengan apa yang tertuang dalam Undang-undang
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban
memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi,
dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan
kepadanya. Dengan adanya tindakan-tindakan seperti ini,
menggambarkan bahwa kinerja guru saat ini mengalami
penurunan dan perlu mendapat perhatian dari berbagai
pihak.
Selain itu, kinerja guru juga diukur berdasarkan
tingkat kelulusan peserta didik dalam mengikuti ujian
nasional (UN). Musharofah (2008) dalam suatu kesempatan
menyatakan bahwa dari 14.200 peserta UN SMP tahun
2010 di Sragen, terdapat 500 siswa yang tidak lulus. Selain
itu, Mendiknas dalam suatu kesempatan (dikutip oleh
Republika.co.id pada tanggal 29 Juli 2011) menyatakan
bahwa pada tahun 2011 terdapat 561 sekolah yang angka
kelulusannya nol persen dengan jumlah siswa 9.283. Selain
itu, secara Nasional, ada 11.443 Siswa SMA / MA
dinyatakan tidak lulus UN pada tahun 2011 (Disdik
Lampung, 2011). Tingkat ketidak lulusan peserta didik yang
masih cukup tinggi membentuk paradigma masyarakat
bahwa kinerja guru di Indonesia saat ini masih sangat
rendah. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh
Widyastono (2010) bahwa ketidak berhasilan peserta didik
dalam mengikuti ujian merupakan gambaran nyata dari
menurunnya produktivitas guru.
Atas dasar berbagai fenomena tersebut, maka kinerja
guru merupakan masalah utama yang sedang dihadapi saat
ini.
Kinerja
guru perlu
ditingkatkan,
karena
hal
itu
merupakan tugas utama yang harus dikerjakan oleh pihakpihak yang terkait, termasuk didalamnya peningkatan
kinerja guru di Sekolah Menengah Atas (SMA) Kristen di
Salatiga. Sekolah Menengah Atas (SMA) Kristen di Salatiga
terdiri dari dua sekolah yakni SMA Kristen 1 yang beralamat
di Jl. Osamaliki No.32 Salatiga dan SMA Kristen 2 yang
beralamat di Jl. Argoluwih No. 15 Argomulyo Salatiga.
Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 22
Mei 2013 dengan kepala sekolah SMA Kristen 1 diperoleh
10
data bahwa ada beberapa guru sampai saat ini belum
merampungkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
yang berfungsi sangat besar dalam proses belajar mengajar.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa sesuai dengan Permendiknas
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses dijelaskan
bahwa RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan
belajar
peserta
didik
dalam
upaya
mencapai
kompetensi siswa. Setiap guru pada satuan pendidikan
berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis
agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup
bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan
bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik. Namun sayangnya, ada beberapa guru yang belum
memenuhi ketentuan dalam penyusunan RPP.
Hal senada
juga diungkapkan oleh kepala sekolah SMA Kristen 2 bahwa
perencanaan
pembelajaran
merupakan
bagian
penting
dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. RPP sebagai
panduan dalam mengajar, sehingga pada saat terjun di
kelas, guru semakin mantap dalam mengajar. Selain itu,
guru yang rajin membuat RPP berarti telah menjalankan
kegiatan administrasi guru dengan baik. Tetapi untuk
mencapai hal ini masih sangat sulit karena ada guru yang
belum mematuhi peraturan tersebut.
Penulis juga melakukan wawancara dengan pengurus
Osis (ketua Osis) dan menemukan data bahwa dalam proses
belajar mengajar berlangsung, ada beberapa guru yang
kurang
memiliki
kemampuan
untuk
mengelola
kelas
sehingga menjadi kelas yang interaktif. Situasi belajar yang
sering terjadi adalah komunikasi satu arah, yakni dari guru
ke murid. Sementara menurutnya, ketika proses belajar
mengajar berlangsung, hendaklah terjadi komunikasi dua
arah. Karena dengan adanya komunikasi dua arah, siswa
dapat mengemukakan pendapat atau pertanyaan tentang
materi yang kurang dipahami. Dengan demikian siswa
tertolong untuk memahami materi yang disampaikan oleh
guru.
Penguasaan
dan
penggunaan
fasilitas
belajar
merupakan salah satu faktor yang penting bagi guru dalam
menunjang
proses
belajar
mengajar.
Dari
data
yang
diperoleh, fasilitas belajar di SMA Kristen 1 sudah cukup
memadai, ditandai dengan adanya LCD di beberapa ruang
kelas. Para guru sudah mulai memanfaatkan fasilitas
tersebut,
tetapi
ada
beberapa
guru
yang
belum
memanfaatkan fasilitas belajar tersebut. Berdasarkan hasil
wawancara diketahui bahwa penguasaan teknologi dan
kurangnya waktu untuk mempersiapkan bahan ajar (powerpoint) merupakan faktor kendala bagi para guru dalam
memanfaatkan fasilitas yang ada.
Dengan adanya berbagai fenomena di atas, maka
penulis tergerak untuk melakukan penelitian sehubungan
dengan kinerja guru karena guru merupakan sosok penting
yang memiliki peran strategis dalam dunia pendidikan.
12
Peran dan fungsinya sebagai “ujung tombak” dalam proses
pendidikan menjadikan guru sebagai individu yang paling
bertanggungjawab
terhadap
peningkatan
kualitas
pendidikan. Jadi, jika guru menunjukkan kinerja yang
negatif, maka sudah pasti SDM yang dihasilkan melalui
proses belajar di sekolah adalah SDM yang kurang mampu
bersaing dalam dunia global. Oleh sebab itu, kinerja guru
perlu menjadi perhatian utama dalam dunia pendidikan
saat ini.
Kinerja
dipengaruhi
oleh
berbagai
faktor,
baik
eksternal maupun internal. Kartini (1985) menyatakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru
meliputi kecerdasan, etos kerja dan kecakapan, motif,
kesehatan,
kepribadian,
kepuasan
kerja,
lingkungan
keluarga, lingkungan kerja, komunikasi dengan kepala
sekolah, serta sarana prasarana sekolah.
Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang
sangat
penting
untuk
mendapatkan
hasil
kerja
yang
optimal. Ketika seorang merasakan kepuasan dalam bekerja
tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan
segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan
tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan
hasil kerja akan meningkat secara optimal. Hal ini sejalan
dengan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Mone
(2005),
Bowling (2007), Bolin (2007), Hernadi (2009), Demirtas
(2010),
dan
kepuasan
Pardosi
kerja
(2012)
memiliki
yang
menyatakan
pengaruh
positif
bahwa
signifikan
terhadap
kinerja.
Adanya
pengaruh
kepuasan
kerja
terhadap kinerja ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja
merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap tinggi rendahnya kinerja guru.
Dengan kata lain, jika individu puas dengan pekerjaannya
maka akan semakin tinggi kinerja yang ditampilkan.
Demikian pula sebaliknya, semakin rendah kepuasan kerja
individu, maka semakin rendah kinerja individu tersebut.
Tetapi hasil penelitian di atas bertolak belakang dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Utamie (2009) dan
Warsidi
(2004)
dimana
dalam
hasil
penelitiannya
menyatakan bahwa kepuasan kerja dan kinerja guru tidak
memiliki hubungan yang signifikan. Hasil penelitian yang
tidak signifikan ini terlihat dari adanya kepuasan kerja yang
rendah yang terlihat dari rendahnya kepuasan terhadap
pekerjaan itu sendiri. Hal ini disebabkan karena mata
pelajaran yang diberikan kepada guru untuk diajarkan di
kelas tidak sesuai dengan kompetensi akademik yang
dimiliki
oleh
guru
sehingga
menyebabkan
terjadinya
penurunan kinerja guru.
Etos kerja merupakan salah satu faktor yang juga
turut memengaruhi kinerja.Sinamo (2005) menerangkan
bahwa etos kerja mencakup konsep utama tentang kerja itu
sendiri yang mencakup idealisme yang mendasari, prinsipprinsip yang mengatur, nilai-nilai yang menggerakkan,
sikap-sikap yang dilahirkan, standar-standar yang hendak
dicapai termasuk karakter utama, pikiran dasar, kode etik,
14
kode moral, dan kode perilaku bagi para pemeluknya.
Dengan memiliki etos kerja yang tinggi, maka diharapkan
kinerja para guru juga semakin meningkat.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Pratikto
(2009)
terhadap
guru-guru
mata
pelajaran
ekonomi/akutansi SMA/MA/SMK di wilayah Malang raya,
dengan pendekatan metode mixed, menemukan bahwa etos
kerja berpengaruh terhadap kinerja profesional. Mone
(2005)
juga
melakukan
penelitian
dengan
hasil
yang
menyatakan bahwa bahwa adanya hubungan yang positif
signifikan antara etos kerja dengan kinerja guru. Evans
(1998) juga melakukan penelitian dengan hasil bahwa etos
kerja
mempengaruhi
kinerja
guru.
Fitnaini
(2009)
menyatakan dalam peneltiannya bahwa terdapat hubungan
yang positif signifikan antara etos kerja guru dengan
kinerja.
Pada kesempatan yang berbeda, Dammy (2011) juga
melakukan
penelitian
untuk
melihat
seberapa
besar
hubungan kepuasan kerja dan etos kerja dengan kinerja
guru SMA Methodist 1 Palembang. Dari hasil penelitian
ditemukan bahwa sebesar 22% kepuasan kerja dan etos
kerja memiliki hubungan dengan kinerja guru. Lebih lanjut
dijelaskan, hal ini berarti bahwa kinerja guru akan menjadi
baik apabila didukung oleh kepuasan kerja dan etos kerja
guru yang baik. Sebaliknya kinerja guru akan menjadi tidak
baik apabila kepuasan kerja dan etos kerja guru tidak baik.
Dengan demikian jika kinerja guru ingin ditingkatkan, maka
seyogyanya kepuasan kerja guru dan etos kerja guru harus
menjadi bagian yang diberi perhatian. Hasil penelitian ini
juga menunjukkan bahwa kepuasan dan etos kerja berguna
untuk menentukan tindakan apa yang harus dilakukan
ketika kinerja guru menurun, seberapa besar usaha dan
seberapa lama perlu dilakukan. Oleh karena itu guru
dengan
kinerja
tinggi
cenderung
akan
berusaha
menyelesaikan tugas yang memang harus dikerjakannya
dan
masalah-masalah
kerja
yang
ada
serta
mampu
mempertanggung jawabkan apa yang telah dikerjakan
secara terbuka dan jujur.
Sementara
itu,
Siregar
(2012)
juga
melakukan
penelitian hubungan etos kerja dan kepuasan kerja dengan
prestasi kerja guru SMA Negeri di kota Binjai. Hasil
penelitian menunjukan R = 0,310 pada taraf kepercayaan α
= 0,05. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi etos kerja dan
kepuasan kerja secara bersama-samamaka akan semakin
meningkatkan prestasi kerja guru SMA Negeri di Kota
Binjai.
Bertolak dari berbagai fenomena dan hasil penelitian
yang ada, maka penulis berasumsi bahwa kepuasan kerja
dan etos kerja merupakan dua faktor yang bersumber dari
internal individu yang jika dimaksimalkan maka akan
mewujudkan kinerja kerja yang maksimal dari seorang
guru. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kepuasan kerja
yang dirasakan oleh individu dibarengi dengan etos kerja
yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang maksimal. Hal
16
senada juga dialami oleh guru sebagai individu yang bekerja
meningkatkan
mutu
pendidikan.
Oleh
sebab
itu,
berdasarkan fenomena dan hasil-hasil penelitian yang ada,
peneliti tergerak untuk melakukan penelitian lebih lanjut
sehubungan dengan pengaruh kepuasan kerja dan etos
kerja terhadap kinerja guru di Sekolah Menengah Atas
(SMA) Kristen di Salatiga.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian, maka
masalah penelitian adalah apakah kepuasan kerja dan etos
kerja secara simultan memiliki pengaruh terhadap kinerja
guru di SMA Kristen Saltiga?
1.3
Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah penelitian, maka
tujuan
penelitian
pada
penelitian
ini
adalah
untuk
menentukan kepuasan kerja dan etos kerja secara simultan
sebagai prediktor terhadap kinerja guru di SMA Kristen
Salatiga.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Melalui
penelitian
ini,
manfaat
teoritis
yang
diharapkan adalah:
1. Penelitian
ini
diharapkan
memberikan
sumbangan
kepada dunia pendidikan khususnya sumbangan ilmiah
bagi
perkembangan
pengembangan
sumber
ilmu
daya
psikologi
manusia
mengenai
khusunya
di
bidang pendidikan.
2. Menguji
kembali
beberapa
teori
yang
berhubungan
dengan masalah kepuasan kerja, etos kerja, dan kinerja.
1.4.2. Manfaat Praktis
Melalui
penelitian
ini,
manfaat
praktis
yang
diharapkan adalah:
1. Memberikan kontribusi positif bagi lembaga-lembaga
pendidikan
dimanapun,
secara
khusus
lembaga
pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Salatiga.
2. Memberikan masukan dan evaluasi perbaikan kinerja
bagi para guru di SMA Kristen di Salatiga.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman
atau referensi untuk penelitian berikutnya yang sejenis.
18
PENDAHULUAN
Dunia
pendidikan
sedang
goncang
oleh
berbagai
perubahan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat,
serta di tantang untuk dapat menjawab berbagai permasalahan
lokal dan perubahan global yang terjadi begitu pesat. Guru
merupakan
komponen
yang
paling
berpengaruh
terhadap
terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh
karena itu upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk
meningkatkan
kualitas
pendidikan
tidak akan
memberikan
sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang
profesional dan berkualitas. Keprofesionalan guru terlihat dari
kinerja yang dihasilkan dan dalam bab ini akan dibahas berbagai
fenomena terkait dengan kinerja guru pada umumnya dan secara
khusus pada guru SMA Kristen di Salatiga.
1.1 LATAR BELAKANG
Era globalisasi dewasa ini sudah menjadi kenyataan
yang harus dihadapi oleh setiap bangsa dan negara. Proses
interaksi
dan
saling
pengaruh-mempengaruhi,
bahkan
pergesekan kepentingan antar-bangsa terjadi dengan cepat
dan mencakup masalah yang semakin kompleks. Batasbatas teritorial negara tidak lagi menjadi pembatas bagi
kepentingan masing-masing bangsa dan negara. Setiap
bangsa di dunia dewasa ini tidak dapat terlepas satu dengan
yang lain. Oleh karena itu, satu sama lain harus melakukan
kerjasama
guna
mencapai
tujuan
bangsa
tersebut.
Globalisasi merupakan salah satu hal yang harus dihadapi
oleh berbagai macam bangsa yang ada di dunia (Winarto,
2009).
Sebagai anggota masyarakat dunia, Indonesia pasti
tidak dapat dan tidak akan mengisolasi diri dari pergaulan
internasional. Indonesia menjadi salah satu Negara yang
turut dipengaruhi oleh perubahan global. Ada berbagai
aspek dalam kehidupan di Negara ini yang mengalami
perubahan
sebagai
akibat
dari
globalisasi.
Saat
ini,
pendidikan menjadi begitu penting di kacamata nasional
dan internasional. Dalam rangka mewujudkan tatanan
pendidikan yang mandiri dan berkualitas sebagaimana
diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan
nasional,
perlu
dilakukan
berbagai
upaya
strategis dan integral yang menunjang penyelenggaraan
pendidikan.
Kesempatan
memperoleh
pendidikan
yang
berkualitas berlaku untuk semua (education for all), mulai
dari usia dini sebagai masa the golden age sampai jenjang
pendidikan tinggi. Konsep yang diterapkan oleh UNESCO ini
memerlukan dukungan yang kuat dari semua pihak yang
terlibat dalam dunia pendidikan (stakeholders). Tanpa
partisipasi aktif dari semua pihak, tentunya akan sulit
menghasilkan pendidikan yang berkualitas di Indonesia ini.
Saat ini, persaingan global tidak terjadi di sektor ekonomi
saja tetapi itu juga terjadi di sektor pendidikan. Pendidikan
di Indonesia juga dituntut agar berkualitas seperti di luar
negeri (Rachmawati & Kurniati, 2010).
2
Dunia pendidikan di Indonesia mengalami berbagai
perubahan seiring dengan bergeraknya arus globalisasi.
Dalam persaingan global, pendidikan merupakan salah satu
sarana yang dapat dijadikan pengembangan modal sosial
(social capital). Modal sosial sendiri dapat berarti SDM
(Sumber
Daya
kepercayaan,
Manusia)
yang
kesediaan,
mempunyai
dan
kejujuran,
kemampuan
untuk
bekerjasama, berkoordinasi, penjadwalan waktu dengan
tepat, dan kebiasaan untuk berkontribusi dalam upaya
pembangunan
(Kapahang,
modal
dapat
sosial
2001).
berarti
Jadi,
pengembangan
terciptanya
insan
yang
sempurna.
Jika ini yang diharapkan, berarti era globalisasi
merupakan
tantangan
pendidikan
harus
sendiri.
Pada
menciptakan
era
SDM
ini
lembaga
yang
mampu
berkompetensi dan berprestasi serta mampu menghadapi
akulturasi budaya yang luar biasa, terutama dari negaranegara Barat (Miftahuddin, 2011).
Kenyataan yang terjadi, SDM Indonesia menempati
posisi yang cukup memprihatinkan dalam EDI (Education
Development
Index).
Pada
Desember
2009,
Indeks
Pembangunan Pendidikan yang terdapat pada laporan EFA
(Education For All) yang dipublikasikan dalam Global
Monitoring
Report
serta
dikeluarkan
Pendidikan,
Ilmu
Pengetahuan,
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
oleh
Organisasi
dan
Kebudayaan
(UNESCO)
menyebutkan
peringkat Indonesia berada pada posisi 71. Data ini
merupakan
sebagian
kecil
bukti
bahwa
peningkatan
kualitas SDM di Indonesia saat ini menjadi hal yang perlu
diprioritaskan.
Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui
berbagai upaya, salah satunya yakni peningkatan kualitas
pendidikan. Pendidikan memang erat kaitannya dengan
pembentukan mental yang berakhlak. Pendidikan tidak
hanya berarti memberikan pelajaran kepada subjek didik
agar dapat menyesuaikan diri terhadap situasi kehidupan
nyata. Tetapi, lebih dari itu adalah tempat meningkatkan
kualitas hidup manusia dengan mempertinggi pengalaman
moral. Di samping itu, pendidikan tidak hanya bertujuan
untuk pembentukan kecerdasan, namun juga bagaimana
pendidikan dapat membentuk tingkah laku yang cerdas
sebagai tujuan utama. Sehingga tidak dapat dipungkiri
bahwa pendidikan adalah sarana tempat pembentukan
watak atas nilai-nilai budaya yang luhur. Sementara itu,
terbentuknya watak, kepribadian, dan kualitas manusia
yang lain tidak dapat dilepaskan dari kecerdasan tingkah
laku seseorang (Barnadib, 1996). Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka guru sebagai pelaksana pendidikan di
sekolah menjadi penggerak utama.
Guru
merupakan
elemen
kunci
dalam
sistem
pendidikan, khususnya di sekolah. Semua komponen lain,
mulai
dari
kurikulum,
sebagainya tidak
sarana-prasarana,
biaya,
dan
akan banyak berarti apabila esensi
pembelajaran yaitu interaksi guru dengan peserta didik
4
tidak
berkualitas.
Semua
komponen
lain,
terutama
kurikulum akan “hidup” apabila dilaksanakan oleh guru.
Begitu pentingnya peran guru dalam mentransformasikan
input-input pendidikan, sehingga tidak akan ada perubahan
atau peningkatan guru (Atmojo, 2009). Lebih lanjut Atmojo
(2009) menyatakan kualitas tanpa adanya perubahan dan
peningkatan kualitas bahwa guru merupakan komponen
vital, penggerak utama sebagai faktor kesuksesan dari
sistem pendidikan dan pengajaran yang akhirnya akan
mempengaruhi
produktivitas
sekolah.
Dalam
keadaan
seperti ini guru mengembangkan “multi fungsi atau multi
peran” antara lain, sebagai motivator dan pembimbing
dalam
proses
belajar-mengajar
agar
siswa
dapat
menemukan, melengkapi serta mendiskusikan berbagai
alternatif jawaban terhadap masalah-masalah tertentu.
Guru merupakan sosok penting yang memiliki peran
strategis dalam dunia pendidikan. Peran dan fungsinya
sebagai “ujung tombak” dalam proses pendidikan, bahkan
guru merupakan orang yang paling bertanggung jawab
terhadap peningkatan kualitas pendidikan (Bernadib, 1996).
Mengingat tugas dan tanggung jawab guru yang begitu
penting,
sehingga
pemerintah
melindungi
hak
dan
kewajibanguru melalui Undang-undang Nomor 14 tahun
2005 tentang guru dan dosen.Melalui undang-undang ini
diharapkan kinerja guru dapat meningkat yang jugadiikuti
dengan meningkatnya kualitas pendidikan. Guru memegang
perananpenting
dan
strategis
terutama
dalam
upaya
membentuk
watak
kepribadian
dan
bangsa
nilai-nilai
melaluipengembangan
yang
diinginkan,
sehinggakedudukannya sulit untuk digantikan.Mencermati
peran guru yang begitu kompleks, maka salah satu upaya
yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas
sekolah adalah melalui peningkatan kinerja guru. Hal ini
sejalan
dengan
pendapat
Kusumastuti
(2001),
yang
menyatakan bahwa pengembangan mutu pendidikan dapat
ditempuh melalui pengembangan mutu para pendidiknya
dengan jalan peningkatan kinerja.
Sebagai pengajar atau pendidik, guru merupakan
salah satu faktor penentu keberhasilan setiap upaya
pendidikan.
Kinerja
melaksanakan
guru
pembelajaran,
dalam
merencanakan
merupakan
faktor
dan
utama
dalam pencapaian tujuan pengajaran (Musarofah, 2008).
Adanya peningkatan dalam mutu pendidikan tidak terlepas
dari peran guru sebagai unsur utama dalam keseluruhan
proses
pendidikan.
Guru
mempunyai
tugas
untuk
membimbing, mengarahkan, dan juga menjadi teladan yang
baik bagi para peserta didik. Jadi dengan setumpuk tugas
serta tanggung jawab yang diembannya guru, mampu
menunjukkan bahwa dia dapat menghasilkan kinerja yang
baik demi terciptanya pendidikan yang bermutu.
Kinerja sangat penting bagi sebuah organisasi di
sekolah dalam upaya mencapai tujuannya. Dalam konteks
pengembangan sumber daya manusia kinerja seorang guru
dalam sebuah organisasi sekolah sangat dibutuhkan untuk
6
mencapai kinerja yang baik bagi guru itu sendiri dan juga
untuk keberhasilan sekolah mencapai tujuannya. Guru
yang memiliki kinerja baik akan terlihat dari hasil yang
dicapai yakni berjalannya pendidikan yang bermutu dan
berkualitas.
Namun,
hal
ini
masih
jauh
dari
yang
diharapkan. Dalam harian Kompas (Kompas.com) pada
tanggal 7 Maret 2012 menyatakan bahwa secara umum,
kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia masih
belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari sisi kualifikasi
pendidikan, hingga saat ini, dari 2,92 juta guru, baru
sekitar 51 persen yang berpendidikan S-1 atau lebih,
sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1.Begitu pun
dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau
sekitar 70,5 persen guru yang memenuhi syarat sertifikasi.
Adapun 861.67 guru lainnya belum memenuhi syarat
sertifikasi, yakni sertifikat yang menunjukkan guru tersebut
profesional.
Pada
suatu
kesempatan,
Musarofah
(2008)
menyatakan bahwa kinerja individu dapat bersifat positif
maupun negatif, serta mendatangkan dampak yang berbeda
pada masing-masing sifat tersebut. Lebih lenjut dikatakan
bahwa jika individu memiliki kinerja positif, maka hal
utama yang akan diuntungkan adalah tercapainya tujuan
organisasi.
Selain
itu,
pekerjaan
yang
diberikan
terselesaikan dengan baik serta adanya kepuasan dari
dalam diri individu tersebut terhadap pekerjaannya sendiri.
Sementara itu, individu yang memiliki kinerja negatif
berdampak pada menurunkan citra perusahaan karena
tidak tercapainya tujuan organisasi.
Kinerja guru juga dapat dilihat dari persiapan materi
ketika
kegiatan
Penelitian
belajar
yang
mengajar
dilakukan
oleh
akan
berlangsung.
Musarofah
(2008)
menemukan bahwa dari delapan belas guru yang menjadi
subjek
penelitian,
sebelas
diantaranya
kurang
mempersiapkan materi pelajaran sebelum proses belajar
mengajar berlangsung. Dampak dari kurangnya persiapan
adalah materi yang diajarkan tidak mendalam, sehingga
peserta
didik
yang
mengikuti
proses
belajar
tidak
memperoleh makna dari materi yang disampaikan. Hal ini
bertolak belakang dengan kompetensi profesional yang
harus dimiliki oleh setiap guru, di mana kompetensi
profesional yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru
dalam perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran.
Guru mempunyai tugas untuk mengarahkan kegiatan
belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, untuk
itu guru dituntut mampu menyampaikan bahan pelajaran.
Guru harus selalu meng-update, dan menguasai materi
pelajaran yang disajikan. Persiapan diri tentang materi
diusahakan
dengan
jalan
mencari
informasi
melalui
berbagai sumber seperti membaca buku-buku terbaru,
mengakses dari internet, selalu mengikuti perkembangan
dan kemajuan terakhir tentang materi yang disajikan
(Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007). Dengan demikian,
SDM yang dihasilkan melalui proses belajar seperti ini
8
adalah individu-individu yang memiliki daya saing rendah
dalam masyarakat.
Selain
itu,
guru
memiliki
karakter
yang
dapat
diteladani juga merupakan salah satu ciri dari guru yang
berkinerja tinggi. Hal ini sejalan dengan Permendiknas
Nomor 12 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa salah satu
kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dengan kinerja
tinggi
adalah
kompetensi
kepribadian,
dimana
guru
bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan
kebudayaan nasional Indonesia. Hal ini bertolak belakang
dengan peristiwa yang terjadi di Provinsi Banten pada bulan
Oktober 2010 dimana seorang oknum guru dilaporkan ke
pihak yang berwajib karena kedapatan melakukan tindakan
asusila terhadap muridnya sendiri (www.metrotvnews.com,
2010). Tindakan asusila yang dilakukan tersebut bertolak
belakang dengan apa yang tertuang dalam Undang-undang
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban
memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi,
dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan
kepadanya. Dengan adanya tindakan-tindakan seperti ini,
menggambarkan bahwa kinerja guru saat ini mengalami
penurunan dan perlu mendapat perhatian dari berbagai
pihak.
Selain itu, kinerja guru juga diukur berdasarkan
tingkat kelulusan peserta didik dalam mengikuti ujian
nasional (UN). Musharofah (2008) dalam suatu kesempatan
menyatakan bahwa dari 14.200 peserta UN SMP tahun
2010 di Sragen, terdapat 500 siswa yang tidak lulus. Selain
itu, Mendiknas dalam suatu kesempatan (dikutip oleh
Republika.co.id pada tanggal 29 Juli 2011) menyatakan
bahwa pada tahun 2011 terdapat 561 sekolah yang angka
kelulusannya nol persen dengan jumlah siswa 9.283. Selain
itu, secara Nasional, ada 11.443 Siswa SMA / MA
dinyatakan tidak lulus UN pada tahun 2011 (Disdik
Lampung, 2011). Tingkat ketidak lulusan peserta didik yang
masih cukup tinggi membentuk paradigma masyarakat
bahwa kinerja guru di Indonesia saat ini masih sangat
rendah. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh
Widyastono (2010) bahwa ketidak berhasilan peserta didik
dalam mengikuti ujian merupakan gambaran nyata dari
menurunnya produktivitas guru.
Atas dasar berbagai fenomena tersebut, maka kinerja
guru merupakan masalah utama yang sedang dihadapi saat
ini.
Kinerja
guru perlu
ditingkatkan,
karena
hal
itu
merupakan tugas utama yang harus dikerjakan oleh pihakpihak yang terkait, termasuk didalamnya peningkatan
kinerja guru di Sekolah Menengah Atas (SMA) Kristen di
Salatiga. Sekolah Menengah Atas (SMA) Kristen di Salatiga
terdiri dari dua sekolah yakni SMA Kristen 1 yang beralamat
di Jl. Osamaliki No.32 Salatiga dan SMA Kristen 2 yang
beralamat di Jl. Argoluwih No. 15 Argomulyo Salatiga.
Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 22
Mei 2013 dengan kepala sekolah SMA Kristen 1 diperoleh
10
data bahwa ada beberapa guru sampai saat ini belum
merampungkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
yang berfungsi sangat besar dalam proses belajar mengajar.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa sesuai dengan Permendiknas
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses dijelaskan
bahwa RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan
belajar
peserta
didik
dalam
upaya
mencapai
kompetensi siswa. Setiap guru pada satuan pendidikan
berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis
agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup
bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan
bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik. Namun sayangnya, ada beberapa guru yang belum
memenuhi ketentuan dalam penyusunan RPP.
Hal senada
juga diungkapkan oleh kepala sekolah SMA Kristen 2 bahwa
perencanaan
pembelajaran
merupakan
bagian
penting
dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. RPP sebagai
panduan dalam mengajar, sehingga pada saat terjun di
kelas, guru semakin mantap dalam mengajar. Selain itu,
guru yang rajin membuat RPP berarti telah menjalankan
kegiatan administrasi guru dengan baik. Tetapi untuk
mencapai hal ini masih sangat sulit karena ada guru yang
belum mematuhi peraturan tersebut.
Penulis juga melakukan wawancara dengan pengurus
Osis (ketua Osis) dan menemukan data bahwa dalam proses
belajar mengajar berlangsung, ada beberapa guru yang
kurang
memiliki
kemampuan
untuk
mengelola
kelas
sehingga menjadi kelas yang interaktif. Situasi belajar yang
sering terjadi adalah komunikasi satu arah, yakni dari guru
ke murid. Sementara menurutnya, ketika proses belajar
mengajar berlangsung, hendaklah terjadi komunikasi dua
arah. Karena dengan adanya komunikasi dua arah, siswa
dapat mengemukakan pendapat atau pertanyaan tentang
materi yang kurang dipahami. Dengan demikian siswa
tertolong untuk memahami materi yang disampaikan oleh
guru.
Penguasaan
dan
penggunaan
fasilitas
belajar
merupakan salah satu faktor yang penting bagi guru dalam
menunjang
proses
belajar
mengajar.
Dari
data
yang
diperoleh, fasilitas belajar di SMA Kristen 1 sudah cukup
memadai, ditandai dengan adanya LCD di beberapa ruang
kelas. Para guru sudah mulai memanfaatkan fasilitas
tersebut,
tetapi
ada
beberapa
guru
yang
belum
memanfaatkan fasilitas belajar tersebut. Berdasarkan hasil
wawancara diketahui bahwa penguasaan teknologi dan
kurangnya waktu untuk mempersiapkan bahan ajar (powerpoint) merupakan faktor kendala bagi para guru dalam
memanfaatkan fasilitas yang ada.
Dengan adanya berbagai fenomena di atas, maka
penulis tergerak untuk melakukan penelitian sehubungan
dengan kinerja guru karena guru merupakan sosok penting
yang memiliki peran strategis dalam dunia pendidikan.
12
Peran dan fungsinya sebagai “ujung tombak” dalam proses
pendidikan menjadikan guru sebagai individu yang paling
bertanggungjawab
terhadap
peningkatan
kualitas
pendidikan. Jadi, jika guru menunjukkan kinerja yang
negatif, maka sudah pasti SDM yang dihasilkan melalui
proses belajar di sekolah adalah SDM yang kurang mampu
bersaing dalam dunia global. Oleh sebab itu, kinerja guru
perlu menjadi perhatian utama dalam dunia pendidikan
saat ini.
Kinerja
dipengaruhi
oleh
berbagai
faktor,
baik
eksternal maupun internal. Kartini (1985) menyatakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru
meliputi kecerdasan, etos kerja dan kecakapan, motif,
kesehatan,
kepribadian,
kepuasan
kerja,
lingkungan
keluarga, lingkungan kerja, komunikasi dengan kepala
sekolah, serta sarana prasarana sekolah.
Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang
sangat
penting
untuk
mendapatkan
hasil
kerja
yang
optimal. Ketika seorang merasakan kepuasan dalam bekerja
tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan
segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan
tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan
hasil kerja akan meningkat secara optimal. Hal ini sejalan
dengan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Mone
(2005),
Bowling (2007), Bolin (2007), Hernadi (2009), Demirtas
(2010),
dan
kepuasan
Pardosi
kerja
(2012)
memiliki
yang
menyatakan
pengaruh
positif
bahwa
signifikan
terhadap
kinerja.
Adanya
pengaruh
kepuasan
kerja
terhadap kinerja ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja
merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap tinggi rendahnya kinerja guru.
Dengan kata lain, jika individu puas dengan pekerjaannya
maka akan semakin tinggi kinerja yang ditampilkan.
Demikian pula sebaliknya, semakin rendah kepuasan kerja
individu, maka semakin rendah kinerja individu tersebut.
Tetapi hasil penelitian di atas bertolak belakang dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Utamie (2009) dan
Warsidi
(2004)
dimana
dalam
hasil
penelitiannya
menyatakan bahwa kepuasan kerja dan kinerja guru tidak
memiliki hubungan yang signifikan. Hasil penelitian yang
tidak signifikan ini terlihat dari adanya kepuasan kerja yang
rendah yang terlihat dari rendahnya kepuasan terhadap
pekerjaan itu sendiri. Hal ini disebabkan karena mata
pelajaran yang diberikan kepada guru untuk diajarkan di
kelas tidak sesuai dengan kompetensi akademik yang
dimiliki
oleh
guru
sehingga
menyebabkan
terjadinya
penurunan kinerja guru.
Etos kerja merupakan salah satu faktor yang juga
turut memengaruhi kinerja.Sinamo (2005) menerangkan
bahwa etos kerja mencakup konsep utama tentang kerja itu
sendiri yang mencakup idealisme yang mendasari, prinsipprinsip yang mengatur, nilai-nilai yang menggerakkan,
sikap-sikap yang dilahirkan, standar-standar yang hendak
dicapai termasuk karakter utama, pikiran dasar, kode etik,
14
kode moral, dan kode perilaku bagi para pemeluknya.
Dengan memiliki etos kerja yang tinggi, maka diharapkan
kinerja para guru juga semakin meningkat.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Pratikto
(2009)
terhadap
guru-guru
mata
pelajaran
ekonomi/akutansi SMA/MA/SMK di wilayah Malang raya,
dengan pendekatan metode mixed, menemukan bahwa etos
kerja berpengaruh terhadap kinerja profesional. Mone
(2005)
juga
melakukan
penelitian
dengan
hasil
yang
menyatakan bahwa bahwa adanya hubungan yang positif
signifikan antara etos kerja dengan kinerja guru. Evans
(1998) juga melakukan penelitian dengan hasil bahwa etos
kerja
mempengaruhi
kinerja
guru.
Fitnaini
(2009)
menyatakan dalam peneltiannya bahwa terdapat hubungan
yang positif signifikan antara etos kerja guru dengan
kinerja.
Pada kesempatan yang berbeda, Dammy (2011) juga
melakukan
penelitian
untuk
melihat
seberapa
besar
hubungan kepuasan kerja dan etos kerja dengan kinerja
guru SMA Methodist 1 Palembang. Dari hasil penelitian
ditemukan bahwa sebesar 22% kepuasan kerja dan etos
kerja memiliki hubungan dengan kinerja guru. Lebih lanjut
dijelaskan, hal ini berarti bahwa kinerja guru akan menjadi
baik apabila didukung oleh kepuasan kerja dan etos kerja
guru yang baik. Sebaliknya kinerja guru akan menjadi tidak
baik apabila kepuasan kerja dan etos kerja guru tidak baik.
Dengan demikian jika kinerja guru ingin ditingkatkan, maka
seyogyanya kepuasan kerja guru dan etos kerja guru harus
menjadi bagian yang diberi perhatian. Hasil penelitian ini
juga menunjukkan bahwa kepuasan dan etos kerja berguna
untuk menentukan tindakan apa yang harus dilakukan
ketika kinerja guru menurun, seberapa besar usaha dan
seberapa lama perlu dilakukan. Oleh karena itu guru
dengan
kinerja
tinggi
cenderung
akan
berusaha
menyelesaikan tugas yang memang harus dikerjakannya
dan
masalah-masalah
kerja
yang
ada
serta
mampu
mempertanggung jawabkan apa yang telah dikerjakan
secara terbuka dan jujur.
Sementara
itu,
Siregar
(2012)
juga
melakukan
penelitian hubungan etos kerja dan kepuasan kerja dengan
prestasi kerja guru SMA Negeri di kota Binjai. Hasil
penelitian menunjukan R = 0,310 pada taraf kepercayaan α
= 0,05. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi etos kerja dan
kepuasan kerja secara bersama-samamaka akan semakin
meningkatkan prestasi kerja guru SMA Negeri di Kota
Binjai.
Bertolak dari berbagai fenomena dan hasil penelitian
yang ada, maka penulis berasumsi bahwa kepuasan kerja
dan etos kerja merupakan dua faktor yang bersumber dari
internal individu yang jika dimaksimalkan maka akan
mewujudkan kinerja kerja yang maksimal dari seorang
guru. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kepuasan kerja
yang dirasakan oleh individu dibarengi dengan etos kerja
yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang maksimal. Hal
16
senada juga dialami oleh guru sebagai individu yang bekerja
meningkatkan
mutu
pendidikan.
Oleh
sebab
itu,
berdasarkan fenomena dan hasil-hasil penelitian yang ada,
peneliti tergerak untuk melakukan penelitian lebih lanjut
sehubungan dengan pengaruh kepuasan kerja dan etos
kerja terhadap kinerja guru di Sekolah Menengah Atas
(SMA) Kristen di Salatiga.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian, maka
masalah penelitian adalah apakah kepuasan kerja dan etos
kerja secara simultan memiliki pengaruh terhadap kinerja
guru di SMA Kristen Saltiga?
1.3
Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah penelitian, maka
tujuan
penelitian
pada
penelitian
ini
adalah
untuk
menentukan kepuasan kerja dan etos kerja secara simultan
sebagai prediktor terhadap kinerja guru di SMA Kristen
Salatiga.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Melalui
penelitian
ini,
manfaat
teoritis
yang
diharapkan adalah:
1. Penelitian
ini
diharapkan
memberikan
sumbangan
kepada dunia pendidikan khususnya sumbangan ilmiah
bagi
perkembangan
pengembangan
sumber
ilmu
daya
psikologi
manusia
mengenai
khusunya
di
bidang pendidikan.
2. Menguji
kembali
beberapa
teori
yang
berhubungan
dengan masalah kepuasan kerja, etos kerja, dan kinerja.
1.4.2. Manfaat Praktis
Melalui
penelitian
ini,
manfaat
praktis
yang
diharapkan adalah:
1. Memberikan kontribusi positif bagi lembaga-lembaga
pendidikan
dimanapun,
secara
khusus
lembaga
pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Salatiga.
2. Memberikan masukan dan evaluasi perbaikan kinerja
bagi para guru di SMA Kristen di Salatiga.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman
atau referensi untuk penelitian berikutnya yang sejenis.
18