Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kepuasan Kerja dan Etos Kerja terhadap Kinerja Guru SMA Kristen di Salatiga T2 832008006 BAB II
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori merupakan tolak ukur bagi peneliti
dalam melakukan suatu penelitian. Hal ini disebabkan
karena landasan teori merupakan pijakan bagi peneliti
dalam
membangun
konstruksi
teori
serta
menyusun
hipotesis penelitian. Oleh sebab itu dalam bab ini penulis
akan membahas beberapa pokok penting yang menjadi
landasan teoritis dari variabel penelitian yang diteliti.
2.1 Kinerja Guru
2.1.1 Definisi Kinerja Guru
Kinerja (Performance) berasal dari kata ”to perform”
yang mempunyai beberapa ”entries” berikut : 1.To do or carry
out execute berarti melakukan, menjalankan. 2.To discharge
berarti memenuhi kewajiban. 3.To portray as character in a
play berarti menggambarkan karakter dalam permainan.
4.To
execute
or
melaksanakan.
complete
an
undertaking
berarti
Bernadian& Russel (1993) menyatakan
bahwa kinerja sebagai catatan outcomes yang dihasilkan dari
suatu
aktivitas
tertentu,selama
kurun
waktu
tertentu.
Sementara itu, Hasibuan (1995) menyatakan kinerja adalah
suatu
hasil
kerja
yang
dicapai
seseorang
dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya
yang
didasarkan
atas
kecakapan,
pengalaman,
dan
kesungguhan serta waktu.
19
Dalam suatu kesempatan, King (1989, dalam Uno,
2001)
mengatakan
bahwa
kinerja
seorang
guru
dihubungkan dengan tugas-tugas rutin yang dikerjakannya.
Sebagai seorang guru tugas rutinnya adalah melaksanakan
proses belajar mengajar di sekolah. Sementara itu, Obilade
(1999), yang dikutip oleh Adeyemi (2010), menyatakan
bahwa kinerja guru adalah kewajiban-kewajiban yang
dilakukan oleh seorang guru pada suatu periode tertentu di
dalam sistem sekolah untuk mencapai tujuan organisasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja
guru adalah hasil kerja individu berupa kemampuan yang
dimiliki dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya guna
mencapai tujuan organisasi.
2.1.2 Penilaian Kinerja
Pada suatu kesempatan, Siagian (2000) menyatakan
bahwa penilaian prestasi kerja adalah suatu pendekatan
dalam melakukan penilaian prestasi kerja para pegawai
yang didalamnya terdapat berbagai faktor seperti : 1)
Penilaian dilakukan pada manusia sehingga di samping
memiliki kemampuan tertentu
juga tidak luput dari
berbagai kelemahan dan kekurangan; 2) Penilaian yang
dilakukan pada serangkaian tolok ukur tertentu yang
realistik, berkaitan langsung dengan tugas seseorang serta
kriteria yang ditetapkan danditerapkan secara obyektif.
Di lain kesempatan, Nawawi (2000) mengungkapkan
beberapa hal yang dijadikan ukuran kinerja yaitu : 1)
20
Tingkat
kemampuan
kerja
(kompetensi)
dalam
melaksanakan pekerjaan baik yang diperoleh dari hasil
pendidikan dan pelatihan maupun yang bersumber dari
pengalaman kerja. 2) Tingkat kemampuan eksekutif dalam
memberikan motivasi kerja, agar pekerja sebagai individu
bekerja dengan usaha maksimum, yang memungkinkan
tercapainya hasil sesuai apa yang diharapkan.
Sementara
itu Mejia dkk. (2004) mengungkapkan bahwa penilaian
kinerja merupakan suatu proses yang terdiri dari:
1. Identifikasi, yaitu menentukan faktor-faktor kinerja
yang
berpengaruh
terhadap
kesuksesan
suatu
organisasi dan hal ini dapat dilakukan dengan
mengacu pada hasil analisa jabatan.
2. Pengukuran, merupakan inti dari
proses sistem
penilaian kinerja. Pada proses ini, pihak manajemen
menentukan kinerja pegawai yang bagaimana yang
termasuk baik dan buruk. Manajemen dalam suatu
organisasi harus melakukan perbandingan dengan
nilai-nilai standar atau memperbandingkan kinerja
antar pegawai yang memiliki kesamaan tugas.
3. Manajemen, proses ini merupakan tindak lanjut dari
hasil penilaian kinerja. Pihak manajemen harus
berorientasi ke masa depan untuk meningkatkan
potensi pegawai di dalam organisasi.
Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
penilaian kinerja merupakan hal yang paling prinsip dalam
sebuah organisasi. Penilaian kinerja haruslah berdasarkan
21
standar yang telah ditentukan oleh lembaga atau organisasi
tempat individu tersebut bekerja.
2.1.3. Manfaat Penilaian Kinerja
Mullins (1994) menjelaskan beberapa manfaat dari
penilaian kinerja baik bagi individu maupun bagi organisasi,
antara lain :
a) Dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
individu.
b) Dapat
membantu
merumuskan
masalah-masalah
yang membatasi kemajuan dan menyebabkan tidak
efisiennya pekerjaan.
c) Dapat mengembangkan konsistensi tingkat tinggi
melalui umpan balik dalam kinerja dan pembahasan
mengenai potensi-potensi yang ada.
d) Dapat
menyediakan
informasi
mengenai
rencana
kekuatan sumber daya yang ada, sehingga dapat
membantu
suksesnya
menentukan
kesesuaian
perencanaan
promosidan
dalam
fakta-fakta
jabatan serta pelatihan.
e) Dapat memperbaiki komunikasi dengan memberikan
kesempatan kepada karyawan menyampaikan ide dan
harapan mereka serta bagaimana perkembangan dan
kemajuan mereka.
Sementara itu, Siagian(2000) menjelaskan bahwa
penilaian kinerja berperan sebagai umpan balik tentang
berbagai
22
hal
seperti
kemampuan,
kekurangan
dan
potensinya
yang
pada
gilirannya
bermanfaat
untuk
menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan
kariernya. Sementara itu, bagi organisasi, hasil penilaian
kinerja
sangat
pengambilan
penting
keputusan
dalam
tentang
kaitannya
berbagai
dengan
hal
seperti
identifikasi kebutuhan program pendidikan dan pelatihan,
seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem
balas
jasa,
serta
berbagai
aspek
lain
dalam
proses
manajemen sumber daya manusia.
Dengan demikian, penilaian kinerja memiliki manfaat
yang sangat besar dalam peningkatan kinerja individu. Jadi
dapat dikatakan bahwa dengan adanya penilaian kinerja,
maka kinerja karyawan dapat ditingkatkan guna mencapai
tujuan organisasi.
2.1.4 Aspek-Aspek Kinerja
Untuk
(2007),
pengukuran
menyediakan
dinamakan
(assessment)
panduan
kinerja,
penilaian
Seivers
kerja
yang
Teacher Performance Assessment Guide, dan
ada 6 indikator yang diukur, yaitu: (1) Perencaaan; (2)
Strategi mengajar; (3) Penilaian dan evaluasi; (4)Lingkungan
mengajar; (5) Pertumbuhan/perkembangan profesional; (6)
Komunikasi. Panduan ini dibangun oleh Tennessee State
Department of Education, Division of Teaching and Learning.
Indikator-indikator
ini
memperkenalkan
perilaku
dan
karakteristik-karakteristik yang diharapkan guru. Setiap
23
indikator secara langsung berhubungan dengan tiga level
kinerja, yaitu developing, proficient, dan advanced.
Dalam penelitian ini, kinerja guru diukur berdasarkan
tiga aspek yang ditetapkan oleh Depdiknas yang mengacu
pada standar kinerja guru melalui 12 kompetensi dasar
(Depdiknas, 2003; Depdiknas, 2008, dalam Gintoe, 2012).
Aspek-aspek yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a) Perencanaan
pembelajaran/pengajaran
(teaching
plans and materials). Perencanaan merupakan aspek
penting dalam setiap kegiatan, termasuk kegiatan
dalam
bidang
perencanaan
pendidikan.
yang
Tanpa
matang,
adanya
maka
suatu
pelaksanaan
pengajaran tidak akan memberikan hasil secara
efektif dan efisien. Penyusunan persiapan mengajar
bertujuan agar kegiatan belajar mengajar terlaksana
dengan lancar dan efektif sebagai umpan balik bagi
guru untuk mengukur hasil belajar mengajar dan
bahan supervisi bagi kepala sekolah. Perencanaan
pengajaran
dapat
menolong
pencapaian
suatu
sasaran secara lebih ekonomis, tepat waktu dan
memberi peluang untuk lebih mudah dikontrol dan
dimonitor
dalam
pelaksanaannya.
Perencanaan
pengajaran meliputi penentuan bahan pembelajaran
dan
merumuskan
tujuan,
perencanaan
pengorganisasian materi, media dan sumber belajar,
perencanaan
24
skenario
pembelajaran,
merancang
pengelolaan kelas, perencanaan penilaian hasil belajar
siswa.
b) Prosedur/pelaksanaan
procedure).
pembelajaran
Pelaksanaan
(classroom
pembelajaran
berkaitan
dengan kemampuan guru mengajar di kelas, yang
merupakan implementasi dari rencana pembelajaran.
Kegiatan
terpenting
dalam
proses
pembelajaran
adalah menciptakan kondisi dan situasi dengan
sebaik-baiknya.
Dengan
demikian
memungkinkan
para siswa belajar secara berdaya guna. Selain itu
kondisi
dan
situasi
tersebut
perlu
diciptakan
sedemikian rupa, sehingga proses komunikasi baik
dua arah maupun multi arah antara guru dengan
siswa dalam proses pembelajaran dapat berjalan
secara
demokratis.
Prosedur
pembelajaran
ini
meliputi pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas,
mengelola
interaksi
kelas,
mendemonstrasikan
penguasaan mata pelajaran, mengorganisasikan atau
mengelola
waktu,
ruang,
fasilitas
belajar,
dan
melaksanankan evaluasi hasil belajar.
c) Hubungan antar pribadi (interpersonal skill). Ditinjau
dari prosesnya, kegiatan belajar-mengajar merupakan
proses komunikasi antara guru dengan siswa. Guru
sebagai
aktor
utama
dalam
proses
komunikasi
berfungsi sebagai komunikator. Komunikasi yang
dibina
oleh
guru
akan
tercermin
dalam
25
mengembangkan sikap positif siswa, bersikap luwes
dan terbuka pada siswa.
Adapun aspek yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu
pada
aspek
yang
sudah
ditetapkan
oleh
Depdiknas, yang didasarkan pada standar kinerja guru
melalui kompetensi-kompetensi dasar yang harus dimiliki
oleh seorang guru. Aspek-aspek ini ditemukan dalam Alat
Penilaian
Kemampuan
Guru
(APKG)
yang
merupakan
instrumen standar yang dikhususkan untuk mengukur
kinerja guru (Depdiknas, 2003; Depdiknas, 2008, dalam
Gintoe, 2012). Hasil pengukuran terhadap ketiga aspek
tersebut menggambarkan jumlah dan mutu proses dan
hasil kerja yang dicapai guru dalam mengajar selama
periode waktu tertentu.
2.1.5 Faktor-Faktor Pengaruh Kinerja
Robbins (2001) mengemukakan faktor-faktor yang
dapat menentukan tingkat kinerja individu yaitu :
1. Motivasi, yaitu kesediaan untuk mengeluarkan
tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi
yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu
untuk memenuhi beberapa kebutuhan individual.
2. Komitmen, yaitu suatu keadaan di mana seorang
pegawai memihak terhadap organisasi tertentu
serta
tujuan-tujuan
dan
keinginannya
untuk
bekerja dan memepertahankan keanggotaannya
dalam organisasi tersebut.
26
3. Kompetensi,
sebagai
ability,
yaitu
kapasitas
seseorang individu untuk mengerjakan berbagai
tugas
dalam
suatu
pekerjaan.
Selanjutnya
dikatakan bahwa kemampuan individu dibentuk
oleh
dua
faktor,
yaitu
faktor
kemampuan
intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan
intelektual adalah kemampuan yang diperlukan
untuk melakukan kegiatan mental sedangkan
kemampuan
fisik
adalah
kemampuan
yang
diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang
menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan
keterampilan.
4. Produktivitas, suatu ukuran kinerja termasuk
didalamnya efisiensi dan efektivitas, dan hal ini
berkaitan
dengan
kerja
individu
maupun
kelompok, di mana ada suatu dorongan untuk
berusaha mengembangkan diri dan meningkatkan
kemampuan kerja.
5. Kemangkiran atau ketidakhadiran di kantor tanpa
izin.
6. Kepuasan kerja, yaitu perasaan positif tentang
pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari
evaluasi karakteristiknya.
Selanjutnya Gie (1999) menyatakan bahwa kinerja
sangat ditentukan oleh motivasi kerja, kemampuan kerja,
perlengkapan
dan
fasilitas,
lingkungan
eksternal,
27
kepemimpinan, misi strategi, budaya perusahaan, etos
kerja, praktik managemen, struktur, dan iklim kerja.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, dapat disimpulkan
bahwa kinerja individu dipengaruhi oleh berbagai faktor
baik itu faktor eksternal maupun faktor internal. Dalam
penelitian ini yang menjadi perhatian penulis yakni faktor
internal, kepuasan kerja dan etos kerja.
2.2 Kepuasan Kerja Guru
2.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Istilah “kepuasan kerja” dikemukakan oleh Hoppock
(1935, dalam Tsai dkk, 2010) yang menyatakan bahwa
kepuasan kerja berarti sikap dan emosi karyawan terhadap
pekerjaan mereka, dan reaksi subjektif mereka terhadap
pekerjaan-pekerjaan mereka.
Wijono (2012, hal. 119)
menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah hasil dari
persepsi individu dalam rangka menyelesaikan tugas atau
memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh nilai-nilai
kerja yang penting bagi dirinya.
Secara sederhana kepuasan kerja dapat didefinisikan
sebagai perasaan suka dan tidak suka individu terhadap
pekerjaan yang sedang dijalaninya. Pejelasan tersebut
dipertegas dalam pendapat berikut ini: Job satisfaction is the
extent to which people like their jobs, job dissatisfaction is
the extent to which they dislike them” (Spector, 2008, hal.
223)
28
Ketidakpuasan
kerja
akan
berdampak
kepada
pergantian pegawai (turnover), kemangkiran dan pencurian.
Kepuasan
kerja
yang
lebih
tinggi
berkaitan
dengan
rendahnya tingkat pergantian pegawai, yaitu pegawai yang
meninggalkan organisasi. Para pegawai yang lebih puas
kemungkinan besar lebih lama bertahan dengan majikan
mereka. Para pegawai kurang puas biasanya menunjukan
pergantian yang lebih tinggi, mereka cenderung mencari
sesuatu yang lebih hijau di tempat lain dan meningglkan
majikan mereka meskipun rekan kerja yang lebih puasan
tetap tinggal di situ. Pegawai yang tidak puas tidak harus
merencanakan untuk mangkir, tetapi mereka lebih mudah
bereaksi untuk melakukan itu. Semua kemangkiran yang
tidak sahih itu dapat dikurangi dengan menyediakan
berbagai insentif yang mendorong pegawai masuk kerja
(Davis & Newstrom, 2000).
Berdasarkan
pemahaman
di
atas,
maka
dapat
disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu respon
emosionil/perasaan seorang pekerja terhadap suatu situasi
kerja atau pekerjaannya.
1.2.2 TeoriKepuasan Kerja
Berbicara mengenai kepuasan kerja, ada berbagai
teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Berikut ini
adalah penjelasan beberapa teori sehubungan dengan
kepuasan kerja:
29
Herzberg
et,
al.
(1957)
(dalam
Wijono,
2012)
menggolongkan kebutuhan-kebutuhan dalam dua faktor,
yaitu
faktor
motivator
dan
kesehatan.
Kebutuhan-
kebutuhan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Motivator
a) Pekerjaan itu sendiri
b) Prestasi
c) Kemungkinan pertumbuhan
d) Tanggung jawab
e) Kemajuan
f) Pengakuan
g) Status
2. Hygiene
a) Hubungan dengan penyelia
b) Hubungan antar kolega
c) Hubungan dengan bawahan
d) Kualitas penyelia
e) Kebijakan perusahaan dan administrasi
f) Keamanan kerja
g) Kondisi-kondisi kerja
h) Gaji
Dalam konteks pekerjaan, menurut Herzberg et.al
(1957) (dalam Wijono, 2012), faktor motivatorlah yang akan
memberi kepuasan kerja sekiranya kebutuhan-kebutuhan
dalam faktor tersebut dipenuhi. Jika tidak dipenuhi tidaklah
juga
menyebabkan
individu
mengalami
ketidakpuasan
kerja, tetapi hanya pada tingkat yang netral. Sebaliknya,
30
jika kebutuhan-kebutuhan di dalam faktor kesehatan tidak
dipenuhi
akan
membuat
individu
tersebut
mengalami
ketidakpuasan kerja. Selanjutnya, walaupun kebutuhankebutuhan dalam faktor kesehatan tersebut dipenuhi tidak
memberikan individu mengalami kepuasan kerja tetapi
hanya pada tingkat netral.
Dalam suatu kesempatan, Locke (1994, dalam Wutun,
2001),
teori
kepuasan
ketidaksesuaian
atau
mengungkapkan
ketidakpuasan
dari
bahwa
beberapa
aspek
pekerjaan menggunakan dasar pertimbangan dua nilai
(values), yaitu: 1). Kesesuaian yang dipersepsikan antara
apa yang diinginkan individu dengan apa yang dia terima
dalam kenyataannya dan (2). Apa pentingnya pekerjaan
yang diinginkan oleh individu tersebut. Kepuasan kerja
secara keseluruhan bagi individu adalah jumlah dari
kepuasan kerja dari setiap aspek pekerjaan dikalikan
dengan
derajat
pentingnya
aspek
pekerjaan
individu.
Contohnya: seorang supervisor mempunyai keinginan lebih
mengutamakan aspek kenaikan jabatan daripada kenaikan
gaji, maka supervisor tersebut akan memberi rangking yang
lebih tinggi pada aspek kenaikan jabatan dibanding dengan
kenaikan gaji (dalam Wijono, 2012).
Teori berikut adalah teori keadilan (equity theory).
Prinsip teori keadilan yang dikembangkan oleh Adams
(1972, dalam Wijono, 2012) ini adalah bahwa seseorang
akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah orang
tersebut merasakan adanya keadilan atau tidak atas suatu
31
situasi. Pearson (1994, dalam Akustia, 2001) menyatakan
bahwa kepuasan ada bila individu merasa adanya keadilan
dalam pekerjaannya yaitu persepsi keadilan tercapai bila
perbandingan
antara
input-outcome
seorang
individu
sepadan dengan individu lainnya. Input adalah suatu nilai
yang menyongkong suatu pekerjaan atau jabatan seperti
pendidikan,
pengalaman,
ketrampilan,
masa
kerja,
persediaan atau perlengkapan kerja. Outcome adalah suatu
nilai yang didapat dari suatu pekerjaan atau jabatannya,
seperti
upah,
keuntungan,
status,
penghargaan
dan
kesempatan untuk berprestasi dan ekspresi diri.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Lawer (1986, dalam
Wutun,
2001)
tentang
teori
model
aspek
kepuasam
(satisfaction facet model). Teori ini berkaitan erat dengan
teori keadilan (equity theory). Individu dipuaskan dengan
suatu aspek khusus dari pekerjaan mereka (rekan kerja,
atasan, upah, dan lain-lain) jika jumlah aspek yang mereka
alami itu adalah yang seharusnya mereka peroleh karena
telah melaksanakan pekerjaanya sama dengan jumlah yang
benar-benar mereka peroleh. Akan tetapi jika orang tersebut
menerima dari jumlah yang lebih besar daripada yang
pantas
diperoleh,
mereka
pantas
merasa
salah,
dan
sebaliknya kalau orang tersebut menerima kurang dari yang
pantas mereka peroleh, maka mereka merasa tidak puas.
Implikasi teori ini bahwa seorang akan menyesuaikan
kontribusinya
sesuai
dengan
kepuasan yang diperolehnya.
32
tingkat
keadilan
atau
Berdasarkan ketiga teori yang dikemukakan di atas,
maka dalam penelitian ini, penulis memilih menggunakan
teori
dua
faktor
yang
dikemukakan
oleh
Herzberg.
Penggunaan teori kepuasan kerja tersebut disesuaikan
dengan tujuan pemakaian penelitian ini yakni untuk
menjelaskan kepuasan kerja guru dengan alasan melihat
kepuasan kerja dari dua faktor utama yang merupakan
kebutuhan. Pada prinsinya teori ini menjelaskan bahwa
kepuasan bekerja itu selalu dihubungkan dengan isi jenis
pekerjaan (job content) dan ketidak puasan bekerja selalu
disebabkan karena hubungan pekerjaan tersebut dengan
aspek-aspek di sekitar yang berhubungan dengan pekerjaan
(job context).
2.2.3 Aspek-Aspek Kepuasan Kerja
Ruvendi
kepuasan
atau
(2005)
mengemukakan
ketidakpuasan
kerja
indikator
pegawai
dapat
diperlihatkan oleh beberapa aspek diantaranya:
a) Jumlah
kehadiran
pegawai
atau
jumlah
kemangkiran.
b) Perasaan
senang
atau
tidak
senang
dalam
melaksanakan pekerjaan.
c) Perasaan adil atau tidak adil dalam menerima
imbalan.
d) Suka atau tidak suka dengan jabatan yang
dipegangnya.
33
e) Sikap menolak pekerjaan atau menerima dengan
penuh tanggung jawab.
f)
Tingkat motivasi para pegawai yang tercermin
dalam perilaku pekerjaan.
g) Reaksi positif atau negatif terhadap kebijakan
organisasi.
h) Unjuk rasa atau perilaku deskruptif lainnya.
Selanjutnya,
Cellucci
dan
DeVries
(1978)
mengembangkan pengukuran kepuasan kerja yang di sebut
Job Satisfaction Questionnaire (JSQ) dan telah di gunakan
dalam berbagai studi untuk para peneliti terutama untuk
organisasi publik dengan menggunakan lima aspek yang
dikemukakan oleh Deshpande (1996), yakni kepuasan
terhadap
gaji,
kepuasan
terhadap
promosi,
kepuasan
terhadap rekan kerja, kepuasan terhadap penyelia/atasan
dan kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri. Berikut ini
penjelasan dari kelima aspek sebagai berikut:
a. Kepuasan
terhadap
gaji
(satisfaction
with
pay)
merupakan hal yang berhubungan dengan gaji yang
diberikan lembaga dibandingkan dengan lembaga yang
lain, mempertimbangkan gaji dengan tanggung jawab
dan tunjangan-tunjangan yang memuaskan di tempat
kerja.
b. Kepuasan terhadap promosi(satisfaction with promotions)
merupakan hal yang
berhubungan dasar atau sistem
promosi di tempat kerja dan tingkat kemajuan karir
pegawai yang bekerja dalam suatu lembaga.
34
c. Kepuasan terhadap rekan kerja (satisfaction with coworkers) merupakan hal yang berhubungan dengan
dukungan rekan kerja dan kerja sama dari rekan kerja.
d. Kepuasan terhadap supervisi/pengawasan (satisfaction
with supervisors) merupakan hal yang berhubungan
dengan dukungan dari atasan, atasan yang memiliki
kompeten
di
bidangnya,
sikap
tidak
mendengar
pendapat dan perlakuan yang tidak adil oleh atasan.
e. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri (satisfaction
with work itself) merupakan hal yang berhubungan
dengan
perasaan
pegawai
yang
tertarik
dengan
pekerjaan, rasa senang dengan jumlah beban pekerjaan
dan kurang prestasi pegawai dalam mengerjakan tugas.
Berdasarkan aspek-aspek kepuasan kerja di atas,
peneliti menggunakan aspek kepuasan kerja yang disebut
Job Satisfaction Questionnaire (JSQ). Peneliti menggunakan
aspek-aspek ini karena di dalam kelima aspek tersebut
terkandung
teori
dua
faktor
yang
dikemukakan
oleh
Herzberg et.al (1957, dalam Wijono, 2012).
2.3. Etos Kerja Guru
2.3.1 Pengertian Etos Kerja
Menurut
Cherrington
(2007),
etos
kerja
sering
diartikan secara sempit sebagai sikap mengenai kerja. Hal
itu berarti etos kerja adalah sikap dasar dan penilaian
seseorang tentang kedudukan kerja. Dalam arti sempit, etos
kerja merupakan sikap yang positif terhadap pekerjaan atau
35
adanya orientasi nilai yang memberi semangat pada diri
seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan
baik. Apabila seseorang bekerja sebagai sesuatu yang luhur
untuk eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan tinggi.
Sebaliknya jika orang memandang kerja merupakan sesuatu
yang tidak berarti maka etos kerjanya rendah. Lebih lanjut
Cherrington
(2007)
menjelaskan
bahwa
etos
kerja
mencerminkan salah satu perangkat nilai yang ada pada
manusia, dengan demikian etos kerja dapat diartikan pula
sebagai akibat dari penghayatan norma-norma atau nilai
nilai yang ada dalam masyarakat.
Etos kerja yang tinggi dimanisfestasikan dalam kerja
keras
dan
hidup
sederhana
serta
hemat.
Dalam
hubunganya dengan itu, Buchori (1994) mengemukakan
bahwa etos kerja adalah sikap terhadap kerja, pandangan
terhadap kerja, kebiasaan kerja, ciri-ciri atau sifat mengenai
cara bekerja, yang dimiliki oleh seseorang atau suatu
golongan atau bangsa. Sementara Koentjaraninggrat (1997)
memberi pengertian etos kerja, sebagai watak yang tampak
dari luar, dalam pengertian watak tersebut terlihat oleh
orang lain. Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami
bahwa etos terpusat pada sikap dasar manusia.
Miller (2002, dalam Mariac et,al.,2009) mendefinisikan
etos kerja sebagai seperangkat kepercayaan dan sikap yang
merefleksikan nilai pokok kerja. Lebih lanjut Miler (2002)
dalam Meriac et,al., 2009) berpendapat bahwa etos kerja
bukanlah suatu kesatuan konsep yang tunggal, melainkan
36
suatu kumpulan sikap dan kepercayaan mengenai perilaku
kerja. Etos kerja dapat dikemukan ke dalam enam hal, yaitu
a). Multidimensional; b). Berkaitan dengan kerja dan
dihubungkan dengan aktivitas kerja secara umum, tidak
spesifik
kepada
pekerjaan
khusus
(namun
boleh
menyamaratakan ke dalam wilayah pekerjaan lain, seperti
sekolah dan hobi, dan lain-lain); c). Dipelajari; d). Menunjuk
kepada
sikap
dan
kepercayaan/keyakinan
(tidak
selalu/harus perilaku); e). Suatu konsep motivasional yang
direfleksikan
di
dalam
perilaku;
selalu/harus
dihubungkan
dengan
f).
Sekuler,
suatu
tidak
kepercayaan
agama.
Selanjutnya
Petty
(1995)
menyatakan
etos
kerja
sebagai karakteristik yang harus dimiliki pekerja untuk
dapat menghasilkan pekerjaan yang maksimal yang terdiri
dari keahlian interpersonal, inisiatif, dan dapat diandalkan.
1). Keahlian interpersonal, menjelaskan tentang hubungan
kerja dengan orang lain. Aspek ini termasuk karakteristik
pribadi yang memfasilitasi hubungan interpersonal yang
baik dan memberikan kontribusi yang positif terhadap
kinerja dalam konteks kerjasama; 2). Inisiatif, menunjukkan
karakteristik-karakteristik yang mana memfasilitasi “moving
up the ladder” terhadap suatu pekerjaan dan memberi kesan
ketidakpuasan dengan kinerja yang dalam keadaan tetap;
dan 3). Dapat diandalkan, menjelaskan mengenai kualitas
yang
menyinggung
pemenuhan
harapan-harapan
bagi
37
kepuasan kinerja dan persetujuan penuh yang melekat di
dalam suatu tugas kerja.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa etos kerja adalah seperangkat kepercayaan dan sikap
yang
merefleksikan
nilai
pokok
kerja,
yang
dapat
diidentifikasikan melalui sentralitas kerja, kepercayaan diri,
kerja keras, waktu senggang, moralitas/etika, penundaan
kegembiraan/kepuasan, dan waktu yang disia-siakan.
2.3.2 Dimensi-dimensi Etos Kerja Guru
Miller et.al., (2001,dalam Dami2011) menyatakan
bahwa etos kerja guru dapat dibagi ke dalam tujuh dimensi,
yang meliputi: 1). sentralitas kerja; 2). kepercayaan diri; 3).
kerja
keras;
4)
pemanfaatan
waktu
senggang;
5)
moralitas/etika; 6) penundaan kegembiraan/kepuasan; dan
7) pemanfaatan waktu. Berikut ini adalah penjelasan
ketujuh dimensi tersebut:
1. Sentralitas kerja. Kepusatan kerja menunjuk kepada
pentingnya
seseorang
menempatkan
kesempatannya
untuk bekerja. Sentralitas kerja melebihi kebutuhan dan
keinginan
suatu
terhadap
kerangka
kompensasi
utama
yang
dan
menunjukkan
berkaitan
dengan
indentifikasi diri seseorang sebagai seorang pendidik.
Seorang guru dituntut untuk fokus pada profesinya
demi kemajuan dan perkembangan pendidikan. Bahkan
guru harus menyadari bahwa profesi yang sedang ia
jalankan adalah profesi yang baik dan mulia. Di mana
38
guru berusaha untuk menyelesaikan setiap tugas dan
tanggung jawab yang diemban, tidak hanya puas dengan
kuantitas pekerjaan yang sedikit, akan tetapi melihat
kepada kualitas kerja. Sentralitas kerja juga nampak,
ketika guru mampu dan fokus di dalam pengembangan
buku ajar, membuat karya ilmiah, ataupun menciptakan
model pembelajaran yang efektif dengan malakukan
penelitian tindakan kelas.
2. Kepercayaan diri. Orang yang percaya diri yakin atas
kemampuan mereka sendiri serta memiliki pengharapan
yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak
terwujud, mereka tetap berpikiran positif dan dapat
menerimanya.
Percaya
diri
juga
dikaitkan
dengan
penetapan karir seseorang (Miller, 2002). Guru yang
percaya diri sebagaimana mereka menunjukkan suatu
kecenderungan yang kuat akan ekspresi diri dan suatu
keinginan
untuk
memiliki
tanggung
jawab,
untuk
membuat suatu keputusan yang berpengaruh, dan
untuk berfungsi secara otonom atau tidak bergantung
pada orang lain.
3. Kerja keras. Kerja keras yang dimaksudkan di sini ialah
keyakinan bahwa seseorang dapat menjadi pribadi yang
lebih baik dan mencapai tujuan-tujuannya melalui
suatu
komitmen
terhadap
nilai
dan
pentingnya
pekerjaan. Seseorang berkomitmen untuk bekerja keras
dapat
mengatasi
hampir
setiap
rintangan,
dapat
39
mencapai tujuan-tujuan pribadi, dan menjadi pribadi
yang lebih baik.
4. Pemanfaatan waktu senggang. Waktu senggang itu
adalah bukan waktu kerja. Mengerti hubungan workleisure memerlukan suatu perbedaan yang jelas antara
potesial waktu senggang, aktivitas waktu senggang dan
orientasi waktu senggang (Shamir & Ruskin, 1983,
dalam Dami, 2011). Potensial waktu senggang adalah
fleksibilitas
melakukan
apa
yang
seseorang
ingin
lakukan ketika ia ingin melakukan itu (Parker, 1981,
dalam Dami, 2011).
Aktivitas waktu senggang adalah
partisipasi di dalam aktivitas-aktivitas yang bukan kerja,
dan orientasi waktu kerja adalah keinginan untuk
berpartisipasi di dalam aktivitas-aktivitas bukan kerja.
Dalam konteks penelitian ini, referensi waktu senggang
yang dimaksudkan menunjuk pada orientasi waktu
kerja, atau dengan kata lain pentingnya individuindividu
menempatkan
aktivitas-aktivitas
bukan
kerja/waktu senggang.
5. Moralitas. Secara sederhana hal ini dapat menunjuk
pada
pokok-pokok
seputar
karakter,
kebiasaan-
kebiasaan dan persoalan-persoalan tentang perilaku.
Biasanya
moralitas
digunakan
untuk
menjelaskan
bagaimana orang bertindak, sementara etika digunakan
untuk
menetapkan
studi
tentang
standar-standar
perilaku, secara khusus peraturan-peraturan benar dan
salah. Dengan lebih sering, istilah etika dan moralitas
40
digunakan secara bergantian sebagai suatu cara/jalan
yang menunjuk kepada persoalan-persoalan yang mana
orang bertindak atau yang diharapkan untuk bertindak.
Di dalam studi ini etos kerja, “moralitas dan etika”
dikombinasikan untuk menjelaskan kepercayaan pada
suatu keadilan dan keberadaan moral (Miller, 2002).
6. Penundaan
kegembiraan/kepuasan.
kegembiraan/kepuasan
untuk
melupakan
Penundaan
merefleksikan
rewards
kemampuan
jangka
pendek
agar
mendapat beberapa keuntungan di masa yang akan
datang.
Atau
dengan
kegembiraan/kepuasan
kata
adalah
lain
penundaan
suatu
kemampuan
individu untuk mempertahankan suatu bagian tindakan
yang dipilih untuk pencapaian tujuan jangka panjang
walaupun
ada
alternatif-alternatif
cobaan
yang
menawarkan kepuasan jangkan pendek.
7. Waktu yang dibuang-buang/disia-siakan. Waktu yang
disia-siakan dalam konteks ini menunjuk kepada suatu
rangkaian kesatuan dengan satu sisi merepresentasikan
komitmen yang tinggi untuk mengelola waktu agar
memaksimalkan
produktivitas
dan
sisi
yang
lain
menggolongkan komitmen yang rendah untuk mengelola
waktu. Penggunaan waktu yang efisien dan konstruktif
adalah konsisten dengan etos kerja yang kuat dan itu
telah lama dipahami bahwa peningkatan kinerja secara
tidak dapat ditawar-tawar dikaitkan dengan penggunaan
waktu yang efisien. Penundaan dan pengelolaan waktu
41
yang rendah/jelek telah didentifikasi sebagai suatu
halangan untuk produktivitas.
Etos
kerja
diukur
dengan
menggunakan
Multidimensional Work Ethic Profile (MWEP).
dimensi
yang
dimaksudkan
ialah
The
Ketujuh
kepusatan
kerja,
kegembiraan/kepuasan yang tertunda, kerja keras, waktu
senggang,
moralitas/etika,
kepercayaan
diri,
dan
pemborosan waktu(Miller et,al., 2001, dalam Dami, 2011).
2.4 HASIL-HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA
Dalam suatu kesempatan, Linz (2002, dalam Ahmad
et.al.2010) mengemukakan bahwa individu yang sangat
bahagia adalah individu yang memiliki tingkat kepuasan
kerja yang tinggi, kepuasan kerja yang bertambah akan
mempertinggi kinerja individu tersebut. Pernyataan Linz
(2002) ini didukung oleh penelitian oleh Iswati (2007) yang
menemukan bahwa hasil uji statistik dengan korelasi
peringkat Spearman didapatkan ada hubungan antara
kepuasan
kerja
eksternal
dengan
kinerja
guru
UKS
(p=0,005) dengan nilai rs=0,508 dan ada hubungan antara
kepuasan kerja umum dengan kinerja guru UKS (p=0,046)
dengan nilai rs=0,374. Penelitian dari Demirtas (2010)
mengenai
tingkat
kepuasan
kerja
guru
di
Turki,
menyatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan di dalam
pekerjaan
guru
dan
pemimpin
mempengaruhi
kinerja
mereka. Tingkat kepuasan kerja guru yang sangat tinggi
secara
42
positif
akan
mempengaruhi
tujuan-tujuan
pendidikan
di
masa
yang
akan
datang.
Dan
sangat
diharapkan bahwa suatu sekolah yang memiliki guru-guru
dengan
tingkat
kepuasan
kerja
yang
tinggi
akan
memberikan pendidikan yang berkualitas dan membawa
murid-muridnya memperoleh keberhasilan.
Sementara itu, Syaiin (2008) dalam penelitiannya juga
menemukan bahwa ada pengaruh kepuasan kerja individu
terhadap kinerjanya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
individu akan merasa puas terhadap pekerjaannya jika
berhasil melaksanakan tugas-tugas yang diberikan tepat
waktu serta sesuai harapan pimpinan dan mendapat
apresiasi dari pimpinan. Hal ini secara langsung akan
memberikan kontribusi terhadap peningkatakan kinerja.
Sementara itu, Al-Ahmadi (2009) melakukan studi terhadap
923 perawat pada rumah sakit di Riyadh dan kepuasan
kerja karyawan ditemukan berpengaruh positif terhadap
kinerja. Dalam penelitian ini kepuasan kerja diukur secara
keseluruhan. Segi kepuasan meliputi kepuasan dengan
pekerjaan itu sendiri, supervisi, hubungan dalam kerja,
pembayaran, kesempatan promosi, dan kondisi kerja.
Soegihartono (2012) juga melakukan penelitian dan
menemukan bahwa ada pengaruh positif kepuasan kerja
terhadap kinerja karyawan. Menurutnya, kepuasan kerja
mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja. Untuk
meningkatkan kinerja karyawan, perusahaan tidak lupa
memberikan faktor kepuasan kerja karyawannya. Dalam
penelitian ini karyawan tidak puas dengan: Tidak semua
43
bawahan mendapatkesempatan, atau diberi kesempatan
oleh
Pimpinan
untuk
bisa
menjadi
pemimpin
dalam
komunitasnya/teamnya; Tidak semua bawahan memiliki
kemampuan dalam pengambilankeputusan, karena adanya
kekhawatiran
berdampak
akan
pada
adanya
kinerjanya.
suatu
Ada
kesalahan
yang
kebijaksanaan
dari
perusahaan yang tidak diterapkan dalam praktiknya yang
dirasakan oleh sebagian bawahan, sehingga berdampak
terhadap
menurunnya
kinerja.
Menurunnya
kinerja
bawahan dapat dilihat dari tingkat absensi yaitu yang
berskala sedang sampai yang berskala berat yaitu dari
tingkat turn over karyawan.
Beberapa peneliti tidak menemukan hubungan antara
kepuasan kerja dan kinerja karyawan. Crossman & Zaki
(2003) mengadakan penelitian dan menyatakan tidak ada
hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan
kinerja karyawan. Packard & Motowidlo (1987 dalam AlAhmadi, 2009) mempelajari hubungan stres subjektif,
kepuasan kerja, dan kinerja karyawan di antara perawat
rumah sakit, dan mendapatkan hasil bahwa kepuasan kerja
tidak berhubungan dengan kinerja karyawan.
Etos kerja merupakan dasar untuk meningkatkan
kemampuan bekerja seseorang dalam bekerja. Sebagaimana
pendapat Atmodiwiryo (2000) bahwa etos kerja merupakan
landasan
seseorang.
untuk
meningkatkan
Berdasarkan
pendapat
prestasi
ini,
kerja/kinerja
penelitian
dari
Fitnaini (2009) menyatakan ada hubungan yang positif, erat
44
dan signifikan antara etos kerja guru dengan kinerja guru
dalam pembelajaran yang ditunjukan koefisien korelasi
sebesar rx1y = 0,612., serta penelitian Tjuana (2008), yang
menemukan bahwa antara etos kerja dengan kinerja guru
memiliki pengaruh positif dan signifikan.
2.5 HIPOTESIS
Berdasarkan fenomena dan hasil-hasil penelitian yang
ada, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah kepuasan
kerja dan etos kerja secara simultan sebagai prediktor
terhadap kinerja guru.
2.6 MODEL PENELITIAN
Model dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
KEPUASAN
KERJA
KINERJA
ETOS
KERJA
45
LANDASAN TEORI
Landasan teori merupakan tolak ukur bagi peneliti
dalam melakukan suatu penelitian. Hal ini disebabkan
karena landasan teori merupakan pijakan bagi peneliti
dalam
membangun
konstruksi
teori
serta
menyusun
hipotesis penelitian. Oleh sebab itu dalam bab ini penulis
akan membahas beberapa pokok penting yang menjadi
landasan teoritis dari variabel penelitian yang diteliti.
2.1 Kinerja Guru
2.1.1 Definisi Kinerja Guru
Kinerja (Performance) berasal dari kata ”to perform”
yang mempunyai beberapa ”entries” berikut : 1.To do or carry
out execute berarti melakukan, menjalankan. 2.To discharge
berarti memenuhi kewajiban. 3.To portray as character in a
play berarti menggambarkan karakter dalam permainan.
4.To
execute
or
melaksanakan.
complete
an
undertaking
berarti
Bernadian& Russel (1993) menyatakan
bahwa kinerja sebagai catatan outcomes yang dihasilkan dari
suatu
aktivitas
tertentu,selama
kurun
waktu
tertentu.
Sementara itu, Hasibuan (1995) menyatakan kinerja adalah
suatu
hasil
kerja
yang
dicapai
seseorang
dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya
yang
didasarkan
atas
kecakapan,
pengalaman,
dan
kesungguhan serta waktu.
19
Dalam suatu kesempatan, King (1989, dalam Uno,
2001)
mengatakan
bahwa
kinerja
seorang
guru
dihubungkan dengan tugas-tugas rutin yang dikerjakannya.
Sebagai seorang guru tugas rutinnya adalah melaksanakan
proses belajar mengajar di sekolah. Sementara itu, Obilade
(1999), yang dikutip oleh Adeyemi (2010), menyatakan
bahwa kinerja guru adalah kewajiban-kewajiban yang
dilakukan oleh seorang guru pada suatu periode tertentu di
dalam sistem sekolah untuk mencapai tujuan organisasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja
guru adalah hasil kerja individu berupa kemampuan yang
dimiliki dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya guna
mencapai tujuan organisasi.
2.1.2 Penilaian Kinerja
Pada suatu kesempatan, Siagian (2000) menyatakan
bahwa penilaian prestasi kerja adalah suatu pendekatan
dalam melakukan penilaian prestasi kerja para pegawai
yang didalamnya terdapat berbagai faktor seperti : 1)
Penilaian dilakukan pada manusia sehingga di samping
memiliki kemampuan tertentu
juga tidak luput dari
berbagai kelemahan dan kekurangan; 2) Penilaian yang
dilakukan pada serangkaian tolok ukur tertentu yang
realistik, berkaitan langsung dengan tugas seseorang serta
kriteria yang ditetapkan danditerapkan secara obyektif.
Di lain kesempatan, Nawawi (2000) mengungkapkan
beberapa hal yang dijadikan ukuran kinerja yaitu : 1)
20
Tingkat
kemampuan
kerja
(kompetensi)
dalam
melaksanakan pekerjaan baik yang diperoleh dari hasil
pendidikan dan pelatihan maupun yang bersumber dari
pengalaman kerja. 2) Tingkat kemampuan eksekutif dalam
memberikan motivasi kerja, agar pekerja sebagai individu
bekerja dengan usaha maksimum, yang memungkinkan
tercapainya hasil sesuai apa yang diharapkan.
Sementara
itu Mejia dkk. (2004) mengungkapkan bahwa penilaian
kinerja merupakan suatu proses yang terdiri dari:
1. Identifikasi, yaitu menentukan faktor-faktor kinerja
yang
berpengaruh
terhadap
kesuksesan
suatu
organisasi dan hal ini dapat dilakukan dengan
mengacu pada hasil analisa jabatan.
2. Pengukuran, merupakan inti dari
proses sistem
penilaian kinerja. Pada proses ini, pihak manajemen
menentukan kinerja pegawai yang bagaimana yang
termasuk baik dan buruk. Manajemen dalam suatu
organisasi harus melakukan perbandingan dengan
nilai-nilai standar atau memperbandingkan kinerja
antar pegawai yang memiliki kesamaan tugas.
3. Manajemen, proses ini merupakan tindak lanjut dari
hasil penilaian kinerja. Pihak manajemen harus
berorientasi ke masa depan untuk meningkatkan
potensi pegawai di dalam organisasi.
Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
penilaian kinerja merupakan hal yang paling prinsip dalam
sebuah organisasi. Penilaian kinerja haruslah berdasarkan
21
standar yang telah ditentukan oleh lembaga atau organisasi
tempat individu tersebut bekerja.
2.1.3. Manfaat Penilaian Kinerja
Mullins (1994) menjelaskan beberapa manfaat dari
penilaian kinerja baik bagi individu maupun bagi organisasi,
antara lain :
a) Dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
individu.
b) Dapat
membantu
merumuskan
masalah-masalah
yang membatasi kemajuan dan menyebabkan tidak
efisiennya pekerjaan.
c) Dapat mengembangkan konsistensi tingkat tinggi
melalui umpan balik dalam kinerja dan pembahasan
mengenai potensi-potensi yang ada.
d) Dapat
menyediakan
informasi
mengenai
rencana
kekuatan sumber daya yang ada, sehingga dapat
membantu
suksesnya
menentukan
kesesuaian
perencanaan
promosidan
dalam
fakta-fakta
jabatan serta pelatihan.
e) Dapat memperbaiki komunikasi dengan memberikan
kesempatan kepada karyawan menyampaikan ide dan
harapan mereka serta bagaimana perkembangan dan
kemajuan mereka.
Sementara itu, Siagian(2000) menjelaskan bahwa
penilaian kinerja berperan sebagai umpan balik tentang
berbagai
22
hal
seperti
kemampuan,
kekurangan
dan
potensinya
yang
pada
gilirannya
bermanfaat
untuk
menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan
kariernya. Sementara itu, bagi organisasi, hasil penilaian
kinerja
sangat
pengambilan
penting
keputusan
dalam
tentang
kaitannya
berbagai
dengan
hal
seperti
identifikasi kebutuhan program pendidikan dan pelatihan,
seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem
balas
jasa,
serta
berbagai
aspek
lain
dalam
proses
manajemen sumber daya manusia.
Dengan demikian, penilaian kinerja memiliki manfaat
yang sangat besar dalam peningkatan kinerja individu. Jadi
dapat dikatakan bahwa dengan adanya penilaian kinerja,
maka kinerja karyawan dapat ditingkatkan guna mencapai
tujuan organisasi.
2.1.4 Aspek-Aspek Kinerja
Untuk
(2007),
pengukuran
menyediakan
dinamakan
(assessment)
panduan
kinerja,
penilaian
Seivers
kerja
yang
Teacher Performance Assessment Guide, dan
ada 6 indikator yang diukur, yaitu: (1) Perencaaan; (2)
Strategi mengajar; (3) Penilaian dan evaluasi; (4)Lingkungan
mengajar; (5) Pertumbuhan/perkembangan profesional; (6)
Komunikasi. Panduan ini dibangun oleh Tennessee State
Department of Education, Division of Teaching and Learning.
Indikator-indikator
ini
memperkenalkan
perilaku
dan
karakteristik-karakteristik yang diharapkan guru. Setiap
23
indikator secara langsung berhubungan dengan tiga level
kinerja, yaitu developing, proficient, dan advanced.
Dalam penelitian ini, kinerja guru diukur berdasarkan
tiga aspek yang ditetapkan oleh Depdiknas yang mengacu
pada standar kinerja guru melalui 12 kompetensi dasar
(Depdiknas, 2003; Depdiknas, 2008, dalam Gintoe, 2012).
Aspek-aspek yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a) Perencanaan
pembelajaran/pengajaran
(teaching
plans and materials). Perencanaan merupakan aspek
penting dalam setiap kegiatan, termasuk kegiatan
dalam
bidang
perencanaan
pendidikan.
yang
Tanpa
matang,
adanya
maka
suatu
pelaksanaan
pengajaran tidak akan memberikan hasil secara
efektif dan efisien. Penyusunan persiapan mengajar
bertujuan agar kegiatan belajar mengajar terlaksana
dengan lancar dan efektif sebagai umpan balik bagi
guru untuk mengukur hasil belajar mengajar dan
bahan supervisi bagi kepala sekolah. Perencanaan
pengajaran
dapat
menolong
pencapaian
suatu
sasaran secara lebih ekonomis, tepat waktu dan
memberi peluang untuk lebih mudah dikontrol dan
dimonitor
dalam
pelaksanaannya.
Perencanaan
pengajaran meliputi penentuan bahan pembelajaran
dan
merumuskan
tujuan,
perencanaan
pengorganisasian materi, media dan sumber belajar,
perencanaan
24
skenario
pembelajaran,
merancang
pengelolaan kelas, perencanaan penilaian hasil belajar
siswa.
b) Prosedur/pelaksanaan
procedure).
pembelajaran
Pelaksanaan
(classroom
pembelajaran
berkaitan
dengan kemampuan guru mengajar di kelas, yang
merupakan implementasi dari rencana pembelajaran.
Kegiatan
terpenting
dalam
proses
pembelajaran
adalah menciptakan kondisi dan situasi dengan
sebaik-baiknya.
Dengan
demikian
memungkinkan
para siswa belajar secara berdaya guna. Selain itu
kondisi
dan
situasi
tersebut
perlu
diciptakan
sedemikian rupa, sehingga proses komunikasi baik
dua arah maupun multi arah antara guru dengan
siswa dalam proses pembelajaran dapat berjalan
secara
demokratis.
Prosedur
pembelajaran
ini
meliputi pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas,
mengelola
interaksi
kelas,
mendemonstrasikan
penguasaan mata pelajaran, mengorganisasikan atau
mengelola
waktu,
ruang,
fasilitas
belajar,
dan
melaksanankan evaluasi hasil belajar.
c) Hubungan antar pribadi (interpersonal skill). Ditinjau
dari prosesnya, kegiatan belajar-mengajar merupakan
proses komunikasi antara guru dengan siswa. Guru
sebagai
aktor
utama
dalam
proses
komunikasi
berfungsi sebagai komunikator. Komunikasi yang
dibina
oleh
guru
akan
tercermin
dalam
25
mengembangkan sikap positif siswa, bersikap luwes
dan terbuka pada siswa.
Adapun aspek yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu
pada
aspek
yang
sudah
ditetapkan
oleh
Depdiknas, yang didasarkan pada standar kinerja guru
melalui kompetensi-kompetensi dasar yang harus dimiliki
oleh seorang guru. Aspek-aspek ini ditemukan dalam Alat
Penilaian
Kemampuan
Guru
(APKG)
yang
merupakan
instrumen standar yang dikhususkan untuk mengukur
kinerja guru (Depdiknas, 2003; Depdiknas, 2008, dalam
Gintoe, 2012). Hasil pengukuran terhadap ketiga aspek
tersebut menggambarkan jumlah dan mutu proses dan
hasil kerja yang dicapai guru dalam mengajar selama
periode waktu tertentu.
2.1.5 Faktor-Faktor Pengaruh Kinerja
Robbins (2001) mengemukakan faktor-faktor yang
dapat menentukan tingkat kinerja individu yaitu :
1. Motivasi, yaitu kesediaan untuk mengeluarkan
tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi
yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu
untuk memenuhi beberapa kebutuhan individual.
2. Komitmen, yaitu suatu keadaan di mana seorang
pegawai memihak terhadap organisasi tertentu
serta
tujuan-tujuan
dan
keinginannya
untuk
bekerja dan memepertahankan keanggotaannya
dalam organisasi tersebut.
26
3. Kompetensi,
sebagai
ability,
yaitu
kapasitas
seseorang individu untuk mengerjakan berbagai
tugas
dalam
suatu
pekerjaan.
Selanjutnya
dikatakan bahwa kemampuan individu dibentuk
oleh
dua
faktor,
yaitu
faktor
kemampuan
intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan
intelektual adalah kemampuan yang diperlukan
untuk melakukan kegiatan mental sedangkan
kemampuan
fisik
adalah
kemampuan
yang
diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang
menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan
keterampilan.
4. Produktivitas, suatu ukuran kinerja termasuk
didalamnya efisiensi dan efektivitas, dan hal ini
berkaitan
dengan
kerja
individu
maupun
kelompok, di mana ada suatu dorongan untuk
berusaha mengembangkan diri dan meningkatkan
kemampuan kerja.
5. Kemangkiran atau ketidakhadiran di kantor tanpa
izin.
6. Kepuasan kerja, yaitu perasaan positif tentang
pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari
evaluasi karakteristiknya.
Selanjutnya Gie (1999) menyatakan bahwa kinerja
sangat ditentukan oleh motivasi kerja, kemampuan kerja,
perlengkapan
dan
fasilitas,
lingkungan
eksternal,
27
kepemimpinan, misi strategi, budaya perusahaan, etos
kerja, praktik managemen, struktur, dan iklim kerja.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, dapat disimpulkan
bahwa kinerja individu dipengaruhi oleh berbagai faktor
baik itu faktor eksternal maupun faktor internal. Dalam
penelitian ini yang menjadi perhatian penulis yakni faktor
internal, kepuasan kerja dan etos kerja.
2.2 Kepuasan Kerja Guru
2.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Istilah “kepuasan kerja” dikemukakan oleh Hoppock
(1935, dalam Tsai dkk, 2010) yang menyatakan bahwa
kepuasan kerja berarti sikap dan emosi karyawan terhadap
pekerjaan mereka, dan reaksi subjektif mereka terhadap
pekerjaan-pekerjaan mereka.
Wijono (2012, hal. 119)
menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah hasil dari
persepsi individu dalam rangka menyelesaikan tugas atau
memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh nilai-nilai
kerja yang penting bagi dirinya.
Secara sederhana kepuasan kerja dapat didefinisikan
sebagai perasaan suka dan tidak suka individu terhadap
pekerjaan yang sedang dijalaninya. Pejelasan tersebut
dipertegas dalam pendapat berikut ini: Job satisfaction is the
extent to which people like their jobs, job dissatisfaction is
the extent to which they dislike them” (Spector, 2008, hal.
223)
28
Ketidakpuasan
kerja
akan
berdampak
kepada
pergantian pegawai (turnover), kemangkiran dan pencurian.
Kepuasan
kerja
yang
lebih
tinggi
berkaitan
dengan
rendahnya tingkat pergantian pegawai, yaitu pegawai yang
meninggalkan organisasi. Para pegawai yang lebih puas
kemungkinan besar lebih lama bertahan dengan majikan
mereka. Para pegawai kurang puas biasanya menunjukan
pergantian yang lebih tinggi, mereka cenderung mencari
sesuatu yang lebih hijau di tempat lain dan meningglkan
majikan mereka meskipun rekan kerja yang lebih puasan
tetap tinggal di situ. Pegawai yang tidak puas tidak harus
merencanakan untuk mangkir, tetapi mereka lebih mudah
bereaksi untuk melakukan itu. Semua kemangkiran yang
tidak sahih itu dapat dikurangi dengan menyediakan
berbagai insentif yang mendorong pegawai masuk kerja
(Davis & Newstrom, 2000).
Berdasarkan
pemahaman
di
atas,
maka
dapat
disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu respon
emosionil/perasaan seorang pekerja terhadap suatu situasi
kerja atau pekerjaannya.
1.2.2 TeoriKepuasan Kerja
Berbicara mengenai kepuasan kerja, ada berbagai
teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Berikut ini
adalah penjelasan beberapa teori sehubungan dengan
kepuasan kerja:
29
Herzberg
et,
al.
(1957)
(dalam
Wijono,
2012)
menggolongkan kebutuhan-kebutuhan dalam dua faktor,
yaitu
faktor
motivator
dan
kesehatan.
Kebutuhan-
kebutuhan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Motivator
a) Pekerjaan itu sendiri
b) Prestasi
c) Kemungkinan pertumbuhan
d) Tanggung jawab
e) Kemajuan
f) Pengakuan
g) Status
2. Hygiene
a) Hubungan dengan penyelia
b) Hubungan antar kolega
c) Hubungan dengan bawahan
d) Kualitas penyelia
e) Kebijakan perusahaan dan administrasi
f) Keamanan kerja
g) Kondisi-kondisi kerja
h) Gaji
Dalam konteks pekerjaan, menurut Herzberg et.al
(1957) (dalam Wijono, 2012), faktor motivatorlah yang akan
memberi kepuasan kerja sekiranya kebutuhan-kebutuhan
dalam faktor tersebut dipenuhi. Jika tidak dipenuhi tidaklah
juga
menyebabkan
individu
mengalami
ketidakpuasan
kerja, tetapi hanya pada tingkat yang netral. Sebaliknya,
30
jika kebutuhan-kebutuhan di dalam faktor kesehatan tidak
dipenuhi
akan
membuat
individu
tersebut
mengalami
ketidakpuasan kerja. Selanjutnya, walaupun kebutuhankebutuhan dalam faktor kesehatan tersebut dipenuhi tidak
memberikan individu mengalami kepuasan kerja tetapi
hanya pada tingkat netral.
Dalam suatu kesempatan, Locke (1994, dalam Wutun,
2001),
teori
kepuasan
ketidaksesuaian
atau
mengungkapkan
ketidakpuasan
dari
bahwa
beberapa
aspek
pekerjaan menggunakan dasar pertimbangan dua nilai
(values), yaitu: 1). Kesesuaian yang dipersepsikan antara
apa yang diinginkan individu dengan apa yang dia terima
dalam kenyataannya dan (2). Apa pentingnya pekerjaan
yang diinginkan oleh individu tersebut. Kepuasan kerja
secara keseluruhan bagi individu adalah jumlah dari
kepuasan kerja dari setiap aspek pekerjaan dikalikan
dengan
derajat
pentingnya
aspek
pekerjaan
individu.
Contohnya: seorang supervisor mempunyai keinginan lebih
mengutamakan aspek kenaikan jabatan daripada kenaikan
gaji, maka supervisor tersebut akan memberi rangking yang
lebih tinggi pada aspek kenaikan jabatan dibanding dengan
kenaikan gaji (dalam Wijono, 2012).
Teori berikut adalah teori keadilan (equity theory).
Prinsip teori keadilan yang dikembangkan oleh Adams
(1972, dalam Wijono, 2012) ini adalah bahwa seseorang
akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah orang
tersebut merasakan adanya keadilan atau tidak atas suatu
31
situasi. Pearson (1994, dalam Akustia, 2001) menyatakan
bahwa kepuasan ada bila individu merasa adanya keadilan
dalam pekerjaannya yaitu persepsi keadilan tercapai bila
perbandingan
antara
input-outcome
seorang
individu
sepadan dengan individu lainnya. Input adalah suatu nilai
yang menyongkong suatu pekerjaan atau jabatan seperti
pendidikan,
pengalaman,
ketrampilan,
masa
kerja,
persediaan atau perlengkapan kerja. Outcome adalah suatu
nilai yang didapat dari suatu pekerjaan atau jabatannya,
seperti
upah,
keuntungan,
status,
penghargaan
dan
kesempatan untuk berprestasi dan ekspresi diri.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Lawer (1986, dalam
Wutun,
2001)
tentang
teori
model
aspek
kepuasam
(satisfaction facet model). Teori ini berkaitan erat dengan
teori keadilan (equity theory). Individu dipuaskan dengan
suatu aspek khusus dari pekerjaan mereka (rekan kerja,
atasan, upah, dan lain-lain) jika jumlah aspek yang mereka
alami itu adalah yang seharusnya mereka peroleh karena
telah melaksanakan pekerjaanya sama dengan jumlah yang
benar-benar mereka peroleh. Akan tetapi jika orang tersebut
menerima dari jumlah yang lebih besar daripada yang
pantas
diperoleh,
mereka
pantas
merasa
salah,
dan
sebaliknya kalau orang tersebut menerima kurang dari yang
pantas mereka peroleh, maka mereka merasa tidak puas.
Implikasi teori ini bahwa seorang akan menyesuaikan
kontribusinya
sesuai
dengan
kepuasan yang diperolehnya.
32
tingkat
keadilan
atau
Berdasarkan ketiga teori yang dikemukakan di atas,
maka dalam penelitian ini, penulis memilih menggunakan
teori
dua
faktor
yang
dikemukakan
oleh
Herzberg.
Penggunaan teori kepuasan kerja tersebut disesuaikan
dengan tujuan pemakaian penelitian ini yakni untuk
menjelaskan kepuasan kerja guru dengan alasan melihat
kepuasan kerja dari dua faktor utama yang merupakan
kebutuhan. Pada prinsinya teori ini menjelaskan bahwa
kepuasan bekerja itu selalu dihubungkan dengan isi jenis
pekerjaan (job content) dan ketidak puasan bekerja selalu
disebabkan karena hubungan pekerjaan tersebut dengan
aspek-aspek di sekitar yang berhubungan dengan pekerjaan
(job context).
2.2.3 Aspek-Aspek Kepuasan Kerja
Ruvendi
kepuasan
atau
(2005)
mengemukakan
ketidakpuasan
kerja
indikator
pegawai
dapat
diperlihatkan oleh beberapa aspek diantaranya:
a) Jumlah
kehadiran
pegawai
atau
jumlah
kemangkiran.
b) Perasaan
senang
atau
tidak
senang
dalam
melaksanakan pekerjaan.
c) Perasaan adil atau tidak adil dalam menerima
imbalan.
d) Suka atau tidak suka dengan jabatan yang
dipegangnya.
33
e) Sikap menolak pekerjaan atau menerima dengan
penuh tanggung jawab.
f)
Tingkat motivasi para pegawai yang tercermin
dalam perilaku pekerjaan.
g) Reaksi positif atau negatif terhadap kebijakan
organisasi.
h) Unjuk rasa atau perilaku deskruptif lainnya.
Selanjutnya,
Cellucci
dan
DeVries
(1978)
mengembangkan pengukuran kepuasan kerja yang di sebut
Job Satisfaction Questionnaire (JSQ) dan telah di gunakan
dalam berbagai studi untuk para peneliti terutama untuk
organisasi publik dengan menggunakan lima aspek yang
dikemukakan oleh Deshpande (1996), yakni kepuasan
terhadap
gaji,
kepuasan
terhadap
promosi,
kepuasan
terhadap rekan kerja, kepuasan terhadap penyelia/atasan
dan kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri. Berikut ini
penjelasan dari kelima aspek sebagai berikut:
a. Kepuasan
terhadap
gaji
(satisfaction
with
pay)
merupakan hal yang berhubungan dengan gaji yang
diberikan lembaga dibandingkan dengan lembaga yang
lain, mempertimbangkan gaji dengan tanggung jawab
dan tunjangan-tunjangan yang memuaskan di tempat
kerja.
b. Kepuasan terhadap promosi(satisfaction with promotions)
merupakan hal yang
berhubungan dasar atau sistem
promosi di tempat kerja dan tingkat kemajuan karir
pegawai yang bekerja dalam suatu lembaga.
34
c. Kepuasan terhadap rekan kerja (satisfaction with coworkers) merupakan hal yang berhubungan dengan
dukungan rekan kerja dan kerja sama dari rekan kerja.
d. Kepuasan terhadap supervisi/pengawasan (satisfaction
with supervisors) merupakan hal yang berhubungan
dengan dukungan dari atasan, atasan yang memiliki
kompeten
di
bidangnya,
sikap
tidak
mendengar
pendapat dan perlakuan yang tidak adil oleh atasan.
e. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri (satisfaction
with work itself) merupakan hal yang berhubungan
dengan
perasaan
pegawai
yang
tertarik
dengan
pekerjaan, rasa senang dengan jumlah beban pekerjaan
dan kurang prestasi pegawai dalam mengerjakan tugas.
Berdasarkan aspek-aspek kepuasan kerja di atas,
peneliti menggunakan aspek kepuasan kerja yang disebut
Job Satisfaction Questionnaire (JSQ). Peneliti menggunakan
aspek-aspek ini karena di dalam kelima aspek tersebut
terkandung
teori
dua
faktor
yang
dikemukakan
oleh
Herzberg et.al (1957, dalam Wijono, 2012).
2.3. Etos Kerja Guru
2.3.1 Pengertian Etos Kerja
Menurut
Cherrington
(2007),
etos
kerja
sering
diartikan secara sempit sebagai sikap mengenai kerja. Hal
itu berarti etos kerja adalah sikap dasar dan penilaian
seseorang tentang kedudukan kerja. Dalam arti sempit, etos
kerja merupakan sikap yang positif terhadap pekerjaan atau
35
adanya orientasi nilai yang memberi semangat pada diri
seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan
baik. Apabila seseorang bekerja sebagai sesuatu yang luhur
untuk eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan tinggi.
Sebaliknya jika orang memandang kerja merupakan sesuatu
yang tidak berarti maka etos kerjanya rendah. Lebih lanjut
Cherrington
(2007)
menjelaskan
bahwa
etos
kerja
mencerminkan salah satu perangkat nilai yang ada pada
manusia, dengan demikian etos kerja dapat diartikan pula
sebagai akibat dari penghayatan norma-norma atau nilai
nilai yang ada dalam masyarakat.
Etos kerja yang tinggi dimanisfestasikan dalam kerja
keras
dan
hidup
sederhana
serta
hemat.
Dalam
hubunganya dengan itu, Buchori (1994) mengemukakan
bahwa etos kerja adalah sikap terhadap kerja, pandangan
terhadap kerja, kebiasaan kerja, ciri-ciri atau sifat mengenai
cara bekerja, yang dimiliki oleh seseorang atau suatu
golongan atau bangsa. Sementara Koentjaraninggrat (1997)
memberi pengertian etos kerja, sebagai watak yang tampak
dari luar, dalam pengertian watak tersebut terlihat oleh
orang lain. Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami
bahwa etos terpusat pada sikap dasar manusia.
Miller (2002, dalam Mariac et,al.,2009) mendefinisikan
etos kerja sebagai seperangkat kepercayaan dan sikap yang
merefleksikan nilai pokok kerja. Lebih lanjut Miler (2002)
dalam Meriac et,al., 2009) berpendapat bahwa etos kerja
bukanlah suatu kesatuan konsep yang tunggal, melainkan
36
suatu kumpulan sikap dan kepercayaan mengenai perilaku
kerja. Etos kerja dapat dikemukan ke dalam enam hal, yaitu
a). Multidimensional; b). Berkaitan dengan kerja dan
dihubungkan dengan aktivitas kerja secara umum, tidak
spesifik
kepada
pekerjaan
khusus
(namun
boleh
menyamaratakan ke dalam wilayah pekerjaan lain, seperti
sekolah dan hobi, dan lain-lain); c). Dipelajari; d). Menunjuk
kepada
sikap
dan
kepercayaan/keyakinan
(tidak
selalu/harus perilaku); e). Suatu konsep motivasional yang
direfleksikan
di
dalam
perilaku;
selalu/harus
dihubungkan
dengan
f).
Sekuler,
suatu
tidak
kepercayaan
agama.
Selanjutnya
Petty
(1995)
menyatakan
etos
kerja
sebagai karakteristik yang harus dimiliki pekerja untuk
dapat menghasilkan pekerjaan yang maksimal yang terdiri
dari keahlian interpersonal, inisiatif, dan dapat diandalkan.
1). Keahlian interpersonal, menjelaskan tentang hubungan
kerja dengan orang lain. Aspek ini termasuk karakteristik
pribadi yang memfasilitasi hubungan interpersonal yang
baik dan memberikan kontribusi yang positif terhadap
kinerja dalam konteks kerjasama; 2). Inisiatif, menunjukkan
karakteristik-karakteristik yang mana memfasilitasi “moving
up the ladder” terhadap suatu pekerjaan dan memberi kesan
ketidakpuasan dengan kinerja yang dalam keadaan tetap;
dan 3). Dapat diandalkan, menjelaskan mengenai kualitas
yang
menyinggung
pemenuhan
harapan-harapan
bagi
37
kepuasan kinerja dan persetujuan penuh yang melekat di
dalam suatu tugas kerja.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa etos kerja adalah seperangkat kepercayaan dan sikap
yang
merefleksikan
nilai
pokok
kerja,
yang
dapat
diidentifikasikan melalui sentralitas kerja, kepercayaan diri,
kerja keras, waktu senggang, moralitas/etika, penundaan
kegembiraan/kepuasan, dan waktu yang disia-siakan.
2.3.2 Dimensi-dimensi Etos Kerja Guru
Miller et.al., (2001,dalam Dami2011) menyatakan
bahwa etos kerja guru dapat dibagi ke dalam tujuh dimensi,
yang meliputi: 1). sentralitas kerja; 2). kepercayaan diri; 3).
kerja
keras;
4)
pemanfaatan
waktu
senggang;
5)
moralitas/etika; 6) penundaan kegembiraan/kepuasan; dan
7) pemanfaatan waktu. Berikut ini adalah penjelasan
ketujuh dimensi tersebut:
1. Sentralitas kerja. Kepusatan kerja menunjuk kepada
pentingnya
seseorang
menempatkan
kesempatannya
untuk bekerja. Sentralitas kerja melebihi kebutuhan dan
keinginan
suatu
terhadap
kerangka
kompensasi
utama
yang
dan
menunjukkan
berkaitan
dengan
indentifikasi diri seseorang sebagai seorang pendidik.
Seorang guru dituntut untuk fokus pada profesinya
demi kemajuan dan perkembangan pendidikan. Bahkan
guru harus menyadari bahwa profesi yang sedang ia
jalankan adalah profesi yang baik dan mulia. Di mana
38
guru berusaha untuk menyelesaikan setiap tugas dan
tanggung jawab yang diemban, tidak hanya puas dengan
kuantitas pekerjaan yang sedikit, akan tetapi melihat
kepada kualitas kerja. Sentralitas kerja juga nampak,
ketika guru mampu dan fokus di dalam pengembangan
buku ajar, membuat karya ilmiah, ataupun menciptakan
model pembelajaran yang efektif dengan malakukan
penelitian tindakan kelas.
2. Kepercayaan diri. Orang yang percaya diri yakin atas
kemampuan mereka sendiri serta memiliki pengharapan
yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak
terwujud, mereka tetap berpikiran positif dan dapat
menerimanya.
Percaya
diri
juga
dikaitkan
dengan
penetapan karir seseorang (Miller, 2002). Guru yang
percaya diri sebagaimana mereka menunjukkan suatu
kecenderungan yang kuat akan ekspresi diri dan suatu
keinginan
untuk
memiliki
tanggung
jawab,
untuk
membuat suatu keputusan yang berpengaruh, dan
untuk berfungsi secara otonom atau tidak bergantung
pada orang lain.
3. Kerja keras. Kerja keras yang dimaksudkan di sini ialah
keyakinan bahwa seseorang dapat menjadi pribadi yang
lebih baik dan mencapai tujuan-tujuannya melalui
suatu
komitmen
terhadap
nilai
dan
pentingnya
pekerjaan. Seseorang berkomitmen untuk bekerja keras
dapat
mengatasi
hampir
setiap
rintangan,
dapat
39
mencapai tujuan-tujuan pribadi, dan menjadi pribadi
yang lebih baik.
4. Pemanfaatan waktu senggang. Waktu senggang itu
adalah bukan waktu kerja. Mengerti hubungan workleisure memerlukan suatu perbedaan yang jelas antara
potesial waktu senggang, aktivitas waktu senggang dan
orientasi waktu senggang (Shamir & Ruskin, 1983,
dalam Dami, 2011). Potensial waktu senggang adalah
fleksibilitas
melakukan
apa
yang
seseorang
ingin
lakukan ketika ia ingin melakukan itu (Parker, 1981,
dalam Dami, 2011).
Aktivitas waktu senggang adalah
partisipasi di dalam aktivitas-aktivitas yang bukan kerja,
dan orientasi waktu kerja adalah keinginan untuk
berpartisipasi di dalam aktivitas-aktivitas bukan kerja.
Dalam konteks penelitian ini, referensi waktu senggang
yang dimaksudkan menunjuk pada orientasi waktu
kerja, atau dengan kata lain pentingnya individuindividu
menempatkan
aktivitas-aktivitas
bukan
kerja/waktu senggang.
5. Moralitas. Secara sederhana hal ini dapat menunjuk
pada
pokok-pokok
seputar
karakter,
kebiasaan-
kebiasaan dan persoalan-persoalan tentang perilaku.
Biasanya
moralitas
digunakan
untuk
menjelaskan
bagaimana orang bertindak, sementara etika digunakan
untuk
menetapkan
studi
tentang
standar-standar
perilaku, secara khusus peraturan-peraturan benar dan
salah. Dengan lebih sering, istilah etika dan moralitas
40
digunakan secara bergantian sebagai suatu cara/jalan
yang menunjuk kepada persoalan-persoalan yang mana
orang bertindak atau yang diharapkan untuk bertindak.
Di dalam studi ini etos kerja, “moralitas dan etika”
dikombinasikan untuk menjelaskan kepercayaan pada
suatu keadilan dan keberadaan moral (Miller, 2002).
6. Penundaan
kegembiraan/kepuasan.
kegembiraan/kepuasan
untuk
melupakan
Penundaan
merefleksikan
rewards
kemampuan
jangka
pendek
agar
mendapat beberapa keuntungan di masa yang akan
datang.
Atau
dengan
kegembiraan/kepuasan
kata
adalah
lain
penundaan
suatu
kemampuan
individu untuk mempertahankan suatu bagian tindakan
yang dipilih untuk pencapaian tujuan jangka panjang
walaupun
ada
alternatif-alternatif
cobaan
yang
menawarkan kepuasan jangkan pendek.
7. Waktu yang dibuang-buang/disia-siakan. Waktu yang
disia-siakan dalam konteks ini menunjuk kepada suatu
rangkaian kesatuan dengan satu sisi merepresentasikan
komitmen yang tinggi untuk mengelola waktu agar
memaksimalkan
produktivitas
dan
sisi
yang
lain
menggolongkan komitmen yang rendah untuk mengelola
waktu. Penggunaan waktu yang efisien dan konstruktif
adalah konsisten dengan etos kerja yang kuat dan itu
telah lama dipahami bahwa peningkatan kinerja secara
tidak dapat ditawar-tawar dikaitkan dengan penggunaan
waktu yang efisien. Penundaan dan pengelolaan waktu
41
yang rendah/jelek telah didentifikasi sebagai suatu
halangan untuk produktivitas.
Etos
kerja
diukur
dengan
menggunakan
Multidimensional Work Ethic Profile (MWEP).
dimensi
yang
dimaksudkan
ialah
The
Ketujuh
kepusatan
kerja,
kegembiraan/kepuasan yang tertunda, kerja keras, waktu
senggang,
moralitas/etika,
kepercayaan
diri,
dan
pemborosan waktu(Miller et,al., 2001, dalam Dami, 2011).
2.4 HASIL-HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA
Dalam suatu kesempatan, Linz (2002, dalam Ahmad
et.al.2010) mengemukakan bahwa individu yang sangat
bahagia adalah individu yang memiliki tingkat kepuasan
kerja yang tinggi, kepuasan kerja yang bertambah akan
mempertinggi kinerja individu tersebut. Pernyataan Linz
(2002) ini didukung oleh penelitian oleh Iswati (2007) yang
menemukan bahwa hasil uji statistik dengan korelasi
peringkat Spearman didapatkan ada hubungan antara
kepuasan
kerja
eksternal
dengan
kinerja
guru
UKS
(p=0,005) dengan nilai rs=0,508 dan ada hubungan antara
kepuasan kerja umum dengan kinerja guru UKS (p=0,046)
dengan nilai rs=0,374. Penelitian dari Demirtas (2010)
mengenai
tingkat
kepuasan
kerja
guru
di
Turki,
menyatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan di dalam
pekerjaan
guru
dan
pemimpin
mempengaruhi
kinerja
mereka. Tingkat kepuasan kerja guru yang sangat tinggi
secara
42
positif
akan
mempengaruhi
tujuan-tujuan
pendidikan
di
masa
yang
akan
datang.
Dan
sangat
diharapkan bahwa suatu sekolah yang memiliki guru-guru
dengan
tingkat
kepuasan
kerja
yang
tinggi
akan
memberikan pendidikan yang berkualitas dan membawa
murid-muridnya memperoleh keberhasilan.
Sementara itu, Syaiin (2008) dalam penelitiannya juga
menemukan bahwa ada pengaruh kepuasan kerja individu
terhadap kinerjanya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
individu akan merasa puas terhadap pekerjaannya jika
berhasil melaksanakan tugas-tugas yang diberikan tepat
waktu serta sesuai harapan pimpinan dan mendapat
apresiasi dari pimpinan. Hal ini secara langsung akan
memberikan kontribusi terhadap peningkatakan kinerja.
Sementara itu, Al-Ahmadi (2009) melakukan studi terhadap
923 perawat pada rumah sakit di Riyadh dan kepuasan
kerja karyawan ditemukan berpengaruh positif terhadap
kinerja. Dalam penelitian ini kepuasan kerja diukur secara
keseluruhan. Segi kepuasan meliputi kepuasan dengan
pekerjaan itu sendiri, supervisi, hubungan dalam kerja,
pembayaran, kesempatan promosi, dan kondisi kerja.
Soegihartono (2012) juga melakukan penelitian dan
menemukan bahwa ada pengaruh positif kepuasan kerja
terhadap kinerja karyawan. Menurutnya, kepuasan kerja
mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja. Untuk
meningkatkan kinerja karyawan, perusahaan tidak lupa
memberikan faktor kepuasan kerja karyawannya. Dalam
penelitian ini karyawan tidak puas dengan: Tidak semua
43
bawahan mendapatkesempatan, atau diberi kesempatan
oleh
Pimpinan
untuk
bisa
menjadi
pemimpin
dalam
komunitasnya/teamnya; Tidak semua bawahan memiliki
kemampuan dalam pengambilankeputusan, karena adanya
kekhawatiran
berdampak
akan
pada
adanya
kinerjanya.
suatu
Ada
kesalahan
yang
kebijaksanaan
dari
perusahaan yang tidak diterapkan dalam praktiknya yang
dirasakan oleh sebagian bawahan, sehingga berdampak
terhadap
menurunnya
kinerja.
Menurunnya
kinerja
bawahan dapat dilihat dari tingkat absensi yaitu yang
berskala sedang sampai yang berskala berat yaitu dari
tingkat turn over karyawan.
Beberapa peneliti tidak menemukan hubungan antara
kepuasan kerja dan kinerja karyawan. Crossman & Zaki
(2003) mengadakan penelitian dan menyatakan tidak ada
hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan
kinerja karyawan. Packard & Motowidlo (1987 dalam AlAhmadi, 2009) mempelajari hubungan stres subjektif,
kepuasan kerja, dan kinerja karyawan di antara perawat
rumah sakit, dan mendapatkan hasil bahwa kepuasan kerja
tidak berhubungan dengan kinerja karyawan.
Etos kerja merupakan dasar untuk meningkatkan
kemampuan bekerja seseorang dalam bekerja. Sebagaimana
pendapat Atmodiwiryo (2000) bahwa etos kerja merupakan
landasan
seseorang.
untuk
meningkatkan
Berdasarkan
pendapat
prestasi
ini,
kerja/kinerja
penelitian
dari
Fitnaini (2009) menyatakan ada hubungan yang positif, erat
44
dan signifikan antara etos kerja guru dengan kinerja guru
dalam pembelajaran yang ditunjukan koefisien korelasi
sebesar rx1y = 0,612., serta penelitian Tjuana (2008), yang
menemukan bahwa antara etos kerja dengan kinerja guru
memiliki pengaruh positif dan signifikan.
2.5 HIPOTESIS
Berdasarkan fenomena dan hasil-hasil penelitian yang
ada, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah kepuasan
kerja dan etos kerja secara simultan sebagai prediktor
terhadap kinerja guru.
2.6 MODEL PENELITIAN
Model dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
KEPUASAN
KERJA
KINERJA
ETOS
KERJA
45