ENDRI M MISBAH .JUAL BELI KRIDIT DAN BOR (1)

MAKALAH
“JUAL BELI KREDIT DAN BORONGAN”
Makalah ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Kontemporer
Dosen Pengampu : Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

Disusun Oleh
ENDRI. M. MISBAH (14124079)

Jurusan Hukum Ekonomi Syari‟ah (HESy)
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) JURAI SIWO METRO
TA.2016/2017

PENDAHULUAN
Jual beli sistem kredit datang menyeruak diantara segala sistem bisnis yang ada.
Sistem ini mulai diminati banyak kalangan, karena rata-rata manusia itu kalangan
menengah ke bawah, yang mana kadang-kadang mereka terdesak untuk membeli
barang tertentu yang tidak bisa dia beli dengan kontan, maka kredit adalah pilihan
yang mungkin dirasa tepat.

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak akan pernah lepas dari yang namanya
jual-beli, baik itu secara kontan (langsung) maupun kredit yang dinilai lebih bernilai
ekonomis dan menungtungkan bagi kedua pihak. Maka dari itu mempelajari hukum
jual-beli termasuk kategori ilmu wajib, bagi siapa saja yang akan melakukan praktek
tersebut agar dapat memahami betul urusan ini dan tidak salah dalam menentukan
langkah yang akan kita capai.
Banyak umat muslim menganggap remeh hal ini, akibatnya mereka tidak saja
menabrak yang subhat tetapi juga yang jelas-jelas haram, kita tidak tahu bagaimana
agama mereka terselamatkan setelah itu, sebab telah diketahui bahwa setiap jasat yang
tumbuh dari barang haram maka nerakalah yang pantas baginya. Tuhan Maha baik
Dia tidak menerima kecuali yang baik, jika Allah telah mengharamkan sesuatu maka
haram pula nilai dan harganya, banyak sekali dalil yang menegaskan hal tersebut.
Entah apa yang akan terjadi jika kita terus mu‟amalah dengan riba dan perkaraperkara haram lainnya.
Oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis ingin memaparkan hukum jual
beli dengan system kredit yang saat ini marak dalam kehidupan kita.

2

Jual Beli Kredit Dan Borongan
1. Pengertian Jual Beli Kridit

Dalam bahasa Arab jual beli disebut Al-Bai‟, menurut etimologi adalah
tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.1 Sedangkan menurut Sayid
sabiq adalah tukar-menukar dengan sesuatu yang lain atau tukar-menukar
secara mutlak. Jual beli merupakan istilah yang dapat digunakan untuk
menyebut dari dua sisi transaksi yang terjadi sekaligus, yaitu menjual dan
membeli.2 Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa jual beli adalah
tukar menukar apa saja baik antara barang dengan barang lain maupun barang
dengan uang.
Dalam bahasa latin kredit di sebut “Credere” yang artinya percaya.
Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit
yang di salurkan pasti akan di kembalikan sesuai perjanjian.3
Pengertian kredit menurut Undang-Undang Perbankan nomor 10 tahun
1998, “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.4
Istilah kredit didefinisikan sangat beragam. Hasan Alwi dalam
bukunya Kamus Bahasa Indonesia Edisi II, mengatakan bahwa kredit adalah
cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai (pembayaran
ditangguhkan atau diangsur). Tentang kredit ini, Murtadla Muthahhari

mengatakan bahwa transaksi secara kredit pada hakikatnya adalah mengambil
manfaat dari keadaan terdesak. Sedangkan yang dimaksud dengan pembelian
dengan cara kredit adalah suatu pembelian yang dilakukan terhadap sesuatu
barang pembayaran harga barang tersebut dilakukan secara berangsur-angsur
sesuai dengan tahapan pembayaran yang telah disepakati kedua belah
1

Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat,(Jakarta: PT. Aneka Press, 2008), hal, 173.
Menurut buku Imam Mustofa yang dikutip Imam al-Nawawi, Raudah al-Thalibin wa
Umdah al-Muftin, (Digital library, al-maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), I/400.
3
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 101
4
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet. Ke-5, (Jakarta: PT. Kencana,
2005), h. 57
2

3

pihak (pembeli dan penjual). Jenis jual beli kredit yang sering

dipraktekkan dewasa ini adalah kredit pemilikan rumah (KPR), kredit
kendaraan, kredit alat-alat rumah tangga, dan lain-lain sebagainya.5
Ikatan Akuntan Indonesia mendefinisikan kredit adalah pinjaman uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. Hal yang
termasuk dalam pengertian kredit yang diberikan adalah kredit dalam rangka
pembiayaan bersama, kredit dalam restrukturisasi, dan pembelian surat
berharga nasabah yang dilengkapi dengan Note Purchase Agreement (NPA).

2. Hukum Jual Beli Dengan Sistem Kredit Dalam Islam
Apabila

kita

membicarakan

tentang


masalah

penjualan

dan

perdagangan, maka kita tidak akan terlepas dari apa yang disebut dengan riba
atau bunga uang.
Allah SWT berfirman:
Artinya : “ Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang
kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni


neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Q.S Al Baqarah : 275)
Ayat diatas merupakan dalil nash yang menjadi dasar bagi kita dalam
menangani muamalah jenis ini, yang pada intinya bahwa Islam melarang jual
Al-hakim Lukman dan Muslim Muslihun, Muqaranah Fi Al-Mu‟amalah, (Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta, 2010), h. 42
5

4

beli setiap tindakan pembungaan uang, akan tetapi tidak boleh menganggap
bahwa Islam melarang jual beli secara kredit.
Apalagi di dalam masyarakat yang menganut system perekonomian
modern

seperti saat ini yang sangat menuntut pada pengkreditan dan

pinjaman. Dalam semua itu masing-masing pihak ingin sama-sama
diuntungkan, akan tetapi kadang keuntungan yang diperoleh tidak sama dan
berubah-ubah karena perekonomian Negara kurang stabil.6 Ada dua
pandangan mengenai hukum dari jual beli dengan system kredit, seperti di

bawah ini.
a. Hukum yang Memperbolehkan Kredit
Ulama dari empat madzhab, Syafi‟iyah, Hanafiyah, Malikiyah,
Hambaliyah, Zaid bin Ali dan mayoritas ulama membolehkan jual beli
dengan sistem ini, baik harga barang yang menjadi obyek transaksi
sama dengan harga cash maupun lebih tinggi. Namun demikian mereka
mensyaratkan kejelasan akad, yaitu adanya kesepahaman antara
penjual dan pembeli bahwa jual beli itu memang dengan sistem kredit.
Dalam kasus ini biasanya penjual meyebutkan dua harga, yaitu harga
cash dan harga kredit.7 Adapun ayat yang juga berhubungan juga
dengan masalah.
Allah SWT berfirman :
Artinya

:

“Hai

orang-orang


yang

beriman,

apabila

kamu

bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika
6

Kutbudin Aibak, Kajian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 216
Menurut buku Imam Mustofa yang dibaca Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa

Adillatuh…, V/147, Mu‟amalah , h. 41.
7

5

yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksisaksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi

keterangan)

apabila

mereka


dipanggil;

dan

janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi
saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian),
maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu;

dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S Al-Baqarah
: 282)
Membayar harga secara kredit diperbolehkan, asalkan tempo
atau waktu ditentukan dan jumlah pembayaran telah ditentukan sesuai

kesepakatan.8
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka
di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;

sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
(Q.S An-Nisa : 29)
Imam Mustofa mengutip dari Muhammad Shir Shur, Ba‟I al-Murabahah lil amir bi AlSyra‟, I/81
8

6

Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit
yaitu, dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti
kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut :
a) Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual
dan pembeli.
b) Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo
pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bisnis
penipuan.
c) Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh
dinaikkan

lantaran

pelunasannya

melebihi

waktu

yang

ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
d) Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan
pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi
harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori jual-beli
dengan terpaksa yang dikecam Nabi saw.
Contoh : jika seseorang ingin membeli hp , tapi dia tidak bisa
membayar secara kontan maka pedagang menawarkan dengan
harga kredit dan tempo pembayaran, misalnya jika membeli hp
secara kontan harganya 10 juta, akan tetapi kalau secara kredit,
pedagang akan mengambil keuntungan misalnya 500 ribu,
penambahan tersebut secara angsuran , akan terjadi diantara
keduanya kesepakatan yang saling menguntungkan bagi si pembeli
karna kredit meringankan dan bagi pedagang menguntungkan, jadi
sama-sama mencari keuntunagan.9
b. Hukum yang Tidak Membolehkan Kredit
Kalangan ulama yang melarang jual beli dengan system kredit
antara lain Zainal Abidin bin Ali bin Husen, Nashir, Manshur, Imam
Yahya, dan Abu Bakar al-Jashash dari kalangan Hanafiyah serta
sekelompok ulama kontemporer.10

9

Kutbudin Aibak, Kzjian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 216
Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah Kontemporer, (Metro: STAIN Jurai Siwo, 2014), h. 49

10

7

Allah SWT berfirman :
Artinya:

“dan

disebabkan

mereka

memakan

riba,

padahal

sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena
mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di

antara mereka itu siksa yang pedih”. (Q.S An-Nisa : 161)
Artinya : “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. (Q.S Al- Baqarah : 275)
Ayat di atas mendefinisikan mengharamkan riba karena dalam
jual beli terdapat tambahan harga sebagai penundaan permbayaran.
Rasulullah Saw bersabda :
Artinya : “Dari Abu Hurairah dia berkata, telah melarang Rasulullah
Saw melakukan dua transaksi jual beli dalam satu transaksi

jual beli.” (HR. Turmuzi).
Sebagian fuqoha (Ahli Fiqih) juga tidak memperbolehkan jual
beli secara kredit, mereka beralasan bahwa penambahan harga itu
berkaitan dengan masalah waktu, dan hal itu tidak ada bedanya dengan
riba. Pendapat lain juga mengatakan bahwa menaikkan harga diatas
yang sebenarnya adalah mendekati dengan riba nasi‟ah yaitu harga
tambahan, maka itu jelas dilarang Allah.11 Mereka berpendapt bahwa
Setiap pinjaman yang diembel-embeli dengan tambahan, maka ia
adalah riba. Jadi, standarisasi dalam setiap urusan adalah terletak pada
tujuan-tujuannya.
Contohnya: Seseorang memerlukan sebuah motor, lalu datang
kepada pedagang yang tidak memilikinya, seraya berkata, “saya
memerlukan motor yang begini dan begini”. Lantas pedagang pergi
dan membelinya, kemudian menjual kepadanya secara kredit dengan
harga yang lebih banyak. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah
11

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan (Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada, 2003), h.172

8

bentuk pengelabuan, tersebut karena si pedagang mau membelinya
hanya karena permintaannya dan bukan membelikan untuknya karena
kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan keuntungan
tambahan, seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara
riba.
Tafsir dari larangan Rasulullah “Dua transaksi jual beli dalam
satu transaksi” adalah ucapan seorang penjual atau pembeli : “Barang
ini kalau tunai harganya segini sedangkan kalau kredit maka

harganya segitu”. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
ucapan seseorang: “Saya jual barang ini padamu kalau kontan
harganya sekian dan kalau ditunda pembayarannya harganya sekian”
adalah sistem jual beli yang saat ini dikenal dengan nama jual beli
secara kredit dan hukumnya adalah haram karena dilarang oleh
Rasulullah Saw.
3. Jual Beli Dengan Sistem Kredit Menurut Jumhur Ulama
Jumhur menyanggah argumen ulama yang melarang jual beli
menggunakan system kredit.penambahan harga hampir terjadi di dalam semua
system jual beli dan ini berlaku umum. Penambahan harga dalam jual beli
tidaklah dilarang, kecuali tambahan-tambahan tersebut yang merugikan atau
mengandung usur zalim.12
Sementara mengenai hadis nabi yang melarang adanya dua akad dalam
transaksi, hadis tersebut adalah larangan terhadap jual beli „ainah dan bukan
jual beli kredit. Jual beli „ainah adalah jual beli di mana seorang pembeli
menjual barang yang dibelinya dengan harga tunai dengan harga yang sangat
murah. Maka riba dalam kategori „ainah ini sangat jelas. Karena pembeli
bersepakat atas harga yang ditentukan oleh penjual dan diharuskan bagi
pembeli untuk membayar harga barang pada waktu tertentu dengan jumlah
penambahan tertentu ditambah dengan harga asli.13
4. Jual Beli Borongan
12
13

Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 60
Ibid, h. 61

9

Definisi jual beli itu sendiri adalah secara terminologi adalah menukar harta
dengan harta atau penukaran mutlak. Secara terminologi adalah transaksi
penukaran selain dengan fasilitas atau kenikmatan. Dan yang dimaksud jual beli
borongan adalah jual beli barang yang bisa di takar, ditimbang atau dihitung secara
borongan tanpa ditimbang, di takar, atau dihitung lagi.
Dalam syariat Islam jual beli adalah pertukaran harta tertentu dengan harta
lain berdasarkan keridhaan antara keduanya, jual beli itu di syariatkan berdasarkan
konsensus kaum muslim karena kehidupan manusia tidak bisa tegak tanpa jual beli.
Allah berfirman dalam Al-Al-Qur a surat ala-Baqarah: 275
Artinya : Allah

e ghalalka jual-beli da

e ghara ka riba

Perdagangan adalah perdagangan dengan tujuan mencari keuntungan.
Penjualan adalah transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan bahkan sebagai
aktifitas terpenting dalam aktifitas usaha. Kalau asal jual beli adalah disyaratkan,
sesungguhnya diantara bentuk jual beli ada juga yang diharamkan dan ada juga yang
dipersilahkan oleh hukum. Oleh sebab itu, menjadi suatu kewajiban bagi seorang
usahawan muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya jual beli
tersebut dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram di kegiatan itu.
Sebenarnya masalah jual beli itu sendiri itu mubah kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Dalam hal ini jual beli dapat diklasifikasikan ke dalam banyak
macam, melalui sudut pandang yang berbeda-beda dilihat dari jenis barang yang
dijadikan perjanjian jual beli terbagi tiga macam; jual beli bebas, money changer dan
barter. Kalau dilihat dari sisi penempatan harta jual beli dibagi juga menjadi tiga; jual
beli tawar menawar, jual beli amanah, dan jual beli lelang , dan yang terakhir dilihat
dari segi cara pembayaran dibagi menjadi tiga macam pula diantaranya adalah jual
beli dengan pembayaran tertunda, jual beli dengan penyerahan yang tertunda dan
jual beli penyerahan barang dan pembayarannya sama-sama tertunda.
Jual beli memiliki beberapa persyaratan yang harus sepenuhnya dipenuhi
agar akad jual beli menjadi sah. Diantara syarat-syarat tersebut ada yang berkaitan
dengan pihak-pihak yang terlibat ada yang berkaitan dengan barang yang dijual
belikan serta keberadaan barang tersebut harus suci, bermanfaat, dan bisa
diserahterimakan serta merupakan milik penjual. Ketika terjadi akad, kemudian
tidak ada pembatasan waktu. Dari berbagi penjelasan diatas mengenai akad jual
beli, baik rukun akad, syarat akad, klasifikasi akad dan sebagainya. dapat jadikan
pengantar untuk lebih jelas membahas mengenai akad borongan.
Akad borongan menurut Mali-kiyah diperbolehkan jika barang tersebut bisa
ditakar, ditimbang atau secara borongan tanpa ditimbang, ditakar atau dihitung lagi,
namun dengan beberapa syarat yang dijelaskan secara rinci oleh kalangan Malikiyah. Al Qur a
e ga ggap pe ti g persoala i i sebagai salah satu bagian dari
ua alah, seperti fir a Allah dala surat al A a : 5
Artinya: Da se pur aka lah takara da ti ba ga de ga adil.

10

Dijelaska juga dala

suratal Isra : 5

Artinya: Pe uhilah takara apabila ka u e akar da ti ba glah de gan
jujur dan lurus yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik
kesudaha
Disamping itu Allah juga melarang mempermainkan dan melakukan
kecurangan dalam takaran dan timbangan, Allah telah berfirman dalam surat al
Muthofifin: 1-6 yang artinya:
Artinya: Celaka benar, bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang
yang menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan
apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka
mengurangi. Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa
sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu haru yang
besar (yaitu) hari ketika manusia berdiri menghadap tuhan semesta
ala
Muamalah seperti itu suatu contoh yang harus dilaksanakan oleh setiap
muslim dalam kehidupannya, pergaulannya, muamalahnya. Mereka tidak
diperkenankan dengan dua takaran atau menimbang dengan dua timbangan pribadi
atau timbangan umum. Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga
untuk berlaku adil (jujur) sebab keadilan yang sebenarnya jarang diwujudkan.
5. ANALISIS
Dari penjabaran diatas bahwasanya dalam masalah jual beli borongan ini
diperbolehkan dengan syarat-syarat yang telah disebutkan. Dan hemat penulis jual
beli semacam itu diperbolehkan asalkan jelas unsur-unsurnya, serta ada ijab qabul
antara penjual dan pembeli dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Ini juga
berdasarkan pendapat dari kalangan Malikiyah yang membolehkan jual beli
borongan dengan cara menakar/menimbang, dihitung secara borongan tanpa
ditimbang, ditakar dan dihitung lagi.
Dalam pelaksanaan akad jual beli kadang ada hal yang membawa
pertengkaran, apabila bila barang itu tidak diketahui atau karena ada unsur
penipuan yang dapat menimbulkan pertengkaran antara si penjual dan si pembeli,
dari kecurangan itu Rasulullah s.a.w melarang jual beli borongan yang tidak di
ketahui secara pasti benda yang akan dijual itu.
Seperti yang terjadi pada zaman Nabi pernah terjadi beberapa orang
menjual buah-buahan secara borongan yang masih di pohon dan belum nampak tua.
Sesudah akad, terjadi suatu musibah yang tidak diduga-duga, maka rusaklah buahbuah tersebut. Akhirnya terjadi pertengkaran antara si penjual dan si pembeli. Yang
kemudian nabi melarang menjual buah-buahan yang belum jelas masaknya kecuali
dengan syarat buah-buahan tersebut dipetik seketika itu juga.
Apa yang terjadi pada zaman nabi dapat kita ambil hikmahnya, yang tentu
tidak jauh berbeda pada saat sekarang ini, dari kejadian diatas dapat kita jadikan
acuan bahwasanya akad borongan dapat dilaksanakan ketika telah diketahui secara
pasti benda yang akan dijual dan barang tersebut tidak samar keberadaannya.
11

Dari sini telah jelas bahwasanya akad borongan menurut penulis dan
berdasarkan dalil yang telah Ada boleh hukumnya. Akan tetapi harus sesuai dengan
apa yang telah ditentukan dalam Al-Qur a da hadits.

12

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, Jakarta: PT. Aneka Press, 2008
Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan
;Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003
Al-hakim

Lukman

dan

Muslim

Muslihun,

Muqaranah

Fi

Al-

Mu’amalah;Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2010
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet. Ke-5, (Jakarta: PT.
Kencana, 2005
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, Jakarta; Rajawali Pers, 2016
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005
Kutbudin Aibak, Kzjian Fiqih Kontemporer ; Yogyakarta: Teras, 2009,

13