Tradisi lisan Mangupa Horja Godang Masyarakat Adat Agkola Chapter III VIII

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan
deskriptif kualitatif, yaitu data diperoleh dengan pengamatan secara alamiah
seluruh aktifitas tradisi lisan upacara mangupa adat Angkola, sehingga diperoleh
pendeskripsian upacara mangupa adat Angkola yang sebenarnya.
Penelitian

deskriptif

adalah

penelitian

yang

bertujuan


untuk

mengumpulkan informasi mengenai gejala sosial, yaitu keadaan atau fenomena
secara alamiah dan apa adanya ketika penelitian dilakukan. Penelitian deskriptif
mengacu kepada makna konsep, definisi, ciri-ciri bahasa metafor, simbol, dan
pendeskripsian sesuatu menurut Berg (1989:2).
Pendekatan kualitatif yang dilakukan pada penelitian ini, bertujuan untuk
mendapatkan informasi secara emik dari data lapangan dari informan kunci
dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan, mengumpulkan data
primer dan data skunder.
Penggunaan metode kualitatif dan pemanfaatan teori tuturan lisan Held
(2005:136) menjelaskan, "The main focus of empirical methods is beginning to
move in a qualitative direction: together with the criteria of speech-act theory this
seems to guarantee the greatest success in researching politeness.”

Universitas Sumatera Utara

Rumusan masalah yang telah ditetapkan akan dijawab dalam penelitian ini
dengan menggunakan dua teori yang ditetapkan sebagai pisau potong untuk

mengolah data lapangan pada penelitian ini, yaitu: kajian teori antropolinguistik
sebagai jalan masuk, mendeskripsikan pelaksanaan tradisi lisan mangupa adat
Angkola, mengetahui bentuk dengan
97 mengkaji teks, ko-teks, dan konteks,
mengetahui teks akan dikaji struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro,
menjabarkan ko-teks akan mengkaji paralinguistik proksemik, kinetik, dan unsur
material lainnya, mengkaji konteks dengan kajian konteks budaya, sosial,
situasi, dan ideologi dengan menggunakan teori upacara sesaji Smith,
mengetahui isi yang akan dikaji yaitu nilai dan norma, pengkajian nilai akan
mengkaji nilai-nilai tradisi lisan mangupa adat Angkola dengan menggunakan
kajian nilai yang dikemukakan oleh Roland Barthes dan Kluckhohn, kemudian
norma akan dikaji fungsi dan makna dengan menggunakan kajian semiotik
Charles Sanders Peirce, mengetahui nilai-nilai kearifan lokal (Barthes dan
Kluckhohn) apakah yang terdapat pada tradisi lisan upacara mangupa adat
Angkola, dan upaya merevitalisasi pelaksanaan prosesi mangupa adat Angkola
sebagai model pelestarian yang akan membantu dalam penelitian ini.
Metode penelitian deskriptif, akan mendeskripsikan tradisi lisan mangupa
adat Angkola yang akan menjawab rumusan masalah pertama yaitu: pelaksanaan
upacara mangupa adat Angkola menggunakan teori antropolinguistik dan
semiotik


digunakan

untuk

menjawab

rumusan

masalah

kedua

yaitu:

Bagaimanakah tradisi mangupa adat Angkola dalam kajian antropolinguistik,
semiotik, dan tradisi lisan.

Universitas Sumatera Utara


Yang akan menjawab rumusan masalah ke tiga yaitu tentang: nilai-nilai
kearifan lokal apakah yang terdapat pada tradisi lisan mangupa adat Angkola
maka digunakan teori yang dikemukakan oleh Barthes (1957: 140-142) dan
Kluckhohn. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Smith dan
Cormaek dalam Moleong (2005:239) memaparkan penelitian kaji tindak sebagai
proses untuk memperoleh hasil perubahan dan memanfaatkan hasil penelitian ini.
Hasil analisis data dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan kualitatif
yang dilakukan sejalan dengan Sudaryanto (1993), dengan menggunakan teknikteknik survey sosial seperti: wawancara terstruktur dan wawancara takterstruktur
dan daftar pertanyaan yang tersusun, observasi terstruktur, analisis isi, dan analisis
data formal dan sebagainya.
Penelitian kualitatif juga berkaitan dengan pengamatan berpartisipasi
secara emik, wawancara terstruktur dan wawancara takterstruktur, kelompokkelompok fokus, telaah teks kualitatif, dan teknik analisis kegiatan tradisi lisan
yang dituliskan dalam bentuk teks.

Kerangka model penelitian yang digunakan untuk memenuhi kriteria
descriptive adequacy dan explanatory adequacy dirancang berdasarkan
kerangka model yang dikembangkan Watts yakni dengan melalui prosedur
sebagai berikut:

1) Performasi tradisi lisan mangupa adat Angkola.

2) Merumuskan permasalahan atau mengidentifikasi masalah.
3) Memilih metode penelitian dan evaluasi.

Universitas Sumatera Utara

4) Mengidentifikasi masalah tradisi lisan upacara mangupa adat Angkola.
5) Menganalisis performansi dengan melakukan analisis teks, koteks, konteks
untuk dapat melihat bentuk dan fungsi yang terdapat pada tradisi lisan
mangupa adat Angkola.
6) Menemukan nilai-nilai kearifan lokal tradisi lisan yang terkandung pada
tradisi lisan mangupa adat Angkola.
7) Mengetahui pelaksanaan performansi mangupa adat Angkola dan
perubahan performansi adat Angkola pada masa kini.
8) Upaya revitalisasi tradisi mangupa adat Angkola sebagai model yang dapat
didokumentasikan sebagai upaya pelestarian.
9) Upaya pembuatan model penelitian tradisi lisan mangupa adat Angkola
sebagai model penelitian dan
10) Menyimpulkan hasil penelitian.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Wilayah Kota Padangsidimpuan
Awal Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan sebelum pemekaran
merupakan daerah yang terluas di Sumatera Utara yaitu 18.896,50 kilometer atau
1.889.650

hektar

atau

26.36%

dari

seluruh

luas

Sumatera

utara.


Padangsidimpuan sebagai ibukota Kabupaten berjarak 550 km ke Medan,
merupakan terjauh dari pusat pemerintahan provinsi.
Secara garis besar Tapanuli Selatan terbagi atas lima wilayah budaya yaitu:
Angkola-Sipirok, Padang Lawas Utara, Padang Lawas, Mandailing, Ulu dan
Pesisir. Tiga wilayah yang disebutkan seperti: Angkola-Sipirok, Padang Lawas,

Universitas Sumatera Utara

dan Mandailing (setelah otonomi daerah/ pemekaran berdiri sendiri) disebut
dengan wilayah budaya Dalihan Na Tolu.
Sekitar tahun 1700 Kota Padangsidimpuan yang sekarang adalah lokasi
dusun kecil yang disebut “padang na dimpu” oleh para pedagang sebagai tempat
peristirahatan, yang artinya suatu daratan di ketinggian yang ditumbuhi ilalang
yang berlokasi di Kampung Bukit Kelurahan Wek II, di pinggiran sungai
Sangkumpal Bonang.
Melalui Trakrtat Hamdan tanggal 17 Maret 1824, kekuasaan Inggris di
Sumatera diserahkan kepada Belanda, termasuk Recidency Tappanooli yang
dibentuk Inggris Tahun 1771. Setelah menumpas gerakan Kaum Paderi Tahun
1830, Belanda membentuk district (setingkat kewedanan) Mandailing, District

Angkola, dan District Teluk Tapanuli di bawah kekuasaan Government Sumatras
West Kust yang berkedudukan di Padang.
Pada Tahun 1838 dibentuk dengan asisten residen-nya berkedudukan di
Padangsidimpuan. Setelah terbentuknya Residente Tapanuli melalui Besluit
Gubernur Jenderal tanggal 7 Desember 1824, antara Tahun 1885 sampai dengan
1906, Padangsidimpuan pernah menjadi ibu kota Residen Tapanuli.
Pada masa awal kemerdekaan, Kota Padangsidimpuan merupakan pusat
pemerintahan, dari lembah besar Tapanuli Selatan dan pernah menjadi ibukota
Kabupaten Angkola Sipirok sampai digabung kembali Kabupaten Mandailing
Natal. Kabupaten Angkola Sipirok, dan Kabupaten Padang Lawas melalui
Undang-undang Darurat Nomor 70/DRT/1956.

Universitas Sumatera Utara

Ringkasan sejarah Tahun 1879 di Padangsidimpuan didirikan Kweek
School (Sekolah Guru) yang dipimpin oleh Ch. A Van Ophuysen yang di kenal
sebagai penggagas ejaan bahasa Indonesia.
Lulusan sekolah ini banyak dikirim untuk menjadi guru di Aceh. salah
seorang lulusan ini adalah Rajiun Harahap gelar Sutan Hasayangan, penggagas
berdirinya Indische Veergining sebagai cikal bakal berdirinya Perhimpunan

Indonesia di negeri Belanda dan merupakan organisasi pertama yang
berwawasan nasional 1879 juga penggagas pengumpulan dana studi bagi guruguru yang akan di sekolahkan ke Negeri Belanda.

3.2.2 Peta Wilayah Kebudayaan Angkola

Wilayah kebudayaan Angkola memiliki dua makna yaitu diartikan sebagai
wilayah atau daerah dan makna yang lain Angkola sebagai suatu etnik yang
berada di Sumatera Utara. Kata Angkola adalah nama sungai, Batang Angkola
(Sungai Angkola) yang diberi nama seorang penguasa yang bernama Rajendra
Kola (Angkola yang dipertuan kola) yang masuk melalui Padang Lawas yang
berkuasa saat itu. Di sebelah selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae
(hilir) dan di sebelah utara sungai batang angkola diberi nama Angkola Julu
(hulu). Suku Batak Angkola berpaham kekerabatan patrilineal sehingga
mengambil sistem marga berdasarkan garis keturunan ayah dengan marga-marga:
Harapap, Siregar, Hasibuan, Rambe, Daulay, Tanjung, Ritonga, dan Hutasuhut.

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat Angkola-Mandailing mendiami wilayah yang dialiri dua sungai
besar dan bertemu di Muara Batang Gadis menuju Samudra Hindia. Kedua sungai

itu adalah Sungai Batang Angkola dari Gunung Lubuk Raya dan Sungai Batang
Gadis dari Gunung Kulabu. Budaya etnik Angkola-Mandailing memadukan
tradisi dan agama Islam : “Hombar do adat dohot ugamo” (custom alongside
religion). Adakalanya diungkapkan juga dengan kata-kata: “Hombar do adat
dohot ibadat” (adat berdampingan dengan ibadat/ agama).
Penduduk yang mendiami wilayah Angkola diperkirakan 9000 SM yang
disebut etnik Angkola (asli Angkola bukan pecahan atau yang memisahkan diri
sdari etnik lain). Wilayah Angkola merupakan luhak bermarga Harahap, sehingga
marga selain Harahap apabila ingin mengadakan
upacara adat di Luhak Angkola
109
harus menggunakan rompayan untuk menyembelih hewan adat, karena ada
asumsi selain marga Harahap apabila menyelenggarakan upacara adat hewan adat
tidak diperkenankan menyentuh tanah adat marga Harahap.
Pada masa penjajahan Belanda, Kabupaten Tapanuli Selatan disebut
afdeeling (daerah) Padangsidimpuan yang dikepalai oleh seorang Residen (kepala
daerah)

yang


berkedudukan

di

Padangsidimpuan.

Afdeeling

(daerah)

Padangsidimpuan dibagi atas 3 onder afdeling, masing-masing dikepalai oleh
seorang Contreleur dibantu oleh masing-masing Demang, onder distrik
membawahi luhak/ kuria yang dipegang oleh kepala kuria. meliputi kawasan
Angkola dan Sipirok yang berpusat di Padangsidimpuan, Angkola membawahi
tiga distrik masing-masing Angkola, Batang Toru, dan Sipirok yang dipimpin oleh
bupati, namun setelah pemulihan pada tahun 1949, ketiga distrik itu digabung
menjadi kabupaten Angkola.

Universitas Sumatera Utara

1) Onder Afdeeling Angkola dan Sipirok, berkedudukan di Padangsidimpuan.
2) Onder Afdeeling Padang Lawas, berkedudukan di Sibuhuan.
3) Onder Afdeeling Mandailing dan Natal, berkedudukan di Kota Nopan.
Melalui Trakrtat Hamdan tanggal 17 Maret 1824, kekuasaan Inggris di
Sumatera diserahkan kepada Belanda, termasuk Recidency Tappanooli yang
dibentuk Inggris Tahun 1771. Setelah menumpas gerakan Kaum Padri Tahun
1830, Belanda membentuk district (setingkat kewedanan) Mandailing, District
Angkola, dan District Teluk Tapanuli di bawah kekuasaan Government Sumatras
West Kust yang berkedudukan di Padang.
Pada Tahun 1838 dibentuk dengan asisten residen-nya berkedudukan di
Padangsidimpuan. Setelah terbentuknya Residente Tapanuli melalui Besluit
Gubernur Jenderal tanggal 7 Desember 1824, antara Tahun 1885 sampai dengan
1906, Padangsidimpuan pernah menjadi ibu kota Residen Tapanuli.
Sejalan dengan pembentukan onder afdeeling berdasarkan daerah budaya
yang dikenal dengan luat atau ulayat Angkola berada di daerah induk Tapanuli
Selatan, daerah kebudayaan atau ulayat terbagi atas empat daerah seperti: Ulayat
Angkola, Ulayat Padang Lawas, Ulayat Mandailing,dan Ulayat Pesisir.
Daerah budaya Angkola terdiri dari: a) Kecamatan Padangsidimpuan Utara,
b) Kecamatan Padangsidimpuan Selatan, c) Kecamatan Padangsidimpuan Barat,
d) Kecamatan Padangsidimpuan Timur, e) Kecamatan Padangsidimpuan Batang
Toru, f) Kecamatan Padangsidimpuan Batang Angkola, g) Kecamatan
Padangsidimpuan Sipirok, h) Kecamatan Padangsidimpuan Saipar Dolok Hole,
dan i) Kecamatan Padangsidimpuan Dolok. Pada kecamatan-kecamatan Ulayat

Universitas Sumatera Utara

Angkola tersebut ada anjung-anjung daerah yang cukup dikenal sejak dahulu
seperti: Marancar, Batang Toru, Sangkunur, Angkola Jae, Angkola Julu,
Simarpinggan, Siondop, Sayur Matinggi, Sipirok, Saipar Dolok Hole, dan
Sipiongot.
Daerah Padang Lawas terdiri dari: a) Kecamatan Padangbolak, b)
Kecamatan Sosopan, c) Kecamatan Barumun Tengah, d) Kecamatan Barumun,
dan e) Kecamatan Sosa. Begitu pula anjung-anjung daerah yang cukup dikenal
pada Ulayat Padang Lawas seperti: Barumun atau Sibuhuan, Sosa, Pinarik,
Binanga, Huristak, Portibi, Padang Bolak, dan Sosopan.
Kemudian Daerah Mandailing terdiri dari: Kecamatan Panyabungan,
Kecamatan Siabu, Kecamatan, Kotanopan, Kecamatan, Muarasipongi. Pada
kecamatan ini dikenal juga anjung-anjung Mandailing Godang, Mandailing Julu,
Siabu, Huta Bargot, Muarasipongi. Ulayat Pesisir memiliki dua Kecamatan yaitu:
Kecamatan Batng Natal dan Kecamatan Natal. Pada kecamatan ini juga memiliki
anjung-anjung yaitu: Batang Natal, Muarasoma, Tarlola, Parlampungan,
Simpanggambir, Kun-kun, Singkuang, Siulang-aling, dan Natal.
Maraknya otonomi daerah, begitu pula di Tapanuli Selatan yang
mengalami pemekaran di beberapa kabupaten dan kotamadya Melalui PP No. 23
Tahun

1982

dan

rekomendasi

DPRD

Kabupaten

Tapanuli

Selatan

No.15/KPTS/1992 menjadi Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Mandailing Natal,
Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas, dan Kabupaten
Tapanuli Selatan sebagai daerah induk pemekaran.

Universitas Sumatera Utara

Sebelum pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan daerah yang
terluas di Sumatera Utara yaitu 18.896,50 Kilometer atau 1.889.650 Hektar atau
26.36% dari seluruh luas Sumatera utara. Tapanuli Selatan dibagi atas lima
wilayah budaya yaitu: Angkola-Sipirok, Padang Lawas, Mandailing, Ulu dan
Pesisir. Tiga wilayah yang disebutkan seperti: Angkola-Sipirok, Padang Lawas,
dan Mandailing (setelah otonomi daerah (pemekaran) masing-masing Kabupaten/
kota berdiri sendiri) daerah tersebut lebih dikenal sebagai wilayah budaya Dalihan
Na Tolu.
Setelah otonomi dan pemekaran daerah budaya Angkola-Sipirok (luat/
Kuria Angkola) kini berada di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota
Padangsidimpuan. Seluruh Daerah Kota Padangsidimpuan mulai dari Kecamatan
Padangsidimpuan Angkola Hutaimbaru, Kecamatan Padangsidimpuan Angkola
Julu, Kecamatan Padangsidimpuan Utara, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan,
Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, dan Kecamatan Padangsidimpuan
Batunadua.

KABUPATEN TAPANULI SELATAN

WILAYAH KEBUDAYAAN ANGKOLA

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5. Wilayah Kebudayaan Angkola
Pada Kabupaten Tapanuli Selatan setelah pemekaran dibagi atas 4 Wilayah
yang terdiri dari 14 kecamatan Seperti: Wilayah I, a) Kecamatan Aek Bilah b)
Kecamatan Sipirok Dolok Hole (SDH), c) Kecamatan Arse, d) Kecamatan Sipirok,
dan e) Kecamatan Angkola Timur. Wilayah II, e) Kecamatan Angkola Barat, f)
Kecamatan Marancar, g) Kecamatan Batang Toru, h) Kecamatan Muara Batang
Toru. Wilayah III, i) Kecamatan Angkola Selatan, j) Kecamatan Batang Angkola,
k) Kecamatan Batang Angkola, l) Kecamatan Sayurmatinggi, m) Tana
Tombangan (Tantom) Angkola.

Universitas Sumatera Utara

pada daerah Marancar, Batang Toru, Sangkunur, Simarpinggan, Siondop,
Sipirok, Saipar Dolok Hole, Arse, Batang Angkola, Angkola Sayurmatinggi,
Angkola Tana Tombangan (Tantom), Batang Pane, dan Simangambat.
Kabupaten Padang Lawas Utara yang beribu kota kabupaten Gunung Tua,
dan Kabupeten Padang Lawas pada anjungan-anjungan: Sipiongot, Padang Bolak,
Aek Godang, Poken Salasa, Hutaimbaru, portibi Barumun atau Sibuhuan, Sosa,
Pinarik, Binanga, Huristak, Portibi, Padang Bolak, dan Sosopan. Kedua kabupaten
tersebut enggan disebut memiliki Adat Angkola karena pemahaman adat mereka
dengan Angkola berbeda pada gerakan tarian adat tortor, upacara adat dan bahan
adat sehingga komunitas adat Padang Bolak dan Padang Lawas tidak berada pada
luhat adat Angkola.
Kemudian, Daerah budaya sekarang dikenal dengan Kabupaten MandailingNatal terdiri dari 7 kecamatan menjadi 23 kecamatan sedangkan 2 kecamatn tidak
mengalami pemekaran seperti Kecamatan Muara Sipongi dan Kecamatan
Pakantan, dengan 5 daerah Induk yang mengalami Pemekaran yaitu: Kecamatan
Panyabungan Kota, Kecamatan Siabu, Kecamatan Kotanopan, Kecamatan Batang
Natal, dan Kecamatan Batang Natal. Yang berkembang menjadi 23 Kecamatan
seperti: 1) Kecamatan Panyabungan Kota menjadi, 2) Kecamatan Panyabungan
Timur, 3) Kecamatan Panyabungan Barat, 4) Kecamatan Panyabungan Selatan, 5)
Kecamatan Panyabungan Utara, 6) Kecamatan Siabu menjadi, 7) Kecamatan
Bukit Malintang, 8) Kecamatan Naga Juang, 9) Kecamatan Huta Bargot, 10)
Kecamatan Kotanopan, 11) Kecamatan Puncak Sorik Marapi, 12) Kecamatan
Tambangan, 13) Kecamatan Lembah Sorik Marapi, 14) Kecamatan Ulu Pungkut,
15) Kecamatan Muarasipongi. 16) Kecamatan Pakantan, 17) Kecamatan Batang

Universitas Sumatera Utara

Natal menjadi, 18) Lingga Bayu, 19 Kecamatan Ranto Baek, 20) Kecamatan
Natal menjadi, 21) Kecamatan Muara Batang Gadis, 22) Kecamatan Sinunukan,
dan 23) Kecamatan Batahan.

sedangkan Kabupaten Mandailing Natal, yang

berada pada anjung-anjung daerah Mandailing Natal memiliki daerah budaya
Mandailing yang berbeda dengan adat Angkola begitu pula dengan Muarasipongi
sebagai daerah yang berbatas dengan daerah Sumatera Barat memiliki bahasa
yang berbeda yang dikenal dengan bahasa Muarasipongi terjadi akulturasi bahasa
dan budaya antara bahasa Mandailing dengan bahasa Minang dari Sumatera Barat,
begitu pula dengan adat dan budaya yang dipakai terjadi percampuran budaya.
Daerah budaya Batang Natal dan Kecamatan Natal, pada kecamatan ini juga
memiliki anjung-anjung yaitu: Batang Natal, Muarasoma, Tarlola, Parlampungan,
Simpanggambir, Kun-kun, Singkuang, Siulang-aling, dan Natal. Ulayat Pesisir
yang lebih mendekati budaya campuran antara budaya Mandailing, Melayu
Pesisir, dan Minang Kabau memiliki akulturasi budaya pesisir dan Minang Kabau,
sehingga pada upacara adat dominan menggunakan adat Minang Kabau dan
pesisir sehingga dikenal nilai budaya melayu pesisir dalam tetrapartit adat yaitu:
adat yang sebenar adat, adat yang diadatkan, adat yang teradat, dan adat istiadat.
Jadi, Daerah Budaya Angkola-Sipirok memiliki daerah budaya yang cukup
luas, yaitu seluruh Daerah Kota Padangsidimpuan mulai dari Angkola Hutaimbaru,
Angkola

Julu,

Padangsidimpuan

Utara,

Padangsidimpuan

Selatan,

Padangsidimpuan Tenggara, dan Padangsidimpuan Batunadua. Serta anjunganjung di Kabupaten Tapanuli Selatan yaitu: Marancar, Batang Toru, Sangkunur,
Simarpinggan, Siondop, Sipirok, Saipar Dolok Hole, Arse, Batang Angkola,

Universitas Sumatera Utara

Sayurmatinggi, Tana Tombangan (Tantom), Batang Pane, dan Simangambat
Sipirok.

3.2.3 Bahasa dan Kesenian Masyarakat Angkola

1) Bahasa Masyarakat Angkola
Luhak Angkola yang berada di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan dan
Kota Padangsidimpuan dihuni oleh suku Angkola-Sipirok-Madailing, sehingga
masyarakat di wilalayah tersebut menggunakan bahasa Angkola yang berbeda
pada dialek dan ideolek pada suku Mandailing yang lebih lembut. Tetapi, Bahasa
Angkola bila dibandingkan dengan penggunaan bahasa di Daerah Gunung Tua
yang tinggal di Padang Bolak cenderung penggunaan bahasanya lebih keras dan
pada pengucapan suku kata-suku kata tertentu, sehingga apabila dibandingkan
dengan ketiga wilayah tadi bahasa pada Suku Angkola berada di tengah dalam
penggunaan kkeras lembutnya intonasi suara. Sedangkan apabila dibandingkan
antara bahasa Batak Toba dengan bahasa Padang Bolak tentunya bahasa Batak
Toba lebih keras Intonasinya dibandingkan dengan Bahasa di Padang Bolak.
Penggunaan bahasa Angkola di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan,
Sipirok, dan Padangsidimpuan dalam berkomunikasi setiap hari. Sedangkan
penggunaan bahasa Indonesia hanya dipakai pada kegiatan formal saja, walaupun
begitu pengajar yang lahir di Kota Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan tak jarang
menggunakan bahasa daerah dalam menyampaikan materi pelajaran. Hal itu
bertujuan agar materi ajar lebih mudah diserap oleh peserta didik.

Universitas Sumatera Utara

Intensitas pemakaian bahasa Angkola-Mandailing dipakai pada semua
lapisan masyarakat, baik itu untuk kalangan orang tua maupun di kalangan anakanak dan remaja. Pada aktifitas formalpun tak jarang digunakan bahasa AngkolaMandailing, bahkan bila ada penggunaan bahasa di luar bahasa Angkola (Bahasa
Indonesia) akan mendapatkan kritikan dari sesama komunitas suku Angkola.
Begitu kentalnya loyalitas pemakaian bahasa Angkola bagi penutur di Kedua
wilayah pengguna bahasa Angkola tersebut.
Penggunaan bahasa Angkola-Mandailing oleh bahasa penduduk asli atau
pendatang yang sudah menetap cukup lama di Kota Padangsidimpuan dan
Tapanuli Selatan. Di samping itu penduduk asli suku Angkola di Tapanuli Selatan
ada juga pendatang yang bersuku Jawa, Minang, Batak Toba, dan lain-lain.
Bahasa Jawa, Minang, bahasa Batak Toba, bahasa Minangkabau, bahasa
Palembang, bahasa Aceh, bahasa Melayu, bahasa Pesisir, bahasa Cina, bahasa
Tamil dan lainnya. Penduduk pendatang pada umumnya yang sudah lama
menetap di Tapanuli Selatan dan Kota Padangsidimpuan..
Penduduk sekitar Tapanuli Selatan juga berbahasa berbahasa Mandailingdialek Angkola, yang digunakan pada saat berkomunikasi menggunakan bahasa
Angkola seperti daerah Angkola Jae, Angkola Julu, Marancar, Batangtoru,
Sipirok, Saipar Dolok Hole, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, dan Barumun.
Sedangkan yang menggunakan Bahasa Tapanuli Selatan berdialek Mandailing
digunakan pada daerah: Siabu, Panyabungan, Kotanopan Muara Sipongi, dan
Batang Natal.

Universitas Sumatera Utara

Ada satu hal yang unik di Kota Padangsidimpuan dan Kabupaten Tapanuli
Selatan, yang penggunaan bahasa Jawa oleh penduduk yang dulunya
ekstransmigrasi yang bekerja di perkebunan, atau pelarian pada masa penjajahan
Belanda yang kini menetap di Kota Padangsidimpuan. Jumlah penduduk kedua
terbanyak adalah suku Jawa, sehingga di kantong-kantong wilayah tertentu di
Tapanuli Selatan dan Kota Padangsidimpuan di huni oleh suku Jawa. Oleh karena
itu bahasa Jawa bukan lagi bahasa asing apabila kita mendengar sesama
komunitas suku Jawa berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Jawa di
daerah Tapanuli Selatan dan Kota Padangsidimpuan.
Penggunaan beberapa bahasa daerah yang digunakan oleh pendatang juga
dipakai sebagai bahasa komunikasi, yakni bahasa Mandailing, bahasa Angkola,
bahasa Batak Toba, bahasa Minang, bahasa Jawa, bahasa suku yang lain yaitu
Cina, bahasa ini hanya dipakai ditingkat kelompok orang-orang yang telah dewasa,
namun dalam pergaulan sehari-hari pada kalangan usia sekolah menggunakan
bahasa Mandailing dalam berkomunikasi. Hal ini disebabkan pengaruh dominasi
penduduk yang bersuku Angkola-Mandailing dan yang secara demografi bersuku
Angkola-Mandailing menyebar di seluruh tanah Tapanuli Selatan. Hal inilah yang
menyebabkan

menggunakan

bahasa

Angkola-Mandailing sebagai

bahasa

pergaulan dan bahasa pengantar sehari-hari sangat besar.

2) Kesenian Masyarakat Angkola
Kabupaten Tapanuli Selatan sebagai induk kabupaten kini telah terpecahpecah menjadi 4 kabupaten dan 1 Kota dengan wilayah Angkola tinggal

Universitas Sumatera Utara

Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padangsidimpuan yang mendominasi
penduduk berkebudayaan Angkola. Suku Angkola yang mendiami wilayah
tersebut tidak mengalami perubahan setelah terjadinya pemekaran, hal yang
mengalami pemekaran pada pemerintahan, tetapi pada wilayah budaya tetap
karena tidak mempengaruhi hal tersebut.
Wilayah kebudayaan Angkola-Sipirok di Kabupaten Tapanuli Selatan dan
Kota Padangsidimpuan dalam berkesenian masih yang pada umumnya tetapi
mengalami penurunan intensitas dan pengetahuan bagi generasi muda, hal ini
seriring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang berdampak pada
semakin termarginalnya kesenian tradisional. Hal ini karena, anak-anak lebih
banyak menghabiskan waktunya dengan ber-gadget dan dengan menjamurnya
jasa warnet yang dapat digunakan oleh anak-anak untuk bermain game online atau
dengan aktifitas internet atau bermedia sosial.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus
menggerus budaya dan kesenian di daerah sehingga perkembangan kebudayaan
semakin kecil. Gaya hidup hedonis, kapitalis dan materialis dan instan merubah
paradigm masyarakat di wilayah budaya, padahal budaya dan kesenian-kesenian
Angkola bila dikajidan diretas mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang dapat
mencerminkan karakteistik budaya kerja sama, gotong royong, tenggang rasa.
Padahal budaya dan kesenian Angkola sebegai perekat persatuan dan kesatuan
untuk saling menghargai perbedaan pendapat dengan beragam strata sosial.
Agama Islam yang masuk ke Angkola-Sipirok dibawa oleh kaum Paderi
dari daerah Minangkabau sekitar tahun 1820 melalui Mandailing dari Sumatera

Universitas Sumatera Utara

Barat memberikan pengaruh bagi penduduk penganut kepercayaan arwah nenek
moyang atau benda yang dikeramatkan atau pelebegu, yaitu kepercayaan yang
intinya memuja roh nenek moyang. Penghubungnya disebut sibaso, orang
(mediasi atau perantara) yang dapat berhubungan dengan roh nenek moyang
dalam bentuk upacara ritual. kepercayaan Pelebegu ini tidak lagi dianut oleh
masyarakatnya. Dengan masuknya agama Islam tentu hal itu berpengaruh
terhadap kesenian yang sebelumnya digunakan sebagai pelipur lara masyarakat
Angkola.
Kesenian-kesenian yang masih bertahan di tengah derasnya arus budaya
Islam dan pengaruh kesenian asing berpengaruh kepada kesenian lokal tersebut
yaitu: ende (bernyanyi), Gondang, hapantunan (berbalas pantun), marmoncak
(pencak silat), tarian tortor, gorga-ganaganaan (seni rupa). Di samping itu, ada
bagian budaya dan kesenian yang penting dari kebudayaan Angkola- Sipirok,
Tapanuli Selatan yang punah sama sekali, misalnya hata andung, hata sibaso,
hata parkapur, dan hata teas dohot jampolak, yang masih dipakai hata somal,
demikian juga gordang sambilan, gordang dua, dan juga sastra lisan. Gorgaganaganaan ini merupakan peninggalan seni Angkola-Mandailing. Keberadaanya
juga sudah mengkhawatirkan sebab para pembina gorga-ganaganaan sendiri telah
dimakan usia, bahkan sudah banyak yang meninggal dunia. Sedangkan generasi
muda sebagai penerus kurang begitu menjiwai atau bahkan sistem penerusannya
secara estafet terhenti.
Bagi masyarakat Angkola-Sipirok pada masa pra-Islam, kesenian daerah
merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari kegiatan religi dan upacaraupacara adat biasanya menggunakan alat musik untuk upacara bersifat suka cita

Universitas Sumatera Utara

(siriaon) maupun untuk upacara duka cita (siluluton). Alat musik yang digunakan
biasanya disebut gondang atau gendang
Gendang atau gondang adalah salah satu jenis musik yang terdapat di
daerah Angkola, Sipirok, dan Mandailing yang digunakan pada pelaksanaan
upacara adat na godang (tingkatan upacara adat yang paling besar). Kata gondang
mempunyai tiga macam pengetian. Pertama, gondang berarti alat musik yaitu
gendang yang terdiri dari gondang inang atau gondang siayakkon dan gondang
pangayakon. Kedua, gondang bisa berarti lagu, misalnya lagu untuk suhut
sihabolonan maka disebut dengan gondang suhut sihabolonan, lagu untuk mora
disebut dengan gondang mora. Ketiga, gondang dapat juga berarti ensambel
musik, yakni alat-alat musik yang tergabung dalam satu unit. Ensambel musik
tradisional Angkola, Sipirok, dan Mandailing dikenal dalam tiga klasifikasi: (1)
gondang dua, (2) gondang lima, dan (3) gordang sambilan.
Sehingga jika orang mengatakan main gondang, yang dimaksud bukan
hanya memainkan instrumen gendang, tetapi memainkan satu ansambel musik
yang terdiri dari 2 buah gondang (gondang inang dan gondang pangayakon), 2
buah ogung, 1 buah suling, 1 buah doal, sepasang tali sasayat (simbal), 7 buah
salempong, dan onang-onang (nyanyian), juga tortor. Gondang menurut tradisi
hanya dapat ditampilkan dalam konteks upacara adat nagodang dalam suasana
siriaon (suka cita) saja, oleh karena itu pula disebut dengan gondang maradat.
Selain gondang (musik instrumen) yang ditampilkan secara ensambel ada
juga jenis-jenis instrumen yang dimainkan secara tunggal oleh perorangan sebagai
hiburan pribadi, dan tentu saja musik ini tidak masuk ke dalam penampilan dalam

Universitas Sumatera Utara

konteks adat. Oleh karena itu, musik ini biasanya ditampilkan di luar
perkampungan yakni saat di sawah atau saat menggembalakan ternak atau boleh
juga dalam perkampungan pada saat malam hari. Alat musik terebut antara lain
adalah sebagai berikut. (1) Ole-ole atau uyup-uyup, adalah alat musik aerofon
yang bahannya terbuat dari batang padi. Cara memainkannya adalah dengan ditiup
dan dimainkan biasanya di sawah atau di ladang sebagai hiburan. (2) Nung-neng
adalah idiophone yang bahannya terbuat dari bambu.
Cara memainkannya adalah dengan memukul badan bambu tersebut.
Fungsinya adalah untuk belajar bermain gondang dan hiburan, biasanya
dimainkan pada malam hari oleh pemuda-pemudi di halaman bagas godang. (3)
Suling, adalah aerofon yang bahannya terbuat dari bambu. Cara memainkannya
adalah dengan ditiup, biasanya dimainkan di luar kampung atau pada malam hari
di halaman bagas godang. (4) Tulila, adalah aerofon yang bahannya terbuat dari
bambu, bentuk atau besar badannya lebih kecil dari bentuk suling. Cara
memainkannya adalah dengan cara ditiup (Takari dkk, 2008:122-123).
Ende (nyanyian) atau marende (bernyanyi) dalam bahasa MandailingAngkola-Sipirok nyanyian disebut juga dengan endo. Ende dalam musik Angkola
terbagi lagi atas beberapa jenis menurut fungsi dan penggunaannya, antara lain
adalah: (1) Onang-onang, secara harafiah onang-onang tidak dapat diartikan,
tetapi menurut beberapa sumber kata onang berasal dari kata inang yang artinya
"ibu". Kata onang tersebut adalah berawal dari ungkapan rasa kekecewaan
seseorang anak yang sedang merantau jauh terhadap kehidupan yang belum
membawa keberuntungan, rasa kecewa yang menimbulkan rasa rindu terhadap
orang yang dikasihinya yaitu ibunya juga kekasih hatinya. Sehingga untuk

Universitas Sumatera Utara

melepaskan rasa rindu dan kekecewaannya tersebut muncullah kata onang-onang
dalam bentuk nyanyian.
Pada awalnya onang-onang adalah nyanyian yang berfungsi sebagai
ungkapan pelepas rasa rindu kepada orang yang dikasihinya. (2) Turke-turke
adalah nyanyin rakyat (lullaby song) masyarakat Angkola yang dinyanyikan oleh
orang tua (ayah atau ibu) untuk si buah hati (anak) 6 sampai 10 bulan. Turke-turke
dinyanyikan sebagai ungkapan perasaan suka cita orang tua terhadap kesehatan
dan pertumbuhan sang anak yang semakin bijak. (3) Ungut-ungut, nyanyian
rakyat yang mengisahkan suasana kampung Sipirok atau Bunga Bondar.
Ungut-ungut dinyanyikan oleh seorang pria sebagai ungkapan keluh
kesahnya karena akan pergi merantau jauh dari kampung halaman untuk mencari
pekerjaan yang lebih layak derni masa depan. Berpisah dengan sang kekasih
menyebabkan munculnya perasaan sedih dan terharu; namun tetap berharap dan
berpesan kiranya sang kekasih tetap setia menunggu kepulangannya dengan
keberhasilan. (4) Ile Onang Baya, nyanyian pelepas rindu dimana bila kita
mendengarnya akan terobati rasa rindu kepada orang yang kita cintai dan sayangi.
Nyanyian ini dinyanyikan oleh pemuda/i untuk mengungkapkan perasaan hatinya.
Biasanya nyanyian ini dinyanyikan oleh seseorang di tempat tertentu (tidak di
tempat umum, masih banyak lagi musik vokal Angkola, Sipirok, dan Mandailing.
Bondong adalah sejenis kesenian rakyat masyarakat Angkola, Sipirok, dan
Mandailing dalarn bentuk teater dan digunakan dalam upacara adat khususnya di
kalangan muda-mudi saat berkenalan, senda gurau, ajuk mengajuk hati, sampai
kepada memadu kasih dilaksanakan dengan bondong. Kesenian bondong ini

Universitas Sumatera Utara

biasanya dilaksanakan pada malam hari setelah berakhimya acara perkawinan
oleh anak muda dan gadis dengan bimbingan pengetua adat. Tetapi dapat juga
dilaksanakan pada siang hari tergantung persiapan .
Tempat pertunjukan kesenian bondong di dalam ruangan rumah yang lebih
dahulu dipersiapkan khusus dengan beberapa hiasan terutama alat yang bernama
bondong, serta tempat duduk para pernain di atas tikar dan perlengkapan lainnya
yang diperlukan. Dengan demikian kesenian bondong belum dilaksanakan di atas
pentas yang dibuat secara khusus. Kesenian bondong disajikan dengan cara yang
sederhana, biasanya ditampilkan bersamaan dengan upacara pernikahan dalam,
bentuk dialog yang dirangkaikan dengan berbagai pantun.
Para pemain kesenian bondong bermain secara spontan sesuai dengan
kemampuan masing-masing dengan naskah cerita tidak ada, maka dialog tersusun
dalam bentuk pantun yang timbul secara spontan dan alamiah. Urutan adegannya
adalah diawali dengan keberangkatan sekumpulan anak muda dari sebuah rumah
ke rumah lain tempat anak gadis berada. Diperdengarkan lagu sitogol secara
bersahut-sahutan di antara anak gadis dan anak muda (na poso dan nauli bulung)
yang sedang menunggu di halaman.
Lagu tersebut diiringi bunyi-bunyian seperti tiupan suling atau tiupan ole
(sejenis instrument terbuat dari batang padi) kadang-kadang diiringi musik
pengiring seperangkat gondang dengan lagu onang-onang. Isi lagu umumnya
berkeinginan untuk saling berkenalan dan memadu hati. Sampai di tempat calon
pengantin wanita muda-mudi atau naposo dan nauli bulung mengadakan acara
khusus untuk perkenalan di dalam sebuah rumah dengan kegiatan berbicara dan

Universitas Sumatera Utara

berbalas pantun dan diawasi seorang ibu dan seorang bapak sekaligus menjadi
pengarah acara. Dialog pertama dimulai oleh pria isinya mohon persetujuan anak
gadis untuk memasuki ruangan yang disampatkan dalam bentuk pantun (Takari
dkk, 2008:123-124).
Kemudian selain itu, di Angkola, Sipirok, dan Tapanuli Selatan juga
terdapat seni bela diri yakni moncak (Pencak Silat), pencak silat ini lebih dikenal
dengan nama tarlak, seni bela diri tarlak merupakan seni asli tanah AngkolaMandailing, tetapi marmoncak yang masih dimiliki oleh masyarakat AngkolaMandailing. Seni moncak (pencak silat) ini pada masyarakat Kabupaten Tapanuli
Selatan dapat berpungsi ganda, yakni satu sisi dapat menjadi hiburan pada acara
pelengkap dalam hajatan perkawinan. Marmoncak (pencak silat). ini dihadirkan
untuk seni ketika mempelai pria sudah sampai ke rumah calon istri. Untuk harihari tertentu silat ini juga digunakan untuk olah raga ataupun sebagai seni bela diri.
Seni pencak silat ini jika dipakai pada acara perkawinan biasanya menggunakan
pedang/ golok dan tombak pada saat mengiringi rombongan pengantin diringi
musik gondang yang digunakan untuk mengiringi gerakan silat tersebut.

3.2.4

Lokasi Penelitian
Melalui aspirasi masyarakat serta peraturan pemerintah Nomor 23 Tahun

1982 dan melalaui rekomendasi DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor
15/KPTS/1992 Kota Administratif Padangsidimpuan diusulkan menjadi Kota
Madya Daerah Tingkat II, bersamaan dengan pengusulan pembentukan Daerah
Tingkat II Mandailing Natal, Angkola Sipirok dan Kabupaten Padang Lawas.

Universitas Sumatera Utara

Setelah dibentuknya Kabupaten Mandailing Natal, maka melalui:
1. Surat Bupati Tapanuli Selatan Nomor 135/1078/2000 tanggal 30
Nopember 2000, dan
2. Keputusan DPRD Tapanuli Selatan Nomor 01/PIMP/2001 tanggal 25
Januari 2001, serta
3. Surat Gubernur Sumatera Utara Nomor 135/1595/2001 tanggal 5 Februari
2001.
Maka

diusulkan

pembentukan

Kota

Padangsidimpuan

dengan

diterbitkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2001 tentang pembentukan Kota
Padangsidimpuan.
Pada tanggal 17 Oktober Tahun 2001 oleh Menteri Dalam Negeri, atas
nama Presiden Republik Indonesia, diresmikan Padangsidimpuan menjadi kota
dan pada tanggal 9 November 2001 Gubernur Sumatera Utara melantik Drs.
Zulkarnain Nasution,MM sebagai pejabat (Pj) Walikota Padangsidimpuan, dan
memenangkan pemilihan walikota dua periode. Yang kini dijabat oleh Bapak
Andar Amin Harahap, SST.,M.Si. sebagai Walikota Padangsidimpuan yang
kedua.
Kota Padangsidimpuan dibentuk atas dasar Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2001. kota yang terletak pada 432 km dari Medan yang di kelilingi oleh
beberapa bukit, dengan suhu udara rata-rata 26-32 derajat Celsius dan dilalui oleh
beberapa sungai dan anak sungai. Kota Padangsidimpuan secara geografis terletak
pada 0 1028‟19” Lintang Utara s.d. 0 1018‟07” Lintang Utara dan 99018‟53” Bujur
Timur s.d. 99020‟35” Bujur Timur dengan kota seluas 14.685.680 Ha.

Universitas Sumatera Utara

Pemerintah Kota Padangsidimpuan pada saat ini dibagi menjadi 6 (enam)
wilayah kecamatan, masing-masing: 1) Kecamatan Padangsidimpuan Utara; 2)
Kecamatan Padangsidimpuan Selatan; 3) Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara;
4) Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua; 5) Kecamatan Padangsidimpuan
Hutaimbaru; 6) Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu.

Hal ini karena

umumnya penduduk di Kota Padangsidimpuan menggunakan bahasa AngkolaTapanuli Selatan (Mandailing) sebagai bahasa pengantar, sehingga upacara
perkawinan adat Angkola nagodang yang pada upacara perkawinan adat Angkola
yang salah satu puncak mata acara tersebut dilakukan upacara mangupa adat
Angkola.

3.2.5 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Padangsidimpuan yang bertempat di
Jalan Sudirman Gang PUD Sadabuan Padangsidimpuan Utara, Provinsi Sumatetra
Utara, penelitian awal pada bulan Januari 2013 sampai dengan November 2014.
Pengambilan data upacara perkawinan adat nagodang yang pada upacara
perkawinan adat Angkola yang salah satu puncak mata acara tersebut dilakukan
upacara adat mangupa Angkola yang dilaksanakan pada tanggal 10 Februari 2013
sampai dengan tanggal 11 Februari 2013, Data kedua waktu upacara perkawinan
adat Angkola Perkawinan ini berlangsung di Jalan MT Haryoni No. 56 Kampung
Marancar Kota Padangsidimpuan pada tanggal 17-18 Oktober 2014.

3.3 Sumber data

Universitas Sumatera Utara

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini dengan mengumpulkan data
primer dan data skunder, data primer penelitian ini yang diperoleh langsung ketika
upacara perkawinan adat nagodang yang pada upacara perkawinan adat Angkola
yang salah satu mata acara tersebut dilakukan upacara mangupa adat Angkola,
sehingga tradisi lisan sebagai wadah berlangsungnya tradisi mangupa adat
Angkola tersebut. Data primer juga didapat dengan mengambil data dari informan
kunci yaitu pelaku adat dan raja-raja yang memahami tradisi mangupa adat
Angkola.
Data skunder adalah hasil wawancara terstruktur dan takterstruktur. Hal ini
sesuai dengan yang disebutkan oleh Lofland dan Lofland (1984) dalam Moleong
(2005:157) menyebutkan, sumber data utama dalam penelitian kualitatif, ialah
kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan
lain-lain. Sejalan dengan pendapat di atas Heritage (1988) kajian analisis
percakapan memerlukan data yang muncul secara alamiah, dalam hal ini sumber
data utama adalah tradisi lisan upacara adat mangupa adat Angkola yang direkam
dengan handycam dan dicatat.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Hutchby dan Woffit (1994)
data yang dianalisis adalah data tradisi lisan yang direkam dan ditranskripsikan,
kemudian dilengkapi dengan pengambilan foto. Data yang dikumpulkan dari
mulai bulan Januari 2013 sampai dengan November 2015.
Penggunaan teknik observasi partisipatoris yang bersifat pasif atau seperti
istilah yang digunakan oleh Adler dan Adler dalam Spradley (1980). Observasi
nonpartisipatoris atau observasi non-intervensionism. Observasi adalah tindakan

Universitas Sumatera Utara

mengamati sebuah fenomena dengan menggunakan instrumen dan rekaman untuk
tujuan ilmiah. Observasi bertujuan untuk mengumpulkan data dan bahan-bahan
dari upacara mangupa adat Angkola yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Di
dalam observasi data tidak dilakukan manipulasi data dan juga menstimulasi
subjeknya, sehingga seluruh tradisi lisan mangupa adat Angkola berlangsung
sesuai dengan yang semestinya, sehingga berjalan secara alami.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi
instrumen pengumpulan data terdiri dari dua: a) lembar dokumentasi untuk data
tertulis; dan b) teknik rekam untuk data tradisi lisan. Sumber data primer
penelitian ini terdiri dari dua jenis yakni data yang diperoleh ketika upacara adat
mangupa berlangsung dalam bentuk tradisi lisan dan wawancara dengan informan
kunci yaitu dengan raja-raja adat, pelaku adat, tokoh masyarakat sedangkan untuk
memahami antropolinguistik sebagai jalan masuk mengkaji tradisi lisan mangupa,
sedangkan semiotik untuk mengkaji makna dan fungsi upacara mangupa adat
Angkola dikumpulkan dari hasil rekaman dan wawancara terstruktur dan
takterstruktur.
Sumber data primer yaitu upacara mengupa adat Angkola yang merupakan
acara puncak perkawinan, yaitu performansi upacara mangupa adat Angkola. Data
sekunder yaitu dengan mengumpulkan data observasi lapangan, wawancara
dengan narasumber, dan menganalisis data dokumentasi dan referensi buku.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Universitas Sumatera Utara

Metode yang digunakan dalam penelitian ini, pertama, metode survey
yaitu mengumpulkan informasi yang sesuai dengan judul yang telah ditetapkan
yaitu tradisi lisan yang digunakan pada upacara mangupa adat Angkola. Kedua,
melakukan wawancara yang dalam (depth interview) terstruktur dan takterstruktur
dengan informan kunci untuk menggali informasi yang berhubungan dengan
tradisi mangupa adat Angkola, sehingga didapat tradisi mangupa adat Angkola
yang cukup akurat untuk memperoleh data. Ketiga, mengumpulkan data-data
yang digunakan pada tradisi lisan mangupa adat Angkola.

Sumber data

Observasi Non
Partisipan

Wawancara mendalam
terstruktur dan
takterstruktur

Dokumentasi
Rekaman/ Foto

Observasi
Partisipan

Reduksi Data

Pengklasifikasian
Data

Pengujian Data

Pengecekan Hasil
penelitian

Universitas Sumatera Utara

Gambar 6. Pengumpulan Data

Keempat, melakukan pengecekan keabsahan hasil penelitian yang
dilakukan

serta

membahasnya

dengan

informan

kunci.

Kelima

mengkonsultasikannya dengan promotor/ co-promotor disertasi. Apabila ada
prosedur dan langkah-langkah penelitian yang tidak sesuai, sehingga dapat
dilakukan revisi dan mengambil data yang belum sesuai (lihat gambar 4 di atas).

3.5 Metode Analisis Data
Menganalisis data kualitatif menurut Bodgan dan Biklen (1982) dalam
Moelong (2005:248) mengatakan bahwa analisis data kualitatif adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari,
menemukan apa yang penting, apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang
dapat diceritakan kepada orang lain. Proses menganalisis dan mengorganisasikan
data ke dalam suatu pola, mengkategorikan agar menjadi uraian dasar, sehingga
dapat dikategorikan ke dalam hipotesis kerja, dengan menggunakan metode
deskriptif dilakukan analisis dan interpretasi secara menyeluruh pada data
performansi mangupa adat Angkola yang telah dikumpulkan.
Berikutnya

McDrury

(1999)

masih

dalam

Moleong

(2005:248)

menyebutkan tahapan penganalisisan data kualitatif antara lain:

Universitas Sumatera Utara

1. Membaca dan mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan
yang ada pada data upacara adat Angkola.
2. Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang
berasal dari data.
3. Menuliskan model yang ditemukan.
4. Koding yang telah dilakukan.
5. Merevitalisasi proses mangupa adat Angkola.

Lebih jauh Saidel menjelaskan dalam Moleong (2005:248), proses
penganalisisan yaitu:
1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal yang diberi
kode agar sumber datanya tetap ditelusuri;
2. Mengumpulkan dan memilah-milah data, mengklasifikasikan data,
mensintesiskan, membuat ikhtiar dan membuat indeksnya;
3. Berpikir dengan jalan membuat kategori data itu mempunyai makna,
mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat
temuan umum.

Penganalisisan data performansi mangupa adat Angkola serta jawaban dari
setiap informan kunci, ditabulasikan berdasarkan klasifikasi sesuai urutan
performansi upacara mangupa adat Angkola. Kemudian akan dianalisis hasil akhir,
dengan wawancara dengan informan kunci, sehingga diperoleh data dan
perubahan performansi upacara adat mangupa sehingga disimpulkan hasil data
tradisi lisan tersebut, agar lebih jelas dapat digambarkan analisis data di bawah.

Universitas Sumatera Utara

Data yang diperoleh dari hasil pengumpulan dokumen dianalisis dengan
teknik analisis dokumen atau analisis isi. Hal ini disebabkan penelitian ini untuk
mengumpulkan informasi kemudian melakukan pengujian data tradisi lisan
upacara mangupa adat Angkola. Menurut Sigit (2003:240) analisis dokumen ialah
mempelajari apa yang tertulis dan dapat dilihat dari dokumen-dokumen. Analisis
dalam penelitian tradisi lisan mangupa adat Angkola meliputi tahap:
5. Mendeskripsikan data performansi tradisi lisan mangupa adat Angkola.
6. Menganalisis data performansi, mengklasifikasikan data, dan menafsirkan
data atas bentuk dan fungsi melalui performansi, indeksikalitas, dan
partisipan, analisis teks, koteks, dan konteks tradisi lisan mangupa adat
Angkola dengan informan kunci.
7. Hasil akhir yang terdapat pada performansi tradisi lisan mangupa adat
Angkola dan dikonsultasikan dengan pembimbing.
8. Temuan penelitian dan upaya merevitalisasi model tradisi lisan mangupa adat
Angkola, untuk lebih jelas lihat gambar 5 pada bagan di bawah ini:

Universitas Sumatera Utara

Mengumpulkan data dengan
Wawancara kepada informan
kunci

Hasil Data
dianalisis

Hasil Data
diklasifikasikan

Hasil perolehan data ditafsirkan
dengan wawancara kepada
informan kunci

Hasil akhir data dikonsultasikan kepada
pembimbing

Temuan penelitian

Revitalisasi Penelitian Tradisi Mangupa
Adat Angkola

Membuat Model Penelitian Tradisi
Mangupa Adat Angkola

Gambar 7. Analisis Data

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

PETA WILAYAH KEBUDAYAAN ANGKOLA
DAN PERFORMANSI TRADISI LISAN
MANGUPA HORJA GODANG ADAT ANGKOLA

4.1 Hakikat Mangupa Horja Godang
Sebelum masuknya agama ke daerah Angkola-Sipirok, Batak, Mandailing, dan
Tapanuli Selatan, masyarakat belum memiliki kepercayaan terhadap agama, sehingga
beragam kepercayaan seperti: animisme, dinamisme, dan percaya kepada sipelebegu
menyembah pepohonan, batu-batu, atau apa saja yang dianggap keramat. Kepercayaan
masyarakat selain makhluk kasar (manusia) setiap orang memiliki roh dan kepercayaan
pada zat yang gaib, sehingga dalam keyakinan masyarakat adat setiap orang tidak bisa
sembarangan melakukan sesuatu karena hal tersebut tabu (pamali atau pantang). Setiap
orang atau makhluk hidup memiliki tondi karena orang yang sudah meninggal dunia tidak
memiliki tondi atau tidak lagi marsumangat. Kepercayaan kepada leluhur dengan
meyakini kata-kata yang dianggap bertuah atau marsahala karena pesan leluhur
disampaikan dari satu generasi ke generasi berikut secara estafet.
Petuah-petuah leluhur „sahala‟ melahirkan semangat hidup dan tondi merupakan
„core‟ inti kehidupan. Dengan menghormati dan melaksanakan petuah leluhur dianggap
menghargai roh nenek moyang. Jadi tondi itu merupakan kekuatan semangat, tenaga
„power‟ yang memelihara dan menyeimbangkan kekuatan jasmani dan rohani. Oleh
karena itu, bila tidak mengindahan petuah-petuah leluhur maka tondi akan meninggalkan
jasad, sehingga ia akan jatuh sakit.

Universitas Sumatera Utara

Tondi tersebut diyakini sebagai aspek kejiwaan manusia yang mempengaruhi
semangat dan kematangan psikologis individu. Tondi itu merupakan kekuatan yang
memberi hidup pada bayi. Tondi merupakan kekuatan, tenaga, semangat jiwa yang
127
memelihara ketegaran rohani dan jasmani agar tetap seimbang, kukuh, keras dan menjaga
harmoni kehidupan setiap individu. Dalam keadaan ketakutan yang mendadak misalnya
diserang harimau di hutan, tondi juga bisa meninggalkan badan, tondi dapat mengembara
sesukanya dan bahkan boleh jadi bertemu dan bergabung dengan roh jahat.
Kepercayaan masyarakat setiap orang memiliki roh, roh tersebut memiliki tondi
atau spirit. Karenanya tondi manusia dapat pergi atau meninggalkan roh, bila tondi
meninggalkan raga, manusia tersebut akan sakit atau dikenal mago tondi atau kehilangan
semangat. Kehilangan semangat (mago tondi) atau pergi tondi meninggalkan roh
disebabkan oleh berbagai sebab seperti: gangguan makhluk gaib, ditegur oleh leluhur
karena berbuat salah, buang air atau berbicara kasar (tabu) di tempat-tempat angker
(hutan, kayu, gua, sungai, gunung, ngarai, mata air „mual‟, bermain pada tempat-tempat
terlarang, sangat menginginkan sesuatu (tarhirim), mencuri ikan di lubuk larangan,
mendapat musibah (tabrakan, jatuh, kecelakaan, kebakaran, sakit, terkejut, ketakutan,
diganggu makhluk halus „tarsapo‟) dan lain-lain.
Tondi

Manusia

Jasad

Ruh

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Setiap manusia memiliki hubungan antara jasad, ruh, dan tondi

Agar dapat mengembalikan semangat ke dalam tubuh dikenal dengan istilah
paulak tondi tu badan, hal itu dilakukan dengan upacara adat mangupa. Kepercayaan
agar tondi kembali ke roh dilakukan dengan upacara adat mangupa dengan melengkapi
persyaratan-persyaratan dan bahan-bahan pangupa, dengan demikian

tondi tersebut

dibujuk (dielek) untuk kembali ke badan. Leluhur suku Angkola dan Tapanuli dianggap
memiliki sahala raja yang dapat memberi pengarahan pada tondi yang masih hidup.
Tokoh-tokoh sebagai perwakilan untuk melakukan upacara adat mangupa dengan
melengkapi bahan-bahan pangupa sebagai persyaratan agar arwah leluhur tidak murka
dengan mengganggu turunannya yang telah melanggar aturan adat atau hal-hal yang
dianggap tabu menurut keyakinan komunitas adat Angkola.
Upacara mangupa atau upah-upah merupakan upacara adat di Angkola, Sipirok,
dan Mandailing yang bertujuan untuk mengembalikan tondi ke dalam badan. Tondi atau
semangat atau jiwa kematangan secara psikologis individu mempengaruhi manusianya.
Tondi sebagai kekuatan (tenaga, semangat jiwa) yang memelihara ketegaran rohani dan
jasmani agar tetap seimbang, kukuh, keras dan menjaga harmoni kehidupan setiap
individu. Tondi dapat mengembara sesukanya dan bahkan boleh jadi bertemu dan
bergabung dengan roh jahat.. Upacara mangupa bertujuan untuk mengembalikan tondi
(semangat, spirit, ten