Karakteristik Penderita Kanker Paru Primer Di Departemen Ilmu Penyakit Paru Rsup Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2011 -Desember 2012

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi Paru
Paru merupakan sepasang organ berbentuk kerucut yang terletak pada

rongga dada. Keduanya dipisahkan oleh jantung dan mediastinum, yang membagi
rongga toraks menjadi dua ruangan yang terbagi jelas. Bila salah satu paru
mengalami kolaps, yang lainnya masih dapat mengembang. Paru dilindungi oleh 2
lapisan membran serosa yang dinamakan membran pleura. Lapisan paling luar
(pleura parietal) berpaparan langsung dengan rongga toraks; lapisan dalam (pleura
viseral) langsung berpaparan dengan dinding paru.
Di antara dua lapisan pleura terdapat sebuah rongga kecil yang disebut
rongga pleura yang berisi cairan lubrikan. Cairan ini berguna untuk mengurangi
gesekan antar membran sehingga paru bisa melakukan fungsinya dengan baik.
Cairan ini juga berfungsi untuk melekatkan membran yang satu dengan yang
lainnya (Tortora, 2009).

Gambar 2.1. Gambaran Paru

serta Pleura Secara Anterior Pada
Toraks (Tortora, 2009).

Gambar 2.2. Bagian Lateral dan Medial Paru Kanan dan Kiri (Tortora, 2009).

2.2.

Histologi Paru

2.2.1. Bronkiolus
Bronkiolus adalah jalan napas intralobular yang berdiameter ≤ 5 mm, tidak
memiliki tulang rawan maupun kelenjar dalam mukosanya. Epitel bronhkiolus
terminalis juga mengandung sel Clara . Sel Clara mensekresi protein yang
melindungi lapisan bronkiolus terhadap polutan oksidatif dan inflamasi.Lamina
propria bronkiolus sebagian besar terdiri atas otot polos dan serat elastin. Otototot bronki dan bronkioli berada dibawah kendali nervus vagus dan susunan saraf
simpatis. Stimulasi nervus vagus mengurangi diameter struktur- struktur ini;
stimulasi simpatis menghasilkan efek kebalikannya.

2.2.2. Bronkiolus respiratorius
Mukosa bronkiolus respiratorius secara struktural identik dengan mukosa

bronkiolus terminalis kecuali dindingnya yang diselingi oleh banyak alveolus
tempat terjadinya pertukaran gas. Bagian bronkiolus respiratorius dilapisi oleh sel

epitel kuboid bersilia dan sel Clara , tetapi pada bagian tepi muara alveolus, epitel
bronkiolus menyatu dengan sel-sel alveolus gepeng (sel alveolus tipe I).

2.2.3. Duktus Alveolaris
Duktus alveolaris dan alveolus dilapisi oleh sel alveolus gepeng yang
sangat halus. Di dalam lamina propria yang mengelilingi tepian alveolus, terdapat
anyaman sel otot polos.

2.2.4. Alveolus
Alvelous merupakan penonjolan (evaginasi) mirip kantung (berdiameter
sekitar 200 µm) di bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan sakus
alveolaris. Secara struktural, alveolus menyerupai kantong kecil yang terbuka
pada satu sisinya, yang mirip dengan sarang lebah.
Sel tipe I atau sel alveolus gepeng merupakan sel sangat tipis yang
melapisi permukaan alveolus. Sel tipe I menempati hampir 97% dari permukaan
alveolus (3% sisanya ditempati oleh sel tipe II). Sel tipe II tersebar di antara selsel alveolus tipe I. Pada sediaan histologi, sel-sel tipe II menampilkan ciri
sitoplasma bervesikel yang khas atau berbusa.

Surfaktan paru mempunyai beberapa fungsi penting dalam paru namun yang
utama, zat ini mengurangi tegangan permukaan sel-sel alveolus. Tanpa adanya
surfaktan, alveolus cenderung kolaps selama ekspirasi. Dalam perkembangan
fetus, surfaktan muncul pada minggu-minggu terakhir kehamilan dan bertepatan
dengan munculnya badan lamela dalam sel tipe II. (Junqueira & Carneiro, 2007).

2.3.

Kanker Paru

2.3.1.

Definisi Kanker Paru
Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran

pernapasan. (Alsagaff et al., 2010). Kanker paru merupakan penyebab utama
kematian akibat penyakit keganasan, terbanyak pada kelompok laki-laki dan
cenderung meningkat insidensnya pada perempuan. Lebih dari satu juta orang
meninggal akibat kanker paru pertahunnya. (Yulianti et al., 2011).


2.3.2. Etiologi
Sama seperti umumnya kanker yang lain, penyebab pasti kanker paru
belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat
karsinogenik merupakan faktor penyebab utama di samping adanya faktor lain
seperti kekebalan tubuh, genetik dan lain-lain (Zulkifli, 2009).
Beberapa penyebab penyakit ini adalah: rokok, pengaruh paparan industri,
pengaruh penyakit lain/predisposisi karsinoma bronkogenik oleh karena penyakit
lain, dan pengaruh genetik dan status imunologis.
1. Rokok
Rokok diduga sebagai penyebab tersering dari penyakit ini. Terdapat
cukup fakta untuk menghubungkan rokok dengan karsinoma bronkogenik.
Bahan- bahan karsinogen yang terdapat dalam asap rokok antara lain
polonium 210 dan 3,4 benzypyrene. Penggunaan filter rokok dikatakan
dapat menurunkan risiko terjadinya karsinoma bronkogenik, namun risiko
untuk mendapat karsinoma bronkogenik pada seorang perokok tetap masih

lebih tinggi dibandingkan dengan yang bukan perokok (Alsagaff et al.,
2010).
Berikut ini dapat dilihat hubungan antara jumlah rokok yang dihisap
dengan besar resiko terjadinya karsinoma bronkogenik pada perokok.

Dalam jangka panjang (10-20 tahun), merokok: 1-10 batang/hari
meningkatkan resiko 15 kali, 20-30 batang/hari meningkatkan resiko 4050 kali, dan 40-50 batang/hari meningkatkan resiko 70-80 kali. Jika
seorang perokok menghentikan kebiasaan merokok, maka penurunan
resiko baru tampak setelah 3 tahun penghentian dan akan menunjukkan
resiko yang sama dengan yang bukan perokok setelah 10-13 tahun. Perlu
diketahui bahwa bagi perokok disamping membahayakan diri sendiri juga
dapat membahayakan orang-orang sekitarnya (perokok pasif). Hal ini
dibenarkan oleh berbagai laporan dari Jepang dan Skandinavia, yang
menjelaskan bahwa istri, anak dan keluarga bukan perokok. (Alsagaff et
al.,2010). Risiko untuk menderita karsinoma bronkogenik selain oleh
rokok, juga dapat disebabkan berbagai bahan lain yang bersifat karsinogen
yang terdapat di tempat kerja antara lain asbestos, uranium, nikel dan
sebagainya.

2.

Pengaruh paparan industri

Bahan-bahan industri yang paling banyak dihubungkan dengan karsinoma
bronkogenik


adalah

asbestos.

Dinyatakan

bahwa

asbestos

dapat

meningkatkan resiko kanker 6-10 kali. Bahan-bahan radioaktif juga

bersifat karsinogen. Para penambang uranium mempunyai resiko
menderita kanker paru 4 kali lebih besar daripada populasi umum. Paparan
industri ini biasanya baru tampak pengaruhnya setelah 15-20 tahun.

3.


Pengaruh penyakit lain/predisposisi karsinoma bronkogenik

oleh

karena penyakit lain

Tuberkulosis paru banyak dikaitkan sebagai faktor predisposisi karsinoma
bronkogenik melalui mekanisme hiperplasia metaplasi. Karsinoma insitu
dari karsinoma bronkogenik diduga timbul sebagai akibat adanya jaringan
parut tuberkulosis.

4.

Pengaruh Genetik dan Status Imunologis

Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan bahwa faktor yang
terlibat berkaitan dengan enzim Aryl Hidrokarbon Hidroksilase (AHH).
Kanker lebih banyak didapatkan pada orang dengan aktivitas AHH yang
sedang atau tinggi. Keadaan ini mungkin dapat menerangkan peranan

faktor rokok sebagai salah satu faktor penyebab. Oleh karena enzim AHH
memetabolisir benzopyrene serta hidrokarbon polisiklik aromatic lainnya
menjadi karsinogen yang lebih reaktif.
Status imunologis penderita yang dipantau dari respons imun seluler
menunjukkan adanya korelasi antara derajat diferensiasi sel, stadium
penyakit, tanggapan terhadap pengobatan, serta prognosis. Penderita yang

alergi umumnya tidak memberikan tanggapan yang baik terhadap
pengobatan dan lebih cepat meninggal. (Alsagaff et al., 2010).

2.3.3. Patogenesis
Paparan yang lama dan berulang oleh zat-zat asing seperti benzoapyrene
pada rokok, uranium dan asbestos yg berasal dari paparan industri, radon akan
menyebabkan inflamasi pada lapisan epithelium di saluran pernapasan. Inflamasi
ini akan menyebabkan metaplasia pada sel squamous yang selanjutnya menjadi
squamous dysplasia, yang pada tahap lebih lanjut akan menyebabkan carcinoma
in situ dan menjadi invasive carcinoma . Selama proses ini juga terjadi mutasi

pada gen-gen seperti c-Kit (40-70%), MYCN dan MYCL (20-30%), p53 (90%), 3p
(100%), RB (90%), BCL2 (75-90%). Tahapan- tahapan inilah yang akan terjadi

dan menimbulkan keganasan pada organ paru (Husain, 2010).

2.3.4. Klasifikasi
Klasifikasi histologik karsinoma bronkogenik dapat dibagi atas: (I).
Karsinoma Paru non Sel Kecil (NSCLC) (70%-75%); (a). Karsinoma sel
skuamosa (epidermoid) (25%-30%); (b). Adenokarsinoma, termasuk karsinoma
bronkioloalveolus (30%-35%); (c). Karsinoma sel besar (10%-15%); (II).
Karsinoma Paru Sel Kecil (SCLC) (20%-25%); (III). Pola Kombinasi (5%-10%)
(Kumar, et al., 2007.Buku Ajar Patologi. Edisi 7)

Tabel 2.1. Klasifikasi Histologis WHO 1999 untuk Tumor Paru dan Tumor Pleura
Epithelial tumors
Benign
Preinvasive lesions

Malignant

Papiloma, adenoma
Squamous dysplasia/carcinoma in situ, atypical
adenomatous hyperplasia, Diffuse idiopathic

pulmonary neuroendocrine cell hyperplasia
Squamous cell carsinoma: papillary, clear cell,
basaloid.
Small cell carcinoma: combined small cell
carcinoma.
Adenocarcinoma:
 Acinar
 Papilary
 Bronchoalveolar: nonmucinous, mucinous, mixed
mucinous and nonmucinous or indeterminate cell
type.
 Solid carcinoma with mucin formation.
 Adenocarcinoma with mixed subtypes

Large cell carsinoma: Large cell neuroendocrine
carcinoma, Basaloid carcinoma, Lymphoepitheliomalike carcinoma, clear cell carcinoma, large cell
carcinoma with rhabdoid phenotype.
Adenosquamous carcinoma
Carcinoma with plemorphic sarcomatoid or
sarcomatous elements.

Carcinoid tumor : typical carcinoid, atypical
carcinoid.
Carcinomas of salicary gland type : mucoepi dermoid
carcinoma, adenoid cystic carcinoma.
Soft tissue tumors
Others
Benign, malignant mesothelioma
Mesothelial tumors
(Dikutip dari: Amin, Z.,2009.Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III)

2.3.4.1. Karsinoma paru sel kecil
Umumnya tampak sebagai masa abu- abu pucat yang terletak di
sentral dengan perluasan ke dalam parenkim paru dan keterlibatan
dini kelenjar getah bening hilus dan mediastinum. Sel tumor
sangat rapuh dan sering memperlihatkan fragmentasi dan “crush
artifact” pada sediaan biopsi. Ciri lainnya yang paling jelas pada
pemeriksaan sitologik, adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel
tumor dengan sedikit sitoplasma yang saling berdekatan.
2.3.4.2. Karsinoma sel skuamosa
Lebih sering pada laki- laki. Tumor ini cenderung timbul di
bagian tengah bronkus utama dan akhirnya menyebar ke kelenjar
hilus lokal. Tipe ini sering didahului selama bertahun- tahun oleh
metaplasia atau dysplasia skuamosa di epitel bronkus, yang
kemudian berubah menjadi karsinoma in situ, suatu fase yang
mungkin berlangsung selama beberapa tahun.
2.3.4.3. Adenokarsinoma
Sering terdapat di perifer dan banyaak timbul pada jaringan parut
paru perifer (scar carcinoma ). Tipe yang satu ini memiliki
keterkaitan paling lemah terhadap riwayat merokok. Secara
umum, tumor ini tumbuh lambat dan membentuk massa yang
lebih kecil daripada massa subtipe lainnya, tetapi tumor ini
cenderung bermetastasis luas pada stadium awal.

2.3.4.4. Karsinoma sel besar
Sel besar, biasanya anaplastik, dan memiliki nukleus vesicular
dengan nukleolus mencolok. Karsinoma jenis ini memiliki
prognosis buruk, karena kecenderungannya menyebar ke tempat
jauh pada awal perjalanan penyakit (Kumar, 2010).
2.3.5. Gejala Klinis
Manifestasi klinis karsinoma bronkogenik beraneka ragam, secara garis
besar dapat dibagi atas: (1). Gejala intrapulmoner; (2). Gejala intratorasik
ekstrapulmonal; (3). Gejala ekstratorasik non metastasis; dan (4). Gejala
ekstratorasik metastatik.
1.

Gejala Intrapulmonal

Merupakan gejala lokal yang disebabkan oleh tumor di paru. Terjadi
karena ada gangguan pergerakan silia serta ulserasi bronkus, sehingga
memudahkan terjadi radang berulang. Keluhan batuk lebih dari 2 minggu
merupakan suatu gejala yang patut mendapat perhatian dan menggugah
kewaspadaan, terutama pada golongan populasi yang mempunyai resiko
untuk mendapatkan kanker paru, yaitu: (a). Pria; (b). Berumur di atas 40
tahun; (c). Merokok/perokok berat; dan (d). Bekerja di industri yang
berkaitan dengan bahan karsinogen.
Keluhan batuk terdapat pada 70-90% kasus. Batuk darah sebagai akibat
ulserasi terjadi pada 6-51% kasus. Keluhan lain bisa berupa nyeri dada
unilateral yang tidak terbatas tegas. Patogenesa nyeri dada sampai saat ini
masih belum diketahui dengan pasti, nyeri tipe ini terdapat pada 42-67%

kasus. Sesak napas didapatkan pada 58% kasus, mungkin disebabkan
oleh tumor sendiri, atau oleh obstruksi yang ditimbulkannya ataupun
atelektasis.
2.

Gejala Intratorasik Ekstrapulmoner

Penyebaran tumor ke mediastinum akan menekan/merusak strukturstruktur di dalam mediastinum dengan akibat antara lain: (a). Nervus
phrenicus, paralise diafragma; (b). Nervus recurrens, paralise korda

vokalis; (c). Saraf simpatik, sindroma Horner , keluhannya berupa
enoftalmus, miosis, ptosis, anhidrosis; (d). Esofagus, disfagi; (e). Vena
cava superior , sindroma vena cava superior yang terjadi karena

bendungan pada vena cava superior dan disertai pembengkakan
muka dan lengan; (f). Trakea/bronkus, dapat terjadi sesak akibat
atelektasis total; dan (g). Jantung, keluhannya berupa gangguan
fungsional, terjadi efusi perikardial.
3.

Gejala Ekstrapulmonal Non-metastasis

Gejala

ekstrapulmonal

yang

non-metastasis

dapat

menimbulkan

manifestasi pada neuromuskuler, endokrin metabolik, jaringan ikat dan
tulang, serta vaskuler dan hematologik.
Manifestasi Neuromuskuler . Insiden

terjadinya

manifestasi

neuromuskuler sekitar 4-15%. Pada kasus lanjut dapat ditemukan
sindroma “neuropatia karsinomatosa”, yang bersifat progresif. Keluhan
ini sering ditemukan pada karsinoma sel kecil. Sindroma neuropatia
karsinomatosa terdiri dari miopatia, neuropatia perifer, degenerasi

serebeler subakut, ensefalomiopatia dan mielopati nekrotik. Reseksi
tumor primer dapat menghilangkan gejala-gejala ini.
Manifestasi Endokrin Metabolik. Tumor pembentuk hormon dapat terjadi

pada setiap organ yang mengandung sel primitive neural crest,
berhubung

sel-sel

ini

mampu

mengkonsentrasikan

dan

mendekarboksilasi precursor dari amine biogenik, maka sel ini lebih
dikenal

sebagai

sel

APUD

(Amine

Precursor

Uptake

and

Decarboxylation Cells). Manifestasi endokrin dapat ditemukan pada 5-

12,1% kasus, namun khusus pada karsinoma sel kecil insidennya
mencapai 21%. Manifestasi endokrin dapat berupa sindroma Cushing,
sindroma karsinoid, hiperparatiroid dengan hiperkalsemia, SIADH
dengan hiponatremia, sekresi insulin dengan hipoglikemia, sekresi
gonadotropin berlebih dengan ginekomastia, dan sekresi melanocyte
stimulating hormone dengan hiperpigmentasi kulit.
Manifestasi Jaringan Ikat dan Tulang . Manifestasi yang paling sering

dijumpai adalah hipertrofi pulmonary osteoarthropathy, terutama pada
karsinoma epidermoid, namun keadaan ini belum pernah ditemukan pada
karsinoma

sel

kecil.

Hipertrofi

pulmonary

osteoarthropathy

dihubungkan dengan peningkatan kadar Human Growth Hormone yang
imunoreaktif di dalam plasma. Secara radiologi didapatkan pembentukan
tulang baru sub-periosteal, terutama tulang-tulang ekstremitas bagian
distal, yaitu jari-jari tubuh. Manifestasi Vaskuler dan Hematologik ,
jarang ditemukan.

4.

Gejala Ekstratoraksik Metastatik

Karsinoma bronkogenik adalah satu-satunya tumor yang mampu
berhubungan langsung dengan sirkulasi arterial, sehingga kanker tersebut
dapat menyebar hampir ke semua organ, terutama otak, hati dan tulang.
(Alsagaff et al., 2010).

2.3.6. Deteksi Dini Kanker Paru
Anamnesis yang lengkap dan pemeriksaan fisik yang teliti, merupakan
kunci terhadap diagnosis yang tepat. Menemukan kanker paru pada stadium dini
sangat sulit karena pada stadium ini tidak ada keluhan atau gejala. Ukuran tumor
pada stadium dini relatif kecil (< 1 cm) dan tumor masih berada pada epitel
bronkus. Foto rontgen dada juga tidak dapat mendeteksi kanker tersebut. Keadaan
ini disebut sebagai tumor in situ (Tis). Untuk mendapatkan sel tumor tersebut
hanya bisa dengan pemeriksaan sitologi sputum dengan bantuan bronkoskopi.
Angka keberhasilan diagnosis pemeriksaan sputum ini pada pasien tanpa
kelainan klinis dan radiologis relatif kecil, dan bila ditemukan juga sulit
menentukan asal sel tumor tersebut dalam traktus respiratorius. Untuk
mempermudah penemuan dini ini dianjurkan melakukan pemeriksaan skrining
dengan cara memeriksa sitologi sputum dan foto rontgen dada, secara berkala.
National Cancer Institute (NCI) di USA menganjurkan skrining dilakukan setiap

4 bulan dan terutama ditujukan pada laki-laki >40 tahun, perokok>1 bungkus
perhari dan atau bekerja di lingkungan berpolusi yang memungkinkan terjadi
kanker paru (pabrik cat, plastik, asbes dll). Penelitian yang dilakukan oleh NCI

pada 3 pusat riset kanker selama >20 tahun terhadap lebih dari 30.000
sukarelawan laki-laki perokok berat, dimana setengahnya menjalani skrining
intensif dengan pemeriksaan sitologi sputum tiap 4 bulan dan foto rontgen dada
(PA dan lateral) tiap tahun dan setengah lainnya sebagai kelompok kontrol. Hasil
penelitian ini menunjukkan angka positif tumor stadium awal pada kelompok
pertama 45% dan kelompok kontrol 15%. Pasien dengan kanker paru tersebut
memiliki angka 5-year survival sebesar 35% dibandingkan kelompok kontrol
13%. Dalam studi ini, pemeriksaan sel ganas dengan pemeriksaan sitologi sputum
lebih mudah menemukan karsinoma sel skuamosa, sedangkan foto dan rontgen
dada lebih banyak menemukan adenokarsinoma dan karsinoma sel skuamosa.
Small cell carcinoma jarang terdeteksi pada stadium dini ini. Kesesluruhan studi

menyimpulkan bahwa terdapat nilai positif (manfaat) dalam deteksi dini kanker
paru.

2.3.7. Prosedur Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa
kanker paru adalah pemeriksaan radiologi berupa foto Rontgen, CT Scan, bone
scanning; pemeriksaan sitologi dan histopatologi; Trans Thoracal Biopsy (TTB);

torakoskopi; dan mediastinoskopi.
Foto Rontgen Dada Secara Posterior-Anterior (PA) dan Lateral.
Pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya kanker paru. Pada
kanker paru, pemeriksaan foto rontgen dada ulang diperlukan juga untuk menilai
doubling timenya. Dilaporkan bahwa, kebanyakan kanker paru mempunyai

doubling time antara 37-465 hari. Bila doubling time >18bulan, berarti tumornya
benigna. Tanda-tanda tumor benigna lainnya adalahlesi berbentuk bulat
konsentris, solid dan adanya kalsifikasi yang tegas. Pemeriksaan foto rontgen
dada dengan cara tomografi lebih akurat menunjang kemungkinan adanya tumor
paru, bila dengan cara foto dada biasa tidak dapat memastikan keberadaan tumor.
Pemeriksaan penunjang radiologis lain yang kadang-kadang diperlukan juga
adalah bronkografi, fluoroskopi, superior vena cavografi, ventilation/perfusion
scanning, ultrasound sonography.

Pemeriksaan

Computed

Tomography

dan

Magnetic

Resonance

Imaging. Pemeriksaan CT Scan pada toraks, lebih sensitif daripada pemeriksaan

foto dada biasa, karena bisa mendeteksi kelainan atau nodul dengan diameter
minimal 3mm, walaupun positif palsu untuk kelainan sebesar itu mencapai 2560%. Pemeriksaan MRI tidak rutin dikerjakan, karena ia hanya terbatas untuk
menilai kelainan tumor yang menginvasi kedalam vertebra, medulla spinal,
medistinum, di samping biayanya juga cukup mahal.
Pemeriksaan Bone Scanning . Pemeriksaan ini diperlukan bila diduga ada
tanda-tanda metastasis ke tulang. Insiden tumor Non Small Cell Lung Cancer
(NSCLC ) ke tulang dilaporkan sebesar 15%.
Pemeriksaan Sitologi. Pemeriksaan sitologi sputum rutin dikerjakan
terutama bila pasien ada keluhan seperti batuk. Pemeriksaan sitologi tidak selalu
memberikan hasil positif karena ia tergantung dari letak tumor terhadap bronkus,
jenis tumor, teknik mengeluarkan sputum, jumlah sputum yang diperiksa
(dianjurkan pemeriksaan 3-5 hari bertutut-turut), dan waktu pemeriksaan sputum

(sputum harus segar). Pada kanker paru yang letaknya sentral, pemeriksaan
sputum yang baik dapat memberikan hasil positif sampai 67-85% pada karsinoma
sel skuamosa.
Pemeriksaan Histopatologi. Pemeriksaan histopatologi adalah standar
emas diagnosis kanker paru untuk mendapatkan spesimennya , dengan cara biopsi
melalui Bronkoskopi.
Bronkoskopi.. Modifikasi dari bronkoskopi serat optik dapat berupa: (a).
Trans bronchial lung biopsy (TBLB) dengan tuntunan fluroskopi, atau

ultrasonografi. Ultrasound bronchoscopy, juga dikembangkan pada saat ini untuk
mendeteksi tumor perifer, tumor endobronkial, kelenjar getah bening mediastinum
dan lesi daerah hilus. Hal positif dengan bronkoskopi ini dapat mencapai 95%
untuk tumor yang letaknya sentral dan 70-80% untuk tumor yang letaknya perifer
Trans Bronchial Needle-Aspiration (TBNA). Dikerjakan terhadap nodul

getah bening di hilus atau mediastinum. Hasilnya akan lebih baik bila dituntun
dengan CT Scan.
Trans Thoracal Biopsy (TTB ). Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi

yang letaknya perifer dengan ukuran > 2 cm sensitivitasnya mencapai 90-95%.
Komplikasi pneumotorak dapat mencapai 20-25% dan hemoptisis sampai 20%.
Dengan persiapan yag lebih baik, komplikasi ini bisa diperkecil.
Torakoskopi. Untuk tumor yang letaknya dipermukaan pleura visceralis,
biopsi dengan cara Video Assisted Thorascoscopy memiliki sensitivitas dan
spesifisitas hingga 100%, dan komplikasi yang terjadi amat sedikit.

Mediastinoskopi. Lebih dari 20% kanker paru bermetastasis ke
mediastinum, terutama Small Cell Ca dan Large Cell Ca . Untuk mendapatkan
tumor metastasis atau kelenjar getah bening yang terlibat dapat dilakukan dengan
cara mediastinoskopi dimana mediastinoskopi dimasukkan melalui insisi supra
sternal.
Torakotomi. Torakotomi untuk diagnostik kanker paru dikerjakan bila
berbagai prosedur non invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan sel
tumor. (Amin, 2009)

2.3.8. Staging
Penetuan staging sangat penting untuk pilihan terapi dan prognosis kanker
paru. Oleh karena itu sedikitnya diperlukan pemeriksaan CT-scan thorak, USG
abdomen (CT-scan abdomen), CT-scan otak dan bone scanning. Sistem staging

kanker paru berdasarkan TNM dapat dilihat pada table berikut ini (Tabel 2.2).

Staging
Keterangan
Tx
Hanya ditemukan kepositifan dari sitologi sputum
T1
Ukuran tumor ≤ 3 cm
 T1a
 T1b
T2
 T1a
 T1b
T3

T4

Ukuran tumor ≤ 2 cm
Ukuran tumor ≤ 2 cm
Tumor/lesi ≥ dari karina, invasi ke pleura viseralis, atelektasis sebagian
Ukuran tumor > 3-5 cm
Ukuran tumor > 5-7 cm
Ukuran tumor > 7 cm, invasi ke dinding dada, diafragma, pleura
mediastinal, jarak < 2 cm dari karina, atelektasis total, >1 nodule
dalam 1 lobus
Invasi ke mediastinum, jantung, pembuluh darah, karina, trakea,
esofagus, vetebra atau nodule lain pada lobus berbeda ipsilateral

Tabel 2.2. Staging Sistem TNM Kanker Paru (Jurnal Respirologi Indonesia, 2010)

Sistem ini membagi kanker paru menjadi 2 tipe yaitu NSCLC dan SCLC .
Staging NSCLC dibagi berdasarkan sistem TNM yaitu tumor primer (T), nodus

regional (N) atau metastase jauh (M). Kombinasi T, N dan M menentukan staging
penyakit secara keseluruhan (Muzasti, 2011).

Gambar 2.3 Staging Kanker Paru (American Joint Committee on Cancer , 2009).

2.3.9. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan kanker adalah: (1). Kuratif, menyembuhkan/
memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan hidup
pasien; (2). Paliatif, mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup;
(3). Rawat rumah (Hospital care) pada kasus terminal, mengurangi dampak fisik
maupun psikologis kanker baik pada pasien maupun keluarga; dan (4). Suportif,
menunjang pengobatan kuratif paliatif dan terminal seperti pemberian nutrisi,
transfusi darah dan komponen darah, growth factors obat anti nyeri dan obat anti
infeksi.
Penanganan untuk karsinoma non-small cell paru, berupa pembedahan,
radioterapi, dan kemoterapi. Sedangkan untuk SCLC dibagi menjadi dua, yaitu:
1.

Limited-stage disease yang diobati dengan tujuan kuratif (kombinasi

kemoterapi dan radiasi) dan angka keberhasilan terapi sebesar 20%.
2.

Extensive-stage disease yang diobati dengan kemoterapi dan angka respon

terapi inisial sebesar 60-70% dan angka respon terapi komplit sebesar 2030%. Angka median-survival time untuk limited-stage disease adalah 18
bulan dan untuk extensive-stage disease adalah 9 bulan. (Amin, 2009).

2.3.10. Prognosis
Tanpa pengobatan, harapan hidup pada extensive-stage disease SCLC yaitu 612 minggu dan 3-6 bulan pada limited-stage disease SCLC. Namun dengan
pengobatan modern angka median survival time untuk limited-stage disease SCLC
adalah 18 bulan dan untuk extensive-stage disease SCLC adalah 10 bulan dengan
harapan 5 tahun 10-20% dan