Profil Penderita Rinosinusitis Kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

(1)

Oleh :

NABILA ADANI LUBIS 110100034

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

NABILA ADANI LUBIS 110100034

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Profil Penderita Rinosinusitis Kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

Nama : Nabila Adani Lubis NIM : 110100034

Pembimbing, Penguji I,

dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL dr. M. Syahputra, M.Kes. NIP : 196510301999032004 NIP : 197010071998021001

Penguji II,

dr. Alya Amila Fitrie, M.Kes., Sp.PA NIP : 197610042001122002

Medan, 12 Januari 2015 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH NIP : 195402201980111001


(4)

ABSTRAK

Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal yang terjadi selama 12 minggu atau lebih. Rinosinusitis kronis bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Data dari beberapa penelitian menyebutkan rinosinusitis kronis mempengaruhi 14-16% dari populasi penduduk. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penderita rinosinusitis kronis.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross sectional. Pengambilan sampel dengan menggunakan data sekunder yaitu rekam medis pasien, yang dipilih secara total sampling dengan jumlah sampel 120 orang.

Hasil penelitian diperoleh bahwa angka kejadian penyakit tertinggi terjadi pada kelompok usia 46-52 tahun (19,2%), lebih banyak ditemukan pada perempuan (55,8%), pekerjaan pegawai negeri (24,2%), keluhan utama berupa sumbatan hidung (74,2%), sinus yang sering terkena yaitu sinus maksila (55,8%), faktor yang sering mempengaruhi adalah alergi (29,2%), dan terapi yang lebih sering diberikan berupa terapi medikamentosa (79,2%).

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penderita rinosinusitis kronis untuk menghindari komplikasi lebih lanjut dan memperbaiki kualitas hidup. Kata kunci : Rinosinusitis kronis, Rinosinusitis


(5)

ABSTRACT

Chronic rhinosinusitis is characterized by inflammation of the nasal mucosa and one or more paranasal sinuses for 12 weeks or more. Chronic rhinosinusitis is even considered as one of the causes of the most common health problems in the world. Data from several studies reported that chronic rinosinusitis affects 14-16% of the population. Therefore, this study aims to know the profile of chronic rhinosinusitis patients.

This is a descriptive study with cross sectional design. Sampling by using secondary data which was the patient's medical record, and then selected by total sampling method. It was 120 samples.

The results obtained that the highest disease incidence rate was in the patients between 46-52 years old (19.2%), more often in female patients (55.8%), the work of civil servants (24.2%), the main complaint was nasal obstruction (74,2%), sinus maxillary was the most frequently involved (55,8%), predisposing factors that often influence was allergy (29.2%), and the most common therapy was medicine (79,2%).

This research is expected to be useful for patients with chronic rhinosinusitis to avoid further complications and improve quality of life.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya tulis ilmiah ini berjudul “Profil Penderita Rinosinusitis Kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013”. Dalam penyelesaian karya tulis ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, selaku Dosen Pembimbing penulis yang telah membimbing dan memberikan banyak masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan baik.

3. dr. M. Syahputra, M.Kes. dan dr. Alya Amila Fitrie, M.Kes., Sp.PA, selaku Dosen Penguji penulis yang telah memberikan saran dan masukan dalam karya tulis ilmiah ini.

4. Seluruh jajaran RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan izin dan memberikan bantuan kepada penulis dalam proses pengambilan data di lokasi penelitian.

5. Orang tua penulis yang telah membesarkan dan mendidik dengan penuh kasih sayang, yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis demi kelancaran pendidikan penulis.

6. Sahabat-sahabat penulis yang telah memberikan banyak dukungan dan saran kepada penulis dalam proses penyelesaian karya tulis ini.

7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung.


(7)

Penulis menyadari karya tulis ini tidaklah sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama untuk pengembangan ilmu kedokteran.

Medan, 12 Januari 2015 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Anatomi ... 5

2.1.1. Anatomi Hidung ... 5

2.1.2. Anatomi Sinus Paranasal ... 7

2.2. Fisiologi Sinus Paranasal ... 9

2.2.1. Sistem Mukosiliar ... 9

2.2.2. Fungsi Sinus Paranasal ... 10

2.3. Rinosinusitis Kronis ... 10

2.3.1. Definisi ... 10

2.3.2. Etiologi ... 11

2.3.3. Patofisiologi ... 12

2.3.4. Diagnosis ... 13

2.3.5. Penatalaksanaan ... 16


(9)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .... 20

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 20

3.2. Definisi Operasional ... 20

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 24

4.1. Jenis Penelitian ... 24

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 24

4.3. Populasi dan Sampel ... 24

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 25

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 25

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 26

5.1. Hasil Penelitian ... 26

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 26

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel ... 26

5.2. Pembahasan ... 29

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

6.1. Kesimpulan ... 34

6.2. Saran ... 35

Daftar Pustaka ... 36 Lampiran


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan

Usia ... 26 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan

Jenis Kelamin ... . 27 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan

Pekerjaan ... 27 5.4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan

Keluhan Utama ... 28 5.5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan

Sinus yang Terlibat ... 28 5.6. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan

Faktor yang Mempengaruhi ... 29 5.7. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan

Jenis Terapi yang Diberikan ... 29


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman Gambar 2.1. Siklus yang berulang, mengakibatkan terjadinya

proses berkelanjutan yang mengarah pada


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I Daftar Riwayat Hidup LAMPIRAN II Surat Ethical Clearence LAMPIRAN III Surat Izin Penelitian LAMPIRAN IV Master Data Penelitian


(13)

ABSTRAK

Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal yang terjadi selama 12 minggu atau lebih. Rinosinusitis kronis bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Data dari beberapa penelitian menyebutkan rinosinusitis kronis mempengaruhi 14-16% dari populasi penduduk. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penderita rinosinusitis kronis.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross sectional. Pengambilan sampel dengan menggunakan data sekunder yaitu rekam medis pasien, yang dipilih secara total sampling dengan jumlah sampel 120 orang.

Hasil penelitian diperoleh bahwa angka kejadian penyakit tertinggi terjadi pada kelompok usia 46-52 tahun (19,2%), lebih banyak ditemukan pada perempuan (55,8%), pekerjaan pegawai negeri (24,2%), keluhan utama berupa sumbatan hidung (74,2%), sinus yang sering terkena yaitu sinus maksila (55,8%), faktor yang sering mempengaruhi adalah alergi (29,2%), dan terapi yang lebih sering diberikan berupa terapi medikamentosa (79,2%).

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penderita rinosinusitis kronis untuk menghindari komplikasi lebih lanjut dan memperbaiki kualitas hidup. Kata kunci : Rinosinusitis kronis, Rinosinusitis


(14)

ABSTRACT

Chronic rhinosinusitis is characterized by inflammation of the nasal mucosa and one or more paranasal sinuses for 12 weeks or more. Chronic rhinosinusitis is even considered as one of the causes of the most common health problems in the world. Data from several studies reported that chronic rinosinusitis affects 14-16% of the population. Therefore, this study aims to know the profile of chronic rhinosinusitis patients.

This is a descriptive study with cross sectional design. Sampling by using secondary data which was the patient's medical record, and then selected by total sampling method. It was 120 samples.

The results obtained that the highest disease incidence rate was in the patients between 46-52 years old (19.2%), more often in female patients (55.8%), the work of civil servants (24.2%), the main complaint was nasal obstruction (74,2%), sinus maxillary was the most frequently involved (55,8%), predisposing factors that often influence was allergy (29.2%), and the most common therapy was medicine (79,2%).

This research is expected to be useful for patients with chronic rhinosinusitis to avoid further complications and improve quality of life.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Rinosinusitis merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal. Penyebab utamanya ialah salesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri (Mangunkusumo, 2011; Desrosiers, 2011).

Rinosinusitis dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi lamanya inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal, yaitu akut jika kurang dari 4 minggu, subakut jika terjadi selama 4 sampai 12 minggu, dan dikatakan kronik jika terjadi lebih dari 12 minggu (Shah, 2008).

Gejala mayor dari rinosinusitis kronis adalah sumbatan atau penuhnya daerah fasialis, nyeri tekan daerah fasialis, obstruksi atau sumbatan hidung, sekret hidung anterior atau posterior (sekret bisa purulen atau nonpurulen), dan hiposmia atau anosmia. Diagnosis ditegakkan jika terdapat dua atau lebih gejala mayor (Desrosiers, 2011).

Rinosinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati (Mangunkusumo, 2011).

Berdasarkan data dari European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), prevalensi rinosinusitis kronis yaitu sebanyak 10,9% dengan variasi geografis. Terdapat kaitan yang erat antara asma dengan rinosinusitis kronis pada semua umur.

Rinosinusitis kronis mempengaruhi 14-16% dari populasi penduduk Amerika Serikat (Daudia, 2008). Penderita rinosinusitis kronis dewasa diperkirakan sekitar 18 sampai 22 juta pasien yang mengunjungi poliklinik (berobat jalan) dan sekitar 545.000 pasien yang masuk ruang emergensi di Amerika Serikat. Survei dari beberapa daerah di Canada melaporkan prevalensi


(16)

rinosinusitis kronis mengenai rata-rata 5% dari populasi umum. Penelitian tersebut menyebutkan prevalensi rinosinusitis kronis pada wanita lebih besar dari pria dan provinsi bagian timur mempunyai prevalensi tertinggi di Canada. Prevalensi meningkat seiring pertambahan usia, dengan rata-rata 2,7% pada kelompok usia 20-29 tahun dan 6,6% pada kelompok usia 50-59 tahun. Setelah usia 60 tahun, prevalensi rinosinusitis kronis menurun menjadi 4,7 %. Sama halnya dengan Amerika Serikat, rinosinusitis menyebabkan morbiditas dan mengurangi produktivitas di tempat kerja (Desrosiers, 2011; Fokkens, 2012).

Sebuah penelitian terbaru di Sao Paulo dengan menggunakan metode wawancara secara personal dan mendefinisikan rinosinusitis kronis berdasarkan kriteria EPOS ditemukan prevalensi sebesar 5,5 % (Fokkens, 2012).

Pada penelitian di Thailand, dari 154 pasien anak-anak yang didiagnosis rinosinusitis, 103 anak diantaranya merupakan rinosinusitis akut dan 51 anak menderita rinosinusitis kronis. Penderita dengan rinitis alergi mempunyai resiko lebih besar berkembang menjadi rinosinusitis kronis (Poachanukoon, 2012).

Prevalensi rinosinusitis kronis di Indonesia cukup tinggi, terbukti pada penelitian sebelumnya didapati penderita rinosinusitis kronis yang datang ke RSUP H. Adam Malik tahun 2011 sebesar 190 penderita. Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003 memaparkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama. Menurut Soetjipto (2006) dalam Multazar (2011), data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya (300) pasien adalah rinosinusitis kronis. Dari survey awal yang peneliti lakukan, didapati 684 kunjungan pasien rinosinusitis kronis yang berobat ke RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013. Sementara itu di tahun 2012 terdapat 1044 kunjungan pasien rinosinusitis kronis.

Data-data di atas menunjukkan bahwa angka kejadian rinosinusitis kronis masih cukup tinggi di berbagai negara dunia termasuk Indonesia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti tentang profil penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik Medan.


(17)

1.2. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Bagaimanakah profil penderita rinosinusitis kronis yang terdapat di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013?”

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui profil penderita rinosinusitis kronis yang terdapat di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui prevalensi rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2013

2. Mengetahui distribusi penyakit rinosinusitis kronis berdasarkan usia dan jenis kelamin

3. Mengetahui distribusi penyakit rinosinusitis kronis berdasarkan pekerjaan 4. Mengetahui distribusi penyakit rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan

utama

5. Mengetahui distribusi penyakit rinosinusitis kronis berdasarkan jenis sinus yang terlibat

6. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya rinosinusitis kronis

7. Mengetahui distribusi penyakit rinosinusitis kronis berdasarkan jenis terapi yang dilakukan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Peneliti dapat mengetahui angka kejadian rinosinusitis kronis di RSUP H.


(18)

2. Sebagai sumber informasi untuk dokter agar dapat melakukan penatalaksanaan selanjutnya.

3. Hasil penelitian ini sebagai bahan untuk pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan dan memberikan data untuk mendukung penelitian-penelitian selanjutnya.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

2.1.1. Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior) (Soetjipto, 2011).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu: sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut kartilago alar mayor, dan kartilago septum (Soetjipto, 2011).

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Soetjipto, 2011).

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise (Soetjipto, 2011).

Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior.

Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah, konka media yang lebih kecil, konka superior yang lebih kecil lagi, dan konka suprema adalah yang terkecil (Soetjipto, 2011).


(20)

Di antara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, terdapat tiga meatus yaitu meatus superior, meatus medius, dan meatus inferior. Meatus superior terletak di antara konka superior dan konka media. Di daerah ini terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada daerah ini terdapat muara duktus nasolakrimalis (Soetjipto, 2011; Snell, 2006).

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan bagian posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar dilapisi mukosa hidung (Snell, 2006; Soetjipto, 2011).

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os maksila dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoid (Snell, 2006; Soetjipto, 2011).

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.


(21)

Vena-vena ini membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina (Soetjipto, 2011; Snell, 2006).

Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Nervus maksilaris dari nervus trigeminus berfungsi untuk impuls aferen sensorik, nervus fasialis untuk gerakan otot pernapasan pada hidung luar. Ganglion sfenopalatina berguna mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus, sehingga dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu, dan kelembaban aliran udara (Snell, 2006).

Kompleks Ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resesus frontal. KOM adalah unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang terletak di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal. Bila terjadi obstruksi pada KOM, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus yang terkait (Soetjipto, 2011).

2.1.2. Anatomi Sinus Paranasal

A. Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila terletak di dalam korpus maksilaris dan sinus ini berbentuk piramid. Dinding anterior sinus yaitu permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superior adalah dasar orbita, dan dinding inferior yaitu prosesus alveolaris dan palatum (Soetjipto, 2011).

Sinus maksila bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris. Karena sinus etmoid anterior dan sinus frontal bermuara ke infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi dari sinus-sinus ini ke sinus maksila adalah besar (Snell, 2006).


(22)

Membrana mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh nervus alveolaris superior dan nervus infraorbitalis (Snell, 2006).

B. Sinus Frontal

Sinus frontal terletak di dalam os frontalis, terdapat dua buah yaitu kanan dan kiri yang dipisahkan oleh septum tulang. Kedua sinus ini biasanya tidak simetris (menyimpang dari bidang median). Setiap sinus berbentuk segitiga, meluas ke atas, di atas ujung medial alis mata dan ke belakang ke bagian medial atap orbita (Snell, 2006).

Masing-masing sinus frontal bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui infundibulum. Membrana mukosa dipersarafi oleh nervus supraorbitalis (Snell, 2006).

C. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak di dalam korpus os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Batas-batas sinus ini adalah bagian superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofise, sebelah inferior adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna, dan di sebelah posterior berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soetjipto, 2011).

Setiap sinus bermuara ke dalam resesus sfenoetmoidalis di atas konka nasalis superior. Membrana mukosa dipersarafi oleh nervus etmoidalis posterior (Snell, 2006).

D. Sinus Etmoid

Sinus etmoid terdapat di dalam os etmoid, di antara konka media dan dinding medial orbita. Sinus etmoid terdiri dari sel-sel yang jumlahnya bervariasi. Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi dengan mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior


(23)

biasanya kecil dan banyak, terletak di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Snell, 2006; Soetjipto, 2011).

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat bagian sempit yang disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Pada daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuara ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan bila di infundibulum menyebabkan sinusitis maksila. Membrana mukosa dipersarfi oleh nervus etmoidalis anterior dan posterior (Soetjipto, 2011; Snell, 2006).

2.2. Fisiologi Sinus Paranasal

2.2.1. Sistem Mukosiliar

Sistem transpor mukosiliar adalah sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa (Soetjipto, 2011).

Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transport mukosilier. Rute pertama adalah gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior. Sekret ini bergabung di dekat infundibulum etmoid, selanjutnya berjalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian anteroinferior orifisium tuba Eustachius. Transpor aktif berlanjut ke epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, dan jatuh ke bawah dibantu gaya gravitasi dan proses menelan (Soetjipto, 2011).

Rute kedua adalah gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior orifisium tuba Eustachius (Soetjipto, 2011).


(24)

Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba Eustachius. Sekret pada septum berjalan vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferor tuba Eustachius. Ini sebab mengapa pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tapi belum tentu ada sekret di rongga hidung (Soetjipto, 2011).

2.2.2. Fungsi Sinus Paranasal

Beberapa teori mengemukakan, fungsi sinus paranasal yaitu: (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara, dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung (Soetjipto, 2011).

2.3. Rinosinusitis Kronis

2.3.1. Definisi

Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satu gejalanya merupakan sumbatan hidung (nasal blockage/obstruction/congestion) atau nasal discharge (anterior/posterior nasal drip) selama 12 minggu atau lebih, serta diikuti ada atau tanpa nyeri tekan di daerah wajah dan penurunan atau hilangnya daya penghidu (Fokkens, 2012).

Selain gejala-gejala klinis tersebut, rinosinusitis kronis dapat didukung oleh pemeriksaan penunjang antara lain: endoskopi, dimana dapat ditemukan polip dan atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau edema/obstruksi mukosa pada meatus medius; dan CT Scan, dapat ditemukan perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal dan atau sinus paranasal (Fokkens, 2012).

Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan sebagai sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid. Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan sinus


(25)

etmoidalis, sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang (Mangunkusumo, 2011).

Sebuah penelitian menyebutkan, pasien dengan rinosinusitis kronis dilaporkan lebih merasakan nyeri jasmani dan fungsi sosial yang lebih buruk dibanding pasien dengan penyakit kronis lainnya seperti penyakit paru obstruksi kronik, gagal jantung kongestif, dan nyeri punggung. Dampak penyakit rinosinusitis kronis terhadap kualitas hidup pasien sebanding dengan keparahan penyakit kronis lainnya. Oleh karena itu, sama halnya dengan penyakit kronis yang lain, penyakit rinosinusitis kronis sebaiknya ditangani secara proaktif (Desrosiers, 2011).

2.3.2. Etiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks ostiomeatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan (Mangunkusumo, 2011).

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok sinus anterior (frontalis, etmoidalis anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi transpor mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Rinosinusitis lebih sering terjadi pada beberapa sinus (multisinusitis) dibandingkan dengan satu sinus (single sinusitis), hal ini kemungkinan berkaitan erat dengan kompleks ostiomeatal (KOM), karena KOM merupakan satu kesatuan dari muara beberapa sinus, jika terjadi gangguan patensi KOM, maka mungkin akan terjadi gangguan beberapa sinus. KOM atau celah sempit di daerah etmoid anterior yang merupakan “serambi depan” bagi sinus maksila dan frontal memegang peran penting dalam terjadinya rinosinusitis kronis, bila terdapat gangguan di daerah KOM seperti peradangan atau edema, maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi rinosinusitis (Multazar, 2012).


(26)

Pada penderita rinosinusitis kronis terbukti bahwa akumulasi ketidakseimbangan metabolisme asam arakhidonat dapat memainkan peran penting dalam rinosinusitis kronis. Metabolisme asam arakhidonat dan prostaglandin berperan sebagai mediator inflamasi pada suatu penyakit (Multazar, 2012).

Etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronis bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui, rinosinusitis kronis merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel.

Berdasarkan EPOS 2012, faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya rinosinusitis kronis adalah kerusakan sistem mukosiliar, alergi, asma, sensitif terhadap aspirin, pasien immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, Helicobacter pylori, refluks laringofaringeal, dan osteitis.

2.3.3. Patofisiologi

Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusistis kronis cukup beragam. Dalam patofisiologi sinusitis kronis, beberapa faktor ikut berperan dalam siklus dari peristiwa yang berulang (Gambar. 2.1.) (Hilger, 2013).

Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar biasa terahadap penyakit selain kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri. Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan mukosa sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik. Bila faktor anatomi menyebabkan kegagalan drainase dan ventilasi sinus, maka terbentuk suatu medium untuk infeksi selanjutnya oleh kokus mikroaerofilik atau anaerobik, akibatnya berupa edema, sumbatan, dan infeksi (Hilger, 2013).

Kegagalan mengobati rinosinusitis akut atau berulang secara adekuat akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi kegagalan pengeluaran sekret sinus, sehingga menjadi predisposisi infeksi. Sumbatan drainase dapat ditimbulkan oleh perubahan struktur ostium sinus, atau oleh lesi dalam rongga hidung, misalnya hipertrofi adenoid, tumor hidung dan nasofaring, dan suatu septum deviasi. Namun, faktor predisposisi yang paling


(27)

lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat total ostium sinus (Hilger, 2013).

Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang (Hilger, 2013).

Rinosinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada rinosinusitis kronis, sumber infeksi berulang biasanya infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis. Karena inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan, akibatnya terjadi gangguan transpor mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus (Hilger, 2013).

Gambar 2.1. Siklus yang berulang, mengakibatkan terjadinya proses berkelanjutan yang mengarah pada rinosinusitis kronis. Sumber: Hilger, Peter A. 2013. Penyakit Sinus Paranasalis. In : Boies Buku Ajar Penyakit THT.

2.3.4. Diagnosis

Diagnosis rinosinusitis kronis menurut EPOS 2012 ditegakkan berdasarkan penilaian subjektif, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya.Penilaian subjektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu yaitu: (1) obstruksi hidung atau kongesti, (2) sekret hidung (anterior/posterior nasal drip), umumnya mukopurulen, (3) nyeri wajah/tekanan, nyeri kepala dan (4) penurunan/hilangnya daya penghidu.


(28)

Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior.Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronis tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-Scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium (Fokkens, 2012).

A. Anamnesis

Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria di atas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronis yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomi rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan. Menurut EPOS 2012, keluhan subjektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:

1) Obstruksi nasal

Keluhan obstruksi hidung biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh pada daerah hidung dan sekitarnya.

2) Sekret / dischargenasal

Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip (sekret hidung). 3) Nyeri / tekanan fasial

Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.

4) Abnormalitas daya penghidu

Fluktuasi daya penghidu berhubungan dengan rinosinusitis kronis yang mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius.


(29)

B. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi yang diperhatikan adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal. Sinusitis etmoid jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses (Soetjipto, 2011).

Rinoskopi anterior adalah memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan. Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronis seperti edema konka, hiperemi, sekret mukopurulen (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip. Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring (Soepardi,2011; Shah,2008).

C. Pemeriksaan Penunjang

Transiluminasi merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri. Namun transiluminasi bukan merupakan pengganti radiografi dalam evaluasi penyakit sinus (Selvianti, 2008; Siegel, 2013).

Endoskopi nasal dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi kompleks osteomeatal, ukuran konka nasi, edema disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Endoskopi nasal lebih baik dalam penerangan daripada rinoskopi anterior untuk pemeriksaan meatus medius dan superior. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan (Selvianti, 2008; Fokkens 2012).

Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto, CT-Scan, MRI dan USG. CT-Scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Hal ini diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan (Fokkens, 2012).


(30)

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain (Fokkens, 2012) :

1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi 2. Tes alergi

3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar silia, mikroskop elektron dan nitrit oksida

4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri 5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing

6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

2.3.5. Penatalaksanaan

Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi kompleks ostiomeatal (KOM), hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan. Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya (Soetjipto, 2011).

Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung (Selvianti, 2008).

A. Terapi Medikamentosa

1. Antibiotik

Antibiotika merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronis. Jenis antibiotik yang digunakan adalah antibiotik spektrum luas antara lain amoksisilin + asam klavulanat, klindamisin, dan moksifloksasin (Selvianti, 2011).

Terapi antibiotik jangka panjang sebaiknya diberikan untuk pasien yang gagal dengan terapi kortikosteroid nasal dan saline irrigation (Fokkens, 2012).


(31)

2. Kortikosteroid Nasal

Keuntungan kortikosteroid sebagai anti inflamasi yaitu berefek untuk mengurangi besarnya polip, memperbaiki gejala seperti hidung tersumbat, rinore, post nasal drip, dan berkurang atau hilangnya daya penghidu. Kortikosteroid nasal berupa flutikason propionat, mometason furoat, betametason, dan lainnya (Desrosiers, 2011; Fokkens, 2012).

3. Terapi Tambahan

Terapi tambahan lainnya berupa dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis alfa adrenergik; saline irrigation; anti histamin; mukolitik; antagonis leukotrien; anti mikotik; imunomodulator; dan aspirin desentisisasi (Desrosiers, 2011).

B. Penatalaksanaan Operatif

Rinosinusitis kronis adalah inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal dan terapi pembedahan bukan merupakan tindakan yang pertama kali dilakukan. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF), disebut begitu karena pembedahan ini dimaksudkan untuk memperbaiki fisiologis dari ventilasi dan drainase sinus. Indikasi untuk terapi pembedahan ini yaitu : (1) obstruksi hidung yang komplit dikarenakan polip atau medialisasi dinding hidung lateral, (2) abses orbital, (3) komplikasi intakranial, (4) polip antrokoana, (5) rinosinusitis fungal (Hamilos, 2011).

Terapi pembedahan ini sebaiknya disertai dengan terapi medikamentosa untuk mengontrol inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal atau gejala-gejala yang mungkin kembali (Hamilos, 2011).

Bedah sinus terbuka kadang diperlukan walaupun dengan keragaman prosedur endoskopi. Sebagai contoh yaitu operasi Caldwell-Luc dimana sinus maksila dimasuki melalui insisi sublabia. Melalui operasi Caldwell-Luc ini dapat dilakukan biopsi dari isi sinus, dan sekaligus jendela untuk drainase akan terbentuk ke kavum nasal (Shah, 2008).


(32)

2.3.6. Komplikasi

A. Komplikasi Orbita

Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi tersering pada daerah orbita. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat pula menimbulkan infeksi isi orbita (Hilger, 2013).

Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis, dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul dari kelainan ini adalah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus (Mangunkusumo, 2011).

B. Komplikasi Intrakranial

Kelainan dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak, dan trombosis sinus kavernosus (Mangunkusumo, 2011).

Meningitis akut disebabkan infeksi dari sinus paranasalis yang menyebar sepanjang vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribiformis di dekat sistem sel udara etmoidalis (Hilger, 2013).

Abses dura adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium; seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga mungkin pasien hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik lain (Hilger, 2013).

Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan arakhnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri (Hilger, 2013)

C. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal

Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau


(33)

fistula pada pipi. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise demam dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dimana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup (Mangunkusumo, 2011; Hilger, 2013).

D. Komplikasi Paru

Kelainan pada paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitis disembuhkan (Mangunkusumo, 2011).

E. Mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, etmoidalis, dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur di sekitarnya. Dengan demikian, kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf di sekitarnya (Hilger, 2013).


(34)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka penting bagi peneliti untuk mengetahui karakteristik rinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada periode 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2013.

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Rinosinusitis Kronis

Definisi : inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal selama 12 minggu atau lebih. Penderita rinosinusitis kronis adalah orang yang dinyatakan mengalami rinosinusitis kronis dan berobat di RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.2.2. Usia

Definisi : lama waktu hidup atau ada sejak dilahirkan. Usia

penderita yaitu jumlah tahun hidup penderita sejak ia lahir hingga didiagnosis mengalami rinosinusitis kronis dan dinyatakan dalam satuan tahun. Pembagian kelompok umur:

Karakteristik Penderita : • Usia

• Jenis kelamin • Pekerjaan • Keluhan utama • Sinus yang terlibat

• Faktor yang mempengaruhi • Jenis terapi


(35)

- 1-10 tahun - 11-20 tahun - 21-30 tahun - 31-40 tahun - 41-50 tahun - 51-60 tahun - 61-70 tahun Cara ukur : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Interval 3.2.3. Jenis Kelamin

Definisi : jenis kelamin penderita rinosinusitis kronis, yang dibagi menjadi laki-laki dan perempuan.

Cara ukur : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal 3.2.4. Pekerjaan

Definisi : pekerjaan penderita rinosinusitis kronis yang tecatat pada rekam medis.

Cara ukur : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal


(36)

3.2.5. Keluhan Utama

Definisi : keluhan yang paling berat yang dirasakan oleh penderita rinosinusitis kronis, sehingga menyebabkan ia datang berobat ke dokter. Keluhan utama berupa sumbatan hidung, sekret hidung, nyeri tekan di daerah wajah, dan hiposmia/anosmia.

Cara ukur : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal

3.2.6. Sinus yang Terlibat

Definisi : jenis sinus yang mengalami kelainan pada penderita rinosinusitis kronis. Jenis sinus yang terlibat dibagi atas : sinus maksila, sinus etmoid, sinus frontal, dan sinus sfenoid.

Cara ukur : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal 3.2.7. Faktor yang Mempengaruhi

Definisi : semua faktor atau riwayat yang dapat mempengaruhi terjadinya rinosinusitis kronis seperti alergi, asma, sensitif terhadap aspirin, dan faktor lainnya yang tercatat dalam rekam medis.

Cara ukur : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal


(37)

3.2.8. Jenis Terapi

Definisi : penatalaksanaan yang menjadi pilihan untuk mengobati penderita rinosinusitis kronis. Jenis terapi yang dipilih ada 2, yaitu secara medikamentosa dan tindakan operasi. Cara ukur : Observasi

Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal


(38)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui karakteristik penderita rinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013 dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medis pasien. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study, dimana pengukuran variabel dilakukan sekali dalam suatu waktu.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada Juli 2014 hingga September 2014 yang bertempat di RSUP Haji Adam Malik Medan. Rumah sakit ini adalah milik pemerintah dan merupakan rumah sakit tipe A. Berdasarkan statusnya, rumah sakit ini merupakan rumah sakit terlengkap di kota Medan dan juga sebagai rumah sakit rujukan dari beberapa rumah sakit yang ada di Sumatera.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita rinosinusitis kronis yang tercatat dalam rekam medis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada periode 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013.

4.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah penderita rinosinusitis kronis yang berobat di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling, yaitu dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai subjek penelitian.


(39)

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari pencatatan data rekam medis pasien penderita rinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013.

4.5. Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan data dilakukan secara manual dengan melihat banyaknya penyakit rinosinusitis kronis berdasarkan data yang diambil dari rekam medis di RSUP Haji Adam Malik Medan. Kemudian data akan dianalisa dengan menggunakan program aplikasi analisis statistik.


(40)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medis yang berada di RSUP Haji Adam Malik Medan. Rumah sakit ini berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17 km. 12, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Sebagaimana predikat tersebut, rumah sakit ini telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten, serta merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi provinsi Sumatera Utara, D.I. Aceh, Sumatera Barat, dan Riau. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga ditetapkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan berdasarkan SK Menkes No. 502/Menkes/ SK/IX/1991.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Jumlah kasus rinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 120 penderita. Karakteristik yang akan dinilai adalah berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, keluhan utama, sinus yang terlibat, faktor yang mempengaruhi, dan jenis terapi yang diberikan. Berikut ini adalah tabel distibusi frekuensi dari variabel-variabel yang akan dinilai.

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Usia

No. Usia Frekuensi (n) Persentase (%)

1. 1-10 tahun 2 1,7

2. 11-20 tahun 24 20,0

3. 21-30 tahun 16 13,3

4. 31-40 tahun 17 14,2

5. 41-50 tahun 23 19,2

6. 51-60 tahun 26 21,7

7. 61-70 tahun 12 10,0


(41)

Berdasarkan tabel 5.1. didapati bahwa penderita rinosinusitis kronis yang tertinggi terdapat pada kelompok usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 26 orang (21,7%) dan yang terendah terdapat pada kelompok usia 1-10 tahun yaitu sebanyak 2 orang (1,7%).

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Laki-laki 53 44,2

2. Perempuan 67 55,8

Total 120 100,0

Berdasarkan tabel 5.2. didapati bahwa penyakit rinosinusitis kronis lebih banyak diderita oleh perempuan yaitu 67 orang (55,8%), sedangkan laki-laki sebanyak 53 orang (44,2%).

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Pekerjaan

No. Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)

1. pegawai negeri 29 24,2

2. pegawai swasta 5 4,2

3. wiraswasta 17 14,2

4. buruh 5 4,2

5. petani 11 9,2

6. nelayan 1 0,8

7. ibu rumah tangga 21 17,5

8. mahasiswa 13 10,8

9. pelajar 11 9,2

10. pensiunan 4 3,3

11. tidak bekerja 2 1,7

12. dibawah umur 1 0,8

Total 120 100,0

Berdasarkan tabel 5.3. didapati bahwa penderita rinosinusitis kronis yang bekerja sebagai pegawai negeri merupakan sampel terbanyak yaitu 29 orang (24,2%), sementara pekerjaan sebagai nelayan merupakan sampel terendah yaitu sebanyak 1 orang (0,8%).


(42)

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Keluhan Utama

No. Keluhan Utama Frekuensi (n) Persentase (%)

1. sumbatan hidung 89 74,2

2. sekret hidung 19 15,8

3. nyeri tekan di daerah wajah 7 5,8

4. hiposmia 5 4,2

Total 120 100,0

Berdasarkan tabel 5.4. didapati bahwa yang menjadi keluhan utama paling sering penderita rinosinusitis kronis adalah sumbatan hidung yaitu sebanyak 89 orang (74,2%), sementara keluhan utama yang paling sedikit adalah hiposmia yaitu sebanyak 5 orang (4,2%).

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Sinus yang Terlibat

No. Sinus yang Terlibat Frekuensi (n) Persentase (%)

1. maksila 67 55,8

2. etmoid 8 6,7

3. frontal 3 2,5

4. sfenoid 1 0,8

5. maksila, etmoid 14 11,7

6. maksila, frontal 6 5,0

7. maksila, etmoid, frontal 6 5,0

8. maksila, etmoid, sfenoid 3 2,5

9. maksila, frontal, sfenoid 1 0,8

10. etmoid, frontal, sfenoid 1 0,8

11. maksila, etmoid, frontal, sfenoid 10 8,3

Total 120 100,0

Berdasarkan tabel 5.5. didapati bahwa pada penderita rinosinusitis kronis, sinus yang paling sering terkena adalah sinus maksila yaitu sebanyak 67 orang (55,8%), dan yang paling jarang terkena adalah sinus sfenoid tunggal yaitu 1 orang (0,8%), multisinusitis yang melibatkan sinus maksila, frontal, dan sfenoid sebanyak 1 orang (0,8%), serta multisinusitis yang melibatkan sinus etmoid, frontal, dan sfenoid yaitu sebanyak 1 orang (0,8%).


(43)

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Faktor yang Mempengaruhi

No. Faktor yang Mempengaruhi Frekuensi (n) Persentase (%)

1. polip 19 15,8

2. alergi 35 29,2

3. asma 4 3,3

4. faktor genetik 2 1,7

5. septum deviasi 5 4,2

6. data tidak lengkap 55 45,8

Total 120 100,0

Berdasarkan tabel 5.6. didapati bahwa faktor yang mempengaruhi yang paling banyak adalah alergi yaitu sebanyak 35 orang (29,2%), sementara itu faktor yang paling sedikit adalah faktor genetik sebanyak 2 orang (1,7%), dan data yang tidak lengkap atau tidak tercantum dalam data rekam medis yaitu sebanyak 55 orang (45,8%).

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Jenis Terapi yang Diberikan

No. Terapi Frekuensi (n) Persentase (%)

1. medikamentosa 95 79,2

2. tindakan operasi 25 20,8

Total 120 100,0

Berdasarkan tabel 5.7. didapati bahwa pada penderita rinosinusitis kronis yang menjadi jenis terapi yang paling sering adalah terapi medikamentosa yaitu sebanyak 95 orang (79,2%), sedangkan tindakan operasi sebanyak 25 orang (20,8%).

5.2. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang didapat dari data rekam medis penderita rinosinusitis kronis, diperoleh data mengenai profil penderita yang dijabarkan sebagai berikut.

Angka kejadian rinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013 adalah sebanyak 120 orang. Multazar (2011) dalam penelitiannya mendapatkan penderita rinosinusitis yang datang ke RSUP Haji Adam Malik


(44)

Medan tahun 2008 sebesar 296 penderita. Menurut Soetjipto (2006) dalam Multazar (2011), data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya (300) pasien adalah rinosinusitis kronis.

Menurut tabel 5.1. dijelaskan bahwa penderita rinosinusitis kronis yang paling banyak berada pada rentang usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 26 orang (21,7%).

Menurut Fokkens (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa prevalensi rinosinusitis kronis meningkat seiring pertambahan usia dengan rata-rata 6,6% pada kelompok usia 50-59 tahun, sementara itu setelah usia 60 tahun, prevalensi menurun menjadi 4,7%. Desrosiers (2011) dalam penelitiannya menyatakan angka kejadian rinosinusitis kronis meningkat pada usia ≥12 tahun dan bertambah banyak dengan pertambahan usia. Halawi (2013) menyebutkan bahwa rinosinusitis kronis biasa terjadi pada usia 18-64 tahun.

Dari data di atas diketahui bahwa kejadian rinosinusitis kronis lebih banyak mengenai kelompok usia dewasa. Hal ini mungkin dikarenakan usia dewasa lebih aktif beraktivitas di luar rumah sehingga lebih sering terpapar alergen atau polutan, juga seiring dengan perubahan gaya hidup dan pola makan (Multazar, 2011).

Menurut tabel 5.2. dijelaskan bahwa penyakit rinosinusitis kronis lebih sering diderita oleh perempuan dengan jumlah 67 orang (55,8%), berbanding dengan laki-laki 53 orang (44,2%). Hasil ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa perempuan lebih banyak mengalami rinosinusitis kronis daripada laki-laki.

Penelitian yang dilakukan Multazar (2011) menyatakan proporsi penderita rinosinusitis kronis lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin perempuan sebanyak 57,09%, sedangkan laki-laki 42,9%. Chen (2009) dalam penelitiannya di Kanada, menyebutkan bahwa prevalensi rinosinusitis kronis tertinggi pada wanita yaitu sebesar 5,7%, sementara laki-laki sebesar 3,4%.

Lebih banyaknya ditemukan penderita rinosinusitis kronis yang berjenis kelamin perempuan kemungkinan karena perempuan lebih khawatir terhadap


(45)

kesehatannya, sehingga perempuan akan lebih cepat memeriksakan dirinya ke dokter. Sementara itu menurut Fokkens (2012), terdapat efek hormonal dari estrogen, progesteron, dan placental growth hormon pada mukosa nasal dan pembuluh darah yang mungkin berpengaruh terhadap terjadinya rinosinusitis kronis.

Menurut tabel 5.3. pekerjaan yang paling banyak terdapat pada penderita rinosinusitis kronis yaitu pekerjaan sebagai pegawai negeri yang berjumlah 29 orang (24,2%). Multazar (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa proporsi penderita rinosinusitis kronis pada PNS sebesar 21,3%. Menurut Pujiwati (2006) dalam Multazar (2011), yang melakukan penelitian terhadap 80 orang pekerja, didapatkan yang menderita rinosinusitis kronis akibat kerja sebanyak 35 orang (43,8%).

Tingginya angka kejadian rinosinusitis kronis yang ditemukan pada pegawai negeri mungkin disebabkan oleh seringnya terpapar oleh alergen atau polutan yang berpotensi menyebabkan rinosinusitis kronis. Apabila terus-menerus terpapar oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok yang lama akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia (Mangunkusumo, 2011).

Menurut tabel 5.4. keluhan paling berat sehingga menyebabkan penderita rinosinusitis kronis memeriksakan diri ke dokter adalah keluhan sumbatan hidung sebanyak sebanyak 89 orang (74,2%).

Menurut Multazar (2011), pada penelitiannya terdapat proporsi keluhan hidung tersumbat sebanyak 78,6%. Survey di Korea menyebutkan dari keseluruhan prevalensi rinosinusitis kronis, ditemukan adanya sumbatan hidung yaitu sebesar 6,95%. Gejala yang paling sering terdapat pada penderita rinosinusitis kronis adalah sumbatan hidung (Bachert, 2014).

Hidung tersumbat terjadi karena adanya proses inflamasi yang disebabkan adanya infeksi. Bila terjadi infeksi organ-organ yang membentuk KOM (kompleks ostiomeatal), maka akan mengalami edema, sehingga mukosa yang berhadapan akan saling menempel. Hal ini menyebabkan silia tidak bergerak dan


(46)

juga menyebabkan tersumbatnya ostium sehingga terjadi penghambatan drainase sinus. (Mangunkusumo, 2011).

Menurut tabel 5.5. sinus yang paling sering terkena pada penderita rinosinusitis kronis adalah sinus maksilaris yaitu sebanyak 67 orang (55,8%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Bubun (2009), yang menyatakan bahwa lokasi sinus yang terbanyak ditemukan yaitu di sinus maksila kanan maupun kiri, diikuti secara berturut-turut sinus etmoid anterior dan posterior, sinus frontalis, dan paling sedikit sinus sfenoid.

Sinus maksila merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, karena merupakan sinus paranasal yang terbesar dan letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan juga drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior, jika terjadi pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis (Soetjipto, 2011).

Menurut tabel 5.6. dijelaskan bahwa dari penelitian ini didapatkan alergi menjadi faktor yang banyak dialami penderita rinosinusitis kronis yaitu sebanyak 35 orang (29,2%). Hasil ini sesuai dengan penelitian Green (2014) yang menyatakan prevalensi alergi sebanyak 84% pada penderita rinosinusitis kronis. Beberapa survey menemukan prevalensi atopi hingga mencapai 60% pada pasien rinosinusitis kronis (Leo, 2007).

Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang (Hilger, 2013).

Menurut tabel 5.7. terapi yang paling sering diberikan adalah terapi medikamentosa sebanyak 95 orang (79,2%), sesuai dengan penelitian Multazar (2011), proporsi penatalaksanaan pada penderita rinosinusitis kronis yang terbanyak adalah dengan medikamentosa sebanyak 77,36%.


(47)

Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung (Selvianti, 2008). Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi kompleks ostiomeatal (KOM), hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan. Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya (Soetjipto, 2011).


(48)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa profil penderita rinosinusitis kronis yang terdapat di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013 adalah sebagai berikut.

1. Penderita rinosinusitis kronis adalah sebanyak 120 orang.

2. Distribusi penyakit rinosinusitis kronis berdasarkan usia yang paling banyak terdapat pada kelompok usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 26 orang (21,7%). 3. Distribusi penyakit rinosinositis kronis berdasarkan jenis kelamin lebih banyak

diderita oleh perempuan yaitu 67 orang (55,8%), sementara pada laki-laki berjumlah 53 orang (44,2%).

4. Penyakit rinosinusitis kronis lebih banyak didapati pada seseorang yang bekerja sebagai pegawai negeri yaitu sejumlah 29 orang (24,2%).

5. Keluhan utama yang paling sering menjadi penyebab penderita rinosinusitis kronis berobat ke dokter adalah akibat sumbatan hidung yaitu sebanyak 89 orang (74,2%).

6. Sinus yang paling sering terkena pada penderita rinosinusitis kronis adalah sinus maksilaris yaitu sebanyak 67 orang (55,8%).

7. Semua faktor atau riwayat yang dapat mempengaruhi terjadinya rinosinusitis kronis yang paling banyak adalah alergi yaitu 35 orang (29,2%).

8. Jenis terapi yang paling sering diberikan pada penderita rinosinusitis kronis adalah terapi medikamentosa sebanyak 95 orang (79,2%).


(49)

6.2. Saran

1. Perlu adanya edukasi kepada penderita tentang bahaya yang dapat terjadi akibat penyakit rinosinusitis kronis, sehingga penderita dapat terhindar dari komplikasi lebih lanjut dan memperbaiki kualitas hidupnya.

2. Bagi peniliti selanjutnya diharapkan menggunakan sampel yang lebih banyak lagi agar dapat lebih mengembangkan penelitian mengenai karakteristik penderita.

3. Bagi petugas kesehatan sebaiknya melengkapi data rekam medis pasien, agar lebih mudah dalam mengetahui data-data yang dibutuhkan.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L., Boies, L.R., dan Hilger, P.A., 2013. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Al Badaai, Y., and Samaha, M., 2010. Outcome of endoscopic sinus surgery for chronic rhinosinusitis patients: a Canadian experience. The Journal of Laryngology and Otology. Vol 124, Number 10: 1095-1099.

Bachert, C., et al., 2014. ICON : chronic rhinosinusitis. World Allergy Organization Journal. Vol 7, Number 25: 1-28.

Bubun, J., Azis, A., Akil, A., dan Perkasa, F., 2009. Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay. ORLI. Vol 39, No.2: 78-90.

Chen, Y., et al., 2009. The Epidemiology of Chronic Rhinosinusitis in Canadians. The Laryngoscope. Vol 113, Number 7: 1199-1205.

Dahlan, M.S., 2013. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Daudia, A. and Jones, N.S., 2008. Questioning The Prevalence of Chronic Rhinosinusitis. In: Moffat, D., ed. Recent Advances in Otolaringology 8. UK: The Royal Society of Medicine Press, 147-151.

Desrosiers, M., et al., 2011. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic rhinosinusitis. Allergy, Ashtma & Clinical Immunology. Vol 7, Number 2: 1-38.

Fokkens, W.J., Lund, V.J., Mullol J., Bachert, C., et al. 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. Rhinology Official Journal of the European and International Societies.Vol 50, Supplement 23: 1-298.


(51)

Green, B.J., et al., 2014. Allergic sensitization in Canadian chronic rhinosinusitis patients. Allergy, Ashtma & Clinical Immunology. Vol 10, Number 15: 1-7. Guilemany, J.M., Alobid, I., and Mullol, J., 2010. Controversies in the treatment

of chronic rhinosinusitis. Expert Review of Respiratory Medicine. Vol 4, Number 4: 463-477.

Halawi, A.M., Smith, S.S., and Chandra, R.K., 2013. Chronic rhinosinusitis: epidemiology and cost. Allergy and Asthma Proceedings. Vol 34, Number 4: 328.

Hamilos, Daniel L., 2011. Chronic rhinosinusitis: Epidemiology and medical management. Journal Allergy Clinical Immunology. Vol 128, Number 4: 693-707.

Hamilos, Daniel L., 2013. Host-microbial interactions in patients with chronic rhinosinusitis. Journal Allergy Clinical Immunology. Vol 133, Number 3: 640-653.

Hilger, Peter A., 2013. Penyakit Sinus Paranasalis. In: Adams, G.L., ed. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 240-260.

Kaplan, Alan., 2013. Canadian guidelines for chronic rhinosinusitis. Canadian Family Physician. Vol 59, Number 12: 1275-1281.

Leo, G., et al., 2007. Chronic rhinosinusitis and allergy. Pediatric Allergy and Immunology. Vol 18, Number 18: 19-21.

M.N, Nasruddin., dan Marlianto, E. 2008. Statistika. Medan: USU Press.

Mangunkusumo, E., dan Soetjipto, D., 2011. Sinusitis. In: Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 150-154.


(52)

Multazar, A., 2011. Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008. Tesis. Medan: Program Pendidikan Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan THT-KL FK USU.

Multazar, A., Nursiah, S., Rambe, A., dan Harahap, Ida S., 2012. Ekspresi cyclooxygenase-2 (COX-2). ORLI. Vol 42, No.2: 96-103.

Poachanukoon, O., et al., 2012. Pediatic acute and chronic rhinosinusitis: comparison of clinical characteristics and outcome of treatment. Asian Pacific Journal Allergy Immunol. Vol 30, Number 2: 146-151.

Sastroasmoro, S., dan Ismael, S., 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto.

Selvianti., dan Kristyono, Irwan., 2008. Patofisiologi, Diagnosis, dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Nasi pada Orang Dewasa. Jurnal THT-KL Universitas Airlangga. Vol 1, No.1.

Setiadi, M., 2009. Analisis Hubungan Antara Gejala Klinik, Lama Sakit, Skin Prick Test, Jumlah Eosinofil dan Neutrofil Mukosa Sinus dengan Indeks Lund-Mackay CT Scan Sinus Paranasal Penderita Rinosinusitis Kronik. Tesis. Semarang: Program Pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNDIP. Shah, A.R., et al., 2008. Acute & Chronic Sinusitis. In: Lalwani, Anil K. Current

Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head & Neck Surgery. USA: The McGraw-Hill, 273-281.

Siegel, Leighton G., 2013. Anamnesis dan Pemeriksaan Kepala dan Leher. In: Adams, G.L., ed. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 3-23.

Snell, Richard S., 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC.


(53)

Soepardi, Efiaty A., 2011. Pemeriksaan Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. In: Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 1-9. Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., dan Restuti, R.D., 2011. Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Soetjipto, D., et al., 2011. Sumbatan Hidung. In: Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 118-122.

Thaller, S.R., dan Granick, M.S., 1995. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Jakarta: EGC.

Wahyuni, Arlinda S., 2011. Statistika Kedokteran. Jakarta: Bamboedoea Communication.

Water, Thomas R., dan Staecker, H., 2006. Otolaryngology Basic and Clinical Review. New York: Thieme Medical Publishers, 472-484.


(54)

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Nabila Adani Lubis

NIM : 110100034

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 21 September 1993

Agama : Islam

Alamat : Jalan Karikatur No. 20 Medan

Alamat Email :

Riwayat Pendidikan :

1. SD Harapan 1 Medan (1999-2005) 2. SMP Harapan 1 Medan (2005-2008) 3. SMA Harapan 1 Medan (2008-2011) 4. Fakultas Kedokteran USU (2011-sekarang) Riwayat Organisasi :

1. Anggota PEMA FK USU Periode 2013-2014


(55)

(56)

(57)

No. No. RM Usia J. Kelamin Pekerjaan Keluhan Utama Sinus F. Predisposisi Terapi

1 067334 51 pr wiraswasta sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal, sfenoid data tidak lengkap medikamentosa

2 462712 14 lk pelajar sekret hidung maksila faktor genetik medikamentosa

3 496685 20 pr mahasiswa

nyeri tekan di

daerah wajah maksila alergi medikamentosa

4 541130 29 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa

5 566054 18 pr mahasiswa

nyeri tekan di

daerah wajah maksila alergi medikamentosa

6 568221 42 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung maksila alergi medikamentosa

7 568670 39 lk

pegawai

swasta hiposmia maksila, frontal data tidak lengkap medikamentosa

8 575890 19 pr mahasiswa sumbatan hidung maksila alergi medikamentosa

9 576358 29 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa

10 000034 49 lk buruh sekret hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa

11 027977 53 pr

pegawai

negeri sumbatan hidung maksila, etmoid data tidak lengkap medikamentosa

12 073486 57 pr

pegawai

negeri sumbatan hidung maksila alergi medikamentosa

13 080585 51 pr

pegawai

negeri sumbatan hidung maksila alergi medikamentosa

14 115101 50 pr

pegawai

negeri sekret hidung

maksila, etmoid,

sfenoid data tidak lengkap medikamentosa

15 189339 55 pr

pegawai

negeri sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa

16 210852 54 pr

ibu rumah

tangga hiposmia maksila data tidak lengkap tindakan operasi

17 211648 21 pr pelajar sekret hidung frontal data tidak lengkap medikamentosa

18 243232 34 pr

pegawai

negeri sumbatan hidung maksila data tidak lengkap tindakan operasi

19 243325 53 lk

pegawai

negeri sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa

20 259765 63 pr petani sekret hidung maksila alergi medikamentosa

21 309464 43 pr

pegawai negeri

nyeri tekan di

daerah wajah maksila data tidak lengkap medikamentosa

22 378865 46 pr

pegawai

negeri sumbatan hidung maksila, etmoid alergi medikamentosa

23 401507 48 pr

pegawai

negeri sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal, sfenoid data tidak lengkap medikamentosa

24 408855 62 lk

pegawai

negeri sekret hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa

25 479461 39 pr

ibu rumah

tangga sekret hidung

maksila, etmoid,

sfenoid data tidak lengkap medikamentosa

26 487618 26 pr

pegawai

negeri hiposmia

maksila, etmoid,

frontal, sfenoid alergi medikamentosa

27 504565 52 pr

ibu rumah


(1)

No. No. RM Usia J. Kelamin Pekerjaan Keluhan Utama Sinus F. Predisposisi Terapi 28 504726 16 pr pelajar sumbatan hidung sfenoid data tidak lengkap tindakan operasi 29 511424 33 lk

pegawai

negeri sumbatan hidung etmoid alergi medikamentosa 30 512465 46 pr

pegawai

negeri sekret hidung maksila alergi tindakan operasi 31 517504 45 pr

pegawai

negeri hiposmia maksila, etmoid septum deviasi medikamentosa 32 525602 53 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 33 526054 21 pr mahasiswa

nyeri tekan di

daerah wajah maksila data tidak lengkap medikamentosa 34 528633 16 lk pelajar sekret hidung maksila alergi medikamentosa 35 537353 18 pr mahasiswa sumbatan hidung maksila, etmoid data tidak lengkap medikamentosa 36 549140 42 pr

pegawai

negeri sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal, sfenoid alergi medikamentosa 37 549568 62 lk pensiunan sumbatan hidung etmoid data tidak lengkap medikamentosa 38 549689 44 pr

pegawai

negeri sekret hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 39 553454 19 lk mahasiswa sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 40 562487 49 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung frontal alergi medikamentosa 41 562603 42 lk

pegawai

negeri sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal, sfenoid data tidak lengkap tindakan operasi 42 566158 32 lk

pegawai

negeri sekret hidung maksila, etmoid data tidak lengkap tindakan operasi 43 567588 34 lk

pegawai

swasta sumbatan hidung maksila, etmoid data tidak lengkap tindakan operasi 44 567734 14 pr pelajar sekret hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 45 568592 51 lk

pegawai negeri

nyeri tekan di

daerah wajah maksila data tidak lengkap medikamentosa 46 578528 9 lk pelajar sumbatan hidung

maksila, etmoid,

sfenoid data tidak lengkap medikamentosa 47 579271 19 lk mahasiswa sumbatan hidung maksila faktor genetik medikamentosa 48 579690 41 pr

pegawai

negeri sumbatan hidung maksila, etmoid alergi medikamentosa 49 580244 53 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung maksila, etmoid data tidak lengkap medikamentosa 50 581010 50 pr

pegawai

negeri sumbatan hidung

maksila, frontal,

sfenoid data tidak lengkap medikamentosa 51 583175 47 pr

pegawai

negeri sumbatan hidung etmoid alergi medikamentosa 52 583925 65 pr pensiunan sumbatan hidung etmoid alergi medikamentosa 53 584176 48 pr

pegawai

negeri sumbatan hidung maksila, etmoid data tidak lengkap medikamentosa 54 205962 50 lk

pegawai

swasta sumbatan hidung maksila alergi medikamentosa 55 282682 58 pr petani sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 56 476440 66 lk buruh sekret hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa


(2)

No. No. RM Usia J. Kelamin Pekerjaan Keluhan Utama Sinus F. Predisposisi Terapi 57 504732 57 pr wiraswasta sekret hidung etmoid data tidak lengkap medikamentosa 58 540096 20 pr mahasiswa sumbatan hidung maksila septum deviasi tindakan operasi 59 544573 29 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung maksila, frontal data tidak lengkap medikamentosa 60 558831 15 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 61 559036 31 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung maksila septum deviasi tindakan operasi 62 560380 16 lk pelajar sumbatan hidung etmoid data tidak lengkap medikamentosa 63 561898 30 lk wiraswasta sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 64 568839 24 lk tidak bekerja sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 65 568897 37 lk petani sumbatan hidung

etmoid, frontal,

sfenoid data tidak lengkap medikamentosa 66 570261 40 lk

ibu rumah

tangga sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 67 548617 59 lk

ibu rumah

tangga sumbatan hidung maksila, frontal data tidak lengkap medikamentosa 68 381317 37 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung maksila, etmoid alergi medikamentosa 69 450323 52 pr

ibu rumah tangga

nyeri tekan di

daerah wajah maksila data tidak lengkap medikamentosa 70 546101 22 lk wiraswasta sumbatan hidung maksila alergi medikamentosa 71 546161 54 lk nelayan sekret hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 72 555293 46 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal data tidak lengkap medikamentosa 73 557979 21 lk mahasiswa sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 74 572111 20 pr wiraswasta sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 75 573162 31 lk wiraswasta sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 76 576815 13 pr pelajar sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal alergi medikamentosa

77 563507 28 lk

pegawai

swasta hiposmia maksila alergi medikamentosa

78 581653 12 pr pelajar sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal data tidak lengkap medikamentosa 79 578879 54 lk petani sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal data tidak lengkap medikamentosa 80 562380 16 pr wiraswasta

nyeri tekan di

daerah wajah maksila alergi medikamentosa 81 471482 20 pr pelajar sumbatan hidung frontal data tidak lengkap medikamentosa 82 476565 20 lk pelajar sumbatan hidung etmoid data tidak lengkap medikamentosa 83 514345 61 lk pensiunan sekret hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 84 538285 27 pr

pegawai

swasta sumbatan hidung maksila data tidak lengkap medikamentosa 85 524800 51 lk buruh sumbatan hidung maksila septum deviasi medikamentosa 86 542401 35 lk

pegawai

negeri sumbatan hidung maksila, frontal asma medikamentosa 87 549901 21 lk

pegawai


(3)

No. No. RM Usia J. Kelamin Pekerjaan Keluhan Utama Sinus F. Predisposisi Terapi 88 542203 57 pr

pegawai

negeri sekret hidung maksila, frontal alergi medikamentosa 89 549110 61 lk petani sumbatan hidung maksila polip medikamentosa

90 584411 2 pr

dibawah

umur sumbatan hidung maksila, etmoid polip medikamentosa 91 541913 58 lk wiraswasta sumbatan hidung maksila asma medikamentosa 92 577316 54 lk wiraswasta sumbatan hidung maksila polip tindakan operasi 93 555118 23 lk mahasiswa sumbatan hidung maksila polip tindakan operasi 94 564219 40 pr wiraswasta sumbatan hidung maksila alergi medikamentosa 95 554519 39 lk wiraswasta sumbatan hidung maksila polip medikamentosa 96 484619 54 lk wiraswasta sumbatan hidung maksila polip tindakan operasi 97 391721 47 lk

pegawai

negeri sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal, sfenoid polip tindakan operasi 98 573423 55 lk petani sumbatan hidung maksila polip tindakan operasi 99 554923 47 lk petani sumbatan hidung maksila, etmoid polip medikamentosa 100 467626 25 pr

pegawai

negeri sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal, sfenoid polip tindakan operasi 101 555428 49 lk petani sumbatan hidung maksila alergi tindakan operasi 102 575830 66 lk wiraswasta sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal alergi medikamentosa

103 550431 58 pr pensiunan sumbatan hidung maksila asma medikamentosa 104 582039 18 lk mahasiswa sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal, sfenoid alergi medikamentosa 105 563842 19 pr mahasiswa sumbatan hidung maksila asma tindakan operasi 106 538645 50 lk petani sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal, sfenoid septum deviasi tindakan operasi 107 552246 33 lk buruh sekret hidung maksila alergi tindakan operasi 108 555051 61 lk wiraswasta sumbatan hidung maksila alergi tindakan operasi 109 579854 61 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung etmoid alergi tindakan operasi 110 563274 35 lk wiraswasta sumbatan hidung maksila polip medikamentosa 111 582474 46 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung

maksila, etmoid,

frontal, sfenoid polip medikamentosa 112 528379 18 pr wiraswasta sekret hidung maksila polip medikamentosa 113 554177 52 lk wiraswasta sumbatan hidung maksila polip tindakan operasi 114 548978 21 pr mahasiswa sumbatan hidung maksila alergi medikamentosa 115 561881 14 pr tidak bekerja sumbatan hidung maksila polip tindakan operasi 116 582681 53 lk petani sumbatan hidung maksila alergi tindakan operasi 117 434893 14 pr pelajar sumbatan hidung maksila, etmoid polip medikamentosa 118 558395 33 pr buruh sumbatan hidung maksila, etmoid polip medikamentosa 119 573676 64 lk petani sumbatan hidung maksila, frontal polip tindakan operasi 120 585386 61 pr

ibu rumah

tangga sumbatan hidung

maksila, etmoid,


(4)

Usia Responden

Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid

1-10 tahun

2

1,7

1,7

1,7

11-20 tahun

24

20,0

20,0

21,7

21-30 tahun

16

13,3

13,3

35,0

31-40 tahun

17

14,2

14,2

49,2

41-50 tahun

23

19,2

19,2

68,3

51-60 tahun

26

21,7

21,7

90,0

61-70 tahun

12

10,0

10,0

100,0

Total

120

100,0

100,0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

laki-laki

53

44,2

44,2

44,2

perempuan

67

55,8

55,8

100,0

Total

120

100,0

100,0

Pekerjaan

Frequency

Percent

Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

pegawai negeri

29

24,2

24,2

24,2

pegawai swasta

5

4,2

4,2

28,3

wiraswasta

17

14,2

14,2

42,5

buruh

5

4,2

4,2

46,7

petani

11

9,2

9,2

55,8

nelayan

1

0,8

0,8

56,7

ibu rumah tangga

21

17,5

17,5

74,2

mahasiswa

13

10,8

10,8

85,0

pelajar

11

9,2

9,2

94,2

pensiunan

4

3,3

3,3

97,5

tidak bekerja

2

1,7

1,7

99,2

dibawah umur

1

0,8

0,8

100,0


(5)

Keluhan Utama

Frequency Percent

Valid

Percent

Cumulative

Percent

Valid

sumbatan hidung

89

74,2

74,2

74,2

sekret hidung

19

15,8

15,8

90,0

nyeri tekan di daerah wajah

7

5,8

5,8

95,8

hiposmia

5

4,2

4,2

100,0

Total

120

100,0

100,0

Sinus yang terlibat

Frequency Percent

Valid

Percent

Cumulative

Percent

Valid

maksila

67

55,8

55,8

55,8

etmoid

8

6,7

6,7

62,5

frontal

3

2,5

2,5

65,0

sfenoid

1

0,8

0,8

65,8

maksila, etmoid

14

11,7

11,7

77,5

maksila, frontal

6

5,0

5,0

82,5

maksila, etmoid, frontal

6

5,0

5,0

87,5

maksila, etmoid, sfenoid

3

2,5

2,5

90,0

maksila, frontal, sfenoid

1

0,8

0,8

90,8

etmoid, frontal, sfenoid

1

0,8

0,8

91,7

maksila, etmoid, frontal,

sfenoid

10

8,3

8,3

100,0


(6)

Faktor yang mempengaruhi

Frequency

Percent

Valid

Percent

Cumulative

Percent

Valid

polip

19

15,8

15,8

15,8

alergi

35

29,2

29,2

45,0

asma

4

3,3

3,3

48,3

faktor genetik

2

1,7

1,7

50,0

septum deviasi

5

4,2

4,2

54,2

data tidak lengkap

55

45,8

45,8

100,0

Total

120

100,0

100,0

Jenis terapi yang diberikan

Frequency

Percent

Valid

Percent

Cumulative

Percent

Valid

medikamentosa

95

79,2

79,2

79,2

tindakan operasi

25

20,8

20,8

100,0