BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAMI DALAM PER

BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAMI DALAM PERSPEKTIF
LINTAS BUDAYA
Nurul Aisyah Sartika
Nama Pemateri

: Dr. Anwar Sutoyo, M.Pd.

Tema Materi

: Bimbingan dan Konseling Islami

Jenis Kegiatan

: Kuliah Umum

Anwar Sutoyo menjelaskan bahwa layanan bimbingan dan konseling Islami adalah
suatu upaya membantu individu belajar mengembangkan fitrah dan atau kembali kepada
fitrah dengan cara memberdayakan (empowering) iman, akal, dan kemauan yang
dikaruniakan oleh Allah kepadanya untuk mempelajari tuntunan Allah dan Rasulnya, agar
fitrah yang ada pada individu berkembang dengan benar dan kokoh sesuai dengan tuntunan
Allah SWT. Latar belakang adanya bimbingan dan konseling Islami yang digagas oleh Anwar

Sutoyo adalah karena adanya tuntutan di masa yang akan datang bimbingan dan konseling
akan lebih banyak mengarah pada spiritual dan kultural. Mengingat bahwa masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks.
Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat
multikultural. Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu
kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Multikulturalisme sebagai suatu lintas budaya
Indonesia dalam kemajemukan (plural society) dibuktikan dengan ada lebih dari 300
kelompok etnik atau suku bangsa, 737 bahasa daerah yang digunakan, 6 agama yang diakui,
dan 34 provinsi di Indonesia. Melihat adanya dinamika yang terjadi dalam masyarakat, maka
konseling lintas budaya atau konseling multi budaya (counseling a cross culture) menjadi
nyata relevansi dan urgensinya untuk diterapkan dalam pelayanan bimbingan dan konseling
umumnya, dan bimbingan dan konseling Islami pada khususnya.
Bimbingan dan konseling lintas budaya adalah suatu hubungan yang melibatkan para
peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling
yang melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki
perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks, orientasi seksual,
faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, dkk., dalam Supriatna, 2003: 4). Berdasarkan hal
tersebut, bimbingan dan konseling Islami merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari
konseling lintas budaya, mengingat bimbingan dan konseling lintas budaya tidak hanya
1


terbatas pada perbedaan budaya antara konselor dan konseli, tetapi adanya variabel lain
seperti yang sudah di jelaskan dalam pengertian bimbingan dan konseling lintas budaya di
atas, salah satu variabel lainnya yang juga berpengaruh adalah agama karena perbedaan dan
keunikan manusia di Indonesia dapat dilihat dari perbedaan ras, etnik, budaya, dan agama. Di
Indonesia sendiri, budaya seseorang juga bisa memengaruhi agama yang dianutnya. Hal ini
timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif
pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis,
budaya dan beberapa kondisi yang objektif. Faktor kondisi yang objektif menyebabkan
terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah
sama. Oleh karena itu, agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di tanah Batak
khususnya dengan yang di Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai caracara pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang
tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme yang kuat dengan yang tidak.
Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India,
Buddhisme di Thailand dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga memengaruhi agama.
Budaya dan agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan
perkembangan sejarah dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat difahami bahwa antara bimbingan dan konseling
Islami dan lintas buaya adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, dan sejalan beriringan.
Bukan berarti merupakan satu kesatuan, agama dan kebudayaan mempunyai kedudukan

masing-masing dan tidak dapat disatukan, karena agamalah yang mempunyai kedudukan
lebih tinggi dari pada kebudayaan. Namun keduanya mempunyai hubungan yang erat dalam
kehidupan sosial budaya masyarakat. Konselor yang menerapkan bimbingan dan konseling
Islami tentu saja harus bisa memahami konteks lintas budaya itu sendiri karena budaya dan
agama merupakan suatu hal yang bersifat sakral yang dianut oleh manusia. Agama dapat
dikatakan sebagai elemen pembentuk sistem nilai budaya dimana mengandung nilai-nilai
sosial pada penganutnya. Agama juga di pahami sebagai sistem yang mengatur hubungan
antar manusia dan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan
lingkungannya, yaitu dalam bentuk pranata-pranata agama. Adapun budaya dimaknai sebagai
pola bagi kelakuan yang terdiri atas serangkaiaan aturan-aturan, rencana, dan petunjuk yang
digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya. Jadi kebudayaan bukanlah sesuatu yang
hadir secara alamiah, melainkan ia disusun oleh manusia itu sendiri. Manusia yang
menciptakan ide, tingkah laku, dan pranata sosial itu sendiri. Tanpa adanya pemahaman akan
konseling lintas budaya yang benar, seorang konselor mungkin saja akan rentan mengalami
2

kesalahan saat menerapkan bimbingan dan konseling Islam atau bahkan dengan
ketidakpahaman konselor mengenai lintas budaya tersebut, seorang konseli akan merasa
diminoristaskan karena agama yang dianutnya berbeda.
Bimbingan dan konseling Islami merupakan proses pemberian bantuan kepada

individu

dalam

menjalani

kehidupannya

agar

senantiasa

selaras

dengan

fitrah

kemanusiaannya, serta dapat hidup di tengah-tengah masyarakat sesuai norma yang dianut
dan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits sehingga mencapai kebahagiaan dunia dan

akhirat. Perlu disadari oleh setiap individu bahwa hidup bukan hanya di dunia saja, tetapi ada
kehidupan yang lebih kekal yaitu kehidupan akhirat. Dapat juga dikatakan bahwa bimbingan
dan konseling Islami mempunyai orientasi jauh ke depan, bukan hanya berorientasi kekinian,
namun agar menselaraskan kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh karenanya pelaksanaan
bimbingan dan konseling Islami membutuhkan kompetensi khusus yaitu konselor yang
mempunyai pemahaman agama yang mendalam dan mentaatinya atau individu yang
mempunyai kompetensi konseling dan berusaha menjadi muslim yang taat. Selain itu, dalam
melaksanakan bimbingan dan konseling Islami dibutuhkan konselor yang mempunyai
kompetensi peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan
agama antar kelompok konseli yang satu dengan kelompok konseli lainnya, dan antara
konselor sendiri dengan konselinya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya
dan agama terhadap proses konseling. Budaya dan agama yang dianut sangat mungkin
menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa
muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Oleh karena itu, seorang konselor
harus dapat memahami benar kapan waktunya konseling Islami diterapkan dan tidak. Anwar
Sutoyo juga telah menjelaskan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan uluhiyah sebaiknya
konselor tidak menerapkan konseling Islam, karena hal tersebut berhubungan dengan akidah
seseorang. Misalnya; konselor tidak boleh mempengaruhi konselinya (yang beragama Hindu)
untuk beribadah ke Masjid dan memanjatkan do’a kepada Allah agar segala masalah dan
urusannya dapat terselesaikan. Adapun maksudnya ialah konselor tidak boleh memaksakan

pengesaan Allah dalam ibadah kepada konseli yang berbeda agamanya, yakni bahwasanya
hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Sebelum menerapkan bimbingan dan
konseling Islami, seorang konselor harus mengetahui lebih dahulu agama yang di anut
konseli yang ditanganinya agar hal seperti itu tidak terjadi dalam hubungan antara konselor
dan konseli.

3

Tujuan jangka pendek yang diharapkan bisa dicapai melalui bimbingan dan konseling
Islami adalah terbinanya fitrah-iman individu hingga membuahkan amal saleh yang dilandasi
dengan keyakinan yang benar bahwa:
1. Individu memahami dan mentaati tuntutan Allah dan Rasulnya.
2. Potensi jasmani, rohani, nafs dan iman yang dikaruniakan kepada individu bisa
berkembang optimal.
3. Individu menjadi hamba Allah yang selalu beribadah sepanjang hayatnya.
4. Ada fitrah (iman) yang dikaruniakan Allah kepada setiap manusia, jika fitrah iman
dikembangkan dengan baik, akan menjadi pendorong, pengendali, dan sekaligus
pemberi arah bagi fitrah jasmani, rohani, dan nafs akan membuahkan amal saleh yang
menjamin kehidupannya selamat di dunia dan akhirat.
5. Esensi iman bukan sekedar ucapan dengan mulut, tetapi lebih dari itu adalah

membenarkan dengan hati, dan mewujudkan dalam amal perbuatan.
6. Hanya dengan melaksanakan syari’at agama secara benar, potensi yang dikaruniakan
Allah kepadanya bisa berkembang optimal dan selamat dalam kehidupan di dunia dan
akhirat.
Esensi dari bimbingan dan konseling Islami bukan hanya mengantarkan siswa kepada
kehidupan yang bahagia di dunia, tetapi juga di akhirat. Oleh karena itu selalu dikaitkan
dengan ajaran agama dan Tuhan. Namun, berbeda dengan budaya Barat yang menganggap
layanan bimbingan dan konseling sebagai hal yang semata-mata masalah keduniawian,
sedangkan Islam menganjurkan aktifitas layanan bimbingan dan konseling itu merupakan
suatu ibadah kepada Allah SWT., suatu bantuan kepada orang lain, termasuk layanan
bimbingan dan konseling, dalam ajaran Islam di hitung sebagai suatu sedekah. Pada
umumnya konsep layanan bimbingan dan konseling Barat hanyalah didasarkan atas pikiran
manusia. Semua teori bimbingan dan konseling yang ada hanyalah didasarkan atas
pengalaman-pengalaman masa lalu, sedangkan konsep bimbingan dan konseling Islam (yang
diterapkan pada budaya Timur) didasarkan atas Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, aktivitas akal
dan pengalaman manusia.
Bimbingan dan konseling Islam sifatnya hanya merupakan bantuan saja. Konselor
berperan dalam membantu dengan cara memberikan bantuan berbentuk dorongan dan
pendampingan dalam memahami dan melaksanakan syari’at Allah, sedangkan tanggung
jawab dan penyelesaian masalah terletak pada diri individu (konseli) yang bersangkutan.

Konseli diharapkan aktif dan mempunyai tekad yang kuat agar dapat memepelajari dan
4

mengamalkan ajaran agama Allah. Disamping itu konseli hendaknya memohon kepada Allah
agar diberi kemudahan dalam proses menuju hidup yang lebih baik dengan berpedoman pada
hukum Allah. Secara garis besar, tujuan bimbingan dan konseling Islami dapat dirumuskan
untuk membantu individu mewujudkan dirinya sendiri sebagai manusia seutuhnya agar
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Namun sebaliknya, konsep layanan
bimbingan dan konseling di Barat tidak membahas masalah kehidupan sesudah mati.
Sedangkan konsep layanan bimbingan dan konseling Islam meyakini adanya kehidupan
sesudah mati, yaitu akhirat. Konsep layanan bimbingan dan konseling Barat tidak membahas
dan mengaitkan diri dengan pahala dan dosa. Sedangkan bimbingan dan konseling Islam
membahas pahala dan dosa yang telah dikerjakan. Berdasarkan hal tersebut, jika dilihat
dalam perspektif lintas budaya Barat dengan Indonesia (budaya Timur) sendiri, bimbingan
dan konseling Islam ini sangat cocok diterapkan di Indonesia yang notabene mayoritas
masyarakatnya pemeluk agama Islam dengan catatan konselor harus tetap memahami konsep
lintas budaya di Indonesia yang kenyataannya dalam hal budaya dan agama masih jauh
dikatakan seragam antara masyarakat satu dengan lainnya, namun di dunia Barat bimbingan
dan konseling Islami tentunya akan lebih sulit untuk diterapkan, bukannya tidak sesuai,
karena Islam adalah agama yang sempurna dan Al Qur’an adalah pedoman kehidupan

seorang manusia yang merupakan firman dari Allah, hanya saja perlu adanya kerja keras
untuk mengeksistensikan dan menerapkan bimbingan dan konseling Islami di dunia Barat
yang masyarakatnya notabene bukanlah pemeluk agama Islam.
Daftar Pustaka:
Supriatna, Mamat. 2009. Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya (Materi PLPG Sertifikasi
Guru

2009).

[Online].

Tersedia:

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIK

OLOGI_PEND_DAN_BIMBINGAN/196008291987031_MAMAT_SUPRIATNA/24._
BK_LINTAS_BUDAYA__Revisi_Final_.pdf., diakses pada 21 Maret 2016.

5