Pancasila Dalam Perspektif Islam (1)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka dari penjajah tidak mudah harus
melalui perjuangan dan pengorbanan tumpah darah seluruh bangsa Indonesia yang pada
akhirnya kemerdekaan itu dapat diraih bersama. Tentunya untuk memperkuat status
kemerdekaan perlu adanya konstitusi yang mengatur mobilitas berjalanya sistem kenegaraan
yang baik tapi untu mewujudkan konstitusi atau menentukan arah ideologi bangsa Indonesia
banyak terjadi perdebatan para tokoh-tokoh bapak bangsa dalam perumusan dasar Negara
Indonesia.
Pada tanggal 7 september 1944 pemerintah jepang mengumumkan janji untuk
memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Janji tersebut diulangi pada tanggal 1 maret
1945. Peryataan pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 1 maret 1945 diikuti dengan
pembentukan panitia yang bertugas mempersiapkan kemerdekaan (tepatnya merancang
UUD). Panitia tersebut dikenal sebagai BPUPKI (dokuritzu zunbi tjoosakai) yang
beranggotakan 62 orang diketuai oleh radjiman wediodiningrat. Menurut boland, panaitia ini
disebut “comitte of 62” Tugas pokok badan ini menyusun rancangan UUD, tetapi kemudian
badan ini menghabiskan sebagaian besar waktu sidang pertamanya untuk memperdebatkan
dasar Negara.[1]
Pelaksanaan konstitusi yang berlaku disuatu Negara paling tidak mempunyai beberapa
kemungkinan. Pertama, konstitusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang termuat

didalamnya. Kedua, terdapat beberapa ketentuan konstitusi yang tidak dilaksanakan lagi
meskipun seccara resmi masih berlaku. Ketiga, konstitusi dilaksanakan tidak berdasarkan
ketentuan yang termuat didalamnya melainkan demi kepentingan sesuatu golongan atau
tertentu.[2]
Dalam perumusan pancasila itu masalah yang paling krusial adalah rumusan dasar
Negara yang tidak memisahkan agama dengan Negara yang menjadi perdebatan sejak masa
pergerakan nasional, terutama antara A Hasan dan Muhammad natsir, disatu sisi dengan
Soekarno di sisi yang lain. Pada tahun 1932 natsir telah menuliskan artikel mengenai konsep
kebangsaan yang tepat bagi Indonesia berbeda dengan konsep nasionalisme etnis, natsir
mengajukan pandangannya mengenai konsep islam, argument natsir ada dua, islam adalah
agama pemersatu karena berisikan ajaran-ajaran moral universal yang bisa diterima oleh
semua golongan masyarakat, seperti keadilan dan persatuan dalam tulisan sebelumnya natsir
mensinyalir terjadinya perpecahan dikalangan partai-partai kebangsaan, sementara itu, islam
mengajarkan persatuan dengan memegang tali Allah yaitu agama. Karena itu, ketika soekarno
mengutip pendapat ali Abdul raziq bahwa tidak ada ijma, ulama yang menetapkan kewajiban
membentuk Negara islam. Tapi natsir juga mengatakan bahwa tidak ada ijma ulama untuk
tidak mendirikan suatu Negara untuk menegakkan syariat islam.[3]
Aliran yang menolak pemerintahan islam. Ada dua argumentasi yang melandasi
penolakannya, yaitu: pertama, nabi memang membentuk tertib politik dimadinah, tetapi itu
bukan merupakan hubungan instrinsik antara islam dan politik melainkan merupakan

peristiwa historis semata. Situasi sosial polotik pada saat itu menghendaki terbentuknya tertib
politik namun itu bukan tugas agama yang menjadi bagian dari wahyu ilahi. Mehdi hairi yazdi
menjelaskan bahwa otoritas politik yang dimilki nabi saat itu merupakan desakan rakyat yang
kemudian mendapat legitimasi dari Tuhan. Kedua, seperti yang disampaikan Ali‟Abd alRaziq, Nabi Muhammad tidak bermaksud mendirikan Negara dan sistem sosial politik
tertentu. Menurut raziq, nabi hanyalah seorang sebagai rasul (QS.al-Isra‟:95,al-Naml: 92)[4]
Dengan demikian letak pertikaiannya adalah tuntutan golongan kebangsaan islam atas
kalimat “ dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang tidak
disetujui oleh golongan Kristen dan golongan kebangsaan. Namun soekarno agar hukumhukum dan ajaran moral agama itu bisa diperjuangkan secara demokratis melalui wakil-wakil
umat islam dalam partai politik diparlemen. Karena itu soekarno tidak menolak partisipasi

agama di ruang publik politik, tapi yang lebih ensesial adalah, biarlah agama bukan
merupakan urusan Negara, melainkan pelaksanaannya diserahkan kepada individu dan
masyarakat sendiri secara leluasa. Sebab, jika dimasukan keruang publik, agama bisa menjadi
alat legitimasi kepentingan mencapai dan mempertahankan kekuasaan.
Sungguhpun begitu, dalam pidatonya di Karachi yang terkenal berjudul “sumbangan
islam dalam perdamaian dunia” menjelaskan bahwa pancasila itu tidak bertentangan dengan
islam sehingga pancasila dapat disebut sebagai ideologi islam dalam versi Indonesia.
Meskipun demikian dalam sidang kontituante 1958, natsir dengan golongannya kembali
memperjuangkan islam sebagai dasar Negara. Argumen natsir adalah bahwa islam merupakan
ajaran ideal dan uniiversal dan arena itu layak jika Negara Indonesia mendasarkan diri pada

ajaran islam yang komprehensif sebagai sumbangan islam terhadap kebangsaan dan
kemanusiaan.
Natsir yang memang piawai dalam menjelaskan ajaran islam mengatakan bahwa islam
dapat dijadikan dasar Negara dengan Al-qur‟an sebagai konstitusi, sebagai mana dikatakan
juga oleh abu a‟laal maududi, pemikir muslim besar dari india-pakistan. Namun keterangan
itu diletakkan pada konteks masyarakat monolitik homogeny yang imajiner. Dalam
persepsinya Indonesia seolah-olah masyarakat seperti itu. Padahal Indonesia adalah
masyarakat yang prural. Jika perbedaan cara pandang yang dualistis itu terus berlanjut bangsa
Indonesia tak akan bisa mencapai persatuan. Dengan perkataan lain, pancasila akan gagal
menjadi alat pemersatu. Dalam situasi seperti itu tidak ada yang menang. Seperti dalam kisah
mahabrata yang disimbolkan dalam alphabet jawa “honocoroko” yang berakhir pada
“monggo bothongo” atau semua hancur. [5]
B. Rumusan masalah.
1. Bagaimana perspektif islam terhadap pancasila sebagai dasar Negara.
2. Apakah Pancasila sebagai dasar negara dari lima sila yang terkandung didalamnya
mengandung nilai-nilai keislaman.

BAB II
PEMBAHSAN
A. Historis perumusan dasar Negara Indonesia

Kata pancasila terdiri dari dua kata basa sanskerta: panca berarti lima dan uila
prinsip atau asas. Panncasila sebagai dasar Negara republik Indonesia[6] dalam upaya
perumusan pancasila sebagai dasar Negara yang resmi, terdapat usulan-usulan peribadi yang
dikemukakan dalam BPUPKI, tanpa kata Indonesia karena dibentuk negara jepang.[7]
Setidaknya dimulai pada tahun 1920 an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan
untuk mencari sintesis antar ideologi dan gerakan, seiring dengan proses “penemuan”
Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nationalism). Fase “perumusan dimulai
pada masa sidang pertama BPUPK dengan pidato soekarno (1juni) sebagai crème de la
crème-nya yang memunculkan istilah pancasila yang digodok melalui pertemuan chuo sangi
in dengan membentuk “panitia Sembilan” yang menyempurnakan rumusan pancasila dari
pidato soekarno dalam versi piagam Jakarta (yang mengandung tujuh kata) fase “pengesahan”
dimulai sejak 18 agustus 1945 yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan
bernegara. Setiap fase konseptualisasi pacasila itu melibatkan partisipasi berbagai unsur dan
golongan. Oleh karena itu, pancasila benar-benar merupakan karya bersama milik bangsa.
Meski demikian tidak bisa dimpungkiri, bahwa dalam karya bersama itu ada individu-

individu yang memainkan peranan penting dalam hal ini, individu yang paling menonjol
adalah soekarno. Sejak “fase pembuahan” soekarno mulai merintis pemikiran kearah dasar
falsafah pancasila dalam gagasannya untuk mensisntesiskan antara “nasionalisme-islamisme
dan marxisme” dan konseptualisasinya tentang “socionationalisme”, “socio-democratie”

sebagai asa marhaenisme. Pada fase perumusan dialah orang yang pertama yang
mengkoseptualisasikan dasar Negara dalam konteks “dasar falsafah” (philosofische
grondslag) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) secara sistematik dan koheren, dan dia
pula yang menyebut lima perinsip dari dasar Negara itu dengan istilah pancasila; dalam proses
penyempurnaan perumusan pancasila, dia pula yang memimpin “panitia Sembilan”
yangmelahirkan piagam Jakarta dalam proses penerjemahan pancasila itu kedalam UUD dia
pula yang memimpin panitia perancang hukum dasar. Akhirnya dalam fase pengesahan
pancasila, dia pula yang memimpin PPKI.[8]
Dalam lintasan panjang konseptualisasi pancasila itu dapat dikatakan 1 juni adalah
hari kelahiran pancasila. Pada hari itulah lima perinsip dasar Negara dikemukakan dengan
diberi nama pancasila dan sejak itu jumlahnya tidak pernah berubah[9] meski demikian, untuk
diterima sebagai dasar Negara pancasila itu perlu persetujuan kolektif melalui perumusan
piagam Jakarta (22 juni), dan akhirnya mengalami perumusan final melaui proses pengesahan
konstitusional pada 18 agustus. Oleh karena itu, rumusan pancasila sebagai dasar Negara yang
secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah rumusan
pancasila versi 1 juni atau 22 juni, melainkan versi 18 agustus 1945.
Sejak disahkan secara konstitusional pada tanggal 18 agustus 1945, pancasila
dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) Negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan
ligatur pemersatu dalam peri kehidupan dan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Singkat
kata pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun ( leitstar)

yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisinya seperti
itu, pancasila merupakan sumber jati diri, keperibadian sumber moralitas, dan haluan
keselamatan bangsa[10].
Dari berbagai macam kedudukan dan dewi fungsi pancasila sebagai titik sentral
pembahasan adalah kedudukan dan fungsi pancasila sebagai dasar Negara republik Indonesia,
hal ini sesuai dengan kausa finalis pancasila yang dirumuskan oleh pembentuk Negara pada
hakikatnya adalah sebagai dasar Negara republik Indonesia, adalah digali dari unsur-unsur
yang berupa nilai-niai yang terdapat pada bangsa Indonesia sendiri yang berupa pandangan
hidup bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu dari berbagai macam kedudukan dan fungsi
pancasila sebenanya dapat dikembalikan pada dua macam kedudukan dan fungsi pancasila
yang pokok yaitu sebagai dasar Negara republik Indonesia dan sebagai pandangan hidup
bangsa Indonesia. Namun yang terpenting bagi kajian ilmiah adalah bagaimana hubungan
secara kausalitas diantara kedudukan dan fungsi pancasila yang bermacam-macam
tersebut[11]
B. Perspektif islam terhadap Nilai lima sila yang terkandunng dalam pancasila
1. Pada sila pertama yang berbunyi (ketuhanan yang maha esa). Bagaimana islam memaknai
kalimat pada sila pertama tersebut.
Secara hermeneutis peroses perumusan pancasila terutama sila ketuhanan yang
maha esa ini penting untuk ditemukan esensinya, karena pada hakikat sila pertama inilah the
founding fathers Negara Indonesia meletakan basis filosofis Negara yang khas dan tidak pada

filsafat Negara yang lain di dunia. Sebagaimana dikemukan oleh kahin dan dahm
(kahin,1970:123), (dahm, 1987:424), bahwa perumusan pancasila yang dikemukakan oleh
soekarno merupakan konsepsi yang khas yang tidak ada pada pemikiran filsafat negara yang
lain di dunia. Pemikiran soekarno itu merupakan suatu sintesis dari demokrasi barat,
islamisme dan marxisme. Namun demikian sebenarnya banyak pandangan dan masukan
dalam proses perumusan sila ketuhana yang mahasa esa, terutama dalam hubungan dengan
hubungan Negara dengan agama dalam Negara Indonesia yang akan didirikan.[12]

Jika manusia mengakui kekuasaan yang tertinggi[13] konsep ketuhanan yang maha
esa tidak lain adalah apa yang disebut dengan “Tauhid” demikian antara lain berbunnyi
keputusan muktamar nahdatul ulama ke-26 di stubondo pada tahun 1984. Tafsir ini tidak
dimaksud untuk menafikan hak hidup agama-agama lain yang diatur di Indonesia. Karena
“tauhid” itulah keyakinan yang terdalam dan yang paling awal (perimodial) dari semua
agama-agama yang ada di dunia. Al-Qur‟an menyatakan sebagai berikut:
dan tidak pernah mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka
sembahlah olehmu sekalian akan aku".( QS al-anbiya‟ [21]: 25).
Akidah keesan tuhan (tauhid) tersebut tidak tergoyahkan meskipun kita tahu
masing-masing umat punya cara keberagaman yang berbeda:
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya

mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada
mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu
kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada
Allah), (QS al-hajj [22]: 34)
Keimanan kepada tuhan yang mahasa esa Allah Swt, meski dengan idiom yang
berbeda tetapi menjadi inti keimanan setiap umat meskipun dengan tata cara dan tempat
ibadah yang berbeda-beda:
.. dan Sekiranya tidak ada pembelaan Allah atas keganasan sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut
nama Allah.. (QS al-Hajj [22]: 40).
Semua agama, pada dasarnya dan pada mulanya, mendoktrinkan keimanan kepada
Allah, tuhan yang maha esa (tauhid). Perbedaannya, jika harus disebut demikian, adalah
dalam penyebutannya dan kelugasan konseptualisasinya. Yang pasti semua agama meyakinin
bahwa segala sesuatu berawal dari yang esa yang satu yang maha baik, yang maha segalanya.
Islam mengidentifikasi nama-nama agung itu dengan sebutan al-asma‟al-husna (nama-nama
nan indah):
Bagi tuhan nama-nama nan indah, maka panggilah dia dengan nama-nama nan
indah itu (QS al-A‟raf [7]: 180)
Katakanlah (Muhammad): panggilah dia tuhan (Allah) atau panggilah dia yang

maha pengasih (ar-rahman); sebutan apa saja yang kalian pakai untuk memanggil-nya
silahkan; bagi-Nya tersedia nama-nama nan indah ( QS al-isra‟ [17]: 110).[14]
Kejahatan atas integritas ruhani dan jasmani manusia merupakan kejahatan serius.
Demi menjaga integritas ruhaninya, islam secara tegas menggaris-bawahi perinsip kebebasan
keyakinan atau keimanan untuk manusia:
Tidak ada paksaan dalam agama; karena sudah jelas kiranya mana yang lurus dan
mana yang bengkok (QS al-Baqarah [2]: 256)
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya (QS yunus [10]: 99)[15]
Ada pertanyaan sederhana tapi cukup sensitif: apakah dengan sila ketuhanan yang
maha esa Negara republik Indonesia mengharamkan rakyatnya menganut paham faham

atheis, paham yang meyangkal adanya tuhan sekaligus menolak beragama ? mengacu pada
penegasan al-Qur‟an sendiri pada dasarnya semua anak manusia sebagai anak cucu adam
adalah makhluk yang bertuhan:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami….) (QS alA‟raf [7]: 172).
Dengan ayat ini jelas bahwa, dimata tuhan, tidak ada seorang manusia yang terlahir

di dunia sebagai manusia yang atheis (kafir) yang tak ber-tuhan. Bahkan iblispun bukan
makhluk kafir yang meyangkal adanya tuhan. Bagaimana iblis meyangkal adanya tuhan,
sementar Dia sendiri sempat berdialok langsung degan-nya? Iblis disebut kafir bukan karena
meyangkal adanya tuhan, atau karena keyakinann atheistiknya, melainkan karena menolak
perintah tuhan, persisnya perintah sujud kepada adam. Dengan demikian, berdasarkan ayat alQu‟an diatas, semua anak manusia pada dasarnya ber-tuhan yang maha esa.
Bahwa dalam perjalanan hidup seseorang manusia kemudian bergeser pada
peyangkalan adanya tuhan, bukanlah keyakinan awal atau primodialnya. Boleh jadi seseorang
di tengah hidupnya tergoda pada keyakinan athestik karena kecewa dengan orang-orang yang
mengklaim bertuhan tetapi ucapan dan perilaku (akhlak) nya tidak mencermikan akhlak orng
yang beriman kepada tuhan, jadi ditengah-tengah kita muncul orang-orang atheis justru
phenomena itu merupakan peringatan keras (alarm) disana tengah terjadi kemunafikan yang
bertumbuh pesat pada kehidupan orang-orang yang mengaku ber-Tuhan dan beragama tapi
hanya di mulutnya, tampilannya atau pakaiannya, tapi tidak pada perilakunya.
Negara kita bukan hanya menegaskan prinsip theistik, keimanan kepada tuhan yang
maha esa, pada saat yang sama juga menegaskan sila-sila atau perinsip-perinsip kehidupan
nang luhur sebagai konsekuensi dari keimanan kepada-nya.[16]
2. Sila kedua, (kemanusiaan yang adil dan beradab),
Dari kata-kata „manusia’ kemanusiaan adalah sesuatu yang terkait dengan hakikat
manusia, apa dan siapanya. Yang hendak ditegaskan dengan perinsip kemanusiaan ini ( sila
kedua pancasila) adalah bahwa hakikat dan martabatnya manusialah yang harus dijadikan

acuan moral dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan-kebijakan berbangsa dan
bernegara indonesia. Tentang hal ini, Dr.wahbah Zuhaili menulis:
Kemuliaan manusia adalah hak kodrati setiap insan yang di lindungi oleh islam
sebagai landasan etika dan tata pergaulan, tak seorangpun boleh dilecehkan hak-haknya,
ditumpahkan darahnya atau direndahkan martabatnya secara begitu saja; tidak peduli apakah
dia orang yang dianggap baik atau buruk, beragama islam atau bukan (wahbah zuhaili, al-fiqh
al-islami wa Adillatuh, jilid VI, hal. 70).
Pertayaan yang perlu dijawab: apa dan siapakah manusia itu? Pertama, al-Quran
menegaskan bahwa pada dasarnya manusia dititahkan dimuka bumi sebagai khalifah (wakil,
mandataris) Allah SWT:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi..” (QS al-Baqarah [2]: 30).
Dalam salah satu hadis Rasulullah menegaskan yang artinya: bahwa Allah
menciptakan manusia atas gambarnya (bukhari-Muslim)
Ayat senada juga termaktub dalam taurat, kita perjanjian lama:
Maka allah menciptakan manusia atas gambar-Nya; menurut gambar Allah
diciptakan-Nya manusia; laki-laki perempuan (kitab kejadian: 1/27)
Di lain pihak secara material-jasmaniah manusia adalah makhluk yang tercipta dari
tanah, sementara secara spiritual-batiniah dari ruh yang ditiupkan oleh Allah dari diri-nya:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air

yang hina. kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya
dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur.. ( QS as-sajdah [32]: 7-9).[17]
Manusia pertama kali diciptakan Allah adalah Nabi adam As. Sebgai abu basyar
dengan siti hawa sebagai unmul al-basyar. Kemudian keturunan nabi adam itu sebagai umat
yang satu (ummatu whaidah) (Q.S. Al-Baqarah/2:212. substansi ayat ini mengajarkan agar
manusia hidup dan berada dalam kebersamaan. Dalam kebersamaan ini manusia berjuang
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang direalisasikan dengan berbagai macam aktifitas
serta beracam hubungan antara sesamnya kebersamaan merupakan sarana atau ruang gerak
bagi manusia dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya sendiri. Ketergantungan inilah
yang menjadikan manusia sebagai makhluk sosial, oleh eristoteles disebutkan sebagai
makhluk zon politicon.[18]
karena esensi kemanusiaan yang bersifat ilahiah itulah Allah Swt menegaskan
harkat dan martabat manusia anak cucu adam sebagai mengatasi makhluk-makhluk lainnya:
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS al-Isra’
[17]: 70). [19]
Dalam rangka menghormati martabat manusia,[20] nyawa manusia itu sakral dan
tak bisa dilanggar dan setiap usaha harus di buat untuk melindunginya[21]Islam memberikan
kebebasan kepada umat manusia untuk berserikat menjalin persahabatan dan kerjasama
dengan siapa pun, tanpa paksaan dari pihak lain,[22] setiap orang berhak diperlakukan sesuai
dengan hukum, dan hanya sesuai dengan hukum, setiap orang berhak dan berkewajiban untuk
membela hak-hak orang lain dan hak-hak komunitas secara umum, dalam membela hak-hak
pribadi maupun publik, setiap orang tidak boleh diskriminasikan[23]. Dengan demikian,
memuliakan manusia, sebagai gambar Allah dan khalifahnya pada hakikatnya adalah
memuliakan Allah, tuhan yang maha esa Pun sebaliknya, menghinakan manusia dan
kemanusiaan adalah penghinaan kepada Allah Swt. Dalam hidup bernegara Indonesia, dengan
alasan apapun, tidak boleh terjadi pelecahan terhadap harkat dan martabat manusia.[24]
3. Pada sila ke tiga (Persatuan Indonesia)
Dari kata-kata „satu‟ (abad, wahid dalam bahasa arab), „persatuan‟ (wahidah)
menggambarkan konsep menyatunya unsur-unsur yang berbeda, dalam satu derap langkah
bersama karena memiliki dan ingin mencapai cita-cita yang juga sama. Dalam bahasa islam
disebut dengan „jamaah‟[25] dalam islam nilai-nilai persatuan merupakan perintah Allah yang
tertuang dalam al-qur,an agar kaum muslimin tetap berpegang teguh kepada aturan-aturannya
dan tidak terpecah-pecah. Demikian pula perintah Allah agar kaum muslim tidak mengikuti
sikap umat terdahulu setelah datangnya petunjuk, seperti tertuang dalam ayat:
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.…….. (Ali imran: ayat 105)
Ajaran-ajaran ini benar-benar di pegang oleh kaum muslimin bukan hanya sekedar
ajaran yang amalkan, akan tetapi sudah merupakan behavior yang berwujud dalam sikap,
tingkah laku dan perbuatan. Hal ini terlihat dalam aktivitas sehari-hari berupa pengalaman
shalat berjamaah shalat jum‟ah dan terutama pada saat kaum muslimin bersama-sama
berwukuf diarofah, bernaug di bawah tenda yang sama dengan pakaian yang sama pula.
Disinilah tanpak sekali anjuran islam tentang persatuan.
Persatuan merupakan perintah Allah Swt yang harus dipegang teguh oleh setiap
manusia, baik pada saat damai lebih-lebih pada saat berada dalam jurang perpecahan karena
persatuan dipandang sebagai kekuatan. Apabila panitia Sembilan dan BPUPKI
mencantumkan perinsip persatuan dalam pancasila dan dijabarkan dalam UUD‟ 45, bukan
merupakan sesuatau yang baru, karena mereka yang duduk di dalam panitia-panitia tersebut

sangat meamahami bahwa di samping persatuan merupakan perintah Allah juga merupakan
kekuatan yang sangat di perlukan dalam menuju cita-cita kemerdekaan.[26]
Persatuan saling berbagi tanggung jawab demi mencapai tujuan mulia ini sungguh
sejalan dengan firman Allah sebagai berikut:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, (dalam konteks
keindonesiaan cita-cita menegakkan keadilan sosial) secara bersama-sama dan janganlah
kamu bercerai berai, (QS Ali imran [3]: 103)
Dan saling kerjasamalah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah
bekerja sama dalam dosa dan permusuhan, dan bertakwalah kepada allah, sesungguhnya
siksaan allah (akibat permushan keengganan bekerjasama dan tolong menolong) sangatlah
keras adanya (qs al-maidah [5]: 2)
upaya membangun berbangsa dan bernegara atas landasan kebangsaan yang
majemuk (plural) diatas bumi ini pertama kali dirintis oleh Muhammad rasulullah saw labih
14 abad lalu, persisnya tahun 622 M di madinah. Sebagaimana diketahui, pemerintahan
Rasulullah Saw di madinah adalah pemerintahan/Negara yang dibangun diatas landasan
penghargaan terhadap kebinekaan agama, tradisi dan suku. Perinsip ini tertuang dengan
gamblang dalam naskah konstitusi Negara madinah yang dikenal luas dengan
sebutan[27] piagam madinah[28]. Petikannya, dari sirah nabawiyah oleh ibnu katsir dan ibnu
hisam, sebagai berikut:
“inilah naskah perjanjian dari nabi Muhammad saw, antara orang-orang beriman
umat islam dari suku quraisy dan yastrib, serta orang-orang yang menyertainya dan yang
berjuang bersamanya: mereka adalah suatu komunitas yang manuggal; orang-orang
muhajirin dari quarisy berhak atas tradisinya; puak auf berhak atas tradisinya; puak saadah
berhak atas tradisinya; puak al-harist berhak atas tradisinya; puak jusam berhak atas
tradisinya; puak amr bin auf berhak atas tradisinya;puakan-nubeit berhak atas tradisinya;
dan puak alal-aus berhak atas tradisinya”
Perihal perlindungan atas kebhinekaan agama/yakinan termaktub dalam paragraph
sebagai berikut:
Umat yahudi bani auf adalah satu umat atau komunitas bersama orang-orang yang
beriman; bagi yahudi bani auf agama mereka dan bagi umat islam agama mereka; bagi
yahudi bani najjar apa yang berlaku bagi yahudi bani auf; demikian pula bagi yahudi bani
al-harits, yahudi bani saadah, yahudi bani jusam, yahudi bani al-aus, maupun bagi yahudi
bani tsa’labah.
Bagi bangsa Indonesia yang memiliki latar belakang kebhineka sagat kompleks,
bahkan baragkali yang paling kompleks didunia, baik secara sosial budaya, agama, bahasa,
etnis juga demokratis, tekat persatuan ini sangat mulia.[29]
Seperti tercatat dalam, ketika pembukaan UUD 1945 hendak ditetapkan, sebagai
saudara sebangsa kita dari Indonesia bagian timur meminta agar sila pertama : ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”.di ganti menjadi “ketuhanan
yang maha esa” Setelah melakukan konsultasi terutama dengan tokoh-tokoh islam yang
mengakar dan berpengarukh besar dikalangan umat islam, seperti KH hasyim, putra KH
hasyim asy‟ari, akan membuka pintu sektarianisme dalam perpolitikan Indonesia ( greg
barton, 2003)
Bagi umat islam peristiwa ini mirip dengan yang terjadi pada rumusan perjajnjian
perdamaian hudaibiyah (shulh al-hudaibiyah) antara rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya di
sapu pihak dengan para pemuka kaum quraisy di lain pihak. Dalam draf yang didiktekan oleh
Rasulullah dan ditulis oleh sahabat Ali r.a., terdapat kalimat “bismillah ar-rahman” dan “rasu
Allah”. Suhel bin amr, mewakili pihak quraisy, dengan tergas menolak kalimat itu: “jika kami
menerimma (mengimani kalimat) itu, untuk apa kita berunding?” semula sahabat ali menolak

keras permintaan suhel tersebut. Tapi dengan kebesaran hatinya nabi menerima usulan itu dan
bahkan nabi mencoretnya dengan tangan beliau mandiri.[30]
Nabi Muhammad dalam hal perjanjian udaibiyah tidak melihat siapa suku, budaya,
agama beliau lebih mengutamakan persatuan dan kedamaian terbukti dalam sejarah perjanjian
udaibiyah antara Nabi dan kaum Qurasy yang Nampak jelas nabi sendiri mencoret perjanjian
yang sudah dituliskan oleh sahabatnya. Demi memenuhi permintaan kaum Qurasy yang
semuanya itu nabi lakukan untuk mewujudkan persatuan dengan kaum Qurasy. Dalam hal
Negara Indonesia yang sangat prural bunyi sila ketiga menyerukan persatuan sudah pas
konteksnya di Negara indonesia.
4. Sila keempat Permusyawaratan Rakyat.
Demokrai pancasila yang menghimpun berbagai macam unsur demokrasi sebenarnya
timbul dari masyarakat indonesia yang religious, kaum muslimin dapat menerima demokrasi
ini, karena didalamnya terdapat unsur-unsur ketuhanan dalam artian selama keputusan yang
diambil dalam permusyarawatan harus bersesuaian dengan ajaran keagamaan, perinsip
kemanusiaan, persatuan, permusyarawatan, dan keadilan sosial.
Bagaimana pengaruh islam terhadap perinsip permusyawaratan ini? Di dalam alqur‟an terdapat perintah supaya permusyawarahan dalam urusan dunia seperti:

(Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…. (ali-imran: 159…
al-) Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawrah antara mereka .…
(syura:38
Perinsip syura dalam islam tidak berbentuk demokrasi absolute melainkan demokrasi
ketuhanan (teodemokrasi) seperti termuat dalam al-qur;an dan hadis serta praktik yang telah
dilaksnakan oleh nabi muhammad serta sahabat-sahabatnya. Demokrasi ketuhanan dalam
ajaran islam hanya berkisar mengenai urusan umat. Jadi penerapannya hanya yaitu urusanurusan kesejahteraan, hidup bermasyarakat, bernegara, berperang, dan lain-lain yang
brsangkut paut dengan umat. Dalam menyelesaikan urusan umat hendak mbermusyawarah
mufakat yang dijiwai oleh prinsip-prinsip yang termuat dalam al-Qur‟an dan sunnah.[31]
Tak ada satupun di dunia ini yang lepas dari pengetahuan, dan kasih sayang Tuhan.
Ringkasnya, Tuhan mengetahui dan mengatur semua aspek kehidupan makhluknya, termasuk
manusia. Namun demikian, kemaha kuasaanya dikendalikan oleh kasih sayang-Nya. Allah
Swt bisa saja membuat semua manusia menjadi satu umat saja (QS.11: 118), tapi itu tidak
dilakukannya dan dibiarkannya.[32] Hal demikian melambangkan bahwa tuhan sendiri
sebenarnya sebagai penguasa jagat raya tidak persifat otoliter meskipun memilki kekuasaan
yang tidak sebanding dengan makhluk ciptaannya dengan memberi kebebasan kepada setiap
makhluk untuk memilih apa yang menjadi keinginannya. Konsekuensi dari ayat ini
menciptakan perbedaan yang pada inti untuk menyelesaikan perbedaan itu diperlukan
musyawarah. Bahkan kisah yang tidak kala spektakuler ketika Nabi melakukan isra dan mi‟raj
kesiratul muntaha yang terjadi dialok negosiasi dengan tuhan dalam hal minta keringanan
shalat lima waktu yang awalnya lima puluh sehari semalam menjadi lima waktu kejadian ini
menyadarkan kita bahwa tuhan saja sebagai penguasa segala kehidupan di alam raya ini masih
melakukan musyawarah dengan Nabi Muhammad untuk menentukan hukum kepada
hambanya.
Perinsip musyawarah, adalah suatu perinsip yang sangat penting dalam memecahkan
kesulitan-kesulitan karena bagaimanapun juga manusia merasa dirinya mempeunyai harga diri
yang tidak boleh diinjak-injak oleh yang lain, maka dalam menghadapi segala macam
problematika diberikannya perinsip musyawarah sebagai jalan satu-satunya untuk
memelihara persatuan. Dalam sejarah terlihat bahwa mankin maju pemikiran seseorang
semangkin cenderung untuk meinggalkan absolutisme dan monarki menuju pada demokrasi
yang didalamnya terdapat perinsip-perinsip musyawarah.[33] Oleh karena itu dalam teori ini,
sumber kekuasaan adalah ditangan rakyat atau umat itu sendiri bukan kepala Negara. Jika

seorang kepala Negara berbuat salah, umat mempunyai hak untuk menasehati meluruskan dan
mengoreksi, bahkan mempunyai hak untuk memecat jika terdapat alasan yang sah untuk
bertindak demikian.
Sementara itu status kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan islam adalah sama
dengan kepala pemerintahan suatu Negara yang undang-undang dasar.[34] Dengan demikian
secara keseluruhan umat adalah sebagai sumber kekuasaan dan hubungan antara umat dengan
khalifah kepala Negara adalah hubungan kontrak sosial yang dalam term kaum muslimin
dinamakan dengan mubaya‟ah.[35]
Terjadinya pemilihan yang bermusyawarah Ketika rasulullah menjelang wafat kaum
muslimin segera merasakan kekosongan kepemimpinan[36] fenomena itu tampak pertama
kali dalam sejarah islam dalam pertemuan saqifah. Yang diperdebatkan peserta pertemuan itu
adalah tentang khilafah atau imamah kepemimpinan Negara.[37] Perbedaan pendapat yang
pertama dikalangan kaum muslimin setelah wafatnya nabi Muhammad adalah perbedaan
pendapat dalam masalah immamah (kepemimpinan Negara).
Mereka berbeda pendapat dalam masalah kepemimpinan karena Rasulullah Saw.
seperti tercatat dalam sejarah tidak menjelaskan hal ini dengan jelas beliau tidak menentukan
dengan pasti siapa yang akan menggatikan beliau, juga tidak menjelaskan cara pergantian
jabatan kepemimpinan, tidak memberi syarat-syarat yang harus dilengkapi oleh pemimpin,
dan detail-detailnya. Beliau hanya menerangkan kaidah-kaidah umum dan menjelaskan
tuntunan akhlak yang mulia dan semagat islam.[38] Faktor yang melatar belakangi nabi tidak
mengatur hal demikian sesuai dengan rasional dan berdasarkan analogis atas apa yang telah
terjadi dalam sejarah islam serta selaras dengan kecenderungan syariat dan sistem islam
adalah karena adanya hikmah syariat yang besar dikhendaki dengan tidak dijelaskan hal itu.
Agar tidak mengikat umat islam dengan aturan-aturan baku yang kaku yang kemudian tidak
cocok dengan perkembangannya yang terus terjadi, serta tidak sesuai dengan situasi dan
kondisi. Karena syariat islam berkehendak agar undang-undang islam terus bersifat lentur,
sehingga kelenturannya itu memberikan kesempatan kepada akal manusia untuk berpikir,
serta umat islam dapat menciptakan sendiri sistem politik dan kemasyarakatannya sesuai
dengan kebutuhan mereka yang terus berubah-ubah.[39]
Sehingga ketika nabi wafat di pilihlah Abu bakar sebagai pemimpin baru melalui
musyawarah antara masyarakat muhajirin dan Ansor. ini bukti bahwa islam mengajarkan
musyawarah dalam hal pemilihan kepemimpinan dan ini sesuai dengan bunyi sila keempat
“permusyawaratan” dalam pancasila.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Keadilan: dari kata al-„adl (adil) yang secara harfiah berarti “lurus”, “seimbang”.
Dalam fiqih, „adil‟ pertama-tama berarti memperlakukan setiap orang secara setara, tanpa
diskriminasi berdasarkan hal-hal yang bersifat subjektif. Dalam kitab al-mufasshal fi fiqh adda‟wah, abul qasim al-amadi menulis:
“keadilan adalah konsep yang merengkuh setiap orang, atau setiap komunitas; tanpa
dipengaruhi perasaan subjektif suka tidak suka, atau faktor keturunan, atau status soal kayamiskin, kuat lemah; intinya menakar setiap orang dengan takaran yang sama dan menimbang
dengan timbangan yang sama, sebagai manusia, hamba allah dan ciptaanya.”
Dengan kata lain, unsur pertama keadilan adalah „kesetaraan‟ perbedaan suku ras dan
semisal tidak boleh menjadi alasan untuk mendiskriminasikan orang lain keanekaragaman
bahasa, budaya maupun warna kulit adalah salah satu tanda kebesaran Allah Swt.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS ar-Rum [30]: 22)
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya

kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal. (QS al-hujrat [49]: 13).
Perbedaan agama atau keyakinan tidak boleh dijadikan alasan untuk
mendiskriminasikan seseorang karena persolalan agama dan keyakinan adalah persoalan
hidayah[40] salah satu perinsip keadilan adalah tidak memperlakukan diri sendiri atas
seseorang berdasarkan garis nasab, darah. [41]
Kedua, keadilan terkait hak-hak yang melekat secara kodrati dan sosial pada setiap
individu atau kelompok. Maka keadilan secara praksis sebagaimana didefenisikan oleh para
ulama, antara lain imam al-ghazali dalam ihya sebagai berikut:
“adil adalah etika setiap orang/pihak mendapatkan apa yang menjadi haknya”
Yang dimaksud empunya hak di sini tentunya tidak terbatas pada makhluk manusia,
melainkan juga binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lingkungan semesta sebagai sesama
makhluk Allah Swt. Untuk manusia, khususnya sebagai prioritas, hak-hak yang melekat
padanya meliputi apa yang dalam konsep HAM moderen dikategorikan dalam hak-hak sipil,
hak sosial ekonomi, hak politik, dan sosial budaya. Dalam konteks ini detail hak-hak insani
yang begitu rinci dalam konsep HAM universal sangat membantu misi agung umat manusia
juga Negara untuk menegakkan keadilan.[42] Dalam hal jual beli saja islam sangat
menganjurkan adil dalam transaksi seperti dalam hal timbangan. dan Allah sangat mengecam
manusia yang berbuat curang atau tidak adil.
Diantaranya perbuatan menimbun, dilakukan terhadap barang makanan pokok maka
pelaku terkutuk dan dikenai sanksi yang berat. Atau menyembunyikan keaiban, karena
perbuatan ini merupakan perbuatan khianat. Dan keharusan meluruskan timbangan, bagi yang
meninggalkannya mendapat ancaman yang berat, sehubungan dengan hal ini Allah Swt telah
berfirman:
Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang) (Almuthaffifiin:1).[43]
Ibnu taimiyah dalam kitab majmu al-fatwa dan kitab al-hisab mengutip umgkapan dari
ibnu aqil menyatakan:
Allah menolong Negara yang adil meskipun kafir (sekuler); dan allah tidak akan
menolong Negara yang lalim meskipun mukmin (religious)
Manakala tanda-tanda keadilan telah tampak dan menunjukkan wajahnya, dengan
cara apapun, maka disana ada syariat allah dan agama-Nya… jalan apapun yang dapat
menghadirkan keadilan dan keseimbangan, itulah agama. Tidak bisa dikatakan bahwa politik
yang adil berlawanan dengan syariah. Sebaliknya, politik yang adil itu sejalan belaka dengan
syariah, bahkan merupakan bagian dari padanya.kami menamakannya sesuai arti
termonologinya; ialah keadilan Allah dan rasul-Nya (ibnu al-Qayyim, at-thuruq al-hukmiyah;
vol 1, hal. 19).
Jadi jelas, bahwa Negara yang dikehendaki oleh islam tidak ditentukan oleh agama,
label, atau sebutannya melainkan oleh tujuan (ghayah)-nya, yakni “keadilan” bagi seluruh
rakyatnya. Negara yang tidak memberikan perlindungan kepada rakyatnya terutama yang
lemah dengan memenuhi hak-haknya yang hilang atau terampas, apapun sebutan dan
mereknya bukanlah Negara yang dikehendaki Allah Swt, Tuhan yang maha esa maupun
rakyat keseluruhannya. Dalam konteks Indonesia dengan pancasila-Nya, para meter sukses
Negara sangatlah jelas dan gamblang, yakni apakah Negara bisa mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia (terutama yang lemah, yang paling jauh dari keadilan) atau
tidak.[44]

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pancasila sebagai dasar negara indonesia yang terkandung lima nilai falsafah yang
tertuang didalamnya sudah memenuhi keriteria dan keinginan ajaran islam. Dengan begitu
banyak suku, bahasa, budaya dan agama didalamnya pancasila mampu mengakomodir
semunya dalam satu bingkai persatuan, ini menandakan Negara kita memiliki dasar yang
islami karena semunya itu masuk pada ajaran islam. Karena sebenarnya ajaran islam itu
sangat menghargai perbedaan menjunjung tinggi keadilan dan sangat terbuka. Banyak
masyarakat terjebak hanya persoalan konsep kemudian itu dipermasalahkan apakah itu ajaran
islam atau bukan yang terpenting didalamnya adalah menjujung tinggi harkat martabat
manusia membawa kedamaian dan kesejahteraan dalam pelaksanaanya maka sesungguhnya
itu sudah masuk dalam ranah ajaran islam. Penulis melihat persoalan ini lebih kepada teknis
pelaksaan dan penerapan nilai lima sila tersebut apakah dalam pelaksanaan berkehidupan dan
bernegara sudah seutuhnya sesuai dengan cita-cita yang termaktub dalam lima sila tersebut.
Maka dapat dipastikan akan banyak yang menjawab belum seutuhnya sehingga tidak salah
jika banyak masyarakat yang berteriak bukan saja ingin merubah dasar Negara bahkan ada
juga ingin merdeka melepas dari NKRI dll. Karena persoalan kesejahteraan yang tidak merata
belum lagi persoalan bangsa akhir-akhir ini yang kita saksikan berbagai tontonan kebobrokan
sistem hukum kita, keamanan, ekonomi, budaya, dan lainya ditambah sikap pemerintah yang
lemah membuat masyarakat tidak begitu percaya terhadap pemerintah. Hal demikian yang
sangat membahayakan untuk kesetabilan negara indonesi maka pemerintah harus benar-benar
memikirkan persoalan ini agar ada solusi terbaik untuk bangsa Indonesia sehingga bisa
meredam anarkis masyarakat Indonesia.

Moh mahfud Md, Politik Hukum Di Indonesia, cetakan kelima, ( Jakarta:
PT Raja grafindo, 2012) Hlm 36
[1]

Ellydar chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, cetakan pertama,
(Yogyakarta: kreasi total media yogyakarta, 2007) Hlm 54
[3] Yudi latif, Negara paripurna historis, rasionalitas, dan aktualitas
pancasila, cetakan keempat (Jakarta: PT gramedia, 2012) Hlm 620
[4] Ainur rofiq al-amin, Membongkar proyek khilafah ala hzbuhtahrir di
Indonesia, cetakan pertama ( yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2011) Hlm 17
[5] Yudi
latif, Negara paripurna historis, rasionalitas, dan aktualitas
pancasila., Op.cit., hlm 622
[6] Buku pintar politik sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan, Cetakan
pertama (Yogyakarta: Jogja great publisher, 2001) Hlm 9
[7] Ibid
[8] Yudi latif, Negara paripurna historis, rasionalitas, dan aktualitas
pancasila, cetakan keempat Op.cit,. Hlm 39-40
[9] Peringatan hari lahir pancasila setiap tanggal 1 juni telah menjadi
konvensi kenegaraan terutama sejak departemen penerangan menerbitkan pidato
bungkarno pada tanggal 1 juni 1945 dalam bentuk buku yang diberi judul lahirnya
pancasila pada tahun 1947 radjiman widyoningrat memberikan kata pengantar pada
buku tersebut, tanggal 1 juli 1974.
[10] Yudi latif, Negara paripurna historis, rasionalitas, dan aktualitas
pancasila, cetakan keempat , Op.cit., Hlm 40-41
[11] Kaelan, Negara kebangsaan pancasila, kultur, historis, filosofis, yuridis,
dan aktualisasinya, cetakan pertama (Yogyakarta, paradigm, 2013) Hlm 40-41
12 Tijani Abd.Qadir Hamid, Pemikiran Politik Dalam Al-Qur’an, cetakan
pertama, ( Jakarta: gema insane press, 2001) Hlm 57
13 Ibid., 174-175
[2]

Masdar farid mas‟udi, syarah UUD 1945 Perspektif islam, cetakan
ketiga, ( Jakarta: PT pustaka alvabert, 2013) hlm 33-35
[15] Ibid., hlm 41
[16] Ibid., hlm 35-37
[17] Ibid., 37-40
[18] Said
agil husin al munawar, fiqih hubungan antara umat
Bergama,cetakan ketiga, ( Jakarta: ciputat press, 2005), Hlm 1
[19] Masdar farid mas‟udi, syarah UUD 1945 Perspektif islam, op, cit Hlm
40
[20] Ibid.,
[21] Badri khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, cetakan
pertama (Bandung: Cv Pustaka setia, 2010)hlm 307
[22] Masdar farid mas‟udi, loc, cit
[23] Badri khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, op., cit Hlm
308-309
[24] Masdar farid mas‟udi, syarah UUD 1945 Perspektif islam, op, cit Hlm
43
[25] Ibid.
[26] M. abdul karim, Mengali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam,
cetakan pertama (Yogyakarta: surya raya, 2004) Hlm, 75-76
[14]

[27]

Masdar farid mas‟udi, syarah UUD 1945 Perspektif islam, op, cit hlm

43-44
Disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia
yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern. Piagam
ini dibuat atas persetujuan bersama antara nabi Muhammad saw dengan wakilwakil penduduk kota madinah tak lama setelah beliau hijrah dari mekkah ke
yastrib, nama kota madinah sebelumnya, pada 622 M. para ahli menyebut piagam
madinah tersebut dengan berbagai istilah yang berlainan satu sama lain, lihat Jimly
Asshiddiqie, pengantar ilmu hukum tata Negara, cetakan kelima (Jakarta: pt: Raja
grafindo persada, 2013) hlm 85
[29] Ibid., Hlm.44-48
[30] Ibid.,
[31] ibid.,Hlm 80-82
[32] The wahid institute sending pural and peaceful islam dan gerakan
bhineka tunggal ika maarif, Ilusi Negara islam ekspansi gerakan islam
transnasional di Indonesia, cetakan pertama ( Jakarta: PT desantara utama media,
2009) hlm114
[33]M.abdul
karim, islam dan kemerdekaan indonesia (membongkar
marjinalisasi peranan islam dalam perjuangan kemerdekaan RI) cetakan pertama
(Yogyakarta: sumbangan pres Yogyakarta, 2005) Hlm 98
[34] Muhibbin, hadis-hadis politik, cetakan pertama, ( Yogyakarta: pustaka
pelajar, 1996) Hlm 30-31
[35] ibid
[36] M.Dhiauddin rais, teori politik islam, cetakan pertama (Jakarta: gema
insane press, 2001) Hlm10
[37] ibid
[38] Ibid 10-11
[39] Ibid 11
[40] Masdar farid mas‟udi, syarah UUD 1945 Perspektif islam, op, cit Hlm
51-52
[41] Ibid., hlm 53
[42] Ibid., hlm 54-55
[43]Imam al-ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, cetakan kedua (Bandung:
sinar baru algensindo, 2011) Hlm 179
[44] Masdar farid mas‟udi, syarah UUD 1945 Perspektif islam, op, cit hlm 56-58
[28]