Peranan Komitmen Organisasional

(1)

Karya Ilmiah

PERANAN KOMITMEN ORGANISASIONAL

DALAM MENINGKATKAN KINERJA

INDEPENDENT BUSINESS OWNER (IBO)

DALAM MULTILEVEL MARKETING (MLM)

Oleh:

Martin Luter Purba, SE. M.Si

(

Dosen Tetap Fakultas Ekonomi – Universitas HKBP Nommensen

)

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI……… i

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

BAB II PEMBAHASAN……… 7

2.1. Kerangka Teori……… 7

2.1.1. Multi Level Marketing……….. 7

2.1.2. Komitmen Organisasional……… 12

2.1.3. Kinerja Bisnis IBO……… .. 14

2.2. Metode Pengumpulan Data……… 17

2.3. Pembahasan……… 17

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN……… 25

3.1. Kesimpulan……… 22

3.2. Saran……….. 22


(3)

BAB I PENDAHULUAN

Pada saat ini bisnis berkembang sangat maju seiring dengan semakin cepatnya informasi berpindah dari satu tempat ke tempat bahkan persaingan tidak lagi hanya antara perusahaan satu negara tetapi juga persaingan dengan perusahaan asing. Terjadinya pekembangan teknologi yang sangat pesat yang menyebabkan terjadinya pertukaran informasi yang sangat cepat pula menyebabkan pemasaran mulai memasuki era baru. Pemasaran langsung menjadi hal yang menarik bagi produsen untuk mulai semakin dekat dengan konsumen dan lebih mengetahui apa yang diinginkan konsumen. Ketatnya persaingan untuk memperebutkan pasar menjadikan perusahaan yang paling efektif dalam melakukan pemasaran yang dapat memenangkan peperangan di pasar.

Menurut (Wibowo, 2009) pemasaran langsung (direct marketing) adalah penggunaan saluran-saluran langsung untuk menjangkau dan menyerahkan barang dan jasa kepada pelanggan tanpa menggunakan perantara pemasaran. Jika melihat pendapat ini dapat disimpulkan bahwa pemasaran langsung selain salah satu cara untuk lebih dekat dengan konsumen tetapi juga untuk tetap mengontrol harga yang ada di pasar hal ini dikarenakan tidak adanya perantara agar barang sampai ke konsumen maka perusahaan dapat memastikan harga yang ada di pasar sesuai dengan yang mereka inginkan. Hal ini penting dilakukan agar jangan sampai terjadi kenaikan harga yang sangat tinggi di pasar yang diakibatkan terlalu banyakannya perantara pemasaran produk, sehingga menyebabkan konsumen tidak terlalu tertarik melakukan pembelian pertama.

Salah satu perdangan produk yang cukup menarik pada saat ini adalah dengan menggunakan model Multi Level Marketing. Model penjualan langsung (direct selling) dan penjualan berjenjang multi level marketing (MLM) saat ini marak dilakukan di Indonesia, baik oleh perusahaan resmi maupun perusahaan illegal yang mengaku sebagai perusahaan MLM. Perusahaan illegal tersebut hanya menggunakan MLM sebagai kedok untuk menutupi niat aslinya yaitu megumpulkan dana masyarakat secara tidak sah.


(4)

MLM merupakan salah satu dari berbagai cara yang dapat dipilih oleh sebuah perusahaan atau produsen untuk memasarkan, mendistribusikan, ataupun menjual produknya melalui pengembangan armada pemasar, distributor, atau penjual langsung secara mandiri (independent), tanpa campur tangan dari perusahaan (Soeratman, 2002). Sistem MLM ini memangkas jalur distribusi dalam penjualan konvensional karena tidak melibatkan distributor atau agen tunggal dan grosir atau sub agen, tetapi langsung mendistribusikan produk kepada distributor

independent yang bertugas sebagai pengecer atau penjual langsung pada konsumen. Dengan cara tersebut biaya pemasaran dan distribusi (transportasi, sewa gudang, gaji, dan komisi tenaga penjualan), yang totalnya mencapai 60% dari harga jual dapat dialihkan kepada distributor independen dengan suatu sistem berjenjang, yang umumnya disesuaikan dengan pencapaian target penjualan atau omset distributor yang bersangkutan (Soeratman, 2002).

Ciri dari MLM pada upaya pengembangan penjualan melalui suatu jaringan individu-individu yang secara mandiri mengembangkan usahanya sendiri dengan bertindak sebagai distributor. Mereka yang berusaha paling keras dalam kegiatan ini akan mencapai tingkat yang paling tinggi dan dengan demikian akan menerima imbalan finansial paling besar. Teknik pemasaran MLM pertama kali digunakannya oleh perusahaan makanan suplemen Amerika Nutrilite pada sekitar tahun 1930-an. Sesuai dengan sifatnya yaitu duplikasi, maka banyak perusahaan lain mengadopsi sukses sistem ini baik perusahaan lokal maupun dari berbagai negara lainnya. Bisnis MLM tengah popular di Indonesia dan menjadi suatu trend baru dalam berbisnis.

Model MLM sangat mengandalkan anggota dan jaringan untuk memperluas pasar penjualan mereka. Model ini bertumpu pada kekuatan jaringan dan penjualan langsung, yang menjadi unjung tombak perusahaan MLM adalah keanggotaan dari independent business owner (IBO). Dalam memasarkan barang IBO dianggap sebagai pelanggan dan penyalur. Penggunaan istilah IBO dikarenakan para anggota MLM merupakan pemilik bisnis, mereka sangat berbeda dengan wiraniaga hal ini dikarenakan mereka bukan hanya bertugas


(5)

untuk menjual barang dan mendapat bonus ataupun gaji dari penjualan mereka. Anggota MLM selain menjualan produk mereka juga membangun jaringan bisnis mereka sehingga mereka tidak hanya mendapat keuntungan dari penjualan mereka tetapi mereka juga mendapat keuntungan dari penjualan jaringan yang dibentuknya hal inilah yang menyebabkan anggota MLM merupakan IBO.

Dalam penelitian Mulyati (1997), distributor adalah penentu keberhasilan perusahaan MLM karena dalam bisnis MLM ini penjualan dilakukan secara face to face dan tidak di lokasi retail yang tetap, sehingga kesetiaan terhadap seorang distributor dan kemampuan berkomunikasi secara baik , tepat dan benar sangat dibutuhkan untuk membangun hubungan yang baik dan berkelanjutan dengan para pelanggan. Menurut Soeratman (2002) MLM mengandalkan jaringan distribusi yang terdiri atas individu individu dengan motivasi tinggi untuk maju di dalam memasarkan produknya. Untuk itu distributor harus mempunyai kemampuan untuk memperluas jangkauan distribusinya serta pengembangan diri sebagai wiraswasta yang handal.

Dalam penerapan strategi MLM, faktor tenaga penjual memiliki peran yang sangat penting. Hal tersebut dikarenakan mereka dituntut untuk dapat memenuhi “target penjualan” sekaligus membangun hubungan (relationship) dan citra perusahan melalui pelayanan yang mereka berikan pada pelanggan. (Susilowati, 2004). Jika mengacu pada pendapat ini maka meskipun para anggota MLM memiliki bisnis mandiri, akan tetapi tetap saja mereka dibebani target penjualan jika ingin mendapatkan bonus yang besar dari perusahaan MLM.

Dalam penelitiannya Susan (1997) menyatakan bahwa MLM yang menjadi pemasok di samping produsen juga semua distributor dan menjual kepada pelanggan pada setiap tahap dari suatu organisasi. Oleh karena itu dinamakan pemasaran bertingkat (MLM). Setiap distributor diperkenalkan secara pribadi oleh distributor yang telah ada bukan karyawan perusahaan. Pendapat ini menekankan bahwa anggota MLM bukan merupakan karyawan perusahaan, mereka adalah pemilik bisnis atau juga dapat disebut distributor produk-produk perusahaan


(6)

MLM. Jika anggota MLM mengajak orang lain bergabung dengan bisnisnya maka yang memperkenalkan produk maupun bisnisnya adalah mereka sendiri bukanlah karyawan perusahaan MLM.

MLM memberikan banyak keuntungan berupa bosnus yang besar kepada IBO hal inilah yang menyebabkan IBO menjadi sangat termotivasi membangun jaringan bisnis yang kuat sehingga menyebabkan penjualan perusahaan meningkatkan. Menurut Aqmala (2011) tidak kurang dari 200 perusahaan telah bergerak di bidang MLM. Data ini diperoleh dari APLI (Asosiasi Penjual Langsung Indonesia) yang merupakan wadah perusahaan MLM di Indonesia dan bagian dari World Federationof Direct Selling Association (WFDSA).

Indonesia merupakan sasaran empuk bisnis MLM internasional. Menurut laporan tabloid Network Indonesia edisi Agustus 2001 dalam Purnomo dkk, (2011) jumlah perusahaan MLM yang berkembang di Indonesia hingga tahun 2001 mencapai 101 jenis, dan itu belum termasuk bisnis MLM yang muncul dengan mengendap (tanpa kantor). Diantaranya ada yang sudah terdaftar pada APLI dan ada yang belum akan tetapi pada umumnya yang tidak terdaftar sebagai anggota APLI adalah perusahaan yang hanya berkedok MLM.

Salah satu perusahaan yang menggunakan teknik pemasaran MLM adalah Oriflame. Oriflame menawarkan peluang bisnis terkemuka untuk orang-orang yang ingin mulai membuat uang sejak hari pertama dan bekerja untuk memenuhi impian dan ambisi pribadi mereka melalui konsep bisnis yang unik yaitu “Make Money Today and Fulfil Your Dreams Tomorrow”. Didirikan pada tahun 1967 oleh dua bersaudara dan teman mereka, saat ini Oriflame telah menjadi perusahaan kecantikan internasional dengan sistem penjualan langsung di lebih dari 60 negara di seluruh dunia. Portfolio yang luas dari produk-produk kecantikan Swedia yang alami, inovatif dipasarkan melalui tenaga penjualan (IBO) sekitar 3.600.000 Consultant mandiri , yang bersama-sama


(7)

Oriflame menawarkan bisnis dengan pendapatan/ income yang tidak terbatas. Keuntungan langsung yang dapat diperoleh apabila kita melakukan pembelian produk tersebut adalah selisih antara harga yang tertera pada katalog (untuk harga konsumen/non-member) dengan harga yang harus disetor pada pihak IBO (harga konsultan/harga member). Keuntungan yang di dapat cukup besar pula sekitar 23%. Belum lagi apabila kita berhasil menjual produk Oriflame tersebut dalam jumlah yang banyak, maka hasil penjualan kita selama 1 (satu) bulan akan dikalkulasikan dalam invoice dalam bentuk perolehan Business Point

(BP). Semakin banyak BP yang kita dapat maka income kita juga akan semakin besar, apalagi bila kita juga merekrut orang sebagai downline kita maka keuntungan akan semakin besar, karena BP akan berpengaruh kepada uplinenya. Akan tetapi dikarenakan Oriflame menganut model MLM maka memiliki keterbatas dalam iklan sehingga IBO sendirilah yang menjadi pemasaran dan memperkenalkan produk kepada calon konsumen.

Peningkatan kinerja IBO setiap tahunnya tidak terlepas dari komitmen organisasional dari setiap IBO yang berada pada PT ORIFLAME. Seorang IBO yang berkomitmen untuk menjalankan bisnis MLM akan lebih fokus dalam menjalankan usahanya dalam meningkatkan penjualannya dan juga mencari sebanyak-banyaknya downline untuk memperoleh BP karena semakin besar jaringan yang dibentuk dan jaringan tersebut aktif maka akan semakin besar juga BP yang diperoleh. Komitmen IBO terlihat dari selalu menyisihkan waktu untuk prospek agar jaringan menjadi semakin meluas. Satu kali dalam satu minggu selalu hadir pada pertemuan/seminar yang diadakan ORIFLAME bahkan jika seorang IBO memiliki komitmen yang sangat tinggi dia akan rela meninggalkan pekerjaan lamanya demi fokus untuk menjalankan bisnis ini. Yang sangat membedakan komitmen organisasi pada perusahaan MLM dengan perusahaan pada umumnya adalah jika pada perusahaan umum wiraniga dapat memperoleh gaji tetap ditambahkan dengan bonus dari penjualan beserta dengan tunjangan lainnya dan fasilitas-fasilitas dari perusahaan maka itu tidak akan IBO dapatkan dari Oriflame. Perusahaan MLM tidak memberikan gaji tetap kepada IBO


(8)

sehingga jika IBO tidak dapat menjual produk untuk menghasilkan BP maka bisa dipastikan IBO tidak akan mendapatkan uang dari perusahaan MLM.

Hal-hal demikian yang menjadikan topik mengenai komitmen organisasional dan kinerja IBO dalam multilevel marketing khususnya pada ORIFLAME menarik untuk dikaji lebih lanjut.

PERMASALAHAN POKOK

Berkaitan dengan hal-hal diatas, maka begitu banyak permasalahan yang timbul dan menarik untuk dibahas. Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk menbahas peranan komitmen organisasional dalam meningkatkan kinerja dari IBO pada Oriflame.


(9)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. KERANGKA TEORI 2.1.1.

Multi Level Marketing (MLM) A. Pengertian dan Prinsip MLM

Sistem pemasaran Multi Level Marketing mula-mula diterapkan oleh suatu perusahaan nutrisi di California, AS, sektar tahun 1930-an. Munculnya MLM pada dasarnya suatu respon terhadap peluang usaha yang ada karena kekakuan yang dialami traditional marketing channel.

Dinamika yang terjadi dalam channel of distribution, memang melahirkan berbagai bentuk dan pola distribusi yang pada dasarnya mencoba mengatasi berbagai konflik yang terjadi pada traditional marketing channel yang ada.

Mullti Level Marketing merupakan suatu cara penjualan. sebagaimana suatu bisnis, MLM memenuhi persyaratan sebagai bisnis murni, yaitu bisnis pemasaran. Bisnis pada dasarnya adalah suatu kegiatan individu maupun organisasi untuk menghasilkan suatu produk kemudian menjualnya untuk mendapatkan keutungan. Demikian juga halnya dengan MLM, dimana MLM harus ada produknya baik benda maupun jasa. Tanpa produk bukanlah MLM, boleh jadi arisan berantai atau penggandaan uang, dan sebagainya. Bahkan produk MLM harus memenuhi kriteria tertentu supaya dapat bertahan. Produk tersebut dijual. Penjualan ini yang merupakan kunci.

MLM merupakan salah satu dari berbagai cara yang dapat dipilih oleh sebuah perusahaan atau produsen untuk memasarkan, mendistribusikan, ataupun menjual produknya melalui pengembangan armada pemasar, distributor, atau penjual langsung secara mandiri (independent), tanpa campur tangan dari perusahaan (Soeratman, 2002). Sistem MLM ini memangkas jalur distribusi dalam penjualan konvensional karena tidak melibatkan distributor atau agen tunggal dan grosir atau sub agen, tetapi langsung mendistribusikan produk kepada distributor


(10)

independent yang bertugas sebagai pengecer atau penjual langsung pada konsumen. Dengan cara tersebut biaya pemasaran dan distribusi (transportasi, sewa gudang, gaji, dan komisi tenaga penjualan), yang totalnya mencapai 60% dari harga jual dapat dialihkan kepada distributor independen dengan suatu sistem berjenjang, yang umumnya disesuaikan dengan pencapaian target penjualan atau omset distributor yang bersangkutan (Soeratman, 2002).

Metode Distribusi Konvensional Multi Level Marketing Produsen

Pelanggan Produsen Pelanggan

Grosir

Pelanggan Distributor Pelanggan

Eceran

Pelanggan Distributor Pelanggan

Pelanggan

Pelanggan Distributor Pelanggan

arus barang arus uang

Sumber : Penelitian Susan (1997)

Gambar 2.1

Perbedaan antara metode distribusi konvensional dengan multi level marketing


(11)

Bisnis MLM ini bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, tentu dengan wajar. Keuntungan sesuai dengan prestasi yang diberikan. Dengan adanya keuntungan ini, bisnis tersebut berkelanjutan. Keuntungan dapat merupakan pemupukan modal, dapat dijadikan sumber untuk berkembang.

Ciri dari MLM pada upaya pengembangan penjualan melalui suatu jaringan individu-individu yang secara mandiri mengembangkan usahanya sendiri dengan bertindak sebagai distributor. Mereka yang berusaha paling keras dalam kegiatan ini akan mencapai tingkat yang paling tinggi dan dengan demikian akan menerima imbalan finansial paling besar.

Multi Level Marketing yang baik biasanya bergabung dalam APLI. Setiap perusahaan yang ingin bergabung dalam APLI, diteliti dahulu apakah memenuhi persyaratan sebagai perusahaan yang bergerak dalam penjualan langsung, dalam hal ini MLM. Bagi perusahaaan yang sudah bergabung dalam APLI berarti sudah melewati masa selektif yang ketat. Sebaliknya perusahaan yang mengaku-ngaku saja sebagai perusahaan MLM, tidak akan mendaftar APLI.

MLM tidak ada pembatasan penghasilan dari distributor, yang bekerja keras akan mendapatkan penghasilan yang besar. Oleh karenanya, tekad untuk menjual menjadi inti dari MLM. Waktu yang dicurahkan tidak terikat, dalam arti terserah pada distributor yang bersangkutan. Untuk lebih jelasnya perlu dipahami pengertian MLM agar dapat diketahui apa sebenarnya cara distribusi ini. Menurut APLI Multi Level Marketing adalah metode pemasaran barang atau jasa dari sistem penjualan langsung melalui program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang/jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalan kelompoknya .

Perilaku tertentu yang harus dituntut bagi seseorang untuk menjadi anggota MLM, yakni setiap orang yang mempunyai jaringan sosial, baik ikatan keluarga, kerabat, alumni, dan sebagainya. Multi Level Marketing merupakan suatu cara atau metode menjual barang secara langsung kepada pelangggan


(12)

melalui jaringan yang dikembangkan oleh distributor indepeden yang memperkenalkan para distributor berikutnya; pendapatan yang dihasilkan distributor terdiri dari laba eceran dan laba grosir ditambah dengan pembayaran-pembayaran berdasarkan penjualan total dari kelompok yang dibentuk oleh distributor yang bersangkutan.

Definisi lain untuk MLM menurut Tampubolon (2007:35) adalah Sebuah cara mendistribusikan dan menjual produk atau jasa melalui jaringan dari berbagai anggota mandiri sebagai mitra usaha, yaitu suatu cara yang sesungguhnya serupa tapi tidak sama dengan penjualan tradisional melalui jaringan outlet.

Semua penjualan Multi Level Marketing dilakukan melalui penjualan langsung. Penjualan langsung dirumuskan oleh Direct Selling Association sebagai berikut Penjualan barang-barang konsumsi langsung keperorangan, di rumah-rumah maupun di tempat kerja mereka, melalui transaksi yang diawali dan diselesaikan oleh tenaga penjualnya. MLM dapat juga dinamakan pemasaran jaringan (network marketing) yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Sumber : Bisnis Online (2012)

Gambar 2.2 Network Marketing

Kekuatan dari MLM terletak pada sampai seberapa jauh masing-masing individu yang terkait dalam jaringan tersebut mampu mengembangkan jaringan bisnisnya. Dengan pola ini, bilamana jaringan yang terbentuk semakin membesar


(13)

dengan sendirinya volume penjualan akan semakin membesar pula karena masing-masing individu berperan aktif sebagai penjual dan konsumen sekaligus, dan putusnya jaringan karena pengunduran diri distributor akan berpengaruh terhadap volume penjualan dan jaringan lainnya. Jadi, pengembanngan organisasi akan efektif jika distributor pada setiap tingkatan melakukan hal yang sama. Setiap distributor yang terlibat dalam kegiatan penjualan bukan merupakan karyawan perusahaan, dan mereka itu memperkerjakan dirinya sendiri.

Perusahaan akan membantu para distributor awal untuk merekrut distributor-distributor selanjutnya, demikian seterusnya, dengan mengadakan seminar-seminar dan pertemuan-pertemuan peluang usaha di seluruh negeri. Angka pertumbuhan penjualan perusahaan itu sepenuhnya bergantung kepada keterlibatan distributor mereka dalam menjual produk itu dan dalam merekrut lebih banyak distributor lagi.

B. Mekanisme Kerja MLM

Pengembangan MLM dimulai dengan pembentukan organisasi penjualan sendiri. Tindakan pertama yang dilakukan seorang calon anggota adalah memperoleh seorang sponsor. Sponsor berasal dari distributor yang sudah ada atau orang yag ditunjuk oleh perusahaan untuk mensponsori setelah calon anggota langsung disponsori oleh perusahaan pada permulaannya.

Lazimnya perusahaan memberikan kartu tanda anggota agar distributor dapat membeli produk dari perusahaan MLM untuk dijual kepada pelangggan atau untuk digunakan diri sendiri. Setiap distributor harus berlatih dahulu sebelum distributor diiizinkan untuk turut menjual.

Mengecerkan produk merupakan langkah pertama menuju pendapatan tambahan. Seorang distributor dengan volume bisnis yang telah ditentukan akan dapat memesan produk-produk langsung dari perusahaan yang bersangkutan. Makin besar volume maka semakin besar pula potongan harga. Jika telah dicapai potongan harga maksimum,maka distributor dapat memperoleh bonus poin dan lain-lain.Agar penghasilan distributor berlipat ganda maka dikembangkan jaringan penjualan.


(14)

Jaringan penjualan yang dibentuk dapat terwujud berbagai tingkatan distributor (bertingkat satu, dua, tiga, dan seterusnya) yang digambarkan sebagai berikut :

Sponsor

Distributor

Tgkt. I Tgkt. II

Sumber : Wikipedia.com

Gambar 2.3.

Tingkatan Distributor Dalam MLM

Tingkatan distributor akan mempengaruhi penghitungan penghasilan. Oleh karena itu organisasi dari penjualan harus dapat dikendalikan oleh distributor. Semakin banyak anggota pada setiap tingkatan, maka lebih banyak waktu dan perhatiaan yang dilimpahkan untuk melakukan pemantauan dan pengendalian.

2.1.2. Komitmen Organisasional

Menurut Anderson dan Weitz (1992) dalam penelitiannya menyatakan bahwa komitmen didefinisikan sebagai suatu keinginan dari kegiatan untuk membangun hubungan yang stabil dengan kesungguhan untuk memberi pengorbanan guna menjaga atau mempertahankan hubungan tersebut. Harapan akan kelangsungan hubungan, kesungguhan untuk berinvestasi, kesediaan melakukan pengorbanan guna memperoleh keuntungan jangka panjang


(15)

merupakan indikasi yang sangat penting untuk dibangun dalam suatu komitmen kerja sama.

Komitmen organisasi didefinisikan sebagai dorongan dari dalam diri individu untuk berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan dan meletakkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadinya (Wiener dalam Darlis, 2002). Sedangkan menurut Mowday et al.,

dalam Darlis, 2002) komitmen organisasi menunjukkan keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai oleh organisasi. Komitmen organisasi bisa tumbuh disebabkan karena individu memiliki ikatan emosional terhadap organisasi yang meliputi dukungan moral dan menerima nilai yang ada di dalam organisasi serta tekad dalam diri untuk mengabdi kepada organisasi (Porter et al., dalam Kartika, 2010).

Pelayanan relationship marketing, menekankan bahwa memelihara suatu hubungan adalah dibangun dengan dasar saling percaya. Seperti halnya dengan konsumen loyal terhadap merek, merupakan proses yang harus dilalui.

Menurut Husselid dan Day (dalam Ribhan, 2008); komitmen pegawai dapat mengurangi keinginan untuk melepaskan diri dari organisasi atau unit kerja. Komitmen dapat didefinisikan sebagai derajat keterlibatan relatif dari individu terhadap organisasi (Mowday, Porter dan Steers dalam Ribhan, 2008) Derajat keterlibatan tersebut oleh mereka dicirikan melalui tiga faktor, yaitu:

1. Penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai–nilai organisasi;

2. Kemampuan untuk mengarahkan diri dan usahanya bagi keberhasilan organisasi;

3. Keinginan yang kuat untuk berkembang bersama organisasi.

Menurut (Mowday et al., dalam Wicaksono, 2006) komitmen organisasional merupakan hubungan kekuatan relatif yang luas anatar individu dengan organisasi, yang karakteristiknya dapat meliputi:

1. Adanya keyakinan yang kuat dan penerimaan atas tujuan nilai-nilai organisasi,


(16)

3. Adanya keinginan yang pasti untuk mengetahui keikutsertaan dalam organisasi.

Menurut Imron (2007) komitmen organisasi adalah rasa memiliki karyawan (anggota organisasi) terhadap organisasi/perusahaan untuk mewujudkan tujuan organisasi/perusahan. Tingkat komitmen yang tinggi baik secara formal struktural atau secara psikologis dapat mendorong kedekatan hubungan antara anggota organisasi dengan perusahaan tempatnya bekerja.

Komitmen menyatakan tingkat tertinggi dari keterikatan relasional, dimana komitmen akan menciptakan suatu kondisi tertentu yang menimbulkan ketergantungan, yang apabila seimbang, akan menumbuhkan rasa aman dan adanya dorongan untuk mempertahankannya. Ketergantungan yang berada pada saat yang tepat dapat meningkatkan kinerja, dimana ketergantungan berdasarkan pilihan maupun kebutuhan, memberikan landasan dimana komitmen organisasional dapat dibangun (Imron, 2007).

Soeratman (2002) menyatakan bahwa adanya komitmen dalam hubungan bisnis bagi wiraniaga dapat dibangun melalui penciptaan kepuasan atas bisnis tersebut yang meliputi kepuasan dengan produk, kepuasan margin dan kepuasan hubungan dengan wiraniaga (upline). Dalam penelitian ini faktor yang membentuk komitmen bisnis tersebut diidentifikasi kembali dalam variabel kepuasan dengan produk dan kepuasan hubungan bisnis dengan mitra atau upline

sebagai variabel penduga dari komitmen bisnis IBO.

2.1.3. Kinerja Bisnis IBO

Bentuk asli dari pemasaran langsung adalah kunjungan penjualan lapangan. Sekarang ini kebanyakan perusahaan industri sangat mengandalkan penjual profesional untuk melaksanakan tugas penjualan langsung. Selain itu, banyak perusahaan konsumen menggunakan tenaga penjualan langsung (Wibowo, 2009).

Menurut Mondy (2008) penilaian kinerja (performance appraisal) adalah sistem formal untuk menilai dan mengevaluasi kinerja tugas individu atau tim. Penilaian kinerja merupakan faktor penting untuk suksesnya manajemen kinerja.


(17)

Meskipun penilaian kinerja hanyalan salah satu unsur manajemen kinerja, sistem tersebut penting karena mencerminkan secara langsung rencana strategi organisasi.

Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2012) menyatakan kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Dengan demikian, kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut.

Menurut Mathis and Jackson (2009) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi bagaimana individu yang ada bekerja:

1. Kemampuan individual untuk melakukan pekerjaan tersebut, 2. Tingkat usaha yang dicurahkan,

3. Dukungan organisasi.

Standar kinerja adalah elemen penting dalam sebuah proses review

terhadap kinerja dari pegawai. Standar kinerja menjelaskan bahwa apa yang diharapkan oleh atasan dari para pekerja sehingga harus dipahami oleh pekerja. Menurut Wibowo (2012) terdapat dua maksud diperlukannya standar kinerja:

1. Membimbing perilaku pekerja untuk menyelesaikan standar yang telah dibangun.

Apabila manajer menciptakan standar kinerja pekerja dengan pekerja dan memperjelas apa yang diharapkan, hal tersebut akan merupakan latihan yang berharga. Hal ini karena orang menginginkan melakukan pekerjaan yang dapat diterima.

2. Untuk standar kinerja adalah menyediakan dasar bagi kinerja pekerja dapat dinilai secara efektif dan jujur

Sampai standar kinerja dibuat, penilaian sering bias terhadap perasaan dan evaluasi subjektif. Tanpa memandang pendekatan dan bentuk yang digunakan dalam program review kinerja dan penilaian, proses klasifikasi dari apa yang diharapkan merupakan hal yang penting jika program berjalan efektif. Standar kinerja merupakan cara terbaik untuk melakukannya.


(18)

Menurut Wibowo (2012) pengukuran kinerja yang tepat dapat dilakukan dengan cara:

1. Memastikan bahwa persyaratan yang diinginkan pelanggan telah terpenuhi,

2. Mengusahakan standar kinerja untuk menciptakan perbadingan, 3. Mengusahakan jarak bagi orang untuk memonitor tingkat kinerja, 4. Menetapkan arti penting masalah kualitas dan menentukan apa yang

perlu prioritas perhatian,

5. Menghindari konsekuensi dari rendahnya kualitas, 6. Mempertimbangkan penggunaan sumber daya,

7. Mengusahakan umpan balik untuk mendorong usaha perbaikan.

Studi Spiro dan Weitz (1990) dalam penelitiannya menyatakan pengukuran kinerja tenaga penjualan merupakan penjabaran keberhasilan atas indikator-indikator prestasi kerja yang sesungguhnya dicapai oleh seorang tenaga penjualan atau organisasi karena melaksanakan aktivitas dan tanggung-jawab dengan baik. Lebih lanjut memandang kinerja tenaga penjualan dipandang sebagai akibat dari keberhasilan dalam mengimplementasikan strategi–strategi tertentu. Bagi tenaga penjualan pencapaian kinerja adalah sebuah bukti atas keberhasilan mereka dalam melakukan aktivitas penjualan khususnya mengelola pelanggan secara cerdas dan agresif.

Challagalla dan Shervani dalam Wicaksono (2006) mengartikan kinerja adalah suatu tingkat dimana tenaga penjual dapat mencapai target yang telah dibebankan kepada dirinya. Kinerja tenaga penjualan adalah suatu tingkat dimana tenaga penjualan dapat melakukan tugas ataupun pekerjaaanya dengan baik dan bertanggung jawab secara efektif Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa kegiatan bisnis IBO adalah berwiraniaga, berdagang, atau melakukan penjualan, maka yang menjadi tujuan baginya dalam interaksi bisnis tersebut adalah tercapainya suatu kinerja yang diinginkan atau memperoleh profitabilitas.

Studi Challagalla dan Shervani dalam Noordin (2007) menyatakan bahwa kinerja tenaga penjualan merupakan suatu tingkatan dimana tenaga penjualan dapat mencapai target penjualan yang ditetapkan pada dirinya. Kinerja sebagai


(19)

sebuah konstruk mungkin akan lebih penting dalam konteks penjualan, kinerja tenaga penjualan sering berakibat langsung pada pendapatan perusahaan. Ukuran kinerja memainkan peran kunci dalam memantau apakah tujuan jangka panjang, menengah, dan pendek organisasi sesuai dengan aspirasi yang diinginkan.

2.2. METODE PENGUMPULAN DATA

Makalah ini bersifat deskripsi analisis. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan berasal dari kepustakaan atau literatur yang meliputi pengumpulan bahan-bahan bacaan dari buku-buku literatur, referensi, dan juga melakukan wawancara kepada IBO yang telah minimal 4 bulan bergabung dan juga memiliki level 15-21%

2.3. PEMBAHASAN

2.3.1. Identifikasi dan Operasional Variabel Penelitian. A. Variabel Komitmen Organisasional

Variabel komitmen organisasional didefinisikan sebagai suatu keinginan dari kegiatan untuk membangun hubungan yang stabil dengan kesunguhan untuk memberi pengorbanan guna menjaga atau mempertahankan hubungan tersebut. Harapan akan kelangsungan hubungan, kesungguhan untuk berinvestasi, kesediaan melakukan pengorbanan bertujuan untuk memperoleh keuntungan jangka panjang (Anderson dan Weitz, 1992). Variabel ini diukur dengan indikator : keinginan tetap bertahan dalam organisasi, keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi.

B. Variabel Kinerja Bisnis IBO

Pengukuran kinerja tenaga penjualan merupakan penjabaran keberhasilan atas indikator-indikator prestasi kerja yang sesungguhnya dicapai oleh seorang tenaga penjualan atau organisasi karena melaksanakan aktivitas dan tanggung jawab dengan baik.(Spiro and Weitz, 1990).

Berdasarkan hal tersebut maka indikator dalam variabel ini adalah kemampuan mencapai target bisnis (tutup Bussinens point per bulan), kemampuan meningkatkan perolehan bonus, kemampuan menjual produk baru dengan cepat,


(20)

dan kemampuan menyeponsori IBO lain (downline atau IBO baru) atau memperluas jaringan.

2.3.2. Karakteristik Responden

A. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Karakteristik responden berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1.

Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Umur (Tahun) Jumlah (orang) Persentase(%)

≤25 26 – 35

≥36

40 35 25

40 35 25

Total 100 100,0

Sumber : Hasil Penelitian, 2016 (Data Diolah)

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa umur responden yang paling dominan adalah yang berusia dibawah 25 tahun yang berjumlah 40 orang (40%). Responden yang berusia 26 tahun sampai dengan 35 tahun berjumlah 35 orang (35%). Responden yang berusia lebih besar dari 36 tahun berjumlah 25 orang (25%).

Jika melihat data dari Tabel 2.1 dapat disimpulkan mayoritas IBO yang berada di Oriflame didominasi oleh kaum muda. Dengan model MLM yang mengharuskan IBO untuk kreatif dalam memasarkan dan juga membangun jaringan maka hal ini dirasakan sangat wajar, terlebih lagi 40% IBO berada pada kisaran umur dibawah 25 tahun yang biasanya masi sedang menempuh pendidikan di universitas.


(21)

B. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2.

Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)

Laki-laki

Perempuan

17

83

17

83

Total 100 100

Sumber : Hasil Penelitian, 2016 (Data Diolah)

Tabel 2.2. menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 17 orang (17%) dan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 83 orang (83%). Jika melihat data ini maka bisa dikatakan IBO di Oriflame sangat didominasi oleh wanita. Jika dikaitkan dengan produk yang dijual oleh Oriflame maka wajar jika wanita sangat mendominasi IBO yang ada di Orfilame, hal ini dikarenakan bahwa produk-produk yang dijual adalah produk kecantikan dan perawatan tubuh yang sebagaian besar diperuntukkan untuk kaum hawa.

C. Karakteristik Responden Berdasarkan Status member (level)

Karakteristik responden berdasarkan masa kerja dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini.

Tabel 2.3.

Karakteristik Responden Berdasarkan Status Member


(22)

15%

18%

21%

64

28

8

64

28

8

Total 100 100

Sumber : Hasil Penelitian, 2016 (Data Diolah).

Tabel 2.3 menunjukkan bahwa status member (level) yang paling dominan adalah yang berada pada level 15%, yang berjumlah 64 orang (64%), level 18% berjumlah 28 orang (28%) dan level 21% berjumlah 8 orang (8%). Jika melihat data ini adalah wajar jika level 21% lebih sedikit dikarenakan dalam MLM untuk naik pada level yang lebih baik maka IBO tidak hanya harus meningkatkan penjualan pribadi tetapi juga harus meningkatkan penjualan jaringan yang dibangunnya.

2.3.3. Jawaban Responden Atas Variabel Penelitian

A. Jawaban Responden atas Variabel Komitmen organisasi Tabel 2.4

Penjelasan Responden Atas Variabel Komitmen organisasi indikator

penelitian

frekweansi

Total

Persentase

Total 5(SS) 4(S) 3(N) 2(TS) 1(STS) 5(SS) 4(S) 3(N) 2(TS) 1(STS)

P1 14 36 50 0 0 100 14 36 50 0 0 100

P2 19 70 11 0 0 100 19 70 11 0 0 100

P3 19 39 42 0 0 100 19 39 42 0 0 100

Sumber : Hasil Penelitian, 2016 (Data Diolah).

a. Pada item pernyataan 1 (Saya berkomitmen untuk tetap mempertahankan hubungan organisasi dengan ORIFLAME). dari kuesioner yang diisi reponden dan dianalisis ternyata 50% responden menjawab ragu-ragu dengan pernyataan ini.


(23)

bisnis ini sesuai dengan tujuan dari ORIFLAME), dari kuesioner yang diisi reponden dan dianalisis ternyata 70% respoden menyatakan setuju dengan pernyataan ini.

c. Pada item pernyataan 3 (Saya bersedia berinvestasi dalam bisnis ORIFLAME), dari kuesioner yang diisi reponden dan dianalisis ternyata 42% responden menjawab ragu-ragu dengan pernyataan ini.

B. Jawaban Responden atas Kinerja Bisnis IBO Tabel 2.5

Penjelasan Responden Atas Variabel Kinerja Bisnis IBO indikator

penelitian

frekweansi

Total

Persentase

Total 5(SS) 4(S) 3(N) 2(TS) 1(STS) 5(SS) 4(S) 3(N) 2(TS) 1(STS)

P4 19 31 50 0 0 100 19 31 50 0 0 100

P5 29 41 30 0 0 100 29 41 30 0 0 100

P6 15 39 47 0 0 100 15 39 47 0 0 100

P7 14 79 7 0 0 100 14 83 3 0 0 100

Sumber : Hasil Penelitian, 2016 (Data Diolah).

a) Pada item pernyataan (Saya mampu mencapai target penjualan saya selama empat bulan terakhir ini), dari kuesioner yang diisi reponden dan dianalisis ternyata 50% responden masi memberikan jawaban ragu-ragu dalam pencapaian targer penjualan.

b) Pada item pernyataan (Jumlah bonus yang saya peroleh selama 4 bulan terakhir ini lebih baik daripada sebelumnya.), dari kuesioner yang diisi reponden dan dianalisis ternyata sebagian besar sudah menjawab sangat setuju dan setuju yaitu sebesar 29% dan 41%.


(24)

c) Pada item pernyataan (Setiap ORIFLAME mengeluarkan produk baru saya dapat dengan mudah menjualnya), dari kuesioner yang diisi reponden dan dianalisis ternyata sebanyak 47% IBO masi ragu-ragu dapat menjual produk yang baru diperkenalkan Oriflame.

d) Pada item pernyataan (Selama 4 bulan terakhir ini saya telah banyak menyeponsori IBO baru untuk memperluas jaringan bisnis saya), dari kuesioner yang diisi reponden dan dianalisis ternyata terdapat 79% IBO menjawab setuju dengan pernyataan ini.


(25)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

1. Komitmen organisasional merupakan hal yang penting bagi IBO dan sebagian besar responden setuju dengan mengembangkan bisnis sesuai dengan tujuan Oriflame.

2. Kinerja bisnis IBO dapat tercermin dari kemampuan IBO dalam membangun jaringannya hal ini sesuai dengan hampir sebagian besar responden setuju untuk dapat mensponsori IBO baru.

3.2. Saran

1. Diperlukan peningkatan komitmen para IBO hal ini dikarenakan adanya keraguan dari para IBO untuk tetap mempertahankan hubungan bisnis ini. Para upline hendaknya lebih memberikan bimbingan cara menjalankan bisnis kepada downline mereka, sehingga para downline lebih merasa diperhatikan dalam menjalankan bisnis mereka dan mereka menjadi tidak ragu-ragu dalam mempertahan hubungan bisnis dengan Oriflame.

2. Masalah kinerja dari para IBO jika dilihat dari jawaban responden lebih disebabkan oleh ketidakmampuan dalam pencapaian target penjualan dan menjualn produk baru. Sangat diperlukan pelatihan bagi para IBO baru agar mereka lebih mampun dalam menjelaskan produk kepada konsumen lebih baik sehingga para IBO lebih mampun dalam melakukan penjualan.


(26)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Erin and Barton Weitz. 1992. “ The Use of Pledges to Build and Sustain Commitment in Distribution Channels”. journal of marketing Research. Vol. XXIX. February. p.53-66

Aqmala, Diana. 2011. Analisis Pengaruh Karakteristik Distributor Dukungan Perusahaan dan Organisasi Pembelajaran terhadap Kinerja Distributor

Multi Level Marketing (MLM). jurnal.stietotalwin. Vol 2. No 1. Hlm.11-20.

Darlis, Edfan. 2002. Analisis Pengaruh Komitmen Organisasional dan Ketidakpastian Lingkungan terhadap Hubungan antara Partisipasi Anggaran dengan Senjangan Anggaran. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 5. No. 1. Januari, Hlm. 85 – 100.

Imron, Much. 2007. Pengaruh Kapabilitas dan Komitmen yang dimediasi Kreativitas Strategi terhadap Kinerja Manajer (studi pada manajer perusahan ekspor furniture di jepara). jurnal dinamika ekonomi dan bisnis. Vol. 4. No.1. Maret. Hlm 1-20.

Mathis, Robert L and Jackson, John H. 2009. Human Resource Management. Jakarta: Salemba Empat.

Mondy, R.Wayne. 2008. Manjemen Sumber Daya Manusia. Edisi kesepuluh. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Noordin, Reza. 2007. Studi Pengelolaan Aktivitas Tenaga Penjualan Sebagai Usaha Peningkatan Kinerja Tenaga Penjualan. Program Studi Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Tesis.

Mulyati, Sri. 1997. Strategi Pengembangan Distribusi Melalui Multi Level Marketing. Jurnal Strategi Bisnis. Vol.4 No.1.

Kartika, Andi. 2010. Pengaruh Komitmen Organisasi Dan Ketidakpastian Lingkungan Dalam Hubungan Antara Partisipasi Anggaran Dengan Senjangan Anggaran (Studi Empirik Pada Rumah Sakit Swasta di Kota Semarang). Jurnal Ilmiah Kajian Akuntansi. Vol. 2. No. 1. Februari, Hlm 39-60.

Purnomo, R.Serfianto dkk. 2011. “Multi Level Marketing Money game dan Skema Piramid”. Jakarta : elex media komputindo.


(27)

Ribhan. 2008. Hubungan Karakteristik Individu Dengan Kinerja Karyawan Melalui Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Mediasi (Studi Kasus Pada PT Chandra Superstore Tanjung Karang Bandar Lampung). jurnal bisnis dan manajemen. Vol. 4,No. 2. Januari. Hlm 91-110.

Soeratman, Lina. 2002. Dinamika Wiraniaga Multi Level Marketing, Jurnal Sains Pemasaran Indonesia. Volume I. No.3. September. Hlm. 257-274.

Susan, Marcellia. 1997. Multilevel Marketing : Strategi Penjualan Langsung Untuk Menerobos Pasar. Bina Ekonomi. Vol 1. No 2. Hlm. 39-44.

Susilowati, Suryaningsih. 2004. Analisis Pengaruh Perilaku Penjualan dan Kemampuan Mendengarkan untuk Meningkatkan Kinerja Tenaga Penjual. Program Studi Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Tesis.

Susilowati, Luky. 2008. Menumbuhkan Kinerja MLM Melalui Promosi Penjualan dan Orientasi Smart-Working. Jurnal Riset Ekonomi dan Bisnis. Vol 8 No 1. Maret. Hlm. 1-9.

Spiro, Rosann L. and Barton A. Weitz. 1990. ”Adaptive Selling: Conceptualization, Measurement And Nomological Validity”, Journal Of Marketing Research. Vol XXVII. February. p.61-69.

Wicaksono, Purwo Agung. 2006. Analisis Pengaruh Komitmen Bisnis Independent Business Owner (IBO) dan Penjulan adaptif terhadap kinerja Bisnis IBO dalam Multi Level Marketing (MLM). Program Studi Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Tesis.

Wibowo, Sampurno, 2009. Manajemen Pemasaran. POLIKTEKNIK TELKOM.

Wibowo,2012. Manajemen Kinerja. Jakarta: Rajawali Pers.

Widodo. 2008. Meningkatkan Kinerja Pemasaran Dengan Kreativitas Strategi. Jurnal Manajemen Bisnis. Vol 1 No.2. November. Hlm. 151-175.


(28)

(1)

bisnis ini sesuai dengan tujuan dari ORIFLAME), dari kuesioner yang diisi reponden dan dianalisis ternyata 70% respoden menyatakan setuju dengan pernyataan ini.

c. Pada item pernyataan 3 (Saya bersedia berinvestasi dalam bisnis ORIFLAME), dari kuesioner yang diisi reponden dan dianalisis ternyata 42% responden menjawab ragu-ragu dengan pernyataan ini.

B. Jawaban Responden atas Kinerja Bisnis IBO Tabel 2.5

Penjelasan Responden Atas Variabel Kinerja Bisnis IBO indikator

penelitian

frekweansi

Total

Persentase

Total 5(SS) 4(S) 3(N) 2(TS) 1(STS) 5(SS) 4(S) 3(N) 2(TS) 1(STS)

P4 19 31 50 0 0 100 19 31 50 0 0 100

P5 29 41 30 0 0 100 29 41 30 0 0 100

P6 15 39 47 0 0 100 15 39 47 0 0 100

P7 14 79 7 0 0 100 14 83 3 0 0 100

Sumber : Hasil Penelitian, 2016 (Data Diolah).

a) Pada item pernyataan (Saya mampu mencapai target penjualan saya selama empat bulan terakhir ini), dari kuesioner yang diisi reponden dan dianalisis ternyata 50% responden masi memberikan jawaban ragu-ragu dalam pencapaian targer penjualan.

b) Pada item pernyataan (Jumlah bonus yang saya peroleh selama 4 bulan terakhir ini lebih baik daripada sebelumnya.), dari kuesioner yang diisi reponden dan dianalisis ternyata sebagian besar sudah menjawab sangat setuju dan setuju yaitu sebesar 29% dan 41%.


(2)

c) Pada item pernyataan (Setiap ORIFLAME mengeluarkan produk baru saya dapat dengan mudah menjualnya), dari kuesioner yang diisi reponden dan dianalisis ternyata sebanyak 47% IBO masi ragu-ragu dapat menjual produk yang baru diperkenalkan Oriflame.

d) Pada item pernyataan (Selama 4 bulan terakhir ini saya telah banyak menyeponsori IBO baru untuk memperluas jaringan bisnis saya), dari kuesioner yang diisi reponden dan dianalisis ternyata terdapat 79% IBO menjawab setuju dengan pernyataan ini.


(3)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

1. Komitmen organisasional merupakan hal yang penting bagi IBO dan sebagian besar responden setuju dengan mengembangkan bisnis sesuai dengan tujuan Oriflame.

2. Kinerja bisnis IBO dapat tercermin dari kemampuan IBO dalam membangun jaringannya hal ini sesuai dengan hampir sebagian besar responden setuju untuk dapat mensponsori IBO baru.

3.2. Saran

1. Diperlukan peningkatan komitmen para IBO hal ini dikarenakan adanya keraguan dari para IBO untuk tetap mempertahankan hubungan bisnis ini. Para upline hendaknya lebih memberikan bimbingan cara menjalankan bisnis kepada downline mereka, sehingga para downline lebih merasa diperhatikan dalam menjalankan bisnis mereka dan mereka menjadi tidak ragu-ragu dalam mempertahan hubungan bisnis dengan Oriflame.

2. Masalah kinerja dari para IBO jika dilihat dari jawaban responden lebih disebabkan oleh ketidakmampuan dalam pencapaian target penjualan dan menjualn produk baru. Sangat diperlukan pelatihan bagi para IBO baru agar mereka lebih mampun dalam menjelaskan produk kepada konsumen lebih baik sehingga para IBO lebih mampun dalam melakukan penjualan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Erin and Barton Weitz. 1992. “ The Use of Pledges to Build and

Sustain Commitment in Distribution Channels”. journal of marketing

Research. Vol. XXIX. February. p.53-66

Aqmala, Diana. 2011. Analisis Pengaruh Karakteristik Distributor Dukungan Perusahaan dan Organisasi Pembelajaran terhadap Kinerja Distributor

Multi Level Marketing (MLM). jurnal.stietotalwin. Vol 2. No 1.

Hlm.11-20.

Darlis, Edfan. 2002. Analisis Pengaruh Komitmen Organisasional dan Ketidakpastian Lingkungan terhadap Hubungan antara Partisipasi Anggaran dengan Senjangan Anggaran. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 5. No. 1. Januari, Hlm. 85 – 100.

Imron, Much. 2007. Pengaruh Kapabilitas dan Komitmen yang dimediasi Kreativitas Strategi terhadap Kinerja Manajer (studi pada manajer perusahan ekspor furniture di jepara). jurnal dinamika ekonomi dan bisnis. Vol. 4. No.1. Maret. Hlm 1-20.

Mathis, Robert L and Jackson, John H. 2009. Human Resource Management. Jakarta: Salemba Empat.

Mondy, R.Wayne. 2008. Manjemen Sumber Daya Manusia. Edisi kesepuluh. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Noordin, Reza. 2007. Studi Pengelolaan Aktivitas Tenaga Penjualan Sebagai

Usaha Peningkatan Kinerja Tenaga Penjualan. Program Studi Magister

Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Tesis.

Mulyati, Sri. 1997. Strategi Pengembangan Distribusi Melalui Multi Level

Marketing. Jurnal Strategi Bisnis. Vol.4 No.1.

Kartika, Andi. 2010. Pengaruh Komitmen Organisasi Dan Ketidakpastian Lingkungan Dalam Hubungan Antara Partisipasi Anggaran Dengan Senjangan Anggaran (Studi Empirik Pada Rumah Sakit Swasta di Kota Semarang). Jurnal Ilmiah Kajian Akuntansi. Vol. 2. No. 1. Februari, Hlm 39-60.

Purnomo, R.Serfianto dkk. 2011. “Multi Level Marketing Money game dan Skema


(5)

Ribhan. 2008. Hubungan Karakteristik Individu Dengan Kinerja Karyawan Melalui Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Mediasi (Studi Kasus Pada PT Chandra Superstore Tanjung Karang Bandar Lampung). jurnal

bisnis dan manajemen. Vol. 4,No. 2. Januari. Hlm 91-110.

Soeratman, Lina. 2002. Dinamika Wiraniaga Multi Level Marketing, Jurnal Sains

Pemasaran Indonesia. Volume I. No.3. September. Hlm. 257-274.

Susan, Marcellia. 1997. Multilevel Marketing : Strategi Penjualan Langsung Untuk Menerobos Pasar. Bina Ekonomi. Vol 1. No 2. Hlm. 39-44.

Susilowati, Suryaningsih. 2004. Analisis Pengaruh Perilaku Penjualan dan

Kemampuan Mendengarkan untuk Meningkatkan Kinerja Tenaga Penjual.

Program Studi Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Tesis.

Susilowati, Luky. 2008. Menumbuhkan Kinerja MLM Melalui Promosi Penjualan dan Orientasi Smart-Working. Jurnal Riset Ekonomi dan Bisnis. Vol 8 No 1. Maret. Hlm. 1-9.

Spiro, Rosann L. and Barton A. Weitz. 1990. ”Adaptive Selling: Conceptualization, Measurement And Nomological Validity”, Journal Of

Marketing Research. Vol XXVII. February. p.61-69.

Wicaksono, Purwo Agung. 2006. Analisis Pengaruh Komitmen Bisnis Independent Business Owner (IBO) dan Penjulan adaptif terhadap kinerja

Bisnis IBO dalam Multi Level Marketing (MLM). Program Studi Magister

Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Tesis.

Wibowo, Sampurno, 2009. Manajemen Pemasaran. POLIKTEKNIK TELKOM.

Wibowo,2012. Manajemen Kinerja. Jakarta: Rajawali Pers.

Widodo. 2008. Meningkatkan Kinerja Pemasaran Dengan Kreativitas Strategi. Jurnal Manajemen Bisnis. Vol 1 No.2. November. Hlm. 151-175.


(6)