Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB II

Bab Dua

Pemberdayaan Kearifan Lokal
menuju Ketahanan Pangan dan
Ketahanan Hayati: Kajian Pustaka

Pengantar
Analisa Howe (2005) menyebutkan bahwa orang Bali terutama
generasi muda sangat sulit bersaing dengan tenaga kerja dari luar Bali
(bukan Hindu) karena banyak keluhan yang terjadi apabila perusahaan
atau hotel mempekerjakan orang Bali. Mereka mengatakan bahwa
mempekerjakan orang Bali sangat tidak menguntungkan karena
mereka lebih sering libur karena berkaitan dengan upacara adat dan
agama, sehingga tenaga kerja Hindu sering hanya mendapat upah yang
lebih rendah dibandingkan pekerja lainnya. Akan tetapi hal ini masih
perlu mendapat penjelasan dan penelitian lebih lanjut karena dalam
tulisannya Howe tidak menyebutkan persentase dari kondisi tersebut.
Di samping itu apakah memang benar Bali yang relatif dikatakan
banyak memiliki hari libur sudah benar-benar kalah bersaing dengan
sumberdaya manusia dari luar Bali (non Hindu)? Hal ini juga masih
perlu penjelasan lebih akurat.

Pertanyaan-pertanyaan ini juga merupakan pertanyaan dari para
pemerhati budaya dan Agama di Bali. Seperti tercetus pada diskusi
tentang pemahaman agama dan ritual yang diadakan di Denpasar (Bali

13

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Post, 2009), bahwa Bali saat ini sedang dalam situasi transisi. Karena
semakin banyak pelebaran makna dari ritual yang dilakukan oleh umat
Hindu. Pendeta Subali Tianyar (Bali Post, 2009) berpendapat bahwa
ritual yang dilakukan masyarakat Hindu Bali saat ini lebih banyak ke
arah material dan pengakuan status sosial, sehingga hampir melupakan
entitas dari makna ritual tersebut secara Tattwa (pemaknaan berdasarkan Kitab Suci Hindu yaitu Weda).

Agama, Adat dan Budaya di Bali
Kalau kita menyimak tulisan Geertz (1979) tentang keeratan
hubungan antara Desa Adat dengan Agama di Bali, ternyata keduanya
memiliki kaitan yang erat. Dalam tulisannya Geertz menyatakan
bahwa Desa Adat ternyata bukan hanya merupakan sistem sosial, akan

tetapi memiliki keterikatan dengan area suci. Area suci (kawasan suci)
menurut kepercayaan orang Bali (Hindu) adalah bahwa dunia dan
segala sesuatu yang berada di wilayah Desa Adat seperti lahan
pertanian dengan segala yang tumbuh di atasnya, air yang mengalir,
udara, dan batuan yang ada adalah milik Ida Sang Hyang Widi Wasa.
Sehingga secara umum masing-masing Desa Adat di Bali akan menyungsung (menyembah) Kahyangan Tiga (Three Great Temples) yang
terdiri dari Pura Puseh yang biasanya terletak di hulu desa, Pura Desa
biasanya terletak di tengah desa dan Pura Dalem terletak di hilir desa
yang berdekatan dengan kuburan desa Adat. Dari fenomena ini sangat
jelas adanya keterkaitan yang kuat antara Agama Hindu dengan adat
sebagai salah satu sistem budaya di Bali. Apabila fenomena ini
dikaitkan dengan pendapat Hendropuspito (1983); Durkheim (1995);
Haviland (2008) tentang agama yang bersifat positif, maka agama
Hindu adalah termasuk di dalamnya. Pendapat ini berdasarkan pada
pelaksanaan agama Hindu yang selalu berdasar pada hal-hal yang
bersifat nonempiris, selalu berkaitan dengan kekuatan-kekuatan dari
”dunia lain” yang diyakini mampu mengatasi kesulitan kehidupan yang
dialami oleh umat. Dalam mengapresiasikan agamanya atau menunjukkan rasa Bhaktinya kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa maka umat
Hindu dapat melaksanakan Catur Marga atau Catur Yoga (empat cara


14

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

mencari persatuan dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa) yaitu: Jnana
Marga, Bhakti Marga, Karma Marga, dan Raja Marga (Bali Post, 2009).
Menurut Parisada Hindu Dharma (1978) arti dari keempat Marga
(Yoga) tersebut berturut-turut adalah: menyatukan diri dengan Sang
Hyang Widi Wasa dengan cara mengabdikan ilmu pengetahuan;
dengan cara melakukan kebaikan dan kesujudan yang tulus secara
terus-menerus; dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan yang
mulia dan bermanfaat tanpa pamrih; dan dengan cara melakukan brata,
tapa, yoga semadhi. Dari penjelasan tersebut sebenarnya pelaksanaan
agama Hindu sangat fleksibel, karena memiliki beberapa pilihan dalam
mengekspresikannya, sehingga memberikan pilihan bagi umat Hindu
dalam melaksanakannya. Walaupun akhir-akhir ini menurut pengamatan Pedanda Subali dalam Bali Post (2009) Umat Hindu Bali hampir
melupakan Jnana Marga dalam rangka menyatukan diri dengan Ida
Sang Hyang Widi Wasa sehingga kecenderungan pelaksanaan kegiatan
keagamaan masih penekanannya pada pelaksanaan ritual. Situasi ini
sangat mengkhawatirkan keberlanjutan dan daya saing sumberdaya

manusia Hindu selanjutnya, dimana ditakutkan akan berdampak pada
kekalahan bersaing sumberdaya Hindu dengan sumber daya manusia
dari luar. Padahal lebih lanjut dikemukakan bahwa cara-cara ritual
tersebut sebenarnya dapat dilakukan secara fleksibel semasih kita
sebagai umat mau membuat aturan yang tidak memberatkan umat.
Dalam tulisan Sudibya (1997) disebutkan bahwa dari sisi filosofi
Agama Hindu tanggung jawab dari generasi muda sebenarnya sudah
tertulis dalam Rig Veda 1 bahwa ”Tuhan hanya menolong orang yang
mau menolong dirinya sendiri, dan bekerja keras yang dilandasi oleh
Dharma”. Dharma di sini dimaksudkan adalah bahwa generasi diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk meningkatkan intelektualitas, untuk penguasaan iptek tanpa harus terjebak dengan budaya negatif. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam setiap tindakan hendaknya
harus selalu mempunyai keberanian untuk memperjuangkan kebenaran dan meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan sosialnya. Hal ini
dapat dibuktikan dengan semakin banyaknya generasi muda Hindu
1

Rig Veda adalah salah satu buku suci agama Hindu.

15

Perempuan Bali dalam Ritual Subak


yang sadar dalam pelaksanaan Dharmanya yaitu dengan membentuk
lembaga-lembaga keagamaan baik di tingkat sekolah maupun lingkungan tempat tinggalnya. Malahan saat ini di sekolah menengah
kebawah setiap liburan sekolah selalu dilakukan kegiatan ”pesraman
kilat” yang biasanya mengambil waktu separuh dari total hari libur
sekolah. Kegiatan ini sebenarnya sudah mengarah ke usaha-usaha
untuk lebih menyadarkan umat terutama generasi muda bahwa Agama
dan adat bukanlah kungkungan bagi mereka akan tetapi merupakan
penuntun bagi mereka untuk melangkah dan bertindak semakin
dewasa baik di lingkungan tempat kerja maupun lingkungan sosial di
sekitarnya yang lebih luas. Jadi analisa Howe tentang ritual dan
kewajiban sebagai orang Hindu Bali sebenarnya masih diperlukan
penelitian dan data pendukung yang lebih akurat. Atau malahan diperlukan usaha agar kecenderungan perubahan pemaknaan ritual
tersebut lebih menyentuh kehidupan generasi muda Hindu Bali untuk
menjawab tantangan Bali di masa depan.
Ditambahkan oleh Howe (2005) bahwa walaupun ritual agama
dan upacara (ritual) adat di Bali sangat berguna dalam memelihara
kesehatan spiritual dan kesejahteraan dari suatu desa akan tetapi
menurutnya hal ini tetap akan menjadi sesuatu yang sulit dilaksanakan
oleh generasi muda. Pendapat ini tentunya menjadi tantangan untuk
diatasi, apakah dengan mencari pemaknaan dari ritual-ritual tersebut

akan diperoleh kejelasan dan kemantapan manfaat dari ritual yang
dilakukan, yang akhirnya dapat dijadikan way of life (tuntunan hidup)
bagi masyarakat Bali secara keseluruhan.
Hal ini perlu dikemukakan karena tidak dapat dipungkiri bahwa
sistem adat dan ritual adat yang dilakukan di Bali justru telah menyebabkan Bali dikenal sebagai salah satu daerah dengan keterikatan yang
kuat antar masyarakatnya, dan dikenal pula memiliki nilai toleransi
yang tinggi terhadap Agama lain dan budaya lainnya. Pendapat
McKean dalam Howe (2005) bahwa walaupun secara budaya
masyarakat Bali sangat kaya akan tetapi secara ekonomi mereka
miskin, di sisi lain turis miskin dari sisi budaya tetapi mereka kaya dari
sisi ekonomi. Dua hal yang bertentangan ini apabila bisa dimanfaatkan

16

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

oleh kedua belah pihak dalam menyikapi pengaruh pariwisata bagi Bali
maka akan terjadi substitusi yang saling menguntungkan. Walaupun
demikian McKean tetap menegaskan bahwa agar kedua belah pihak
tidak saling terkontaminasi.

Fenomena ini juga sebenarnya telah menjadi penekanan para
pengambil kebijakan dan elemen pariwisata di Bali. Mereka mulai
berpikir bagaimana cara memadukan antara kepentingan pariwisata
dan budaya, atau dengan kata lain bagaimana cara memanfaatkan
budaya yang dimiliki Bali bermanfaat bagi pariwisata tanpa pengaruh
negatif dari budaya wisatawan. Hal ini sudah mulai diatasi dengan
mengaktifkan pariwisata budaya dan pariwisata alam (Ecotourism).
Gambar 1 di bawah ini menunjukkan hubungan antara Agama
Hindu di Bali yang tetap mempertahankan kawasan suci (pura) sebagai
implementasi dari Tri Hita Karana, dengan kewajiban umatnya sebagai
anggota adat dan anggota subak. Sebagai anggota adat, kewajiban
melaksanakan ritual di Pura Kahyangan Tiga merupakan keharusan,
demikian juga sebagai anggota subak, rangkaian ritual subak harus
dilaksanakan di Pura Subak. Dari Gambar 1 ini dapat dilihat bahwa
dengan konsep keseimbangan yang tertuang dalam filosofi Tri Hita
Karana, maka subak merupakan organisasi yang paling berpeluang
dalam pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati. Pemikiran
ini didasari atas kebertahanan subak dalam mengelola komunitas dan
keberlanjutan pemeliharaan lingkungan melalui awig-awig subak yang
mengikat baik ke dalam subak maupun ke luar subak. Walaupun dari

Gambar ini belum bisa ditentukan elemen-elemen yang berpengaruh
paling kuat terhadap pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan
hayati di Subak Wongaya Betan, akan tetapi elemen-elemen seperti
kawasan suci (pura), ritual, komunitas adat dan komunitas subak merupakan elemen yang berperan penting dalam pencapaian ketahanan
pangan dan ketahanan hayati di subak tersebut.

17

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Agama Hindu
Di Bali

Tri Hita Karana

Parhyangan

Pawongan

Palemahan


Kawasan Suci

Culture Heritage

Pura Subak

Ritual

Kahyang
an Tiga
(adat)

Subak/Pertanian

Ketahanan
Pangan

Ketahanan
Hayati


Gambar 1
Hubungan antara konsep Tri Hita Karana (THK), Ritual
yang dilaksanakan subak dalam menjamin katahanan pangan dan
ketahanan hayati di Subak Wongaya Betan

Revitalisasi Pertanian melalui Revitalisasi Kearifan Lokal
Salah satu artikel koran lokal di Bali yaitu Bali Post yang terbit
tanggal 19 September 2009 memuat tentang sudah saatnya Bali merevitalisasi kembali nilai kearifan lokal yang sebenarnya sudah dimiliki
oleh masyarakat Bali khususnya Umat Hindu. Artikel ini memuat
bahwa dalam konteks pelestarian lingkungan (tumbuh-tumbuhan),
18

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

umat Hindu memiliki ritual Tumpek Wariga yang sering disebut
Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag, dan sering juga disebut Tumpek
Bubuh. Tumpek ini siklusnya setiap enam bulan sekali (210 hari).
Prosesi Tumpek Wariga digelar sebagai bentuk pemujaan terhadap Ida
Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya

sebagai Dewa Sangkara yaitu dewa penguasa tumbuh-tumbuhan.
Perdebatan tentang kearifan lokal dan praktik-praktik tradisional yang
masih melekat pada masyarakat di Bali mengemuka ketika sektor
pertanian di Bali sudah mulai terdesak dan mengalami stagnasi. Dari
kenyataan tersebut maka pengetahuan-pengetahuan tentang sistem
pertanian di masa lalu dan praktik-praktik tradisional yang masih
dilaksanakan oleh masyarakat petani dalam menunjang produksi
pangan utamanya beras memerlukan tindakan revitalisasi. Konsekuensi
dari keputusan tersebut memerlukan komitmen dari semua pihak
seperti pemerintah, petani dan pihak-pihak terkait yang memiliki
kompetensi di bidang pertanian dan penyediaan pangan.
Sejak zaman dulu orang Bali telah dikenal memiliki kemampuan
yang tinggi di bidang pertanian. Hal ini dapat dibuktikan dengan
masih ajegnya salah satu sistem pengelolaan air secara tradisional di
lahan sawah yang dikenal dengan subak. Subak merupakan organisasi
pemilik lahan sawah yang memiliki aturan dalam pembagian air bagi
anggotanya. Organisasi ini sekarang sudah diakui secara nasional
maupun internasional sebagai salah satu sistem pertanian tradisional
yang mampu mempertahankan keharmonisan antara produksi dengan
kelestarian lingkungan, karena menganut konsep Tri Hita Karana.
Konsep ini merupakan filosofi Agama Hindu yang mengedepankan
hubungan keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia dan manusia dengan lingkungan.
Secara teori, konsep ini sangat ideal dalam rangka mendukung
pembangunan berkelanjutan dan pencapaian ketahanan pangan dan
ketahanan hayati yang menjadi penekanan pemerintah Indonesia, dan
juga masyarakat dunia yang mulai mengkhawatirkan pengaruh adanya
pemanasan global. Di samping itu bagi Bali khususnya dimana kondisi
pertanian berada pada situasi yang dilematis di tengah semakin meluas-

19

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

nya industri pariwisata maka revitalisasi sektor pertanian sangat diperlukan (Bali Post, 2009). Pada salah satu acara diskusi tentang masa
depan Bali yang diadakan oleh Universitas Udayana Denpasar, bahwa
ada 14 persoalan pertanian yang mengancam Bali saat ini yaitu: alih
fungsi lahan pertanian, menurunnya sumberdaya air, ketersediaan
sarana produksi makin berkurang, sempitnya luas garapan petani,
masalah pasca panen, masalah kelembagaan, hama penyakit, ketimpangan harga antar input dengan output pertanian, produk pertanian
lokal yang tidak kompetitif, integrasi vertikal yang kurang kuat,
kurangnya dukungan teknologi industri pertanian, akses lembaga
keuangan rendah, petani terjepit oleh kenaikan PBB (Pajak Bumi dan
Bangunan) serta profesi pertanian yang semakin tidak menarik terutama bagi generasi muda. Dari 14 persoalan tersebut Suwijana (Bali Post
2009) dari Bali Tourism Board menyoroti tentang terdesaknya sektor
pertanian di Bali saat ini salah satunya disebabkan oleh keluguan orang
Bali sendiri dan sifat mudah terlena orang Bali terhadap pujian yang
menyesatkan sementara disharmoni hukum negara dan hukum adat sebenarnya juga merupakan penyebab terancamnya pertanian dan kebudayaan Bali. Solusi yang ditawarkan adalah mengajak orang Bali untuk
sadar dan mulai mengidentifikasi diri dan mempertahankan jati diri.
Solusi lainnya juga dikemukakan oleh Satria Naradha (Bali Post
2009) bahwa kebijakan pembangunan pertanian selama ini masih
belum berorientasi pada program sehingga tidak menyentuh kepentingan para petani, sehingga dipandang perlu usaha-usaha pengembangan sumberdaya manusia dan teknologi. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa walaupun pada saat ini telah ada program bantuan langsung
kepada desa Pekraman (adat) dan subak akan tetapi pembinaan dan
pengembangan generasi muda dan pemaknaan bagi bantuan-bantuan
tersebut belum strategis menyentuh tujuan pengembangan pembangunan pertanian khususnya di Bali. Untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut para pengamat Bali mengharapkan adanya mediasi baik dari
akademisi, lembaga sosial masyarakat, maupun pemerhati pertanian
untuk menjadikan pertanian sebagai industri kreatif sekaligus mendorong pertanian menjadi fondasi yang kuat bagi pembangunan budaya
dan agama Hindu di Bali.
20

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

Kearifan Lingkungan dan Kebudayaan Lokal
Triguna (2006) menyatakan bahwa modal sosial kearifan lingkungan merupakan hasil abstraksi pengalaman beradaptasi dalam
pemanfaatan sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan, yang terwujud dalam pranata kebudayaan dan hukum-hukum
adat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa eksistensi dari semuanya bertumpu pada kebutuhan praktis bidang pertanian, pengobatan, dan
pemanfaatan air. Penekanannya tertuju pada esensi hidup berkelanjutan yang bersifat partisipatif. Penekanan ini pada akhirnya diharapkan
akan memberikan keuntungan-keuntungan seperti: (1) memberi keuntungan pada kepentingan masyarakat lokal (karena dalam hal ini
masayarakat lokal yang kebudayaannya mulai tergerus dan tereduksi
dalam modernisasi); (2) memberikan keuntungan pada pengembangan
kebudayaan modern, yang berdasarkan pengatahuan masyarakat lokal;
(3) keuntungan bagi bumi karena adanya contoh keharmonisan masyarakat dengan alamnya.
Menurut Gough (1977) dalam Triguna (2006) pengetahuan lokal
(indigenous knowledge) merupakan satu kultur masyarakat, yang
diwariskan secara lisan dan turun-temurun, baik itu melalui upacaraupacara ritual, keseharian yang biasanya berbasis pada kegiatan pertanian, penyediaan makanan, pelayanan kesehatan, pendidikan, konservasi dan kegiatan-kegiatan yang lebih luas yang semuanya mengarah kepada keberlanjutan masyarakat dan lingkungan.
Dalam banyak diskusi, ruang lingkup dari kearifan lokal sebenarnya masih sering diperdebatkan. Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah yang dimaksud dengan kearifan lokal? Apakah kearifan
lokal dapat disamakan dengan kebudayaan dan ritual agama yang
dilakukan secara turun-temurun serta dilakukan sejak jaman nenek
moyang oleh masyarakat? Untuk menjawab perdebatan ini Suaedy
(2008) dalam Jurnal Perempuan menyatakan bahwa secara umum
kearifan lokal adalah cara masyarakat tertentu dalam memecahkan
persoalan dengan cara mereka sendiri. Biasanya cara-cara ini ditetapkan sebagai suatu aturan (awig-awig) yang disepakati di antara kelompok, komunitas yang secara tidak langsung akan ditaati dan dilaksana21

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

kan oleh anggota. Malahan pada akhirnya cara-cara ini akan menimbulkan sanksi apabila tidak ditaati dan dilaksanakan, walaupun sanksi
yang diberikan sebenarnya hanya merupakan sangsi sosial. Pada
beberapa masyarakat ternyata aturan ini sangat kuat mengikat antar
anggotanya.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Gerung (2008) bahwa kebudayaan merupakan rekonstruksi dari kearifan lokal. Jadi dapat dikatakan
bahwa kearifan lokal adalah bagian dari kebudayaan karena secara
tidak langsung apabila kearifan lokal sudah memiliki nilai dan menjadi
norma bagi masyarakat sekitar maka kearifan lokal tersebut akan dapat
disebut sebagai kebudayaan. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah adanya kebiasaan melakukan ritual pada masyarakat dalam
rangka prosesi keagamaan. Walaupun ritual tersebut sebenarnya bukan
merupakan keharusan akan tetapi karena sudah terikat dalam diri dan
perilaku masing-masing individu dan disepakati oleh masyarakat maka
ritual tersebut akan selalu dilakukan. Apabila hal tersebut dilanggar
maka akan ada sanksi sosial dari masyarakat. Karena kebudayaan sangat
terikat pada individu maka seringkali kebudayaan akan mampu mengkonstruksi indentitas dan akhirnya akan tercermin pada perilaku individu bersangkutan.

Petani dan Pengembangan Teknologi
Geertz (1983) menyatakan bahwa sejak abad 19 pertanian di
Indonesia sebenarnya terpusat di Pulau Jawa. Lebih lanjut dikemukakan bahwa tanah pertanian di Pulau Jawa merupakan tanah yang
subur dan mampu menghasilkan sandang dan pangan yang melimpah
serta mampu menyediakan pangan bagi beberapa pulau lainnya seperti
pulau Bali, Sumatra, Sulawesi. Akan tetapi mendekati abad ke 20
terjadi perubahan yang pesat pada kondisi lahan pertanian di Pulau
Jawa, hal ini disebabkan karena adanya alih fungsi lahan untuk
keperluan perumahan bagi penduduk Jawa yang semakin bertambah,
dan juga alih fungsi untuk keperluan lainnya seperti keperluan pariwisata dan infrastruktur yang lainnya.

22

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

Reijntjes et al (1999) menyatakan bahwa perjuangan petani
(orang pedesaaan) dalam kaitannya dengan mempertahankan kehidupannya adalah sekedar berproduksi untuk menghasilkan pangan yang
cukup bagi keluarganya dan mempertahankan kapasitas produktif
lahannya, sehingga mampu menyediakan pangan secara terus menerus
untuk generasi mendatang. Untuk mencapai tujuan ini maka inovasi
teknologi sangat perlu dilakukan secara terus-menerus terhadap petani.
Akan tetapi sering para pembawa inovasi baik itu peneliti maupun
pemerintah tidak secara tepat guna mentransfer pengetahuan mereka,
dalam arti masih banyak teknologi ynag tidak menyentuh kekayaan
lokal suatu daerah, sehingga seolah-olah teknologi tersebut berlaku
universal untuk semua daerah padahal Indonesia adalah negara pluralis
baik di bidang etnis, agama, budaya, topografi serta wilayah geografis.
Fenomena ini banyak terjadi di Indonesia sehingga sering
teknologi yang diberikan tidak dapat dilaksanakan dengan baik pada
daerah-daerah tertentu, dan kekayaan lokal sering terlupakan. Hal ini
banyak terjadi pada saat pemerintah melaksanakan kebijakan BLT
(Bantuan Langsung Tunai) dan Raskin (Beras bagi Masyarakat Miskin)
yang dilakukan serentak di seluruh Indonesia, padahal sebagian masyarakat di bagian tertentu Indonesia seperti NTT (Nusa Tenggara Timur),
Papua, Maluku memiliki pangan lokal yang masih tersedia berlimpah,
akan tetapi kurang mendapatkan sentuhan teknologi. Pada saat bantuan pemerintah tidak berlanjut maka masyarakat di daerah yang disebutkan tadi akan kebingungan untuk mencukupi kebutuhan pangan
mereka, karena mereka sudah tidak terbiasa untuk memanfaatkan
pangan tradisional yang masih melimpah tersedia di daerah.
Situasi ini juga terjadi di Nigeria Tengah (Kasus daddawa atau
dawadawa, atau soumbala, atau maggi lokal). Daddawa adalah sejenis
rempah-rempah yang digunakan secara meluas sebagai bumbu masakan orang Afrika Barat. Rempah ini dibuat secara tradisional dari kacang
belalang (Parkia biglobasa) dan hanya dipasarkan secara lokal di pasarpasar tradisional sehingga sering terlupakan pada statistik resmi
pemerintah. Pada saat dilakukan penyuluhan dan peningkatan teknologi pertanian, pengembangan tanaman ini terlewatkan, padahal

23

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

masyarakat Afrika Barat sudah sangat terbiasa menggunakan tanaman
ini secara luas. Hal yang menarik terjadi bahwa para perempuan
akhirnya berhasil mengembangkan tanaman kedelai sebagai salah satu
alternatif untuk membuat daddawa, dan ternyata teknologi yang
berhasil dikembangkan menyebabkan pembuatan daddawa semakin
mudah karena mereka memperoleh cara yang lebih mudah dari
tanaman kedelai. Pengembangan ini merupakan salah satu kesuksesan
perempuan dalam pengembangan pengetahuan lokal secara mandiri
tanpa bantuan teknologi dari luar. Perempuan Kaje dan Fulani saling
bahu membahu mengembangkan tanaman kedelai sebagai bahan
pembuat daddawa untuk konsumsi keluarga, yang sebelumnya hanya
dikuasi oleh kaum lelaki karena harus memetik bahan daddawa dari
pohon belalang (bahan daddawa sebelum ada kedelai) (Fonjong and
Athanasia 2007).
Richards (1988) dalam Reinjtjes (1999) menyatakan, bahwa
meskipun praktik-praktik pertanian sebelum zaman industri telah
diselaraskan dengan kondisi-kondisi setempat, praktik tradisional
sering dianggap statis seakan-akan dicapai secara kebetulan pada suatu
saat dalam proses evolusi dan kemudian ditiru tanpa pertimbangan
lebih jauh dari generasi ke generasi. Akan tetapi asumsi ini dipertentangkan dengan bukti bahwa muncul hal-hal sebagai berikut: (1) fakta
sejarah pertanian menunjukkan dinamisme yang telah berlangsung
lama, misalnya mana mugkin dua jenis tanaman budidaya Dunia Baru,
yaitu jagung dan ketela atau singkong menjadi makanan pokok orang
Afrika selama 450 tahun semenjak diperkenalkan oleh orang Portugis;
(2) sifat inovatif petani hingga saat ini telah didokumentasikan dengan
baik. Banyak tulisan yang mendokumentasikan sifat-sifat inovatif
petani yang dengan cara mereka sendiri melaksanakan praktik-praktik
tradisional dan kearifan lokal di berbagai daerah, dapat bertahan dan
bahkan berkembang dengan baik.
Di bawah ini digambarkan tiga elemen penting dari pertanian
berkelanjutan dalam rangka pencapaian pembangunan berkelanjutan
yang dewasa ini merupakan kepedulian dari pemerintah Indonesia dan
masyarakat dunia.

24

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

Gambar 2
Diagram Tiga Pilar Penting dari Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Dari diagram di atas dapat dijelaskan bahwa ada tiga hal yang
saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Tiga hal penting tersebut adalah pembangunan, lingkungan dan masyarakat. Interseksi dari
masing-masing bidang akan mampu dikembangkan dengan baik
dengan menggali beberapa penekan pada interseksi antar bidang.
Misalnya seperti pembangunan dan masyarakat dalam hal ini petani
maka yang ingin dicapai adalah kesejahteraan. Hal lainnya adalah
interseksi antara pembangunan dan lingkungan (pertanian) yang perlu
dikembangkan adalah pembangunan lingkungan yang berkelanjutan.
Kemudian antara lingkungan dengan community terutama petani yang
menjadi penekanan adalah pada produksi. Interseksi keseluruhan adalah mengembangkan local wisdom (kearifan lokal), untuk memperoleh
25

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

hasil yang lebih baik dan berkelanjutan. Dalam konteks tulisan ini
maka penulis meyakini bahwa memberdayakan kembali kearifankearifan lokal yang ada di Bali terutama yang berkaitan dengan
pelestarian lingkungan dalam rangka pencapaian ketahanan pangan
dan ketahanan hayati sangat diperlukan. Berkaitan dengan hal tersebut
maka penekanan pada tulisannya adalah pada organisasi subak, yang
merupakan sebuah kearifan lokal yang sangat berkomitmen terhadap
kelestarian pertanian di Bali
Reijntjers (1999) juga mengemukakan bahwa pengetahuan lokal
biasanya tidak bersifat statis. Teknologi baru yang dikembangkan oleh
seorang anggota komunitas ataupun yang diperkenalkan oleh orang
luar, jika bermanfaat bagi masyarakat setempat akan diadopsi dan
disebarkan luaskan dari mulut ke mulut melalui pendidikan informal
pada pertemuan-pertemuan desa maupun agama. Untuk selanjutnya
teknologi tersebut akan dianggap menjadi bagian dari pengetahuan
lokal setempat. Lebih lanjut dikemukakan apabila suatu saat ada
inovasi baru dan kemudian dipraktikkan secara meluas, maka parktik
yang lama cenderung akan ditinggalkan. Hal ini membuktikan bahwa
pengetahuan lokal bersifat dinamis dan akan selalu mengalami perubahan dan pembaharuan. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah
memerlukan waktu berapa lama untuk merubah pemahaman sebuah
pengetahuan lokal? Pertanyaan lainnya adalah bahwa pengetahuan
lokal sering tidak menyebar secara merata di antara komunitas dan juga
karena kemampuan masing-masing individu untuk menyimpan dan
memanfaatkan pengetahuan tradisional pun berbeda. Sering pengetahuan lokal yang berhasil dikembangkan dalam rangka praktik-praktik
pertanian dan pelestarian lingkungan hanya bersifat parsial.
Situasi ini mungkin bisa diberdayakan dengan kesadaran pemerintah atau pihak terkait untuk lebih mendorong praktik-praktik tradisional atau kearifan lokal atau pengetahuan lokal suatu daerah untuk
lebih dimanfaatkan dalam rangka mendukung pelestarian lingkungan
dalam pembangunan berkelanjutan. Hal ini terjadi di Afrika Timur
bahwa perempuan biasanya memiliki pengetahuan yang hebat tentang
ciri dan manfaat spesies pohon asli yang tidak diketahui oleh kaum

26

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

lelaki (Juma 1987; Rocheleu 1987 dalam Reijntjes 1999). Contoh lainnya pengetahuan tentang tanaman liar maupun yang dibudidayakan
maupun peternakan hewan yang hanya dimiliki oleh kaum perempuan. Dari penelitian ini ternyata individu ataupun kelompok yang
berbeda akan memiliki pengetahuan yang berbeda dan sangat tergantung dari fungsi ekonomi dan sosial mereka dalam masyarakat.
Ada hal yang perlu dicermati pada situasi ini yaitu ada beberapa
penyebab yang sebenarnya dapat diatasi dengan campur tangan pemerintah maupun pihak terkait untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan tersebut. Misalnya: (1) kurangnya informasi tentang keberhasilan
pengelolaan pertanian dengan pengetahuan lokal; (2) kurangnya pemahaman ilmiah tentang proses-proses yang berperan dalam pengelolaan
pengetahuan lokal; (3) keterbatasan komunikasi antar individu dalam
komunitas; (4) keterbatasan pemaknaan dari pengetahuan lokal tersebut sehingga tidak adanya proses yang berkelanjutan dalam pemanfaatan dari suatu pengetahuan lokal di masyarakat maupun antar
generasi; dan (5) adanya pengaruh kuat dari budaya dan agama dalam
setiap praktik-praktik pengetahuan lokal tersebut

Modal dalam Masyarakat Petani
Modal sosial (Social Capital)
Ahli ekonomi, sosiologi dan politik mendefinisikan modal sosial
secara berbeda-beda. Secara umum, konsep modal sosial dikembangkan
oleh dua aliran utama yaitu sosiolog-anthropologi, politik dan ekonomi
kelembagaan (Vipriyanthi, 2007). Coleman (1990) berpendapat bahwa
modal sosial adalah atribut struktur sosial dimana seseorang ada di
dalamnya. Menurut Coleman modal sosial melekat dalam struktur
sosial dan memiliki karakteristik public good dan memiliki kedudukan
setara dengan financial capital, physical capital, dan human capital.
Sedangkan pendapat Adler dan Woo Kwon (1999) mengenai modal
sosial yang disetarakan dengan barang publik (public good) menganggap bahwa modal sosial bisa bersifat rapuh karena public good tidak
dimiliki oleh orang tertentu, tetapi tergantung dari seluruh anggota
dalam suatu jaringan kerja. Sifat modal sosial sebagai public good
27

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

tersebut menyebabkan setiap individu cenderung melalaikan kewajiban dalam memelihara keberlangsungannya dan sebaliknya mempercayakan pada anggota yang lain untuk jaminan pemeliharaannya. Jika
modal sosial dimaknai seperti barang publik maka diperlukan pemberdayaan untuk memanfaatkan modal sosial masyarakat untuk kepentingan bersama.
Dengan pemberdayaan yang tentunya bersifat bottom up maka
pengetahuan dan pemahaman masyarakat (kapital masyarakat) diarahkan agar dapat menentukan tindakan untuk mengatasi permasalahan
bersama. Kerangka kapital masyarakat memungkinkan adanya penggunaan sumber daya setempat (lokal) dan memadukannya dengan sumber
daya dari luar untuk membangun perekonomian yang vital, keterlibatan sosial dan suasana yang sehat (kondusif). Memberdayakan masyarakat untuk peduli tehadap permasalahannya adalah dengan memanfaatkan kekuatan sumber daya sosial yang berkembang dari orang atau
kelompok orang yang memiliki hubungan yang saling menguatkan.
Prinsip-prinsip di atas sebenarnya sudah cukup dikenal di masyarakat
misalnya seperti budaya gotong royong, tepo saliro (empati), sistem
subak (sistem pengairan di Bali), pela gandong (di Ambon), Jagong (di
Jawa Timur), sistem adat (suka-duka) di Bali yang semuanya menggambarkan kesederajatan. Dari fenomena tersebut maka dengan tegas kita
bisa katakan bahwa masyarakat Indonesia dan juga Bali sudah memiliki
modal sosial (Pietra, 2006). Secara sosiologis masyarakat kita dikenal
dengan masyarakat Timur dengan kemampuan norma-norma sosial
yang cukup besar. Dengan kondisi seperti ini maka pemanfaatan modal
masyarakat untuk mengarahkan pergerakan masyarakat menuju
tatanan yang baru dimana masyarakat pola tradisional begerak ke arah
masyarakat moderen sangat tepat dilakukan guna mendorong partisipasi dan pemberdayaan masyarakat setempat.
Definisi yang lebih spesifik mengenai modal sosial dinyatakan
oleh Bank Dunia (1998) yang menyatakan bahwa modal sosial adalah
norma-norma dan hubungan sosial yang melekat dalam struktur sosial
masyarakat dan memungkinkan orang-orang untuk mengkoordinasikan kegiatan serta mencapai tujuan yang diinginkan. Sejalan dengan

28

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

pendapat ini, Woolcock dan Narayan (2000) menyatakan bahwa modal
sosial merupakan norma dan jaringan kerja yang memungkinkan orang
melakukan sesuatu secara bersama-sama. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa jaringan kerja komunitas dan masyarakat merupakan hasil dari
keadaan politik, hukum dan kelembagaan, sehingga pembangunan
akan tercapai bila terdapat forum bersama antara pemerintah, sektor
swasta dan masyarakat, yang secara bersama mampu mengidentifikasi
dan mencapai tujuan bersama. Modal sosial dalam hal ini digunakan
sebagai penghubung.
Flora (2007) menekankan pada kaitan antara modal sosial dan
modal manusia (sumber daya manusia). Dinyatakan bahwa modal
manusia yang meliputi keterampilan dan kemampuan individu untuk
mengembangkan dan meningkatkan sumber daya mereka, dan bagaimana mereka dapat mengakses sumber daya dan kesatuan pengetahuan
untuk meningkatkan pemahaman mereka, mengidentifikasi kebiasaankebiasaan, dan akses untuk meningkatkan modal masyarakat. Jadi
adanya aksi kolektif dari suatu masyarakat akan sangat dipengaruhi
oleh kemampuan dari individu penyusun masyarakat tersebut. Hal ini
sesuai dengan pendapat Harker (1986) yang mengulas tentang teori
Bourdieu tentang masyarakat bahwa pada umumnya akan ada habitus
dari individu tersebut dimana habitus ini merupakan pengalamanpengalaman individu dari sejak lahir dengan perubahan-perubahan
yang dialami sesuai dengan berubahnya waktu. Menurut Sutrisno dan
Putranto (2005) habitus Bourdieu adalah kebiasaan, sehingga merupakan sebuah sistem yang akan bertahan lama. Penjelasan lebih lanjut
bahwa kebiasaan menurut Bourdieu terkait dengan aktivitas tak sadar
dan non reflektif, yang akan berdampak pada habitus yang didasarkan
atas struktur sosial (kelas) dan kekuasaan.
Untuk melihat apakah suatu habitus memang ada dan benar ada
pada zaman lalu kita bisa lihat dari tindakan (praktik) yang dilakukan
individu pada masa ini. Dalam kaitannya dengan penelitian ini penulis
meyakini bahwa individu akan berinteraksi dan bereksternalisasi
dengan lingkungannya untuk melakukan suatu relasi sosial sangat
dipengaruhi oleh kekuatan modal yang dimiliki (baik itu modal sosial,

29

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

modal ekonomi, modal spiritual, modal budaya, dan juga modal
sejarah).
Modal budaya (Cultural Capital)
Masih berkaitan dengan modal yang menjadi sumber kekuatan
suatu masyarakat untuk melaksanakan aktivitas, maka modal budaya
dalam konteks penelitian ini sangat berperan penting. Modal budaya
mulai diperhitungkan dalam keberhasilan sebuah pembangunan
masyarakat ketika modal sosial yang pada awalnya menjadi sebuah
primadona bagi pemerhati teori-teori pembangunan modern mengalami kegagalan dalam penerapannya di beberapa negara. Seperti yang
dikemukakan oleh Hasbullah (2006) bahwa pada akhir abad ke 20 di
Amerika dimana modal sosial sangat diyakini mampu menjadi spirit
dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan mulai
menurun. Waktu yang dialokasikan oleh individu untuk kepentingan
publik juga mengalami penurunan yang signifikan. Hal yang sama juga
terjadi di Indonesia, dimana semangat gotong royong, hidup bersama
dan kelompok sosial yang terbentuk dengan sukarela seakan tidak memiliki energi untuk tetap eksis. Modal sosial yang selama ini menjadi
primadona dalam pemberdayaan masyarakat untuk pembangunan
ternyata kehilangan dimensi budayanya. Fenomena ini yang kemudian
mendorong pemerhati pembangunan dan pemegang kebijakan untuk
kembali memperhitungkan modal budaya sebagai faktor dalam pembangunan selain modal sosial.
Menyimak pendapat Sutrisno dan Putranto (2005) tentang modal
budaya versi Bourdieu yang dinyatakan memiliki dimensi pengetahuan, cita rasa, kemampuan praktis dan membedakan hal yang baik dan
buruk, maka modal budaya akan sangat terikat dengan sejarah dan
konstruksi sosial masyarakat di suatu wilayah. Lebih lanjut dijelaskan,
oleh karena modal budaya bersifat dinamis dan terbentuk selama
bertahun-tahun, maka modal budaya yang terikat pada individu akan
mampu berubah-ubah sesuai dengan mobilitas individu tersebut. Hal
ini juga sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1996) yang memberikan definisi nilai budaya berada dalam daerah emosional dari alam

30

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

jiwa seseorang karena diresapi sejak kecil dan berakar dalam alam jiwa
seseorang.
Kalau penjelasan di atas dikaitkan dengan kebiasaan ritual yang
dilakukan oleh anggota subak, maka keterikatan emosional yang
berlangsung terus menerus terhadap kebiasaan melaksanakan ritual
akan membentuk praktek (aktivitas) yang didasari oleh kesadaran
untuk tetap melakukannya. Kesadaran untuk tetap melakukan sesuatu
akan membentuk keyakinan untuk mencari pemaknaan terhadap
segala sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan (behaviour; istilah
Bourdieu habitus) seseorang. Dengan proses ini maka kegiatan kolektif
akan sangat mudah dilakukan untuk mewujudkan tujuan bersama.
Apalagi kalau dihubungkan dengan salah satu unsur kebudayaan yang
dikemukakan oleh Foni (2004) yang dikutip dari Kluckhohn (1953)
yaitu kebudayaan adalah merupakan sistem religi dan kesenian, maka
akan sangat sesuai dengan posisi budaya, agama, adat dan seni dalam
masyarakat Hindu di Bali seperti yang dikemukakan oleh Geertz
(1979).

Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati
Menyimak blue print rencana pelaksanaan pembangunan pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (Sujono 2009), maka secara tersirat
dapat dikatakan bahwa program ketahanan pangan merupakan salah
satu prioritas yang akan dilaksanakan. Ketahanan pangan sudah tentu
akan selalu terkait dengan ketersediaan pangan bagi rakyat yang mau
tidak mau akan berkaitan dengan kemampuan rakyat (dalam hal ini
masyarakat petani) menghasilkan pangan baik untuk kehidupan keluarga maupun untuk kehidupan bangsa secara keseluruhan. Ketahanan
pangan kalau diartikan secara sempit mungkin dapat diartikan bagaimana petani mampu memelihara dan mengelola tanamannya agar
dapat berproduksi dengan optimal pada tiap-tiap musim tanam.
Pemeliharaan dan pengelolaan tentu saja berhulu pada penyediaan
benih, penggunaan teknologi budidaya, pengendalian hama dan
penyakit, cara panen serta pasca panen. Walaupun ada beberapa
golongan masyarakat yang tidak setuju dengan istilah ketahanan
31

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

pangan, karena dianggap memiliki pengertian yang sempit. Hal ini
didasari atas negara Indonesia yang terdiri dari keberagaman budaya,
etnis, dan kebiasaan, sehingga istilah kedaulatan pangan dirasakan
lebih tepat.
Kalau dilihat pengertian kedaulatan pangan yaitu pangan merupakan hak setiap bangsa (masyarakat), sehingga untuk menetapkan
pangan bagi diri sendiri adalah hak setiap masyarakat. Demikian juga
halnya dengan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan,
dan perikanan sehingga pangan bukan merupakan subjek pasar Internasional. Akan tetapi pada kenyataannya, sampai saat ini ketahanan
pangan masih sangat terkait dengan padi, artinya ketahanan pangan
masyarakat dikatakan baik apabila setiap keluarga masih mampu
makan nasi secara teratur. Padahal di Indonesia, bahan pokok pangan
masing-masing daerah sangatlah berbeda. Fenomena inilah sebenarnya
yang menjadi salah satu penyebab ketahanan pangan di Indonesia tetap
tidak terselesaikan (lihat: Tambunan 2008).
Sejak pengertian ketahanan pangan menjadi perdebatan sekitar
tahun 1980-an, maka FAO (2004) memberikan empat kategori ketahanan pangan yaitu: (1) kecukupan pangan; (2) stabilitas kecukupan
pangan; (3) akses terhadap pangan; dan (4) kualitas pangan. Ke empat
kategori tersebut menurut FAO harus terpenuhi agar suatu negara
disebut telah mencapai ketahanan pangan. Namun kenyataan yang
terjadi di Indonesia adalah, di tengah keberhasilan swa sembada
pangan pada tahun 1982-1983, ternyata masih banyak penduduk di
pedesaan tidak merasakan dampak swa sembada pangan yang telah
dicapai negara Indonesia. Masih banyak masyarakat merasakan sulitnya mendapatkan pangan dan bahkan kekurangan pangan. Oleh
karena itu sangat penting dipahami bahwa swa sembada pangan bukan
berarti sama dengan pencapaian ketahanan pangan.
Tabel 1 berikut adalah beberapa perbedaan konsep antara swa
sembada pangan dengan ketahanan pangan.

32

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

Tabel 1
Perbedaan Swa Sembada Pangan dengan Ketahanan Pangan
Indikator

Swa sembada pangan

Ketahanan pangan

Lingkup

Nasional

Rumah tangga dan individu

Sasaran

Komoditas pangan

Manusia

Strategi

Substitusi impor

Peningkatan ketersediaan
pangan, akses pangan, dan
penyerapan pangan

Outputs

Peningkatan produksi
pangan

Status gizi (penurunan,
kelaparan, gizi kurang/buruk

Outcome

Kecukupan pangan oleh
produk domestik

Manusia sehat dan produktif
(angka harapan hidup tinggi

Sumber: Lassa (2006)

Menyimak Tabel 1 di atas maka ketahanan pangan lebih mencerminkan kondisi pangan pada skala rumah tangga. Sangatlah tepat
ketika pemerintah Indonesia menuangkan peraturan tentang pangan
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, di mana Undang-undang
ini merekomendasikan bahwa ketahanan pangan dapat diwujudkan
bersama oleh masyarakat dan pemerintah, dan dikembangkan mulai
dari tingkat rumah tangga (Ndolu, 2010). Bila ketahanan pangan rumah
tangga sudah tercapai, otomatis berdampak bagi ketahanan pangan
masyarakat, daerah bahkan nasional. Ketahanan pangan tidak hanya
mencakup ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan
untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan juga tidak terjadi
ketergantungan pangan. Jika pembangunan ketahanan pangan terfokus
pada rumah tangga, maka hak perempuan terhadap pangan tidak dapat
diabaikan dan harus menjadi prioritas. Dari wacana ini maka sangat
dimungkinkan untuk mempercepat proses pembangunan ketahanan
pangan melalui pemberdayaan perempuan.
Lovett (2009) menyatakan bahwa konsekuensi dari meningkatnya ‘globalisasi’ pada abad millenium ini adalah adanya peningkatan
apresiasi terhadap ketahanan hayati (yang dalam istilahnya disebutkan
dengan biosecurity). Pada mulanya istilah biosecurity belum populer di
Indonesia. Ketika arti kata biosecurity dicari dalam kamus maka istilah
yang ditemukan adalah bioterorisme. Surata (2009) akhirnya memberi33

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

kan padanan kata biosecurity adalah ketahanan hayati (ada juga yang
menyebut) keanekaragaman hayati yang berarti bagaimana sumbersumber hayati yang sangat terkait dengan kehidupan manusia tetap
lestari dan terjaga keberadaannya sehingga terhindar dari kepunahan.
Kedua istilah ketahanan pangan dan ketahanan hayati sangat terkait
dengan keseimbangan lingkungan yang saat ini sudah mulai merupakan problem yang belum terpecahkan, bahkan sering dianggap
monster bagi pembangunan berkelanjutan. Hal ini terbukti dengan
penetapan Undang-Undang No. 4 tahun 2006 tentang perjanjian
sumber daya genetik tanaman untuk pertanian dan pangan.
Dalam beberapa poinnya memuat tentang pernyataan bahwa
untuk mendukung pencapaian ketahanan pangan maka pelestarian
sumber daya genetik tanaman harus dilakukan secara nasional maupun
global. Pengertian sumber daya genetik adalah sama dengan pelestarian
keanekaragaman hayati atau ketahanan hayati. Dengan adanya
Undang-undang No. 4 tahun 2006 ini maka untuk mencapai ketahanan pangan usaha untuk menjamin ketahanan hayati harus dilakukan
sejalan. Demikian juga kalau dicermati tema yang diambil pada
peringatan hari Pangan Sedunia ke XXIV yaitu Biodiversity for Food
Security, maka Indonesia memaknai tema tersebut dengan mendorong
masyarakat untuk memberikan perhatian pada pemeliharaan keanekaragaman hayati untuk mendukung pencapaian katahanan pangan.

Isu Kesetaraan Gender
Sejak konferensi wanita yang dilaksanakan oleh Badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1998 yang dikenal
dengan CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of
Discrimination against Women), maka konsep gender mulai menjadi
wacana masyarakat di Indonesia. Walaupun istilah gender masih
menjadi perdebatan di antara praktisi dan pemerhati hak-hak perempuan di Indonesia. Pada tahun 1970-an, akhirnya penjelasan tentang
“gender” disebarluaskan sebagai suatu perbedaan peran, jadi bukan
mengacu pada kodrat (jenis kelamin) (Pearson and Cecile, 2000).
Dalam perkembangannya ternyata gerakan feminisme di negara-negara
34

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

Barat semakin gencar memperjuangkan kesamaan peran antara lakilaki dengan perempuan, kebebasan perempuan dalam mengaktualisasikan diri di ranah publik. Akan tetapi disisi lain perjuangan kesetaraan gender di Indonesia agak berbeda yaitu memperjuangkan kesetaraan peran antara laki-laki dengan perempuan (Martiningsih, 2011).
Gerakan feminisme di Indonesia memang tidak mungkin mengadopsi
feminisme di negara-negara Barat, karena keberagaman etnik, agama,
budaya dan adat. Dalam situasi pluralistik, maka pendekatan yang
paling tepat bagi penggagas dan pemerhati gerakan kesetaraan gender
di Indonesia harus lebih memikirkan pendekatan budaya dan wilayah.
Dukungan pemerintah Indonesia sudah diimplentasikan dengan dicantumkannya tentang isu kesetaraan gender pada pasal 27 UUD 1945.
Menurut Saparinah (2002), isu kesetaraan gender di Indonesia
sebenarnya lebih pada ketimpangan dalam pengambilan keputusan dan
akses-akses terhadap beberapa sumber daya seperti ekonomi, pendidikan dan posisi struktural. Hal ini seperti telah dijelaskan diakibatkan
oleh adanya perbedaan agama, adat dan budaya pada masing-masing
daerah di Indonesia. Situasi ini di sebenarnya sudah muncul pada
zaman R.A Kartini yang memperjuangkan hak pendidikan bagi
perempuan Indonesia, sehingga muncul gerakan emansipasi wanita.
Emansipasi ini pada dasarnya hanya menuntut hak perempuan untuk
mendapat pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki pada masanya.
Pada tahun 2000, Saulnier mengidentifikasi teori feminis menjadi
5 (lima) cabang yaitu; 1) liberal feminism, 2) cultural feminism, 3) post
modern feminism, 4) womanist dan 5) radical feminism. Menurut
Saulnier (2000) masing-masing cabang teori tersebut memiliki tujuan
yang berbeda-beda, yang akan menentukan pendekatan yang digunakan dalam pencapaian kesetaraan gender. Saulnier juga menyatakan
bahwa pemberdayaan perempuan dalam pencapaian kesetaraan, sangat
ditentukan oleh situasi, tempat dan latar belakang wilayah masingmasing.

35

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Peran Perempuan Bali dalam Kegiatan Ritual Religius
Dalam kepercayaan umat Hindu di Bali ritual atau sering juga
disebut upacara merupakan salah satu dari tiga cara (tattwa, etika dan
upacara/ritual), untuk menunjukkan rasa bhakti (syukur) kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) (Krisnu, 1991). Ritual ini dilakukan dengan mempersiapkan sesajen (banten) yang terdiri dari semua
bahan pangan (buah-buahan, kue, janur, bunga) yang umat Hindu
percaya sebagai anugrah dari Sang Pencipta. Bahan-bahan tersebut ditempatkan pada sebuah wadah yang khusus, dan harus terjaga kesuciannya. Ritual yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali selalu terkait
dengan filosofi Tri Hita Karana yang sudah menjadi tuntunan umat
Hindu untuk selalu menjaga keseimbangan hubungan dengan Tuhan,
manusia dan lingkungan, sehingga setiap ritual yang dilakukan selalu
memiliki tujuan untuk menjaga ketiga keseimbangan hubungan tersebut (Krisnu, 1991; Ra, 2007).
Secara umum ritual sebenarnya merupakan salah satu bentuk
dari religiositas, yang diidentifikasi oleh (Start and Glock, 1974)
menjadi lima bentuk yaitu; 1) kepercayaan, 2) ritual, 3) pengalaman, 4)
pengetahuan dan 5) konsekuensi. Dhavamony (1995) kemudian membagi ritual menjadi empat macam yaitu; 1) tindakan magis, yang dalam
pelaksanaannya menggunakan bahan-bahan yang diyakini memiliki
kekuatan mistis, 2) tindakan religius, kultus para leluhur, 3) ritual
konstitutif, yang mengungkapkan hubungan sosial dengan melaksanakan upacar-upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan, 4) ritual
faktitif, ritual yang bertujuan untuk mendapatkan perlindungan dan
kekuatan suatu kelompok, salah satunya adalah kesejahteraan materi.
Ritual yang dilaksanakan oleh umat Hindu tentu saja tidak dapat secara
tegas digolongkan ke dalam pembagian-pembagian yang tersebut di
atas, karena seperti yang dikemukakan oleh Krisnu (1991) bahwa ritual
Hindu merupakan salah cara dari tiga cara untuk mengekspresikan
kesujudan umat terhadap Tuhannya.
Walaupun dalam pelaksanaan ritual umat Hindu menggunakan
bahan-bahan (sesajen) sebagai rasa syukur akan kesejahteraan yang
telah diberikan oleh Tuhannya, akan tetapi yang khas dalam per36

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

sembahannya adalah bahwa sesajen tersebut dipersembahkan karena
tujuan keseimbangan filosofi Tri Hita Karana. Menurut Nakatani
(1997) yang melakukan penelitian tentang ritual yang dilakukan
keluarga Hindu di Bali membedakan ritual menjadi ritual yang ditujukan kepada Tuhan (Dewa Yadnya), ritual untuk manusia (Manusa
Yadnya), ritual untuk atma 2 (Pitra Yadnya), dan ritual untuk Bhuta 3
(Bhuta Yadnya). Menyimak rangkaian ritual yang dilakukan subak
maka sangat jelas terlihat bahwa masing-masing ritual memiliki tujuan
dan arah yang khas. Misalnya kalau ritual ngusaba nini yang ditujukan
sebagai rasa syukur kehadapan Dewa Kesuburan, maka jelas merupakan ritual Dewa Yadnya, sedangkan ritual nangluk merana, jelas merupakan ritual yang bertujuan untuk mengendalikan kekuatan yang jahat
dari hama tikus, maka digolongkan ke dalam ritual Bhuta Yadnya.
Dalam setiap pelaksanaan ritual, peran perempuan dominan, karena
mereka terlibat sejak persiapan sesajen sampai pada pelaksanaan ritual.
Penelitian Nakatani (1997) di Gianyar-Bali tentang peran perempuan dalam kegiatan ritual religius (ritual keagamaan) menyatakan,
bagi perempuan Bali ritual adalah pekerjaan (rituals as a work).
Melaksanakan ritual merupakan salah satu kewajiban yang harus
dilaksanakan perempuan di Bali. Dari data yang dikemukakan Nakatani
(1997), waktu yang dibutuhkan perempuan dalam melaksanakan ritual
hampir 75% dari waktu yang dimiliki perempuan Bali untuk beraktivitas, sehingga pernyataan rituals as a work bagi perempuan Bali tidak
terbantahkan. Akan tetapi penelitian ini belum mampu menunjukkan
seberapa besar keyakinan akan ritual yang dilaksanakan perempuan
Bali mampu mendorong kegiatan-kegiatan yang bersifat lebih bermanfaat bagi perubahan-perubahan kehidupan perempuan Bali khususnya
dan masyarakat Bali umumnya. Padahal dalam pelaksanaan ritual,
perempuan banyak memiliki waktu untuk bersama, sehingga interaksi
tersebut merupakan modal untuk pemberdayaan. Di samping itu kebersamaan dalam pelaksanaan ritual sebagai tempat terjadinya inter2

Atma; roh yang dipercaya akan meninggalkan badan kasar manusia pada saat
kematian. Atma ini dipercayai akan kekal dan abadi (Pandit, 2005)
3
Bhut