Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB V

Bab Lima

Petani dan Ketahanan Pangan di
Subak Wongaya Betan (SWB)
Desa Mangesta, Kecamatan Penebel,
Kabupaten Tabanan

Pengantar
Di tengah pilihan serba sulit antara mempertahankan lahan
pertanian atau mengalihfungsikan lahan untuk keperluan perumahan
maupun pariwisata, petani di Subak Wongaya Betan (SWB) ternyata
masih setia menekuni kehidupan sebagai petani. Hal ini terbukti
dengan masih cukup luasnya lahan baik sawah maupun lahan perkebunan di wilayah tersebut. Demikian juga sebagian besar masyarakat
menggantungkan kehidupannya dari bertani baik di sawah maupun di
perkebunan. Dari data Monografi Desa Mengesta (2003) ternyata dari
106 Kepala Keluarga (KK) di Desa tersebut, 96 kepala keluarga termasuk ke dalam anggota Subak Wongaya Betan. Hal ini berarti paling
tidak ada 96 KK yang masih memiliki dan mengerjakan sawahnya,
sedangkan sisanya walaupun tidak memiliki sawah, tetapi mereka
paling tidak masih memiliki kebun untuk digarap. Walaupun secara
luas garapan petani di Subak Wongaya Betan rata-rata hanya maksimal
0,5 hektar, akan tetapi mereka masih tetap mengusahakan lahan

sawahnya dengan serius. Hal ini dapat dilihat dengan masih membentangnya areal persawahan di wilayah ini. Menurut data terakhir (2010)
areal sawah beririgasi setengah teknis di subak ini seluas 76 hektar. Di
85

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

samping itu keseriusan Subak Wongaya Betan dalam mempertahankan
dan berinovasi pada lahan garapannya adalah dengan keberhasilan
subak ini meraih sertifikat beras organik dari Lembaga Sertifikasi
Organik Seloliman (LeSoS) No. LSPO-005-IDN-010 pada tanggal 3
Nopember 2009.
Dengan diraihnya sertifikat beras organik tersebut maka ada
penghargaan dan tanggung jawab yang harus dijalankan oleh Subak
Wongaya Betan untuk tetap mempertahankan areal sawah serta lingkungan sekitarnya dan tetap menjaga produksi dengan baik dan
berkelanjutan. Apakah fenomena ini merupakan sesuatu yang bernilai
positif bagi wacana ketahanan pangan dan hayati baik di lingkup
nasional maupun internasional. Walaupun lingkup Subak Wongaya
Betan mungkin masih bersifat daerah dan relatif sempit, akan tetapi
apa yang telah menjadi pencapaian subak ini akan mampu memberikan
pengaruh yang positif bagi wilayah-wilayah lainnya sehingga prioritas

pencapaian program ketahanan pangan 1 dan hayati 2 akan mampu diakselerasi secara lebih luas baik secara nasional maupun internasional.
Melalui Bab ini akan diulas tentang pemahaman petani tentang
ketahanan pangan dan ketahanan hayati yang menjadi salah satu
program prioritas pemerintah Indonesia, serta kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh petani di Subak Wongaya Betan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Bali khususnya dan
di Indonesia umumnya.

Sisi Negatif Revolusi Hijau
Pada saat paket teknologi modern (Revolusi Hijau) diperkenalkan
pertama kali pada tahun 1960-an di Indonesia, petani anggota Subak
Wongaya Betan pun harus mengikuti program-program tersebut.
1 Ketahanan pangan: menurut konsep FAO (2004) adalah bagaimana pangan (beras)
tersedia dan mampu dibeli oleh masyarakat, dan masyarakat memiliki akses untuk
memanfaatkan ketersediaan pangan tersebut.
2 Ketahanan hayati (biodiversity, atau Biosecurity (CRC term) adalah bagaimana
sumberdaya hayati (alam) mampu dipertahankan kelestariannya dan berlanjut dapat
dimanfaatkan bagi generasi berikutnya.

86


Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

Paket ini diawali dengan adanya program Bimas (Bimbingan Massal),
yang memiliki beberapa tahapan teknologi yaitu program Panca Usaha
Tani yang kemudian berkembang menjadi Sapta Usaha Tani, dan pada
akhirnya menjadi Insus (Intensifikasi Khusus) dan Supra Insus. Semua
program ini menekankan pada upaya mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin dengan mengefektifkan teknologi. Dalam rangka memaksimalkan hasil maka mulailah pertanian diarahkan untuk menggunakan varietas unggul (yang pada saat itu masih diimpor dari luar
negeri), kemudian pemupukan dengan pupuk anorganik (program
inilah yang mendorong petani untuk menggunakan pupuk kimia,
berikutnya adalah pemberantasan hama dan penyakit (menggunakan
insektisida dan pestisida kimia).
Pemerintah dalam mensukseskan revolusi hijau selain memberikan wewenang kepada Dinas Pertanian di masing-masing Kabupaten,
seluruh aparat dari tingkat Banjar, Desa, Kecamatan sampai ke
pengurus subak juga dilibatkan. Menurut hasil wawancara di lapangan
dengan Pekaseh subak, pada awal pelaksanaan revolusi hijau seringkali
pihak pemerintah bertindak provokatif dan arogan. Bahkan menurut
Pekaseh tidak jarang pemerintah melibatkan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) untuk mendorong pelaksanaan program
revolusi hijau di lapangan.
Di lingkup Subak Wongaya Betan ternyata ada beberapa anggota
subak yang kurang sependapat dengan revolusi hijau karena sebagian

dari mereka sudah memahami bahwa program ini berdampak tidak
baik untuk jangka panjang. Akan tetapi karena pendekatan dilakukan
melalui subak (awig-awig subak merupakan aturan tertinggi dan tidak
boleh dilanggar), maka anggota subak dengan terpaksa mengikuti dan
melaksanakan paket revolusi hijau tersebut. Karena kalau ada yang
diketahui melanggar awig-awig tersebut, maka subak akan mengenakan sanksi kepada petani yang melanggar. Jadi penerapan paket
revolusi hijau di Subak Wongaya Betan termasuk sangat sukses, karena
anggota subak tidak akan berani bertentangan dengan awig-awig
subak.

87

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Berkat teknologi yang memaksimalkan hasil ini maka pada tahun
1984, secara nasional Indonesia mampu berswasembada beras (Sisworo,
2007). Prestasi ini membawa Indonesia berhasil mencukupi sendiri
kebutuhan beras dan malahan berhasil mengekspor beras ke luar
negeri. Pada saat itu memang petani dibuat percaya bahwa pemupukan
kimia sebagai senjata ampuh untuk dapat berproduksi dengan cepat

dan maksimal. Khusus bagi petani anggota Subak Wongaya Betan, yang
sebelumnya memiliki kebiasaan menanam padi lokal (padi del) yang
berumur 6 bulan, dengan paket revolusi hijau ini mereka melakukan
kombinasi penggunaan benih yang bersifat genjah (umur panen 3
bulan). Dengan teknologi ini petani merasakan produktivitas lahan
meningkat hampir dua kali dibandingkan dengan penggunaan varietas
lokal (umur panen 6 bulan). Secara nasional, dari data yang dikemukakan Sutanto (2000: 15), maka Indonesia berhasil meningkatkan
produksi berasnya sampai 50-60 persen.
Kesuksesan program maksimalisasi produksi yang pada awalnya
membawa peningkatan hasil yang sangat signifikan, ternyata pada
akhirnya membawa dampak yang sangat merugikan bagi elemenelemen yang terkait di Subak Wongaya Betan, misalnya seperti terjadi
perubahan pola tanam, substitusi penggunaan sapi ke penggunaan
traktor, cara pemanenan menggunakan ani-ani diganti dengan sabit. Di
samping itu beberapa praktik tradisional yang sudah mengakar di
masyarakat seperti penggunaan varietas lokal, pemupukan dengan
bahan alami (lelemekan) 3 dan hubungan sosial yang saling mengeratkan akhirnya mengalami perubahan dan malahan terdegradasi. Berdasarkan wawancara dengan Bu Wayan (istri Klian subak) dan beberapa
data pada monografi yang ada di Subak Wongaya Betan ternyata
dengan pertanian modern beberapa aspek yang terkait dengan pertanian seperti sumberdaya alam pertanian, kelembagaan pertanian, praktik
tradisional, ritual pertanian, dan peran perempuan dalam pertanian
mengalami distorsi dan melemah.


Lelemekan: adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan, biasanya berasal
dari hewan sapi

3

88

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

Degradasi Sumber Daya Alam
Dampak negatif pada elemen sumber daya alam dicerminkan
dengan adanya penurunan kualitas lahan pertanian, hal ini dibuktikan
dengan hasil analisis tanah yang dilakukan oleh BPTP (Balai
pengkajian Teknologi Pertanian) Bali (Wiguna, 2006). Dari hasil
analisis tersebut secara umum kesuburan tanah telah menurun drastis
yang dirasakan oleh petani SWB dalam bentuk penurunan hasil yang
signifikan. Di samping itu dengan adanya penanaman padi yang terus
menerus (tiga kali) dalam setahun, serangan hama dan penyakit terutama tikus dirasakan juga sebagai hal yang mempengaruhi penurunan
hasil. Hal ini tercermin dari kutipan wawancara berikut (Pak Eka,

Januari 2010):
Karena pada revolusi hijau petani dianjurkan untuk menggunakan pupuk anorganik dan pestisida yang terus menerus
sehingga terjadi kerusakan tanah pertanian dan menyebarnya
penyakit seperti hama wereng coklat, wereng hijau dan juga
hama tikus. Seperti petani yang berada diluar kelompok kami itu
hampir tiga kali gagal panen karena hama tikus.

Selain berdampak pada semakin tingginya serangan hama dan
penyakit baik berupa wereng maupun serangan tikus, teknologi
revolusi hijau juga berpengaruh pada penurunan kualitas air irigasi. Hal
ini dibuktikan dengan hasil analisis kualitas air pada sumber air Subak
Wongaya Betan yang difasilitasi oleh BPTP Bali. Menurut Pak Alit
Artha Wiguna (staf BPTP) yang secara kontinu melakukan pendampingan di Subak Wongaya Betan, bahwa dari hasil analisis ternyata
air irigasi di wilayah Subak Wongaya Betan memiliki kandungan BOD
(Biochemical Oxygen Demand) yang cukup tinggi. Nilai BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan makhluk hidup untuk
memecah bahan-bahan yang terlarut (bahan buangan) dalam air. Jadi
semakin tinggi nilai BOD semakin tinggi oksigen yang dibutuhkan
untuk memecah bahan-bahan terlarut yang kemudian menyebabkan
kandungan oksigen air rendah. Hal ini berarti bahwa air tersebut tidak
layak untuk dikonsumsi sebagai air minum, walaupun pemanfaatan

untuk air irigasi masih baik.

89

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Pengaruh secara tidak langsung juga terjadi pada menghilangnya
flora dan fauna sawah yang menguntungkan petani seperti belut,
cacing, kodok, capung, dan ganggang. Hal ini tercetus dari hasil wawancara dan observasi di lapangan bahwa beberapa tahun belakangan
ini sangat jarang ada pemandangan yang sekian puluh tahun yang silam
akan sangat mudah dijumpai yaitu beramai-ramainya penduduk baik
tua, muda dan anak-anak memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan
hidup mereka sehari-hari. Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya
pencemaran yang disebabkan penggunaan bahan-bahan kimia di
pertanian maupun industri, maka secara keseluruhan kualitas air
menurun dan tidak layak lagi untuk dimanfaatkan sebagai kebutuhan
air untuk rumah tangga.
Memang salah satu ciri bahwa kualitas air suatu wilayah masih
bagus adalah adanya flora dan fauna sawah, yang memang
memiliki fungsi yang menguntungkan bagi petani, dan florafauna ini pernah menghilang di kawasan ini (Kartini, wawancara bulan Maret, 2010).


Melemahnya Sistem Internal Subak
Sistem internal subak yang dimaksud adalah bagaimana organisasi subak mengatur awig-awig (peraturan) untuk mengikat anggotanya, bagaimana organisasai subak mengatur hubungan antara anggota
subak dengan lembaga tradisional lainnya seperti lembaga Adat, dan
lembaga Agama di lingkungannya. Dari data empiris di lapangan
ternyata adanya revolusi hijau berdampak pada tergerusnya beberapa
praktik-praktik tradisional dalam pertanian yang secara turun-temurun
telah dilakukan oleh petani misalnya seperti menggunakan padi lokal
(beras merah), traktorisasi (petani beralih dari membajak memakai sapi
ke penggunaan traktor), padahal penggunaan sapi akan jauh lebih
menguntungkan dibandingkan dengan traktor. Seperti petikan wawancara berikut (Alit Artha Wiguna, 2009):
Oya perlu juga diketahui bahwa sapi-sapi ini juga digunakan
sebagai pembajak sawah, memang kalau dari sisi teknologi
penggunaan sapi seolah akan memerlukan biaya yang lebih
besar dibandingkan dengan penggunaan traktor. Padahal tidak.
...malahan dengan traktor lapisan olah tanah tidak sempurna

90

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…


mengalami pembalikan sehingga dari waktu ke waktu lapisan
yang subur dari tanah akan tergerus.

Penggunaan sapi sebagai tenaga pembajak dari segi ekonomi
lebih menguntungkan karena pada saat tidak mengerjakan sawah maka
sapi-sapi tersebut masih memiliki fungsi yang menguntungkan, misalnya dimanfaatkan kotoran dan urinenya untuk pupuk organik dan juga
bisa dijual. Demikian juga dari segi efisiensi waktu, hal ini karena
sebagian besar posisi areal sawah di subak ini pada topografi miring.
Jadi ukuran petakan sawah biasanya lebih sempit karena menggunakan
sistem terasering. Petani anggota Subak Wongaya Betan telah membuktikan bahwa penggunaan sapi lebih menguntungkan di bandingkan
dengan traktor, sehingga pada saat ini setiap kepala keluarga petani
pasti memelihara minimal 2-3 ekor sapi yang dikandangkan di dekat
areal sawah masing-masing. Berdasarkan hasil penuturan salah seorang
informan, kadangkala sapi-sapi ini akan dimanfaatkan atau dijual pada
saat petani mengalami kesulitan modal untuk usaha taninya ataupun
untuk keperluan lainnya seperti pelaksanaan ritual ataupun keperluan
pendidikan anak-anak mereka. Sedangkan penggunaan traktor menurut mereka akan memiliki nilai ekonomis yang menurun pada saat
tidak ada jadwal pengerjaan sawah.


Gambar 12 Petani
membajak sawah
menggunakan
tenaga sapi
Sumber: Martiningsih,
2010

91

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Menurut pandangan hampir sebagian besar anggota SWB ternyata teknologi Panca Usahatani, Sapta Usahatani, Insus dan Supra Insus
akhirnya hanya merupakan teknologi yang mengeksploitasi lahan
pertanian tanpa memikirkan keberlanjutan dari lahan tersebut. Akibat
dari teknologi-teknologi di atas pengolahan lahan dilakukan secara
intensif dengan menggunakan bahan-bahan kimiawi sehingga kerusakan fisik dari lahan tersebut tidak dapat dihindari. Penentuan jadwal
tanam akhirnya berubah akibat adanya pasokan bibit genjah (tiga
bulan panen), yang menyebabkan penanaman tidak serentak. Padahal
aturan tanam dalam subak sudah ditentukan sesuai dengan aturan
kertamasa 4 dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi baik sanksi
material, sanksi sosial, dan sanksi spiritual (berupa ritual). Implikasi
dari ketidakseragaman jadwal penanaman akan berimbas pula pada
aturan pelaksanaan ritual pertanian, karena dalam organisasi subak
pelaksanaan ritual pertanian akan selalu terkait dengan siklus hidup
dari tanaman yang ditanam. Misalnya saja ritual mendak toya yang
biasanya mengawali runtutan ritual dalam subak, tidak akan mampu
dilaksanakan serentak apabila jadwal penanaman tidak sama. Demikian juga akan berlanjut pada pelaksanaan ritual-ritual yang lainnya
(Nengah, Januari 2010).
Dengan adanya varietas baru yang memiliki umur 3 bulan
panen, maka semua jadwal untuk melakukan ritual pertanian
dalam subak menjadi kacau. Dan hal ini sangat diyakini merupakan penyebab dari semakin meluasnya hama dan penyakit di
kebun.

Tidak hanya itu, dengan adanya bibit genjah keragaman bibit
lokal (umur panen 6 bulan) yang dimiliki petani juga telah beralih
tangan. Sebelum Revolusi Hijau, Indonesia memiliki hampir 10.000
macam jenis bibit padi lokal (padi del). Semuanya tersimpan dalam
IRRI (International Rice Research Institute) di Filipina dan menjadi
milik AS. Kini hanya tinggal sekitar 25 jenis bibit padi lokal yang masih
tersisa di Indonesia. Kearifan petani pun dimatikan dengan penyeragaman. Kemandirian digantikan dengan ketergantungan. KeseimbangKertamasa: penjadwalan tanam yang serempak diantara anggota subak dan sudah
tersurat dalam awig-awig subak.
4

92

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

an lingkungan dan sosial terganggu akibat penggunaan bahan-bahan
kimia non organik tinggi seperti pupuk buatan, insektisida, pestisida,
fungisida dan herbisida. Yang paling parah adalah hancurnya kelembagaan pertanian (terutama kelembagaan tradisional) yang dulunya
mampu mengikat masyarakat terutama petani dengan norma dan etika
yang berdasarkan pada nilai-nilai tradisional yang menjunjung tinggi
kebersamaan, penghargaan terhadap alam, dan menjaga hubungan
dengan Sang Pencipta (hubungan subak dengan agama). Filosofi ini
sangat kental dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Hindu Bali
dan petani (khususnya) yang disebut dengan Tri Hita Karana (THK).
Tri Hita Karana ini merupakan filosofi yang menjunjung tinggi tiga
arah hubungan atau relasi yaitu menjaga hubungan dengan Sang
Pencipta, membina hubungan baik dengan sesama, dan menghargai
serta memelihara hubungan yang harmonis dengan alam dan lingkungan termasuk pertanian. Konsep-konsep THK ini sampai saat ini
masih diyakini masyarakat Hindu Bali yang salah satunya diimplementasikan dengan pelaksanaan upacara (ritual) pada setiap kegiatan
pertanian.
Berdasarkan wawancara dan observasi lapangan, petani Subak
Wongaya Betan merasa bahwa apabila praktik-praktik pertanian yang
menggunakan asupan kimiawi ini dilaksanakan dalam jangka waktu
yang panjang maka akan menyebabkan kerusakan yang tidak akan
dapat kembali seperti kondisi awal. Hal ini dikhawatirkan oleh Pak
Nengah sebagai petani pelopor di Subak Wongaya Betan untuk
kembali melakukan praktik pertanian organik. Karena sebagai petani
pelopor Pak Nengah selalu ingin tahu dan mencari tahu tentang
teknologi baru yang mampu mencegah kerusakan dari dampak negatif
pertanian kimiawi. Dampak dari sisi sosial dan budaya sudah dirasakan
juga yaitu semakin melemahnya keeratan hubungan sosial di antara
anggota subak dan juga di antara subak yang satu dengan lainnya. Hal
ini disebabkan karena begitu intensifnya bantuan dan subsidi pemerintah baik itu berupa pupuk, pestisida, insektisida kimiawi, benih serta
semakin luasnya akses untuk memperoleh kredit pertanian, bantuan
pembangunan irigasi teknis secara meluas sampai dengan mengerahkan
para penyuluh pertanian untuk menyebarkan teknologi. Dengan
93

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

adanya program-program ini maka sistem kelembagaan dalam subak
seolah dihapuskan fungsinya, oleh karena semuanya telah diambil alih
oleh pemerintah. Apalagi dengan adanya penetapan harga dasar gabah
oleh pemerintah, seolah semakin membuat petani terpasung dalam
setiap gerakan dan aktivitasnya. Karena dari hasil wawancara dengan
penetapan harga gabah oleh pemerintah, petani selalu memperoleh
harga yang lebih rendah dibandingkan dengan jika gabah dijual kepada
pembeli yang independen.
Dari kondisi ini pada akhirnya memang program ini hanya merupakan sebatas wacana yang dijanjikan akan mampu mensejahterakan
petani. Karena ternyata sampai saat ini dengan pergantian pemerintahan dan kebijakan hampir 40 tahun, nasib petani masih mengalami
himpitan kesulitan secara terus menerus, dan bahkan semakin mengenaskan. Hal ini dapat dilihat dari data yang dikemukakan oleh Prof.
Bustanul Arifin dalam kolom Kompas Senin, 18 April 2011 bahwa
dengan teknologi penggunaan pupuk kimia saat ini petani selain
mendapat tekanan pada penentuan harga dasar gabah, tetapi juga pada
tatanan kebijakan subsidi pupuk. Menurut data Bustanul Arifin harga
eceran terendah (HET) yang ditetapkan pemerintah sering merugikan
petani, padahal dari data Badan Pusat Statistik (2009) di Indonesia
sebanyak 68,0 persen petani padi menggunakan pupuk kimia dan 23,5
persen menggunakan pemupukan berimbang (organik dan anorganik).
Jadi secara total jumlah petani padi yang tergantung pada pupuk
anorganik hampir 91 persen. Hal ini bukan saja disebabkan oleh kendala dari dalam, tetapi juga karena tekanan negara dan situasi ekonomi
secara keseluruhan yang tidak berpihak pada petani negeri ini.
Tekanan negara yang dimaksudkan adalah bagaimana negara
hanya mewacanakan pertanian sebagai basis kehidupan masyarakat,
tanpa mendukung dengan kebijakan dan regulasi yang memihak kehidupan petani itu sendiri, misalnya saja seperti penetapan harga gabah
yang seharusnya mampu memberikan posisi tawar yang menguntungkan bagi petani ternyata tidak berlaku sesuai dengan yang diharapkan.
Terlalu banyak yang bermain di dalam kebijakan harga dasar gabah
tersebut. Contoh lain adalah dalam kebijakan subsidi pupuk, ternyata

94

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

banyak juga dipermainkan oleh distributor yang dalam hal ini sebagai
pihak yang diberikan otoritas oleh pemerintah untuk penyebaran
pupuk kepada petani. Nasib petani di negara ini hampir sama dengan
judul sebuah film komedi ”maju kena mundur kena”.
Selain tantangan-tantangan di atas, ternyata ada kendala dari
dalam yang juga sangat berpengaruh yaitu ketidak percayaan diri
petani terhadap situasi yang menimpa kehidupan mereka sebagai
petani dan juga ketidakpastian petani terhadap masa depannya sebagai
seorang petani. Situasi ini akan berdampak melemahkan indentitas
petani tersebut. Kehilangan identitas merupakan hal yang mendasar
bagi seseorang karena manusia tanpa identitas sama dengan manusia
tanpa penghargaan baik terhadap dirinya maupun penghargaan dari
orang lain (Sen, 1999).

Berkurangnya Peran Perempuan
Kebijakan revolusi hijau menyebabkan petani hanya mengikuti
apa saja yang diperintahkan oleh penguasa melalui penyuluh pertanian
lapangan (PPL) dan penyuluh pertanian spesial (PPS) selama berpuluhpuluh tahun. Petani hanya menjadi pelaksana program di tanahnya
sendiri. Kepemimpinan lokal yang biasa tumbuh diantara petani
dimusnahkan, begitu pula proses belajar mengajar di antara mereka.
Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa di antara subak
atau di dalam subak sering terbentuk kelompok-kelompok sosial yang
disebut sekaha. Dalam beberapa sekeha seperti sekeha manyi, sekeha
nebuk, sekeha mejukut (kelompok dalam menyiang padi dan sekeha
nandur (kelompok dalam menanam) lebih sering beranggotakan
perempuan. Demikian juga halnya dengan beberapa perempuan di
Subak Wongaya Betan yang juga menjadi anggota dari sekeha-sekeha
tersebut. Salah satunya adalah mertua dari Ibu Wayan Ratmini berumur 65 tahun yang dulunya pernah menjadi sekeha manyi dan sekeha
nebuk.
Dari ceritanya bahwa waktu petani di daerah ini masih hanya
menanam padi lokal (dalam ingatan ibu disebut padi mansur dan lokal
merah), maka sekeha manyi dan sekeha nebuk sangat sibuk. Hal ini
95

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

disebabkan karena hampir setiap hari mereka harus melayani orderan
dari pemilik sawah yang sudah saatnya panen. Jarak yang ditempuh
pun sangat bervariasi, karena jasa mereka dapat dimanfaatkan sampai
ke daerah-daerah di luar Desa Mengesta dan kawasannya. Bahkan
menurut ingatannya mereka pernah melakukan pemanenan sampai ke
Kota Tabanan. Kalau daerah panen berlokasi jauh dari kampung
halaman mereka, maka mereka biasanya menginap di tempat tersebut,
bisa sampai seminggu.
Dari hasil pekerjaan mereka, maka perempuan-perempuan ini
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peningkatan pendapatan dari keluarga mereka. Walaupun pada jaman itu uang dicari sangat
sulit, akan tetapi dengan adanya kegiatan sekeha ini maka keadaan
ekonomi keluarga petani masih dapat diatasi. Pada masa sebelum padi
unggul di tanam, sekeha-sekeha pun memiliki peran sebagai penyeleksi
benih padi yang akan digunakan sebagai bibit pada musim tanam berikutnya. Sejak teknologi revolusi hijau dipraktikkan maka semua peran
sekeha-sekeha ini tidak eksis lagi, karena dengan adanya penanaman
padi unggul panen dapat dilakukan dengan mesin perontok yang memerlukan sedikit tenaga. Demikian juga halnya dengan benih yang
digunakan sudah disediakan oleh pemerintah melalui kios-kios benih
unggul, sehingga fungsi perempuan sebagai penyeleksi benih di usahatani keluarga juga tidak ada lagi.
Praktik-praktik tradisional yang sebelumnya memerlukan keterlibatan perempuan, selama teknologi modern diaplikasikan melemah.
Pada waktu penanaman bibit lokal, padi yang telah dipanen akan ditumbuk terlebih dahulu dengan alat penumbuk (luu) dan ini biasanya
dilakukan oleh perempuan. Demikian juga pada saat penjualan hasil
panen, maka yang menjual padi ke pasar adalah perempuan. Akan
tetapi karena semua sarana produksi disediakan oleh pemerintah maka
harga padi dan tempat penjualannya pun ditentukan oleh pemerintah.
Dalam hal ini pemerintah sudah menetapkan Koperasi Unit Desa
(KUD) 5 untuk penyaluran pemasaran hasil panen. Peran perempuan
Walaupun saat ini melalui program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat) peran perempuan didorong untuk lebih maju dan mandiri. Akan sangat

5

96

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

dengan sendirinya telah digantikan dalam berbagai aspek sampai pada
proses-proses pasca panen selanjutnya.
Di samping melemahnya fungsi perempuan melalui tidak eksisnya keberadaan sekeha-sekeha, ternyata teknologi revolusi hijau berdampak juga pada tidak seragamnya pelaksanaan ritual pertanian yang
dilakukan oleh petani. Penggunaan benih unggul menyebabkan perubahan pola tanam yang berdampak pada dilanggarnya ketentuan
kertamasa (penanaman serempak). Dengan penanaman yang tidak
serempak, maka beberapa jadwal ritual terutama yang dilaksanakan
secara kolektif oleh subak pun akan terpengaruh. Misalnya ritual
”ngusaba” yang biasanya dilakukan seluruh anggota subak beberapa
hari sebelum panen tidak dapat dilaksanakan karena panen yang
dilakukan oleh anggota subak tidak serempak. Jadi perempuan yang
biasanya berperan sentral dalam persiapan dan pelaksanaan ritual ini
tidak bisa berperan aktif. Hal ini juga melemahkan keeratan hubungan
antar anggota subak. Karena dengan waktu panen yang tidak sama,
maka tiap-tiap anggota subak cenderung melakukan ritual secara individu. Padahal dalam setiap pelaksanaan ritual kolektif sebenarnya
terjadi interaksi yang intensif antar anggota subak melalui pelaksanaan
pertemuan (sangkep), persiapan sesajen dan pada pelaksanaan ritual.

Kembali ke Warisan Leluhur (Kearifan Lokal)
Upaya mengusir hama wereng justru mendatangkan kematian
bagi Wayan Pongot, seorang petani di Desa Wanasari Tabanan. Siang
itu warga dikejutkan oleh kondisi yang menurun drastis dari Wayan
Pongot yang baru saja pulang dari sawah habis melakukan penyemprotan hama wereng yang menyerang sebagian besar tanaman padi
petani. Petani yang dikenal rajin tersebut mendadak merasakan dadanya sesak disertai dengan mata yang berkunang dan kemudian pingsan.
Pihak keluarga berusaha menolong Wayan Pongot dengan membawa
ke rumah sakit tapi sayang dalam perjalanan menuju rumah sakit
Pongot meninggal.
berbeda dengan KUD, yang cenderung mengambil alih fungsi perempuan sebagai
penjual hasil panen.

97

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Kami tidak tahu apa yang menyebabkan kematian Pongot yang
sangat mendadak. Tapi yang jelas pagi itu dia menyemprot
tanaman padinya dengan pestisida tanpa memakai masker.
Mungkin saja dia keracunan, karena pada saat mengaduk obat
dia tidak menggunakan sarung tangan, sedangkan angin pagi itu
bertiup sangat kencang. Demikianlah kenangan para petani
kawan Wayan Pongot mengenang kematian temannya yang
sangat tragis. ”Kata dokter memang kematian Pongot karena
keracunan pestisida”, Nang Mis menambahkan.

Peristiwa mengenaskan tersebut terjadi sekitar tahun 1985 di
desa tetangga yaitu Desa Wanasari. Cerita di atas sebenarnya adalah
sebuah contoh tragedi yang disebabkan penggunaan bahan kimia dalam
pengusahaan pertanian, tanpa diikuti dengan standar penggunaan yang
benar. Hal ini merupakan hal umum yang dialami petani sejak dicanangkannya program teknologi (revolusi hijau) oleh pemerintah.
Pongot, Nang Mis dan petani lainnya mulai menggunakan pestisida untuk memberantas hama dan penyakit yang menyerang tanaman
padi mereka sejak tahun 1970-an (tahun ini dimulainya gerakan revolusi hijau di Indonesia). Para petani mendapatkan bantuan pestisida
tersebut dari pemerintah dan disosialisasikan kepada petani melalui
para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Selain mendapatkan bantuan pestisida petani juga harus menggunakan bibit dan pupuk yang diberikan pemerintah. Pada masa itu berbagai fasilitas untuk menggenjot
produksi padi disediakan oleh pemerintah. Para PPL bertugas melakukan pemantauan dan diberi target untuk menghasilkan produksi yang
setinggi-tingginya. Target ini di samping ditentukan pemerintah tetapi
sering juga ditarget perusahaan pertanian mitra pemerintah yang telah
menyediakan segala fasilitas sarana produksi bagi petani. Malahan
berdasarkan ingatan Pak Nyoman waktu itu tidak jarang tentara yang
bertindak jika petani tidak melaksanakan instruksi yang diberikan
pemerintah. Memang pada masa itu pelaksanaan kebijakan pemerintah
dalam pembangunan sangat kental dengan kebijakan top down nya,
yang sangat memasung kreativitas petani. Petani seolah tidak memiliki
kebebasan menentukan apa yang mereka kehendaki dan apa yang tidak
mereka inginkan.

98

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

Pembangunan pertanian pada masa revolusi hijau menggiring
petani untuk terjerumuskan ke dalam situasi yang memasung kreativitas. Petani dihadapkan pada dilema antara tuntutan untuk berproduksi
maksimum dan bayang-bayang kerusakan lahan pertanian akibat penggunaan sarana produksi yang mengeksploitasi lingkungan pertanian.
Petani benar-benar berada pada sebuah situasi yang dilematis. Situasi
seperti ini terjadi pada seluruh petani di Indonesia, yang mengalami
pemaksaan khas gaya pemerintahan orde baru. Walaupun pola pemaksaan yang terjadi di Bali memang sedikit berbeda dengan di daerahdaerah lain di Indonesia, karena di Bali organisasi tradisional yang bergerak di bidang pertanian masih memiliki kekuatan mengatur anggotanya untuk melaksanakan suatu kebijakan. Di Bali biasanya tekanan
diberikan kepada pengurus subak. Melalui kelian 6 subak setempat
maka segala instruksi pemerintah (yang kemudian diketahui lebih
banyak dipengaruhi kebijakan perusahaan pertanian) petani dipaksa
menggen-jot produksi lahan mereka dengan segala masukan yang
berbau kimia dan instan. Pada masa itu tidak ada seorang petani pun
yang berani melanggar, karena ikatan dalam struktur organisasi subak
sangat kental dengan kebersamaan. Walaupun sebenarnya beberapa
anggota sudah melihat akibat yang akan terjadi apabila pola bertani
dilakukan seperti yang disarankan:
Pada saat itu kita hanya menurut dan melaksanakan apa yang
sudah menjadi kesepakatan subak. Karena kalau kami sebagai
anggota subak tidak melaksanakannya tentu saja kami akan
berhadapan dengan sangsi dari awig-awig subak. Hal tersebut merupakan hal yang sangat tabu kami lakukan.

Demikian penuturan Pak Nengah salah seorang pengurus Subak
Wongaya Betan. Lebih lanjut dia bercerita bahwa dengan asupan kimia
dan teknologi yang disarankan dalam program Revolusi Hijau pada
awalnya hasil yang diperoleh meningkat dibandingkan dengan cara
bertani sebelum teknologi Revolusi Hijau diperkenalkan. Akan tetapi
lama kelamaan sekitar tahun 1990-an petani mulai merasakan ketidak
seimbangan produksi dan juga serangan hama dan penyakit yang semaKelian subak adalah pembantu Pekaseh subak (seperti dilihat pada bagan organisasi
subak Gambar 4)
6

99

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

kin merajalela. Semakin banyak jenis hama dan penyakit yang menyerang pertanaman petani. Kondisi fisik lahan pertanian pun semakin
buruk yang dicirikan dengan tanah mengeras, air yang diperlukan
lebih banyak dan lahan sering tergenang, tanah seperti tidak memiliki
pori. Hal yang paling menyedihkan adalah selain produksi terus
menurun, juga terjadi banyak kejadian keracunan petani.
Hasil penelitian dari Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Departemen Kesehatan (Kusnindar 1989 dalam Muhajir 2009) menemukan
keracunan pada petani di Indonesia terjadi setidaknya pada 14 juta
orang. Dari hasil penelitiannya juga hampir 37 persen petani di
Indonesia melakukan penyemprotan dengan pestisida dan biasanya
sebanyak 35 persen akan keracunan karena SOP (Standar Operasi
Prosedur) banyak dilanggar atau tidak dimasyarakatkan. Hasil penelitian yang agak mengejutkan juga diperoleh pada petani bawang di
Brebes yang diteliti Sulistono (2007) dalam Muhajir (2009) bahwa dari
612 responden yang diwawancara ternyata petani perempuan lebih
tinggi 79 persen mengalami keguguran dibandingkan dengan yang
bekerja dilokasi pertanian yang lain. Sekitar akhir tahun 2009, koran
lokal Balipost memuat berita tentang tingginya persentase air susu ibu
yang tercemar pestisida di wilayah Bali. Pernyataan ini dikemukakan
Kartini (2010) seorang ahli di bidang petanian organik. Walaupun dari
penelitian Kartini ini belum jelas disebutkan tentang profesi dari
perempuan yang dijadikan sampel dan bagaimana proses keracunan
tersebut terjadi.
Menurut penuturan Pak Nengah sebelum revolusi hijau tersebut
diberlakukan tanah di daerah kawasan Jatiluwih sangat subur. Berbagai jenis hewan yang hidup di sawah masih dapat ditemukan dan
malahan sering dijadikan lauk keluarga Pak Nengah, misalnya saja
seperti belut, belauk 7 , dan capung. Penggunaan padi jenis unggul pun
ternyata membawa dampak pada hilangnya permainan anak-anak
dengan menggunakan batang padi setelah selesai panen. Pada saat
sawah ditanami padi lokal, maka pemanenan dilakukan dengan ani-ani
oleh ibu-ibu petani, dan sisa tangkai padi masih panjang. Tangkai padi
7

Belauk adalah ulat dari capung

100

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

inilah yang sering digunakan sebagai alat permainan anak-anak petani.
Akan tetapi dengan adanya padi jenis unggul sawah seolah tidak beristirahat untuk berproduksi, sawah ditanami terus menerus sepanjang
tahun. Sebagai petani sebenarnya dapat merasakan kelelahan lahan
dalam berproduksi.
Menurut Triguna (2006:627) padi dan sawah memiliki spirit
kehidupan. Dari tahun ke tahun petani menggantungkan hidup pada
hasil sawah yaitu padi, sehingga sawah dan padi sudah dianggap
sebagai ibu pertiwi dan Dewi Kemakmuran bagi masyarakat tani.
Pengandaian ini juga yang merupakan salah satu faktor penguat dalam
pelaksanaan ritual dalam setiap kegiatan pertanian. Kegiatan ritual ini
dilakukan turun temurun dengan maksud memohon berkah dan
anugrah kepada Dewi Kemakmuran agar tanaman yang ditanam dapat
berproduksi dengan baik.

Menuju Pertanian Organik
Situasi yang seolah-olah memarjinalkan petani baik yang disebabkan keadaan maupun kebijakan pemerintah termasuk tekanantekanan terselubung akhirnya menumbuhkan kesadaran petani di
Subak Wongaya Betan melakukan pembebasan diri dari segala situasi
yang tidak menguntungkan. Seperti telah dikemukakan bahwa tekanan
yang terus menerus terhadap seseorang ataupun kelompok orang akan
menumbuhkan gerakan atau pemberontakan ke arah pembaharuan
yang memiliki tujuan lebih baik. Menuju pertanian organik yang
terjadi di Subak Wongaya Betan adalah merupakan gerakan kelompok
kecil individu. Bapak Nengah Suarsana, SH adalah salah satu pelopor
yang mulai memikirkan dampak pertanian modern yang selama ini
dipraktekan di SWB. Di bantu tiga orang temannya yang juga menjadi
anggota subak yaitu I Nyoman Suarya, I Nyoman Setiana dan I Nengah
Sugama, mulai musim tanam tahun 2004 mereka melakukan inovasi
untuk memanfaatkan limbah ternak, limbah perkebunan dan juga
limbah rumah tangga menjadi pupuk organik. Teknologi yang digunakan mereka peroleh dari berita media cetak, Televisi, berita dari

101

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

teman 8 dan juga melakukan kunjungan ke Solo belajar teknologi
pengolahan limbah menjadi pupuk organik. Hasil pengolahan limbah
berupa pupuk organik kemudian diaplikasikan di lahan sawah mereka
masing-masing. Setelah praktik pengolahan limbah menjadi pupuk
organik berhasil dilakukan oleh Pak Nengah Suarsana dan ke 3 (tiga)
temannya, akhirnya pada tanggal 9 Agustus 2004 Pak Nengah Suarsana
membentuk Kelompok Tani dan Ternak ”Utama Sari”. Kelompok ini
beranggotakan 48 petani anggota Subak Wongaya Betan dengan Pak
Nengah Suarsana sebagai ketua kelompok. Pada awalnya pembentukan
KTT ini dilandasi dengan kebersamaan kepentingan untuk menanggulangi permasalahan, menggali inovasi baru untuk kemajuan bersama
dan juga dilandasi dengan kesatuan keinginan untuk mengajegkan
wilayah pertanian di sekitarnya tanpa melupakan spirit agama dan
budaya Hindu Bali.
He..he saya sebagai petani memang tidak pernah puas dan selalu
ingin maju. Pada awalnya ketika kami memiliki rencana untuk
menerapkan pertanian organik tahun 2004, Kepala Dinas
Pertanian Provinsi Bali menertawakan kami karena dianggap
mengada-ada. Akan tetapi kami sebanyak 30 orang kemudian
membentuk kelompok Petani Organik. Setiap anggota petani
memiliki paling tidak 5 ekor sapi yang kemudian kotorannya
dan urinenya akan dimanfaatkan untuk memupuk lahan
pertanian mereka. Kami melaksanakan 2 x penanaman setahun,
dengan 2 bulan bera. Padi yang kami tanam adalah padi lokal.
Secara umum kami mampu mencukupi kebutuhan lahan sawah
kami yang rata-rata kepemilikannya 50 are sawah, 50 are kebun.
Dosis yang digunakan 5 ton per ha – 10 ton per ha pupuk
organik. Hasil yang dihasilkan 6-7 ton GKG per ha. Kalau pakai
pupuk anorganik sampai 9 ton per ha” (Ekayasa, Nengah,
Januari 2010).

Jenis usaha KTT Utama Sari ini adalah komoditas sapi potong dan
pembibitan termasuk pembuatan pakan dan pengolahan kotoran sapi
menjadi pupuk organik yang akan digunakan untuk menuju pertanian
yang berbasis organik. Akan tetapi pada praktiknya, hanya 4 (empat)
petani pelopor yang menggunakan asupan organik di lahan
8 I Nyoman Suarya adalah bekas anggota TNI yang bertugas di Jawa Barat. Beliau
memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang teknologi pengolahan limbah menjadi
pupuk organik.

102

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

pertaniannya. Hal ini karena petani yang lainnya belum memahami sisi
ekonomis dari pertanian organik. Menurut Pak Nengah Suarsana, hasil
yang diperoleh memang lebih rendah dari pada penggunaan pupuk
anorganik, akan tetapi karena harga per kilogram beras organik 2 (dua)
kali lebih tinggi dibandingkan dengan beras anorganik, maka secara
keseluruhan keuntungan yang diperoleh akan lebih tinggi. Demikian
juga pendapat dari ibu Rama (ketua UKM Kuntum Mekar) bahwa
dengan pemakaian pupuk organik, seluruh input pertanian berasal dari
lahan sendiri yaitu dari benih, pupuk,maupun pestisida alami (yang diolah dari urine sapi). Di samping itu harga beras organik per kilogramnya Rp. 25.000,- sedangkan beras anorganik hanya Rp. 12.000,-.
Setelah hampir 2 tahun melakukan praktik pertanian organik (tahun
2004 smapai dengan tahun 2006) ternyata tidak ada anggota subak lain
yang tertarik dengan praktik ini.
Pemerintah (melalui Dinas-dinas terkait) seolah tidak menyadari
ada gerakan masyarakat yang berusaha melakukan penyelamatan
lingkungan dan peningkatan kualitas kehidupan petani. Dengan latar
belakang ekonomi yang cukup mapan dan tentu saja tekad yang kuat
untuk tetap bertahan pada pertanian organik maka akhirnya Pak
Suarsana dan kelompok kecilnya mengundang PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) untuk melakukan kajian tentang praktik organik yang
mereka terapkan. Hal ini dilakukan Pak Suarsana dengan harapan akan
memberikan penjelasan secara ilmiah tentang keuntungan dan peluang
praktik pertanian organik kepada masyarakat yang lebih luas terutama
anggota subak lainnya. Akhirnya pada awal tahun 2006 PPL dari BPTP
(Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Provinsi Bali mulai melakukan
kajian tentang kualitas lahan di areal SWB dan juga penyuluhan
melalui Sekolah Lapangan Pertanian kepada masyarakat dan anggota
Subak Wongaya Betan.
Perhatian lainnya adalah adanya beberapa sumbangan dana dari
Lembaga yang Mengakar di Masyarakat (LM3), dan dana tambahan
dari Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BPSM) Pertanian
Pusat. Modal usaha yang pada awalnya berasal dari iuran anggota
kelompok, pada akhirnya mengalami perkembangan sampai tahun

103

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

2010 adalah 200 ekor sapi, sekitar Rp. 150.000.000,- uang kas dan juga
aset berupa gedung kelompok, dan lahan. Dengan perkembangan yang
cukup pesat dari organisasi ini dan dengan adanya intervensi pemerintah melalui Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan berupa pembinaan di bidang perbaikan mutu sapi dan juga bantuan vaksinasi setiap 6
bulan. Di samping itu penyebaran ternak dengan bantuan bergulir dan
penanganan limbah tetap dibimbing oleh BPTP Bali.
Sejak dilakukan pembinaan baik oleh Dinas Peternakan dan
BPTP (Badan Pengkajian Teknologi Pertanian) Bali, maka eksistensi
KTT Utama Sari semakin baik. Pembinaan yang dilakukan melalui
Sekolah Lapang dan pelatihan ternyata sangat efektif mentransfer ilmu
dan tukar menukar pengalaman antar penyuluh dan petani. Mengamati
perkembangan ini akhirnya dengan prakarsa petani kooperatif yang
diketuai oleh Pak Nengah Suarsana dibentuklah lembaga pelatihan P4S
Somya Pertiwi (P4S) yaitu Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan
Swadaya. Nama ini memiliki arti yang sangat dalam yang berkaitan
dengan kelestarian bumi dan sumber-sumber daya yang berkaitan
dengan pertanian dan lingkungan. Seperti petikan wawancara berikut
dengan Pak Nengah:
”somya artinya mensucikan.......
Pertiwi artinya Tanah, sehingga somya pertiwi artinya adalah
mensucikan tanah. Karena pada revolusi hijau petani dianjurkan
untuk menggunakan pupuk anorganik dan pestisida yang terus
menerus sehingga terjadi kerusakan tanah pertanian dan
menyebarnya penyakit seperti hama wereng coklat, wereng
hijau dan juga hama tikus” (Wawancara, Januari 2010).

Lembaga ini memiliki fungsi yang agak berbeda dengan lembaga
terdahulu karena penekanan pada P4S ini adalah mengembangkan
sektor pertanian melalui berbagai pendidikan dan pelatihan baik bagi
petani anggota Subak Wongaya Betan maupun bagi petani dari kelompok lain maupun dari daerah lain. Dalam perkembangannya ternyata
lembaga ini sering dimanfaatkan pemerintah untuk melaksanakan
pelatihan dan transfer teknologi yang difasilitasi Pemda Tabanan.

104

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

awalnya kami sangat prihatin dengan kerusakan yang dialami
oleh lahan-lahan pertanian disekitar sini, sehingga kami secara
swadaya membentuk P4S ini agar dapat digunakan sebagai
wadah terutama bagi generasi muda untuk memperkenalkan
pertanian dengan lebih menarik...kasarnya bahwa menjadi
petani juga bisa kaya....dan bisa ibu lihat sampai saat ini lembaga ini sudah sering mendapat kunjungan baik dari kelompokkelompok yang berada di Bali bahkan sering juga dikunjungi
oleh kelompok dari NTB, NTT, Bogor, Jawa dan Sulawesi.
Bahkan saya pun sering jalan-jalan hampir ke seluruh
Indonesia ...untuk berbagi pengalaman... (Wawancara, April
2010)

Fungsi lainnya yang sangat mendukung keinginan Subak
Wongaya Betan kembali ke pertanian organik adalah sebagai pusat
pengolahan pupuk organik yang berasal dari limbah sapi, babi, ayam
serta melakukan pemasaran terhadap produk-produk tersebut. Salah
satu produk pupuk organik yang dihasilkan P4S Somya Pertiwi
dipasarkan dengan nama Fine Compost Green Valey. Pupuk ini masih
dipasarkan sampai saat ini, dan merupakan salah satu produk unggulan
dari kelompok P4S ini.

Gambar 13
Produk Kompos
Green Valley dari
P4S
(Dokumentasi:
Martiningsih, 2010)

105

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Keberhasilan Pertanian Organik
Sejak tahun 2004 kelompok petani organik Wongaya Betan mulai
mengusahakan lahan pertaniannya dengan masukan-organik dan
beberapa dampak positif sudah mulai terlihat seperti:
Peningkatan Pendapatan Petani
Menurut informasi Ketua P4S Somya Pertiwi, sejak petani di
wilayah ini beralih ke pertanian organik terdapat implikasi yang
signifikan terhadap pendapatan petani seperti petikan wawancara
berikut:
Walaupun dengan pertanian organik peningkatan hasil baru
akan dirasakan 3-4 x musim tanam akan tetapi kalau dikalkulasi
secara keseluruhan maka pertanian organik lebih menguntungkan dibandingkan dengan melakukan pertanian anorganik.
Oleh karena perbandingan harga bisa 2 x lipat kalau kita melakukan pertanian organik....misalnya harga padi anorganik di
tingkat petani Rp. 6.000,- sedangkan harga beras organik bisa
sampai Rp. 12.000,-

Dari beberapa informasi yang penulis peroleh pada saat
wawancara lapangan bahwa pada saat petani mengusahakan padi
secara anorganik, maka hasil rata-rata per musim tanam padi
unggul adalah 6-7 ton per hektar. Dengan rata-rata harga padi
Rp. 6000,- per kilogram, maka pendapatan petani per hektar
sebesar Rp. 42 juta rupiah. Nilai ini juga harus dikurangi dengan
biaya pembelian obat-obatan kimia dan pupuk kimia. Pada saat
petani mengusahakan secara organik, hasil padi per musim
tanam berkisar antara 8-10 ton. Dengan harga padi organik Rp.
12.000,- per kilogram, maka pendapatan petani per tahun sebesar
120 juta rupiah, biaya ini diterima bersih oleh petani karena
pupuk dan obat-obatan pembasmi hama dan penyakit sudah
mereka hasilkan secara mandiri.

106

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

Walaupun belum banyak petani yang mau meniru pertanian
organik yang digagas P4S, akan tetapi lembaga ini tetap terbuka untuk
membantu konsultasi masalah cara-cara bertani secara organik. Di
samping itu karena tidak semua anggota subak menjadi anggota lembaga ini, maka keharusan anggota subak melaksanakan pertanian organik belum masuk ke dalam awig-awig subak. Sehingga sanksi terhadap
anggota pun belum dapat diterapkan. Akan tetapi dengan telah disetujuinya sertifikasi organik pada 3 Nopember 2009 terhadap beras
organik Subak Wongaya Betan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN)
Organik Indonesia maka, akhirnya pelaksanaan pertanian organik
masuk ke dalam awig-awig Subak Wongaya Betan. Dengan diraihnya
sertifikat organik maka produk beras organik Subak Wongaya Betan
mulai dapat dijual langsung oleh Subak Wongaya Betan ke pasaran,
sehingga keuntungan akan langsung diperoleh oleh anggota Subak
Wongaya Betan karena tanpa perantara.
Sertifikat organik yang kami raih adalah prestasi bersama baik
anggota subak, pembina (BPTP Bali), Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan dan seluruh pihak yang terkait. Akhirnya jerih
payah kami selama hampir 5 tahun menunjukkan hasil. Mudahmudahan keberhasilan ini menjadi contoh yang akan ditiru oleh
petani-petani yang lain sehingga menjadi petani adalah sebuah
kebanggaan.. (Wawancara, April 2010)

Beras organik produksi Subak Wongaya Betan juga dipasarkan
melalui perusahaan yang melakukan kerjasama dengan Subak
Wongaya Betan. Misalnya CV. Agri Dewata yang berlokasi di Kota
Denpasar, secara kontinu memasarkan produk beras organik Subak
Wongaya Betan. Bahkan informasi dari direktur CV. Agri Dewata Pak
Made Budiana, banyak sekali peminat beras organik Subak Wongaya
masih belum mencukupi tingginya permintaan pasar.

107

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

( a)

(b)

Gambar 14 (a) dan (b) Produk Beras Organik Bersertifikat SNI
(Dokumentasi: Martiningsih, 2010)

Perbaikan Lingkungan dan Ekosistem Sawah
Pelaksanaan pertanian organik di Subak Wongaya Betan, ternyata juga berimplikasi pada lingkungan dan ekosistem sawah. Karena
dengan dilakukannya pertanian organik berarti radius penggunaan
masukan organik harus tetap terjaga. Berdasarkan paparan Pak Nengah
saat ini sudah 25 hektar sawah di sekitar Wongaya Betan yang berbasis
organik. Sehingga dari wawancara dengan Pak Ekayasa tercermin flora
fauna yang dulunya pernah hilang seperti capung, belauk, kupu-kupu,
belut, dan juga ular sudah mulai kembali nampak di sekitar persawahan.
108

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB)…

Dengan pertanian organik maka makhluk hidup seperti belut,
belauk, capung, kupu-kupu, ular, cacing dan ganggang saat ini
semakin banyak dan juga struktur tanah akan semakin baik.
Dan anehnya...hama dan penyakit seperti wereng, tikus semakin
sedikit..dan malah tidak ada.. (Wawancara, April 2010)

Pada waktu mahasiswa doktoral Program Studi Pembangunan
UKSW melakukan kunjungan ke lokasi Subak Wongaya Betan pada
Januari 2010, terlihat di areal persawahan banyak tumbuh ganggang.
Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa lahan tersebut memiliki
kandungan unsur hara yang baik. Di samping itu karena pemanfaatan
limbah kotoran sapi maupun limbah-limbah organik lainnya seperti
sekam, jerami sudah diolah baik sebagai pakan ternak organik dan
pupuk organik maka pencemaran lingkungan akibat bau dan jerami
maupun sekam padi sudah tidak ada lagi. Semua sudah terproses secara
berkesinambungan tanpa ada yang terbuang.
Peningkatan Peran Perempuan
Menurut hasil penelitian Yuliana (2010) transformasi pertanian
organik memiliki makna spiritual. Hal ini berarti dengan kembalinya
pelaksanaan pertanian organik yang juga dikenal dengan pertanian
para leluhur, semua sistem subak yang sempat melemah akibat revolusi
hijau kembali diperkuat. Penanaman padi mulai kembali ke padi lokal
(padi del) baik padi merah maupun hitam. Pelaksanaan ritual yang
menjadi titik dasar kegiatan subak juga kembali berjalan normal.
Malahan menurut Yuliana (2010) dengan keberhasilan pertanian
organik meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani hal ini
juga sudah dijelaskan pada bahasan sebelumnya dengan praktik organik
maka di samping semua masukan usaha tani berasal dari lahan sendiri,
harga produk organikpun 2 kali lipat dari produk anorganik. Dampak
lainnya tentu saja pada kuantitas dan kualitas pelaksanaan ritual,
dimana dengan kembali melakukan praktik tradisional maka kuantitas
dan kualitas ritual semakin meningkat. Hal ini tercermin dari hasil
wawancara dengan Ibu Intan (35):

109

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Ibu-ibu maupun bapak-bapak nya sekarang lebih sering sembahyang ke Pura Subak. Karena kami semua terus-menerus
bersyukur sudah diberikan hasil yang meningkat. Walaupun
sarana yang digunakan sama tetapi interval kami untuk bersujud
syukur lebih sering (Wawancara, 8 Maret 2010)

Dengan semakin intensifnya pelaksanaan ritual peran perempuan
dalam persiapan sesajen tentu juga semakin meningkat. Demikian juga
dengan keputusan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian akan
diatur kelompok yang pada lembaga P4S Somya Pertiwi dilakukan oleh
perempuan taninya lihat skema manajemen P4 Somya Pertiwi. Dari
skema tersebut sangat jelas bahwa peran perempuan berada di segala
lini, baik di lini pertanian di lapangan (karena dengan pertanian
organik pemberantasan hama dan penyakit dilakukan secara mekanis
maka peran perempuan dalam pemberantasan hama dan penyakit juga
semakin tinggi), peternakan, pengolahan limbah, penjemuran gabah,
penggilingan gabah, pembuatan teh beras merah organik, sampai ke
pemasaran.
Semua keputusan dalam pemasaran ha