Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB VII

Bab Tujuh

Kearifan Lokal Modal Pelestarian
Ketahanan Pangan dan Hayati
di Subak Wongaya Betan

Pengantar
Ada tantangan yang dihadapi subak saat ini dan masa yang akan
datang yaitu dalam menghadapi globalisasi dan liberalisasi zaman.
Tantangan-tantangan tersebut di antaranya adalah: (1) adanya kompetisi/persaingan dalam memasarkan hasil produksi di pasar yang harus
bersaing dengan porduk-produk impor yang memiliki mutu dan
kontinuitas produksi yang lebih baik; (2) menurunnya keinginan
generasi muda menekuni bidang pertanian sebagai sumber kehidupan/
pekerjaan; (3) kendala petani dalam pengaturan air irigasi dan pembayaran air irigasi; (4) berkurangnya area pertanian karena terjadi
konversi besar-besaran ke penggunaan yang lain; (5) degradasi lingkungan dan keterbatasan ketersediaan air.
Tantangan tersebut sudah dirasakan anggota subak dimana untuk
wilayah Bali dengan kebijakan pemerintah daerah yang berbeda, beberapa kabupaten/kota kurang intensif membuat kebijakan yang mampu
melindungi eksistensi subak di wilayahnya. Misalnya saja Kabupaten
Gianyar dan Kota Denpasar yang pertama terkenal dengan pengembangan wisata kerajinan dan yang kedua sangat identik dengan daerah
urban. Di kedua kabupaten ini keberadaan subak seperti telur di ujung
tanduk, dalam arti mati segan hidup pun tidak mau, karena kondisi

masyarakat tidak semuanya menekuni usaha wisata, masih ada bebe155

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

rapa penduduk yang menggantungkan hidup pada kegiatan pertanian.
Situasi yang agak berbeda dengan fenomena di atas terjadi di
Kabupaten Tabanan, dimana kabupaten ini merupakan lokasi Subak
Wongaya Betan yang menjadi unit penelitian ini justru masih sangat
tergantung pada keberadaan pertanian. Hal ini karena Kabupaten
Tabanan merupakan kabupaten yang dikenal sebagai lumbung
berasnya Bali. Komitmen ini dapat dilihat dari data jumlah subak yang
masih aktif di Tabanan dan daerah lain seperti yang dipaparkan oleh
Dinas Pekerjaan Umum Provinsi seperti di bawah ini:
Tabel 4
Jumlah subak di Masing-masing Kabupaten di Bali
No

Kabupaten/Kota

Jumlah Subak Gede


Jml. Subak Anggota

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Tabanan
Bangli
Klungkung/Semara Pura
Jembrana
Buleleng
Badung
Gianyar

Karangasem
Denpasar
Total

9
2
10
5
7
2
6
0
0
41

95
30
39
56
64

21
79
0
0
384

Sumber: Bali in Figure (2009)

Dari Tabel tersebut memang Tabanan merupakan daerah dengan
jumlah subak yang terbanyak, dan 15 di antaranya berada di kawasan
Jatiluwih yang termasuk dalam Kawasan Catur Angga yang dinominasikan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Dari fakta
tersebut sebenarnya sangat relevan apabila Tabanan dianggap sebagai
ujung tombak ketahanan pangan dan hayati Provinsi Bali, dan merupakan peluang yang sangat penting bagi kelestarian daerah pertanian di
Bali.
Beberapa peluang yang juga menjadi kekuatan subak untuk tetap
eksis dan berperan dalam ketahanan pangan dan ketahanan hayati di
Bali khususnya dan di Indonesia umumnya adalah: (a) organisasi yang
relatif mantap seperti adanya struktur yang jelas, kepengurusan yang
156


Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati…

jelas wewenang dan tanggung jawabnya, dilengkapi dengan awig-awig
(peraturan-peraturan) dengan berbagai sanksinya; (b) setiap anggota
subak berhak melakukan pengawasan dan monitoring terhadap siapa
saja termasuk pengurusnya dalam menerapkan peraturan yang telah
disepakati bersama; (c) semangat gotong-royong yang tinggi dalam
melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan subak terutama
dalam pemeliharaan jaringan fisik dan kegiatan ritual subak. Ritual
subak merupakan unsur pemersatu para anggotanya sehingga subak
menjadi organisasi yang kuat dan tangguh; (d) subak memiliki batas
wilayah yang jelas dan berdasarkan prinsip hidrologis bukan atas dasar
kesatuan administratif; (e) subak mempunyai landasan filosofis Tri Hita
Karana yang menekankan pada keseimbangan dan keharmonisan yakni
keseimbangan dam keharmonisan antara manusia dengan sesamanya,
dengan alam lingkungannya dan dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai
pencipta segala yang ada di alam semesta ini. Ini berarti bahwa
memiliki potensi yang sangat besar untuk berperan sebagai pengelola
sumberdaya alam guna mendukung pembangunan berkelanjutan.
Subak memiliki mekanisme penanganan konflik yang timbul di kalangan anggotanya maupun antara anggota subak yang bersangkutan

dengan anggota dari subak lain; (f) Awig-awig dapat diubah dan disesuaikan menurut keadaan yang selalu berubah berdasarkan kesepakatan seluruh anggota subak; (g) penggalian dana sebagai salah satu fungsi
penting dari subak untuk membiayai perbaikan dan pemeliharaan
jaringan irigasi serta untuk keperluan penyelenggaraan ritual. Banyak
subak telah menunjukkan kemampuannya menggali dana dengan berbagai cara seperti melalui usaha simpan pinjam, pengumpulan denda,
pemungutan iuran dari anggota, menyewakan areal persawahan subak
untuk pengembalaan itik, dll (Sutawan, dkk., 1995).
Di samping potensi internal subak yang sudah disebutkan di atas,
penguatan dari pemerintah pun sangat memberikan harapan untuk
eksistensi subak di masa datang, misalnya dari beberapa legalitas pemerintah melalui: (1) INMENDAGRI No. 42/1995 tentang Petunjuk
Pelaksanaan PERMENDAGRI No. 12 / 1992 tentang Pembentukan dan
Pembinaan P3A, yang memberikan kesempatan kepada P3A/subak
untuk melakukan usaha ekonomi; dan (2) UU No. 12/1992 tentang
157

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Sistem Budidaya Tanaman yang salah satu pasalnya menyebutkan
bahwa petani diberikan kewenangan menentukan jenis tanaman yang
diusahakan.
Sutawan (2008) sudah menyinggung penguatan dalam hal legalisasi, kelembagaan, kewenangan. Sedangkan kekuatan yang disebutkan

terkait dengan Tri Hita Karana tidak disinggung sama sekali. Padahal
filosofi ini sebenarnya dapat dieksplorasi lebih dalam karena merupakan sebuah kekuatan yang sangat mungkin di gunakan dalam jangka
panjang untuk menjaga eksistensi subak. Berkaitan dengan hal tersebut
maka dalam bab ini akan dikemukakan beberapa aktivitas anggota
subak termasuk juga perempuan dalam menjalani kehidupan keseharian baik dalam aktivitas di lahan pertanian, rumah tangga dan kegiatan
ritual sehari-hari dan ritual dalam subak. Hal ini penting karena subak
adalah sebuah organisasi yang bersifat sosio-religius. Jadi akan sangat
terkait dengan kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan yang tentu saja
juga sangat kuat tertanam dalam masyarakat Hindu Bali.

Ritual sebagai Fungsi Subak Wongaya Betan
Menurut beberapa ahli di bidang subak (Sutawan,2008; Wiguna;
2008; Windia, 2010) yang membedakan subak di Bali dengan organisasi
pengelolaan air di tempat lain adalah adanya beberapa ritual yang
dilakukan subak di Bali. Hal ini juga menjadi ketertarikan dari Lansing
(1987) bahwa yang menghubungkan jaringan subak di Bali adalah
adanya keterkaitan pura subak di antara subak-subak tersebut. Jadi
pura subak merupakan modal bagi subak-subak yang ada di Bali untuk
berjejaring dan saling menguatkan. Hal ini mungkin suatu saat akan
mampu dimanfaatkan sebagai modal untuk mempertahankan pertanian

di Bali, sehingga ketahanan pangan dan hayati dapat dilestarikan.
Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa keberadaan pura
subak akan selalu terkait dengan salah satu tugas dan fungsi subak di
Bali yaitu ritual yang harus secara terus menerus dilakukan dalam pura
subak. Malahan dari hasil wawancara maupun beberapa pustaka
tentang subak, ritual yang dilakukan sangat intens. Coward (1987)
menyebutkan bahwa ada beberapa peran atau tugas subak yaitu:
158

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati…

(a) distribusi air; (b) memelihara sumber daya alam yang terus menyusut; (c) memelihara jaringan irigasi; (d) menyelesaikan konflik antar
anggota.
Dan Windia (2010) menambahkan bahwa di Bali subak juga
memiliki fungsi sebagai pelaksana aktivitas ritual. Aktivitas inilah yang
membuat subak di Bali sangat khas dan berbeda dibandingkan dengan
subak di daerah ataupun negara lainnya. Sehingga beberapa kalangan
menyebutkan subak sebagai sistem irigasi-plus. Plus yang dimaksudkan
di sini adalah dalam melakukan kegiatan ritual (upacara) tersebut.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa sistem subak di Bali berdasarkan pada:

(1) keharmonisan dan kebersamaan; (2) konsep Tri Hita Karana yang
memiliki arti adalah keharmonisan hubungan antara manusia dengan
Tuhan dan lingkungan.
Dalam orasi ilmiahnya Windia menyatakan, dalam rangka mempertahankan eksistensi subak di Bali, pendekatan harus dilakukan
secara holistik dan komprehensif tidak hanya dari pendekatan fisik
(yang sudah sering dilakukan selama ini) tetapi juga dari pendekatan
budaya setempat (untuk di Bali perlu pendekatan budaya termasuk
agama dan adat) Bali. Namun hingga saat ini belum ada peneliti yang
melakukan pendalaman pada aspek-aspek tersebut di atas. Apalagi
kalau dikaitkan dengan semakin melebarnya makna ritual yang
dilakukan umat Hindu Bali secara keseluruhan. Peneliti menduga hal
ini juga akan berimbas pada ritual-ritual yang dilakukan subak. Salah
satu objek bahasan Windia (2010) juga tentang pelebaran makna ritual
lintas generasi.

Kearifan di Subak Wongaya Betan
Menurut Windia, dkk (2002 dan 2006) dalam penelitiannya di
Gianyar menunjukan peran subak dalam mentransformasikan kebudayaan Bali (khususnya konsep Tri Hita Karana) cenderung lebih kuat
dibandingkan dengan desa adat. Oleh karenanya, perlu dikaji berbagai
kiat agar subak di Bali dapat terus berlanjut. Dengan demikian kebudayaan Bali akan semakin kokoh, dan juga diharapkan dapat menjaga

keberlanjutan pertanian sehingga ketahanan pangan dan kelestarian
159

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

lingkungan tetap dapat terjaga. Ditambahkan bahwa jaringan pura
subak memiliki kekuatan mengikat anggotanya lebih kuat dibandingkan dengan jaringan adat.
Walaupun masih banyak keraguan dari ilmuwan Barat (asing)
tentang pelaksanaan ritual yang dilakukan di Bali, karena mereka
belum mendapat penjelasan ilmiah dari pelaksanaan ritual tersebut.
Misalnya ritual ngaben tikus yang dilakukan hampir setiap tahun
sekali. Dari sisi masyarakat Hindu Bali (petani) menganggap bahwa
dengan dilakukan ngaben tikus diharapkan tikus tidak akan menggangu tanaman petani. Memang kalau dilihat dari makna mungkin
akan sangat sulit mencari penjelasan ilmiah dari ngaben tikus tersebut.
Akan tetapi kalau dicari realitasnya memang dengan dilakukannya
ngaben tikus hama tikus akan semakin sedikit dan akan semakin jarang
menyerang tanaman petani. Ada pengalaman yang dialami oleh petani
di Subak Wongaya Betan bahwa keputusan melaksanakan pertanian
organik ternyata juga tanpa disadari mampu mengurangi serangan
hama khususnya tikus di areal subak. Hal ini diceritakan oleh Ibu

Rama bahwa dengan mengalirkan urine sapi ke areal sawah pada masamasa bera ternyata serangan tikus pada tanaman padi Ibu Rama
berkurang.
Ibu Rama dan suaminya menduga dengan mengalirkan urine sapi
ke areal tanaman padi berdampak terhadap berkurangnya serangan
hama tikus. Hal ini seolah-olah semakin meyakinkan petani Subak
Wongaya Betan untuk tetap menerapkan pertanian secara organik,
terlebih ketika serangan hama tikus sangat merajalela pada subak yang
terletak di hilir Subak Wongaya Betan. Subak tersebut adalah Subak
Belulang, subak ini belum melaksanakan pertanian organik sehingga
pada musim yang sama mengalami serangan tikus yang lebih banyak,
malahan petani di Subak Belulang tidak mampu berproduksi sama
sekali. Penjelasan ilmiah dari ngaben tikus banyak diperbincangkan
juga. Dari sisi Western Scientist menganggap bahwa berkurangnya
jumlah serangan tikus karena tikus diburu (digropyok) maka jumlahnya otomatis akan berkurang untuk masa tersebut, tanaman yang diserang pun akan semakin sedikit. Mungkin perlu juga dilakukan obser-

160

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati…

vasi waktu pelaksanaan penggropyokan. Dari wawancara di lapangan,
subak sudah memiliki jadwal untuk melakukan penggropyokan tikus.
Kegiatan penggropyokan ini nantinya bermuara pada ritual ngaben
tikus dan sebenarnya merupakan salah satu kearifan lokal yang masih
eksis di lingkungan Subak Wongaya Betan, dan masyarakat petani
masih meyakini aktivitas ini sebagai aktivitas yang menguntungkan
bagi kegiatan pertanian mereka.
Kearifan lokal di masyarakat petani di Subak Wongaya Betan
khususnya dan Bali umumnya adalah merupakan sesuatu yang bersifat
saling menguatkan antara hubungan manusia dengan sang Pencipta,
dengan sesama dan dengan lingkungan. Hal ini tentu saja sangat erat
kaitannya dengan implementasi dari filosofi Tri Hita Karana yang
masih diakui eksistensi dan kekuatannya dalam menjaga kehidupan
masyarakat Hindu Bali. Kekuatan kearifan lokal yang dimiliki subak
juga menjadi perhatian Norken, dkk (2007) yang berpendapat berbagai
kearifan atau kecerdasan lokal yang dimiliki subak sangat bermanfaat
dalam usaha pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati.
Windia (2008a dan 2008b), juga menunjukkan hal yang senada, bahwa
identitas subak sebagai organisasi tradisional Bali memiliki sifat dasar
sosio-kultural atau sosio-religius yang unik, unggul, dan kaya kearifan
lokal. Kearifan lokal dengan berbagai kecerdasan yang dimiliki,
merupakan bagian dari kebudayaan. Kearifan lokal dalam organisasi
subak memperoleh keunikan lokal berbasis konsepsi Tri Hita Karana
dan mendapat apresiasi universal terkait esensi dari pelestarian melalui
keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia, dan lingkungan.
Esensi kearifan lokal subak adalah komitmen yang tinggi terhadap kelestarian alam, rasa religiositas, subjektivitas manusia dan
konstruksi penalaran yang berempati pada persembahan, harmoni,
kebersamaan, dan keseimbangan untuk jagadhita 1 yang berkelanjutan.
Komitmen masyarakat petani di Subak Wongaya Betan terhadap esensi
kearifan lokal dan praktik tradisional seolah-olah sudah menjadi
kegiatan keseharian mereka. Misalnya seperti pada pelaksanaan ritual
yang sebenarnya merupakan sebuah persembahan kepada Sang
1

Jagdhita berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kesejahteraan

161

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Pencipta, agar keharmonisan hubungan antara anggota subak dengan
lingkungan, dengan sesama anggota subak dapat tetap terjaga. Di
samping itu pelaksanaan praktik tradisional seperti penggunaan sapi
untuk membajak sawah sebenarnya merupakan suatu usaha untuk
menjaga keseimbangan daya dukung lahan di areal subak yang
memang sebagian besar terdiri dari tanah dengan topografi miring.
Kegiatan kembali ke pertanian organik juga memiliki esensi bahwa
sang pencipta sudah menyediakan sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan untuk mencapai kesejahteraan, tanpa menimbulkan pencemaran bagi sumber daya lainnya. Karena pertanian organik sangat ramah
lingkungan dan juga aman bagi kesehatan manusia.
Keterikatan petani dalam organisasi subak selain karena awigawig subak yang berlandaskan Tri Hita Karana (sudah dijelaskan pada
bab empat), ternyata juga merupakan keterikatan emosional. Keterikatan emosional inilah menurut Geertz (1959) merupakan keterikatan dimensi keempat, dimana dimensi-dimensi tersebut adalah; parhyangan,
pawongan, palemahan dan emosional.
Di tengah hiruk-pikuk keluasan dampak sekuler dan vulgar
modernisasi dan globalisasi (Appadurai, 1993), masyarakat kembali
menoleh potensi kearifan lokal. Kearifan lokal yang dibangun melalui
kedalaman mitologi dalam sinergi nilai-nilai luhur kebudayaan seperti
religius, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan yang dinamik
memperoleh roh dan basis modal spiritualitas. Etos kebangkitan kearifan lokal mendapat momentum terkait dengan kebutuhan dan
harapan masyarakat secara teks dan konteks yang kaya akan fungsi dan
makna.
Berbagai peneliti asing telah melaporkan tentang keragaman
kearifan lokal yang tercakup dalam organisasi tradisional subak. Peneliti asing seperti Grader(1984), dengan wilayah kajian Jembrana Geertz
(1959) dengan lokasi kajian Tabanan, Badung dan Klungkung Lansing
(1991) dengan wilayah Bangli telah mengungkap dan melaporkan
tentang perkembangan subak dengan aneka kearifan lokal. Peneliti
lokal seperti Bagus (1971), Geriya (1985), Pitana (1993), Windia (2006),
Norken (2007) telah memperkaya dan menguatkan tentang kearifan
162

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati…

yang tercakup dalam organisasi subak. Dari sekian peneliti tersebut
dengan rentang kajian yang sudah cukup luas ternyata belum pernah
memfokuskan kajiannya pada perempuan dalam memaknai ritual yang
demikian intensif dilakukan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam kaitannya dengan subak. Di samping itu aktivitas perempuan di
bidang pertanian pun masih belum mendapat penekanan, padahal
peran perempuan sangat besar dalam keberlangsungan produksi pertanian yang tentunya akan sangat berkaitan dengan ketahanan pangan
dalam keluarga dan komunitas. Jadi peran perempuan dalam setiap
aktivitas Subak Wongaya Betan sangat dominan sehingga penekanan
pada peran perempuan akan menyebabkan penelitian ini berbeda
dengan kajian peneliti yang lainnya.
Kearifan lokal sebagai bagian dari kebudayaan menurut para
antropolog memiliki bentuk, fungsi, makna, dan etos yang dalam.
Keseluruhan kearifan lokal yang tercakup dalam organisasi subak di
Wongaya Betan adalah:
Kearifan Religius
Kearifan ini sangat fokus pada keyakinan tentang ketuhanan,
spiritualitas yang merupakan roh kehidupan berorganisasi subak.
Adanya elemen pura subak yang menjadi pengikat setiap anggota subak
untuk tetap melaksanakan ritual, merupakan salah satu penyebab
bahwa kearifan religius merupakan satu modal untuk mempertahankan keeratan hubungan baik antar anggota dalam satu subak maupun
antar anggota subak yang lainnya. Sistem simbol dan akivitas ritual,
bukan saja ranah parhyangan, namun juga ranah palemahan dan
pawongan terkait dengan konsep suci dan leteh, sehingga komunitas
subak memelihara dan menjaga kesucian seluruh ranah subak dan
mencegah proses keletehan, termasuk tanah, sumberdaya air sampai
dengan prilaku krama subak. Bagi anggota Subak Wongaya Betan areal
sawah dan lahan pertanian adalah suci sehingga mereka meyakini
bahwa menjaga kesucian lahan pertanian merupakan sebuah kewajiban
dan tanggung jawab terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

163

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Menurut keyakinan setiap anggota Subak Wongaya Betan lahan
pertanian adalah tempat berstananya (sebagai tempat tinggal) Dewa
Kesuburan yaitu Dewa Sri dan Dewa Pertiwi. Kepercayaan terhadap
manifestasi Tuhan sebagai Dewa Sri dan Dewa Pertiwi ini yang
menyebabkan pada setiap hulu (biasanya arah Utara atau Timur) lahan
pertanian termasuk sawah selalu dibangun tugu 2 sebagai tempat sesajen
pada saat melakukan ritual. Pada tugu inilah setiap anggota subak akan
melaksanakan ritual secara mandiri. Areal di sekeliling tugu biasanya
sangat dijaga kesuciannya karena mereka menganggap tugu tersebut
sama fungsinya dengan pura subak yang dalam lingkup individu
disebut pura Ulunsuwi (Gambar 14 b). Oleh karena kesucian dianggap
pangkal harmoni dan keletehan adalah signal disharmoni, maka
anggota subak meyakini kesucian menguatkan jagadhita dan keletehan
mengganggu jagadhita.
Dalam kaitannya dengan kearifan religius maka eksistensi
parhyangan (pura subak) dalam setiap sendi kehidupan anggota subak
sangat terlihat. Misalnya saja tercermin dari tempat pelaksanaan yang
berstrata dari lingkup kecil (ulunsuwi) yang terletak pada masingmasing sawah. Pura Ulunsuwi ini menjadi tanggung jawab individu
anggota subak. Strata menengah (masceti) dan Pura Bedugul yang terletak pada hulu areal subak. Pura Masceti dan Pura Bedugul ini merupakan tanggung jawab seluruh anggota Subak Wongaya Betan. Pura
Penaringan juga merupakan salah satu pura yang menjadi tanggung
jawab Subak Wongaya Betan. Pura Ulun Danu yang memiliki lingkup
lebih luas (karena menjadi tanggung jawab subak se Kabupaten
Tabanan terletak di Danau Tamblingan dan Buyan di lereng Gunung
Batukaru. Keseluruhan pura-pura tersebut merupakan simbol dan
media sakral kearifan religius Subak Wongaya Betan.

Tugu yang disebut bedugul: adalah bangunan yang dibuat dari bahan batu bata
sebagai tempat pemujaan Sang Pencipta dan seluruh manifestasinya. Bangunan ini pada
beberapa anggota subak ada juga yang terbuat dari bamboo yang disebut sanggah.
Dalam hal ini tugu dan sanggah memiliki fungsi yang sama.

2

164

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati…

Kearifan Budaya
Kearifan budaya sangat erat mengikat setiap segi kehidupan
anggota Subak Wongaya Betan. Tatanan nilai, tatanan aktivitas subak
yang selalu berlandaskan filosofi, Tri Hita Karana yang mengajarkan
tiga keseimbangan hubungan yaitu hubungan religius terhadap Tuhan,
hubungan humanis dengan sesama manusia dan makhluk hidup lainnya, serta hubungan dengan lingkungan. Keyakinan warga subak yang
mengkonsepsikan tanah sebagai Ibu Pertiwi, air sebagai simbol Dewa
Wisnu dan padi sebagai Dewi Sri memperkuat eksistensi kearifan
kultural yang dijiwai oleh agama Hindu. Di samping itu adanya keterikatan organisasi subak dengan adat di tingkat Desa, yang mengharuskan setiap anggota subak berperan dalam kedua tatanan tersebut
sangat kuat mencerminkan budaya Hindu Bali. Pelaksanaan siklus
ritual terhadap tanaman padi yang sejalan dengan upacara siklus hidup
manusia merupakan refleksi humanisasi dan penghargaan petani terhadap tanaman, hewan dan aneka sumberdaya alam (hutan, sumber air).
Dalam hal ini tercermin hubungan saling membutuhkan (resiproksitas). Isu yang paling hangat saat ini adalah Subak Wongaya Betan merupakan salah satu subak yang terletak pada kawasan cultural heritage
yang merupakan apresiasi secara lokal, nasional dan dunia melalui
organisasi UNESCO yang menominasikan kawasan Catur Angga
Batukaru sebagai World Heritage.
Kearifan Lingkungan
Kearifan lingkungan terfokus pada konservasi, keseimbangan dan
sustainabilitas lingkungan. Pemuliaan terhadap tanah, air dan aneka
sumberdaya menjadi preferensi para petani yang dikuatkan secara etik
dan perundang-undangan (awig-awig), dan sebaliknya pencemaran
terhadap tanah, air dan sumberdaya juga dicegah melalui tindakan,
awig-awig dan sistem ritual. Berbagai teknik konservasi, dari konsepsi
preservasi sampai dengan adaptasi yang diimplementasikan oleh organisasi subak yang cukup arif terkait dengan penghematan, kelancaran
dan pembatasan polusi aneka sumberdaya alam. Etika dan estetika
lingkungan merupakan kearifan ekologis yang mampu memancarkan
pesona persawahan dan budaya agraris di Bali.
165

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Dari penjelasan ketiga kearifan tersebut sebenarnya ada beberapa
kearifan lokal yang juga terikat pada ketiga kearifan sebelumnya, akan
tetapi tidak begitu memiliki kekuatan mendasar sebagai kearifan yang
mampu mempertahankan keberlanjutan subak dan lahan pertanian di
kawasan Jatiluwih ini atau dengan kata lain sering mengalami pelemahan, misalnya saja kearifan institusional, yang terfokus pada potensi
integritas organisasi subak ke ”dalam” dan ke ”luar”. Ke ”dalam” ditujukan kepada warga subak dan ke ”luar” ditujukan kepada organisasi
lain yang terkait dengan subak. Integritas ke ’dalam’ tentu saja adanya
awig-awig subak yang selalu mengikat setiap anggota subak untuk
mentaati awig-awig tersebut.
Kemudian integritas ke ”luar” dimulai dari sinergisme subak
dengan desa pakraman (adat), di mana akan selalu ada musyawarah
dalam menyikapi kepentingan subak dan adat. Hal ini sering terjadi
pada anggota Subak Wongaya Betan dimana pada suatu saat mereka
harus menyesuaikan kegiatan subak dengan kegiatan adat yang dilaksanakan di desa, sehingga kedua kegiatan tersebut dapat berjalan
beriringan (seperti telah disinggung juga pada bab empat). Integritas ke
”luar” adalah hubungan subak dengan berbagai instansi pemerintahan
seperti Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas
Kebudayaan. Hubungan dengan institusi pemerintah ini terlihat hanya
sebatas koordinasi, karena menurut Pekaseh Subak, otoritas pemerintah terutama Dinas Pekerjaan Umum hanya sebatas pada kewajiban
membantu pemeliharaan saluran irigasi teknis. Institusi pemerintah
tidak ikut campur dalam tata cara pembagian air yang dilakukan oleh
subak. Malahan sering fungsi subak juga terlihat dalam penyelesaian
konflik air antar anggota.
Menurut Pak Alit Arthawiguna, dari pengalaman ternyata
konflik mulai muncul setelah pemerintah mulai ikut campur dalam
pembagian air. Kalau sebelumnya di Subak Wongaya Betan belum
pernah ada konflik dalam hal pembagian air. Hal ini karena konsep
yang dipakai oleh subak adalah konsep gotong royong. Gotong royong
dilaksanakan untuk menyelesaikan kewajiban subak secara bersama
atau ngayah, seperti dalam ritual. Gotong-royong dan tolong-menolong

166

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati…

dilaksanakan tatkala petani saling membantu satu sama lain dalam
menggarap sawah, seperti mencangkul dan menanam melalui konsep
ngoopin 3 bersifat resiproksitas dan non-bayar. Kearifan institusional
juga dapat menggambarkan kemampuan subak melakukan koordinasi
dengan semua komponen yang terkait dengan perannya, sehingga
sebenarnya kearifan institusional subak ini juga terefleksi dari sifat
keterbukaannya yang responsif.
Kearifan lokal lainnya adalah kearifan yang bersifat ekonomis,
produktif. Seperti misalnya adanya bangunan jineng pada setiap rumah
tangga anggota subak sebagai bangunan penyimpanan hasil pertanian.
Seperti telah dikemukan pada penjelasan sebelumnya bahwa jineng
merupakan salah satu elemen yang tidak terpisahkan dari struktur pura
subak, Balai Subak dan juga dalam rumah setiap anggota Subak
Wongaya Betan. Demikian juga dalam rangkaian ritual jineng merupakan salah satu bangunan yang harus diupacarai terlebih dulu sebelum
hasil panen disimpan di dalam jineng. Sejak tahun 2010, Subak
Wongaya Betan telah memiliki jineng secara kelompok, bantuan dari
pemerintah Provinsi Bali. Kalau secara lebih mendalam jineng juga
dapat diartikan sebagai salah satu strategi penyimpanan pangan dalam
rangka usaha menjaga ketahanan pangan keluarga maupun kelompok
subak.
Menurut penuturan Ibu Rama, jineng dulu memang sangat
bermanfaat untuk menyimpan padi yang baru habis di panen. Petani
akan mengeluarkan padi dari jineng kalau ingin menjual padinya, dan
sisanya tetap disimpan dalam jineng. Sewaktu-waktu kalau diperlukan
untuk keperluan keluarga, maka padi akan dikeluarkan lagi dari jineng.
Memang penyimpanan di jineng membuat padi sangat awet dan jarang
terserang kutu seperti yang dialami padi kalau disimpan dalam
penyimpanan yang lain. Struktur bangunan jineng dari anggota Subak
Wongaya Betan adalah biasanya berlantai kayu dan berdinding gedeg
(anyaman bambu), hal ini menyebabkan bangunan jineng memiliki
aerasi yang sangat baik. Penyimpanan padi di jineng bisa bertahan
sampai 2-3 tahun. Oleh karena hasil panen saat ini sebagian sudah
3

Ngoopin: konsep ini sama dengan ngayah (membantu)

167

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

dijual, maka lama padi di jineng paling satu musim. Demikian selanjutnya akan terisi pada musim panen berikutnya. Walaupun demikian,
petani jarang mengosongkan jinengnya, pasti masih ada beberapa ikat
padi yang tersisa. Hal ini karena jineng harus di upacarai juga setiap
harinya, Ibu Rama menambahkan.

Awig-awig subak yang mencakup awig-parahyangan, awigpawongan, dan awig-palemahan juga merupakan sebuah kearifan yang
menguatkan subak untuk tetap menjaga kesimbangan hubungan antara
Tuhan, Manusia dan Lingkungan. Kegiatan Subak Wongaya Betan
yang sejak tahun 2004 beralih ke pertanian organik juga merupakan
sebuah kekuatan dan modal bahwa subak adalah organisasi yang
inovatif dan terbuka terhadap teknologi baru.

Gambar 21
Lumbung (jineng) sebagai simpanan cadangan pangan
Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2010

168

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati…

Integrasi Aktivitas Pertanian dan Ritual di SWB
Telah disinggung pada bab terdahulu bahwa Agama Hindu
mengimplementasikan Bhakti (perasaan hormat) kepada Tuhannya
melalui tiga hal penting yaitu: Tattwa, Ethika dan Upacara (Ritual).
Selama ini pelaksanaan tiga kewajiban Agama Hindu yang hanya dirasakan bergerak adalah dari sisi upacara (ritual) sedangkan pemaknaan
Tattwa dan etika masih mengalir sedemikian rupa mengikuti gebyar
upacara yang sering dilakukan untuk menunjukkan Bhakti kehadapan
Sang pencipta (Ida Sang Hyang Widi Wasa). Hal ini terlihat baik pada
kehidupan sehari-hari dalam rumah tangga, lingkungan kerja (publik)
dan juga lingkungan pertanian (dalam hal ini organisasi subak),
misalnya, tetap dilakukannya ritual berupa persembahan kepada Tuhan
setiap pagi berupa saiban 4 . Walaupun sarana dari ritual ini sangat
sederhana tapi persembahan tersebut selalu dilakukan setiap hari oleh
masing-masing rumah tangga dan dilakukan oleh ibu rumah tangga.
Fenomena ini seolah-olah ingin mematahkan hasil kajian yang
menyatakan ritual merupakan sebuah pemborosan dan sia-sia. Padahal
kalau dicermati, ritual setiap pagi hari ini akhirnya menjadi sebuah hal
yang berperan sebagai penyeimbang antara kehidupan manusia dan
alam sekitarnya. Misal saja dengan adanya sarana yang dihaturkan
maka mengundang burung, ayam dan binatang lainnya untuk memakan sarana yang dihaturkan sehingga tanpa sengaja akan bergerombol
datang burung-burung yang akan meramaikan lingkungan sekitar. Hal
ini dapat dikatakan sebagai sebuah upaya untuk pelestarian alam dan
lingkungan, pelestaraian keanekaragaman hayati, dan juga merupakan
implementasi dari tiga hubungan timbak balik yang dipercaya oleh
masyarakat Hindu Bali yaitu Tri Hita Karana (THK).
Di tengah semakin melebarnya sikap apriori terutama generasi
muda tentang makna ritual, tenyata masih banyak masyarakat dan juga
generasi muda lainnya yang semangat menganggap ritual sebagai suatu

4 Bahannya dari segala sesuatu yang dimasak oleh rumahtangga. Sebelum makan pagi
biasanya ritual ini dilaksanakan di masing-masing rumah tangga termasuk sampai kea
real ekonomi seperti tempat usaha,tempat kerja dan juga areal pertanian termasuk
sawah, kebun dan peternakan.

169

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

kewajiban yang harus dilaksanakan dalam rangka menjaga keselamatan
dan keberlangsungan kehidupan masyarakat termasuk petani. Seperti
juga dilakukan oleh anggota Subak Wongaya Betan, dimana dalam satu
siklus musim tanam padi mereka akan melakukan beberapa jenis ritual.
Ritual-ritual seperti Ngendagin, Ngurit, Ngrasakin, Ngewiwit, dilaksanakan oleh anggota subak sejak pengolahan tanah, pembuatan tempat
pesemaian sampai pada penyimpanan hasil panen padi di jineng
(penjelasan masing-masing ritual sudah disajikan pada bab 6).

Gambar 22

Pura Bedugul Subak Wongaya Betan
Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2010

Ada hal menarik yang penulis alami saat menjelang panen yaitu
2 – 3 hari sebelum panen. Pada saat itu kebetulan beberapa areal subak
ditanami dengan padi hitam. Karena keinginan besar mendapatkan

170

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati…

padi hitam, maka penulis memohon kepada petani untuk memanenkan
2-3 helai dari malai 5 padi yang sudah mulai masak. Akan tetapi kemauan tersebut terpaksa penulis tahan karena petani tersebut menyatakan padi belum boleh dipanen karena upacara Mesaba (Ngusaba)
belum dilaksanakan. Jadi petani di daerah ini memiliki kepercayaan
sebelum padi di panen, harus dilakukan upacara (ritual) Mesaba di pura
Bedugul secara bersamaan oleh semua anggota subak, untuk memberitahukan (menyampaikan) kepada Ida Betara Ratu Penyarikan, bahwa
buah padi akan dipanen dan sekaligus sebagai bentuk rasa syukur akan
hasil yang diperoleh. Upacara Mesaba ini dilakukan secara kolektif di
Pura Ulun Suwi dengan biaya diperoleh lewat iuran anggota subak.
Setelah upacara mesaba secara kolektif selesai, kemudian dilanjutkan
dengan upacara yang sama di masing-masing sawah anggota subak
dengan sarana upakara lebih sedikit dan biasanya disesuaikan dengan
kemampuan individu.
Dua sampai tiga hari setelah ritual Mesaba, anggota subak melaksanakan panen secara serempak. Alat yang digunakan adalah ani-ani,
karena padi yang ditanam adalah padi lokal. Menurut salah seorang
petani anggota subak, kalau petani menanam benih unggul, petani
menggunakan sabit seperti yang sering dilakukan di daerah lainnya.
Setelah padi di ani-ani, sedikit buah padi dengan tangkainya disisihkan
dan diikat menjadi satu. Pelambangan ini disebut dengan Dewa Nini
(simbolis Dewi Sri atau Dewa Padi/kemakmuran). Dewa Nini kemudian dituntun pulang ke masing-masing rumah anggota subak dan
distanakan di Jineng (lumbung tempat menyimpan) padi, yang sebelumnya juga sudah diupacarai dengan upacara pemelaspasan sehingga
langsung bisa digunakan untuk menyimpan padi hasil panen.

Jineng atau lumbung dalam organisasi subak sebenarnya termasuk dalam salah satu kelembagaan subak selain fungsi-fungsi yang
disebutkan sebelumnya yaitu sebagai pengatur pembagian air, mencari
solusi konflik, pemeliharaan saluran air dan melaksanakan ritual. Hal
ini dapat dilihat dari Pura Ulun Suwi subak yang di dalamnya terdapat
simbolisasi Jineng. Jineng yang berada pada Pura Ulun Suwi biasanya
5

Malai adalah buah padi yang masih memiliki tangkai.

171

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

selesai panen digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil panen,
tentu saja setelah diupacarai terlebih dahulu (simbolisasai Dewa Nini).
Pada implementasinya maka pada masing-masing rumah petani Jineng
(lumbung) yang lebih besar selalu di tempatkan di area depan bangunan rumah dan memang berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil
padi petani. Ritual yang dilakukan sebelum padi disimpan di Jineng
biasanya bersamaan dengan ritual yang dilakukan di Jineng Pura Ulun

Suwi.
Terhadap pertanyaan, apakah pelaksanaan ritual keagamaan
tersebut masih lestari atau ada yang punah. Dapat dijelaskan bahwa,
ritual-ritual yang disebutkan sebelumnya masih lestari sampai sekarang
dan dilaksanakan secara konsisten dan berlanjut, tanpa ada satu pun
upacara yang terlewatkan. Ketika pertanyaan, apakah ada dari
rangkaian upacara tersebut tidak dilaksanakan maka di Subak Wongaya
Betan, semua rangkaian upacara tersebut dilaksanakan secara konsisten
dan bila ada anggota subak yang melanggar dikenakan sanksi denda
dengan melaksanakan upacara pecaruan Panca Sato. Pecaruan (caru)
adalah sejenis ritual permohonan maaf dan penebusan (peleburan)
kesalahan yang telah dilakukan akibat kealpaan melaksanakan salah
satu rangkaian ritual. Upakara untuk ritual ini biasanya dihaturkan
oleh yang bersangkutan dengan pembiayaan secara mandiri.
Pemberian sanksi kepada anggota yang melanggar dalam organisasi subak. Secara tegas dalam awig-awig tercantum sanksi untuk
anggota yang tidak melaksanakan kegiatan pertanian sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan akan dikenakan sanksi denda berupa
uang. Akan tetapi yang menarik adalah adanya sanksi upakara yang
harus dibebankan kepada anggota subak, apabila mereka melanggar
ketentuan ritual yang telah tercantum dalam awig-awig subak.
Pekaseh subak kemudian bercerita bahwa dulu pernah terjadi musibah
di Subak Soka dekat Jatiluwih. Subak ini mengalami gagal panen yaitu
buah padi kosong, padahal tanaman tampak normal. Penyebab dari
kosongnya buah padi tidak diketahui. Akan tetapi setelah dilakukan
penelusuran, ternyata ada salah satu anggota Subak Soka yang tidak
melaksanakan rangkaian upacara sebagaimana seharusnya.

172

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati…

Dari kejadian tersebut terlihat kalau di kawasan ini segala sesuatu
yang terjadi pada hasil panen dan kehidupan mereka sebagai petani
selalu dikaitkan dengan kealpaan dalam melaksanakan ritual. Misalnya
contoh yang terjadi di subak Soka. Dan masih banyak cerita-cerita
tentang kaitan antara kejadian-kejadian dalam kehidupan petani yang
selalu dihubungkan dengan pelaksanaan ritual yang telah mereka
laksanakan. Seperti misalnya pada praktik pengendalian hama dan
penyakit tanaman (HPT), maka sebelum dilakukan pengendalian organisme HPT selalu diawali dengan melaksanakan upacara keagamaan.
Ritual khusus yang menyertai yaitu upacara pengusir Sarwa Geringan
(segala jenis hama dan penyakit). Bentuk upacaranya yaitu mempersembahkan Upakara – canang lenga wangi burat wangi dan daksina –
dipersembahkan di pura Bedugul sawah. Sementara di saluran air
menuju sawah dihaturkan labaan (makanan) berupa nasi atau segehan
Panca Warna (lima warna) beralaskan daun pisang dan kau bulu (batok
kelapa). Tujuan dari upacara ini adalah memohon agar butakala (kekutan alam bawah yang tidak tampak) yang membawa hama penyait
tidak menyerang tanaman. Bila upacara ini tidak digelar, petani meyakini bahwa butakala (roh jahat) akan marah dan menyebarkan hama
dan penyakit tanamam (HPT) untuk menyerang tanaman. Kegiatan
upacara ini bisa dilakukan secara individu bila serangan HPT bersifat
lokal hanya pada tanaman anggota subak tertentu, dan dapat dilaksanakan secara kolektif bila HPT menyerang dalam skala luas di
seluruh subak.
Pada kegiatan di lapangan, anggota subak melakukan pengendaian HPT secara terpadu (mekanis dan memperbaiki habitat hidup
tanaman). Petani mengambil dan membunuh hama misalnya ulat yang
menyerang tanaman, sedangkan bagi tanaman yang terserang petani
mencabut tanaman tersebut agar tidak menyebar ke tanaman lain.
Sejauh ini pengendalian dengan pestisida alami atau insektisida sintetis
tidak pernah dilakukan karena tanaman padi petani tidak pernah
mengalami serangan HPT yang berarti. Hal ini terjadi karena anggota
subak selalu menggunakan pupuk kandang sapi dan kompos jerami
padi sebelum pengolahan tanah atau saat pengolahan tanah menjelang
tanam. Pemberian pupuk tersebut akan dapat menjaga tingkat kesu173

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

buran tanah, sehingga tanaman dapat tumbuh optimal dan tahan terhadap serangan HPT.
Mencermati praktik bertani yang dilaksanakan petani belakangan
ini di Subak Wongaya Betan memang masih banyak anggota yang
melakukan pergeseran pola tanam. Pola tanam yang dilaksanakan tidak
lagi dengan melakukan pergiliran tanaman (padi – padi – palawija; padi
– palawija – padi), tetapi pola tanamnya bersifat monokultur yaitu
hanya menanam padi saja. Penyebab perubahan pola tanam ini, dijelaskan karena adanya tuntutan ekonomi yang semakin meningkat,
tidak pernah mengalami gagal panen, dan harga gabah lebih tinggi
dibandingkan harga palawija.
Namun demikian, kalau dicermati di lapangan sebenarnya petani
telah melakukan bera sekitar satu bulan setelah panen padi. Selama
masa tersebut, jerami padi dibiarkan membusuk di lahan dan dijadikan
sebagai pupuk alami, disamping juga dengan menggunakan pupuk
kandang sapi. Selama pemeliharaan tanaman, petani tidak pernah
menggunakan pupuk sintetis sehingga kerusakan tanah dapat dikurangi. Jenis padi yang ditanam antar satu musim tanam ke musim
tanam berikutnya juga tidak sama. Sebenarnya dalam awig-awig subak
ada pengaturan pola tanam yaitu kertamasa 6 dan gadon 7 . Jika pada
bulan Desember petani menanam padi varietas lokal, maka pada musim
tanam berikutnya mereka menanam padi varietas unggul atau palawija.
Akan tetapi menurut pengalaman mereka selama ini anggota subak
sangat jarang menanam palawija pada musim gadon, mereka lebih
memilih untuk memberakan lahannya. Jadi petani di daerah ini
menanam padi hanya dua kali dalam setahun. Di samping itu di daerah
ini air tidak menjadi kendala dalam menanam padi, karena air selalu
tersedia sepanjang tahun.
Ketika ditanyakan apakah petani tahu tentang dampak buruk
pola tanam seperti itu (bersifat monokultur)? Mereka mengatakan tidak
tahu, padahal pekaseh telah berkali-kali mengingatkan tentang dampak
Kertamasa: adalah pola tanam serempak dengan menanam padi lokal
Gadon: adalah aturan tanam bebas, artinya petani bisa menanam padi unggul atau
palawija (wawancara dengan pekaseh, 10 Mei 2010)
6
7

174

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati…

buruk yang akan timbul dalam jangka panjang seperti: kesuburan tanah
menurun, tanah memadat sehingga sulit diolah. Petani tetap belum
sadar karena dikalahkan kepentingan jangka pendek yaitu tuntutan
ekonomi, di samping juga keyakinan dengan pelaksanaan ritual yang
tidak pernah terputus. Dengan kombinasi penggunaan bahan-bahan
organik dan anugerah air yang diberikan oleh Sang Pencipta, petani
yakin kegagalan panen akan mampu dieliminir.

Kesimpulan
Secara strukturisasi dalam level organisasi lokal di Bali
(organisasi adat) maka subak merupakan salah satu lembaga tradisional
yang memiliki kekuatan baik dalam hal keeratan hubungan antar
anggotanya, juga dalam hal kekuatan mengikat dari sisi kepentingan
anggotanya. Karena seperti dijelaskan bahwa subak selain merupakan
organisasi yang bersifat sosio-religius, ternyata juga memiliki orientasi
ekonomi dalam hal mempertahankan keberlanjutan pendapatan dalam
keluarga dengan mengoptimalkan usaha-usaha dalam pertanian.
Ketahanan pangan dalam keluarga nampaknya merupakan salah satu
tujuan dari subak, dengan segala kearifan lokal yang dimiliki sehingga
akhirnya mampu menyatukan antara kebutuhan duniawi (ketahanan
pangan) dengan kebutuhan (kepuasan) batin melalui ritual yang selalu
melekat pada setiap pelaksanaan kegiatan pertanian.
Ritual ternyata menempati posisi penting yang seringkali dianggap sebagai penyebab terjadinya kegagalan-kegagalan dalam kegiatan
pertanian maupun aspek kehidupan yang lainnya. Dari pembahasan
pada Bab ini penulis menemukan bahwa ritual berpeluang besar
menjadi spirit bagi kehidupan masyarakat petani. Hal ini akan semakin
dikuatkan dengan adanya ketaatan dan ketakutan terhadap yang
bersifat fana, yaitu berupa sanksi ritual bagi setiap anggota subak yang
melakukan pelanggaran atas awig-awig yang berlaku di subak tersebut.

175