Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB VI

Bab Enam

Aktivitas Perempuan dalam
Ritual Subak

Pengantar
Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu di Bali, ada perbedaan pemahaman keagamaan antara generasi muda dengan generasi
tua. Dimana telah terjadi perubahan pandangan terhadap ritual yang
dilakukan oleh Umat Hindu terutama di kalangan generasi muda.
Sedangkan di sisi lain pelaksanaan ritual oleh beberapa golongan
termasuk petani (dalam organisasi subak) masih merupakan sesuatu
yang tetap dilakukan dan tabu untuk dilanggar. Seperti halnya Subak
Wongaya Betan yang masih melaksanakan ritual-ritual yang terkait
dengan pelaksanaan pertanian mereka di lapangan. Pelaksanaan ritual
tersebut berlandaskan kesadaran akan adanya sesuatu di luar sana yang
bersifat profan yang petani yakini menentukan keberhasilan pertanian
mereka. Subak Wongaya Betan masih melaksanakan ritual secara
kontinu secara kolektif dan secara personal. Ritual-ritual ini biasanya
dilaksanakan di pura-pura yang terkait dengan sumber air dan pelestarian lingkungan di area subak seperti Pura Ulun Danu (untuk memuja Dewa Air atau Dewa Wisnu), Pura Subak (Pura Ulun Suwi dan
Pura Bedugul) serta Pura keluarga masing-masing angggota subak.
Dalam satu musim tanam Subak Wongaya Betan melaksanakan

ritual kolektif seperti: (1) mapag toya (menjemput air); (2) mesaba
(ritual pada saat mau panen), dan nangluk merana. Sedangkan untuk
119

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

ritual personal (mandiri) anggota subak juga masih melaksanakan
ritual-ritual seperti: (1) ngendagin (memulai pengolahan lahan),
(2) ngurit dan mawiwit pantun (menyemai padi), (3) ngerasakin
(memulai persiapan menanam), (4) nandur (saat menanam), (5) tutug
kambuhan (ritual ketika padi berumur 42 hst), (6) nyungsung (ritual
saat padi berumur 2 bulan), (7) mabiukungkung (ritual ketika padi
berumur 82 hst, (8) maikuh lasan (pada saat padi mulai berbuah),
(9) niki kaki dan niki manuh (pada saat panen dan sudah panen),
(10) mantenin (ritual saat padi sudah di lumbung), (11) mrelina dewa
nini (melebur dewa nini), (12) nyepi (tidak melakukan kegiatan).
Selain itu ada beberapa ritual yang bersifat insidental sesuai
dengan keperluan subak misalnya pemelaspasan (peresmian) jika subak
membangun sarana prasarana yang terkait dengan subak. Seperti pembangunan jineng (lumbung) subak dan pura subak. Berkaitan dengan
persiapan dan pelaksanaan ritual ini, walaupun sebenarnya sudah ada

pembagian tugas dan aktivitas antara anggota subak laki-laki dengan
anggota perempuan, akan tetapi biasanya perempuan akan lebih
banyak terlibat. Hal ini karena perempuan akan terlibat mulai dari
persiapan sesajen maupun pada saat pelaksanaan ritual. Dalam bab ini
akan dipaparkan konsep ritual menurut masyarakat Hindu dan anggota
Subak Wongaya Betan. Berikutnya akan di jelaskan aktivitas perempuan dalam pelaksanaan ritual-ritual subak di Wongaya Betan.

Konsep Ritual (Upacara)
Ajaran Agama Hindu meliputi tiga kerangka yaitu; Tattwa, Etika
dan Upacara. Dalam pelaksanaannya diimplementasikan umat Hindu
secara terpadu dan utuh. Namun pada kenyataannya yang lebih sering
tampak menonjol adalah bagian upacaranya. Hal ini disebabkan karena
bagian inilah yang merupakan wujud pelaksanaan dengan segala
kelengkapannya. Bagian etika melandasi pelaksanaan kegiatan upacara
maupun prilaku umatnya. Etika adalah ajaran tentang berperilaku yang
baik serta pembinaan sikap mental yang sesuai dengan norma-norma
ajaran agama Hindu. Bagian Tattwa memberikan sumber inspirasi yang
diwujudkan secara simbolik dalam berbagai upacara, maupun yang
120


Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

dirumuskan dalam konsepsi kepercayaan dalam ajaran Hindu yang
dikenal dengan istilah ”sradha” 1 (Krisnu, 1991). Fenomena ini juga terjadi pada pelaksanaan ajaran Agama Hindu di lingkup Subak Wongaya
Betan. Upacara (ritual) yang dilaksanakan anggota subak sangat intens,
karena dalam keyakinan mereka dengan pelaksanaan ritual kehadapan
Sang Pencipta maka mereka merasa selalu dilindungi dan pertanaman
mereka akan memperoleh hasil yang maksimal.
Sudah menjadi tradisi umat Hindu termasuk anggota Subak
Wongaya Betan, setiap memulai suatu pekerjaan maupun melaksanakan suatu upacara pada umumnya terlebih dahulu diawali dengan
memperhitungkan atau mencari hari baik (pedewasan) melaksanakan
suatu upacara. Misalnya pada saat pelaksanaan salah satu ritual di
lingkup subak yaitu ritual mendak toya 2 . Ritual ini biasanya dilaksanakan sebagai awal kegiatan pertanian di lahan sawah. Anggota subak
sebelum menentukan kapan hari pelaksanaan ritual akan mencari perhitungan hari baik dari petunjuk kalender (penanggalan Bali), maupun
memohon petunjuk dari sulinggih (pendeta). Setelah hari baik tersebut
ditentukan, maka pengurus subak akan melaksanakan sangkep untuk
membahas persiapan pelaksanaan ritual. Setelah ada kesepakatan baik
dari sisi kesiapan para istri (perempuan) untuk mempersiapkan ritual,
demikian juga dari sisi ketersediaan dana untuk melaksanakan ritual
tersebut maka ritual mendak toya dapat dilaksanakan.

Dalam pemahaman umat Hindu pelaksanaan upacara memiliki
maksud dan tujuan tertentu demikian juga halnya dengan pemahaman
pada anggota Subak Wongaya Betan. Sesajen upacara agama memiliki
makna-makna tertentu yang digambarkan secara simbolis melalui
bagian-bagian bahan, bentuk, atau wujud maupun warna tertentu.
Makna Nyasa atau simbolis yang dibawakan masing-masing sesajen
disesuaikan pula dengan maksud dan tujuan secara umum upacara yang
dilaksanakan. Seperti ritual mendak toya yang dipersembahkan ke
Sradha: aturan
“Mendak toya”: ritual ini dilakukan di Pura Ulun Danu dan di sumber air yang
dimiliki oleh Subak. Lokasi biasanya di hulu desa. Sebelum ritual dilaksanakan biasanya anggota subak laki-laki terlebih dahulu membersihkan sumber air secara gotong
royong, baru kemudian anggota subak perempuan akan melaksanakan ritual ini.
1
2

121

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

hadapan Dewa Wisnu (Dewa Penguasa Air) maka ada beberapa sesajen

yang harus memakai warna Dewa Wisnu yaitu hitam, selain simbolsimbol lainnya yang terbuat dari janur dan bunga yang berwarnawarni. Hal ini tercantum dalam pernyataan Krisnu (1991) bahwa secara
umum sesajen yang dihaturkan kehadapan Sang Pencipta memiliki
beberapa makna yaitu:
(1) sebagai ungkapan rasa angayu bagia (rasa bahagia) atau rasa
terimakasih yang ingin dicetuskan kehadapan Tuhan (Ida Sang
Hyang Widi Wasa), atas segala anugerah yang telah dinikmati
oleh manusia, (2) sebagai sebuah harapan atau permohonan,
misalnya permohonan memperoleh umur panjang, (3) sebagai
permohonan maaf atau mohon untuk diampuni segala kesalahan
dan kekhilafan yang telah diperbuat, dan (4) sebagai wujud
simbolis dari Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa) yang dipuja
pada saat melaksanakan ritual (upacara).

Di dalam mengimplementasikan semua harapan yang dilambangkan melalui ritual (upacara), dalam pedewasan (hari baik menurut
kalender Hindu Bali) setiap upacara selalu mengacu pada filsafat Tri
Hita Karana (THK) yang menggambarkan adanya hubungan yang
seimbang antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan
manusia dengan lingkungan. Ketiga hubungan keseimbangan ini juga
akan dilambangkan dalam upacara yang berbeda. Dalam komunitas
Subak Wongaya Betan upacara yang berbeda akan dilambangkan

dengan sesajen yang berbeda pula. Hal ini merupakan implementasi
dari ketiga hubungan dalam filosofi Tri Hita Karana. Untuk menunjukkan hubungan dengan Sang Pencipta misalnya, maka ritual ngusaba
adalah salah satu contoh. Ritual ini memiliki maksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terimakasih anggota subak kehadapan Betara Sri
atau Dewi Sri karena tanaman padi di sawah mereka berproduksi
dengan baik. Ritual ini dilaksanakan sebelum panen dan dilakukan
secara kolektif oleh seluruh anggota subak. Sedangkan ritual yang
berkaitan dengan hubungan dengan lingkungan contohnya adalah
nangluk merana yaitu melakukan pemberantasan hama tikus secara
mekanis (tanpa penggunaan pestisida) sehingga diharapkan lingkungan
tidak akan tercemar dengan racun pestisida.

122

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

Selain ritual yang berkaitan dengan aktivitas subak, secara umum
Umat Hindu Bali memiliki pedewasan untuk melakukan upacara bagi
Dewa yang menguasai kesuburan antara lain seperti Dewa Tumbuhan
(diyakini sebagai pemelihara tumbuhan di lahan pertanian), Dewa
Pertiwi (yang diyakini memelihara kesuburan lahan pertanian), Dewa

Wisnu (yang diyakini sebagai Dewa penjaga sumber Air). Berkaitan
dengan upacara bagi Dewa Tumbuhan yang dikenal dengan Tumpek
Uduh 3 maka Umat Hindu di Bali termasuk anggota Subak Wongaya
Betan melaksanakan upacara ini setiap 6 bulan yaitu setiap hari Sabtu
Kliwon, wuku Wariga. Ritual ini biasanya dilaksanakan secara pribadi
oleh masing-masing anggota subak di areal persawahannya, maupun di
pura keluarga. Prosesi ini untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai ”Dewa Sang Kara” (Sang
Penguasa Tumbuh-tumbuhan). Upacara Tumpek Uduh ini dilaksanakan di masing-masing rumah tangga dan juga di areal pertanian.
Bali Post (Sabtu, 19 September 2009) memuat artikel tentang
“Tumpek Uduh Momen Strategis Revitalisasi Bangkitkan Pertanian di
Bali”. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa sesungguhnya Tumpek
Uduh merupakan salah satu kearifan lokal yang sangat strategis dalam
usaha revitalisasi pertanian untuk kepentingan masa depan Bali, karena
penghormatan terhadap tumbuh-tumbuhan secara luas dapat dijadikan
momen kelestarian lingkungan. Selain upacara bagi tumbuh-tumbuhan, orang Bali (Hindu) masih memiliki beberapa lontar (buku tentang
ajaran Agama Hindu) yang memuat tentang pertanian seperti Dharma
Pamaculan, Taru Pramana yang berkaitan dengan pemberantasan hama
dan usada atau pengobatan tumbuhan, dan Aji Janantaka tentang kayu
(tumbuhan tahunan dan kehutanan). Semua lontar-lontar tersebut

berisikan tentang bagaimana tatacara bertani, memberantas hama,
kemudian memaknai hutan.
Dari uraian di atas ternyata ritual yang dilakukan umat Hindu
dalam rangka menjaga kelestarian lahan pertanian dan penyelamatan
Simbolisasi yang dihaturkan pada perayaan tumpek uduh ini adalah adanya bubur
canil (bubuh sumsum) yang katanya merupakan simbolisasi dari keberhasilan produksi
tanaman padi di sawah. Karena keberhasilan tersebut diyakini karena anugrah Dewa
Tumbuhan maka sebagai rasa terimakasih umat menghaturkan bubur.
3

123

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

lingkungan yang mendasari kegiatan masyarakat petani di Bali sudah
tersirat dalam lontar-lontar. Dari lontar-lontar tersebut dapat diperkirakan bahwa pelaksanaan ritual ini sudah dilaksanakan secara turun
temurun dalam jangka waktu yang lama. Walaupun pelaksanaan ritual
(upacara) selama ini dianggap merupakan gugon tuwon yaitu sesuatu
yang sudah seharusnya dilakukan tanpa makna yang jelas. Akan tetapi
dengan pelaksanaan ritual yang demikian intens dan berlanjut sejalan

dengan keberlanjutan kegiatan pertanian yang dilakukan di Subak
Wongaya Betan maka ritual pertanian dapat lebih digali pemaknaannya. Hal ini untuk menghindari kesenjangan persepsi tentang ritual
antara generasi tua dengan generasi muda. Dengan pemaknaan yang
tepat akan ada kesadaran bahwa semua itu memang harus dilakukan
karena berkaitan dengan kebutuhan dasar mereka untuk hidup dan
melestarikan lahan pertanian sekaligus menyelamatkan lingkungan.
Seorang Pemangku di Desa Wongaya Betan menyatakan bahwa selama
ini upacara-upacara yang dilaksanakan oleh umat dan krama subak di
areal persawahan seperti Mendak Toya, Ngendagin, Mewinih, Nangluk
Merana sampai dengan upacara terbesar yaitu Ngusaba dilakukan
karena memang sejak dulu upacara-upacara tersebut sudah dilakukan
(gugon tuwon).
Sebenarnya upacara-upacara yang dilakukan oleh krama Subak
merupakan rasa bhakti (rasa syukur) kehadapan Ida Sang Hyang
Widi Wasa karena selama petani mengusahakan sawahnya,
Beliau sudah memberikan anugrah baik berupa air yang cukup,
tanaman padi yang sehat dan hasil panen yang cukup. Walaupun memang kalau ditanyakan mengapa melakukan rangkaian
upacara tersebut, saya mungkin tidak bisa menjawab...Bu
(berdasarkan wawancara dengan Bapak pemangku Pura Dalem.
Maret 2010)


Pemangku (pendeta) Pura Dalem menjelaskan bahwa umat maupun
dirinya belum mengerti benar kenapa keseluruhan upacara tersebut
dilakukan. Pemaknaan mereka hanya sebatas pandangan bahwa pelaksanaan semua ritual tersebut akan mampu meningkatkan keselamatan
dan keberhasilan dari pertanian mereka. Pandangan pemangku tersebut kemudian menerawang mengingat masa-masa tahun 1974 dimana
terjadi serangan hama tikus yang sangat ganas, yang menyebabkan
124

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

kegagalan panen secara total di daerah tersebut. Walaupun usahausaha pengendalian secara mekanis telah dilakukan, tetapi hama tikus
seolah kebal. Sehingga akhirnya subak memutuskan melakukan upacara Nyimpen Merana 4 . Hal ini dibenarkan oleh Pekaseh Subak, dan
menambahkan bahwa setelah pelaksanaan upacara tersebut, sampai
saat ini Subak Wongaya Betan termasuk subak di kawasan Jatiluwih
belum pernah ada serangan hama tikus. Hal ini diyakini krama subak
merupakan suatu akibat pelaksanaan ritual (upacara) yang berkelanjutan dan konsisten dilakukan.
Kalau dicermati cerita pemangku dan Pekaseh Subak tersebut
mencerminkan bahwa pelaksanaan upacara (praktik: lihat Bourdieu,
1990) sebenarnya merupakan suatu kewajiban yang kemudian sangat
mengikat masyarakat dengan nilai dan norma yang telah disepakati,

sehingga kesepakatan tersebut akhirnya secara tidak sadar merupakan
sebuah kelembagaan yang diikuti dan ditaati bersama. Demikian juga
dengan simbolisme dari Ida Cokorda Puri Gede Tabanan dalam ritual
nyimpen merana juga menunjukkan bagaimana karisma dan kekuatan
human capital (modal manusia) seseorang mampu mempengaruhi
image masyarakat luas untuk melakukan praktik tertentu secara berlanjut. Karisma yang dimiliki Ida Cokorda mampu memberikan spirit
kepada masyarakat khususnya Krama Subak untuk tetap melaksanakan
kewajiban dan tanggung jawab kepada Tuhan dengan tetap memelihara lingkungan melalui simbolisme upacara terhadap makhluk lainnya. Fenomena ini merupakan penerapan filosofi Tri Hita Karana yang
sudah sangat melekat di semua sisi kehidupan masyarakat subak untuk
selalu menjaga keseimbangan dengan lingkungan dan hubungan
dengan sesama manusia.
Secara rasional memang penjelasan fenomena ini agak rumit
untuk dipahami. Akan tetapi dengan pelaksanaan nyimpen merana ini
petani akhirnya lebih intensif memelihara tanamannya dari serangan
4 Nyimpen merana adalah ritual mengembalikan hama ke tempat asalnya, dengan
mendatangkan Ida Cokorda Puri Gede Tabanan yang ditandu ke sawah. Beliau kemudian menancapkan Keris Pusaka Puri Tabanan sebagai tanda simbolis untuk menghalau
hama tikus. Upacara ini merupakan upacara yang cukup besar dengan melibatkan
seluruh krama subak lanang (laki) dan istri (perempuan).

125

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

tikus karena spirit dari kedatangan seseorang yang sangat dihormati
dan memiliki kekuasaan tradisional ke areal subak. Jadi seolah-olah ada
kewajiban yang tidak tertulis bagi krama subak untuk lebih intensif
memelihara sawahnya setelah dikunjungi seorang yang memiliki
karisma pemimpin. Hal lainnya yang mampu menjelaskan fenomena
ini adalah dengan kembalinya Subak Wongaya Betan dan subak-subak
di kawasan Jatiluwih ke pelaksanaan pertanian organik, sehingga
musuh alami dari tikus seperti ular mulai berfungsi sebagai pemangsa
tikus.

Perempuan dan Ritual
Hasil wawancara dengan Ibu Ketut Witi salah seorang pengamat
adat dan sesepuh adat (krama istri), menyatakan bahwa ritual (upacara)
yang dilakukan sebenarnya bersifat simbolik. Ritual bukan merupakan
pekerjaan tetapi kerja (karya) bukan kekaryan (pekerjaan yang menghasilkan uang). Jadi dalam melaksanakan upacara tujuan kita hanya
satu yaitu memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa
atas segala limpahan rejeki dan kesehatan. Upacara tidak memiliki
tujuan ekonomis, tetapi lebih banyak kearah spirit hidup. 5 Ritual
Agama bagi perempuan Bali adalah Kerja (dalam Bahasa Bali Alus
karya atau gae dalam Bahasa Bali biasa). Walaupun dalam arti secara
generik kerja memiliki juga arti bekerja yang dalam hal ini mendapatkan uang. Akan tetapi dalam konteks Agama dan Adat maka Madue
Karya sering dikaitkan dengan upacara Agama atau Upacara lainnya
yang berkaitan dengan Adat dan Budaya.
Secara sederhana ada tiga cara untuk memberikan arti kata karya
atau gae dalam komunitas Hindu yaitu: pekerjaan yang berkaitan
dengan karier, pekerjaan yang terkait dengan persiapan kegiatan upacara dan pelaksanaan upacara itu sendiri. Dalam kaitannya dengan
upacara kegiatan perempuan akan selalu lebih banyak dibandingkan
dengan kegiatan pria, walaupun sebenarnya keterlibatan pria diperlukan terutama pada pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan tenaga fisik
5

(lihat: Soegeng, 2008 tentang kapital spiritual).

126

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

yang lebih besar. Akan tetapi umumnya pada pelaksanaan upacara
perempuan akan memerlukan keterlibatan yang lebih banyak dibandingkan dengan pria. Sehingga pada pelaksanaan ritual sebenarnya ada
dominasi peran perempuan, walaupun hal ini sudah dianggap sesuatu
yang biasa dan sesuatu yang wajar oleh masyarakat. Perempuan memiliki kewajiban lebih banyak dalam persiapan dan pelaksanaan
upacara.
Pada situasi yang serba sulit saat ini dan kenyataan bahwa
semakin banyaknya kegiatan pria mencari pekerjaan di luar desa atau
lingkungan tempat tinggal, maka secara otomatis pekerjaan perempuan
semakin banyak dalam kaitannya dengan melakukan pekerjaan keseharian (domestik work) dan pekerjaan di lahan pertanian. Tidak jarang
perempuan malahan menghabiskan jam kerja mengelola lahan sawah
mulai dari membibit, menanam, memelihara dan bahkan sampai
memanen (Oedjoe, 2007). Dalam kaitannya dengan pekerjaan di lahan
sawah tersebut maka perempuan pun akan mempersiapkan sesajen
sepanjang musim tanam dan kemudian langsung melaksanakan upacara
tersebut. Seperti tercetus dari hasil wawancara dengan Pak Supris
(Klian Subak Jatiluwih) bahwa sebagai sebuah keluarga yang memiliki
seorang anak laki-laki, pekerjaan di sawah biasanya dilakukan secara
gotong royong. Mengawali pekerjaan di sawah seperti membajak sudah
pasti akan dilakukan Pak Supris bersama-sama dengan putranya,
sedangkan Bu Supris seorang ibu rumahtangga mambantu mempersiapkan makanan bagi mereka sekeluarga. Setelah itu Bu Supris akan
melanjutkan pekerjaan di sawah sampai pada kegiatan mewinih
(membibit), nandur (menanam), mejukut (memelihara tanaman padi)
dan bahkan sampai panen.
Yah..kalau dalam melakukan pekerjaan yang berat memang saya
dan anak saya yang mengerjakan, akan tetapi setelah itu karena
saya harus mencari pekerjaan tambahan sebagai buruh bangunan dan anak saya juga mekuli (bekerja) di kota, otomatis semua
pekerjaan setelah membajak dilakukan oleh istri saya. Itu sudah
umum dilakukan di desa saya ini (Wawancara dengan Pak
Supris).

127

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Pak Supris kemudian merenung sambil melihat tanaman padinya yang
tumbuh subur dan mungkin sebentar lagi akan dipanen. Dalam situasi
seperti ini biasanya Pak Supris yang menunggu sawah sambil sesekali
mengusir burung yang memakan buah padinya. Akan tetapi karena
Pak Supris sudah sejak 6 (enam) bulan terakhir bekerja sambilan di luar
desa maka pekerjaan tersebut dilakukan oleh istrinya.
Seperti sekarang ini..Bu..ketika padi sudah mulai berbuah saya
hanya bisa datang sekali-sekali untuk mengusir burung karena
kebetulan libur di tempat saya nukang...kalau tidak..maka istri
saya yang akan mengusir burung sambil membawa alat-alat
sesajen untuk persiapan melakukan upacara di sawah....”

Pekerjaan mengusir burung sambil membuat sesajen telah menjadi
pekerjaan rutin Bu Supris. Apalagi upacara ngusaba sebentar lagi
digelar karena sudah mendekati panen. Pada upacara ini krama istri
termasuk juga Bu Supris akan terlibat dari persiapan pembuatan sesajen
sampai pada pelaksanaan ritual. Pak Supris kemudian mengatakan
bagaimana istrinya sangat sibuk mempersiapkan upacara ngusaba yang
dilaksanakan oleh subak.
Apalagi Bu.. pelaksanaan upacara di Subak sudah terjadwal..jadi
kegiatan upacara hampir semuanya akan dikerjakan oleh krama
istri (perempuan) termasuk istri saya, kalau saya sebagai krama
laki-laki biasanya hanya mempersiapkan tempat sesajen dan
bersih-bersih lingkungan. Kalau krama istri wah...banyak sekali
tugasnya Bu...selain mempersiapkan sesajen juga biasanya
ngayahin pemangku (membantu sulinggih) dalam pelaksanaan
upacara. ” nak bise a wai bentet kurenan tyang ngae banten Bu..
(kegiatan tersebut bisa dilakukan hampir sehari penuh bahkan
lebih).

Mendengar suaminya bercerita demikian Ibu Supris hanya
tertawa sambil melanjutkan kegiatannya membuat untaian janur untuk
persiapan sesajen. Memang dengan semakin sulitnya kehidupan sebagai
petani, maka Pak Supris saat ini sedang bekerja sambilan sebagai buruh
bangunan. Sedangkan putranya bekerja sebagai karyawan hotel di Kota
Denpasar. Dengan situasi seperti ini maka selama para lelaki berada di
luar rumah, otomatis segala tanggung jawab rumah tangga dan kegiatan
di lahan pertanian akan diambil alih oleh perempuan. Seperti misalnya
128

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

yang dilakukan ibu Supris, ketika Pak Supris berada di luar rumah
sebagai tukang bangunan, maka semua kegiatan rumah tangga dari
persiapan pangan, ritual dan pemeliharaan lahan sawah dilakukan ibu
Supris. Keterlibatan perempuan yang dominan dalam pembuatan sesajen dan pelaksanaannya berdampak pada hambatan dalam pencapaian karier. Dari studi Nakatani (2003; 125-127), perempuan memiliki
frekuensi keterlibatan dalam acara ritual rata-rata 50-60% di atas ratarata pria. Data juga menunjukkan waktu yang dibutuhkan oleh perempuan dalam pelaksanaan ritual adalah 75% sedangkan pria hanya 25%.
Akan tetapi kalau ditelaah lebih mendalam dari hasil wawan-cara
dengan Bapak Supris sebenarnya partisipasi antara perempuan dan pria
dalam pelaksanaan ritual sudah memiliki pembagian tugas. Walau-pun
dari analisa waktu yang dihabiskan oleh perempuan dalam melaksanakan upacara lebih tinggi akan tetapi dari segi beban kerjanya lebih
besar bagi kaum laki-laki (lihat: Nakatani,2003). Misalnya seperti cerita
Bapak Supris, perempuan memiliki tanggung jawab dalam pembuatan
dan pelaksanaan ritual sedangkan pria hanya bertugas mendekorasi
tempat upacara dan mempersiapkan makan untuk keperluan upacara.
Keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan upacara ternyata tidak hanya dalam pelaksanaan upacara di lingkungan keluarga
inti mereka, akan tetapi harus juga terlibat dalam pelaksanaan upacara
di lingkungan lainnya seperti di lingkungan keluarga besar (Compound
House), lingkungan Adat, kelompok kerja sosial lainnya (misalnya
banjar), dan dilingkungan kelompok kerja pertanian (seperti Subak).
Pada tanggal 10 Mei 2010 dilaksanakan ritual pemelaspasan
(peresmian) lumbung Subak Wongaya Betan di desa Mengesta.
Lumbung ini merupakan bantuan Dinas Pertanian Provinsi Bali kepada
Subak Wongaya Betan. Seperti fungsi lumbung pada umumnya,
bangunan ini juga diharapkan dapat difungsikan sebagai tempat
penyimpanan hasil panen bagi Subak Wongaya Betan. Di samping itu
karena lumbung ini didesain bertingkat maka di areal bawah akan
dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya seperti rapat, tempat pembuatan
banten (sesajen) dan juga dipakai untuk tempat pertemuan lainnya.
Lumbung harus diupacarai terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan,

129

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

ritual yang dilakukan disebut pemelaspasan (peresmian). Peneliti
kebetulan datang sehari sebelum ritual pemelaspasan akan dilaksanakan (tanggal 9 Mei 2010), sehingga secara tidak langsung penulis
melihat bagaimana anggota subak baik laki-laki maupun perempuan
bergotong royong mempersiapkan pelaksanaan upacara esok harinya.
Anggota subak laki-laki sibuk mempersiapkan asagan (meja tempat
sesajen) yang terbuat dari bambu, sedangkan para istri (perempuan)
sibuk mengurai janur untuk kelengkapan sesajen.
Dengan menggunakan pakaian adat sederhana (kemben dan
kebaya) serta rambut digelung ke atas, para perempuan bekerja dengan
tekun mempersiapkan sesajen sambil sesekali terdengar percakapan
yang dilaksanakan di antara mereka. Sesekali seorang ibu memanggil
bapak-bapak anggota subak mencarikan tali bambu yang akan digunakan mengikat sesajen-sesajen yang sudah selesai dirangkai. Sementara
bapak-bapak yang lainnya sibuk juga mempersiapkan tenda tempat
para tamu yang akan hadir dalam upacara peresmian esok harinya.
Mereka terlihat sibuk mengangkat kursi-kursi, sebagian memasang
janur di tenda yang telah terpasang dan 5 sampai 8 orang dari mereka
juga sedang sibuk mempersiapkan konsumsi bagi para anggota yang
sedang ngayah. Sekitar pukul 11.00 waktu setempat, makan siang
sudah siap dihidangkan, dan pekaseh subak mengumumkan kepada
anggota subak untuk istirahat makan siang. Seluruh anggota subak
yang ngayah baik laki-laki maupun perempuan berhenti bekerja dan
bersama-sama menikmati makanan yang telah disiapkan. Setelah itu
anggota laki-laki membubarkan diri karena pekerjaan yang menjadi
tanggung jawab anggota laki-laki sudah tuntas dilaksanakan, sedangkan
kaum perempuan masih harus melanjutkan pembuatan sesajen sampai
sore harinya sekitar jam 16.00 waktu setempat. Pembagian pekerjaan
antara anggota subak laki-laki dengan anggota subak perempuan dalam
setiap pelaksaan ritual subak disajikan pada Tabel 3. Data yang
tercantum pada Tabel 3 merupakan waktu perkiraan yang penulis
rangkum dari pengalaman mengikuti salah satu ritual yang dilakukan
Subak Wongaya Betan sejak persiapan pembuatan upakara sampai
pelaksanaan ritual. Dan juga bersumber dari wawancara lapangan
dengan anggota subak perempuan. Dari Tabel 3 tersebut ternyata
130

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

perbandingan waktu yang dibutuhkan perempuan dengan laki-laki
dalam pelaksanaan ritual adalah 3:1.
Tabel 3
Pembagian Waktu yang Dibutuhkan oleh Perempuan dan Laki-laki
dalam Ritual Subak
No

Nama Ritual

Jenis
Ritual

Rentang
Waktu
Pelaksanaan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Mendak Toya
Ngendagin
Ngurit
Ngendagin
Ngewiwit
Tutug Kambuhan
Penyepian I
Penyepian II
Mebiukungkung
Mesaba/Ngusaba Nini
Nangluk Merana

Kolektif
Personal
Personal
Kolektif
Personal
Personal
Personal
Kolektif
Personal
Kolektif
Kolektif

8 jam
4 jam
4 jam
8 jam
4 jam
4 jam
4 jam
8 jam
4 jam
8 jam
8 jam
Total

Keterlibatan Anggota
(jam)
Laki
Perempuan
3
5
4
4
3
5
4
4
4
3
5
4
3
5
3
5
15
49

Menyikapi fenomena beban perempuan dalam pelaksanaan
ritual, budaya dan kehidupan sosialnya, memang seolah tidak ada
waktu bagi perempuan untuk berkarier di sektor publik (dalam hal ini
pada kegiatan ekonomis). Hal ini yang terkadang menimbulkan anggapan bahwa semua yang dilakukan perempuan tersebut tidak berarti.
Akan tetapi apakah anggapan tersebut benar? Mungkin kita perlu
meresapi satu ayat dari kitab suci agama Hindu (Manawa Dharmasastr
III.58) yaitu ”Yatra naryatu p jyante. Ramante tarra dewatah
yatraitastu na p jyante sarvasastra phalah kriyah” yang memiliki arti
”Di mana wanita dihormati di sanalah para Dewa senang dan melimpahkan anugrahnya. Di mana wanita tidak dihormati tidak ada
upacara suci apa pun yang memberikan pahala mulia” (seperti dikutip
dari Wiana, 2010). Filosofi yang terkandung sangat dalam bahwa
perempuan adalah makhluk yang seharusnya dihargai karena perempuan adalah kesayangan Sang Pencipta, dan hal ini merupakan satu
bukti bahwa perempuan merupakan modal manusia yang mampu
mendorong kegiatan kolektif ke arah yang positif.
131

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Hal ini juga tersirat dari hasil penelitian Nakatani (2003) bahwa
walaupun keterlibatan perempuan dalam pembuatan sesajen sangat
menyita tenaga dan waktu, akan tetapi beberapa perempuan merasa
sangat terhibur pada saat mereka membuat sesajen bersama-sama di
Balai Banjar (Ruang Banjar). Karena pada kesempatan tersebut perempuan biasanya dapat saling berkomunikasi membicarakan segala hal
dengan sesama perempuan, sehingga mereka merasa gotong royong
membuat sesajen merupakan sebuah hiburan untuk menghilangkan
kepenatan urusan rumah tangga. Seperti yang diceritakan oleh Ibu
Kadek (Wongaya Betan):
Membuat sesajen memang repot..banyak menyita waktu..apalagi
harus meninggalkan rumah untuk ngayah (membantu). Tetapi
menurut saya justru kesempatan tersebut saya gunakan untuk
bertukar pikiran dengan ibu-ibu lainnya. Yah..kadang-kadang
bercerita tentang anak-anak, tukar pikiran tentang keadaan padi
di sawah...dan malah sering saya mendapatkan cara-cara baru
dalam mengolah hasil sawah ..misalnya saja tentang penanaman
padi hitam..dan organik saya peroleh dari teman saya yang
suaminya ketua kelompok tani dan ternak di Tabanan. Oya
pokoknya saya pribadi membuat sesajen dan melaksanakan
upacara adalah sebuah keharusan..jadi tidak boleh ditolak. Saya
menjalaninya saja Bu....”

Dari wawancara tersebut dapat dilihat bahwa selain kegiatan
membuat banten (sesajen) ternyata perempuan memanfaatkan pertemuannya di banjar maupun di Balai Subak sebagai sebuah ruang
berkomunikasi dan bertukar pikiran sehingga secara tidak langsung
akan terjadi interaksi antara sesama perempuan dilingkup anggota
subak. Seperti terlihat pada suatu kegiatan pembuatan sesajen untuk
upacara subak mendak toya di Subak Wongaya Betan. Setelah sangkep
(rapat) subak yang dihadiri anggota laki-laki memutuskan akan dilakukan ritual mendak toya sebagai tanda bahwa pengolahan lahan akan
dimulai, maka pekaseh subak akan memberitakan kepada krama istri
(anggota perempuan) untuk mulai menentukan hari ritual tersebut
akan dilaksanakan. Setelah hari pelaksanaan ritual ditentukan, maka
krama istri (dipimpin oleh istri pekaseh subak) mulai mengatur strategi
untuk menyongsong pelaksanaan ritual tersebut. Istri pekaseh subak

132

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

membagi tugas untuk persiapan pembuatan sesajen kepada masingmasing anggota subak perempuan di Balai Subak Wongaya Betan. Para
perempuan berkumpul di Balai Subak setelah mendengar suara kulkul
6 (kentongan).
Dengan mengenakan pakaian adat sederhana para krama istri
subak mulai membuat persiapan sesajen. Sesekali mereka terlihat
mengobrol dan tertawa-tawa sambil tetap melakukan persiapan sesajen. Kebersamaan mereka terlihat sangat komunikatif, dan bersahabat.
Dari penuturan Ibu Kadek tersirat bahwa dalam situasi seperti ini
perempuan merasa lebih nyaman dan bisa berkonsentrasi dalam kegiatan persiapan sesajen yang selalu akan terkait dengan seni membuat
hiasan dari janur. Perempuan banyak yang merasakan penyucian diri
dan pikiran pada saat mereka serius menekuni pekerjaan persiapan
sesajen (nyuciang pikayun). Selanjutnya setelah sesajen selesai maka
tiba saatnya perempuan dan keluarga menghaturkan sesajen tersebut
ke Pura dengan memakai pakaian yang terbaru maka segala kesulitan
dan kesusahan yang dihadapi berkaitan dengan pekerjaan yang lain
dan bagaimana masalah mereka dengan kesulitan untuk mendapatkan
uang seolah sejenak terlupakan. Beberapa dari mereka kelihatan
bangga dengan hasil kerja mereka pada tampilan sesajen yang mereka
haturkan. Biasanya perempuan merasa bahagia kalau mereka mampu
menghaturkan sesajen yang baik. Demikian cerita Ibu Kadek sambil
melanjutkan menjemur gabah di halaman rumahnya.
Berdasarkan penuturan Ibu Kadek memang saat ini sudah banyak
orang yang menjual banten (sesajen) untuk keperluan upacara. Banten
dengan mudah dapat dibeli, selama masyarakat mampu membeli.
Akan tetapi karena ada makna-makna pertukaran pengetahuan dan
pengalaman dalam kegiatan gotong-royong pembuatan sesajen tersebut
membuat anggota subak tidak pernah membeli sesajen. Mereka selalu
meluangkan waktu untuk berkumpul pada saat-saat pembuatan sesajen
Kulkul: kentongan yang dibuat dari bambu. Suara kentongan ini biasanya sebagai
pertanda waktu untuk berkumpulnya anggota subak untuk memulai suatu kegiatan.
Kentongan ini biasanya ditempatkan di Balai Subak. Di Bali kulkul ini juga dimilki
oleh setiap Banjar Adat, dan memilki fungsi yang sama dengan kentongan yang ada di
Balai Subak.
6

133

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

dan upacara. Lebih lanjut ditambahkan Bapak Kadek sebagian besar
krama subak (anggota subak) seolah merasa tidak puas karena mereka
merasa kehilangan ikatan sosial dan makna relasi sosial yang selama ini
terpelihara diantara sesama krama. Di samping juga perasaan bersalah
terhadap Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena
tidak melaksanakan kewajiban akhirat (niskala). Apalagi dikaitkan
dengan kewajiban ngayah dari sisi fana (sekala) untuk kepentingan
bersama, subak memiliki Awig-awig (aturan) yang akan mengenakan
sanksi bagi mereka yang tidak berperan aktif dalam kegiatan bersama.
Menurut Bapak Kadek baik kewajiban terhadap Ida Sang Hyang Widhi
maupun kewajiban terhadap sesama krama dalam bentuk ngayah samasama memiliki kekuatan yang sangat jarang dilanggar oleh krama. Jadi
sebenarnya pelaksanaan ritual merupakan pengikat anggota subak
dalam melakukan kegiatannya, karena secara tidak langsung dengan
kepercayaan dan ketaatan terhadap nilai dan norma yang bersifat tidak
nyata maupun nyata masyarakat petani khususnya yang tergabung
dalam subak akan mengikuti aturan-aturan baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis.
Sistem nilai sebagai elemen supra sistem mempunyai hubungan
fungsional dengan sistem yang lain, seperti sikap dan prilaku manusia.
Sistem nilai juga mempengaruhi dan menata sikap prilaku manusia
pendukungnya, serta sebagai perangkat gagasan yang dianggap baik
atau buruk, penting atau tidak penting, berguna tidak berguna pantas
atau tidak pantas, disenangi atau dibenci, sehingga cenderung untuk
diwujudkan atau dihindarkan dalam prilaku. Dalam pengertian ini nilai
budaya pada hakikatnya juga berperan sebagai sumber motivasi.
Sistem nilai sebagai suatu pembentuk identitas secara normatif berfungsi sebagai penata sikap dan prilaku masyarakat pendukungnya.
Secara implementasi terlihat pada berbagai aktivitas masyarakat seperti: aktivitas seni, aktivitas ritual, aktivitas ekonomi maupun aktivitas
politik. Secara simbolik sistem nilai merupakan kerangka acuan berbagai produk budaya material dan cara-cara manusia serta masyarakat
dalam menanggapi dan beradaptasi dengan lingkungannya. Hal ini
berlaku juga dan tampak pada pola kehidupan petani.

134

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

Dalam kehidupan nyata krisis identitas sering terkait dengan
krisis nilai. Dalam kondisi seperti ini petani akan goyah kehilangan
pegangan hidup. Dampak lebih lanjut adalah krisis identitas dan krisis
nilai dapat menimbulkan ketegangan jiwa, keresahan sosial dan penyakit sosial lainnya. Hal ini sebenarnya masih terjadi dalam subak, misalnya saja masih ada beberapa anggota subak yang melanggar aturan
yang telah disepakati, akan tetapi masih dapat diatasi dengan adanya
keyakinan bahwa pelanggaran yang dilakukan akan selalu berdampak
negatif bagi yang melanggar. Jadi secara keseluruhan sebenarnya yang
terpenting dalam mempertahankan identitas diri petani adalah modal
manusia dari petani itu sendiri.
Secara normatif, kualitas dilihat sebagai tingkat kesempurnaan
seseorang atau kelompok manusia dalam perbandingan dengan kelompok lain. Salah satu dimensi kualitas manusia adalah kualitas spiritual,
kepribadian, kemasyarakatan, dan budaya. Hal-hal tersebut akan
sangat berpengaruh terhadap sistem nilai dan pandangan hidup manusia termasuk petani. Menurut Griya (1985) kebudayaan Hindu dan
kebudayaan petani menempati posisi sentral dalam struktur nilai
budaya Bali. Kalau pendapat Geertz (1983) tentang agama yang terikat
dengan budaya, maka sangatlah signifikan kalau ritual akan sangat
terkait pula dengan budaya Bali.
Ritual-Ritual Keagamaan dalam Subak
Ritual seperti telah dijelaskan sebelumnya merupakan suatu kegiatan simbolis pelaksanaan Agama dan Adat di Bali yang dilaksanakan
secara berulang sesuai dengan perhitungan hari baik (padewasan).
Seperti dinyatakan oleh Krisnu (1991) bahwa ajaran agama Hindu meliputi tiga kerangka yaitu: Tatwa, Etika dan Upacara. Ketiga kerangka
ini dalam pelaksanaannya biasanya terpadu sehingga merupakan suatu
kesatuan dalam pelaksanaan agama Hindu yang utuh. Akan tetapi
sering kesatuan yang lebih menonjol dilaksanakan oleh umat Hindu di
Bali adalah elemen upacaranya. Hal ini karena memang melalui bagian
inilah agama Hindu diimplementasikan umatnya yang merupakan
bagian ”karma kandanya”. Berkaitan dengan upacara atau yadnya yang
135

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

dilakukan oleh Umat Hindu dalam lingkungan Subak upacara-upacara
tersebut pun dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa pernah terlupakan. Upacara-upacara tersebut dilaksanakan mulai dari saat mempersiapkan saluran air, mempersiapkan lahan, mempersiapkan bibit
sampai pada akhirnya melakukan panen dan melakukan syukur pada
saat panen sudah berhasil.
Jenis ritual yang dilakukan selama satu musim tanam oleh subak
sangat banyak, dalam bagian ini hanya akan dipaparkan secara berurutan pelaksanaan ritual yang dilakukan oleh krama Subak Wongaya
Betan sesuai dengan hasil wawancara dengan Pekaseh dan Kelian
Subak. Paparan ini akan menjelaskan nama ritual, maksud dari ritual
tersebut dilaksanakan lengkap dengan sarana yang digunakan. Menurut Pekaseh Subak, dan Kelian Subak, rangkaian upacara (ritual) di
subak diawali dengan ritual Mapag Toya (menjemput air) yang dilakukan secara kolektif oleh anggota subak di empelan (dam) ataupun
sumber air lainnya. Ritual ini bertujuan agar debit air dan kualitas air
mencukupi dan berkualitas baik bagi tanaman warga subak. Di
samping itu ritual ini juga bertujuan untuk memohon keselamatan bagi
warga subak agar tanaman berhasil berproduksi baik.
Saat pengolahan tanah dilakukan ritual Ngendagin sebagai
bentuk penyampaian atau berita bahwa tanah akan diolah kehadapan
Ida Betara Ratu Penyarikan dalam manifestasi Ida Sang Hyang Widi
Wasa sebagai penguasa tanah. Sarana yang digunakan berupa sesajen
canang sari, dengan kelengkapan bunga pucuk Bang (kembang sepatu
warna merah) yang merupakan simbol dari Betara Surya (Dewa
Matahari) yang dianggap sebagai sumber energi dari alam. Mengakhiri
ritual ini biasanya secara simbolis petani melakukan pengolahan di
lahan sawah Pekaseh atau Kelian Subak dengan menggunakan sapi. Di
kawasan ini memang petani jarang membajak menggunakan traktor,
selain karena tofografinya mengharuskan sawah memiliki terasering,
juga karena petani menyadari membajak dengan traktor hanya membalik tanah secara dangkal sehingga kurang baik untuk pembalikan
lahan. Kata pekaseh tanah malah semakin keras kalau membajak
menggunakan traktor.

136

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

Dalam rangka pembuatan tempat persemaian sampai kegiatan
menabur benih dilakukan ritual Ngurit dengan sarana sesajen yang
sama dengan ritual Ngendagin. Upacara (ritual) ini bersifat personal,
sehingga semua kelengkapan sarana ritual dipersiapkan masing-masing
keluarga petani, biasanya oleh kaum perempuan di keluarga petani
bersangkutan. Setelah sesajen siap, pelaksanaan ritualnya hanya dilakukan keluarga petani yang biasanya terdiri dari suami dan istri dari
petani bersangkutan. Persiapan pelaksanaan ritual diawali dengan
bersih-bersih di hulu sawah keluarga petani bersangkutan, kemudian
dilanjutkan dengan pelaksanaan ritualnya. Warga subak perempuan
pertama-tama menghaturkan canang sari pada tempat yang telah
dipersiapkan yang disebut sanggah 7 , dilanjutkan dengan muspa bersama dengan sarana bunga warna-warni, dan diakhiri dengan nunas tirta
(minum air suci).
Setelah benih siap untuk ditanam di lahan, warga subak secara
kolektif melaksanakan ritual Ngrasakin. Ritual ini diawali dengan
pemotongan daun bibit padi oleh pekaseh subak. Pemotongan ini
dipercaya dapat mencegah bibit yang ditanam tidak mudah rebah bila
diterpa angin dan juga untuk merangsang pertumbuhan. Ritual ini
dilaksanakan di Pura Bedugul (hulu carik) karena memang letak pura
ini biasanya di hulu areal subak. Karena merupakan ritual kolektif
maka seluruh anggota subak wajib mengikuti ritual ini. Setelah ritual
selesai dilaksanakan, masing-masing anggota subak biasanya membawa
sedikit bibit padi dan potongan daun bibit padi (jejaton) ke masingmasing sawah anggota subak, yang kemudian secara simbolis akan
ditanam di lahan masing-masing anggota subak.
Ritual di atas dilakukan sebelum penanaman bibit padi di lahan
sawah anggota subak. Pada saat bibit padi di persemaian sudah siap
tanam, warga subak akan melaksanakan ritual Ngewiwit. Ritual ini
dilakukan secara kolektif terlebih dahulu di areal sawah pekaseh subak
sebagai tanda bahwa penanaman padi sudah boleh dilaksanakan di
masing-masing lahan anggota subak. Penanaman dilakukan secara se7 Sanggah adalah simbolisasai dari pura yang dibuat dari bamboo, yang berfungsi sebagi
tempat upakara diletakkan pada saat ritual dilaksanakan.

137

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

rempak, yang diyakini akan dapat megurangi siklus hama dan penyakit
sehingga pengendalian dapat dipermudah. Menurut cerita pekaseh,
dulu setelah upacara ngewiwit dilaksanakan penanaman secara bergiliran dimulai dengan melakukan penanaman di lahan pekaseh secara
gotong royong kemudian dilanjutkan dengan penanaman pada lahan
anggota subak yang lainnya secara bergantian. Jadi pada masa itu
keeratan hubungan antar anggota masih sangat kental demikian juga
halnya dengan nilai gotong-royong masih sangat dijunjung tinggi
warga subak. Akan tetapi dengan terjadinya perubahan kepentingan
dan arus modernisasi yang menyebabkan beberapa individu berpikiran
ekonomis dan individualis, maka penanaman secara gotong-royong
sudah tidak banyak dilakukan lagi. Walaupun memang diakui oleh
pekaseh bahwa masih ada beberapa anggota subak yang mau melakukan penanaman serempak dengan cara gotong royong.
Saat padi berumur 42 hari (42 hst), dilaksanakan ritual Tutug
Kambuhan. Ritual ini identik dengan upacara yang dilakukan pada fase
kehidupan manusia. Pada masa ini manusia atau bayi akan mulai lincah
sehingga ritual harus dilaksanakan untuk perlindungan terhadap si
anak. Ritual ini pun memiliki tujuan yang sama yaitu menghaturkan
terimakasih karena tanaman sudah tumbuh dengan baik sampai umur
42 hst, dan memohon keselamatan tanaman selanjutnya sehingga
mampu berproduksi dengan baik. Upacara berikutnya adalah Penyepian Pemungkah (nyepi). Upacara penyepian ini dilakukan dua tahap.
Penyepian tahap I dilakukan setelah upacara Tutug Kambuhan dengan
tujuan agar serangan hama dan penyakit sepi (sipeng), dalam arti tidak
ada serangan hama dan penyakit di pertanaman anggota subak. Setelah
upacara penyepian ini dilakukan biasanya anggota subak tidak akan
beraktivitas selama tiga hari di lahan pertaniannya. Ketentuan ini
biasanya tidak boleh dilanggar anggota subak. Kalau seandainya ada
yang melanggar maka akan dikenakan sangsi. Sanksi bisa berupa uang
sebesar 2,5 juta rupiah, atapu berupa sesajen dengan melaksanakan
ritual Pecaruan Panca Sato (ritual dengan menggunakan korban 5 ekor
hewan yang berbeda). Penyepian tahap II dilaksanakan ketika tanaman
berumur 72 hari (72 hst), dengan rangkaian ritual nunas tirta ( mohon
air suci) di Pura Luhur Pekendungan (pura subak Gede) yang diikuti
138

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

semua anggota subak. Tirta (air suci) yang diperoleh dari pura
Pekendungan tersebut akhirnya dibagikan ke masing-masing anggota
subak dipergunakan di keluarga dan lahan masing-masing petani.
Tujuan upacara ini adalah selain memohon keselamatan juga untuk
pengendalian hama tikus. Ritual Penyepian ini oleh anggota Subak
Wongaya Betan dikaitkan dengan piodalan 8 di Pura Batu Panes
Pada saat tanaman berumur 82 hst. dilaksanakan upacara
Mabiukungkung dengan sarana asem-aseman (menggunakan bahanbahan untuk membuat rujak). Tujuan ritual ini adalah melambangkan
tanaman padi pada umur 82 hst. ini sudah memasuki fase mulai
berbuah sehingga diumpakan tanaman padi tersebut mengalami fase”
ngidam” dianalogikan dengan fase hamil pada manusia. Sehingga pada
fase ini ritual yang dilakukan menggunakan asem-asem agar padi akan
berbuah lebat dan bernas karena kebutuhan pada saat ngidam sudah
terpenuhi. Setelah ritual ini dilakukan maka petani (kaum perempuan)
akan tetap menghaturkan ritual berupa sesajen (sesajen) sederhana
yang dilakukan secara individu oleh masing-masing anggota subak,
sambil menunggu padi siap untuk dipanen. Pada masa ini juga sering
dilakukan ritual nangluk merana yang menurut penuturan Kelian
Subak ritual ini memiliki tujuan menghindarkan tanaman padi yang
sudah mulai berbuah dari seranga hama dan penyakit tanaman
terutama serangan tikus. Ritual ini dilaksanakan secara kolektif, yang
diawali dengan memohon tirta (air suci) di Pura Luhur Pekendungan
Tanah Lot. Tirta ini kemudian dipercikkan pada tanaman padi di
masing-masing lahan anggota subak. Saat memercikkan tirta ini biasanya disertai dengan sesajen caru (persembahan untuk makhluk gaib)
yang disebut Bhuta Kala 9 yang dipercaya mengendalikan hama dan
penyakit tanaman. Ritual ini bisa menjadi sesuatu yang besar dan harus
dilaksanakan secara koordinatif antar subak di tingkat Kecamatan
bahkan di tingkat kabupaten apabila serangan hama dan penyakit
semakin merajalela.

Piodalan: perayaan di Pura yang biasanya dilakukan setiap 6 bulan sekali secara berkelanjutan.
9 Bhuta Kala: Bagi umat Hindu Bali Bhuta Kala diyakini memiliki kekuatan negatif

8

139

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Sekitar 2-3 hari menjelang panen anggota Subak Wongaya Betan
melaksanakan ritual Mesaba secara kolektif di Pura Bedugul. Ritual ini
bertujuan untuk menyampaikan (pemberitahuan) kehadapan Ida Sang
Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Betara Ratu
Penyarikan, bahwa buah padi akan dipanen. Ritual ini juga memiliki
fungsi sebagai rasa syukur bahwa panen akhirnya dapat dialksanakan
dan padi berbuah dengan baik. Setelah upacara ini selesai dilakukan di
Pura Bedugul, masing-masing anggota subak pun akhirnya melaksanakan upacara yang sama (walaupun menggunakan sarana yang lebih
sederhana) di masing-masing sawah anggota subak. Pada saat panen
biasanya petani akan menyisihkan sedikit padi lengkap dengan tangkainya. Padi ini kemudian diikat menjadi satu sebagai simbol Dewa
Nini (lambang dari Dewi Sri yaitu Dewi kemakmuran). Dewa Nini ini
akhirnya akan dituntun (diusung) ke masing-masing rumah anggota
subak utnuk disimpan di Lumbung (jineng) yang dirangkaikan dengan
ritual Dewa Nini.
Walaupun jenis ritual yang dilakukan selama satu musim tanam
oleh subak sangat banyak, akan tetapi 2 (dua) jenis upacara yang akan
dimuat dalam bagian berikut sangat kental dengan sisi kearifan lokal,
sentuhan gotong royong, proses interaksi dan relasi sosialnya. Kedua
upacara ini tergolong upacara yang besar dan dilakukan secara bersama oleh subak. Kedua upacara tersebut adalah upacara Nangluk
Merana dan Ngusaba Nini. Ritual (upacara) ini merupakan upacara
kunci dari implementasi hubungan manusia dengan Sang Pencipta,
hubungan manusia dengan sesama dan hubungan manusia dengan
lingkungan (filosofi THK). Hal ini ditunjukkan dengan bagaimana
keterkaitan antara ritual Nangluk Merana dengan pengendalian hama
di lahan pertanian, yang tentu saja akan sangat menentukan keberhasilan pertanaman di areal pertanian. Demikian juga dengan ritual
Ngusaba Nini yang memiliki pelambangan sebagai ungkapan rasa
terimakasih karena telah diberikan anugerah oleh Tuhan dalam bentuk
panen yang melimpah.

140

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

Nangluk Merana
Upacara Nangluk Merana yang telah umum dilaksanakan di
kalangan umat Hindu di Bali khususnya masyarakat petani adalah
tergolong upacara Bhuta Yadnya. Akan tetapi kaitannya dengan Dewa
Yadnya tidak dapat dipisahkan. Kata Nangluk Merana (bahasa Bali)
berarti menangkal, memagari atau mencegah agar hama dan penyakit
tidak menggangu tanaman petani. Upacara ini sebenarnya bermakna
memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar berkenan
mengendalikan hama dan penyakit. Sebagai umat beragama yang taat
kepada ajaran agama yaitu Hindu, mereka percaya segala sesuatu yang
ada di dunia ini adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu Umat Hindu
dalam usaha menangkal dan mengendalikan hama dan penyakit
tanaman selalu memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
melalui berbagai bentuk upacara yang dipesembahkan pada hari-hari
tertentu.
Sebagaimana dalam setiap upacara yang dilakukan oleh Umat
Hindu upacara Nangluk Merana ini dalam pelaksanaannya juga diwarnai dengan unsur ”desa, kala, patra” (tempat, waktu dan kebiasaan)
serta tingkatan upacara dalam agama Hindu ”Nista, Madya, Utama”
(sederhana, menengah dan utama). Hal ini menunjukkan bahwa fleksibilitas agama Hindu adalah sangat tinggi, sehingga dalam pelaksanaan
setiap upacara akan telihat berbagai variasi dalam pelaksanaannya.
Akan tetapi makna dan maksud yang dikandung dalam setiap upacara
adalah tetap sama. Yang perlu mendapat perhatian umat Hindu adalah
bagaimana prinsip-prinsip dan tujuan dari upacara tersebut tetap dipatuhi. Bagi Umat Hindu di Bali upacara Nangluk Merana merupakan
upacara yang dilakukan dalam rangkaian upacara (ritual) yang dilakukan oleh Subak di lahan pertanian. Waktu pelaksanaan biasanya sudah
ditentukan oleh sistem kalender (penanggalan Hindu), di samping juga
kesepakatan anggota subak itu sendiri.
Pelaksanaan upacara Nangluk Merana ini biasanya sekali dalam
satu musim tanam. Akan tetapi seandainya serangan hama dan
penyakit baik berupa serangan tikus, walang sangit, atau hama dan
penyakit lainnya menyerang setelah pelaksanaan upacara maka petani
141

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

menggunakan cara-cara mekanis sesuai dengan tingkat serangan yang
terjadi. Seperti dikatakan oleh Pekaseh Subak bahwa upacara Nangluk
Merana dilakukan ketika padi berumur 85 hari setelah tanam (hst).
Upacara ini diawali dengan kegiatan nunas tirta (memohon air suci) di
Pura Pekendungan Tanah Lot (Pura ini terletak sekitar 20 km ke arah
Selatan Desa Mengesta). Pura ini dianggap tempat berstananya (tempat
pemujaan) dari Dewa Sri. Pura ini sering juga disebut dengan Pura
Subak Gede. Karena berkaitan dengan permohonan air suci maka

(a)

142