Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB III

Bab Tiga

Metode Penelitian

Seperti Menatap Cermin
Ketertarikan saya dengan bidang pertanian berawal ketika pada
masa kanak-kanak sampai remaja (masa Sekolah Dasar sampai Sekolah
Menengah Atas) sering menemani orang tua melakukan kunjungan ke
lahan-lahan milik keluarga untuk mengawasi para pekerja (petani
penggarap) mengerjakan lahan garapan mereka. Pada masa itu saya
sudah mengamati bahwa istri-istri petani penggarap di samping bertugas menyiapkan makanan bagi suami mereka di sawah, sesekali mereka
juga membantu dalam mengerjakan lahan pertanian. Sehingga pada
saat saya memiliki kesempatan untuk melakukan penelitian di bidang
ketahanan pangan dan ketahanan hayati berbasis masyarakat pada
bulan Mei 2007 sampai bulan Juli 2008 di empat area yaitu Sulawesi,
Papua, Kupang, dan Bali, maka ketertarikan saya semakin kuat untuk
meneliti fenomena dibalik peran perempuan dalam bidang pertanian.
Walaupun aras penelitian pada saat itu masih sangat global
(general) karena masih merupakan penelitian eksplorasi, dan cakupan
daerah masih sangat luas, akan tetapi dari hasil penelitan tersebut
ternyata perempuan sangat berperan dalam pemberdayaan masyarakat

di bidang ketahanan pangan dan ketahanan hayati. Di samping berperan dalam kegiatan pertanian, perempuan ternyata sangat intensif
membantu suami dalam usaha meningkatkan kesejahteraan keluarga,
dan berperan dalam kegiatan-kegiatan sosial pada komunitasnya. Dari
penelitian tersebut juga diperoleh data bahwa perempuan sangat
41

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

pandai membagi pengetahuan dengan sesama dan memiliki jaringan
yang luas baik antar teman, kerabat maupun dalam menyerap inovasiinovasi baru.
Secara umum peranan petani perempuan di semua area penelitian tersebut sangat menonjol, akan tetapi dengan mempertimbangkan
faktor budaya dan adat serta fenomena yang sudah saya amati sejak
masa kanak-kanak, maka saya memilih Bali sebagai area penelitian
untuk disertasi ini. Pemilihan Bali sebagai daerah penelitian juga dilandasi atas masih terdapat fenomena eksisnya beberapa kearifan lokal
di bidang pertanian di Bali, yang berguna untuk mendukung saya
dalam menjawab tujuan penelitian yang terkait dengan peranan kearifan lokal dan perempuan demi mendukung keberlanjutan ketahanan
pangan dan ketahanan hayati. Di samping itu Bali masih diakui dunia
sebagai salah satu daerah yang masih mampu bertahan mengembangkan wisata budaya dan memelihara lingkungan dengan implementasi
ritual yang dilakukan sebagai bagian dari budaya dan agama. Faktor
lain yang menjadi pertimbangan adalah kawasan penelitan sedang

dalam proses pengusulan menjadi kawasan budaya dunia yang dilegalisasi oleh UNESCO, sehingga harapan saya dengan adanya wacanawacana tersebut maka di daerah ini akan mampu digali secara mendalam tentang hakikat dari pembangunan berkelanjutan yang sedang
hangat digalakkan pemerintah baik pemerintah daerah maupun
nasional.
Berlatar belakang budaya yang masih sangat kuat dan keberhasilan subak sebagai suatu organisasi tradisional yang bergerak di bidang
pertanian dan tetap sebagai ujung tombak penghasil pangan pokok
(beras) bagi masyarakat di Bali, maka Subak Wongaya Betan merupakan unit pengamatan pada penelitian ini. Subak ini merupakan salah
satu subak yang terletak di kawasan suci Catur Angga yang sedang
diusulkan sebagai kawasan budaya dunia oleh Pemerintah Provinsi
Bali. Di samping itu, subak ini juga merupakan salah satu subak yang
berhasil menggerakkan anggotanya untuk melakukan transformasi ke
pertanian organik sehingga mampu memperoleh sertifikat organik, di
mana keberhasilan ini di samping sangat berpengaruh pada peningkat-

42

Metode Penelitian

an pendapatan petani anggota subak, ternyata juga menguatkan kesadaran akan pelestarian nilai-nilai leluhur dalam rangka tetap mengajegan pertanian dan kelestarrian lingkungan di wilayah subak tersebut.
Di sisi lainnya kesuksesan yang dicapai ternyata tidak menggoyahkan keyakinan dan tatacara dari subak ini dalam pelaksanaan
filosofi sebagai umat Hindu yaitu selalu melaksanakan konsep Tri Hita

Karana (konsep keseimbangan), sehingga dalam pelaksanaan filosofi
ini subak tetap memiliki aturan (awig-awig) yang mengikat setiap
anggotanya. Yang menarik ternyata awig-awig ini juga dapat berpengaruh ke luar organisasi, misalnya saja mengatur hubungan dengan
anggota di luar subak dan bahkan dengan pihak penguasa (pemerintah). Hal ini mengingat bahwa ada fenomena lain yang ada pada gerakan subak di Wongaya Betan khususnya, dan umat Hindu umumnya
dalam pelestarian lahan pertanian melalui organisasi subak yang sangat
terkait dengan ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Bali. Dari
kenyataan tersebut maka penekanan objek penelitian akhirnya pada
lingkup subak (yaitu Subak Wongaya Betan) dengan semua elemen
yang terkait termasuk kekuatan dan kelemahan yang mengikat baik ke
dalam subak maupun ke luar subak, peran perempuan pada pelaksanaan ritual yang ternyata sangat terkait dengan keberadaan subak dan
pelestarian pertanian dan lingkungan bagi umat Hindu di Bali.
Melakukan penelitian terhadap gender yang sama, di daerah
sendiri pada awalnya seperti menatap cermin (melihat diri sendiri).
Keraguan sempat terlintas, terutama dalam menjaga obyektifitas hasil
penelitian. Akan tetapi karena saya tidak pernah terlibat langsung
dalam aktivitas pertanian dan subak, maka jarak antara saya sebagai
peneliti dan sasaran penelitian dapat dipertanggung jawabkan objektivitasnya. Saya berusaha secara maksimal untuk tetap menempatkan
diri sebagai peneliti, dan menjaga informan untuk tetap memandang
saya sebagai seorang peneliti, bukan bagian dari komunitas mereka.
Tantangan Melakukan Penelitian Kualitatif

Sebelum menentukan metode penelitian yang digunakan, sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang muncul di benak saya. Hal ini
43

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

disebabkan karena harus diakui bahwa metode ini merupakan metode
yang relatif baru bagi saya yang berlatar belakang pendidikan Magister
Pertanian yang tentu saja sangat lekat dengan metode penelitian
kuantitatif. Saya menyadari ternyata melakukan penelitian kualitatif
sangat berbeda dengan penelitian melalui pendekatan kuantitatif. Akan
tetapi berdasarkan tujuan disertasi ini yaitu berupa gambaran dari
fenomena yang terjadi pada unit amatan yaitu Subak Wongaya Betan,
maka saya menggunakan pendekatan kualitatif yang salah satunya
mengacu pada Creswell (1998). Oleh karena saya juga memerlukan
data mendalam tentang pengalaman hidup (life trajectory) dari
perempuan anggota subak, untuk menentukan pemahaman habitus
dari informan maka digunakan juga pendekatan naturalistik (Moleong,
2005 dalam Rahoyo, 2010). Pustaka lainnya yang saya gunakan adalah
Silverman (1998) yang membantu saya dalam menarasikan hasil data
lapangan menjadi sebuah tulisan yang memiliki kebenaran ilmiah.

Menurut Marshall and Rossman (1999) penelitian ini dapat digolongkan dalam penelitian fenomenologi, karena penelitian ini
merupakan penggambaran fenomena yang terjadi di Subak Wongaya
Betan sebagai unit amatan. Fenomenologi adalah sebuah cara untuk
menggambarkan sesuatu kejadian yang terekam di lapangan, sehingga
diperoleh proses pemaknaan terhadap fenomena tersebut. Dalam penelitian ini selain mengelaborasi data lapangan, fenomena-fenomena di
masyarakat sebagai aktor juga dilihat dari sisi pemahaman-pemahaman tentang kegiatan yang dilakukan dari zaman dulu sampai sekarang. Dalam proses penelitian ini, saya merasakan tantangan dalam
mengelaborasi data yang telah diperoleh di lapangan, sehingga menjadi
sebuah format tulisan yang terstruktur dan mampu diterjemahkan
menjadi sebuah tulisan yang bermanfaat dan mampu memberikan
sumbangan pemikiran menuju perbaikan pembangunan melalui ketepatan arah kebijakan.
Membuka Akses
Walaupun melakukan penelitian di daerah sendiri dan pada
komunitas sendiri, ternyata proses untuk mendapat akses ke unit
44

Metode Penelitian

amatan yaitu Subak Wongaya Betan memerlukan perjalanan yang
cukup melelahkan. Hal ini disebabkan adanya beberapa aturan yang
harus dipenuhi baik aturan secara administratif maupun secara adat.

Aturan administrarif dalam hal ini adalah surat ijin penelitian dari
Kesbang Linmas (Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan
Masyarakat) di tingkat Provinsi dan Kabupaten. Setelah itu saya harus
membawa tembusan surat tersebut ke Kantor Camat Penebel, yang
kemudian mempermaklumkannya kepada Kepala Desa Dinas Mengesta
bahwa saya sudah mendapatkan ijin untuk penelitian. Pada awalnya
saya mengira proses administrasi sudah lengkap, ternyata ketika saya
mau mengadakan wawancara dengan informan, Ketua (bendesa) Desa
Adat (Pekraman) Mengesta menganjurkan untuk datang pada saat
dilaksanakannya sangkep (rapat) Adat, sehingga keberadaan saya secara
resmi diterima juga oleh warga Desa Adat Mengesta. Untuk kepentingan tersebut, akhirnya proses pengambilan data ditunda sebulan,
karena harus menunggu hari pelaksanaan sangkep adat di desa
Mengesta.
Ketika hari pelaksanaan sangkep, saya sebagai peneliti diperkenalkan oleh Bendesa Adat Mengesta secara terbuka. Pada kesempatan
tersebut saya ditemani oleh salah seorang staf BPTP (Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian) Bapak Alit Artha Wiguna menjelaskan maksud
dan tujuan kami meneliti, kemudian siapa saja yang akan terlibat dalam
penelitian. Dalam hati, saya sangat bersyukur karena dengan cara
seperti ini saya lebih mudah dalam menentukan informan, karena saya
tidak harus mencari informan satu persatu (door to door), tetapi sudah

diperkenalkan secara umum sehingga akses sudah terbuka lebar untuk
memulai pengumpulan data lapangan. Karena subak merupakan bagian
dari desa Adat, maka secara tidak langsung kami sudah diperkenalkan
dengan informan yang saya wawancarai pada pengumpulan data
lapangan. Untuk proses selanjutnya saya cukup mendatangi informan
dari rumah ke rumah maupun mengontak mereka melalui nomor
telepon yang sudah saya catat sebelumnya.

45

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Pengumpulan Data di Lapangan
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan terbukanya
akses untuk melakukan penelitian di Subak Wongaya Betan, maka
pada tahapan ini saya mulai menemui informan yang mampu memberikan informasi berdasarkan pedoman wawancara yang telah saya
susun sebelumnya. Pedoman wawancara ini saya butuhkan sebagai
pegangan agar pertanyaan-pertanyaan tetap terfokus pada arah untuk
menjawab tujuan penelitian. Di samping itu data lapangan diperoleh
juga melalui observasi langsung mengenai beberapa kejadian, fenomena, tindakan dan kenyataan yang teramati di Subak Wongaya Betan

dan sekelilingnya. Metode ini dipentingkan sebagai bahan triangulasi
terhadap data dari hasil wawancara, sehingga menurut Bungin
(2007:65-66) melalui observasi akhirnya dapat diketahui dengan lebih
valid kejadian yang sebenarnya terjadi di unit amatan dan keterlibatan
dari setiap anggota subak secara lebih objektif. Hal ini didukung juga
oleh pendapat Geriya (1985) bahwa dengan observasi maka saya
memperoleh gambaran yang lebih riil tentang fenomena yang teramati
di daerah penelitian.
Pada saat melakukan pengumpulan data di lapangan, maka
sumber informasi diperoleh dari anggota subak, mulai dari tingkatan
pimpinan (pekaseh) dan istri, kelian subak dan istri, prajuru subak dan
istri. Hal ini dimaksudkan untuk melihat peran setiap anggota baik
anggota laki-laki maupun anggota subak perempuan adalah khas.
Secara umum pembagian kegiatan-kegiatan antara anggota laki-laki
dan anggota perempuan sudah jelas, walaupun tidak menutup kemungkinan terjadi pergeseran peran yang disebabkan oleh adanya perubahan
zaman dan situasi dalam keluarga anggota subak masing-masing.
Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan wawancara, baik
secara individu maupun secara diskusi kelompok.
Untuk mendapatkan data tentang makna dan implementasi ritual
dan data-data yang terkait dengan pelaksanaan keagamaan, saya

mewawancarai pemangku 1 Pura Dalem dan pemangku Pura Subak.

1

Pemangku: pemimpin pelaksanaan ritual di suatu wilayah desa adat dan subak

46

Metode Penelitian

Kedua informan ini pada awalnya sangat sulit untuk ditemui karena
kesibukan beliau dalam melayani umat dan memimpin upacara di
wilayah sekitar Desa Mengesta. Sehingga pada suatu kesempatan, saat
masyarakat melaksanakan ritual di Pura Subak, maka saya berhasil
melakukan wawancara mendalam dengan pemangku tersebut. Terkait
dengan data pemaknaan individu dan pemahaman ritual sebagai habitus saya melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dengan
Ibu Rama (ketua UD Kuntum Sari) dan Ibu Wayan Ratmini (istri
kelian subak). Kedua informan ini terlibat langsung dalam penentuan
dan pengambilan keputusan tentang ritual yang dilaksanakan oleh
subak. Untuk mendapatkan data yang lebih lengkap, saya juga menggali informasi dengan Kepala Desa Adat dan istri, Kepala Dinas

Pertanian Tabanan, peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali,
Koordinator Pembina Subak Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, dan
Ketua Yayasan BOA (Bali Organic Assosiation).
Dengan pendekatan kekeluargaan dan akses yang telah saya
miliki, akhirnya saya sempat mengikuti salah satu ritual ngusaba yang
dilakukan oleh Subak Wongaya Betan pada tanggal 15 Juni 2011 dan
peresmian Lumbung Subak (gudang cadangan pangan), mulai dari
pelaksanaan sangkep (rapat) anggota subak untuk menentukan hari
pelaksanaan ritual, sampai pada persiapan pembuatan sesajen yang dilakukan oleh anggota subak perempuan. Pada kesempatan tersebut saya
mendokumentasikan dan mengamati bagai-mana anggota subak melaksanakan perannya masing-masing dalam pelaksanaan kegiatan ritual.
Dari hasil observasi tersebut saya akhirnya mengetahui proses pelaksanaan sangkep (rapat subak) serta implementasi hasil sangkep dalam
rangka penerapan awig-awig subak bagi anggota subak.
Pada tanggal 16 Maret 2011, Subak Wongaya Betan dipilih
sebagai salah satu tempat untuk kunjungan peserta pelatihan tentang
pengelolaan air yang dilaksanakan oleh Kementrian Pertanian bekerjasama dengan ASEAN. Pada kesempatan tersebut saya akhirnya
memiliki akses untuk melakukan observasi tentang bagaimana anggota
Subak Wongaya Betan menjamu dan mengeksplorasi diri mereka
dalam menghadapi tamu asing. Dengan pengalaman mereka sebagai

47


Perempuan Bali dalam Ritual Subak

petani tangguh yang terbuka dengan inovasi baru maka sangat terlihat
jiwa kewirausahaan mereka (termasuk anggota perempuannya) telah
terbentuk dengan baik. Melalui kesempatan ini akhirnya terungkap
bagaimana perjuangan mereka bangkit dari keterpurukan akibat
program revolusi hijau, bagaimana perjuangan untuk kembali melaksanakan pertanian organik yang pada akhirnya mendapat pengakuan
dan perhatian dari pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Kesempatan ini pun saya manfaatkan untuk belajar dan
mengumpulkan informasi tentang bagaimana kesan petani luar negeri
terhadap keberadaan subak di Bali dan bagaimana mereka sebenarnya
juga masih mau mempelajari kearifan lokal Indonesia untuk mereka
serap dan diaplikasikan di negara mereka masing-masing. Dari hasil
wawancara terungkap bahwa subak adalah sesuatu yang fantastis bagi
mereka demikian juga dengan ketaatan anggota dengan pelaksanaan
ritual khususnya pertanian yang seolah mengikat anggota subak untuk
selalu bersyukur, dan menjaga keeratan hubungan yang memang hal
ini merupakan sesuatu kendala bagi mereka di negaranya.
Proses Analisis dan Penulisan
Ciri khas dari penelitian kualitatif adalah menghasilkan informasi
dan data yang sangat banyak dan beragam seperti yang dikutip Rahoyo
(2010) dari Agus Salim (2006). Dari kenyataan ini maka semua data
yang terkumpul dirinci dan dikelompokkan sesuai dengan fenomenafenomena yang diamati. Kemudian di kelompokkan sehingga menghasilkan konsep yang mampu menjawab tujuan penelitian.
Semua hasil wawancara dan observasi yang diperoleh dari
lapangan saya dokumentasikan baik dalam bentuk kaset, foto-foto
video, dan catatan-catatan kecil dalam buku yang selalu saya bawa
pada waktu pergi ke lapangan. Khusus untuk hasil wawancara dalam
kaset, setiap pulang dari lapangan langsung saya transkrip, untuk
mencegah data yang menumpuk dan kehilangan momen (suasana)
wawancara pada saat di lapangan. Dan tidak jarang hasil wawancara
dalam kaset saya dengarkan berulang ulang, untuk memperkecil bias
data akibat kesalahan mendengarkan.
48

Metode Penelitian

Setelah data yang diperoleh dari lapangan saya anggap cukup,
maka transkrip wawancara kemudian dikelompokkan ke dalam tabel
sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan selama wawancara. Dari pengelompokan tersebut saya pada awalnya menemukan 15 tema besar,
tetapi setelah dihubungkan dengan tujuan penelitian akhirnya tematema tersebut mengalami penyederhaan dengan menggabungkan tematema yang memiliki kemiripan menjadi satu tema besar. Dengan cara
seperti ini akhirnya diperoleh empat tema besar (empirical findings)
yang dipergunakan sebagai dasar dalam penulisan laporan. Keempat
tema tersebut kemudian saya tuangkan dalam bab-bab empiris yaitu
bab empat, bab lima, bab enam, dan bab tujuh. Tahap selanjutnya
adalah membuat sintesa dari seluruh tema-tema yang tersaji pada bab
empiris.
Tema (konsep) yang muncul dari bab empiris adalah bahwa ada
hubungan yang sangat erat antara filosofi Tri Hita Karana dengan
awig-awig subak yang juga terimplementasi dalam ketiga hubungan
keseimbangan yaitu Parhyangan, Pawongan dan Palemahan. Dari
hubungan ini akhirnya setiap anggota subak baik secara individu
maupun kolektif akan selalu berbuat didasari atas kepercayaan dan
keyakinan akan agama Hindu sebagai agama mayoritas petani di Bali.
Apapun yang menjadi keputusan rapat subak akan selalu terimplikasi
pada ajaran agama Hindu seperti adanya karmapala, reinkarnasi, dan
pelaksanaan ritual sebagai sanksi unprofan ke hadapan Sang Pencipta.
Di samping itu dalam setiap persiapan kegiatan subak baik itu kegiatan
pertanian maupun ritual maka selalu terjadi interaksi dan pemeliharaan hubungan baik antar anggota subak. Hal ini juga diperkuat dengan
semakin diakuinya subak sebagai salah satu elemen yang mampu melakukan pemeliharaan keberlanjutan pertanian dan pelestarian lingkungan dalam rangka ketahanan pangan dan hayati di Bali khususnya.
Subak juga merupakan sebuah model pemberdayaan kearifan lokal
yang mampu mengeliminasi dampak negatif teknologi pertanian
moderen dan secara luas dampak perubahan iklim dan diyakini oleh
masyakat lokal, nasional, dan internasional.

49

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Walaupun wawancara yang dilakukan dengan metode diskusi
kelompok hanya dilakukan sesekali yaitu pada saat anggota subak
melaksanakan kegiatan gotong royong baik dalam rangka pembersihan
saluran air, kegiatan petanian di lahan sawah dan juga pada saat
anggota mempersiapkan sesajen untuk keperluan riual. Tetapi hal ini
sangat bermanfaat untuk melihat bagaimana anggota subak secara
individual mempunyai pemahanan yang berbeda terhadap beberapa
pertanyaan. Dari pelaksanaan diskusi kelompok ini sebenarnya saya
juga memperoleh keuntungan untuk melaksanakan triangulasi data
secara langsung. Di samping itu melalui diskusi kelompok ini saya lebih
cepat memperoleh informasi yang diinginkan.
Proses penulisan sebenarnya berlangsung bersamaan dengan
proses analisis. Karena pada kenyataannya saya masih harus mengunjungi unit amatan beberapa kali selama proses penulisan berlangsung.
Hal ini disebabkan karena ternyata melaksanakan penelitian kualitatif
harus tetap melakukan triangulasi baik dihubungkan dengan teoriteori yang terkait, juga dengan mendiskusikan dengan para ahli, serta
kembali ke lapang untuk mendapatkan keabsahan data. Dengan proses
ini maka saya yakin bahwa tulisan ini telah memenuhi unsuir
kredibilitas (credible), reliabilitas (reliable), dan transferabilitas
(transferdable).
Selama ini ketika saya melakukan penelitian dengan metode
kuantitatif, maka dengan sangat terstruktur penulisan laporan harus
dimulai dari pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitia, hasil
dan pembahasan serta yang terakhir kesimpulan. Akan tetapi saya
sedikit terheran ketika Pak KUT dan Pak TEN selaku promotor dan kopromotor menyarankan saya untuk menulis bab-bab empiris terlebih
dahulu. Sungguh sesuatu yang di luar kebiasaan. Hal ini merupakan
satu lagi keunikan dalam melakukan penelitian kualitatif. Setelah babbab empiris selesai saya tuangkan dalam tulisan, selanjutnya saya membuat sintesa (bab delapan), yang merupakan sintesis dari tema-tema
kecil yang saya peroleh dari bab-bab empiris. Bagian ini seperti yang
dikemukakan oleh Singarimbun (2006: 23) merupakan upaya dalam

50

Metode Penelitian

mengembangkan konsep-konsep dasar dari data empiris menuju
konsep-konsep yang lebih teoritis.
Secara keseluruhan, proses yang paling sulit dari penulisan
disertasi ini adalah bab metode penelitian karena dalam penelitian
kualitatif, saya harus bernarasi dengan menceritakan semua pengalaman yang saya hadapi dalam seluruh proses penelitian sampai pada
penulisan disertasi saya rampungkan. Akibat dari hal tersebut maka
harus diakui bahwa tidak ada satupun bab yang tidak mengalami
pengulangan penulisan (rewriting). Proses ini tentu saja sangat bermanfaat untuk mendapatkan sebuah tulisan yang berbobot dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Meneliti di Daerah Sendiri
Dalam pelaksanaan penelitian kualitatif, sebenarnya ada beberapa kendala yang harus dipahami oleh seorang peneliti. Salah satunya
adalah melakukan penelitian di daerah sendiri, terhadap suku sendiri
dan juga agama sendiri (backyard research)(Glesne, 1999: 95-98).
Dalam penelitian seperti ini maka saya harus mampu berada pada sisi
di luar komunitas daerah penelitian. Tetapi walaupun demikian melaksanakan penelitian di daerah sendiri sebenarnya juga memiliki sisi
positif, seperti sumbangsih dari sisi keilmuan bagi daerah si peneliti
dalam hal ini demi keajegan Bali sebagai daerah agraris, yang memiliki
warisan budaya yang bernilai tinggi dan sebagai daerah tujuan wisata
yang unik baik di aras nasional maupun internasional. Kemudian dari
sisi pelaksanaan penelitian tentu saja akan lebih ekonomis karena saya
tidak harus mengeluarkan dana ekstra untuk melaksanakan penelitian.
Dalam penelitian ini walaupun saya berasal dari daerah penelitian akan tetapi karena proses triangulasi data telah dilaksanakan
dengan baik dan benar, maka data-data yang diperoleh adalah data
yang objektif sesuai dengan hasil wawancara dan observasi yang
dilakukan di lapangan.

51