Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB IX

Bab Sembilan

Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian di Indonesia
hingga saat ini masih berperan penting dalam penyediaan dan pemenuhan pangan bagi masyarakatnya. Dengan adanya eksplositas jumlah
penduduk Indonesia maupun dunia, maka penyediaan pangan pun
akhirnya banyak yang mengeksploitasi sumberdaya alam. Sehingga
ancaman kerusakan alam mulai menghantui masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
Walaupun Bali secara keseluruhan mengalami kemajuan
ekonomi berkat sumbangan sektor pariwisata, akan tetapi di sisi lain,
Bali mengalami degradasi sumber daya alam, sosial dan budaya. Hal ini
terutama terjadi di Bali Selatan, di mana pembangunan sarana pariwisata tidak terkendali. Industri pariwisata yang mulai dikembangkan
di Bali sejak tahun 1970-an, ternyata belum mampu menunjang
kesejahteraan masyarakat Bali secara menyeluruh. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar masyarakat di Bali masih berpenghasilan pokok
sebagai petani. Di samping itu kestabilan perekonomian yang berbasis
pertanian ternyata terbukti lebih kuat di bandingkan dengan ekonomi
yang berbasis industri pariwisata. Hal ini disebabkan karena sektor
pariwisata lebih rentan dengan isu-isu keamanan. Berkaitan dengan hal
tersebut maka saat ini Bali berusaha untuk merevitalisasi pertaniannya
dengan penguatan kearifan lokal dalam hal ini subak, sebagai sebuah

organisasi yang tetap mempertahankan pertanian.

Subak sebagai organisasi tradisional yang memiliki aturan (awigawig) yang mengikat baik secara internal maupun eksternal, sangat
213

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

memiliki peluang untuk penjaminan keberhasilan ketahanan pangan
dan ketahanan hayati di Bali. Di samping itu dengan adanya 4 (empat)
elemen subak yang mendasari terbentuknya subak, turut serta
menguatkan posisi subak pada tingkat masyarakat pedesaan. Apalagi
diikuti dengan konsep religius agama Hindu yang menjadi filosofi kehidupan subak yaitu Tri Hita Karana. Dengan konsep Tri Hita Karana
ini subak mampu menjaga harmonisasi bagi seluruh segi kehidupan
subak baik hubungan antar anggota, hubungan dengan Tuhan dan
hubungan dengan alam. Atas panduan tersebut maka bagaimana subak
sebagai sebuah kearifan lokal di Bali mampu menjadi penjamin ketahanan pangan dan ketahanan hayati, maka dalam bab ini akan dikemukakan beberapa simpulan.

Posisi Sentral Perempuan dalam Ritual Subak
Di tengah perubahan-perubahan yang dialami oleh elemen
subak, ternyata keberadaan pura subak dan pelaksanaan ritual yang

dilakukan tetap tidak berubah. Walaupun terjadi perubahan pada pola
tanam, saluran irigasi dan keanggotaan tetapi pelaksanaan ritual di pura
subak yang sudah terjadwal, tetap dilaksanakan. Malahan pelaksanaan
ritual ini merupakan pendorong juga dalam mempertahankan lahan
pertanian, sehingga penjaminan ketahanan pangan dapat berkelanjutan. Masa revolusi hijau yang mengharuskan subak untuk merubah pola
tanam sehingga berdampak pada serangan hama penyakit yang merajalela, kondisi tanah tambah buruk, dan panen terus menurun merupakan pengalaman buruk bagi anggota subak. Anggota subak menganggap kejadian ini sebagai salah satu akibat dari tidak digunakannya caracara tradisional yang diwariskan oleh leluhur. Sehingga dengan tidak
menanam padi lokal, anggota subak merasa bersalah, karena padi lokal
sangat erat kaitannya dengan salah satu ritual yaitu ngusaba nini. Pada
pelaksanaan ritual ini, padi lokal biasanya digunakan sebagai perlambangan dewa-dewi .
Dominasi peran perempuan dalam pelaksanaan ritual menjadikan
posisi sentral perempuan dalam subak. Dalam pelaksanaan ritual,
anggota perempuan memerlukan waktu yang lebih banyak (Nakatani,
214

Kesimpulan

2003) dibandingkan dengan anggota pria. Hal ini karena dalam pelaksanaan ritual ada tahapan persiapan ritual yang dilakukan oleh anggota
perempuan. Walaupun dalam pelaksanaannya sudah ada pembagian
kerja yang khas, akan tetapi khusus dalam pelaksanaan ritual, perempuan berperan lebih banyak dibandingkan anggota pria. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan dalam subak menempati posisi penting,
bahkan pada posisi pengambil keputusan terutama berkaitan dengan

kegiatan-kegiatan ritual yang dilakukan di pura subak. Dari realitas ini
maka penghayatan religius masing-masing individu (dalam hal ini
perempuan) akan berdampak pada proses internalisasi dalam diri
masing-masing individu anggota subak perempuan. Dengan adanya
internalisasi tersebut maka akan timbul kesadaran untuk melaksanakan
secara mandiri kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas
subak, menurut istilah (Berger and Luckman,1996) disebut pemaknaan.
Pemaknaan individu ini akan mendorong terjadinya kegiatan kolektif
dimana menurut Bourdieu (1990) disebut habitus. Jadi pembentukan
habitus dalam pelaksanaan ritual sebenarnya lebih berpeluang pada
anggota subak perempuan. Karena pada kenyataannya, perempuan
lebih intens dalam pelaksanaan seluruh proses ritual yang dilakukan
subak.
Di tengah keraguan akan keberlanjutan subak sebagai elemen
pelestari pertanian di Bali, maka sumber daya perempuan justru menjadi penopang kehidupan keluarga subak. Karena dengan sempitnya
lahan, secara realistis sangat sulit untuk menyebutkan kalau kesejahteraan keluarga anggota subak dapat terpenuhi hanya melalui hasil
pertanian. Oleh karena itu maka adanya jiwa kewirausahaan yang
ditunjukkan perempuan dengan pengolahan padi menjadi kopi dan teh
beras organik melalui kelompok Kuntum Sari menunjukkan peran
penting perempuan dalam subak. Di samping itu keterlibatan dalam

kegiatan di lahan pertanian dari pembibitan sampai panen, juga
merupakan bukti betapa eksisnya perempuan dalam subak. Akan tetapi
kajian-kajian perempuan masih sangat kurang mendapat perhatian dari
peneliti-peneliti subak di Bali. Melalui penelitian ini dengan adanya
keterikatan antara keberlanjutan subak dengan pura subak, maka
perempuan memiliki posisi penting dalam menjaga keberlanjutan
215

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

tersebut, sehingga keterjaminan ketahanan pangan dan ketahanan
hayati sangat terkait dengan peran perempuan dalam subak.
Bercermin pada teori gender yang dikemukakan oleh penganut
feminisme barat (western feminism) (Saulnier, 2000) maka kenyataan
yang terjadi di Subak Wongaya Betan sangat berbeda. Pendekatan
gerakan feminisme barat adalah kesamaan peran antara laki-laki dan
perempuan, sedangkan pendekatan feminisme di Indonesia adalah kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan. Pada komunitas subak,
peran perempuan dalam berbagai aktivitas baik sosial, ritual maupun di
lahan pertanian didasarkan pada kesetaraan peran dan kekhasan peran.
Jadi pendekatan isu gender dalam hal ini lebih menekankan pada

pendekatan budaya dan agama. Menurut penulis percepatan gerakan
kesetaraan gender di Indonesia memerlukan pendekatan dengan
mempertimbangkan waktu, tempat dan latar belakang budaya dan
agama di masing-masing daerah.
Konsep habitus yang terbentuk dalam subak agak berbeda
dengan konsep habitus Bourdieu yang masih sangat kuat dipengaruhi
oleh struktur sosial. Habitus yang terbentuk pada anggota subak ini
adalah habitus tanpa pembatas status sosial. Karena begitu seseorang
bergabung dalam subak (baik laki-laki maupun perempuan), maka
yang ada adalah status petani. Jadi menurut analisa penulis dengan
adanya hubungan yang sejajar antar individu dalam habitus akan lebih
menguatkan dalam mendorong kegiatan-kegiatan kolektif untuk
kepentingan bersama.

Subak sebagai Penjamin Ketahanan Pangan dan Ketahanan
Hayati
Subak adalah kearifan lokal di Bali yang mampu melestarikan
lingkungan termasuk lahan pertanian secara berkelanjutan. Sesuai
dengan gagasan Triguna (2006) bahwa landasan kearifan lingkungan
adalah ajegnya pertanian. Dengan elemen pendukung seperti lahan

pertanian, anggota subak, pengorganisasian air dan pura subak maka
subak memiliki kekuatan secara vertikal maupun horisontal dalam
mengikat anggotanya. Apalagi dengan adanya awig-awig yang menga216

Kesimpulan

tur masing-masing hubungan tersebut, awig-awig akan mengikat
masyarakat petani untuk tetap taat pada aturan subak. Konsep lumbung
(jineng) sebagai cadangan pangan, juga merupakan konsep ekonomi
yang memiliki visi keberlanjutan dan gotong royong serta semangat
penjaminan ketahanan pangan. Penggunaan pupuk organik atau kembali ke pertanian organik juga merupakan konsep penjaminan ketahanan hayati. Walaupun organisasi subak mengalami perubahan karena
adanya perubahan-perubahan pada tatanan aturan pemerintah, akan
tetapi ada elemen subak yang tidak mengalami perubahan dan tetap
dilaksanakan dengan taat oleh anggotanya. Konsep ini mengikuti
Nordholt (2004) tentang “changing and continuities”.
Elemen-elemen subak yang mengalami perubahan adalah luas
lahan garapan, jumlah anggota dan sistem irigasi yang digunakan oleh
subak. Luas lahan garapan sangat terkait dengan alih fungsi lahan
untuk keperluan perumahan dan lainnya, sehingga untuk saat ini
petani hanya memiliki lahan garapan yang relatif sempit. Akan tetapi

seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya, walaupun dengan lahan
garapan yang relatif sempit, tetapi mereka tetap berkontribusi pada
pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati bagi kota Tabanan
(Kompas, 2011). Jumlah anggota subak juga terkadang mengalami
perubahan, hal ini karena beberapa anggota subak memiliki mobilitas
cukup tinggi berkaitan dengan pekerjaan dan tempat tinggal.
Sejak adanya program pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian melalui revolusi hijau, pola tanam dan penggunaan benih
lokal pun diubah dengan menggunakan bibit unggul. Penggunaan bibit
unggul selain meningkatkan kebutuhan akan pupuk kimia juga meningkatkan kebutuhan air tanaman. Di samping itu perubahan sistem
irigasi tradisional menjadi irigasi teknis yang di fasilitasi oleh pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum (PU) ternyata juga menyebabkan perubahan-perubahan pada elemen-elemen subak. Secara umum
perubahan-perubahan yang dialami pada masa revolusi hijau pada
elemen subak menimbulkan dampak negatif. Misalnya saja dengan
perubahan sistem menjadi irigasi teknis lebih sering terjadi konflik
terhadap pembagian air di antara anggota subak. Di sisi lainnya dengan

217

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

penggunaan bibit unggul yang sangat responsif terhadap pupuk kimia,

berdampak negatif bagi keseimbangan lingkungan serta kelembagaan.

Tri Hita Karana Spirit Harmonisasi Pencapaian Ketahanan
Pangan dan Hayati
Kearifan lokal subak ternyata bukan semata berkaitan dengan
pertanian dan pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati
yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi rumah tangga, akan tetapi
lebih pada pemeliharaan hubungan sosial dan religius antara anggota
yang menganut agama Hindu, sehingga setiap pikiran, tindakan dan
ucapan selalu berlandaskan pada nilai-nilai keseimbangan Tri Hita
Karana. Dengan konsep kebersamaan seperti ini maka sering usahausaha ekonomis subak dikelola secara komunal (bersama). Akan tetapi
dengan konsep ini setiap anggota subak merasa aman dan tetap menjaga etika dalam pelaksanaan kegiatan di lahan pertanian mereka. Dalam
situasi seperti ini akan terbangun suasana saling menghargai karena
pelanggaran pola tanam oleh salah satu anggota subak akan mempengaruhi pola tanam anggota subak yang lainnya. Di samping itu dengan
melakukan pelanggaran pola tanam, dikhawatirkan akan menimbulkan
serangan hama dan terkena sanksi. Kepercayaan dan keyakinan akan
karma pala dan reinkarnasi juga membuat anggota subak enggan untuk
melakukan pelanggaran, karena mereka merasa bahwa apa yang
dilakukan saat ini tidak hanya akan dinikmati hari ini tetapi juga akan
dinikmati oleh generasi berikutnya.


Identitas Hindu Melekat dalam Kearifan Subak
Gerakan kembali ke pertanian organik, semakin menguatkan kedudukan subak baik di aras anggotanya maupun di aras pemerintah
daerah dan nasional, maka di sini terbukti ada pendorong yang mengarahkan untuk kembali ke warisan leluhur. Pendapat Gough (1977)
dalam Triguna (2006) juga menegaskan bahwa kearifan lokal termasuk
pengetahuan lokal akan secara turun temurun diwariskan, dan sering
menjadi teladan dalam kehidupan generasi berikutnya. Sehingga dalam

218

Kesimpulan

konteks penelitian yang mendasari tulisan ini maka subak adalah salah
satu kearifan lokal di Bali yang harus dilestarikan karena memiliki
kekuatan untuk mempertahankan budaya pertanian di Bali. Di
samping itu keberhasilan Subak Wongaya Betan untuk bangkit kembali setelah adanya revolusi hijau dengan melakukan gerakan kembali
ke pertanian organik karena adanya dorongan spiritualitas dan religiositas anggota subak. Hal ini dibuktikan dengan keyakinan dan kepercayaan akan ritual yang mengikat hampir semua sisi kehidupan
anggota subak. Kekuatan spiritualitas dan religiositas anggota subak
juga sangat dipengaruhi oleh historical capital, human capital dan
social capital mereka untuk bergerak kembali ke nilai-nilai leluhur

yang dirasakan lebih memiliki keseimbangan dan keharmonisan antara
tiga unsur Tri Hita Karana.
Pelestarian subak sebagai organisasi yang bersifat religius, tidak
terlepas dari identitas anggota subak sebagai umat Hindu. Kalau dikaitkan dengan konsep identitas Castlles (2002) maka identitas subak
adalah identitas yang sahih (legitimizing identity) karena berkaitan
dengan kepercayaan terhadap agama Hindu yang dianut anggota subak.
Jadi sebagai umat Hindu akan terasa tidak nyaman kalau tidak melaksanakan ritual dalam subak, dan akan merasa bersalah kalau tidak
melaksanakan ritual Subak Wongaya Betan dalam subak. Hal ini juga
diperkuat dengan adanya sanksi ritual bagi anggota subak yang
melanggar pelaksanaan ritual yang telah ditetapkan dalam awig-awig
subak.
Jadi subak selain berperan pada tata kelola ketahanan pangan dan
hayati di Subak Wongaya Betan, ternyata elemen pura subak
menempatkan ritual sebagai spirit untuk tetap menjamin tercapainya
ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Bali. Dengan kekuatan
mengikat secara internal maupun eksternal dari awig-awig subak,
maka subak merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam
mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pertanian di wilayah pedesaan.
Pada masa sekarang subak merupakan alat yang paling tepat untuk
menggaungkan gerakan pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan

hayati dalam rangka menyongsong pembangunan berkelanjutan.

219

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Tantangan dan Peran Kearifan Lokal dalam Pembangunan
Berkelanjutan
Menyikapi batasan pembangunan berkelanjutan dari Bank Dunia
(1998) bahwa penekanannya ada pada keberlanjutan dari kelestarian
sumberdaya alam agar berguna bagi generasi berikutnya, maka revitalisasi kearifan lokal adalah suatu gerakan yang bernilai positif. Di tengah
kerusakan sumber daya alam dan kesulitan pencapaian ketahanan
pangan (terutama di tingkat rumah tangga), maka spirit yang ada pada
subak di Bali sangat prospektif untuk dikembangkan. Spirit yang berlandaskan Tri Hita Karana, menjaga harmonisasi dengan Tuhan, manusia dan alam yang sangat relevan untuk menjadi landasan pembangunan berkelanjutan, karena spirit pembangunan yang dianut subak
adalah pencapaian tujuan kesejahteraan dengan tetap menjaga hubungan yang seimbang dengan alam.
Keyakinan dan kepercayaan terhadap agama (religius capital) ternyata mampu dimanfaatkan sebagai modal spiritual (spiritual capital)
untuk mendorong peningkatan kualitas human capital dan sosial
capital masyarakat. Dengan kesadaran individu, gerakan pembangunan
akan didorong ke arah gerakan masyarakat yang lebih luas. Subak yang
memiliki otonomi dalam mengatur kebutuhan mereka melalui awigawig subak, akan dapat dimanfaatkan sebagai kontrol dan perpanjangan tangan pemerintah dalam mensosialisasikan kebijakan terutama di
bidang pertanian. Jadi prinsip pemberdayaan masyarakat dengan sistem
bottom up yang dikemukanan oleh Ife (2002) dan Crewe (1998) yang
menekankan bahwa pembangunan memerlukan peran dan keterlibatan
nilai-nilai lokal masyarakat (agama dan budaya) sangat sesuai dengan
prinsip-prinsip pemberdayaan dalam subak. Segala keputusan untuk
pembangunan di ambil secara bersama dan masing-masing menyumbangkan peran yang khas dalam proses pembangunan tersebut.
Pembangunan pada negara yang memiliki multi budaya dan
multi etnik sangat dianjurkan untuk tetap memperhatikan kearifan
lokal, yang berlandaskan kepentingan rakyat. Memberikan kesempatan
masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan akan mendorong
masyarakat untuk mandiri dan kreatif, sehingga masyarakat tidak
220

Kesimpulan

sepenuhnya bergantung pada negara, akan tetapi mampu berperan
sebagai mitra negara dalam proses pembangunan.

Tema-tema Kajian di Masa Mendatang
Keberadaan subak di Bali memiliki dua sisi yang dewasa ini
menimbulkan permasalahan baru. Pada satu sisi keajegan subak
merupakan berkah bagi pelestarian lahan pertanian dan keberlanjutan
kelestarian lingkungan, di sisi lainnya ternyata legitimasi subak oleh
pemerintah memunculkan permasalahan klasik. Permasalahan yang
akhir-akhir ini muncul adalah menjamurnya organisasi subak yang
baru, karena diprediksi hanya untuk memperoleh bantuan material
dari pemerintah setiap tahunnya. Pemerintah Daerah (kabupaten dan
kota) sampai saat ini belum memiliki aturan setingkat Perda dalam
pengaturan pembentukan subak. Berkaitan dengan permasalahan
tersebut maka kajian-kajian yang mengarah pada penguatan kebijakan
pemerintah dalam mendorong penguatan sumber daya manusia
(human capital) dalam subak sangat dibutuhkan agar subak tetap pada
konsep-konsep nilai adi luhung Tri Hita Karana.
Kajian lainnya adalah penguatan elemen terkait dalam upaya
memberdayakan subak dalam rangka menyongsong pengakuan sebagai
kawasan budaya dunia (world heritage). Karena penguatan sumberdaya
manusia terutama petani di wilayah kawasan budaya dunia sangat
penting untuk memperkuat dan menjaga agar penduduk setempat
termasuk petani tetap memiliki kedaulatan di wilayah mereka sendiri.
Hal ini penting untuk mencegah terjadinya kasus-kasus rakyat menjadi
orang asing di negeri mereka sendiri. Karena keberhasilan pembangunan adalah menyejahterakan masyarakat secara spiritual, moril dan
materiil.
Bercermin pada realitas bahwa perempuan memiliki posisi
penting dalam kegiatan-kegiatan subak baik sebagai mitra dalam
pelaksanaan pertanian maupun sebagai aktor dalam pelaksanaan ritual,
maka kajian tentang penguatan posisi perempuan dan pengakuan
terhadap kredibilitas anggota subak perempuan menjadi tema kajian
yang cukup menarik dan penting bagi peneliti-peneliti berikutnya.
221

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Catatan Akhir Penulis
Di tengah banyaknya pertanyaan dan kerisauan tentang kemampuan subak untuk bertahan sebagai satu-satunya lembaga yang
ajeg mempertahankan pertanian, maka Subak Wongaya Betan justru
bangkit dengan kekuatan sendiri untuk tetap bertahan. Walaupun pada
akhirnya ada perhatian dari pemerintah, akan tetapi kesabaran,
keuletan, kemauan keras dan keyakinan warga subak akan kekuasaan
Sang Pencipta melalui pelaksanaan ritual yang berkelanjutan mencerminkan bagaimana spirit (kekuatan) kebertahanan mereka sangat diinspirasi oleh keinginan untuk tetap menjamin ketahanan pangan dan
ketahanan hayati di lingkungan mereka. Spirit ini tentu saja harus
menjadi kekuatan bagi kita sebagai orang Bali yang cinta Bali dan
meyakini Hindu sebagai agama. Maka kata terakhir yang terucap
adalah semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberikan petunjuk dan
bimbingan-Nya kepada semua yang menggantungkan kehidupan pada
alam untuk tetap mempertahankan sumberdaya alam dan lahan sawah
sebagai sumber pangan pokok rakyat Indonesia.

222