HAK EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA.

(1)

HAK EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH MUTAH

DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN

AGAMA SURABAYA

SKRIPSI

Oleh: Siti Romlah

NIM: C01212093

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga SURABAYA


(2)

HAK EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH MUTAH

DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN

AGAMA SURABAYA

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Ilmu Syariah dan Hukum

Oleh : Siti Romlah NIM : C01212093

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga SURABAYA


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan dengan judul Hak Ex Officio Hakim tentang Nafkah Mutah dalam Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Surabaya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apa dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Surabaya menggunakan atau tidak menggunakan hak ex officionya? Bagaimana hak ex officio hakim tentang nafkah mutah dalam perkara cerai talak yang pernah terjadi di Pengadilan Agama Surabaya?

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif serta menggunakan pola pikir induktif yaitu menilai fakta-fakta empiris yang ditemukan, kemudian dicocokkan dengan landasan yang ada, yakni tentang penggunaan hak ex officio dalam menentukan nafkah mutah istri pada perkara cerai talak di Pengadilan Agama Surabaya. Teknik pengumpulan datanya dengan wawancara dan studi dokumenter. Sumber data penelitian meliputi sumber data primer yaitu para hakim Pengadilan Agama Surabaya. Dan sumber data sekundernya berasal dari kepustakaan serta dokumen-dokumen yang telah tersedia yang sesuai dengan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penerapan hak ex officio hakim terhadap nafkah mutah istri dalam perkara cerai talak yang terjadi di Pengadilan Agama Surabaya berlaku dengan baik dan efektif sekali. Karena hal ini untuk melindungi hak-hak istri pasca perceraian. Pertama dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Surabaya dalam hal penggunaan wewenang hak ex officio yaitu dengan mempertimbangkan fakta yang ada seperti alasan dari perceraian. Sedangkan hakim yang tidak menggunakan hak ex officionya yaitu karena istri sudah tidak mau menuntut haknya. Kedua, hakim telah menggunakan hak ex officionya dengan baik dalam menentukan mutah istri yaitu mengacu pada kemampuan suami serta kepatutan dan kepantasan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa, menyangkut hak ex officio hakim tentang nafkah mutah dalam perkara cerai talak di Pengadilan Agama Surabaya, hakim bisa menggunakan atau tidak menggunakan hak ex officionya dengan mempertimbangkan dari alasan perceraian, kemampuan suami, tingkat kesetiaan dan pengabdian istri selama perkawinan. Dan sudah dijelaskan pada pasal 160 Kompilasi Hukum Islam tentang besarnya mutah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Berdasarkan ketentuan pasal 41 huruf c UU Perkawinan, hakim karena jabatannya, dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Namun hal ini tidak boleh melebihi batas kewenangan hakim. Jadi hakim tidak semerta-merta dalam menggunakan hak ex officionya.

Kesimpulan dari penelitian ini, dasar pertimbangan hakim dalam hal penggunaan hak ex officionya untuk menentukan mutah istri bergantung dengan fakta yang ada mengacu pada ukuran kemampuan suami. Kepada Hakim Pengadilan Agama Surabaya diharapkan untuk tetap menggunakan kewenangan hak ex officionya dengan lebih bijaksana, agar terciptanya keadilan.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13

G. Definisi Operasional ... 14

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HAK EX OFFICIO HAKIM DAN MUTAH TALAK A. Konsep Teori Hak Ex Officio Hakim ... 19

1. Pengertian ex officio hakim ... 19


(9)

3. Tugas hakim dan kekuasaan Pengadilan Agama ... 21

B. Tinjauan Umum Mutah Talak ... 27

1. Pengertian mutah ... 27

2. Dasar hukum mutah... 29

3. Aturan hukum pemberian mutah talak... 34

BAB III : PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH MUTAH PADA PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Surabaya ... 40

1. Profil Pengadilan Agama Surabaya ... 40

2. Sejarah Pengadilan Agama Surabaya ... 41

3. Yurisdiksi dan Letak Pengadilan Agama Surabaya ... 42

B. Penerapan Hak Ex Officio Hakim tentang Mutah dalam Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Surabaya ... 42

1. Dasar pertimbangan hak ex officio hakim ... 42

2. Deskripsi cerai talak ... 45

3. Deskripsi penerapan hak ex officio hakim terhadap mutah talak ... 54

BAB IV : ANALISIS YURIDIS HAK EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak Menggunakan Hak Ex Officio ... 56

B. Hak Ex Officio Hakim tentang Mutah dalam Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama ... 58

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum perceraian adalah bagian dari hukum perkawinan. Dalam makna yang lebih luas, hukum perceraian merupakan bidang hukum keperdataan, karena hukum perceraian adalah bagian dari hukum perkawinan yang merupakan bagian dari hukum perdata.

Pemahaman bahwa hukum perceraian adalah bidang hukum keperdataan, selaras dengan pengertian hukum perkawinan yang dikemukakan oleh Abdul Ghofur Anshori, yaitu hukum perkawinan sebagai bagian dari hukum perdata merupakan peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang.1

Mohd. Idris Ramulyo membenarkan bahwa dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian, sebagaimana ditegaskan dalam Alquran surah Annisa’ ayat 21, yaitu:

  





 

 







1

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum Positif),


(11)

2

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri dan mereka (suami-isteri-suami-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.

Pada esensinya perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat, yang disebut dengan istilah mi<tha<qan ghali<z{an. Selain itu, sebagai alasan untuk menyatakan bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya: pertama, cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu, yaitu dengan akad nikah dan rukun atau syarat tertentu: dan kedua, cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya, yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fasakh (pembatalan ikatan pernikahan), syikak (perselisihan), dan sebagainya.2

Tujuan ideal perkawinan menurut hukum perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UU Nomor 1 Tahun 1974) yang memuat pengertian

yuridis “perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Sedangkan menurut hukum Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangandan

2

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis Undang-Undang No. 1 Tahun


(12)

3

ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.3

Namun dalam realitanya sulit diwujudkan, bahkan banyak juga terjadi kehidupan keluarga atau rumah tangga yang tidak bahagia. Keadaan perkawinan yang mendasari hubungan suami dan istri dalam keluarga atau rumah tangga sedemikian buruknya, sehingga dipandang dari segi apapun juga, hubungan perkawinan tersebut lebih baik diputuskan daripada diteruskan. Ini berarti bahwa meskipun perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat (mi<tha<qan ghali<z}an) yang mengikat lahir dan batin antara suami dan istri, namun ikatan perkawinan itu dapat putus jika suami dan istri memutuskannya, karena satu diantara tiga karakter perjanjian dalam perkawinan sebagaimana diuraikan di atas adalah kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat perkawinan sebagai suatu bentuk perjanjian itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Abdul Ghofur Anshori, dalam kehidupan rumah tangga sering dijumpai orang (suami-istri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya, akibat tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan diantara

3

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011),


(13)

4

keduanya (suami-istri) tersebut. Tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian).4

Perceraian menurut hukum agama Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 dan telah dijabarkan dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 serta Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (selanjutnya disingkat PP Nomor 9 Tahun 1975), mencakup : pertama, “cerai talak”, yaitu perceraian yang diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan sidang Pengadilan Agama. Kedua, “cerai gugat” yaitu perceraian yang diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.5

Mengenai perceraian dengan cara talak dapat pula dikemukakan beberapa hal seperti di bawah ini:

a. Seorang suami diakui menurut hukum mempunyai hak talak yaitu berdasarkan beberapa hal tertentu berwenang menjatuhkan talak kepada istrinya.

b. Asal hukum talak itu adalah haram kemudian karena illahnya maka, hukum talak itu menjadi halal atau mubah atau kebolehan.

4

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam ..., 233.

5


(14)

5

Alquran berulang kali menyebut kata-kata talak dengan pembatasan-pembatasannya. Dengan demikian menurut Alquran suami boleh menalak apabila terdapat sebab-sebab yang menghalalkannya. Tetapi walaupun sudah dinyatakan halal tetap merupakan hal yang tidak disenangi Tuhan dan Rasul.

Sesuai dengan Undang-undang Perkawinan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.6

Proses hukum cerai talak di Pengadilan Agama diuraikan secara teknis yuridis dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/032/SK/1V/2006 tentang pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (Edisi Revisi 2020), diantaranya adapun mengenai ex officio yaitu :

1. Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah idah atas suami untuk istrinya, sepanjang istrinya tidak terbukti berbuat nusyu (membangkang), dan menetapkan kewajiban mutah (Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf a dan b Kompilasi Hukum Islam).

2. Dalam pemeriksaan cerai talak, Pengadilan Agama sedapat mungkin berupaya mengetahui jenis pekerjaan suami yang jelas dan pasti, dan mengetahui perkiraan pendapatan rata-rata per bulan untuk dijadikan

6


(15)

6

dasar pertimbangan menetapkan nafkah anak, mutah, nafkah mad{iyah (materi) dan nafkah idah.

3. Agar memenuhi asas manfaat dan mudah dalam pelaksanaan putusan, penetapan mutah sebaiknya berupa benda bukan uang, misalnya rumah, tanah atau benda lainnya, agar tidak menyulitkan dalam eksekusi. Mutahwajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi istri bada dukhu<l dan perceraian atas kehendak suami. Besarnya mutah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami (Pasal 158 dan 160 KHI).7

Perceraian adalah peristiwa hukum yang akibatnya diatur oleh hukum, atau peristiwa hukum yang diberi akibat hukum. Perceraian menimbulkan akibat putusnya perkawinan. Selain itu, ada beberapa akibat hukum lebih lanjut dari perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai berikut :

a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

7


(16)

7

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Dalam perkara perceraian hakim dapat memutus lebih dari yang diminta karena jabatannya, hal ini berdasarkan Pasal 41 huruf c Undang-Undang Perkawinan. Seperti dalam hal nafkah, dalam kitab-kitab fikih pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekuensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga atau keluarga). Wahbah al- Zuhaili “menjelaskan pengertian nafkah yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal. Ini berkaitan juga dengan akibat hukum dari perceraian”.

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mutah. Nafkah mutah adalah pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai kompensasi.8 Suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya hendaklah memberikan mutah (memberikan untuk menggembirakan hati) pada bekas istrinya itu. Mutah itu boleh berupa pakaian, barang-barang atau uang sesuai dengan keadaan dan kedudukan suami.9 Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran surah Albaqarah ayat 241 tentang pemberian mutah kepada istri:

8 Marwa El Sheera, “Fiqih Munakahat (Nafkah Kiswah dan Tempat Tinggal)”, dalam http://Justmine el Sheera/Fiqih Munakahat/(Nafkah Kiswah dan Tempat Tinggal).html, diakses pada 2 Juli 2012.

9


(17)

8















Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mutah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.10

Pengadilan Agama adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan Peradilan Agama. Peradilan Agama dapat dirumuskan sebagai kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.11 Dan Hakim Peradilan Agama mempunyai tugas untuk menegakkan hukum perdata islam yang menjadi wewenangnya dengan cara-cara yang diatur dalam hukum acara Peradilan Agama.12

Terkait dengan hal tersebut, seorang hakim mempunyai (ex officio) dimana dalam memutuskan suatu perkara seorang hakim dapat keluar dari aturan baku selama ada argumen logis dan sesuai aturan Undang-undang. Akan tetapi pada kenyataannya yang terjadi di Pengadilan saat ini para hakim ada yang tidak menggunakan hak ex officio tersebut dan ada yang menggunakannya. Adapun ketika terjadi perceraian mantan istri tidak menggugat pada pengadilan merekapun juga tidak mendapatkan nafkah pasca perceraian seperti nafkah mutah.

10

Departemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Sahifa, 2014), 39.

11

Cik Hasan Bisiri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 7.

12

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


(18)

9

Berdasarkan hal-hal tersebut yang melatarbelakangi penulis mencoba untuk meninjau lebih jauh melalui penulisan skripsi dengan judul

“Hak Ex Officio Hakim tentang Nafkah Mutah dalam Perkara Cerai Talak di

Pengadilan Agama Surabaya.”

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi masalah

Setelah menjelaskan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan di atas, selanjutnya bisa diidentifikasi masalah penelitian sebagai berikut :

a. Hak ex officio hakim

b. Hak ex officio hakim tentang nafkah mutah

c. Hak ex officio hakim dalam perkara cerai talak di Pengadilan Agama 2. Batasan masalah

Dalam sebuah penelitian, tidak mudah untuk meneliti semua permasalahan, maka dari itu peneliti dalam setiap penelitiannya perlu membatasi masalah yang akan diteliti. Jadi dengan adanya batasan masalah, maka yang diteliti adalah hanya masalah-masalah tertentu saja.

Adapun masalah-masalah yang akan diteliti pada penelitian ini yaitu:

1. Hak ex officio hakim tentang mutah

2. Hak ex officio hakim tentang mutah dalam perkara cerai talak di Pengadilan Agama Surabaya


(19)

10

C. Rumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan penegasan tentang hal-hal spesifik yang akan dikaji oleh peneliti. Berangkat dari latar belakang masalah tersebut di atas maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Surabaya menggunakan atau tidak menggunakan hak ex officionya ?

2. Bagaimana hak ex officio hakim tentang nafkah mutah dalam perkara cerai talak yang pernah terjadi di Pengadilan Agama Surabaya ?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini bertujuan untuk mengetahui originalitas karya dalam penelitian-penelitian terdahulu. Namun hal ini tidak menjadikan surut untuk selalu berbeda dengan tulisan-tulisan yang lain. Dan penelitian ini adalah penelitian lanjutan dari skripsi terdahulu. Adapun skripsi yang membahas tentang ex officio Hakim yaitu:

1. Skripsi yang ditulis oleh Devi Nurfiyah dengan judul “Analisis Yuridis terhadap tidak diterapkannya Kewenangan Ex Officio Hakim tentang Nafkah Selama Idah dalam Perkara Cerai Talak (Studi Putusan Nomor: 1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg”. Dalam skripsi ini pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Malang tidak menerapkan kewenangan ex officio Hakim adalah karena tidak ada tuntutan dari pihak istri


(20)

11

(termohon). Setelah dianalisis secara yuridis tidak diterapkannya kewenangan ex officio Hakim tentang nafkah selama idah dalam perkara cerai talak ini, tidak sesuai dengan KHI pasal 149 huruf (b) dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI tentang pemberlakuan buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (Edisi Revisi 2010).13

2. Skripsi yang ditulis oleh Aslikhatul Laili yang berjudul “Analisis Atas Putusan PA Jombang No. 1540/Pdt.G/2012/PA.Jbg tentang Hak Ex Officio Hakim dalam Memberikan Nafkah Idah Istri yang Nusyu”. Dalam skripsi ini, hakim telah menggunakan hak ex officio, sedangkan dasar pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara ini adalah pasal 149 ayat (b) KHI tentang pemberian nafkah iddah dan pasal 41 ayat (c) UU No. 1 Tahun 1974 yang pada intinya suami wajib memberikan biaya penghidupan kepada mantan istri meskipun istri tidak mengajukan rekonvensi.14

3. Skripsi yang ditulis oleh Atik Asroriyah dengan judul “Penerapan Asas Ultra Petitum Partium Kaitannya dengan Hak Ex Officio Hakim terhadap Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Gresik, Sidoarjo dan Kota Malang”. Dalam skripsi ini penerapan asas ultra petitum partium hubungannya dengan hak ex officio hakim diterapkan bersifat kasuistik

13

Devi Nurfiyah, “Analisis Yuridis terhadap tidak Diterapkannya Kewenangan Ex Officio Hakim

tentang Nafkah Selama Iddah dalam Perkara Cerai Talak: Studi Putusan No.

1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg” (Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014).

14Aslikhatul Laili, “ Analisis Atas Putusan Pengadilan Agama Jombang

Nomor:

1540/Pdt.G/2012/PA.Jbg tentang Hak Ex Officio Hakim dalam Memberikan Nafkah Iddah Istri


(21)

12

atau tergantung kasus yang ada. Jadi jika hakim menganggap perlumenggunakan hak ex officio, maka harus diterapkan, jika tidak maka berlandaskan asas ultra petitum partium.15

Berdasarkan penelusuran pada karya tulis tersebut, maka penelitian yang hendak dilakukan ini belum ada yang meneliti sebelumnya. Penelitian ini lebih mengkaji tentang seberapa jauh hakim menggunakan hak ex officionya di dalam memutuskan nafkah mutah bagi istri dalam perkara cerai talak di Pengadilan Agama Surabaya. Dalam kewenangan ex officio itu, Hakim terkadang menggunakan dan tidak menggunakan hak ex officionya dalam memutuskan nafkah mutah dalam cerai talak, sehingga menurut

penulis judul tentang “Hak Ex Officio Hakim tentang Nafkah Mutah dalam Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Surabaya”, ini layak untuk diteliti lebih lanjut.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang dirumuskan di atas, pembahasan ini bertujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui dasar pertimbangan atau alasan hakim Pengadilan Agama Surabaya ketika menggunakan atau tidak menggunakan hak ex officionya.

15 Atik Asroriyah, “ Penerapan Asas

Ultra Petitum Partium Kaitannya dengan Hak Ex Officio

Hakim terhadap Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Gresik, Sidoarjo, dan Kota Malang”


(22)

13

2. Mengetahui cara hakim menggunakan hak ex officio dalam mengadili nafkah mutah bagi istri pada perkara cerai talak yang terjadi di Pengadilan Agama Surabaya.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Adapun manfaat dari hasil penelitian ini ialah : 1. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan bisa menambah wawasan mengenai ilmu hukum khususnya dibidang hukum perdata dalam lingkungan Pengadilan Agama yaitu mengenai hak ex officio hakim dalam menangani nafkah mutah istri pada perkara cerai talak.

2. Secara praktis

Berguna untuk hakim sebagai penegak keadilan agar dalam menangani dan melaksanakan tugasnya dengan kompeten didalam Pengadilan khususnya Pengadilan Agama Surabaya. Begitu juga berguna bagi masyarakat agar mengetahui bagaimana hakim menggunakan hak ex officionya dan apakah sudah efektif atau belum dengan hak ex officionya dalam mengatasi perkara cerai talak beserta akibat hukumnya yakni mengenai nafkah mutah.


(23)

14

Untuk menghindari keraguan pada penafsiran istilah yang dipakai dalam penelitian ini, maka peneliti mendefinisikan istilah-istilah sebagai berikut :

1. Hak ex officio hakim adalah hak yang ada pada hakim yang penerapannya dilakukan karena jabatan demi terciptanya keadilan bagi masyarakat.16 Dalam artian hak atau kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada hakim.

2. Mutah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang telah dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.

H. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Studi ini menggunakan penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan adalah penelitian yang mengambil data primer langsung ke lapangan.17 Yaitu meneliti ke Pengadilan Agama Surabaya untuk mendapatkan data secara langsung. Karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang mana mencari data yang berkenaan dengan masalah tertentu kemudian diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicari cara penyelesaiannya dengan cara berinteraksi dengan pihak yang bersangkutan dalam penelitian.

2. Sumber data

16 M. Faisyal Arianto, “Hukum Perdata Islam”, dalam

http://Hukum Perdata

Islam/Penerapan/Asas/Ultra/Petitum/Partium/Terkait/Hak/Ex Officio/Hakim.html, diakses 27 September 2011.

17


(24)

15

Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah: a. Sumber data primer

1. Hakim Pengadilan Agama Surabaya tentang keberlakuan dan dasar pertimbangan dalam menggunakan hak ex officio Hakim serta cara menentukan mutah istri.

b. Sumber data sekunder

Sumber sekunder yaitu sumber data dari bahan yang terkait dengan penelitian, mengumpulkan dan meneliti data melalui dokumen-dokumen resmi Pengadilan Agama, buku-buku, perundang-undangan, jurnal ilmiah, media cetak maupun online yang berkaitan dengan masalah yang mempunyai hubungan dengan penelitian. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian yaitu: 1) Buku terbitan Sinar Grafika tahun 2013 oleh Muhammad

Syaifuddin yang berjudul Hukum Perceraian.

2) Buku terbitan Graha Ilmu tahun 2011 oleh Mardani yang berjudul Hukum Perkawinan di Dunia Islam Modern.

3) Buku terbitan Pustaka Pelajar tahun 1996 oleh Mukti Arto yang berjudul Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. 4) Buku terbitan Prenada Media tahun 2003 oleh Abd. Rahman

Ghazaly yang berjudul Fikih Munakahat. 5) Kompilasi Hukum Islam

6) Karya ilmiah skripsi karya Devi Nurfiyah, Aslikhatul Laili dan Atik Asroriyah.


(25)

16

3. Teknik pengumpulan data a. Wawancara

Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan Hakim di Pengadilan Agama Surabaya mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menggunakan atau tidak menggunakan hak ex officionya, cara hakim menentukan mutah istri dalam perkara cerai talak, seberapa efektif hakim menggunakan hak ex officionya, serta hal-hal lain yang penting dan berkaitan dengan judul penelitian penulis. Yaitu mewawancarai Bapak Khatim Junaidi, S.H., S.Ag, M.HI. dan Drs. Mufi Ahmad Baihaqi, MH. Selaku Hakim di Pengadilan Agama Surabaya.

b. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan padasubyek penelitian, namun melalui dokumen. Dalam penelitian ini yakni dokumen-dokumen yang ada di Pengadilan Agama Surabaya yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti sebagai pelengkap penelitian. 4. Teknik pengolahan data

Setelah semua data yang diperlukan terkumpulkan, maka penulis menggunakan teknik berikut untuk mengolah data:


(26)

17

a. Editing, yaitu pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan. Dengan perkataan lain, editing merupakan pekerjaan memeriksa kembali informasi yang telah diterima peneliti.18

b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah.

5. Teknik analisis data

Untuk menganalisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, teknik studi dokumenter selanjutnya dianalisis menggunakan metode verifikasiatau penarikan kesimpulan yang mana dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada di lapangan yaitu dengan menilai putusan cerai talak di Pengadilan Agama Surabaya yang berkaitan dengan diterapkannya kewenangan ex officio Hakim dalam memutuskan atau mengadili perkara cerai talak serta akibat yang ditimbulkannya yakni mengenai nafkah mutahnya.

Adapun juga menggunakan pola pikir induktif yaitu menilai fakta-fakta empiris yang ditemukan dan kemudian dicocokkan dengan landasan yang ada, dengan memaparkan bagaimana Hakim menggunakan hak ex officio dalam mengadili perkara cerai talak serta akibat hukumnya berupa nafkah mutah istri, dan menganalisis putusan yang menggunakan ex officio hakim.

18


(27)

18

I. Sistematika Pembahasan

Sebagai gambaran tentang skripsi ini maka penulis sajikan sistematikanya sebagai berikut :

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang memuat uraian tentang latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, merupakan landasan teori, pada skripsi ini penulis menjelaskan teori-teori yang digunakan dalam penelitian tersebut. Teori ini membahas tentang konsep teori hak ex officio hakim berupa pengertian ex officio, dasar hukum hak ex officio hakim, dan tinjauan umum tentang nafkah mutah dalam perkara cerai talak yang meliputi pengertian serta aturan hukum dalam pemberian nafkah mutah.

Bab ketiga, menguraikan tentang deskripsi hasil penelitian yang meliputi tentang gambaran umum Pengadilan Agama Surabaya dan penerapan hak ex officio hakim pada mutah talak yang terjadi di Pengadilan Agama Surabaya.

Bab keempat, merupakan isi pokok dari permasalahan skripsi tentang hak ex officio hakim terhadap nafkah mutah istri dalam perkara cerai talak di Pengadilan Agama Surabaya.

Bab kelima, merupakan bab penutup dalam penelitian ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


(28)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK EX OFFICIO HAKIM DAN

MUTAH TALAK

A. Konsep Teori Hak Ex Officio Hakim 1. Pengertian ex officio hakim

Pengertian ex officio menurut Sudarsono dalam kamus hukum ex officio berarti karena jabatan.1 Dimana hakim boleh memutus suatu perkara meskipun tidak diminta selama yang ditentukan itu suatu kewajiban yang melekat bagi penggugat maupun tergugat.

Selanjutnya menurut Zainul Bahri pengertian ex officio yakni karena jabatan, tanpa memerlukan pengangkatan atau penetapan lagi untuk tugas yang baru tersebut.2

Jadi pengertian hak ex officio hakim adalah hak untuk kewenangan yang dimiliki oleh hakim karena jabatannya. Dan salah satunya ialah untuk memutus atau memberikan sesuatu yang tidak ada dalam tuntutan, yakni memberikan hak yang dimiliki oleh mantan istri.

1

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 121.

2


(29)

20

2. Dasar hukum hak ex officio hakim

Dalam perkara perceraian hakim dapat memutus lebih dari yang diminta karena jabatanya, hal ini berdasarkan pasal 41 huruf c Undang- undang Perkawinan bahwa Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri.3

Demikian juga dalam proses hukum cerai talak di Pengadilan Agama yang diuraikan secara teknis yuridis dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (Edisi Revisi 2020) pada butir ke 7 (tujuh) yakni: Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah idah atas suami untuk istrinya, sepanjang istrinya tidak terbukti berbuat nusyu dan menetapkan kewajiban mutah (Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf a dan b Kompilasi Hukum Islam).4

Selain itu, juga terdapat pada pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR bahwasanya hakim wajib mengadili seluruh petitum yang diajukan. Hakim tidak boleh mengadili lebih dari yang diminta, kecuali undang-undang menentukan lain.5 Sedangkan Menurut Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya yakni putusan pada tanggal 8 Januari 1972, berpendapat bahwa mengabulkan lebih daripada yang digugat adalah diiizinkan, selama hal ini

3

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2012), 88.

4

Muhammad Syaifuddin, et al., Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 254.

5

A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


(30)

21

masih sesuai dengan kejadian materiil. Kemudian putusan Mahkamah Agung pada tanggal 23 Mei 1970, bahwasannya meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak pantas sedang penggugat mutlak menuntut sejumlah itu Hakim berwenang untuk menetapkan berapa sepantasnya harus dibayar, hal itu tidak melanggar Pasal 178 HIR ayat (3).6

3. Tugas hakim dan kekuasaan Pengadilan Agama

Hakim Peradilan Agama mempunyai tugas untuk menegakkan hukum perdata islam yang menjadi wewenangnya dengan cara-cara yang diatur dalam hukum acara Peradilan Agama.

Tugas-tugas pokok hakim di Pengadilan Agama dapat dirinci sebagai berikut:7

1. Membantu pencari keadilan

Dalam perkara perdata, Pengadilan membantu para pencari keadilan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Pemberian bantuan tersebut harus dalam hal-hal yang dianjurkan dan atau diizinkan oleh hukum acara perdata. Seperti halnya memberi penjelasan tentang alat bukti yang sah, mengarahkan dan membantu memformulasikan perdamaian dan lain sebagainya.

2. Mengatasi segala hambatan dan rintangan

Hakim wajib mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan baik yang

6

R.Soeroso, Hukum Acara Perdata Lengkap dan Praktis HIR, RBG dan Yurisprudensi, (Jakarta:

Sinar Grafika,2010), 134-136. 7


(31)

22

berupa teknis maupun yuridis. Hambatan teknis diatasi dengan kebijaksanaan hakim sesuai dengan kewenangannya, sedang hambatan yuridis maka hakim karena jabatannya wajib menerapkan hukum acara yang berlaku dan menghindari hal-hal yang dilarang dalam hukum acara, karena dinilai akan menghambat atau menghalangi obyektifitas hakim atau jalannya peradilan.

Hal-hal yang dilarang oleh Undang-undang maka hakim karena jabatannya harus segera mengatasinya tanpa harus menunggu permintaan dari para pihak, misalnya hakim wajib menyatakan diri tidak berwenang dalam hal perkara yang diadili di luar kompeten absolut Pengadilan Agama atau diluar kompetensi relatif Pengadilan Agama yang bersangkutan dalam perkara perceraian.8

3. Mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa

Perdamaian adalah lebih baik daripada putusan yang dipaksakan. Dalam perkara perceraian, lebih-lebih jika sudah ada anak, maka hakim harus lebih sungguh-sungguh dalam upaya perdamaian. 4. Memimpin persidangan

Dalam memimpin persidangan ini hakim; menetapkan hari sidang, memerintahkan memanggil para pihak, mengatur mekanisme sidang, mengambil prakarsa untuk kelancaran sidang, melakukan pembuktian, dan mengakhiti sengketa.

5. Memeriksa dan mengadili perkara

8


(32)

23

Pelaksanaan tugas memeriksa dan mengadili harus dicatat secara lengkap dalam Berita Acara Persidangan yang meliputi tentang duduknya perkara, pertimbangan hakim, dan amar putusan yang memuat hasil akhir.

6. Meminutir berkas perkara

Minutering atau minutasi ialah suatu tindakan yang menjadikan semua dokumen resmi dan sah. Minutasi dilakukan oleh pejabat atau petugas Pengadilan sesuai dengan bidangnya masing-masing, namun secara keseluruhan menjadi tanggungjawab hakim yang bersangkutan.9 7. Mengawasi pelaksanaan putusan

Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan. Hakim wajib mengawasi pelaksanaan putusan agar putusan dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar serta supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.

8. Memberikan pengayoman kepada pencari keadilan

Hakim wajib memberikan rasa aman dan pengayoman kepada pencari keadilan. Pengadilan Agama bukan saja dituntut untuk memantapkan diri sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang harus menerapkan hukum acara dengan baik dan benar, tetapi juga sebagai lembaga sosial yang menyelesaikan masalah sengketa keluarga dengan

9


(33)

24

cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan rohani dan sosial kepada anggota keluarga pencari keadilan.

Dalam hal ini, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Putusan Hakim yang baik ialah yang memenuhi tiga unsur atau aspek sekaligus secara berimbang, yaitu memberikan kepastian hukum, rasa keadilan, dan manfaat bagi para pihak dan masyarakat.

9. Menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal serupa juga diamanatkan dalam Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam, yaitu bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.

10. Mengawasi penasehat hukum

Hakim wajib mengawasi penasehat hukum yang berpraktek di Pengadilan Agama.10

Tugas hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara yaitu:11

10


(34)

25

1. Konstatiring, yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara pada putusan Hakim.

Kontatiring meliputi:

 Memeriksa identitas pihak

 Memeriksa kuasa hukum para pihak (jika ada)  Mendamaikan pihak-pihak

 Memeriksa syarat-syaratnya sebagai perkara

 Memeriksa seluruh fakta atau peristiwa yang dikemukakan para pihak.  Memberikan syarat-syarat dan unsur-unsur setiap fakta atau peristiwa  Memeriksa alat-alat bukti sesuai tata cara pembuktian

 Memeriksa jawaban, sangkalan, keberatan dan bukti-bukti pihak lawan.

 Mendengar pendapat atau kesimpulan masing-masing pihak  Menerapkan pemeriksaan sesuai hukum acara yang berlaku.

2. Kwalifisir, yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan, yang meliputi:

 Mempertimbangkan syarat-syarat formil perkara  Merumuskan pokok perkara

 Mempertimbangkan beban pembuktian

 Mempertimbangkan keabsahan peristiwa atau fakta sebagai peristiwa atau fakta hukum

11


(35)

26

 Mempertimbangkan secara logis, kronologis dan juridis fakta-fakta hukum menurut hukum pembuktian

 Mempertimbangkan jawaban, keberatan dan sangkalan-sangkalan serta bukti-bukti lawan sesuai hukum pembuktian

 Menemukan hubungan hukum peristiwa-peristiwa atau fakta-fakta yang terbukti dengan petitum

 Menemukan hukumnya, baik hukum tertulis maupun yang tak tertulis dengan menyebutkan sumber-sumbernya

 Mempertimbangkan biaya perkara.

3. Konstituiring yang dituangkan dalam amar putusan (dictum) yaitu:  Menetapkan hukumnya dalam amar putusan

 Mengadili seluruh petitum

 Mengadili tidak lebih dari petitum, kecuali undang-undang menentukan lain

 Menetapkan biaya perkara.12

Kekuasaan Pengadilan itu diatur dalam Bab III pasal 49 sampai dengan pasal 53 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Dalam ketentuan pasal 49 dinyatakan sebagai berikut:

1. Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam; c. Wakaf dan shadaqah.

12


(36)

27

2. Bidang perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.

3. Bidang kewarisan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.13

B. Tinjauan Umum Mutah Talak

1. Pengertian mutah

Secara etimologis mutah berarti suatu pemberian, suatu kenikmatan, penambah atau penguat, yang melengkapi, memenangkan dan menyenangkan. Secara terminologi fikih, mutah berarti pemberian suami kepada istri yang ditalaknya setelah talak dilakukan.14

Kata mutah dengan dhammah mim (mut’ah) atau kasrah (mit’ah)

akar kata dari Al-mata’, yaitu sesuatu yang disenangi. Maksudnya, materi yang diserahkan suami kepada istri yang dipisahkan dari kehidupannya sebab talak atau semakna dengannya dengan beberapa syarat.15

Sedangkan pengertian kata mutah dalam bahasa Indonesia dikutip dari kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai sesuatu (uang, barang,

13

Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung: Rosda,

1997), 165. 14

Abd. Somad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2009), 301. 15

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah,


(37)

28

dan sebagainya) yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya.16

Ulama berbeda pendapat tentang mutah talak, sebagai berikut:

Menurut Ibnu Hazmin (Ahlu al-Zahir) dan al-Thabari, mutah wajib bagi setiap istri yang ditalak baik setelah disetubuhi atau belum, sesudah atau belum ditetapkan maharnya.

1. Menurut Malikiyah, mutah hukumnya sunah bagi setiap istri yang dicerai dalam semua keadaan, karena firman Allah SWT pada potongan ayat

Haqqan ala al Muhsini<n” bermakna orang yang mampu. Jadi orang yang tidak mampu tidak termasuk. Dengan demikian perintah yang ada pada ayat mutah menunjukkan amar mandub (sunah). Akhir ayat tersebut juga memperlihatkan bahwa pemberian mutah sebagai perbuatan orang yang hendak melakukan kebaikan dan keutamaan. Dan penyifatan perbuatan sebagai ihsan (kebaikan) tidak bermakna wajib.

2. Menurut Abu Hanifah, mutah wajib atas orang yang menceraikan istrinya sebelum ia disetubuhi atau belum ditentukan maharnya. Sedangkan bagi istri yang dicerai sebelum disetubuhi tetapi sudah ditentukan maharnya, maka suami memberikan separuh dari mahar yang telah ditentukan. 3. Menurut Qaul Jadid Imam Syafi’i dan Ahmad Hambali, mutah wajib

diberikan kepada setiap istri yang dicerai, kecuali istri yang belum disetubuhi tetapi sudah ditentukan maharnya.17

16

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat, 945. 17

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011),


(38)

29

2. Dasar hukum mutah

Dalil tentang mutah yakni terdapat pada surah Albaqarah ayat 236-237:                                          

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mutah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.                                                             

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.18

Ayat pertama, menjelaskan hukum wanita tercerai sebelum bercampur dan belum ditentukan maharnya, ia wajib diberi mutah. Kewajiban mutah dalam kondisi ini sebagai pengganti kewajiban, yaitu separuh mahar mitsil. Pengganti wajib hukumnya juga wajib, karena ia menempati di tempat wajib dan memposisikan pada posisinya. Dasar ayat diatas yaitu talak ini

18


(39)

30

jatuh pada nikah sedangkan menikah menuntut pengganti (iwad) yang didapatkan wanita. Dalam kondisi mahar disebutkan baginya separuh mahar yang disebutkan itu jika talak terjadi sebelum bercampur dan dalam kondisi mahar tidak disebutkan baginya mutah sehingga pernikahan ini tidak lepas dari iwad (pengganti) bagi wanita.

Ayat kedua, menjelaskan hukum wanita tercerai sebelum bercampur dan telah ditentukan maharnya, hukumnya ia wajib diberi separuh mahar yang ditentukan.

Kemudian golongan pendapat mutah adalah sunah tidak wajib, metode pemahamannya yaitu kewajiban tidak hanya dikhususkan pada orang-orang yang berbuat baik dan takwa, tetapi juga kepada yang lain. Ketika mutah dikhususkan kepada mereka, menunjukkan bahwa mutah hukumnya tidak wajib.19 Dan juga mengambil dalil dari firman Allah Alquran surah Albaqarah ayat 241:















Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.20

Kekhususan mutah kepada orang-orang yang berbuat baik dan takwa didasarkan pada kebaikan (ihsan) dan anugerah, kebaikan tidak wajib. Dalil yang dijadikan dasar bagi pendapat kedua terjawab bahwa kewajiban teradap orang yang berbuat baik dan takwa tidak menghilangkan kewajiban terhadap

19

Abdul Azizi Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat ...,

209-210. 20


(40)

31

yang lain. Perbandingannya dengan firman Allah bahwa Alquran menunjukkan kepada orang-orang takwa tidak meniadakan bahwa Alquran menunjukkan kepada manusia seluruhnya, baik yang takwa, orang yang berbuat baik, dan yang lainnya. Pendapat yang kuat menurut kita adalah pendapat yang pertama karena kuat dalilnya dan selamat dari kontradiksi.21

Secara z}ahir Alquran surah Albaqarah ayat 24, sesungguhnya mengehndaki suami wajib memberi mutah, yaitu pemberian sukarela, disamping nafkah, kepada istri yang diceraikannya, hal inipun diakui oleh Ibn Qudamah.22

Dan Q.S. Al ahzab ayat 49:

                                     

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya. Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mutah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.23

Perceraian yang terjadi sebelum terjadi persetubuhan dalam pernikahan yang didalamnya tidak disebutkan mahar, hanya saja diwajibkan setelahnya, menurut pendapat Abu Hanifah dan Muhammad.

Sejalan dengan ini, menurut riwayat yang disampaikan banyak ulama Hanafiyah, sesungguhnya Imam Ahmad bin Hambal berpendapat

21

Abdul Azizi Muhammad Azzam, abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat ..., 211.

22

Husni Syams, (Hak Mutah Istri Pasca Perceraian), dalam http: //Ensiklopedi Fikih Online/Hak/Mutah/Istri/Pasca/Perceraian. Html, diakses pada 31 Maret 2010.

23


(41)

32

bahwa mutah itu wajib hukumnya untuk semua istri yang ditalak, tanpa mempertimbangkan jenis maharnya dan perceraiannya. Pendapat ini berdasarkan ini didasarkan makna z}ahir dari surah Albaqarah ayat 241 dan al-Ahzab ayat 49. Akan tetapi dengan mempertimbangkan berbagai riwayat, yang menurut mereka mutawatir, yang berbeda dengan pendapat itu, maka mereka mengkompromikan kehendak z}ahir ayat itu dengan riwayat tersebut. Sebagai hasilnya, mereka berkesimpulan bahwa hukum dasar mutah itu hanyalah sunah.24

Mengenai kewajiban mutah dijelaskan juga di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 huruf (a) bahwa, bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: memberikan mutah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhu<l.25 Kemudian pada pasal 158 KHI dijelaskan bahwa suami wajib memberikan mutah jika:

a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al dukhu<l; b. Perceraian itu atas kehendak suami.

Berdasarkan Pasal 158 ayat (b) ini, jika perceraian tersebut berasal dari kehendak istri yaitu dengan jalan khuluk, maka suami tidak wajib untuk membayarkan mutah kepada mantan istrinya. Suami berkewajiban memberikan mutah apabila syarat yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 158 tersebut ada. Apabila tidak terdapat ketentuan dalam pasal

24

Husni Syams, (Hak Mutah Istri Pasca Perceraian), dalam http: //Ensiklopedi Fikih

Online/Hak/Mutah/Istri/Pasca/Perceraian. Html, dikases pada 31 Maret 2010. 25


(42)

33

158 KHI ini, maka suami tidak wajib untuk memberikan mutah kepada mantan istrinya. Hukum suami memberikan mutah ketika tidak terpenuhinya ketentuan pasal 158 KHI ini menjadi sunah, sebagaimana yang disebutkan

dalam pasal 159 KHI; “Mutah sunah diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158.”26

Menurut penjelasan Mohd. Idris Ramulyo, Mahmud Yunus dan juga Sajuti Thalib, bahwa kewajiban suami yang telah menjatuhkan talak kepada istrinya, yaitu memberi mutah (memberikan untuk menggembirakan hati) kepada bekas istri. Suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya hendaklah memberikan mutah pada bekas istrinya itu. Mutah itu boleh berupa pakaian, barang-barang atau uang sesuai dengan keadaan dan kedudukan suami. Firman Allah pada surah Albaqarah ayat 241, yang pada intinya menyatakan untuk perempuan-perempuan yang ditalak berikanlah mutah itu, maka boleh diminta keputusan kepada Hakim menetapkan kadarnya mengingat keadaan dan kedudukan suami.27

3. Aturan hukum pemberian mutah talak

a. Ukuran mutah menurut para ulama:

1. Menurut Malikiyah, Hanabilah dan sebagian ulama Syafi’iyah serta Abu Yusuf, mutah disesuaikan dengan keadaan suami. 2. Menurut Hanafi dan sebagian ulama Syafi’iyah, mutah

disesuaikan dengan keadaan istri dengan alasan bahwa kata-kata

26

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jami’ al-Ahkam Alquran, juz

18, jilid 9, (Beirut: 1995), 158. 27


(43)

34

makruf dalam Q.S. Albaqarah ayat 236 yang sudah tertera di atas adalah yang pantas dan layak bagi istri. Selain itu Alquran telah menggambarkan ukuran salah satu jenis mutah bagi istri yang belum disetubuhi tetapi telah ditetapkan maharnya yaitu sejumlah ukuran mutah. Dan acuan ukuran mutah kepada mahar ini menunjukkan pertimbangan kepada keadaan perempuan. 3. Menurut sebagian ulama Hanafiah dan Syafi‘iyah, ukuran mutah

harus mempertimbangkan kedua belah pihak antara suami istri.28

b. Jumlah mutah menurut ulama

1. Menurut Hanafi dan Syafi‘i yang terkuat menyerahkan penetapan jumlah mutah kepada hakim karena syariah tidak menentukan jumlahnya secara pasti dan hal-hal yang bersifat ijtihadiyah harus diserahkan kepada hakim untuk memutuskannya dengan melihat keadaan. Satu pendapat lain dari kalangan Syafi‘i dan Hanafi menyebutkan bahwa pihak istri boleh menetapkan sejumlah harga yang jelas dan pasti.

2. Menurut sebagian ulama Hanabilah jumlah tertinggi mutah bagi yang kaya adalah kira-kira seharga seorang pembantu dan bagi yang miskin jumlah terendah adalah sepotong pakaian. Artinya mereka tidak membatasi harga secara pasti tetapi sekedar memberikan acuan atau gambaran.

28


(44)

35

3. Menurut ulama Hanafi, jumlah mutah disesuaikan dengan kondisi zaman. Seperti pada masa itu dengan sebuah baju besi, kuda, selimut atau setengah mahar mitsil ketika itu terendah 5 dirham, karena pada waktu mahar yang paling rendah 10 dirham. Pendapat ini boleh menentukan harga mutah secara pasti dan mutlak atas suami, tetapi pendapat ini minoritas atau kurang mendapat dukungan Hak nafkah dan mutah bagi istri yang ditalak yang dikemukakan oleh para ulama di atas akan efektif dan berlaku serta dapat dilaksanakan bila si sitri tidak diklaim nusyu.29

Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu pada Pasal 160 menjelaskan bahwasanya besarnya mutah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.30

Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi’i dan para sahabatnya,

mereka berpendapat bahwa, nafkah itu harus ditentukan dan dibatasi. Hakim dan mufti tidak perlu melakukan ijtihad dalam hal ini. Yang menjadi pertimbangan dalam hal ini adalah kondisi suami seorang, apakah dia itu kaya atau miskin.

Alquran tidak secara tegas menyebutkan bahwa istri yang nusyu tidak berhak mendapat nafkah. Para ulama menarik kesimpulan di atas

29

Ibid. 30


(45)

36

berdasarkan pemahaman kompensasi hak dan kewajiban antara suami-istri.

Dengan mengacu kepada Alquran surah Annisa’ ayat 34:

                                                                      

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyunya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.31

Ulama menetapkan bahwa ketaatan istri adalah wajib dan merupakan hak suami. Karena kalau ketaatan istri tidak menjadi hak suami maka kepemimpinan suami yang diisyaratkan dalam ayat ini tidak akan terlaksana.

Hak suami atas ketaatan istrinya ini lebih tegas lagi diterangkan dalam ayat yang memberikan wewenang kepada suami untuk menghukum istrinya dalam rangka memperbaiki kelakuan istri untuk taat kepada suaminya. Dipihak lain ulama menetapkan bahwa nafkah adalah hak istri dan

31


(46)

37

kewajiban suami. Jadi meninggalkan kewajiban (taat) oleh istri kepada suami disimpulkan mengakibatkan gugurnya hak nafkah istri dari suaminya.32

c. Batas waktu penyerahan mutah

Al-Qurthubiy menyebutkan bahwa kalau si isteri tidak mengetahui bahwa ia memiliki hak mutah, dan tidak menerimanya, sampai berlalu beberapa tahun, maka mutah itu harus diserahkan kepadanya, meskipun ia telah menikah. Kalau ia telah meninggal, mutah itu harus diserahkan kepada ahli warisnya. Akan tetapi menurut riwayat yang berasal dari Ibn al-Mawaz yang berasal dari Ibn al-Qasim, hak si isteri gugur dengan kematiannya itu. Karena mutah itu harus diserahkan kepada isteri yang ditalak, dan ia telah kehilangan hak itu dengan kematian yang dialaminya.

Logika yang digunakan pendapat pertama adalah bahwa mutah itu adalah kewajiban yang bersifat tetap terhadap suami, dan ketika si isteri meninggal dunia, maka hak itu berpindah kepada ahli warisnya, sama seperti berbagai hak lainnya. Hal ini didasarkan pada pendapat yang mengatakan bahwa mahar itu adalah wajib.33

Pemberian mutah merupakan kewajiban suami dan merupakan hak seorang isteri yang dicerai suami. Namun di dalam Alquran maupun kitab fikih serta Kompilasi Hukum Islam belum ditemukan ketentuan pasti mengenai batas waktu dan tempat penunaian mutah. Kondisi semacam ini menyebabkan hakim menilai bahwa dirinya bebas untuk tidak menentukan

32

Mardani, Hukum Perkawinan Islam ..., 77.

33

Husni syams,(Hak Mutah Istri Pasca Perceraian),dalam http://Ensiklopedi Fikih


(47)

38

batas waktu penunaian mutah ketika ia telah memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak. Tetapi bila dipahami bahwa maslah mutah sangat berkaitan erat dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dengan masalah talak, tentunya akan mengilhami hakim untuk menentukan batas waktu penunaian mutah ketika ia telah memberi izin ikrar talak kepada Pemohon terhadap Termohon.

Keberadaan talak merupakan syarat mutlak yang harus ada terlebih dahulu sebelum keberadaan mutah. Seorang suami harus dinyatakan terlebih dahulu telah menceraikan istrinya sebelum ia dibebani atau dihukum untuk membayar mutah. Hubungan antara sebab akibat kedua hal tersebut merupakan suatu penalaran logis dalam penerapan hukum.34

Majelis hakim ketika sidang penyaksian ikrar talak ia tidak mempunyai dasar hukum maupun alasan menolak kehendak Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak meskipun Pemohon belum siap dengan pembayaran mutah. Majelis hakim tidak berhak untuk menyimpangi putusannya yang telah berkekuatan hukum tetap meski dengan alasan itikad baik untuk kemaslahatan umat. Dalam hal ini, diperlukan konsistensi majelis hakim untuk memedomani isi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang telah dibuatnya.35

34

Kusnoto, (Masa Pembayaran Beban Mutah dan Nafkah Idah Kaitannya dengan Hak

Pengucapan Ikrar Talak), 4-6. 35


(48)

BAB III

PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIMTENTANGNAFKAH MUTAH PADA PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Surabaya 1. Profil Pengadilan Agama Surabaya

Peradilan Agama adalah salah satu Badan Peradilan dibawah Mahkamah Agung RI yang memiliki peranan penting dalam mewujudkan visi Mahkamah Agung RI untuk mewujudkan Badan Peradilan Indonesia Yang Agung. Visi Pengadilan Agama Surabaya mengacu pada visi Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya adalah sebagai berikut:

“Terwujudnya Kesatuan Hukum dan Aparatur Pengadilan

Agama Surabaya yang Profesional, dan Akuntabel menuju Badan

Peradilan Indonesia yang Agung”

Untuk mencapai visi tersebut di atas, maka Pengadilan Agama Surabaya menetapkan misi-misi sebagai berikut:

1. Menjaga kemandirian Aparatur Pengadilan Agama;

2. Meningkatkan kualitas pelayanan hukum yang berkeadilan, kredibel dan transparan;

3. Mewujudkan kesatuan hukum sehingga diperoleh kepastian hukum bagi masyarakat;


(49)

41

4. Meningkatkan pengawasan dan pembinaan. 2. Sejarah berdirinya Pengadilan Agama Surabaya

Dasar hukum berdirinya Pengadilan Agama Surabaya adalah Staatblad 1882 No. 152 Jo STBL tahun 1937 nomor 116 dan 610, sejak berdirinya Pengadilan Agama Surabaya kemudian pindah di Jalan Peneleh Surabaya kemudian baru pada tahun anggaran 1977/1978 dengan dana proyek APBN dibangunlah kantor Pengadilan Agama Surabaya terletak di Jl. Gadung III/10 Surabaya seluas ± 250 m².

Pada tahun 1990 Pengadilan Agama Surabaya mendapatkan dana dari DIPA Kementrian Agama untuk pengadaan tanah dan pembangunan gedung kantor sehingga akhirnya Pengadilan Agama Surabaya pindah alamat ke Jl. Ketintang Madya VI/3 Surabaya dengan menempati gedung kantor yang sederhana diatas tanah berukuran ±1480 M².

Pada tahun 2006, 2008 dan 2009 Pengadilan Agama Surabaya mendapat Dana dari DIPA Mahkamah Agung RI untuk pembangunan gedung kantor secara bertahap hingga menjadi bangunan gedung berlantai 2 seperti sekarang ini, walaupun belum sesuai dengan Prototype gedung Pengadilan Agama Kelas IA.

Gedung Pengadilan Agama Surabaya yang terletak di Jl. Ketintang Madya VI/3 Kecamatan Jambangan Kota Surabaya diresmikan pada tanggal 16 Juli 2008 oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., MCL.


(50)

42

3. Yurisdiksi dan letak Pengadilan Agama Surabaya

Pengadilan Agama Surabaya adalah Pengadilan Agama Tingkat Pertama kelas 1A merupakan Yurisdiksi dari Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. Pengadilan Agama Surabaya terletak di Jl. Ketintang Madya VI/3 Surabaya yang mempunyai yurisdiksi 160 (seratus enam puluh) Kelurahan dan 31 (tiga puluh satu) Kecamatan, dengan luas wilayah 33.306,30 Km² dan jumlah penduduk 2.864.343 jiwa.

Secara Astronomis Kota Surabaya terletak pada 07.12 -› -112.54 lintang selatan dan 112.36 -› -112.54 bujur timur. Secara Geografis Kabupaten berbatasan sebagai berikut:

1. Sebelah Utara dengan Selat Madura. 2. Sebelah Timur dengan Selat Madura.

3. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Sidoarjo. 4. Sebelah Barat dengan Kabupaten Gresik.

B. Penerapan Hak Ex Officio Hakim tentang Mutah dalam Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Surabaya

1. Dasar pertimbangan hakim dalam hak ex officio

Hak ex officio hakim merupakan bagian dari hukum acara di Pengadilan Agama, yakni peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim atau cara bagaimana bertindak di muka Pengadilan Agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya. Dalam Pasal 54


(51)

43

UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, “ Hukum

Acara yang berlaku pada Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.

Hakim harus menguasai hukum acara (hukum formal) di samping hukum materil. Menerapkan hukum materil secara benar belum tentu menghasilkan putusan-putusan yang adil dan benar.1 Kemudian berdasarkan ketentuan pasal 27 UU. No. 14/1970 maka Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Demikian pula dalam bidang hukum acara di Peradilan Agama. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum acara yang bersumberkan dari syariah islam.

Hal ini di samping untuk mengisi kekosongan-kekosongan dalam hukum acara juga agar putusan yang dihasilkan lebih mendekati kebenaran dan keadilan yang diridloi Allah SWT karena diproses dengan cara yang diridhoi pula. Dengan demikian, maka putusan-putusan hakim akan lebih memberikan rasa keadilan yang memuaskan para pencari keadilan yang beragama islam itu.2

Dalam sistem hukum perkawinan kita, maka menurut ketentuan hukum islam terdapat suatu kewajiban yang melekat dalam diri daripada

1 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996), 7.


(52)

44

suami sebagai akibat suatu perbuatan hukum tertentu, misalnya pembayaran nafkah wajib bagi isteri, atau untuk anak, mutah yang melekat pada suami sebagai akibat permohonan ikrar talak dari suami, maka hakim secara ex officio, tanpa ada gugatan rekonvensi dari isteri, dapat menjatuhkan hukuman bagi suami sebagai pemohon untuk membayar nafkah atau mutah dan sebagainya (pasal 41 (c) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 149 Kompilasi Hukum Islam).3

Menurut hakim Mufi Ahmad Baihaqi, dalam menggunakan hak ex officio yaitu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada hakim, menggunakan atau tidak menggunakan tergantung fakta yang ada melihat pada kemampuan suami serta melihat dari tingkat pengabdian istri dan kesetiaan istri. Jadi hakim tidak semerta-merta dalam menggunakan hak ex officionya. Walaupun tidak diminta bisa diberikan karena secara agama ini merupakan tuntutan dan kewajiban bagi suami. Sedangkan dasar pertimbangan hakim tidak menggunakan hak ex officionya yaitu karena istri sudah tidak mau menerima apapun dari suami, jadi istri tidak mau menuntut hak-haknya.4

Selanjutnya menurut hakim Khatim Junaidi, hakim menggunakan hak ex officionya dengan dasar pertimbangan mengacu pada kemampuan suami, kepatutan dan kepantasan, serta istri telah meminta atau menuntut haknya. Dasar pokoknya adalah pasal 41 huruf c UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwasannya Pengadilan dapat mewajibkan kepada

3 Ibid., 107.


(53)

45

bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Selanjutnya pertimbangan hakim yang tidak menggunakan hak ex officionya yakni jikalau istri sudah merasa sakit hati, sehingga istri tidak meminta atau menuntut hak-haknya, karena istri berkeinginan perkaranya segera selesai, sudah tidak mau menerima apapun dari suami. Begitu juga jika istri tidak menggunakan jasa pengacara serta istri tidak mengetahui hak-haknya.5

Hakim tidak wajib menggunakan hak ex officionya, jadi jika istri tidak mengajukan rekonvensi atau tidak menuntut haknya maka hakim bisa tidak menggunakan hak ex officio. Hakim Pengadilan Agama Surabaya efektif sekali dalam menggunakan hak ex officionya, karena itu merupakan melindungi hak-hak istri pasca perceraian. Yang mana jika istri berkeinginan istri bisa mendapatkannya dengan mengajukan gugatan rekonvensi, dan alangkah baiknya jika istri mendapatkan hak-haknya berupa nafkah idah, nafkah anak, nafkah mad}iyah (materi) dan mutah.

2. Deskripsi cerai talak

Secara harfiah, talak berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya kata talak dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan, karena antara suami dan istri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologis, ulama mengemukakan


(54)

46

rumusan yang berbeda, namun esensinya sama, yakni melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafal talak dan sejenisnya.

Abdul Ghofur Anshori menjelaskan bahwa, dalam hukum islam hak talak ini hanya diberikan kepada suami (laki-laki) dengan pertimbangan, bahwa pada umumnya suami lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada istri (wanita) yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Hal ini dimaksudkan agar terjadinya perceraian lebih dapat diminimalisasi daripada jika hak talak diberikan kepada istri.6

Hukum islam menetapkan hak talak bagi suami dan suamilah yang memegang kendali talak, karena suami dipandang telah mampu memelihara kelangsungan hidup bersama. Suami diberi beban membayar mahar dan memikul nafkah istri dan menjamin anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah istri selama ia menjalankan masa idahnya. Hal-hal tersebut menjadi pengikat bagi suami untuk tidak menjatuhkan talak dengan sesuka hati.

Menjadikan hak talak di tangan suami akan lebih melestarikan hidup suami istri ketimbang hak talak itu di tangan istri. Dan jika bercerai bekas istri tidak menanggung beban materil terhadap bekas suaminya, tidak wajib membayar mahar, sehingga andaikata talak menjadi hak yang berada di tangan istri, maka besar kemungkinan istri lebih mudah menjatuhkan talak karena sesuatu sebab yang kecil.7

6 Muhammad Syarifudin et al.,Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),117-118. 7Abd. Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), 205.


(55)

47

Demikian pula halnya jika hak talak itu berada di tangan suami dan istri secara sama, artinya suami berhak menjatuhkan talak dan demikian pula istri, maka persoalannya menjadi lebih buruk dan lebih fatal, karena jika terjadi perselisihan sedikit saja maka istri akan cepat-cepat menjatuhkan talak. Oleh karena itu, dijadikannya talak di tangan suami mengandung hikmah yang besar. Kendati talak ditangan suami saja masih banyak istri yang mengajukan gugatan cerai lewat Pengadilan Agama, apalagi kalau istri diberi hak menjatuhkan talak, maka bencana perceraian akan melanda di mana-mana.8

Dalam hal kekuasaan talak di tangan suami itu, istri tidak perlu berkecil hati dan khawatir akan kesewenang-wenangan suami, karena hukum islam memberi kesempatan kepada istri untuk meminta talak kepada suaminya dengan mengembalikan mahar atau menyerahkan sejumlah harta tertentu kepada suami sebagai ganti rugi agar suami dapat memperoleh istri yang lain, kemudian atas dasar itu suami menjatuhkan talak. Inilah yang disebut dengan istilah khuluk (talak tebus).

Hukum islam tidak menutup kemungkinan bagi istri untuk menyelamatkan diri dari penderitaan yang menimpa dirinya sehingga menimbulkan madharat baginya bila perkawinan dilanjutkan, seperti suami menderita sakit yang wajib dijauhi, suami berperangai buruk, atau sebab-sebab lain semacam itu, sehingga istri selalu merasa tersiksa hidup bersama suaminya, maka istri boleh mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan


(56)

48

Agama, kemudian Hakim menceraikan antara keduanya melalui keputusan pengadilan.9

Muhammad Jawad Mughniyah menjelaskan bahwa disyaratkan bagi orang yang menalak hal-hal berikut ini:

1. Balig

Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun dia telah pandai. Demikian kesepakatan para ulama mazhab, kecuali Hambali. Para ulama mazhab Hambali mengatakan, bahwa talak yang dijatuhkan anak kecil yang mengerti dinyatakan sah, sekalipun belum mencapai sepuluh tahun.

2. Berakal sehat

Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang gila, baik penyakitnya itu akut maupun jadi-jadian (insidental), pada saat dia gila, tidak sah. Begitu pula halnya dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar dan orang yang hilang kesadarannya lantaran sakit panas yang amat tinggi sehingga ia meracau. Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang talak yang dijatuhkan oleh orang mabuk. Imamiyah mengatakan bahwa, talak orang mabuk sama sekali tidak sah. Sementara itu, mazhab empat berpendapat bahwa, talak orang mabuk itu sah manakala dia mabuk karena minuman yang diharamkan atas dasar keinginannya sendiri. Akan tetapi manakala yang dia minum itu minuman mubah (kemudian dia


(57)

49

mabuk) atau dipaksa minum (minuman keras), maka talaknya dianggap tidak jatuh.

Sementara itu talak orang yang sedang marah dianggap sah manakala terbukti bahwa dia memang mempunyai maksud menjatuhkan talak. Akan tetapi bila ucapan talaknya itu keluar tanpa dia sadari, maka hukumnya sama dengan hukum talak yang dijatuhkan orang gila.10

3. Atas kehendak sendiri

Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa (menceraikan istrinya), menurut kesepakatan para ulama mazhab, tidak dinyatakan sah

4. Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak

Dengan demikian seorang laki-laki mengucapkan talak karena lupa, keliru, atau main-main, maka menurut Imamiyah talaknya dinyatakan tidak jatuh.11

Lebih lanjut, Muhammad Jawad Mughniyah menjelaskan bahwa wanita yang ditalak, menurut kesepakatan para ulama mazhab, disyaratkan harus seorang istri. Sementara itu, Imamiyah memberi syarat khusus bagi sahnya talak terhadap wanita yang telah dicampuri, serta bukan wanita yang telah mengalami menopause dan tidak pula sedang hamil, hendaknya dia dalam keadaan suci (tidak haid dan tidak pernah dicampuri pada masa sucinya itu antara dua haid). Kalau wanita tersebut ditalak dalam keadaan

10

Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000), 441.


(58)

50

haid, nifas, atau pernah dicampuri pada masa sucinya, maka talaknya tidak sah.

Singkatnya, talak itu harus dijatuhkan pada saat istri dalam keadaan suci. Kalau tidak demikian, talak tersebut tidak dapat dianggap sebagai berdasar sunah. Talak dalam sunah Rasul memberi gambaran sebagai talak yang dilakukan terhadap wanita yang telah balig dan sudah dicampuri, serta bukan wanita yang memasuki masa menopouse dan sedang hamil. Sebab, tidak ada sunah Rasul yang berkaitan dengan talak bagi wanita yang masih kecil, belum dicampuri, atau yang memasuki masa menopouse dan sedang dalam keadaan hamil.12

Adapun macam-macam talak ditinjau dari segi waktu menjatuhkan talak, terdiri dari 2 (dua) macam talak, yaitu:

1. Talak sunah, ialah talak yang dibolehkan atau sunah hukumnya, yang diucapkan 1 (satu) kali dan istri belum digauli ketika suci dari haid. Jika talak yang diucapkan berturut-turut sebanyak tiga kali pada waktu yang berbeda dan istri dalam keadaan suci dari haid serta belum digauli pada tiap waktu suci dari haiditu. Dua kali dari talak itu telah dirujuk, sedangkan yang ketiga kalinya tidak dapat dirujuk lagi.

2. Talak bid ‘ah, ialah talak yang dilarang atau haram hukumnya, yang talaknya dijatuhkan ketika istri dalam kedaan haid, juga talak yang dijatuhkan ketika istri suci dari haid lalu disetubuhi oleh suami. Tergolong bid ‘ah jika suami menjatuhkan talak tiga sekaligus pada satu


(1)

62

Majelis Hakim dapat menggunakan hak ex officionya karena jabatannya dalam memutuskan suatu perkara dapat keluar dari aturan baku selama ada argumentasi yang logis dan sesuai aturan undang-undang. Ketentuan ini dimaksudkan agar hak-hak istri bisa terpenuhi, sehingga tidak ada penyesalan atau penderitaan dibelakang nantinya. Akan tetapi tidak semua perkara yang masuk ke Pengadilan Agama mengenai pemberian hak-hak istri akibat perceraian diputus dengan menggunakan hak-hak ex officio hakim. Karena hak ex officio merupakan hak opsi yang dimiliki oleh hakim, dimana hakim Pengadilan Agama dapat memilih untuk menerapkannya atau tidak, bukan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu perkara dan bukan suatu larangan yang tidak boleh dilanggar oleh hakim.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa serta pemahaman atas masalah skripsi yang

sudah dijelaskan pada bab sebelumnya,maka penulis dapat menyimpulkan

sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam hal penggunaan hak ex officio yaitu

tergantung pada fakta yang ada dengan melihat dari tingkat pengabdian

istri, kesetiaan istri semasa perkawinan, dan juga tingkat kemampuan

suami. Jadi hakim dalam menggunakan haknya ini tidak semerta-merta

dan tidak wajib menggunakan hak ex officionya, sesuai dengan fakta

yang ada seperti penyebab dari perceraian juga menjadi pertimbangan

hakim. Kemudian dasar dari hakim tidak menggunakan hak ex

officionya ialah karena istri sudah merasa sakit hati sehingga tidak menginginkan hak-haknya yang seharusnya diberikan oleh bekas suami

setelah perceraian.

2. Hakim Pengadilan Agama Surabaya efektif sekali menggunakan hak ex

officionya, karena ini bisa melindungi hak-hak istri. Hakim telah

mengadili ataumenentukanmutah istri dengan baik, dengan

mengabulkan rekonvensi penggugat atas dasar


(3)

64

begitu juga tidak boleh mengabulkan sebagian dari gugatan rekonvensi.

Boleh mengabulkan lebih dari yang diminta asalkan sesuai dengan

peraturan undang-undang tidak melebihi batas kewenangan, seperti

fakta materil atau ukuran kemampuan suami.Dalam pemberian hak-hak

istri ini mutah salah satunya, dan ini hanya bisa diminta dalam perkara

cerai talak atas dasar perceraian bukan kesalahan istri.

B. Saran

Berdasarkan dari hasil penelitian ini, penulis mengharapkan dapat

berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum

khususnya hukum acara perdata, hukum yang ada pada Pengadilan Agama.

Oleh karena itu peneliti menyajikan saran-saran yang patut diperhatikan

sebagai berikut:

1. Diharapkan kepada para hakim untuk menggunakan kewenangan hak ex

officionya dengan baik dan benar serta lebih bijaksana, agar terciptanya keadilan antara suami dan istri yang telah melakukan perceraian,

khususnya dalam hal hak-hak istri pasca perceraian.

2. Diharapkan kepada para hakim ketika menangani perkara cerai talak,

hakim agar lebih teliti, supaya bisa mempertimbangkannya dengan lebih

baik lagi dan menghasilkan putusan serta penetapan yang adil terkait

hak istri seperti mutah salah satunya. Karena itu merupakan suatu

pemberian yang wajib bagi mantan suami kepada mantan istri, hal ini


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, Abu. Al-Jami’ al-Ahkam Alquran, juz 18, jilid 9. Beirut:1995.

Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum Positif). Yogyakarta:UII Press, 2011.

Arianto, M. Faisyal. “Hukum Perdata Islam”, dalam http://Hukum Perdata Islam/Penerapan/Asas/Ultra/Petitum/Partium/Terkait/Hak/ExOfficio/Hakim. html, diakses 27 September 2011.

Asroriyah, Atik. “ Penerapan Asas Ultra Petitum Partium Kaitannya Dengan Hak Ex Officio Hakim Terhadap Perkara Cerai Talak Di Pengadilan Agama Gresik, Sidoarjo, Dan Kota Malang”. Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004.

Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Aulia, Nuansa. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2012. Aziz Muhammad Azzam, Abdul. Wahhab Sayyed Hawwas, Abdul. Fiqh

Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak. Jakarta: Amzah, 2009.

Bahri, Zainul. Kamus Umum Khusus Bidang Hukum dan Politik. Bandung: Angkasa, 1996.

Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

---, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Bandung: Rosda, 1997.


(5)

66

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. t.tp.: t.p.,t.t.

El Sheera, Marwa. “Fiqih Munakahat (Nafkah Kiswah dan Tempat Tinggal)”, dalam http://Justmine el Sheera/Fiqih Munakahat/(Nafkah Kiswah dan Tempat Tinggal).html, diakses pada 2 Juli 2012.

Ghazaly, Abd. Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2003.

Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Harjono, Mangun. Pembinaan, Arti dan Metode. Yogyakarta: Kanisius, 1986. Kusnoto. (Masa Pembayaran Beban Mutah dan Nafkah Idah Kaitannya dengan

Hak Pengucapan Ikrar Talak). t.tp.: t.p.,t.t.

Laili, Aslikhatul. “Analisis Atas Putusan Pengadilan Agama Jombang Nomor: 1540/Pdt.G/2012/PA.Jbg Tentang Hak Ex Officio Hakim Dalam Memberikan Nafkah Iddah Istri Yang Nusyuz”. Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013.

Mardani. Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011.

Masruhan. Metodologi Penelitian Hukum. Surabaya: Hilal Pustaka, 2013.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fikih Lima Mazhab. Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000.

Nurfiyah, Devi. “Analisis Yuridis terhadap Tidak Diterapkannya Kewenangan Ex Officio Hakim tentang Nafkah Selama Iddah dalam Perkara Cerai Talak: Studi Putusan No. 1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg”. Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014.


(6)

67

Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perceraian Islam : Suatu Analisis Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004.

Soeroso, R. Hukum Acara Perdata Lengkap dan Praktis HIR, RBG dan Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika,2010.

Somad, Abd. Hukum Islam: Penormaan prinsip syariah dalam hukum indonesia. Jakarta: Kencana, 2009.

Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994. ---, Kamus Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.

Syaifuddin. Muhammad.et al.. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Syams, Husni. “Hak Mutah Istri Pasca Perceraian),dalam http://Ensiklopedi Fikih

Online./Hak/Mutah/Istri/Pasca/Perceraian.html, diakses pada 31 Maret 2010. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press, 1974.


Dokumen yang terkait

Putusan Pengadilan Agama Kota Tangerang dalam perkara cerai talak dengan alasan isteri mafqud

7 109 72

Dampak cerai talak di luar presedur Pengadilan Agama terhadap nafkah dan nafkah pasca cerai : studi kasus di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab.Sukabumi)

0 5 74

Hak-Hak Isteri Pasca Cerai Talak Raj'i (Analisis Perbandingan Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)

0 32 143

Eksistensi kitab fikih dalam pertimbangan putusan hakim perkara cerai talak di pengadilan agama Jakarta Selatan Tahun 2010

0 12 119

PROSES PELAKSANAAN PUTUSAN PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN PEMBERIAN NAFKAH ANAK DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR.

0 0 11

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM TERHADAP HAK ASUH DAN NAFKAH ANAK DALAM CERAI GUGAT : STUDI PUTUSAN NOMOR 420/PDT.G/2013/PTA.SBY.

0 2 94

Eksistensi Hak Ex Officio Hakim dalam Perkara Cerai Talak | Ibrahim AR | SAMARAH: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam 2378 4667 1 SM

1 8 20

PENETAPAN KADAR NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH OLEH HAKIM PADA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA (Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017) - Test Repository

0 1 229

PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM TENTANG NAFKAH IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung Karang Nomor: 0168/Pdt.G/2012/PA.Tnk) - Raden Intan Repository

0 0 93

Tinjauan KHI dan PP No. 10 tahun 1983 terhadap pertimbangan hakim tentang hak-hak istri dalam perkara cerai talak di pengadilan agama Pacitan tahun 2016. - Electronic theses of IAIN Ponorogo

0 0 104