Putusan Pengadilan Agama Kota Tangerang dalam perkara cerai talak dengan alasan isteri mafqud

(1)

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA TANGERANG DALAM PERKARA CERAI TALAK DENGAN ALASAN ISTERI MAFQUD

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

IDHAM ABDUL FATAH R. NIM: 106044101403

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1431 H / 2010 M


(2)

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA TANGERANG DALAM PERKARA CERAI TALAK DENGAN ALASAN ISTERI MAFQUD

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh:

IDHAM ABDUL FATAH R. NIM: 106044101403

Di bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Kamarusdiana, S.Ag, MH Drs.H.Odjo Kusnara N., MA NIP : 197202241998031003 NIP : 194609041965101002

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH


(3)

J A K A R T A 1431 H / 2010 M

LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI

SEMINAR PROPOSAL SKRIPSI

Tim penguji seminar proposal skripsi Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah mengesahkan proposal skripsi :

Judul :“PERKARA CERAI TALAK DENGAN ALASAN ISTERI MAFQUD”(Analisis putusan perkara No. 687/Pdt.G/2009/PA.Tng dan perkara No. 992/Pdt.G/2009/PA.Tng)

Penyusun : Idham Abdul Fatah R. NIM : 106044101403

Konsentrasi : Peradilan Agama

Telah diuji dalam Seminar Proposal Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal Al Syakhshiyah pada hari senin, tanggal 17 mei 2010

Jakarta, 27 mei 2010

Disahkan oleh Penguji Seminar Proposal Skripsi : Ketua : Drs.H.A.Basiq Djali, SH, MA

(………)

NIP : 195003061976031001 Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH

(………)

NIP : 197202241998031003 Penguji I : Dr.JM.Muslimin, MA

(………)

NIP : 150 295 489

Penguji II : Drs.H.A.Basiq Djali, SH, MA

(………)

NIP : 195003061976031001 Catatan :

Setelah Revisi Proposal sesuai rekomendasi Penguji, Anda dapat mengajukan dosen pembimbing ke ketua Program Studi Ahwal Al Syakhshiyah dengan membawa proposal serta bukti lembar pengesahan ini.


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar S.1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Oktober 2010


(5)

KATA PENGANTAR









Assallamu‟allikum. Wr. wb

Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis terutama dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam penulis menyanjungkan kepada pemimpin revolusioner umat Islam tiada lain yakni junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan keluarga, serta para sahabat yang telah banyak berkorban dan menyebarkan dakwah Islam.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis hingga terselesaiakannya skripsi ini.

Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis mengugkapkan rasa hormat serta ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak:


(6)

2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Kamarusdiana, S.Ag, MH. Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah. 4. Drs.H.Odjo Kusnara N., MA dan Kamarusdiana, S.Ag, MH. Keduanya

merupakan pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam rangka menyelesaikan skripsi ini. 5. Para Narasumber dan Staf Lembaga Pengadilan Agama Tangerang, yang telah

memberikan penulis izin dan membantu meluangkan waktunya untuk melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian khususnya Dra. Ai Jamilah, MH. Yang telah memberikan informasi kepada penulis.

6. Seluruh Staff Pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan memberikan motivasi sepanjang penulis berada di sini. Selain itu, para Pimpinan dan Staf Perpustakaan baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

7. Teristimewa buat Ayahanda H. Asman AR dan Ibunda Hj. Mainah tercinta, yang telah merawat dan mengasuh serta mendidik dengan penuh kasih sayang dan memberikan pengorbanan yang tak terhitung nilainya baik dari segi moril maupun materil. Serta Kakanda Muttaqin Syaifuddin, SE, Mujahid Kurniawan, SP, H.


(7)

Mukhlis Rifa‟I, LC, Iffah Farihah dan Noviyanti Nalurita, S.Pd. Terimakasih atas segala doanya, kesabaran, jerih payah, serta nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga ananda dapat menyelesaiakan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan doa, sungguh jasanya tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan.

8. Teman-teman senasib dan seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2006. Terkhusus buat Khalishah Mulyani, Pipih Muhafilah, , Jamilah, Istiarini Cahyaningsih, Nuraida, Taqiyuddin Al-Qisty, Imam Hanafi, Raudhatul Irfan, Nahraji Zein, Ilyas Kartawijaya, Yaumil Agus Muharram dan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuannya dalam penulisan skripsi ini, dan kebersamaan yang tercipta selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberi warna dan memeriahkan hari-hari waktu kuliah, semoga persahabatan kita tak kan pernah memudar walau waktu dan jarak memisahkan.

9. Untuk orang terdekat penulis, Rahmah Rizkiyah dan keluarga, yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, selalu setia dan sabar dalam memberikan arahan dan motivasi yang amat bermanfaat bagi penulis hingga selesai skripsi ini.

Kepada semua pihak yang telah banyak memotivasi dan memberi inspirasi kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita, dan yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil. Hanya ucapan terima kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut diterima


(8)

sebagai amal baik disisi Allah SWT dan memperoleh pahala yang berlimpat ganda (amin).

Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Maka akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.

-Amin Ya Rabbal A‟lamin-

Jakarta, Oktober 2010 M

Dzulqa‟dah 1431 H


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Studi Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II SEPUTAR MASALAH PERCERAIAN ... 15

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ... 15

B. Alasan-alasan Terjadi Perceraian ... 17

C. Macam-Macam Perceraian ... 19

D. Akibat Perceraian ... 25


(10)

A. Pengertian Mafqud Menurut Fiqih ... 29

B. Pandangan Ulama Mazhab Tentang Mafqud ... 31

C. Peraturan UU No. 1 tahun 1974 Tentang Mafqud ... 35

D. Peraturan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tentang Mafqud... 37

BAB IV PERKARA CERAI TALAK DENGAN ALASAN ISTERI MAFQUD DI PENGADILAN AGAMA KOTA TANGERANG ... 38

A. Kronologi Perkara ... 38

B. Pertimbangan Hukum dan Putusan Majelis Hakim ... 40

C. Analisa Penulis ... 46

BAB V PENUTUP 50 A. Kesimpulan ... 50

B. Saran-Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN-LAMPIRAN

A. Surat Mohon Data / Wawancara B. Surat Keterangan Wawancara C. Pedoman Wawancara

D. Hasil Wawancara E. Contoh Putusan


(11)

1. Perkara No. 687/Pdt.G/2009/PA.Tng 2. Perkara No. 992/Pdt.G/2009/PA.Tng

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan sebuah lembaran kehidupan babak baru bagi setiap insan yang melakukannya. Ia adalah aktivitas kemanusiaan dengan makna yang luas dan berdimensi ibadah. Pernikahan yang dilakukan manusia merupakan naluri Illahiyah untuk berkembang biak melakukan regenerasi yang akan mewarisi tugas mulia dalam rangka mengemban amanat Allah sebagai khalifah di muka bumi.1

Agama Islam mengisyaratkan “nikah” sebagai satu-satunya bentuk hidup secara berpasangan yang dibenarkan. Melalui lembaga nikah, kebutuhan naluriah yang pokok dari manusia (yang mengharuskan dan mendorong adanya hubungan antara pria dan wanita) tersalurkan secara terhormat sekaligus memenuhi panggilan watak kemasyarakatan dari kehidupan manusia itu sendiri dan panggilan moral yang ditegakkan oleh agama. Sementara itu, kesejahteraan keluarga pun akan terwujud dengan baik, jika dapat dihayati dengan baik makna dan nilai yang ada dibalik

“nikah”itu.

1

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan (Analisa Perbandingan Antar Madzhab), (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h.2.


(12)

Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain. Sehingga mencintai, menghasilkan keturunan dan hidup dalam kedamaian sesuai dengan perintah Allah SWT dan petunjuk dari Rasul-Nya yaitu dengan perkawinan.

Islam membangun kehidupan keluarga atas dasar dua tujuan: pertama, menjaga keluarga dari kesesatan. Kedua, untuk menciptakan wadah yang bersih sebagai tempat lahir sebuah generasi yang berdiri di atas landasan yang kokoh dan teratur tatanan sosialnya.2

Perkawinan merupakan sunnah Rasulullah SAW yang disyari‟atkan Allah SWT kepada hamba-hambanya. Dalam perspektif Islam, perkawinan tidak hanya sebagai kebutuhan biologis seksualitas antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, akan tetapi Islam memandang sebuah perkawinan sebagai institusi untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Tidak jarang kita temukan dalam sebuah bahtera keluarga suami membenci istrinya, dan begitu juga sebaliknya karena perkawinan tidak dibangun di atas pondasi rumah tangga yang dipenuhi rasa kasih sayang, tafahum, komunikasi yang baik, serta suami isteri yang menjalankan kewajibannya masing-masing. Hak tersebut bisa berupa hak bersama-sama, misalnya hak sama-sama mendapatkan „kesenangan‟, hak isteri terhadap suami, seperti hak kebendaan (mahar dan nafkah), dan hak non kebendaan(keadilan), hak suami terhadap isteri, misalnya suami harus ditaati oleh

2

Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah: Pologami dalam Islam vs Monogami Barat, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet Ke-1, h. 8-9.


(13)

isteri dan sebagainya. Jika beberapa unsur di atas belum terpenuhi, maka hehidupan keluarga tidak akan berjalan dengan baik.3

Dalam Islam, perkawinan merupakan suatu ikatan, dan ikatan itu harus diupayakan terjalin utuh. Namun tidak demikian apabila secara manusiawi ikatan perkawinan dalam keluarga itu menjadi mustahil untuk dipertahankan. Hanya dalam keadaan yang tidak dapat dipertahankan itu sajalah perceraian diizinkan dalam

syari‟ah. Apabila keadaan itu timbul, seseorang hendaknya mencamkan dalam

hatinya bahwa melakukan perkawinan itu dia telah membuat janji ikatan yang kuat (mitsaqan ghalizha).

Dalam pasal 38 undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat terputus disebabkan karena: (1). Kematian; (2). Perceraian; (3). Atasan putusan pengadilan.4 Terutama pada kasus perceraian dapat terjadi karena adanya ikrar talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Namun dalam keadaan tertentu terdapat hak-hak yang menghendaki putusnya perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan maka kemudhorotan yang akan terjadi.5 Meski diperbolehkan untuk bercerai akan tetapi hal

3

Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar el-fikr, 1983), Juz II, h.135.

4

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. Ke-6, h. 274-275.

5


(14)

itu suatu perbuatan yang paling dibenci oleh syari‟at karena akan menghilangkan kemaslahatan antara suami-isteri.

Saat masalah yang sudah ada tidak dapat diselesaikan dengan upaya perdamaian, maka Islam memberikan solusi dengan dibolehkan perceraian, cerai atau putusnya perkawinan dapat terjadi atas kehendak suami ataupun kehendak isteri, hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian sehingga proses perceraian pun berbeda6, perceraian atas kehendak suami disebut cerai talak sedangkan perceraian atas kehendak isteri disebut cerai gugat.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 114, menyatakan bahwa: putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.7

Salah satu azas perkawinan yang ada adalah mempersulit terjadi perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang baik, apabila terpaksa melepaskannya dengan cara yang baik pula.

Pada dewasa ini dengan berjalannya waktu, perempuan atau isteri dengan isu-isu gender mulai meminta haknya untuk disamakan dengan laki-laki, karena isteri sudah sibuk dengan pekerjaannya dan penghasilannya pun lebih tinggi dari penghasilan suami, sebagai isteri sudah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang

6

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. Ke-1, h.206.

7

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Akademika Pressido, 1992), Cet. Ke-1, h. 140


(15)

isteri dan ibu rumah tangga yaitu berbakti kepada suami. Berbeda dengan sekarang tidak sedikit isteri yang berpenghasilan lebih tinggi tidak mau diperintah oleh suaminya yang penghasilannya pas-pasan, sebagai isteri seharusnya ia menjalankan apa yang menjadi kewajibannya salah satunya memberikan nafkah bathin terhadap suaminya.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 33 dinyatakan:

“suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu dengan yang lain.” Undang-undang tersebut dengan jelas menuntut pasangan suami isteri untuk berperilaku dan bertindak seperti yang disebutkan dalam undang-undang, tetapi kemudian dalam hal pasangan sering terjada penyimpangan, perceraian hemat penulis sangat mungkin terjadi. Misalnya, seorang suami yang menginginkan adanya perceraian karena isteri tidak mau mengurus dan melayani keperluan suami, sering keluar rumah tanpa izin suami, tidak patuh dan tidak hormat terhadap suami dan tidak lagi kembali ke pangkuan suami alias kabur. Hukum Islam menganjurkan suami untuk mengajukan cerai talak di Pengadilan seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam yang berhubungan dengan isteri hilang (mafqud/ghoib)pada pasal 116 point b yang menyatakan: “salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan

tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.”8

Seorang isteri hilang (mafqud) tentunya akan menimbulkan banyak akibat mulai dari anak tidak ada yang mengurus alias terlantar begitu pun dengan suami

8


(16)

keperluan dan segala macamnya tidak ada yang mengurus.dan lagi pula jarang kasus istri yang hilang (mafqud). Berangkat dari kasus tersebutlah, penulis ingin sekali mengadakan penelitian yang berkenaan dengan “PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA TANGERANG DALAM PERKARA CERAI TALAK DENGAN ALASAN ISTERI MAFQUD

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta pelebaran secara meluas maka penulis memberi batasan pembahasan ini pada masalah perceraian isteri mafqud di Pengadilan Agama Tangerang dengan Nomor Perkara 687/Pdt.G/2009/PA.Tng dan Nomor Perkara 992/Pdt.G/2009/PA.Tng). Penulis mengangkat judul isteri mafqud karena isteri mafqud kasusnya jarang sekali terjadi dan ulama fikih belum membahasnya secara eksplisit tentang isteri mafqud kebanyakan mengarah kepada suami mafqud.

2. Perumusan Masalah

Pada dasarnya kewajiban seorang isteri adalah berbakti kepada suami lahir dan bathin sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 81

ayat (1) “Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.” Dan dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 point b yang menyatakan: “salah satu pihak

meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.” Tetapi Yang


(17)

menjadi masalah istri baru enam bulan mafqud (hilang) suami sudah mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama Kota Tangerang dan Permohonannya tersebut diterima dan diputus bercerai oleh Hakim.

Rumusan tersebut penulis merinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a. Bagaimana Majelis Hakim Pengadilan Agama Kota Tangerang dalam memproses

perceraian karena mafqud?

b. Bagaimana putusan Hakim di Pengadilan Agama Kota Tangerang mengenai cerai talak tersebut?

c. Apa sumber utama yang dipakai oleh Majelis Hakim di Pengadilan Agama Kota Tangerang dalam menangani cerai talak tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui cara Majelis Hakim Pengadilan Agama Kota Tangerang dalam memproses perceraian karena isteri mafqud.

b. Mengetahui bentuk putusan Hakim di Pengadilan Agama Kota Tangerang mengenai cerai talak tersebut.

c. Mengetahui sumber utama yang dipakai oleh Majelis Hakim di Pengadilan Agama Kota Tangerang dalam menangani cerai talak tersebut.

2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini, yaitu:


(18)

a. Peningkatan kesadaran hukum kepada masyarakat khususnya mengenai cara Majelis Hakim dalam memproses perceraian isteri mafqud di Pengadilan Agama. b. Bagi masyarakat pembaca pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya,

tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber bacaan yang dapat dipertimbangkan dalam memecahkan masalah yang relevan.

c. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan bagi pihak yang berwenang saat mengambil kebijakan dalam upaya peningkatan kesadaran hukum di masyarakat tentang perceraian di Pengadilan Agama.

D. Review Studi Terdahulu

Begitu banyak skripsi yang mengangkat permasalahan tentang Perceraian, maka penulis ingin melakukan review studi pustaka atau tinjauan kepustakaan untuk membandingkan skripsi yang dibuat oleh penulis dengan skripsi yang telah ada:


(19)

No Nama / NIM Judul / Pembahasan Ket 1. Uwes Hujjatul Islam

104044101449

“Penyelesaian Perkara Isteri Nusyuz Studi Pada pengadilan Agama Serang (Analisa Putusan

No.58/Pdt.G/2006/PA Srg).”

membahas tentang putusan Hakim yang murni karena isteri nusyuz tetapi isteri tersebut sama-sama kabur dari rumah penggugat akan tetapi diketahui alamat persis tempat kabur tergugat tersebut.

penulis membahas tentang putusan Hakim yang memutuskan perkara isteri mafqud yang dilatar belakangi oleh nusyuz isteri.


(20)

2 Eko Muryono “Putusan Verstek di Pengadilan Agama dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Pusat). pembahasan topik terlalu global atau meluas sebab penulis tersebut membahas semua kasus yang diputus dengan verstek (tidak hadirnya tergugat) di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.”

penulis hanya fokus terhadap satu kasus perkara karena isteri mafqud.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Terkait dengan jenis penelitian dalam penelitian ini, maka Peneliti menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif. Penelitian kualitatif digunakan apabila data-data yang dibutuhkan berupa selebaran-selebaran informasi yang tidak perlu dikuantifikasi.

Sedangkan pendekatan normatif,9 yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data

9

Johnny Ibrahim, Teory dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), Cet. Ke-3, h. 57.


(21)

sekunder belaka.10 Dan pendekatan normatif ini penulis golongkan lagi ke dalam pendekatan perundang-undangan,11 yakni pendekatan yang digunakan untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang dihasilkan sebagai kerangka reformasi hukum yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, khususnya peraturan perundang-undangan atau produk hukum lainnya yang terkait langsung dengan Peradilan Agama.

1. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data a. Data Primer

Didapatkan dari Pengadilan Agama berupa putusan perceraian karena isteri hilang (mafqud) yang terjadi di Pengadilan Agama Tangerang. Wawancara terhadap para pihak yang berkepentingan seperti hakim, panitera dan yang lainya, kemudian kedua data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur‟an, Hadits, buku-buku ilmiah, UUP Undang Perkawinan) No. 1 tahun 1974, UUPA

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h.14.

11

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.21.


(22)

Undang Peradilan agama) No. 7 Tahun 1989 jo No.3 Tahun 2006, KHI, serta peraturan yang lainnya yang dapat mendukung skripsi di atas.

Metode pengumpulan data yaitu dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku, dan sebagainya yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.

Adapun teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

2. Teknik analisa Data

Pengumpulan Data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

a. Menganalisis terhadap putusan perceraian dengan alasan Isteri mafqud (hilang) di Pengadilan Agama Tangerang Perkara No. 687/Pdt.G/2009/PA.Tng dan perkara No. 992/Pdt.G/2009/PA.Tng.

b. Interview atau wawancara yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.12 Inteview yang sering disebut juga wawancara atau kuesioner lisan, adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewer).13

12

Lexy. J. moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h.186.

13

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), cet. Ke-10, h.144.


(23)

Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara dengan responden yaitu: Hakim Pengadilan Agama Tangerang dan Panitera Muda Hukum untuk melengkapi data.

Adapun analisis data penulis menggunakan analisa kualitatif yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan putusan perceraian yang diakibatkan isteri mafqud (hilang) dan menghubungkannya dengan hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga didapatakan satu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan data penulis dalam penelitian ini14.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran secara global mengenai apa yang akan dibahas, skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review kajian terdahulu dan sistematika penulisan.

Bab kedua adalah pengertian dan dasar hukum perceraian, sebab-sebab terjadinya perceraian, macam-macam perceraian serta akibat perceraian.

Bab ketiga adalah pengertian dan dasar hukum mafqud menurut fikih, KHI, dan UU. No. 1/1974, pandangan ulama madzhab dan UU No. 1/1974 tentang mafqud

14

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2007), Cet Ke-3, h. 244.


(24)

Bab keempat adalah kronologi perkara, pertimbangan dan putusan Majelis hakim serta analisa penulis


(25)

BAB II

SEPUTAR MASALAH PERCERAIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

1. Pengertian Cerai

Kata cerai dalam kamus bahasa indonesia berarti pisah atau putus hubungan

sebagai suami isteri. Sedangkan perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut “talak

atau “furqah”.15 Talak berarti “membuka ikatan” membatalkan perjanjian. Sedangkan

furqah” berarti “bercerai”. Lawan dari “berkumpul”. Kemudian kedua perkataan ini

dijelaskan istilah oleh ahli fiqih yang berarti perceraian antara suami-isteri.16

Menurut istilah fikih, seperti yang dituliskan al-Jaziri, talak adalah melepaskan ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan. Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan talak sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.17

15

Departemen pendidikan dan Kebudayaan, kamus besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.168.

16

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum islam Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. Ke-2, h.156.

17

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Akademika Pressido, 1992), Cet. Ke-1, h. 141.


(26)

Perceraian (talak) dalam ajaran Islam diatur dalam al-Qur‟an dan al-Hadits Nabi SAW. Dengan adanya landasan tersebut menegaskan bahwa perceraian dalam Islam boleh dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu.

2. Dasar Hukum Perceraian a. Al-Qur‟an

1)                                                                       ( اطلا / 65 : 1 )

Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka

hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu dan bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” ( 2                                                                                                                           


(27)

                          ( رق لا / 2 : 229 و 231 )

Artinya :”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan

cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

b. Hadis Nabi SAW

Artinya : Berkata Katsir ibnu Ubaid berkata Muhammad ibnu Kholid dari Muarraf ibnu Waashil dari Muhaarib ibnu Ditsar dari ibnu Umar dari Nabi SAW bersabda perbuatan yang halal tetapi paling

dibenci Allah SWT adalah perceraian.18

18


(28)

Hal tersebut di atas adalah merupakan dasar hukum dalam Agama Islam bahwa perceraian diperbolehkan meskipun sangat dibenci Allah SWT.

B. Alasan-Alasan Terjadi Perceraian

Perceraian bisa merupakan alasan hak suami, alasan hak isteri, dan Putusan Pengadilan penjelasan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Alasan yang merupakan hak suami

Suami diberi hak untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum yang akan menjadi alasan pemutusannya. Perbuatan hukum itu disebut talak.19

2. Alasan yang merupakan hak isteri

Isteri diberi hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang menjadi alasan putusnya perkawinan, perbuatan hukum tersebut adalah khulu. Isteri meminta suaminya untuk melakukan pemutusan tali ikatan talak perkawinan dengan cara isteri menyediakan pembayaran untuk menebus dirinya kepada suami („iwadh).

3. Alasan atas putusan Pengadilan

Sesuai dengan kedudukannya, kekuasaan atau hak Pengadilan berada di luar pihak-pihak yang mengadakan akad sehingga dalam hal pemutusan hubungan ikatan perkawinan ini Pengadilan tidak mempunyai inisiatif, keterlibatannya terjadi apabila salah satu pihak, baik suami atau pihak isteri mengajukan gugat atau permohonan kepada Pengadilan.

19

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h.117.


(29)

Sedangkan Menurut KHI, pengertian perceraian dinyatakan ada tiga sebab, yaitu:

1. Karena kematian; 2. Karena perceraian;

3. Karena atas putusan Pengadilan.

Perceraian hanya dapat dilakukan dalam suatu sidang di Pengadilan. Apabila perceraian dilakukan bukan dalam sidang Pengadilan maka perceraian itu tidak sah karena tidak ada kekuatan hukum yang tetap dan pasti. Pada permulaan sidang di Pengadilan hakim melakukan upaya perdamaian terhadap para pihak untuk berdamai (rujuk). Tetapi apabila tidak bisa didamaikan maka sidang dilanjutkan. Jadi putusnya perkawinan atas putusan Pengadilan berarti bahwa hakim memberikan putusan menurut pertimbangan pada keadilan dan kemaslahatan pihak-pihak yang mengajukan perkara ke Pengadilan, hakim boleh mengabulkan dan juga boleh menolak gugatan.

C. Macam-macam Perceraian

Dalam hukum Islam putusnya perkawinan dapat terjadi karena khulu, talak atau permohonan perceraian, fasakh, syiqaq, zihar, riddah (murtad), „ila, dan lian, berikut penjelasannya:


(30)

Khulu‟ adalah suatu perceraian perkawinan dengan cara memberikan

sejumlah uang dari pihak isteri kepada suami, yang disebut “talak tebus”. Khulu‟ berarti permintaan talak oleh isteri kepada suaminya dengan membayar tebusan.

Menurut ahli fiqih, khulu‟ adalah memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya.20 Ganti rugi (tebusan) merupakan salah satu bagian pokok dari pengertian khulu‟. Jika ganti rugi tidak ada maka khulu‟-nya juga tidak sah.

2. Talak

Kata thalak (talak) berasal dari kata bahasa arab; ithlaq yang berarti

“melepaskan “ atau “meninggalkan”. Dalam istilah fikih berarti melepaskan ikatan perkawinan, yakni perceraian antara suami dan isteri.21

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 117 menjelaskan talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putus perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131. Adapun macam-macam talak adalah talak ditinjau dari boleh tidaknya suami rujuk kembali pada isterinya setelah isteri ditalak yaitu:

a. Talak Raj‟i

Adalah talak seorang suami kepada isterinya dengan hak suami kembali lagi kepada bekas isterinya tanpa melakukan akad nikah lagi (baru). Seperti talak satu atau

20

Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah,( Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Cet. Ke-4, jilid 2, h.253. 21

M. Baqir al-Habsyi, Fiqih Praktis; Menurut al-Qur‟an, al-Sunah, dan Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan, 2002) Cet. Ke-2, h. 181.


(31)

talak kedua untuk dapat kembali rujuk. Mereka bekas suami isteri pernah melakukan hubungan seksual dan tanpa uang ganti rugi (tebusan dari pihak isteri).

b. Talak Ba‟in

Talak ba‟in adalah talak suami yang dijatuhkan kepada isterinya dan suami tidak boleh rujuk kecuali dengan nikah baru.

Talak ba‟in terbagi menjadi dua bagian yaitu:

1)Talak ba‟in kubro.22 Yaitu talak ketiga yang dijatuhkan suami kepada isterinya. Bagi kedua belah pihak tidak boleh rujuk atau melakukan akad nikah baru kecuali mantan isteri melakukan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Kalau perkawinan itu putus karena perceraian atau suami meninggal maka ia dapat melakukan perkawinan dengan mantan suami pertama setelah menjalani masa „iddahnya. 2)Talak ba‟in sughra.23 Yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada isterinya yang

belum dicampuri (qabla al dukhul) atau talak yang disertakan tebusan atau ganti rugi dari isteri (khulu‟).

Talak ditinjau dari waktu mengatakannya yaitu:

a. Talak sunni (pasal 121 KHI) adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan kepada isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu sucinya tersebut.24

22

R. Abdul Djamal, Hukum Islam, (Bandung: CV. Mundur Maju, 1992), Cet. Ke-1, h. 98. 23

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), h. 331.

24


(32)

b. Talak bid‟I (pasal 122 KHI) adalah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan kepada isteri pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

3. Fasakh

Fasakh adalah diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan salah satu pihak) oleh hakim Pengadilan Agama karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui berlangsungnya perkawinan.25

Jadi fasakh berarti rusak atau batal.26 Mem-fasakh akad nikah berarti membatalkan dan melepaskan ikatan perkawinan suami isteri. Fasakh dapat terjadi karena sebab berkenaan dengan akad (sah atau tidaknya) atau sebab yang datang setelah berlakunya akad.27

4. Syiqaq

Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami isteri sedemikian

rupa sehingga antara suami isteri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua pihak tidak bisa mengatasinya.28 Dasar hukum syiqaq firman Allah:

25

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Ulp, 1997), Cet. Ke-2, h. 117. 26

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h.316. 27

H.S.A. al-Hamdani, Risalah Nikah, (Pekalongan: Raja Murah, 1980), h.42. 28

Muktar Kamal, Azas-Azas Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), Cet. Ke-3, h.204.


(33)

                               ( ءاسنلا / 4 : 35 )

Artinya :”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka

kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

5. Zihar

Secara bahasa zihar berarti punggung. Sedangkan menurut istilah kata zihar

berarti suatu ungkapan suami terhadap isterinya “bagiku kamu seperti punggung ibuku” dengan maksud ia mengharamkan isterinya bagi dirinya.

Dasar hukumnya yaitu:

                                                                                                              ( لداجملا / 58 : 2 -4 )

Artinya :”Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka


(34)

(wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir

ada siksaan yang sangat pedih.”

6. Riddah (Murtad)

Riddah adalah keluar dari agama Islam, baik pindah agama lain atau tidak beragama. Di Indonesia putusan perkawinan karena murtadnya salah seorang dari suami atau isteri termasuk fasid atau batal demi hukum dan pemutusannya dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Pengadilan Agama hanya dapat menerima riddah-nya seseorang jika orang itu mengatakan sendiri dengan tegar di depan sidang Pengadilan Agama. Oleh karena itu, riddah-nya seseorang yang dinyatakan bukan di depan sidang Pengadilan Agama dianggap tidak sah.29

7. „Ila

Secara bahasa „ila berarti melarang diri dengan menggunakan sumpah sedangkan menurut istilah kata „ila berarti sumpah untuk tidak mencampuri lagi isteri dalam waktu empat bulan atau dengan tidak dengan menyebutkan jangka waktunya. Dasar hukum „ila yaitu:

                    ( رق لا / 2 : 226 )

Artinya :”Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat

bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

29

Jamil Latief, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghaila Indonesia, 1981), h. 56.


(35)

Meng-„ila isteri maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri isteri, dan dengan sumpah ini seorang wanita menderita karena tidak digauli dan tidak pula diceraikan. Dengan turunnya ayat ini maka suami setelah empat bulan harus memilih antara kembali dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikannya.

8. Li‟an

Lian menurut bahasa artinya la‟nat, termasuk dosa sebab salah suatu dari

suami atau isteri berbuat dosa. Li‟an menurut istilah artinya suami menuduh isterinya

berzina, ia bersumpah bersedia menerima la‟nat apabila berbohong.30

Jadi li‟an adalah tuduhan suami bahwa isterinya telah berbuat zina. Hal ini

diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 126 bahwa: li‟an terjadi karena suami

menuduh isterinya berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya sedangkan isterinya menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.31

D. Akibat Perceraian

Ada beberapa akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah sebagai berikut:

1. Akibat bagi mantan suami atau mantan isteri

a. Kepada mantan suami wajib membayar atau melunasi maskawin yang belum dibayar atau dilunasi sebagaimana firman Allah:

30M. Rifa‟I,

M. Zuhri Salomo, Tarjamah Khulasha Kifayatul Akhyar, (Semarang: CV. Toha Putera, 1983), h. 329.

31


(36)

                   ( ءاسنلا / 4:4 )

Artinya :”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik

akibatnya.”

Pemberian itu ialah mas kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.

b. Mantan suami wajib memberikan mut‟ah yang layak kepada mantan isterinya, baik berupa uang atau benda. Kecuali mantan isteri tersebut qabla al-dukhul.

c. Mantan suami memberi nafkah, maskan, dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian)

kepada mantan isteri selama dalam masa „iddah kecuali mantan isteri telah dijatuhi

talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

d. Mantan suami memberiakan biaya hadhanah (pemeliharaan anak termasuk didalamnya biaya pendidikan) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.32

Akibat bagi anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hak hadhanah dari ibunya. Sedangkan anak yang sudah mumayyiz berhak mendapatkan hak hadhanah dari ayah atau ibunya. Dan bapaknya berkewajiban memberi nafkah, pemeliharaan, dan pendidikan dari bayi sampai dewasa dan dapat mandiri.33

32

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 149. 33


(37)

Ketika terjadi perceraian, maka mantan suami berhak rujuk kembali kepada

mantan isterinya selama dalam masa „iddah.34

Dan untuk mantan isterinya selama masa „iddah wajib menjaga diri dan kehormatan serta tidak menerima pinangan orang lain. Adapun „iddah yang diwajibkan untuk mantan isteri yaitu:

a. „Iddah isteri yang haid adalah tiga kali suci; b. „Iddah isteri yang tidak haid adalah tiga bulan;

c. „Iddah yang ditinggal suaminya adalah empat bulan sepuluh hari; d. „Iddah isteri yang hamil adalah sanpai melahirkan;

e. Bagi isteri yang belum digauli maka tidak ada „iddah baginya.35 2. Akibat bagi harta kekayaan

Menurut pandangan Islam tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami isteri karena pernikahan. Harta kekayaan bawaan isteri tetap menjadi milik isteri dan dikuasai sepenuhnya oleh isteri. Begitu pun sebaliknya harta kekayaan bawaan suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya oleh suami. Karena itu pula menurut hukum perdata, perempuan yang bersuami dianggap cakap bertindak hukum sehingga ia dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat.

Jika dalam perkawinan diperoleh harta, maka harta ini adalah harta syirkah, yaitu harta bersama dari suami dan isteri. Tetapi dalam harta kekayaan yang terpisah

34 „iddah adalah menanti yang diwajibkan atas isteri yang terputus ikatan perkawinanny a dengan suaminya, baik karena ditinggal mati atau perceraian.

35


(38)

masing-masing dari suami isteri tidak berhak dan berwenang atas harta kekayaan masing-masing. Harta kekayaan ini meliputi harta bawaan, yaitu harta yang diperoleh salah seorang suami atau isteri atas usahanya sendiri dan harta yang diperoleh berupa hadiah, warisan, dan sebagainya yang diperoleh sebelum menikah.36

3. Akibat bagi anak

Perceraian mengakibatkan adanya pemeliharaan anak (hadhanah) serta aturan hidup tentang biaya hidup anak yang harus ditanggung oleh orang tua, hal ini akan dibahas dalam lebih lanjut dalam bab selanjutnya.

36


(39)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG MAFQUD A. Pengertian Mafqud Menurut Ulama Fikih

Kata mafqud menurut bahasa merupakan is af ul dari lafadz faqoda-yafqudu-faqdan yang berarti hilang atau menghilangkan sesuatu.37 Jadi yang dimaksud dengan mafqud dalam konteks ini adalah seorang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui keadaan serta keberadaannya. Menurut Wahbah Zuhaily , yang dimaksud dengan mafqud adalah orang yang hilang yang tidak diketahui apakah ia masih hidup sehingga tidak bisa dipastikan kedatangannya kembali atau apakah ia sudah mati sehingga kuburannya dapat diketahui.38

Menurut kamus istilah fikih mafqud adalah orang yang hilang dan menurut zahirnya tertimpa kecelakaan, seperti orang yang meninggalkan keluarganya pada waktu malam atau siang atau keluar rumah untuk menjalankan sholat atau ke satu tempat yang dekat kemudian tidak kembali lagi atau hilang di dalam kancah pertempuran.39

37

Mahmud Yunus, kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur‟an, 1973), h. 642.

38

Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar el Fikr, t.th), Juz Ke-7, h. 642.

39

M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi‟ah AM, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)


(40)

Mafqud ialah orang yang sudah jauh dan tidak ada kabar beritanya, sehingga tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah ia masih hidup atau sudah mati.40

Menurut istilah mafqud bisa diterjemahkan dengan al-ghoib. Kata ini secara bahasa memiliki arti gaib, tiada hadir, bersembunyi, mengumpat. Hilang dalam hal ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Hilang yang tidak terputus karena diketahui tempatnya dan ada berita atau informasi tentangnya.

b. Hilang yang terputus, yaitu yang sama sekali tidak diketahui keberadaannya serta tidak ditemukan informasi tentangnya.41

Dari dua definisi di atas, nampak telah jelas bahwa yang dimaksud dengan

mafqud di sini orang yang meninggalkan keluarganya yang pada saat tertentu keluarganya tidak mengetahui apakah ia masih hidup ataukah sudah meninggal dunia ataukah kabarnya masih tersambung atau akan terputus.

Para ulama fiqih sepakat bahwa jika isteri yang meninggalkan suaminya masih terdengar kabarnya maka tidak ada alasan bagi suaminya tersebut untuk menikah lagi atau poligami. Isteri yang meninggalkannya itu diupayakan untuk kembali ke keluarganya untuk hidup bersama-sama lagi. Kecuali jika isteri yang

40

Mahmoud Syaltout dan Syaikh M. Ali Al-Sayis, perbandingan mazhab dalam masalah fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. Ke-7, , h. 246.

41


(41)

diketahui keberadaannya itu tidak mau kembali lagi dan menunaikan kewajibannya maka suami bisa melakukan cerai talak ke Pengadilan Agama.

B. Pandangan Ulama Mazhab tentang Mafqud

Para Ulama berbeda pendapat mengenai apa yang harus dilakukan oleh suaminya. Dalam hal ini ada 4 alternatif:

1. Ia dianggap masih hidup, baik ditinjau dari segi hartanya, maupun dari segi suaminya. Dengan demikian, maka suaminya masih tetap sebagai suaminya dan hartanya masih tetap sebagai miliknya; sampai ada berita mengenai mati atau hidupnya.

2. Ia dianggap sudah mati, baik ditinjau dari segi hartanya, maupun dari segi suaminya. Dengan demikian suaminya keluar dari ikatan nikah dengannya, dan hartanya dibagikan kepada para ahli warisnya.

3. Ia dianggap masih hidup mengenai hartanya, dan sudah mati mengenai suaminya.

4. Ia dianggap masih hidup mengenai suaminya, dan sudah mati mengenai hartanya.42

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa kematian orang itu hanya ditinjau dari suaminya saja, sedangkan hartanya tetap sebagai miliknya. Pendapat ini hanya mementingkan nasib suami, sedang mengenai harta tidak ada alasan untuk dianggap orang itu mati.

Ula a Ha afiyah da Ula a “yafi’iyah berpe dapat bahwa orang itu

dianggap masih hidup, baik mengenai suaminya, maupun mengenai hartanya. Kedua-duanya masih kepunyaannya sampai ada kepastian tentang mati hidupnya. Pendapat ini memegang apa yang telah ada dengan yakin.

42

Mahmoud Syaltout dan Syaikh M. Ali Al-Sayis, perbandingan mazhab dalam masalah fiqih, h. 246.


(42)

Sedangkan Ulama Hanabilah berpendapat bahwa orang itu dianggap sudah mati mengenai suami dan harta dengan perincian yang akan disebutkan kemudian. Yaitu sesudah lewat waktu yang ditentukan menurut mereka, suami itu keluar dari ikatan perkawinannya dan hartanya dibagikan kepada ahli warisnya. Pendapat ini memperhatikan nasib suami dan menghilangkan kemelaratan terhadapnya, sedang harta mengikuti hal itu.

Adapun alternatif keempat diatas dapat dijabarkan sebagai berikut, yaitu: 1. Tinjauan yang tidak ada suatu kebutuhan, baik untuk menolak kemelaratan

atau menarik kemanfaatan.

2. Hal itu adalah berlawanan dengan apa yang dimaksudkan oleh menahan

dengan baik dan menolak kemelaratan pada suami. Praktek dalam syari‟at

adalah menahan dengan baik dan menolak kemelaratan pada suami, sedang alternatif keempat itu memperhatikan segi harta, lebih banyak dari

memperhatikan segi suami, sedang menurut pandangan syara‟ urusan harta

adalah lebih ringan dari urusan suami. Dan juga harta itu dapat dipelihara dengan jalan perwalian sebagai yang dilakukan terhadap harta orang yang tidak mampu memeliharanya. Oleh karena itu sepanjang pengetahuan kita tidak adapun seorang Ulama Fiqih yang berpendapat seperti alternatif keempat. Pendapat mereka hanya berkisar antara tiga alternatif saja.43

Ulama Malikiyah dalam masalah ini membedakan antara hilang yang menurut lahirnya selamat dan hilang yang menurut lahirnya tidak selamat.44

Dalam hal pertama, mereka berpendapat harus lewat masa kebiasaan umur orang pada masa itu. Menurut mereka termasuk kategori ini, orang yang hilang di negeri orang musyrik dan orang yang ditawan. Mereka mengatakan juga bahwa

43

Mahmoud Syaltout dan Syaikh M. Ali Al-Sayis, perbandingan mazhab dalam masalah fiqih, h. 247.

44


(43)

kalau sudah lewat masa sejumlah umur yang biasa, orang itu harus diputuskan sudah meninggal.

Dalam hal hilang menurut lahirnya tidak selamat, adakala terjadi sesudah sebab yang biasanya membinasakan seperti penyakit wabah atau tenggelam kapal, dan adakalanya bukan sesuatu sebab yang demikian, seperti ia hanya pergi ke negara Islam karena sesuatu maksud lalu ia hilang di sana. Adapun hukumnya adalah seperti pendapat Imam Ahmad mengenai hilang yang menurut lahirnya tidak selamat, maka suaminya menunggu selama empat tahun.

Ulama Hanafiyah da Ula a “yafi’iyah berpe dapat bahwa sua i ora g ya g hilang dan hartanya, tetap suaminya dan tetap hartanya walaupun lama sekali, sehingga berat sangkaan bahwa orang itu sudah meninggal, yaitu dengan melihat kawan-kawan sebayanya sudah meninggal semua, atau sudah lewat masa yang orang-orang seperti dia tidak hidup lagi menurut adat. Dalam menentukan lamanya ini ada beberapa pendapat dalam kedua mazhab itu. Ada yang mengatakan 70 tahun, ada yang mengatakan 80 tahun dan seterusnya sampai 120 tahun. Menurut suatu pendapat di kalangan Ulama Hanafiyah, hal itu diserahkan kepada pendapat dan ijtihad hakim. Ada yang mengatakan bahwa inilah pendapat yang menonjol

dikala ga Ula a “yafi’iyah. Maka apabila berat dugaa ia sudah e i ggal, aka

diputuskanlah bahwa ia sudah meninggal dan hartanya dibagikan kepada ahli warisnya yang ada pada waktu keputusan itu.


(44)

Mereka tidak membedakan antara satu macam hilang dengan macam hilang yang lain; baik hilang itu yang menurut lahirnya selamat, atau menurut lahirnya tidak selamat, antara hilang sesudah sesuatu sebab yang biasanya tidak selamat atau bukan, antara hilang itu di negara Islam atau di negara lainnya, baik hilang itu di darat ataupun di laut. Semua itu hukumnya sama menurut kedua mazhab di atas.45 Sedangkan ulama hanabilah berpendapat bahwa hilang itu ada dua macam:

Pertama, hilang yang menurut lahirnya selamat, seperti pergi berniaga ke tempat yang tidak berbahaya, pergi menuntut ilmu, dll. Dalam hal ini, hukumnya

sa a seperti pe dapat Ula a Ha afiyah da Ula a “yafi’iyah, yaitu harus lewat

waktu tertentu, yaitu 90 tahun terhitung sejak lahirnya orang itu, sebagaimana telah ditegaskan dalam kitab Kassyafu l-Qu a dan diriwayatkan oleh pengarang Al-Mughny dari riwayat Al-Atsram dari Ahmad Ibnu Hambal. Tetapi ia berkata: bahwa mazhab Hambali adalah sebaliknya, yaitu ikatan suami-isteri itu tidak hilang selama belum diyakini mati isteri atau lewat masa yang orang seperti dia tidak hidup lagi. Dan itu dikembalikan kepada ijtihad hakim. Pengarang Al-Mughny menegaskan yang demikian dalam bab warisan orang yang hilang. Ia berkata : karena itu menentukan waktu tertentu tanpa dalil, sedang mementukan itu tidak patut kecuali berdasarkan dalil.

45

Mahmoud Syaltout dan Syaikh M. Ali Al-Sayis, perbandingan mazhab dalam masalah fiqih, h. 248.


(45)

Kedua, hilang yang menurut lahirnya tidak selamat, seperti orang yang hilang tiba-tiba di antara keluarganya, atau ia keluar untuk shalat tetapi tidak kembali lagi; atau ia pergi karena sesuatu keperluan yang seharusnya ia kembali, lalu tidak ada kabar beritanya atau ia hilang dalam sebuah kapal yang tenggelam dan sebagainya. Hukum mengenai hal itu, ditunggu sampai empat tahun. Kalau tidak ada juga kabar beritanya, maka hartanya dibagikan.

C. Peraturan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Mafqud

Sebagaimana yang disebut dalam pasal 1 UU No. 1/1974 dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa atau dalam bahasa KHI(Kompilasi Hukum Islam) disebut dengan mitsaqan ghalidza (ikatan yang kuat), namun dalm realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas di tengah perjalanan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian , percerain ataupun karena putusan Pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang.46

Pasal 38 UUP dinyatakan:

Perkawinan dapat putus karena, a. kematian, b. perceraian, c. atas putusan Pengadilan.

Dalam PP no. 9 tahun 1975 pasal 19 point (b) dinyatakan:

46

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal central Publishing, 2002), h. 41.


(46)

(b) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampunnya.

Selanjutnya menurut Subekti , jika sesudah lima tahun terhitung sejak hari keberangkatan orang yang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberikan kuasa untuk mengurus kepentingan-kepentingannya, dan selama itu tidak ada kabar yang menunjukan ia masih hidup, maka orang yang berkepentingan dapat meminta kepada hakim supaya dikeluarkan suatu pernyataan yang menerangkan bahwa

ora g ya g e i ggalka te pat ya itu dianggap telah meninggal. “ebelu hakim mengeluarkan suatu pernyataan yang demikian itu, harus dilakukan dahulu suatu panggilan umum (antara lain dengan memuat panggilan itu dalam surat-surat kabar) yang diulangi paling sedikit tiga kali lamanya. Hakim juga akan mendengar saksi–saksi yang dianggap perlu mengetahui duduk perkaranya mengenai orang yang meninggalkan tempat tinggalnya itu dan dianggapnya perlu dapat menunda pengambilan putusan hingga lima tahun lagi dengan mengulangi panggilan umum.47

Menurut Lili Rasjidi, jika tidak terdengar kabar beritanya untuk masa lima tahun atau lebih, yakni dari jangka terakhir terdengar berita orang itu masih hidup. Atas permohonan pihak yang berkepentingan, Pengadilan Agama akan memanggil orang yang hilang itu melalui selebaran umum untuk menghadap dalam jangka waktu tiga bulan. Panggilan ini akan diulangi sampai tiga kali jika panggilan yang

47


(47)

pertama dan kedua tidak mendapat sambutan. Setelah itu barulah Pengadilan akan membuat suatu ketetapan yang telah dianggapnya meninggal orang itu.48

Mungkin inilah yang dimaksud dengan putusan Pengadilan. Seandainya setelah adanya putusan Pengadilan bahwa orang tersebut telah wafat, lalu ia kembali maka ia tidak dapat memiliki hak kembali kepada suaminya tersebut. Jika suaminya telah menikah kembali, maka ia pun boleh menikah lagi dengan orang lain. D. Peraturan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Mafqud

Hukum Islam menganjurkan suami untuk mengajukan cerai talak di Pengadilan seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam yang berhubungan dengan isteri hilang (mafqud/ghoib)pada pasal 116 poi t b ya g e yataka : salah

satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak

lai da ta pa alasa ya g sah atau kare a hal lai di luar ke a pua ya. 49

E. Faktor-Faktor Penyebab Terjadi Mafqud

Ada beberapa faktor penyebab terjadi isteri mafqud, yaitu: 1. Ekonomi suami yang pas-pasan

2. Suami tidak tanggung jawab 3. Poligami tidak sehat

48

Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, h. 292.

49


(48)

4. Pihak ke-3 (isteri) melarikan diri dengan kekasih gelapnya.50

BAB IV

PERKARA CERAI TALAK DENGAN ALASAN ISTERI MAFQUD DI PENGADILAN AGAMA KOTA TANGERANG

F. Kronologi Perkara 1. Kasus pertama

Pada tanggal 5 februari 2004 Abdul Hadis bin Abdul Wahab dengan Muniroh Hannum Lubis binti Samsuddin Lubis melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Setelah menikah mereka mengambil tempat kediaman di Sudimara Pinang, Pinang, Kota Tangerang. Selama pernikahan tersebut mereka telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami isteri dan dikarunia satu orang anak bernama alfin Hadi (laki-laki) berusia satu tahun. Namun kurang lebih sejak januari

50

Wawancara dengan Ai Jamilah, Hakim Pengadilan Agama Kota Tangerang, Tanggal 25 Juni 2010.


(49)

2006 antara suami dan isteri telah terjadi perselisihan dalam rumah tangga yang disebabkan antara lain:

a. Isteri tidak mau mengurus dan melayani keperluan suami.

b. Isteri sering keluar rumah ke rumah saudara-saudaranya yang di Jakarta tanpa izin suami.

c. Isteri tidak patuh dan tidak menghormati suami sebagaimana layaknya seorang isteri pada suami.

d. lebih kurang sejak bulan maret 2009 berturut-turut hingga sekarang isteri pergi meninggalkan suami tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah. Selama itu isteri tidak pulang dan tidak kirim kabar serta tidak diketahui alamat yang jelas dan pasti di wilayah Republik Indonesia;

Berdasarkan fakta-fakta di atas maka suami mengajukan permohonan cerai talak kepada isteri di Pengadilan Agama Tangerang.

2. Kasus kedua

Pada tanggal 8 september 2002, Adhi Siswaya Nugraha bin Cris Martha Mihardja dengan Herawati binti Sulaeman melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Cileungsi. Setelah menikah mereka mengambil tempat kediaman di Neglasari, Kota Tangerang. Selama pernikahan antara suami dengan isteri telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami isteri dan dikaruniai dua orang anak bernama:


(50)

b. Erwansyah Saka Maulana (L) lahir tanggal 14 agustus 2004;

Namun kurang lebih sejak juli 2007 antara suami dengan isteri tersebut telah terjadi perselisihan dalam rumah tangga yang disebabkan antara lain:

a. Isteri sering meminta cerai kepada suami b. Isteri berwatak keras dan susah diatur

c. Isteri terlalu mementingkan pribadi dari pada mengurus suami sebagai layaknya seorang isteri

d. Isteri pergi meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa diberi izin oleh suami:

e. Dan lebih kurang sejak bulan september tahun 2007 berturut-turut hingga sekarang, isteri pergi meninggalkan suami tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah. Selama itu Isteri tidak pulang dan tidak kirim kabar serta tidak diketahui alamatnya yang jelas dan pasti di wilayah Republik Indonesia;

Berdasarkan fakta-fakta di atas maka suami mengajukan permohonan cerai talak kepada isteri di Pengadilan Agama Tangerang.

G. Pertimbangan Hukum dan Putusan Majelis Hakim 1. Kasus Pertama

Pada kasus antara Abdul Hadis bin Abdul Wahab (Pemohon) dan Muniroh Hannum Lubis binti Samsuddin Lubis (Termohon), berdasarkan surat permohonan


(51)

Pemohon ditambah keterangannya di depan sidang, ditemukan fakta-fakta hukum sebagai berikut:

a. Telah terjadi perselisihan terus-menerus antara Pemohon dengan Termohon; b. Keduanya telah berpisah tempat tinggal sejak bulan januari 2009 karena Termohon

pergi meninggalkan Pemohon sampai sekarang tidak pernah kembali lagi dan tidak diketahui alamatnya;

c. Keluarga dan tetangga Pemohon telah berusaha menasehati dan mendamaikan keduanya, namun tidak berhasil.

Menurut pasal 1 UU No.1 tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa;

Sejalan hal tersebut di atas dalam al-Qur’a surat al-Ruum ayat 21, menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan adanya kelurga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah;

Dari ketentuan al-Qur’a da UU No.1 tersebut, dapat disi pulka bahwa unsur-unsur yang sangat fundamental dalam perkawinan sudah tidak ada lagi dan hal tersebut menunjukan bahwa sebenarnya perkawinan Pemohon dengan Termohon sudah pecah, apalagi Pemohon di depan sidang telah menyatakan tidak mau lagi mempertahankan rumah tangganya dan pemohon bersikeras menyatakan ingin mentalak termohon, hal mana telah sesuai dengan firman Allah yaitu:


(52)















) رق لا / 2 : 227 )

Artinya : Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Mempertahankan perkawinan (rumah tangga) yang demikian adalah suatu perbuatan yang sia-sia karena dapat mengakibatkan akses-akses yang negatif bagi semua pihak, bahkan dapat menjadi neraka duniawi bagi pihak-pihak yang bersangkutan;

Pemohon telah menunjukan tekadnya yang kuat untuk mentalak Termohon, hal tersebut menunjukan bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon tidak dapat dipertahankan lagi, karena tidak mungkin Pemohon akan mengakhiri perkawinannya dengan perceraian seandainya masih ada cara untuk mempertahankan perkawinan tersebut;

Tentang masalah apa dan siapa yang menjadi penyebab terjadinya pertengkaran, tidak patut dibebankan ke salah satu pihak dan tidak perlu dicari-cari, karena mencari-cari kesalahan satu pihak justru menimbulkan pengaruh yang tidak baik bagi kedua belah pihak, hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 38/K/AG/1996 tanggal 5 oktober 1996;

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa alasan hukum yang diajukan oleh Pemohon untuk mentalak Termohon telah sesuai dengan maksud pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 jo. Pasal 22 ayat 2 Peraturan Pemerintah tersebut jo. Pasal 116


(53)

huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, sehingga permohonan Pemohon dapat dikabulkan dengan memberi izin kepada Pemohon untuk ikrar menjatuhkan talak terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Tangerang setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap;

Dan karena Termohon telah tidak datang menghadap meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut, dan ketidakdatangannya tersebut tidak didasarkan atas alasan yang sah dan dibenarkan oleh undang-undang dan permohonan Pemohon tidak melawan hukum serta beralasan, oleh karenanya berdasarkan pasal 126 HIR, permohonan Pemohon harus diputus dengan verstek;

Perkara ini termasuk bidang perkawinan, maka sesuai ketentuan pasal 89 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, biaya perkara dibebankan kepada Pemohon.

Terhadap alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut, permohonan pemohon untuk bercerai dengan termohon cukup beralasan dan tidak melawan hukum, dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis hakim berpendapat permohonan pemohon dapat diterima. Selanjutnya dibacakanlah amar putusan dari majelis hakim yang berisi sebagai berikut:


(54)

b. Mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek;

c. Menetapkan memberi izin kepada pemohon Abdul Hadis bin Abdul Wahab untuk menetapakan ikrar thalak terhadap termohon Muniroh Hannum Lubis binti samsuddin di depan sidang Pengadilan Agama Tangerang;

d. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 341.000,- (tiga ratus empat puluh satu ribu rupiah).

2. Kasus kedua

Pada kasus antara Adhi Siswaya Nugraha bin Cris Martha Mihardja (Pemohon) dan Herawati binti sulaeman (Termohon), berdasarkan permohonan Pemohon dan mendengar keterangan saksi-saksi serta membaca alat bukti tertulis, dipandang dalam hubungannya antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan, maka Majelis Hakim mendapatkan fakta sebagai berikut:

a. Bahwa berdasarkan bukti P.1 maka harus dinyatakan terbukti bahwa antara Pemohon dan Termohon terikat dalam perkawinan yang sah;

b. Bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon berumah tangga di Neglasari, Kota Tangerang;

c. Bahwa selama pernikahan tersebut Pemohon dan Termohon telah dikaruniai dua orang anak;

d. Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon sejak juli 2007 sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan Termohon sering meminta cerai kepada Pemohon, Termohon berwatak keras dan susah diatur, Termohon terlalu


(55)

mementingkan pribadi dari pada mengurus suami sebagai layaknya seorang isteri dan Termohon pergi meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Pemohon; e. Bahwa akibat kejadian tersebut, antara Pemohon dan Termohon telah pisah rumah

dan ranjang sejak tahun 2007.

Dari kenyataan yang didapat dalam persidangan, alasan yang dimaksud oleh Pemohon dalam permohonannya sebagai dalil untuk memohon dinyatakan putusnya perkawinan dengan Termohon, telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus sehingga sulit untuk dirukunkan sebagaimana diatur dalam pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 jo. Pasal 116 huruf (f) kompilasi Hukum Islam;

Tergugat tidak hadir di persidangan ataupun mengutus orang lain sebagai wakilnya tanpa alasan yang sah menurut hukum meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut sebagaimana relaas panggilan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 992/Pdt.G/2009/PA.Tng. tanggal 2 november 2009 dan 2 desember 2009 dan permohonan Pemohon beralasan dan tidak melawan hukum, dengan demikian permohonan Pemohon dikabulkan dengan verstek (vide pasal 125 HIR).

Terhadap alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut, permohonan pemohon untuk bercerai dengan termohon cukup beralasan dan tidak


(56)

melawan hukum, dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis hakim berpendapat permohonan pemohon dapat diterima. Selanjutnya dibacakanlah amar putusan dari majelis hakim yang berisi sebagai berikut:

a. Mengabulkan permohonan Pemohon;

b. Mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek;

c. Menetapkan memberi izin kepada pemohon Abdul Hadis bin Abdul Wahab untuk menetapakan ikrar thalak terhadap termohon Muniroh Hannum Lubis binti samsuddin di depan sidang Pengadilan Agama Tangerang;

d. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 391.000,- (tiga ratus sembilan puluh satu ribu rupiah).

H. Analisa Penulis

Dalam sub bab ini penulis akan menganalisa kasus masalah perceraian akibat isteri mafqud (hilang) yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Tangerang, kasus ini diperikasa oleh Pengadilan Agama Kota Tangerang yang mengambil sumber hukum UUP No.1 Tahun 1974, PP No.9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di mana ketiga aturan ini yang dipakai Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.

Perceraian menurut agama Islam diakui sebagai solusi terakhir dalam menghadapi kemelut rumah tangga. Walaupun perceraian dibolehkan, tetapi melanggar prinsip-prinsip serta tujuan dalam pernikahan itu sendiri seolah prinsip dan tujuan pernikahan menjadi bias serta gagal dalam membina rumah tangga


(57)

dengan konsekuensi logis, bila perceraian tidak dilakukan, maka sebuah rumah tangga menjadi seolah-olah neraka bagi kedua belah pihak atau bagi salah satunya.51

Dalam Islam perkawinan tidak diikat dalam ikatan mati dan tidak pula mempermudah terjadinya perceraian. Perceraian boleh dilakukan jika benar-benar dalam keadaan darurat dan terpaksa. Perceraian dibenarkan dan dibolehkan apabila hal tersebut lebih baik daripada tetap berada dalam ikatan perkawinan. Agama Islam membolehkan perceraian dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT.52

Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsaqon gholidzon) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.53

Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan seharusnya dipelihara baik sehingga bisa abadi dan tujuan perkawinan dapat terwujud yakni terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

51

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 1995), Cet. Ke -1, h. 148.

52

Ahmad Shidiq, Hukum Talaq Dalam Ajaran Islam, ( Surabaya: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. Ke-1, h. 55.

53

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2007), Cet ke-2, h. 49.


(1)

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2007.

Syaltout, Syaikh Mahmoud dan Al-Sayis, Syaikh M. Ali, perbandingan mazhab dalam masalah fiqih, Cet. Ke-7, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara fiqh munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Persada Media, 2006.

--- Garis-garis Besar Fiqih, Jakarta: Prenada Media, 2003.

---Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2007, cet ke 2.

Taqiyudin. Kifayah al-Ahyar. Bandung: Al-Maarif, Juz II.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Ulp, 1997, Cet. Ke-2. Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974

Yunus, Mahmud, kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur‟an, 1973.


(2)

PEDOMAN WAWANCARA

1. Selama Ibu bertugas di Pengadilan Agama Tangerang, Apakah pernah Ibu menangani perkara perceraian karena isteri mafqud?

2. Apa tindakan Ibu Hakim, agar mereka tidak bercerai?

3. Sumber utama apa yang dipakai oleh Majelis Hakim dalam memutuskan perceraian karena isteri mafqud dan dalilnya?

4. Apakah isteri mafqud berpengaruh terhadap pernikahan? sedangkan di lain sisi suami dapat berpoligami!

5. Apakah perceraian karena isteri mafqud masih banyak terjadi di Pengadilan Agama Tangerang?

6. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya mafqud (bagi isteri)? 7. Apakah Hakim mengabulkan permohonan talak (cerai talak) suami karena isteri mafqud? Padahal isteri baru (6) enam bulan mafqud sedangkan batas minimum di Kompilasi Hukum islam (KHI) pasal 116 point b yaitu (2) dua tahun?


(3)

HASIL WAWANCARA

8. Selama Ibu bertugas di Pengadilan Agama Tangerang, Apakah pernah Ibu menangani perkara perceraian karena isteri mafqud?

Sering, baik talak cerai maupun talak gugat yang mafqud. Istilah yang digunakan di Pengadilan Agama Tangerang ini bukan mafqud melainkan ghaib. Ghaib yaitu orang yang tidak diketahui alamat tempat tinggalnya berada.

9. Apa tindakan Ibu Hakim, agar mereka tidak bercerai?

a. Mediasi, kalau pihak isteri datang memenuhi panggilan yang diumumkan melalui media massa tetapi alat media yang digunakan di Pengadilan Agama Tangerang biasanya menggunakan jasa radio, agar tidak memberatkan pihak yang dibebankan menanggung biayanya yaitu suami. b. menyarankan agar suami dapat sabar menunggu isterinya kembali

pulang.

c. Memutuskan dengan cerai, dengan talak raj‟i.

10.Sumber utama apa yang dipakai oleh Majelis Hakim dalam memutuskan perceraian karena isteri mafqud dan dalilnya?


(4)

Surat al-Ruum: 21                      

Artinya :Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

b. Ushul fiqih

Isteri meninggalkan tanggung jawab dan menghilangkan mafsadat bagi suami.

حلاصملا ب ج ي ع دقم دسا ملاءرد 11.Apakah isteri mafqud berpengaruh terhadap pernikahan? sedangkan di lain

sisi suami dapat berpoligami!

Berpengaruh, karena syarat poligami yaitu; suami harus menghadirkan isteri dan bukti tertulis yang menyatakan kesedian isteri pertama untuk dipoligami di Pengadilan Agama (pasal 5 UU. No.1 tahun 1974). Oleh karena itu suami diharuskan mengurus perkara isterinya yang mafqud tersebut ke Pengadilan Agama jika ia ingin mendapat status yang jelas dalam pernikahannya dan atau ingin menikah lagi dengan wanita lain.

12.Apakah perceraian karena isteri mafqud masih banyak terjadi di Pengadilan Agama Tangerang?


(5)

Masih, terakhir ada dua orang yang kasusnya sedang saya tangani sekarang. Tetapi kasus yang biasanya banyak terjadi yaitu; kasus perkara perceraian karena suami mafqud sedangkan kasus perkara perceraian karena isteri mafqud jarang sekali terjadi.

13.Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya mafqud (bagi isteri)? a. Ekonomi suami yang pas-pasan

b. Suami tidak tanggung jawab c. Poligami tidak sehat

d. Pihak ke-3 (isteri) melarikan diri dengan kekasih gelapnya.

14.Apakah Hakim mengabulkan permohonan talak (cerai talak) suami karena isteri mafqud? Padahal isteri baru (6) enam bulan mafqud sedangkan batas minimum di Kompilasi Hukum islam (KHI) pasal 116 point b yaitu (2) dua tahun?

Hakim mengabulkan permohonan talak (cerai talak) tersebut karena hakim mempunyai pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

a. Suami tidak sabar menunggu sehingga membuat hakim di Pengadilan Agama menjadi dilema dan kasihan terhadapnya.

b. Banyak alasan dan banyak pertimbangan (suami ingin cepat nikah lagi dan butuh status karena suami tidak bisa menikah lagi jika tidak ada putusan dari Pengadailan Agama yang menyatakan mereka telah bercerai).


(6)

Pewawancara Narasumber