Dampak cerai talak di luar presedur Pengadilan Agama terhadap nafkah dan nafkah pasca cerai : studi kasus di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab.Sukabumi)

(1)

Oleh:

SAEPUDIN

NIM: 104043101294

K O N S E N T R AS I P E R B A N D I N G A N M A Z H A B F I K I H PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulusan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta,1 Agustus 2010


(5)

v

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, tiada kata yang pantas saya ucapakan selain puji syukur atas karunia yang tak terhingga yang diberikan Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “DAMPAK CERAI TALAK DI LUAR PROSEDUR PENGADILAN AGAMA TERHADAP NAFKAH IDAH DAN NAFKAH ANAK PASCA CERAI (Studi Kasus di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab. Sukabumi)” dengan baik walaupun masih banyak kekurangan diderbagai segi. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Besar Muhamad SAW, juga kepada keluarganya, shahabat, dan umatnya yang senantiasa mengikuti jejak dan langkah beliau sampai hari akhir nanti, amien.

Setelah perjuangan yang begitu berat dan melelahkan sepenuhnya penulis menyadari, bahwa suksesnya penulisan skripsi ini bukan semata-mata atau usaha penulis pribadi. Namun adanya bantuan dan motivasi yang diberikan oleh berbagai pihak. Maka dengan tulus dan ikhlas penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM sebagai Dekan Fakultas Syriah dan Hukum sekaligus sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi. 2. Dr. H. A. Mukri Aji, MA dan Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag sebagi Ketua


(6)

vi

3. Pimpinan Perpustakaan besera stafnya yang telah memberikan fasilitas kepada penulis untuk mengadakan studi pustaka.

4. Kedua orang tua Bapak H. Oong dan Ibu Hj. Ijah yang telah mengerahkan kasih sanyang, bimbingan, serta nasehatnya. Tak lupa kepada kaka-kakaku yang selalu memberikan nasehat, adikku Khairuddin, serta keponakanku Abd. Nashir dan Meti Sumiati yang telah membantu dalam penelitian, dan seluruh keluarga yang senantiasa memberikan warna indah dalam ruang kehidupan penulis.

5. Kepala Desa Palasari Girang beserta jajarannya yaitu Bapak Aeh Saefullah, Bapak M. jazuli, dan Bapak Ulis. yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian dan membantu penulis memberikan data-data, juga kepada kepala KUA Kec. Kalapanunggal beserta jajarannya yaitu Bapak Sarwan Hamid, Bapak Ma’mun Nawawi, dan Bapak U. Madrosin. Yang telah menyempatkan waktunya untuk wawancara.

6. Lili Bariadi, Abd. Rohmat.S.E, Marpudin S.Pd,I., Ahdika Pratiwi. S.sos, I serta seluruh senior yang lain, yang selalu memotivasi dan memberikan masukan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik sangat diharapkan demi perbaikan ke depan.

Jakarta, 1 Agustus 2010 Penulis


(7)

vii

DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ...

vii x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang masalah ... 1

B. Batasan dan perumusan masalah... 2

C. Tujuan dan manfaat penelitian... 3

D. Metode penelitian... 4

E. Sistematika penyusunan ... 7

BAB II PROSEDUR RESMI CERAI TALAK DAN KENYATAAN DI MASYARAKAT DESA PALASARI GIRANG KEC. KALAPANUNGGAL KAB. SUKABUMI... 9

A. Tata cara dan prosedur resmi pemeriksaan perkara cerai... 9

B. Proses perceraian di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab.Sukabumi ... 36

BAB III KONDISI MASYARAKAT DI DESA PALASARI GIRANG KEC. KALAPANUNGGAL KAB. SUKABUM……… 39


(8)

viii

A. Kondisi geografis Desa Palasari Girang... 40

B. Keadaan demografis Desa Palasari Girang... C. Kondisi sosial Desa Palasari Girang... 40 41 BAB IV TEMUAN PENELITIAN ... 46

A. Karakteristik responden ... B. Pengetahuan masyarakat setempat mengenai hukum perkawinan... C. Pemahaman masyarakat setempat mengenai hak dan kewajiban mantan suami-istri pasca perceraian... D. Faktor-faktor penyebab perceraian di luar prosedur Pengadilan Agama dan dampaknya terhadap pemenuhan nafkah idah dan nafkah anak pasca perceraian... 46 47 53 57 BAB V PENUTUP ... 61

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran-saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

LAMPIRAN-LAMPIRAN...

1. Daftar wawancara dengan Bapak U. Madrosin sebagai Amil di

Desa Palasari Girang Kab.

Sukabumi……….. 63


(9)

ix

4. Berita wawancara dengan ibu Fatimah salah seorang wanita


(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Batas wilayah Desa Palasari Girang... 40

Tabel 3.2 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin... 40

Tabel 3.3 Sarana ibadah di Desa Palasari Girang... 41

Tabel 3.4 Kondisi sosial pendidikan Desa Palasari Girang... 42

Tabel 3.5 Sarana pendidikan Desa Palasari Girang... 43

Tabel 3.6 Mata pencaharian masyarakat Desa Palasari Girang... 44

Tabel 4.7 Usia responden... 46

Tabel 4.8 Identitas responden berdasarkan tingkat pendidikan... 47

Tabel 4.9 Apakah perkawinan responden melibatkan pejabat setempat... 48

Tabel 3.10 Usia responden keika melangsungkan perkawinan... 49

Tabel 4.11 Tempat responden melangsungkan perceraian... 50

Tabel 4.12 Ada tidaknya penyuluhan mengenai proses perkawinan dan perceraian .. 51

Tabel 4.13 Pendapat responden mengenai sah atau tidaknya perceraian di luar rosedur Pengadilan Agama ... 52

Tabel 4.14 Setuju atau tidaknya dengan perceraian yang dilakukan di Pengadilan Agama ... 53

Tabel 4.15 Ada atau tidaknya upaya yang dilakukan mantan istri terhadap mantan suami jika tidak memenuhi nafkah idah ... 56 Tabel 4.16 Ada atau tidaknya upaya yang dilakukan mantan istri terhadap mantan


(11)

xi

suami jika tidak memenuhi nafkah anak ... 56

Tabel 4.17 Faktor penyebab terjadinya perceraian ... 57

Tabel 4.18 Alasan bercerai di luar PA ... 58

Tabel 4.19 Terpenuhi atau tidaknya nafkah selama masa idah ... 59

Tabel 4.20 Nafkah terhadap anak dari suami pasca cerai ... 60


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia yang hidup di muka bumi ini, pasti mendambakan kebahagiaan, dan salah satu untuk mencapai kebahagiaan adalah dengan jalan perkawinan. Perkawinan adalah fitrah manusia dan merupakan suatu hal yang sangat sakral, baik dalam agama maupun kedudukannya dalam undang-undang. Tujuan dari perkawinan adalah agar terbinanya hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan antara satu sama lain saling mencintai, menghasilkan keturunan dan hidup berdampingan secara damai dan sejahtera dengan perintan Allah dan petunjuk rasulnya.1

Namun tidak selamanya perkawinan berjalan mulus, terkadang dapat terjadi pertengkaran yang hebat yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian, biasanya yang menjadi dasar penyebab perceraian tersebut adalah karena tujuan dari perkawinan tidak tercapai.

Islam memberikan solusi bagi mereka yang telah dipastiakn gagal dalam membina rumah tangga dan jika perkawinan tersebut dipakasakan maka akan menimbulkan kemadaratan yang lebih parah, yaitu dengan jalan talak atau perceraian. Sebagaimana telah diatur di dalam al-Qur’an dan hadis serta undang-undang.

1

A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta, Raja Grapindo Persada, 2002) Cet, ke-1, h. 150


(13)

Pemerintah melalui undang-undang telah mengatur semua proses perceraian dengan sebaik mungkin, dengan tujuan agar perceraian yang terjadi dapat teridentifikasi dan tidak semena-mena. Namun yang terjadi di masyarakat khususnya di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab. Sukabumi terkadang perceraian dilakukan dengan cara mudah tanpa melalui prosedur Pengadilan Agama separti yang telah diatur di dalam undang-undang tersebut.

Melihat penomena tersebut, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul: “DAMPAK CERAI TALAK DI LUAR PROSEDUR PENGADILAN AGAMA TERHADAP NAFKAH IDAH DAN NAFKAH ANAK PASCA CERAI (Studi Kasus di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab. Sukabumi)”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan masalah

Banyak hal-hal yang menarik yang berkaitan dengan masalah perceraian, namun untuk mempermudah dan memperjelas pokok pembahasan dalam penelitian serta mengingat terbatasnya objek penelitian, maka penulis membatasi pada perceraian yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di Pengadilan Agama serta akibatnya terhadap nafkah iddah dan nafkah anak pasca cerai di Desa Palasari Girang Kec. Kalanunggal Kab. Sukabumi.

2. Rumusan masalah

Mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa perceraian hanya dapat dikatakan sah apabila ada putusan dari pengadilan. Namun yang terjadi di


(14)

3

masyarakat khususnya di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab. Sukabumi terkadang perceraian dilakukan tanpa melalui prosedur yang berlaku.

Perumusan masalah di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana pemahaman masyarakat mengenai hukum perceraian?

b. Prosedur apa yang digunakan oleh masyarakat Desa Palasari Girang dalam melakukan perceraian?

c. Apa dampak perceraian di luar prosedur Pengadilan Agama terhadap nafkah idah dan anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang pernikahan dan perceraian yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di Indonesia

2. Untuk megetahui apa penyebab terjadinya perceraian di Desa Palasari Girang dan apa yang menjadi alternatif dalam proses perceraian selain di Pengadilan Agama 3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan proses perceraian

tidak melalui Pengadilan Agama

4. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari prceraian di luar prosedur Peradilan Agama, terutama implikasinya terhadap nafkah iddah dan nafkah anak pasca cerai

5. Untuk mengetahui Bagaimana tindakan mantan seorang istri pada mantan suaminya yang lalai dalam membayar nafkah iddah dan nafkah anak pasca cerai.


(15)

D. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, menggunakan jenis penelitian sebagai berikut: a. Penelitian kepustakaan (Library Research)

Yaitu pengumpulan data dan informasi melalui buku-buku, majalah, tabloid, dan data-data tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan ini.

b. Penelitian lapangan (Field Research )

Yaitu suatu teknik pengumpulan data dimana penulis langsung melakukan penelitian ke lapangan untuk memperoleh data yang jelas (objektif). Adapun cara yang dilakukan adalah wawancara (interview)

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab. Sukabumi. Lokasi ini diambil dengan pertimbangan bahwa tidak sedikit masyarakat di Desa tersebut yang melakukan perceraian di luar prosedur Pengadilan Agama. Hal ini membantu penulis untuk membuat kesimpulan yang lebih akurat dari hasil penelitian yang dibuat.

3. Sumber data

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data, yaitu: a. Data Primer

Data penelitian ini terutama diperoleh dari masyarakat Desa Palasari Girang yaitu semua wanita yang pernah melakukan perceraian baik yang sudah menikah lagi atau belum.


(16)

5

b. Data Sekunder

Data sekunder yang dalam hal ini bersifat pelengkap yang diperoleh dari buku, majalah, dan sumber lainnya yang berkaitan dengan pembahasan ini.

4. Tekhnik Pengumpulan Data

a. Wawancara, yaitu dengan membuat pedoman wawancara yang diajukan kepada tokoh masyarakat yaitu pejabat KUA Kec. Kalapanunggal, dan para wanita yang pernah melakukan perceraian.

b. Kuesioner disebarkan kepada para responden sebagai penelitian daftar pendapat yang mengumpulkan opini dari masyarakat yang untuk dijadikan sampel. Subjek penelitian ini akan di fokuskan kepada para wanita yang pernah melakukan perceraian baik yang sudah menikah lagi atau belum. Untuk kuesioner ini penulis mengambil sampel 50 orang responden, dari 252 jumlah wanita yang pernah bercerai di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal.2 Studi dokumentasi, yaitu dengan cara mengumpulkan data dari Dinas terkait dan data dari kantor Desa Palasari Girang.

5. Analisis Data

Yang dimaksud dengan teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.3 Analisis data ini menggunakan deskriptif kuantitatif.

2

Data Jumlah Wanita yang Bercerai Diambil dari Hasil Wawancara dengan Masing-Masing RW di Desa Palasari Girang


(17)

a. Wawancara

Mendeskripsikan hasil wawancara yang dianggap dapat mendukung inti permasalahan yang penulis teliti.

b. Kuesioner

Analisis ini dilakukan terhadap data yang diperoleh melalui kuesioner dari sumber utama, adapun data tersebut diolah dengan menggunakan rumusan:

100 x N F P

P = Angka Prosentase

F = Frekuensi yang sedang dicari frekuensinya N = Jumlah seluruh sample4

Besarnya rumus di atas akan dijelaskan dengan beberapa kriteria di antaranya: 100 % = Seluruhnya

82 - 99 % = Hampir seluruhnya 67 - 81 % = Sebagian besar 51 - 66 % = Lebih dari setengah

50 % = Setengah

34 - 49 % = Hampir setengah 18 - 33 % = Sebagian kecil

3

Marisa Siganimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta, LP3ES, 1995), cet. Ke-1, h.263

4

Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta, PT. Grafindo Persada, 1995), cet. ke-6, h. 40


(18)

7

1 - 17 % = Sedikit sekali c. Studi dokumentasi

Memaparkan data-data yang dibutuhkan dalam menjawab permasalahan yang diteliti.

Sedangkan teknik penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan buku pedoman penulisan skripsi yang disusun oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

E. Sistematika Penyusunan

Untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, maka penulis membaginya dalam empat bab, penulis uraikan sebagai berikut:

Bab Pertama, Merupakan babpendahuluan sebagai gambaran umum tentang penulisan skripsi, pada bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, Pada Bab ini akan membahas mengenai tata cara dan proses perceraian secara resmi di Pengadilan Agama, dan proses perceraian pada masyarakat Desa Palasari Girang Kecamatan Kalapanunggal Kabupaten Sukabumi

Bab Ketiga, Bab ini membahas kondisi masyarakat di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab. Sukabumi,

Bab keempat, memuat hasil panelitian yang meliputi Karakteristik responden, pengetahuan masyarakat setempat mengenai hukum perkawinan dan perceraian, pemahaman masyarakat setempat mengenai hak dan kewjiban suami istri


(19)

pasca percerain, faktor-faktor penyebab perceraian di luar prosedur Pengadilan Agama dan dampaknya terhadap pemenuhan nafkah idah dan nafkah anak


(20)

9

BAB II

PROSEDUR RESMI CERAI TALAK DAN KENYATAAN DI MASYRAKAT DESA PALASARI GIRANG KEC.KALAPANUNGGAL

KAB. SUKABUMI

A. Tata Cara dan Prosedur Resmi Pemeriksaan Perkara Cerai

Pada dasarnya talak adalah ungkapan yang merupakan hak suami untuk menceraikan istrinya. Dahulu laki-laki muslim di Indonesia, dapat saja menceraikan istrinya dengan ungkapan-ungkapan tertentu langsung kepada istrinya di hadapan saksi.1 Tentu saja kesewenang-wenangan tersebut tidak dapat dibiarkan berlanjut demi untuk menertibkan dan mensejahterakan keluarga masyarakat Indonesia. Langkah penetiban itulah salah satunya dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-undang tersebut, sejalan dengan asasnya yaitu mempersulit perceraian. Sejak berlakunya UU Parkawinan dan PP tersebut, penggunaan kebolehan lembaga talak diatur dan dibatasi dengan barbagai syarat yang disesuaikan dengan ketentuan hukum islam. Tata cara penggunaan talak mesti melalui campur tangan pengadilan yang diberi kewenangan untuk menilai dan mempertimbangkan apakah yang menjadi dasar pertimbangan suami untuk mentalak istrinya, apakah dapat di benarkan menurut hukum dan nilai moral islam.2

1

Moh. Daud Ali, dan Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grapindo Persada, 1995) Cet. Ke-1 h.94

2

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Pradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta, Pustaka Kartini, 1997) Cet. Ke-3, h.230


(21)

Dengan tujuan mempersulit terjadinya perceraian itu, maka ditentukanlah untuk melakukan perceraian, harus ada cukup alasan bahwa antara suamu-istri tersebut tidak dapat hidup rukun lagi. Perceraian itu seperti disebutkan dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan KHI bahwa pernikahan dapat putus disebabkan karena (1) Kematian (2) Perceraian (3) Putusan pengadilan.

UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39 menjelaskan:

1. Perceraian haya dapat dilakukan di depan pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak

2. Untuk melakukan percerian, harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri

3. Tata cara perceraian di depan sidang diatur dalam peraturan perunda-undangan sendiri3

UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama pasal 54 mengatakan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama selain dari yang dimuat dalam UU tersebut, mempergunakan Hukum Acara Perdata Peradilan Umum. Pengaturan tempat mengajukan gugatan/permohonan yang dimuat dalam UU nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama hanya terbatas bagi perkara perkawinan cerai talak dan cerai gugatan.4

Oleh karena itu tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara selain perkara kawin cerai talak dan perkara perkawinan cerai gugat, berpegang pada aturan tempat mengajukan gugatan/permohonan yang dimuat dalam UU Nomor 1

3

Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press,1986). Cet. 5 h. 98

4

H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta, PT. Rajas Grapindo Persada,1998)h.48


(22)

11

tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang tersebut, sedangkan untuk perkara lain-lainnya berpegang kepada aturan umum tempat mengajukan gugatan/permohonan menurut yang berlaku di Peradilan Umum.5

Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara perkawinan sebagai berikut:

1. Permohonan suami untuk menceraikan istrinya dengan cerai talak, diajukan oleh suami (pemohon) ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman istri (termohon). Bila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon dan atau bila termohon bertempat kediaman di Luar negeri maka permohonan diajukan oleh pemohon ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman pemohon. Bila suami-istri (pemohon-termohon) bertempat kediaman di Luar negeri, permohonan diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat perkawinan mereka dahulunya dilangsungkan, atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat.6

2. Gugatan perceraian diajukan oleh istri (penggugat) atau kuasanya ke Pengdilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman istri (penggugat). Bila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugut (suami), dan atau bila penggugat bertempat kediaman di Luar negeri, gugatan

5 Ibid 6


(23)

perceraian diajukan oleh penggugat ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman tergugat. Jika suami-istri kedua-duanya bertempat kediaman di Luar negeri maka gugatan diajuakan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat perkawinan mereka dahulunya dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat.7

Berikut adalah prosedur yang harus dilalui dalam melakukan cerai talak di Pengadilan Agama (PA)

1. Proses Administrasi Perkara

a.Permohonan Cerai

1. Suami membuat surat permohonan talak, yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang dituju. Format surat permohonan berisi:

a) Identitas

Berisi identitas kedua belah pihak (nama lengkap, usia, agama, pekerjaan dan alamat jelas tempat kediaman yang senyatanya)

b) Posita

Berisi dalil-dalil permohonan, yakni peristiwa atau kejadian senyata-nyatanya yang menjadi penyebab diajukannya Permohonan Talak (Pasal 19(f)PPA/75).8 Dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan KHI pasal 116:

1) Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi dan

7 Ibid 8

Prosedur Berperkara di Pengailan Agama, artikel ini di akses pada tanggal 19 juli 2010 dari http://pa-iaksel.net


(24)

13

lain sebagainya yang sulit disembuhkan.

2) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.

3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap yang lain.

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

6) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan 7) Suami melanggar taklik talak

8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.9

Alasan-alasan cerai di atas tidak bersifat komulatif tetapi alternatif. Pemohon dapat memilih salah satu diantanya sesuai dengan fakta yang mengiringinya. Yang terpenting adalah alasan yang dikemukakan dapat dibuktikan sebagai dasar pertimbangan untuk mengabulkan permohonan.10

9

Muhammad Ichwan Ridwan, Kamarusdiana, dan Hotnida Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukun UIN Syarif Hidayatullah Jakata, 2004), h.188

10 Ibid


(25)

c) Petitum

Yakni tuntutan atau permintaan tentang apa yang diinginkan.11 2. Mendaftarkan perkara.

Setelah surat permohonan talak dibuat, pemohon dapat menuju ke meja-1 dengan menyerahkan Surat Permohonan Talak, lalu petugas meja-1 membuatkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), setelah itu menuju kasir untuk membayar Panjar Biaya Perkara. Dengan membawa Bukti Pembayaran. Pemohon kembali ke meja-1 dan menyerahkan Surat PermohonanTalakuntuk diberikan nomor registrasi.

3. Prosedur pendaftaran selesai

Pemohon dapat meninggalkan Kantor Pengadilan Agama dan menunggu panggilan persidangan.12

b.Cerai Gugat

1. Isteri membuat surat gugat cerai. yang ditunjukan kepada Ketua Pengadilan Agama. Adapun format surat gugatan, meliputi:

a) Identitas

Berisi identitas kedua belah pihak (nama lengkap, usia, agama, pekerjaan dan alamat jelas tempat kediaman yang senyata-nyatanya) b) Posita

11

Prosedur Berperkara di Pengailan Agama, artikel ini di akses pada tanggal 19 juli 2010dari http://pa-iaksel.net

12 ibid


(26)

15

Berisi dalil-dalil permohonan, yakni peristiwa atau kejadian senyata-nyatanya yang menjadi penyebab diajukannya gugatan talak (Pasal 19 (f) PPA/75).

c) Petitum

Yakni tuntutan atau permintaan tentang apa yang diinginkan.13 2. Mendaftarkan perkara.

Setelah surat permohonan gugat dibuat Penggugat dapat menuju ke meja-1 dengan menyerahkan Surat Gugat, lalu petugas meja-1 membuatkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), setelah itu menuju kasir untuk membayar Panjar Biaya Perkara. Dengan membawa Bukti Pembayaran Penggugat kembali ke meja-1 dan menyerahkan Surat Gugat untuk diberikan Nomor Registrasi.

3. Prosedur pendaftaran selesai

Pemohon dapat meninggalkan Kantor Pengadilan Agama dan menunggu panggilan persidangan.14

Dalam hukum acara perdata di kenal 2 teori tentang cara penyusunan gugatan kepada pengadilan, yaitu:

1. Substantiering theorie

Teori ini menyatakan bahwa, gugatan selain harus menyangkut

13 ibid 14


(27)

peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab peristiwa hukum tersebut. Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, tidak cukup hanya menyebutkan bahwa ia pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebutkan sejarah kepamilikannya, misalnya karena membeli, mewarisi, hadiah dan sebagainya.

2. Individualiserings theorie

Teori ini menyatakan bahwa, dalam gugatan cukup disebut peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang menujukan keadanya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian tersebut. Sejarah terjadinya atau sejarah adanya kepemilikan, hak milik benda itu tidak perlu dimasukan dalam gugatan, karena hal itu dapat ditemukan dalam persidangan dengan disertai bukti-bukti seperlunya15

Pada prinsipnya setiap surat gugatan/permohonan dibuat secara tertulis, namun demikian apabila seseorang tidak bisa membuat surat gugatan/permohonan secara tertulis, dimungkinkan dilakukan dengan cara lisan melalui Ketua Pengadilan Agama.16

Selanjutnya Ketua Pengadilan Agama dapat memerintahkan kepada hakim

15

Abdul Manna, Penerapan Hokum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (yayasan al-hikmah, 2000) cet.1 h. 17

16

Muhammad Ichwan Ridwan, Kamarusdiana, dan Hotnida Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama, h.31


(28)

17

untuk membantu penggugat atau pemohon tersebut untuk mengemukakan alasan-alasan hukumnya mengajukan permohonan atau gugatan, selanjutnya ditanda tangani oleh Ketua atau hakim yang menerimanya. Itu berdasarkan ketentua pasal 114 ayat (1) R.Bg atau pasal 120 HIR.17

Dalam prakteknya surat gugatan atau permohonan secara lisan, dibuatkan oleh Panitra atas nama Ketua Pengailan Agama membuat catatan yang diterangkan oleh penggugat atau pemohon kepadanya, yang disebut "catatan gugat atau catatan permohonan".

Dan catatan gugat atau permohonan ini setelah dibuat lalu dibacakan kembali agar penggugat atau pemohon mengerti isinya. Setelah ia paham dan sependapat, maka dibubuhkan cap jempol dengan legalisasi oleh Panitra Pengdilan Agama yang bersangkutan.18

Setelah mempelajari surat tersebut, dalam jangka waktu 30 hari sejak diterima, ketua majlis atau hakim yang di tunjuk menetapkan hari sidang untuk mendengar penjelasan pemohon dan termohon, dalam kesempatan itu diusahakan perdamaian , pihak-pihak harus hadir sendiri, tidak diwakilkan, yang kalau berhasil maka permohonan dicabut. Tetapi kalau gagal, maka pengadilan membuat penetapan mengabulkan permohonan tersebut, namun demikian belum boleh diikrarkan talak,

17 Ibid 18


(29)

karena terhadap penetapan tersebut masih terbuka kesempatan untuk minta banding kepada Pengadilan Tinggi Agama, kemudian kasasi ke Mahkamah Agung.19

2. Tahapan Persidangan

a. Tahapan Persidangan Permohonan Talak

Tahap persidangan Sidang I

Proses persidangan pertama memuat: a. Ketua majlis membuka sidang

b. Ketua majlis menanyakan identitas para pihak c. Anjuran damai

d. Pembacaan surat gugatan20

Pada sidang pertama, bila pemohon dan termohon hadir, maka akan ada tiga kemungkinan:

a) Para pihak berdamai dan sidang tidak di laksanakan; atau

b) Pemohon tidak bersedia berdamai sedangkan termohon setuju untuk damai; atau

c) Pemohon bersedia berdamai namun termohon tidak bersedia berdamai. Dalam hal ini hakim dapat menunda sidang dan menyarankan agar kedua belah pihak berdamai, untuk mengingat kebaikan masing-masing. Bila

19

Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya,(Jakarta, Sinar Grafika, 1996) h. 111

20


(30)

19

pemohon tetap ingin bercerai, sidang dilanjutkan, dimulai dengan pembacaan surat permohonan, oleh pemohon atau kuasanya.21

Dalam sidang pertama kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi adalah:

a) Pemohon hadir sedang termohon tidak hadir, sidang ditunda untuk memanggil kembali termohon;

b) Pemohon tidak hadir dan tidak mengirim kuasanya, kemungkinan pemohon tidak jadi mengajukan permohonannya atau, sidang ditunda kembali untuk memanggil pemohon. Bila telah dipanggil sekali lagi, pemohon tetap tidak hadir dalam sidang di muka. hakim dapat menetapkan bahwa gugatan dinyatakan gugur atau net onvankelijk (NO). Atau sidang ditunda lagi untuk memanggil pemohon dengan persetujuan termohon. Hal ini diatur dalam pasal 124 HIR/148 RB.g. bila pemohon ingin mengajukan permohonan lagi, maka ia wajib mendaftar atau mengajukan permohonan baru. Jika pemohon hadir, termohon tidak hadir, hakim dapat:

1) Menunda persidangan untuk memanggil tergugat sekali lagi

2) Menjatuhkan putusan verstek karena termohon dinilai ta'azzuz (ghaib)22

Sidang II Jawaban

21

Sulaikin Lubis, Hukum Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2006) ed.l,Cet.Ke-2.h.l20

22 Ibid


(31)

Dalam jawaban, termohon, yaitu istri berhak mempertahankan haknya. Pada kesempatan ini termohon atau kuasanyajuga dapat mengajukan gugatan balik (rekonvensi). Jawaban atau rekonvensi dapat secara tertulis atau lisan (pasal 121 ayat (2) HIR/pasal 145 ayat (2) RB.g. jo pasal 132 ayat (1) HIR/pasal 158 ayat (1) RB.g.)

Bila termohon atau kuasa hukumnya tidak hadir dalam sidang, meskipun mengirimkan surat jawaban, tetap dinilai tidak hadir dan jawaban itu tidak diperhatikan, kecuali jawaban yang berupa eksepsi bahwa pengdilan yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkaraitu.23

Sidang III Replik

Sidang replik, yaitu kesempatan yang diberikan oleh hakim kepada pemohon untuk menanggapi jawaban termohon sesuai dengan pendapatnya, atau tetap mempertahankan permohonannya, mengulangi permohonan, menegaskan dan melengkapi atau menambahkan keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya pada surat permohonannya. Atau dapat juga merubah sikap dengan membenarkan jawaban/bantahan termohon.24

23 Ibid 24


(32)

21

Sidang IV Duplik

Sidang duplik merupakan jawaban atau tanggapan dari replik. Termohon mengajukan duplik yang pada pokoknya mengulangi dan menegaskan kembali jawaban serta gugatan rekonvensinya.

Acara replik dan duplik (jawab-menjawab) ini dapat diulangi sampai ada titik temu antara pemohon dengan termohon dan atau dianggap cukup oleh hakim.

Bila acara jawab-menjawab dianggap telah cukup namun masih ada hal-hal yang tidak disepakati oleh pemohon dan termohon sehingga perlu dibuktikan, kemudia acara dilanjutkan ketahap pembuktian.25

Sidang V Pembuktian

Pembuktian di muka Pengadilan adalah merupakan hal yang sangat penting dalam Hukum Acara sebab Pengadilan dalam menegakan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Hukum pembuktian termasuk bagian dari Hukum Acara sedangkan Peradilan Agama mempergunakan Hukum Acara yang berlaku bagi Peradilan Umum.26

Yang dimaksud dengan pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan. Jadi membuktikan itu hanyalah dalam hal adanya perselisihan

25 ibid 26


(33)

sehingga dalam perkara perdata di muka pengadilan, terdapat hal-hal yang tidak dibantah oleh pihak lawan, tidak memerlukan untuk dibuktilan.27

Pada tahap ini, baik pemohon atau termohon diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti baik berupa saksi-saksi, alat bukti surat maupun alat bukti lainnya secara bergantian yang diatur oleh hakim.28

Sidang VI Kesimpulan

Pada tahap kesimpulan, masing-masing pihak (pemohon dan termohon) diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung.29

Sidang VII Penetapan Hakim Contoh kasus:

Pada tanggal 7 januari hakim memberikan penetapan bahwa permohonan suami (pemohon) untuk mengajukan ikrar talak diterima. Sejak penetapan ini terdapat jangka waktu 14 hari (14 hari kerja). Dalam jangka waktu 2 minggu ini, termohon dapat mengajukan permohonan banding.

Bila istri tidak mengajukan banding maka penetapan hakim memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sejak tanggal tersebut, suami atau pemohon dapat mengajukan permohonan untuk mengucapkan ikrar talak.

Tanggal 25 januari (14 hari kerja setelah penetapan hakim berkekuatan

27

Ibid h. 138

28

Sulaikin Lubis, Hukum Perdata Peradilan Agama di Indonesia,h. 123

29 ibid


(34)

23

hukum tetap) talak belum jatuh., istri dapat mengajukan banding. Bila istri (termohon) tidak dapat menyatakan banding, penetapan tersebut dapat memperoleh kekuatan hukum yang tetap(25/l-05). Sejak tanggal tersebut pengadilan menentukan hari sidang untuk menyaksika ikrar talak pemohon atas permohonan pemohon (suami). Misalnya ditetapkan bahwa sidang untuk mengucapkan ikrar talak pada tangga 25 maret 2005, maka suami pada hari yang ditentukan harus datang dan mengucapkan ikrar talak di hadapan Mejelis hakim dan dihadiri oleh istri.

Undang-undang memberi kesempatan atau tenggang waktu bagi suami atau pemohon untuk mengucapkan Ikrar Talak dalam waktu 6 bulan. Bila dalam tenggang waktu tersebut suami tidak datang untuk mengucapkan Ikrar Talak, maka permohonan untuk mengucapkan Ikrar Talak tersebut dapat dinyatakan gugur oleh hakim, (pasal 70 ayat (6) UU Peradilan Agama).30

Pemeriksaan

Pemeriksaan cerai talak pada prinsipnya sama dengan perkara perdata pada umumnya. Namun demikian ada bebrapahal yang tidak bias ditolerir dan dianggap sangat prinsipil dalam pemeriksaan cerai talak.31

a. Pemeriksaan cerai talak mesti dilakukan dengan majlis hakim (pasal 68 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989) dalam siding tertutup

30

Sulaikin Lubis, Hukum Perdata Peradilan Agama di Indonesia,h. 124

31

Muhammad Ichwan Ridwan, Kamarusdiana, dan Hotnida Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama, h.31


(35)

(pasal 68 ayat 2 dan pasal 80 ayat 2). Ketentuan pemeriksaan ini merupakan pengecualian dari asas umum yang ditentukan dalam pasal 17 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 jo. Pasal 59 ayat 1 Undang-undang No.7 Tahun 1989. Menurut asas umum semua perkara harus dilakukan dalam sidang pemeriksaan pengadilan yang terbuka untuk umum. Akan tetapi, dikarnakan hal lain, pemeriksaan perkara perceraian harus dilakukan dalam sidang tertutup dan jika dilanggar, maka putusan dianggap batal dan harus diadaka pemeriksaan ulang dalam sidang tertutup. Namun demikian, sekalipun pemeriksan dilakukan dalam sidang tertutup, tetapi dalam putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.32

b. Pemeriksaan cerai talak meskipun tidak dihadiri oleh pemohon dan termohon, akan tetapi dalam sidang perdamaian, pemohon dan termohon harus datang secara pribadi, tidak bisa diwakili oleh kuasa hukumnya. Upaya perdamaian dalam perkara cerai talak, harus dilakukan hakim dalam setiap sidang sampai dijatuhkannya putusan. Ketentuan ini menyimpang dari ketentuan umum hukum acara perdata, dimana kuasa dapat mewakili

32 Ibid


(36)

25

kepentingan pihak pemberi kuasa, meskipun dalam sidang perdamaian.33

c. Dalam proses pemeriksaan cerai talak, istri (termohon) berhak mengajukan gugatan rekonvensi (pasal 132 (a) dan (b) atau pasal 157 dan 158 RB.g) dengan beberapa alasan. Pertama perkara cerai talak (voluntair) sama dengan perkar gugat cerai (cotentiosa). Sebab istri sebagai termohon sama setatusnya sebagai tergugat. Istri bukan sebagai tergugat. Istri bukan objek tetapi subjek yang mempunyai hak untuk membela dan mempertahankan haknya dalam proses pemeriksaan. Masing-masing berhak mengajukan replik duplik dan juga alat penbuktian. Kedua, istri sebagai termohon diberihak untuk mengajukan upaya hukum banding (pasal 70 ayat 2). Ini menunjukan bahwa perkara cerai talak bersifa contentiosa atau sengketa. Artinya istri sebagai termohon mempunyai posisi yang sama dengan pihak-pihak dalam pemeriksaan perkara contentiosa. Tiga, kebolehan menggabungkan gugat cerai talak dengan persoalan pemeriksaan pemeliharaan anak dan pembagian harta bersama, membuka pintu bagi istri untuk menuntut dan

33 Ibid


(37)

membela kepentingannya pada saat yang bersamaan dalam pemeriksaan cerai talak.34

b. Tahapan Persidangan Cerai Gugat

Proses pemeriksaan cerai gugat pada dasarnya sama dengan proses pemeriksaan cerai talak. Proses pemeriksaan selambat-lambatnya terhitung 30 hari dari tanggal perkara didaftarkan di Pengadilan yang bersangkutan. Pemeriksaan dilakukan secara Majlis hakim dalam sidang tertutup untuk umum. Persidangan tidak harus dihadiri oleh pihak-pihak yang berperkara. Mereka dapat diwakili oleh kuasa yang telah mendapat surat kuasa khusus untuk itu. Hanya saja jika dalam proses pemeriksaan ternyata perdamaian itu tercapai, maka suami-istri harus datang secara pribadi tidak boleh diwakilkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses perkara cerai gugat, tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan cerai talak. Dan kalau kita coba menarik perbedaan, perbedaan hanya ada pada bentuk putusan. Oleh karena perkara gugat cerai bersifat contentiosa maka bentuk putusan akanber sifat condemnatoir.35

Sama halnya dalam permohonan cerai, di mana diajukan pembuktian: 1. Apabil alasan cerai karena mendapat hukuman penjara maka sebagai bukti

cukup dengan salinan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum

34 Ibid 35


(38)

27

tetap.

2. Apabila alasan perceraian karena cacat badan atau penyakit yang berakibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, pengadilan dapat memrintahkan agar tergugat memriksakan diri ke dokter.

3. Apabila alasan cerai karena syiqaq, harus didengar saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang terdekat suami-istri. Dapat pula diangkat hakam seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak.

4. Apabila alasan cerai karena zina dapat pula tebukti secara sempurna bila li’an telah diucapkan tanpa dilawan dengan li’an pula.36

3. Upaya Hukum

a. Upaya Banding

Banding dalam istilah pengdilan disebut appel (Belanda), yaitu pembatalan, yaitu upaya hukum yang meminta dibatalkan putusan Pengadilan tingkat pertama oleh Pengadilan tingkat banding karena merasa tidak puas atas putusan pengadilan tingkat pertama berasebut.37 Banding adalah upaya yang diajukan oleh salah satu pihak yang terlibat dalam perkara, agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan Pengadilan Agama diperiksa ulang dalam pemeriksaan tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Agama. Karena belum

36

Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya h. 112

37

Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1987), h.53


(39)

puas oleh putusan Pengadilan tingkat pertama.38Upaya ini bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan segala kesalahan, kekeliruan dalam penerapan hukum, tatacara mengadili, penilaian fakta dan pembuktian.39

Dasar hukum banding adalah:

1. Undang-undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 19

2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1975 Tentang Peradilan Agama/Mahkamah Syariah Luar Jawa Madura, Pasal 8 dan 11.40

Tenggang waktu permohonan banding yaitu 14 hari setelah putusan diucapkan, apabila waktu putusan diucapkan pihak pemohon banding hadir sendiri di persidangan., atau 14 hari sejak putusan diberitahukan apabila pemohon banding tidak hadir pada saat putusan diucapkan di persidangan.41

Mengenai proses pemeriksaan tingkat banding sebagai berikut: 1. Dilakukan berdasarkan berkas perkara

Pemeriksaan pada tingkat banding dilakukan melalui Berita Acara pemeriksaan Pengadilan Tingkat Pertama yaitu "berdasarkan perkara" 2. Apabila dianggap perlu dapat melakukan pemerikasan tambahan, melalui

proses:

38

Sulaikin Lubis, Hukum Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 127

39

Muhammad Ichwan Ridwan, Kamarusdiana, dan Hotnida Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama.h. 157

40

Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, h.56

41


(40)

29

a) Pemeriksaan tambahan berdasarkan putusan sela, sebelum menjatuhkan putusan akhir; atau putusan ditangguhkan menunggu hasil pemeriksaan tambahan.

b) Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan sendiri oleh Pengadilan Tinggi Agama (PTA)

c) Pelaksanaan pemeriksaan tambahan diperintahkan kepada pengadilan yang semula memeriksa dan memutus pada tingkat pertama.

d) Pemeriksaan tingkat banding dilakukan dengan majlis; Pasal 11 ayat 1 Lembaran Negara No. 36 tahun 1970, dipertegas dalam Pasal 15 UU No. 14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.42

b. Upaya Kasasi

Kasasi artinya mohon pembatalan terhadap putusan/penetapan Peng adilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) atau terhadap putusan Pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama) ke Mahkamah Agung, melalui Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) yang dahulunya memutus, karena adanya alasan tertentu, dalam waktu tertentu, dengan syarat-syarat tertentu. Upaya hukum kasasi baru dapat digunakan kalau sudah mempergunakan upaya hukum banding.43

Kasasi adalah upaya hukum biasa yang kedua, yang diajukan oleh

42

Ibid h. 175

43


(41)

pihak yang merasa tidak puas atas penetapan dan putusan di bawah Mahkamah Agung, mengenai:

1. Kewenangan pengadilan

2. Kesalahan penerapan hukum yang dilakukan pengadilan bawahan (tingkat I/II). Dalam memeriksa dan memutuskan perkara.

3. Kesalahan atau kelalaian dalam cara-cara mengadili menurut syarat-syarat yang ditentukan peraturan perundang-undangan.44

Kasasi untuk lingkungan Pengadilan Agama baru sejak keluarnya peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1977, Tentang Jalan Pengadilan Dalam Pemeriksaan Kasasi Dalam Perkara Perdata dan Pidana Oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer.

Pasal 2 dari Peraturan tersebut menyatakan bahwa kasasi untuk perkara dari lingkungan Peradilan Agama dapat dipergunakan aturan kasasi untuk lingkungan Peradilan Umum, yaitu pasal 112 sampai 120 dari Undang-undang No. 1 Tahun 1950 Tentang Mahkamah Agung Indonesia.45

Dasar hukum kasasi Peradilan Agama sekarang adalah dengan terbitnya Undang-undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, maka isi dari Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1977 tersebut telah di ambil over kedalamnya dan dengan peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1977 tersebu telah dicabut, sehingga kasasi ke Mahkamah Agung dari

44

Sulaikin Lubis, Hukum Perdata Peradilan Agama di Indonesia h. 177

45


(42)

31

Peradilan Agama semakin kongkrit dan juridis dengan Undang-undang, yaitu Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung tersebut.46

Adapun mengenai prosedur permohonan kasasi sebagai berikut:

1. Tenggang waktu melakukan permohonan kasasi adalah 14 hari sejak tanggal pemberitahuan Putusan Pengadilan Tinggi Agama disampaikan secara resmi oleh Juru Sita kepada yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam pasal 46 ayat 1 dan ayat 2.

2. Permohonan kasasi disampaikan kepada Panitera Pengadilan Agama yang memutus perkara.

3. Yang berhak mengajukan kasasi adalah: a) Pihak yang berperkara, atau

b) Wakil yang secara khusus diberi kuasa. (pasal 44 ayat 1 UU No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung).47

Permohonan kasasi yang telah dikirim ke Mahkamah Agung melalui panitra pengadilan tingkat pertama, selanjutnya diperiksa oleh Mahkamah Agung. Pemeriksaan dilakukan sekurang-kurangnya oleh tiga orang Hakim Agung, berdasarkan berkas yang diterima Mahkamah Agung. Pemeriksaan kasasi meliputi semua putusan hakim, baik yang meliputi bagian-bagian daripada putusan yang merugikan pemohon kasasi maupun yang maupun yang

46 Ibid 47


(43)

menguntungkan pemohon kasasi.48

Jika pemohon kasasi telah memenuhi syarat, dan alasan permohonan sesuai dengan alasan yang diatur dalam pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung akan mengabulkan dan memutuskan permohonan perkara tersebut. Ada 3 bentuk putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan kasasi:

1. permohonan kasasi dikabulkan selanjutnya putusan Pengadilan Tinggi dibatalkan dan Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara itu dengan menguatkan putusan Pengadilan tigkat pertama.

2. Permohonan kasasi dikabulkan selanjutnya putusan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi dibatalkan serta mahkamah agung mengadili perkara tersebut dengan menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima.

3. Permohonan kasasi dikabulkan dan Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut dengan memerintahkan pengadilan tingkat pertama memeriksa kembali perkara tersebut.49

c. Upaya Peninjauan Kembali (PK)

Penunjauan Kembali (PK) adalah upaya hukum luar biasa yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan hanya dapat dilakukan oleh

48

Muhammad Ichwan Ridwan, Kamarusdiana, dan Hotnida Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama.h. 167

49


(44)

33

Mahkamah Agung (pasal 21 UU No. 14 tahun 1970 selanjutnya diatur dalam bab IV bagian ke-IV UU No. 14 tahun 1985, pasal 66-76).50

Disebut dengan luar biasa karena upaya hukum tersebut memeriksa, mengadili, memutus kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap muthlak bersifat final, tidak bisa dianggu gugat (litis finiri opperte), pada hari putusan telah terkandung kekuatan hukum yang mengikat para pihak serta mempunyai kekuatan aksekutorial yang muthlak kepada para pihak.51

Mengenai prosedur permohonan peninjauan kembali sebagai berikut:

1. Permohonan diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tingkat pertama (pasal 70 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung ) 2. Permohonan diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan

sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan.52

Alasan-alasan yang dimaksud tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yaitu:

a) Apabila putusan didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat pihak

50 Ibid 51

Muhammad Ichwan Ridwan, Kamarusdiana, dan Hotnida Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama.h. 168

52


(45)

lawan yang di ketahui perkara diputuskan atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatan palsu.

b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu diperiksa tidak ditemukan. c) Apabila telah ditemukan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih

daripada yang dituntut.

d) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.

e) Apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan atau kekeliruan hakim dengan nyata. 53

3. Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia menguraikan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama yang memutuskan perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut. (pasal 71 UU No. 14 Tahun 1985)

4. Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya dengan tiga orang hakim, (pasal 40 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung )

5. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) hanya dapat diajukan satu kali

53

Muhammad Ichwan Ridwan, Kamarusdiana, dan Hotnida Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama.h. 170


(46)

35

(pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung) 6. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) tidak menangguhkan atau

menantikan pelaksanaan putusan (pasal 66 ayat (2) UUNo. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung )

7. Mahkamh Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Agama yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau Pengadilan Tinggi (tingkat banding) mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta sagala hal keterangan serta pertimbangan dari pengadilan yang dimaksud. (pasal 73 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung )

8. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus.54 Jika berkas perkara sudah dianggap lengkap dan telah memenuhi syarat formal, seperti telah dibayar biaya perkara dan tidak melampaui batas tenggang waktu, maka permohonan PK harus dikirim oleh panitera pengadilan tingkat pertama ke Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal penerimaan atau pengiriman salinan permohonan PK.55

Pemeriksaan upaya hukum PK merupakan wewenang muthlak dari Mahkamah Agung, yang tidak bisa didelegasikan kepada badan pengadilan yang lain (pasal 70 UUNo. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung). Kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa PK peliputi:

54

Sulaikin Lubis, Hukum Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 179

55

Muhammad Ichwan Ridwan, Kamarusdiana, dan Hotnida Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama.h. 172


(47)

1. Memerintahkan pengadilan tingkat pertama yang memeriksa atau pengadilan tingkat banding untuk melakukan pemeriksaan tambahan atau meminta keterangan tambahan dan pertimbangan dari pengadilan yang bersangkutan.

2. Meminta keterangan dari jaksa atau pejabat lain yang diserahi tugas melakukan penyidikan

3. Mengirim dengan segera perintah yang dimaksudkan oleh Mahkamah Agung.56

Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan PK, maka Mahkamah Agung akan membatalkan putusan dan selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri perkara tersebut. Sebaliknya Mahkamah Agung akan menolak permohonan PK, jika permohonan tersebut tidak berdasar atau beralasan. Keputusan Mahkamah Agung sebagai badan Pengadilan Tingkat Pertama dan terakhir. Artinya apabila Mahkamah Agung telah menjatuhkan putusan terhadap perkara PK, maka putusan bersifat final, tidak ada lagi upaya hukum yang lain.57

B. Proses perceraian di Masyarakat Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab.Sukabumi

Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI (Kompilasi

Hukum Islam) bahwa pernikahan dapat putus disebabkan karena (1) Kematian (2) Perceraian

56 Ibid 57


(48)

37

(3) Putusan Pengadilan.

UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39 menjelaskan:

1. Perceraian haya dapat dilakukan di depan Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak

2. Untuk melakukan percerian, harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri

3. Tata cara perceraian di depan sidang diatur dalam peraturan perunda-undangan sendiri58 Dalam melakukan perceraian, masyarakat Desa Palasari Girang Kec.Kalapanunggal

Kab. Sukabumi pada umumnya hanya dilakukan dilakukan secara kekeluargaan tanpa

melalui Pengadilan Agama.

Menurut hasil wawancara penulis dengan pejabat KUA setempat, bahwa ada 2 (dua)

alternatif yang dilakukan oleh masyarakat Desa Palasari Girang dalam melakukan perceraian.

Yaitu:

1. Perceraian dilakukan di depan para tokoh masyarakat setempat, tokoh masyarakat

bertindak sebagai saksi sekaligus sebagai juru damai.

2. Perceraian di depan pejabat KUA.

Namun demikian seperti halnya di pengadilan, upaya perdamaian tetap dilakukan.

Hal ini seperti dituturkan oleh U.Madrosin amil Desa Palasari Girang. Dia mengatakan

bahwa: Ada sebagian masyarakat yang melangsungkan perceraian di Pengadilan Agama, bagi

58


(49)

yang mampuh secara ekonomi dan sangat dibutuhkan surat perceraiannya. Namun

kebanyakan dilakukan secara kekelurgaan di depan tokoh masyarakat dan ada juga yang

dilakukan di kantor KUA.59

Masyarakat yang ingin melakukan cerai mengahadap pada para tokoh masyarakat

dan membahas semua permasalahan yang terjadi di dalam keluarga mereka, jika terjadi

perceraian maka ikrar talak dituangkan dalam bentuk surat yaitu Surat Pernyataan Talak yang

ditanda tangani oleh kedua belah pihak dan para saksi.60

59

Wawancara dengan Bapak U.Madrosin (amil Desa Palasari Girang), Sukabumi, 29 Juni 2010

60 Ibid


(50)

39

BAB III

KONDISI MASYARAKAT DI DESA PALASARI GIRANG KEC. KALAPANUNGGAL KAB. SUKABUMI

A. Kondisi Geografis Desa Palasari Girang

Desa Palasari Girang dipimpin oleh Aeh saefullah sebagai kepala desa dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan. Kepala desa melaksanakan kewenangan selaku pimimpin pemerintah desa, yang bertanggung jawab dibidang pemerintah umum termasuk di dalamnya pembinaan dan ketertiban sesuai dengan undang-undang yang berlaku.1

Pola organisasi Desa Palasari Girang memakai pola maksimal terdiri dari 6 orang kepala urusan, 3 orang setaf kaur (Kepala Urusan). Sedangkan urusan organisasi desa sesuai dengan tugas dan kedudukannya secara admnistrasi dan oprasionalnya kepala desa dibantu oleh:

1. Sekretaris desa yang membawahi bidang: urusan kesra (kesejahteraan rakyat), ekonomi, pemerintahan, pembangunan, keuangan, dan bendahara

2. Unsur wilayah kepala dusun2

Desa Pelasari Girang adalah sebuah wilayah yang terletak di Kecamatan Kalapanunggal, mempunyai luas wilayah 370 Ha, yang terbagi ke dalam 4 dusun, 7 Rukun Warga (RW) dan 29 Rukun Tetangga (RT). Terdiri luas pemukiman 10 Ha,

1

Profil Desa Palasari Girang Tahun 2008

2 ibid


(51)

luas lahan pertanian 356 Ha, dan luas permakaman 4 Ha.3

Sedangkan batas-batas wilayah Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab. Sukabumi adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1

Batas Wilayah Desa Palasari Girang

No Letak Batas Nama Desa

1 Sebelah timur Berbatasan dengan Desa Makasari Kec.

Kalapanunggal

2 Sebelah barat Berbatasan dengan Desa Walangsari

Kec. Kalapanunggal

3 Sebelah utara Berbatasan dengan Desa Pulosari Kec.

Kalapanunggal

4 Sebelah selatan Berbatasan dengan Desa

Kalapanunggal Kec. Kalapanunggal Sumber: Data Profil Desa Palasari Girang 2008

B. Keadaan Demografis Desa Palasari Girang

Penduduk Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal, terdiri dari 1621 KK, dengan jumlah jiwa 6275 jiwa, jumlah tersebut diklasifikasikan sebagai berikut:4

Tabel 3.2

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin

No Jenis kelamin Jumlah

3

Profil Desa Palasari Girang Tahun 2008

4 Ibid


(52)

41

1 Laki-laki 3172 jiwa

2 Perempuan 3103 jiwa

Jumlah 6272 jiwa

C. Kondisi Sosial Desa Palasari Girang

1.Bidang Agama

Semua penduduk Desa Palasari Girang menganut agama islam. Namun mereka sangat toleran jika ada penduduk lain yang beragama non islam berkunjung ke desa tersebut. Seperti diungkapkan oleh M. Jazuli dalam wawancara dengan penulis, "Penduduk kami semua menganut agama islam, namun kami tidak tertutup terhadap penganut agama lain untuk berkunjung ke Desa kami".5

Mengenai sarana ibadah, dengan sendirinya sarana peribadatan yang ada di Desa Palasari Girang hanya tempat beribadah bagi orang muslim saja, yaitu berupa masjid 12 buah, musholah 35 buah. dan majlis ta'lim 51 buah. Semuanya itu tersebar di tiap RW.6

Tabel 3.3

Sarana Ibadah di Desa Palasari Girang

No Pembangunan Bidang Agama Jumlah

5

Wawancara pribadi dengan bapak muhamad jazuli (Sekretaris Desa Palasari Girang). Sukabumi, 28 Juni 2010.

6


(53)

1 2 3

Masjid Musholah Majlis ta'lim

12 35 51 Sumber: Data Profil Desa Palasari Girang 2008

2.Bidang Pendidikan

Tidak banyak penduduk Desa Palasari Girang yang mengenyam pendidikan sampai mendapat gelar sarjan, hanya terhitung 35 orang yang berhasil menyandang gelar Sl, S2 terhitung 4 orang, D3 terhitung 37 orang, tamatan SLTA terhitung 531 orang, tamatan SLTP terhitung 823 orang, dan tamatan SD mencapai 2101 orang. Di bawah ini klasifikasi pendidikan yang diperoleh masyarakat Desa Palasari Girang:

Tabel 3.4

Kondisi Sosial Pendidikan Desa Palasari Girang

No Tingkat pendidikan jumlah

1 Tamatan SD 2101

2 Tamatan SLTP 823

3 Tamatan SLTA 531

4 Tamatan D 1 dan D3 37

5 Tamatan Sl 35

6 Tamatan S2 4

Sumber: Data Profil Desa Palasari Girang 2008


(54)

43

sebagai berikut:7

Tabel 3.5

Sarana Pendidikan Desa Palasari Girang

No Pembangunan bidang pendidikan Jumlah

1 2 3 4 5 6 7 Gedung TK/PAUD Gedung SDN Gedung MI Gedung SLTP Gedung SLTA Gedung TPA Gedung PONPES 4 4 2 2 1 2 1 Sumber: Data Profil Desa Palasari Girang 2008

Berdasarka tabel 3.5 dapat diketahui bahwa di wilayah Desa Palasari Girang terdapat 5 gedung TK dan PAUD, 4 gedung SD, 2 gedung MI, 2 gedung SLTP, 1 gedung SLTA, dan 1 geung Pondok Pesantren.

b. Bidang Ekonomi

Ekonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari daya upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan meningkatkan kesejahteraannya. Jadi setiap kegiatan manusia yang ditujukan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya merupakan kegiatan ekonomi. Sementara yang dikatakan mata pencaharian adalah manifestasi dari kegiatan ekonomi dalam bentuk spesialisasi berdasarkan tingkat kemampuan dan

7 Ibid


(55)

keterampilan secara personal atau inividu. Atau dapat pula dikatakan bahwa mata pencaharian merupaken bentuk nyata dari pekerjaan seseorang dalam bidang tertentu yang tujuan akhinya terfokus pada pemenuhan kebutuhan.

Dalam memenuhi kebutuhan hidup sahari-hari, masyarakat Desa Palasari Girang mempunyai mata pencaharian yang cukup beragam, dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 3.6

Mata Pencaharian Masyarakat Desa Palasari Girang

No Mata Pencaharian Jumlah

1 PNS 30 orang

2 Petani 1012 orang

3 Buruh tani 1808 orang

4 Pemilik usaha kerajinan 2 orang

5 Buruh usaha kerainan 4 orang

6 Pemilik usaha hasil hutan 3 orang

7 Buruh usaha hasil hutan 15 orang

8 Pengumpul hasil hutan 23 orang

Sumber: Data Profil Desa Palasari Girang 2008

Tabel 3.6 di atas dapat di ketahui bahwa mata pencaharian penududuk Desa Palasari Girang yaitu: PNS 30 orang, petani 1012 orang, buruh tani l808 orang, pemilik usaha kerajinan 2 orang, buruh usaha kerajinan 4 orang, pemilik usaha hasil hutan 3 orang dan buruh usahasa hasil hutan 15 orang, dan


(56)

45

pengumpul hasil hutan 23 orang.

Mata pencaharian penduduk selanjutnya adalah pegawai atau karyawan, di instansi atau perusahaan swasta yang berada di kota atau di sekitar Desa Palasari Girang. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang berpendidikan minimal SMA, itu pun bagi mereka yang mempunyai akses dari dalam perusahaan atau industri tersebut.

Selebihnya adalah orang-orang yang mempunyai modal keterampilan, atau modal uang, membuka usaha sendiri. Diantaranya berternak atau berdagang. Seperti dagang sembako, bahan bangunan, toko spare part kendaraan, bengkel, jasa penggilingan padi dan lain-lain.

Adapun mereka yang bekerja sebagai PNS, kebanyakan adalah penduduk yang berpendidikan sarjana (Sl), dan beberapa orang yang lulusan S2.

Penduduk dalam kategori tidak bekerja tetap adalah penduduk yang sifatnya bekerja serabutan. Ketika ada orang yang membutuhkan tenaga mereka, maka mereka bekerja, dan ketika tidak ada mereka menganggur.8

8


(57)

46

1. Usia Responden

Dalam penelitian ini penulis berhasil menjaring responden sebanyak 50 orang, yang terdiri dari sebagian mantan istri yang pernah bercerai, baik yang telah menikah lagi atau pun yang belum, ditambah dengan tokoh masyarakat dan pejabat KUA. Dilihat dari segi usia, usia responden yang telah berhasil diambil sampelnya berbeda-beda. Berikut klasifikasi usia responden:

Tabel. 4.7 Usia Responden

NO USIA RESPONDEN F %

1 Di bawah usia 25 tahun 2 4

2 Di bawah usia 30 tahun 7 14

3 Di bawah usia 40 tahun 22 44

4 Di atas usia 40 tahun 19 38

Jumlah 50 100

Sumber: Diolah dari Data Lapangan

Berdasarkan tabel 4.7 di atas bahwa, responden di bawah usia 25 tahun 4%, di bawah usia 30 tahun 14%, di bawah usia 40 tahun 44% dan di atas usia 40 tahun 38%.

2. Latar Belakang Pendidikan Responden


(58)

47

pengetahuan responden mengenai objek yang dijadikan penelitian. Berikut adalah daftar pendidikan yang telah ditamatkan oleh responden:

Tabel 4.8

Identitas Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

NO TINGKAT PENDIDIKAN RESPONDEN F %

1 Tamatan SD 21 42

2 Tamatan SLTP 19 38

3 Tamatan SLTA 9 18

4 Tamatan Diploma 1 2

5 Di atas S 1 - -

Jumlah 50 100

Sumber: Diolah dari Data Lapangan

Berdasarkan tabel 4.8 di atas bahwa hampir setengah dari responden tamatan Sekolah Dasar SD (42%) dan SLTP (38%), sebagian kecil tamatan SLTA (18%), dan sedikit sekali yang menamatkan sekolah sampai dengan Dl (2%).

B. Pengetahuan Masyarakat Setempat Mengenai Hukum Perkawinan

Pada sub bab ini kita akan mengetahui bagaimana masyarakat Desa Palasari Girang dalam memahami hukum perkawinan dan perceraian yang sesuai dangan prosedur hukum yang berlaku di Indonesia. Yang di dalamnya memuat persoalan dimana dan bagaimana masyarakat melangsungkan perkawinan dan perceraian, pada usia berapa mereka melangsungkan perkawinan, ada atau tidak adanya penyuluhan mengenai perkawinan dan perceraian, dan bagaimana mereka memandang hukum perceraian jika dilakukan di luar prosedur Pengadilan Agama.


(59)

perkawinan masyarakat melibatkan pejabat KUA / PPN setempat atau tidak? Hal ini sangat penting, karena jika perkawinan tidak melibatkan pejabat KUA dan tidak dicatatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) maka tidak mempunyai ketentuan hukum, dan tidak mendapatkannya akte nikah, sedangkan perkawinan itu hanya dapat dibuktikan jika ada akte yang dibuat oleh Petugas Pencatat Nikah.

Tabel 4.9

Apakah Perkawinan Responden Melibatkan Pejabat Setempat

NO PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F %

1 Melibatkan KUA 47 94

2 Tidak melibtkan KUA 3 6

Jumlah 50 100

Sumber: Diolah dari Data Lapangan

Berdasarkan tabel 4.9 di atas bahwa hampir seluruhnya melangsungkan perkawinan dengan melibatkan KUA (94%), dan sedikit sekali yang melangsungkan perkawinan dengan tidak melibatkan KUA (6%)

Hal ini relefan dengan apa yang diungkapkan oleh bapak U.Madrosin sebagai amil di Desa Palasari Girang, ia mengatakan

"Alhamdulillah masyarakat di desa ini dalam melangsungkan pernikahan, telah sesuai dengan prosedur hukum pemerintah yang berlaku, mereka melangsungkan perkawinan selalu melibatkan pejabat KUA dan dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah. Karena apabila tidak memenuhi persyaratan administrasi, tidak akan mendapatkan Surat Nikah, yang berakibat pada susahnya mendapatkan kartu keluarga".1

1

Wawancaran Pribadi dengan Bapak U.Madrosin.(Amil Desa Palasari Girang), Sukabumi, 29 Juni 2010


(60)

49

Mengenai usia perkawinan, di dalam KHI pasal 15 ayat 1 disebutkan bahwa, untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalalm pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.2 Dengan mengacu pada undang-undang tersebut, apakah responden dalam melangsungkan perkawinan telah memenuhi syarat usia perkawinan? Untuk lebih jelasnya kita dapat lihat tabel berikut mengenai usia responden saat melangsungkan pekawinan.

Tabel 4.10

Usia Responden Ketika Melangsungkan Perkawinan

NO PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F %

1 Di bawah usia 15 tahun 7 14

2 Di bawah usia 20 tahun 19 38

3 Di atas usia 20 tahun 24 48

Jumlah 50 100

Berdasarkan tabel 4.10 di atas bahwa sedikit sekali yang melangsugnkan perkawinan di bawah usia 15 tahun (14%), dan hampir setengah dari responden melangsungkan perkawinan di atas usia 15 tahun (38%) dan diatas usia 20 tahun (48%)

Hal ini sesuai dengan keterangan yang disampaikan oleh Bapak Sarwan Hamid selaku sekretaris KUA Kec. Kalapanunggal, ia mengatakan bahwa "Pada

2


(61)

umumnya Masyarakat telah melakukan pernikahan sesuai dengan UU yang berlaku yaitu rata-rata pada usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki"3. “Namun terkadang adajuga yang menikah di bawah umur (di bawah 16 tahun), akan tetapi harus melampirkan Surat Izin Orang tua”.4

Seperti telah di jelaskan sebelumnya bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama.5 Berdasarkan ketentuan tersebut, apakah masyarakat Desa Palasari Girang dalam melakukan perceraian sesuai dengan prosedur dan dilakukan di Pengadilan Agama atau tidak?

Tabel 4.11

Tempat Responden Melakukan Perceraian

NO PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F %

1 Di Pengadilan Agama 2 4

2 Di luar Pengailan Agama 48 96

Jumlah 50 100

Berdasarkan label 4.11 di atas bahwa sedikit sekali yang melangsungkan perceraian melalui prosedur Pengadilan Agama (4%), dan hampir seluruhnya melangsungkan perceraian di luar prosedur Pengadilan Agama (96%).

Pemahaman terhadap hukum perkawinan sangtlah penting, agar masyarakat dapat lebih terarah dalam menjalankan rumah tangga dan sesuai dengan prosedur

3

Wawancaran Pribadi dengan Bapak Sarwan Hamid (Sekretaris KUA Kec. Kalapanunggal), Sukabumi, 30 Juni 2010

4

Wawancara dengan Bapak U.Madrosin. Tanggal 29 juni 2010

5


(62)

51

hukum yang berlaku. Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat dalam memahami hukum perkawinan, yang termasuk di dalamnya mengenai proses perkawinan dan perceraian, dapat kita ketahui dari ada atau tidaknya penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh KUA. Untuk lebih jelasnya kita lihat tabel berikut ini:

Tabel 4.12

Ada Tidaknya Penyuluhan Mengenai Proses Perkawinan dan Perceraian

NO PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F %

1 2 3

Ada Tidak ada Tidak tahu

16 12 22

38 24 44

Jumlah 50 100

Sumber: Diolah dari Data Lapangan

Berdasarkan tabel 4.12 di atas bahwa hampir setengah yang menjawab adanya penyuluhan mengenai perkawinan dan perceraian (38%), yang merasa tidak tahu adanya penyuluhan (44%) dan sebagian kecil menjawab tidak ada (24%).

Dalam wawancara penulis dengan Bapak U.madrosin, ia mengatakan bahwa, "Orang yang akan melangsungkan pernikahan, beberapa hari sebelumnya diberikan penyuluhan, dan yang mengikutinya akan mendapatkan sertifikat. Akan tetapi untuk penyuluhan mengenai perceraian tidak ada".6 Hal senada juga dikatakan oleh bapak Sarwan Hamid selaku sekretaris KUA Kec. Kalapanunggal, ia mmengakui akan

6


(63)

adanya penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat KUA melalui BP4, dan P3N. Akan tetapi untuk perceraiana memang tidak ada.7

Perkawinan dan perceraian selayaknya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan undang-undang yang berlaku, namun seperti yang telah dikatakan di atas, terkadang masyarakat kita pada umumnya berpendapat bahwa, asalakan telah sesuai dengan ketentuan agama sudah cukup. Kita akan mengetahuai sejauh mana pendapat responden mengenai sah atau tidaknya melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama.

Tabel 4.13

Pendapat Responden Mengenai Sah atau Tidaknya Perceraian di Luar Prosedur PA

No PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F %

1 2 3

Sah Tidak Sah Tidak Tahu

50 - -

100 - -

Jumlah 50 100

Sumber: Diolah dari Data Lapangan

Berdasarkan tabel 4.13 di atas bahwa seluruh responden menjawab, bahwa melakukan perceraian di luar prosedur Pengadilan Agama adalah sah. Namun demikian mereka tidak menutup diri dari adanya peraturan yang mengharuskan perceraian dilakukan di Pengadilan Agama. Seperti dalam tabel berikut ini:

7


(64)

53

Tabel 4.14

Setuju atau Tidaknya dengan Perceraian yang Dilakukan di Pengadilan Agama

NO PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F %

1 Setuju 50 100

2 Tidak setuju - -

3 Tidak tahu - -

Jumlah 50 100

Sumber: Diolah dari Data Lapangan

Berdasarkan tabel 4.14 di atas bahwa semua responden setuju dengan adanya perceraian yang dilakukan di Pengadilan Agama, artinya responden melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama bukan karena mereka menolaknya akan tetapi karena alasan-alasan tertentu.

C. Pemahaman Masyarakat Setempat Mengenai Hak dan Kewajiban Mantan Suami-Istri Pasca Perceraian

Kewajiban seoarang mantan suami setelah terjadinya perceraian diantaranya adalah memberikan nafkah, baik nafkah idah maupun nafkah anak. Didalam KHI pasal 149 disebutkan bahwa, bilamana perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib memberikan nafkah selama masa idah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba'in atau nusuz dan dalam keadaan tidak hamil.

Ulama fikih sepakat, bahwa istri yang dicerai oleh suami dengan talak raj'i (talak satu atau dua) selama masa idah berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Hal ini yang biasanya kurang mendapat perhatian dari mantan suami yang


(65)

menceraikan istrinya, padahal menyangkut dengan tanggung jawab (kewajiban). Akan tetapi jika idahnya karena suami wafat, maka istri tidak mendapat nafkah. Namun, Mazhab Maliki memberi pengecualian dalam masalah tempat tinggal.8

Adapun kewajibannya dalam memberikan nafkah kepada anak, disebutkan dalam UU No.l Tahun 1974, bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya pada dasarnya terbagi pada dua bagian, yaitu pemeliharaan dan pendidikan. Kewajiban ini berlaku terus sampai anak tersebut kawin atau berdiri sendiri walaupun perkawinan antara kedua orang tuanya telah putus.

Mengenai biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, diatur dalam pasal 41 sub b dan pasal 49 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 sebagai berikut:

Bapak yang bertanggung jawab atas semua pembiayaan, pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pangadilan dapat memutuskan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

Meskipun orang tua tersebut dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberikan biaya pemeliharaan anak tersebut.

Menurut ketentuan pasal tersebut, disebutkan bahwa:

1. Yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak adalah bapak, baik anak itu di bawah pemeliharaan bapak atau ibu.

2. Ibu dapat turut memikul biaya tersebut atas putusan pengadilan, bilamana

8

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta, Prenada Media, 2003),h.221


(66)

55

dinyatakan bahwa bapak tidak dapat memenuhi kewajibannya. Jadi ibu maupun bapak sama-sama berkewajiban memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak.

3. Kewajiban bapak dan ibu terhadap biaya tersebut tidak dapat hilang walaupun kekuasaan dan kedudukan orangtua itu atau salah satunya terhadap anak telah dicabut.

Adapun jumlah besarnya biaya ditentukan atas dasar kebutuhan anak, sebagaimana ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu: "bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang dipkul oleh anak itu". Ketentuan tersebut harus diselaraskan dengan keadaan ekonomi orangtua.

Namun demikian masyarakat Desa Palasari Girang tidak semuanya dapat mengetahui semua hak dan kewajiban tersebut. Walaupun ada yang mengetahuinya, seperti yang di kataka oleh Bapak U. Marosin,

"Terkadang mantan istri berpendapat bahwa "sudah dijatuhi talak saja sudah al-hamulillah artinya sudah sedikit terbebas dari persoalan" akan tetapi ada juga yang berupaya untuk mendapatkan nafkah idah walaupun jarang dilakukan, akan tetapi untuk nafkah anak mereka selalu mengupayakannya. Biasanya jika ada mantan suami yang tidak memenuhi dan nafkkah anak, mentan istri melapor ke BP4 setempat, lalu BP4 memanggil mantan suami tersebut".9

Pendapat pejabat KUA tersebut relevan dengan tabel mengenai upaya mantan istri terhadap mantan suami jika tidak memenuhi nafkah idah dan nafkah anak.

9


(67)

Tabel 4.15

Ada atau Tidaknya Upaya yang Dilakukan Mantan Istri Terhadap Mantan Suami Jika Tidak Memenuhi Nafkah Idah

NO PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F %

1 2

Ada Tidak ada

19 31

38 62

Jumlah 50 100

Sumber: Diolah dari Data Lapangan

Berdasarkan tabel 4.15 di atas bahwa hampir setengah dari wanita yang diceraikan suaminya yang apabila tidak dipenuhi hak nafkah idahnya melakukan upaya (38%), dan lebih dari setengahnya dari mereka tidak melakukan upaya apa-apa (62%).

Tabel 4.16

Ada atau Tidaknya Upaya yang Dilakukan Mantan Istri Terhadap Mantan Suami Jika Tidak Memenuhi Nafkah Anak.

NO PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F %

1 Ada 24 48

2 Tidak ada 26 52

Jumlah 50 100

Sumber: Diolah dari Data Lapangan

Berdasarkan tabel 4.16 di atas bahwa hampir setengah dari wanita yang diceraikan suaminya, yang apabila mantan suaminya tidak memenuhi kewajiban


(68)

57

dalam memberikan nafkah terhadap anaknya melakukan upaya (48%), dan lebih dari setengahnya dari mereka tidak melakukan upaya apa-apa (52%).

Dari tabel 3.15 dan 3.16 di atas tampak bahwa mayoritas responden lebih bersikap apatis dan tidak banyak menuntut mengenai hak nafkah idahnya, akan tetapi untuk nafkah anak-anaknya, responden sedikit memberikan sikap yang tegas.

D. Faktor-faktor Penyebab Perceraian di Luar Prosedur Pengadilan Agama dan Dampaknya Terhadap Pemenuhan Nafkah Idah dan Nafkah Anak

Banyak hal yang dapat menjadi faktor penyebab terjadinya perceraian, diantaranya faktor ekonomi, lahirnya wanita lain, seringnya terjadi pertengkaran, dan lain-lain. Seperti halnya yang terjadi di Desa Palasari Girang, faktor penyebab perceraian berbeda-beda. Hal tersebut dapat kita lihat dalam tabel berikut:

Tabel 4. 17

Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian

NO PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F %

1 2 3 4

Sering terjadinya pertengkaran Faktor ekonomi

Adanya wanita lain

Lain-lain (ketidak cocokan)

12 28 7 3

24 56 14 6

Jumlah 50 100

Berdasarkan tabel 4.17 di atas bahwa lebih dari setengah dari responden yang melakukan perceraian disebabkan oleh faktor ekonomi (56%), sebagian kecil


(1)

58

disebabkan sering terjadinya pertengkaran (24%), dan sedikit sekali yang disebabkan

karena adanya wanita lain (14%) atau faktor lain seperti sudah tidak adanya ketidak

cocokan (6%)

Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Bapak U. Madrosin dan

diamini oleh Bapak Sarwan Hamid,

"Kebanyakan faktor penyebab terjadinya perceraian adalah faktor ekonomi. Yang mengakibatkan suami tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Sehingga istri harus bekerja di pabrik untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga menimbulkan ketidak harmonisan di dalam keluarga".10

Adapun alasan responden yang mayoritas melakukan perceraian di luar

prosedur Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:

Tabel 4.18

Alasan Bercerai di Luar PA

No PILIHAN JAWABAN RESPONDEN f %

1 Ingin cara yang mudah 15 31,25

2 Rumitnya proses 12 25

3 Jarak yangjauh 4 8,33

4 Mahalnya biaya 5 10,42

5 Karena Tidak tahu 12 25

Jumlah 48 100

Sumber: Diolah dari Data Lapangan

Berdasarkan tabel 4.18 di atas bahwa mayoritas responden memberikan alasan

bercerai di luar prosedur Pengailan Agama karena menginginkan cara yang mudah,

(31,25%), sebagian kecil menjawab karena rumitnya proses (25%), dan faktor ketidak

tahuan (25%), dan hanya sedikit yang menjawab karena faktor jarak yang jauh

10


(2)

59

(8,33%) dan mahalnya biaya (10,42%).

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa meskipun perkawinan putus

karena perceraian, namun pasca perceraian tersebut masing-masing pihak antara

mantan suami dan mantan istri masih memiliki kewajiban yang harus dipenuhi dan

hak-hak yang dapat dituntut. Salah satunya adalah pemenuhan nafkah idah dan

nafkah anak.

Seperti disebutkan dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 41 sub c

tersebut sebelumnya bahwa pihak pengadilan dapat mewajibkan mantan suami untuk

memberikan biaya penghidupan kepada mantan istri. Dengan kata lain mantan istri

dapat melakukan upaya agar haknya dapat terpenuhi. Namun, jika perceraian yang

terjadi dilakukan di luar Pengadilan Agama, apakah hak dan kewjibannya itu

terpenuhi?

Tabel 4.19

Terpenuhi atau Tidaknya Nafkah Selama Masa Idah

No PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F %

1 2

Ya Tidak

13 37

26 74

Jumlah 50 100

Sumber: Diolah dari Data Lapangan

Berdasarkan label 4.19 di atas bahwa hanya sebagian kecil saja dari wanita

yang diceraika suaminya mengaku mendapat nafkah selama masa idah (26%), dan


(3)

60

Selain dari itu, apakah mantan suami juga memenuhi nafkah terhadap

anak-anaknya setelah mereka bercerai

Tabel 4.20

Nafkah Terhadap Anak dari Suami Pasca cerai

No PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F %

1 2 3

Ya Tidak Terkadang

12 17 21

24 34 42

Jumlah 50 100

Sumber: Diolah dari Data Lapangan

Berdasarkan tabel 4.20 di atas bahwa hanya sebagian kecil saja yang mengaku

mendapatkan nafkah anak dari mantan suaminya (24%), dan hampir setengah


(4)

61 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas penulis dapat menarik kesimpula bahwa:

1. Pemahaman masyarakat terhadap hukum perceraian masih kurang, hal ini

disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dan minimnya

penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah.

2. Dalam melakukan perceraian masyarakat Desa Palasari Girang, hanya di lakukan

di depan tokoh masyarakat, tanpa melalui prosedur resmi Pengadilan yang

berlaku.

3. Dampak perceraian di luar prosedur Pengadilan Agama yaitu tidak adanya

kekuatan hukum yang mengikat ketika mantan suami tidak memenuhi

kewajiban-kewajiban pasca perceraian, terutama dalam pemenuhan nafkah idah dan nafkah

anak.

B. SARAN-SARAN

1. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar menyoroti masalah KDRT sebagai

penyebab terjadinya peceraian di Desa Palasari Girang Kecamatan Kalapanunggal

Kabupaten Sukabumi.

2. Untuk sosialisasi tatacara dan prosedur perceraian yang benar sebaiknya

disampaikan oleh tokoh masyarakat dan ulama setempat melalui ceramah atau


(5)

62

DAFTAR PUSTAKA

A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syriah), Jakarta, Raja Grapindo Persada, 2002

A.Rasyid,H. Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama,Jakarta, PT. Rajas Grapindo Persada,1998

---, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1987

Harahap, M. Yahya,Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Pradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989,Jakarta, Pustaka Kartini, 1997

Ichwan Ridwan muhammad, Kamarusdiana, dan Hotnida Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta, Fakultas Syari'ah dan Hukun UIN SyarifHidayatullah Jakata, 2004

Lubis, sulaikin, Hukum Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2006

Manan,Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al-Hikmah, 2000

Moh. Daud Ali, dan Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia,

Jakarta, PT Raja Grapindo Persada, 1995

Prosedur Berperkara di Pengailan Agama, artikel ini di akses pada tanggal 19 juli 2010dari http://pa-iaksel.net

Siganimbun, Marisa dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES, 1995

Sudijono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 1995

Thalib,sayuti, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: UI Press,1986

Tahir Hamid,Andi, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangya,

Jakarta, Sinar Grafika, 1996

Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahin 1974 Tentang Perkawinan, Surabaya: Arkola, t th

Wawancara pribadi dengan bapak muhamad jajuli (Sekretaris Desa Palasari Girang). Sukabumi, 28 Juni 2010


(6)

63

Wawancara Pribadi dengan Bapak U.Madrosin (Amil Desa Palasari Girang) sukabumi, 29 juni 2010

Wawancara Pribadi dengan Bapak Sarwan Hamid (sekretaris KUA Kec.Kalapanungal) Sukabumi, 30 juni 2010