PENGARUH KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP PENINGKATAN BUDAYA PEMBELAJARAN DI MADRASAH ALIYAH (MA) DARUL ULUM KUREKSARI SIDOARJO.

(1)

SIDOARJO

SKRIPSI

Oleh :

PRATIWI AGUSTIANTI NIM : D73211073

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


(2)

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk memenuhi salah satu persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Ilmu Tarbiyah

OLEH :

PRATIWI AGUSTIANTI D73211073

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


(3)

(4)

(5)

َدَج َو َدَج ْنَم


(6)

Ya Allah Ya Rabb,,

Jika Engkau berkenan untuk menjadikan sebuah karya tulis tersebarku ini sebagai karya yang layak untuk didedikasikan, maka akan aku dedikasikan kepada orang-orang terkasih yang telah menoreh dan telah memberi warna dalam sejarah dan sepanjang hidupku, yang tak akan pernah sekalipun pudar dalam ingatanku. Terkhusus untuk :

Allah SWT, yang telah mengabulkan doaku, yang telah memenuhi segala permintaanku sesuai kebutuhanku, yang telah memberikanku kesehatan dan semuanya yang aku butuhkan sehingga aku dapat dengan mudah menyelesaikan skripsiku meskipun banyak sekali cobaan, tetapi itu semua hanya sentilan agar aku sebagai hambaMu yang kecil ini selalu ingat kepadaMu.

Ibu dan Ayah, terima kasih kalian telah rela meluangkan waktu hanya untuk mendoakan anakmu ini. Terima kasih kalian adalah semangat hidupku. Terima kasih karena kalian aku bisa sampai disini. Jika aku sukses nanti, aku akan membahagiakan, membanggakan, dan menjaga kalian sampai kalian tua nanti.

 Adek-Adekku yang tercinta, “Febri dan Tio”, tak lupa pula adek ponakanku,

Riska”, terima kasih kalian telah membantu aku menghilangkan bad mood ku waktu stress-stresnya ngerjain skripsi ini dengan semua kekonyolah dan kegilaan kalian.

 Buat keluarga keduaku di Surabaya, terima kasih kalian memberikan aku semangat buat ngerjain skripsi ini. Khususnya buat tanteku, emak, mbah, dan semua orang yang ada di Ngagel. Meskipun agak cerewet tapi itu baik buat aku. Dan aku sudah merasakan efeknya, ibarat sekolah militer kalau di Ngagel itu. Aku jadi bisa mandiri. Terima kasih banyak.

 Buat dosen-dosenku, terima kasih buat semua ilmu-ilmu yang diberikan. Semoga bermanfaat. Khusus buat Pak Nuril, terima kasih pak buat bantuan bikin judul skripsi, dan buat Dosen Pembimbingku Prof. Haris, terima kasih pak Haris bisa dengan sabar membimbing aku.


(7)

 Buat teman-temanku, “Fida (Bro), Dina, Sufi, Bety, Jayus, Box”, terima kasih buat semua kegilaan yang pernah kita lalui waktu kuliah. Kalian adalah teman dan sahabat terbaik. Khusus buat Bro terima kasih kamu selalu ada. Khusus juga buat Dina, terima kasih mau rela bergadang bareng buat ngerjain skripsi dan kamu selalu ngajarin aku di setiap matkul yang aku gak bisa. Buat Sufi, terima kasih udah rela mendengar keluh kesahku dan semua traktirannya. Jayus, Bety, Box, kalian sahabat terkonyol yang pernah aku kenal.

 Buat teman-teman KKN, “Nonik, Sinta, Ifah” meskipun kita baru kenal, kalian sudah sangat membantu aku dalam pembuatan skripsi ini. Khusus buat Nonik, terima kasih Laptopmu banyak membantu.

 Dan semua orang-orang yang telah turut berkontribusi dalam pengerjaan skripsi ini yang tidak dapat aku sebutkan satu – persatu.

Semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dan sumber inspirasi bagi langkah kita ke depan. Amin.


(8)

Disini penulis meneliti masalah efektivitas kepemimpinan transformasional terhadap peningkatan budaya pembelajaran. Guna membangun budaya pembelajaran yang aktif, maka pemimpin sebagai peletak dasar-dasar budaya organisasi, harus menanamkan keyakinan bahwa sikap aktif untuk terus-menerus melakukan penyempurnaan akan mengarah kepada pembelajaran. Dengan demikian hal ini akan menjadi contoh bagi para pengikutnya.

Dari latar belakang inilah penulis ingin meneliti untuk penulisan skripsi bagaimana pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap budaya pembelajaran, sehingga penulis mengambil judul skripsi, “Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Peningkatan Budaya Pembelajaran di Madrasah Aliyah

(MA) Darul Ulum Kureksari Sidoarjo”.

Rumusan masalah yang digunakan adalah pertama, untuk mengetahui bagaimana kepemimpinan trasformasional yang digunakan Kepala Sekolah di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo. Kedua, untuk mengetahui bagaimana budaya pembelajaran yang telah dibentuk di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo. Ketiga, untuk mengetahui bagaimana pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap peningkatan budaya pembelajaran di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo.

Penelitian ini termasuk kategori penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah jenis penelitian yangn menggunakan data kuantitatif dan data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka atau data yang kualitatif yang diberi skor/nilai.

Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai adalah metode observasi, wawancara, kuisioner, dan dokumentasi. Dalam penelitian ini, peneliti memberikan gambaran umum tentang efektivitas kepemimpinan transformasional terhadap peningkatan budaya pembelajaran di Madrasah Aliyah (MA) Darul Ulum Kureksari Sidoarjo.

Uji analisis data digunakan analisis statistik SPSS versi 16 untuk menguji hipotesis asosiatif/hubungan karena data berbentuk interval, maka digunakan korelasi Product Moment. Hasil penelitian, diperoleh r hitung sebesar 0.531, ini membuktikan adanya pengaruh antara kepemimpinan transformasional terhadap budaya pembelajaran dengan interpretasi koefefisien korelasi bersifat sedang. Dengan demikian hasil perhitungan data yang telah diperoleh dari lapangan, terlihat adanya hubungan yang positif dan signifikansi antara Kepemimpinan Transformasional dengan Budaya Pembelajaran di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa peningkatan budaya pembelajaran disebabkan dari faktor-faktor yang lain diluar dari penelitian ini.


(9)

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Batasan Masalah ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Tinjauan Pustaka ... 8

G. Definisi Operasional ... 9

H. Sistematika Pembahasan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Kepemimpinan Transformasional ... 13

1. Konsep Kepemimpinan ... 13

2. Konsep Kepemimpinan Transformasional... 15

B. Budaya Pembelajaran ... 28

C. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Peningkatan Budaya Pembelajaran ... 32

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 40


(10)

1. Validitas ... 51

2. Reliabilitas ... 53

F. Tehnik Analisis Data ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 59

1. Sejarah Singkat Madrasah ... 59

2. Perkembangan Madrasah ... 60

3. Kondisi Nyata Madrasah ... 62

4. Potensi Madrasah ... 64

5. Karakteristik ... 64

B. Visi Madrasah ... 65

C. Misi Madrasah ... 65

D. Tujuan Madrasah ... 65

E. Identitas Diri Madrasah ... 66

F. Struktur Organisasi ... 66

G. Penyajian Data ... 67

H. Analisis Data ... 72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86 LAMPIRAN


(11)

Tabel 2.1 Tipe Kepemimpinan... 16

Tabel 2.2 Persamaan dan Perbedaan Keenam Pendekatan Kepemimpinan ... 22

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Instrumen Sebelum di Uji Coba ... 49

Tabel 3.2 Pedoman Kriteria Analisis Prosentase ... 56

Tabel 3.3 Intepretasi Nilai “r” ... 57

Tabel 4.1 Struktur Organisasi ... 66

Tabel 4.2 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Variabel Kepemimpinan Transformasional dan Budaya Pembelajaran ... 67

Tabel 4.3 Soal Excluded ... 70

Tabel 4.4 Reliabilitas ... 71

Tabel 4.5 Kriteria Tingkat Reliabilitas ... 72

Tabel 4.6 Frekuensi Jawaban Bapak Kepala Madrasah Menerapkan Sikap Kepemimpinan Transformasional ... 76

Tabel 4.7 Frekuensi Jawaban Realisasi Budaya Pembelajaran... 77

Tabel 4.8 Data View Angket... 78

Tabel 4.9 Correlations ... 79


(12)

A. Latar Belakang

Setiap manusia pada hakikatnya adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Yang dimaksudkan disini adalah minimal manusia dapat memimpin dirinya sendiri. Setiap organisasi terutama lembaga pendidikan harus memiliki seorang pemimpin, yang secara ideal dipatuhi dan disegani oleh bawahannya. Sebagai ilustrasi, leader atau seorang pemimpin dibaratkan supir bus yang menentukan arah ke mana bus hendak dibawa.

Presfektif perilaku kepemimpinan berfokus pada perilaku pemimpin yanng dapat diamati. Gaya bersikap dan bertindak tampak dari cara melakukan sesuatu seperti cara memerintah, cara mengambil keputusan, cara memotivasi, cara berkomnikasi, cara berkoordinasi, dan sebagainya sehingga muncul gaya umum pemimpin, yaitu otoriter, demokratis, laize faire (bebas kendali), dan transformasional1.

Dalam suatu organisasi atau lembaga pendidikan memiliki budaya pembelajaran-nya sendiri. Sehingga membutuhkan gaya kepemimpinan yang ideal guna berjalannya budaya pembelajaran di sekolah tersebut.

1

Husaini Usman, Manajemen ,Teori praktik, dan Riset Pendidikan, (Yogyakarta: Bumi Aksara, 2013),edisi 4,h. 304


(13)

Sementara itu, menurut Sudarwan Danim, ada lima kemampuan dasar yang wajib dimiliki oleh seorang Kepala Madrasah. Pertama, memiliki misi dan visi kerja yang jelas. Kedua, mampu dan mau bekerja dengan bawahan. Ketiga, tekun dan tabah dalam bekerja dengan bawahan, terutama tenanga administrasi dan tenaga akademiknya. Keempat, memebrikan layanan optimal dengan tetap rendah hati. Kelima, memiliki disiplin kerja yang kuat.2

Tak luput pula Kepala Madrasah juga memiliki peran interpersonal (antar anggota) sebagai lambang atau simbolik, menurut Deal dan Peterson ada delapan peranan yang harus dimainkannya. Namun, dalam pembahasan kali ini saya akan memfokuskan permasalahan pada peran interpersonal Kepala Madrasah sebagai potter atau pengrajin, ia membentuk dan dibentuk oleh budaya pembelajaran yang ada di sekolah atau madrasah seperti ritual-ritual atau tradisi-tradisi yang membuat pendidik dan tenaga pendidikan bersatu dalam nilai-nilai inti sekolah.

Karena gaya kepemimpinan transformasional memiliki kecenderungan untuk menghargai ide-ide baru dalam proses pembelajaran di sekolahnya, sehingga ia sangat senang jika para guru melaksanakan classroom action research atau penelitian tidakan kelas (PTK). Sebab, dengan PTK dapat dengan mudah ditemukannya soslusi persolan keseharian yang dihadapi guru dalam proses belajar-mengajar.3 Ini sangat serasi dengan tujuan dari diadakannya budaya

2

Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah (Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik),(Jakarta: Bumi Aksara, 2007), cet. Ke-2,h.56

3 Jamal Ma‟mur Asmuni, Tips Menjadi Kepala Sekolah Profesional

, (Yogyakarta: Diva Press,2012),h.52


(14)

pembelajaran di sekolah, yaitu menuntaskan permasalah proses belejar-mengajar yang ada di dalam kelas dengan menggunakan model learning yang kemudian menjadi kebiasaan atau biasa disebut budaya pembelajaran.

Adapun Model pembelajaran yang dapat diaplikasikan menjadi Budaya pembelajaran:4

1. Action Learning (AL) 2. Social Learning 3. Feedback 4. Dialog

5. Programming Learning By Doing

Melihat pembahasan di atas, penulis ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang sejauh mana hubungan gaya kepemimpinan transformasional dengan berjalannya budaya pembelajaran di suatu madrasah, yaitu Madarasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo. Peneliti terdorong menjadikan Madrasah Aliayah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo sebagai obyek penelitian dikarenakan madrasah ini memiliki ciri khusus, budaya pembelajaran yang telah disepakati dan dilaksanakan bersama, komitmen yang unggul yang membedakan dengan madrasah dan sekolah lain.

Berikut diantaranya budaya pembelajaran yang ada di Madrasah Aliyah (MA) Darul Ulum Kureksari Sidoarjo :

4

Hudaya Latuconsina, Pendidikan Kreatif,Menuju Generasi Kreatif dan Ekonomi Kreatif di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2014), h.188-189


(15)

1. Adanya action learning, yaitu Kepala Madrasah mencetus salah satu seorang guru untuk menyebarluasakan informasi baru yang didapatkan dari Kepala Madrasah kepada para dewan guru melalui sharing bersama seperti yang telah dijelaskan diatas.

2. Adanya programming learning by doing, yaitu pemberian bimbingan dan konseling dari guru senior kepada para guru baru atau junior agar tetap menjaga kualitas belajar. Sehingga tidak ada kesenjangan antara guru baru dengan guru lama, antara junior dan senior. Contohnya, para dewan guru di Madarsah Aliyah Darul Ulum selalu memberikan contoh kepada anak-anak PPL, bagaimana cara mengajar yang baik dan lain sebagainya.

3. Selalu adanya dialog antar tenaga kependidikan sekolah dengan para dewan guru agar tidak ada ketegangan, kebencian, dan amarah dalam suasana kerja agar semua orang dapat belajar dan menjalankan budaya pembelajaran yang ada di madrasah.

Seperti yang kita ketahui di mana pun kita menjumpai budaya yang bagus di suatu sekolah, hampir bisa di pastikan Kepala Madrasahnya bagus. Karena pemimpin adalah seseorang yang mencontohkan perilaku yang diinginkan oleh pemimpin itu sendiri. Dapat di artikan bahwa gaya kepemimpinan seorang Kepala Madrasah dapat memberikan pengaruh terhadap berjalan atau tidaknya budaya pembelajaran yang telah dibentuk oleh para pendahulunya.


(16)

Menurut salah satu guru yang mengajar di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo, seperti yang telah digambarkan diatas bahwa Kepala sekolah di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo ini sangat dinamis, karena Beliau bisa bertindak otoriter disaat keadaan darurat, serta beliau selalu menerapkan sikap memberi contoh, mengajak untuk menerapkan, serta mengingatkan untuk terus menerapkan. Dan menurut pengajar tersebut, bahwa budaya pembelajaran di Madrasah Aliyah Darul Ulum adalah untuk membentuk sikap serta karakter yang berakhlak mulia para peserta didiknya.

Untuk menciptakan budaya-budaya pembelajaran di atas tidak semudah membalik telapak tangan, membutuhkan kerja cerdas, kerja keras, komitmen dari semua pihak dan manajemen yang efektif dan efisien, kepemimpinan bijak dan memeiliki visi dan misi yang jelas. Oleh karena iti peneliti ingin meneliti efektifitas Kepemimpinan transformasional dan budaya pembelajaran yang ada di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo dengan Judul Pengaruh Kepemimpinan Trasformasional Terhadap Peningkatan Budaya Pembelajaran

Di Madrasah Aliyah (MA) Darul Ulum Kureksari Sidoarjo”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Kepemimpinan Transformasional di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo?


(17)

2. Bagaimana Budaya pembelajaran di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo?

3. Bagaimana Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap peningkatan Budaya pembelajaran di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan trasformasional yang digunakan Kepala Sekolah di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo.

2. Untuk mengetahui bagaimana budaya pembelajaran yang telah dibentuk di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo.

3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap peningkatan budaya pembelajaran di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo.

D. Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi untuk mencegah terjadinya pembahasan yang terlalu luas. Batasan-batasan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Dalam melakukan penelitian ini penulis akan meneliti tentang bagaimana kepemimpinan transformasional Kepala Sekolah mampu menegakkan budaya pembelajaran di sekolah.


(18)

2. Adapun yang menjadi obyek penelitian adalah tenaga pendidik, tenaga kependidikan, dan kepala sekolah, serta orang-orang yang mampu dan mau memberikan informasi.

E. Manfaat Penelitian

Melatih penulis agar lebih mengerti bagaimana gaya kepemimpinan Kepala Sekolah mampu menegakkan budaya learning di sekolah, hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat. Adapun manfaat dari penelitan ini ada dua yaitu, sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

a. Dengan mengetahui pengaruh kepemimpinan trasformasional Kepala Madrasah terhadap peningkatan budaya pembelajaran di madrasah. Maka hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu Kepala Madrasah maupun guru-guru untuk membentuk dan terbentuk dari budaya pembelajaran yang ada di madrasahnya.

b. Dapat menambah kepustakaan sebagai bantuan dan studi banding bagi mahasiswa dimasa mendatang.

2. Secara Praktis

a. Dari hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi masyarakat khususnya kepala madrasah sebagai bahan pertimbangan dalam


(19)

melaksanakan tugasnya sebagai seorang pemimpin yang menginginkan setiap perubahan yang lebih baik dalam masa kepemimpinannya.

b. Dapat dijadikan sebagai tambahan referensi bagi kepala madrasah dan guru-guru dalam menegakkan budaya learning di sekolah.

F. Tinjauan Pustaka

Pada penelitian yang dilakukan oleh Machfudzil Asror (2013) dalam

skripsi dengan judul “Manajemen Budaya Sekolah dalam peningkatan kecerdasan siswa di madrasah aliyah unggulan pondok pesantren amanatul ummah siwalan kerto surabaya” menyimpulkan bahwa Budaya Sekolah jika dimanajemen dengan baik maka akan berdampak terhadap kecerdasan siswa. Namun dalam penelitian ini tidak dijelaskan tentang peran kepala sekolah dalam memanajemen budaya sekolah tersebut.

Adapula penelitian yang dilakukan oleh Prim Masrokan Mutohar dalam

jurnal yang berjudul “Kontribusi gaya kepemimpinan Kepala Sekolah dalam membentuk budaya organisasi di SMPN Kabupaten Tulungagung”, dapat disimpulkan dalam penellitian ini bahwa, begitu besarnya peranan kepemimpinan dalam proses pencapaian organisasi, sehingga tidak berlebihan jika dikataan sukses atau tim sukses atau tidaknya penyelenggaraan aktivitas suatu unit kerja dalam organisasi sebagian besar ditentukan oleh kualitas pemimpinnya. Penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang akan saya lakukan, namun bedanya


(20)

penelitian ini membahas tentang budaya organisasi yang dapat didefinisikan bahwa budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota organisasi yang lain.

Seperti yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa peran kepemimpinan sangat penting dalam membetuk budaya di suatu madrasah ataupun sekolah sebagai suatu identitas dari madrasah atau sekolah tersebut.

G. Definisi Operasional

Penelitian adalah proses komunikasi dan memerlukan akurasi bahasa agar tidak menimbulkan perbedaan pengertian antara orang.

Definisi operasional dalam penellitian ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami pembatasan-pembatasan yang diuraikan dalam penelitian ini sehingga kalimatnya mudah dipahami, diantaranya:

Transformasional5: Maksud dari transformasi adalah perubahan rupa (bentuk, sifat, dsb). Sedangkan mentransformasikan adalah mengubah rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb); mengalihkan, mengubah struktur dasar menjadi struktur lahir dengan menerapkan kaidah transformasional.

5

Lihat di m.artikata.com


(21)

Kepemimpinan Transformasional6 : Konsep awal tentang kepemimpinan transformasional ini dikemukakan oleh Burn yang menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah sebuah proses di mana pimpinan dan para bawahannya untuk mencapai tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Para pemimpin transformasional mencoba menimbulkan kesadaran dari para pengikut dengan menentukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nlai moral seperti kemerdekaan, keadilan, dan bukan didasarkan atas emosi kemanusiaan, keserakahan, kecemburuan, kebencian. Tingkat sejauhmana seorang pemimpin disebut transformasional terutama diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para pengikut. Para pengikut seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat kepada pememimpin tersebut, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari pada yang awalnya diharapkan terhadap mereka.

Budaya Pembelajaran7:Yang dimaksudkan dengan budaya di sini adalah kebiasaan kolektif yang sudah dijalankan secara mendarah daging. Budaya pembelajaran adalah pembelajaran yang sudah dijadikan budaya di sekolah, yang tercermin dalam berbagai perilaku, sikap, pandangan hidup, pola hubungan antarmanusia, dan lain-lain.

Secara teori, budaya pembelajaran disuatu lembaga itu lahir dari nilai-nilai dan perilaku yang dianut oleh kelompok pendiri atau orang-orang senior di

6

Dari Artikel dalam Internet: HMI Fia Organisasi. 2013. Teori Kepemimpinan Transformasional.

7


(22)

lembaga itu, yang kemudian ditrasfer secara alamiah kepada yang lain sehingga membentuk perilaku kolektif.

H. Sistematika Pembahasan

Berikut ini sistematika pembahasan dari judul skripsi “EFektivitas Kepemimpinan Transformasional Terhadap Peningkatan Budaya Pembelajaran Di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo”:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam pendahuluan ini penulis menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

Merupakan kajian teoritis yang akan membahas tentang berbagai teori yang berkaitan dengan rumusan penelitian yaitu tentang efektifitas kepemimpinan transformasional terhadap budaya pembelajaran.

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisi metode-metode yang sesuai yang digunakan penulis untuk memperoleh data dan informasi yang lebih lengkap dan valid.


(23)

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini berisi kajian empiris yang menyajikan hasil penelitian lapangan pada pembahasan ini akan terlihat realita yang sebenarnya nanti akan dipadukan dengan teori yang ada.

BAB V : PENUTUP

Pada akhir pembahasan skripsi ini penulis mengemukakan kesimpulan hasil penelitian dan saran yang berkaitan dengan realitas hasil penelitian, demi keberhasilan dan pencapaian tujuan yang diharapkan.


(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kepemimpinan Transformasional

Dalam sebuah organisasi atau lembaga pendidikan pasti dibutuhkan seorang Pemimpin. Pemimpin disini yang dimaksudkan adalah orang yang mau dan mampu mengarahkan dan mempengaruhi bawahannya agar organisasi atau lembaga pendidikan tersebut dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka dalam sebuah organisasi atau lembaga pendidikan dibutuhkan pemimpin yang dinamis, inovatif, dan kreatif. Dan tak luput pula, keefektivan kepemimpinan sangat diandalkan. 1. Konsep Kepemimpinan

Selanjutnya konsep tentang kepemimpinan. Kepemimpinan dan pemimpin merupakan objek dan subjek yang banyak dipelajari, dianalisis, dan direfleksikan orang sejak dahulu sampai sekarang. Sebagai pemahaman awal dikemukakan beberapa pendapat para pakar dan ahli antara lain :

a. Robert G. Owens

Mengartikan kepemimpinan sebagai keteribatan yang dilakukan secara sengaja untuk mempengaruhi perilaku orang sebagaimana


(25)

dikemukakan berikut:8 kepemimpinan merupakan kemauan dan keterlibatan serta latihan untuk mempengaruhi perilaku orang lain.

b. Fillick dan Peterson. J. A

Kepemimpinan merupakan penetapan kemampuan untuk mempengaruhi perilaku dan aksi lain untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan.

c. Maxwell

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memperoleh pengikut. Selanjutnya dikemukakan pula pemimpin terkemuka dalam sebuah kelompok tertentu mudah ditentukan perhatikan saja ketika orang-orang berkumpul, kalau suatu persoalan harus diputuskan siapa yang pandangannya paling berharga, siapa yang yang paling diperhatikan ketika persoalan dibicarakan. Siapa yang paling cepat disetujui oelh lainnya. Yang paling penting siapa yang diikuti oleh orang lain. Jawaban dari pertanyaan tersebut akan menjawab siapa pemimpin dari suatu kelompok tertentu.

d. Hughes, et al

Kepemimpinan berkenaan denagn keberanian mengambil resiko dengan perhitungan yang matang, dinamika,mkreativitas, inovasi, perubahan, dan visi. Selanjutnya ditambahkan oleh Hughes, et al. (2002),

8

Ismail Nawawi, Perilaku Organisasi, Teori, Transformasi Aplikasi pada Organisasi Bisnis, Politik, dan Sosial, (Jakarta: Mitra Media Nusantara, 2004), h. 257-248


(26)

“Leadership in everyone’s business” (Kepemimpinan adalah urusan

semua orang), karena setiap orang pada hakikatnya adalah pemimpin yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap kepemimpinannya.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi, mendorong, mengarahkan, dan menggerakkan orang lain (bawahan) agar timbul kerjasama dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan bersama. Dari kesimpulan tersebut pada dasarnya telah diketahui inti dari kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain, serta memiliki tujuan yang ingin dicapai.

2. Konsep Kepemimpinan Transformasional

Penerapan kepemimpinan sangat ditentukan oleh situasi kerja atau keadaan anggota/ bawahan dan sumber daya pendukung organisasi. Karena itu jenis organisasi dan situasi kerja sangat berpengaruh dalam pembentukan pola kepemimpinan. Adapun pola atau gaya kepemimpinan yang pokok, diantaranya adalah :


(27)

Tabel 2.1

TIPE KEPEMIMPINAN

OTORITER DEMOKRATIS LAISSEZ FAIRE/ BEBAS

Segala keputusan berpusat pada pemimpin.

Semua keputusan merupakan bahan pembahasan kelompok dan keputusan kelompok yang dirangsang dan

dibantu oleh

pemimpin

Kebebasan lengkap utuk mengambil keputusan kelompok atau individual

dengan minimum

oratisipasi pemimpin.

Tehnik-tehnik atau langkah-langkah ditentukan oleh pemimpin

Persfektif aktivitas dicapai selama diskusi berlangsung.

Dilukiskan langkah-langkah umum keraha tujuan kelompok dan apabila diperlukan saran tehnis, maka pemimpin akan menyarankan dua atau lebih prosedur alternatif yang dipilih.

Macam-macam bahan disediakan oleh pemimpin dan yang dengan jelas mengatakan bahwa ia akan menyediakan keterangan apabila ada permintaan. Pemimpin tidak turut berpartisipasi sama sekali dalam diskusi kelompok.

Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang oleh pemimpin.

Pembagian tugas terserah pada kelompok. Dan para pegawai boleh bekerja dengan siap saja yang mereka kehendaki.

Pembagian tugas semua terserah pada bawahan. Dan intinya dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin sama sekali tidak turut dalam pengambilan keputusan, dan jika bawahan mengalami kesulitan dan bertanya maka pemimpin bertindak

Pendekatan universal menganggap hanya ada satu cara terbaik untuk


(28)

dalam kenyataannya setiap organisasi memilikiciri khusus dan masing-masing dengan keunikannya sehingga tidak mungkin organisasi dipimpin dengan perilaku tunggal untuk segala situasi.

Sehingga memunculkan yang namanya Pendekatan Kontingensi. Jika diterjemahkan secara harfiah berarti pendekatan kemungkinan. Artinya, situasi yang berbeda harus dihadapi dengan perilaku yang berbeda pula.

Ada pula gaya kepemimpinan berdasarkan kepribadian :9 a. Gaya kepemimpinan Karismatik

Gaya kepmimpinan ini mampu menarik orang. Mereka terpesona dengan cara bicaranya yang membangkitkan semangat. Biasanya orang yang memiliki gaya kepemimpinan seperti ini memiliki kepribadian visionaries. Mereka sanagt menyenangi perubahan dan tantangan. Namum gaya kepemimpinan ini bisa dianalogikan dengan peribahasa tong kososng nyaring bunyinya. Mereka mampu menarik orang, namun dalam beberapa lama, orang –orang akan kecewa karena ketidak konsistenannya dalam pekerjaan. Ketika dipmintai pertanggung jawabannya, si pemimpin akan memberikan alasan, permintaan maaf, dan janji.

b. Gaya Kepemimpinan Diplomatis

Kelebihan gaya kepemimpinan ini ada di penempatan perfektifnya. Banyak orang seringkali melihat dari satu sisi, yaitu sisi keuntungan

9

Lihat di http:// www.google.com/felixdeny.wordpress.com/2012/01/07/definisi-kepemimpinan-dan-macam-macam-gaya-kepemimpinan/, diakses pada 07 Januari 2012, oleh Felix Deny.


(29)

dirinya. Sisanya, melihat sisi keuntungan lawannya. Hanya pemimpin dengan kepribadian putih ini yang bisa melihat kedua sisi dengan jelas! Apa yang menguntungkan dirinya, dan juga menguntungkan lawannya. Kesabaran dan kepasifan adalah kelemahan dari gaya kempemimpinan ini. Umumnya, mereka sangat sabar dan sanggup menerima tekanan. Namun, kesabarannya ini bisa menerima perlakuan yang tidak menyenangkan tersebut, tetapi pengikut-pengikutnya tidak. Dan seringkali hal inilah yang membuat para pengikutnya meninggalkan si pemimpin.

c. Gaya Kepemimpinan Otoriter

Seperti yang telah dijelaskan diatas gaya kepemimpinan ini segala sesuatunya berpusat pada diri seorang pemimpin, namun langkah-langkahnya cermat dan sistematis.

d. Gaya Kepemimpinan Moralis

Kelebihan gaya kepemimpinan ini adalah umumnya mereka hangat dan sopan kepada semua orang. Mereka memiliki empati yang tinggi terhadap permasalahan para bawahannya, juga sabar, murah hati segala bentuk kebajikan ada dalam diri pemimpin ini. Namun, kekurangan dari kepemimpinan ini adalah emosinya. Rata-rata orang seperti ini sangat tidak stabil, kadang bisa tampak sangat sedih dan mengerikan, kadang pula bisa sangat menyenangkan dan bersahabat.


(30)

Berikut ini adalah Model-Model Kepemimpinan : 10

Bush membagi model kepemimpinan atas Sembilan model, yaitu (1) Manajerial (Magerial), (2) partisipatif (partisipative), (3) transfomasional (transformational), (4) interpersonal (interpersonal), (5) transaksional (transactional), (6) postmodern, (7) kontingensi (contingency), (8) moral (moral), dan pembelajaran (instructional).

Kepemimpinan yang kuat dalam artian harfiah ialah kepemimpinan kepala madrasah yang tangguh, ulet, dan tahan banting. Sedangkan dalam arti singkatan, KUAT ialah kepemimpinan yang Kredibel (dapat dipercaya karena kejujuran dan komitmennya terhadap diri sendiri dan lembaga sekolah), Usaha keras untuk mewujudkan visi dan misinya, Akseptabel dan akuntabel (diterima bawahannya dan dapat mempertanggung jawabkan kepemimpinannya), Terampil secara konseptual (menguasai iptek), Sosial (mampu bergaul dan memiliki jaringan kerja yang luas atau networking), dan Teknikal (agar lebih berwibawa dan tidak mudah dikelabui bawahannya).

Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang mampu menyejahterahkan bawahannya, bukan menyengsarakan bawahannya, mampu memberdayakan bawahannya, bukan memperdayakannya, pandai merasakan perasaan bawahannya, bukan merasa pandai atau selalu menggurui bawahannya.

10


(31)

Leithwood (1994) menggambarkan kepemimpinan transformasional ke dalam delapan dimensi :11

a. Membangun visi sekolah b. Menetukan tujuan sekolah

c. Menyediakan stimulasi intelektual d. Menawarkan dukungan individual

e. Memodelkan praktik yang baik dan nilai-nilai organisasi yang penting f. Menunjukkan ekspektasi yang baik

g. Menciptakan budaya sekolah yang produktif

h. Mengembangkan struktur untuk membantu pengembangan partisipasi dalam keputusan sekolah.

Dr. Peter Wylie dalam “Karyawan Bermasalah, Kiat Meningkatkan Kinerja Mereka” menyebutkan ciri-ciri kepala sekolah yang kreatif :12

a. Cenderung mendorong perubahan, kepala sekolah sebagai agen perubahan, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program-program sekolah yang mengarah kepada perubahan sekolah untuk menjadi yang lebih baik

b. Objektif, kepala sekolah memberikan penilaian-penilaian yang obyektif kepada anggota organisasi yang dipimpinnya, keberpihakan beliau pada

11Ibid

, hal. 422-423

12

Peter Wylie, et. al, Karyawan Bermasalah, Kiat Meningkatkan Kinerja Mereka, (Jakarta: erlangga, 1997), cet ke 3, jilid 1, h. 196


(32)

orang-orang yang komitmen terhadap kemajuan lembaga sangat dibutuhkan

c. Berpikir postif tingking, rasa percaya pada job description yang sudah diputuskan

d. Wawasan luas, penuh ide cemerlang sehingga program progam sekolah selalu inovatif dan tidak kaku

e. Idealis, sifat yang sangat dibutuhkan kepsek agar dapat menjadi panutan para bawahannya

f. Motivasi tinggi, penuh semangat, kecerdarasan luar biasa juag modal kepsek untuk memberikan semangat kepada bawahannya

g. Berfikir kedepan untuk kemajuan sekolah

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kepemimpinan adalah urusan semua orang, karena semua orang adalah pemimpin, minimal memimpin dirinya sendiri, serta bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Teori

kepemimpinan terdiri atas teori “Kepemimpinan Klasik” dan teori

“Kepemimpinan Modern”. Teori Kepemimpinan Klasik meliputi: (1)gaya kepemimpinan model Taylor, (2)gaya kepemimpinan model Mayo, (3)studi lowa, (4)studi Ohio, (5)studi Michigan. Teori Kepemimpinan Modern meliputi : (1)teori orang besar (great man), (2)sifat-sifat (traits), (3)perilaku


(33)

(behavioral), (4)situasional (kontingensi), (5)transaksional. (6)transformasional dan kharisma, dan (7)pancasila.13

Tabel 2.2

Persamaan dan Perbedaan Keenam Pendapat Pendekatan Kepemimpinan Sandler (1997) Lunenbrug dan Orstein (2000) Northouse (2007& 2009)

Hoy dan Miskel (2010)

Gill (2009)

Yukl (2010) 2. Sifat-Sifat 1.Sifat-sifat 1. Sifat 1. Sifat-sifat 1. Sifat-sifat 1. Sifat

4. Perilaku 2. Perilaku 3.Gaya 4. Perilaku 2. Perilaku

6. Kontingensi 3.Kontingensi 5. Kontingensi 3.

Kontongensi 2.Ketrampilan 2. Ketrampilan

5.Situasional 4.Situasional 2.Situasional 3.Situasional 4.Situasional

9.Transformasionmal 6.Transfoprmasional 5.Integratif

3.Pengaruh dan kekuasaan 3.Pengaruh dan kekuaasaan 7. Transaksional 8. Atribut

1. Great Man Theory

Keterangan :

1. Persamaannya ada beberapa pendekatan yang sama sifatnya 2. Perbedaannya, jumlah dan urutan perbedaan yang tidak sama 3. PendekatanSadler yang paling lengkap.

Berdasarkan tabel 1.1 dapat disimpulakan bahwa urutan penekatan kepemimpinan, meliputi: (1)Great man theory, (2) sifat-sifat, (3) ketrampilan, (4)pengaruh dan kekuasaan, (5)perilaku (gaya), (6)situasional, (7)kontingensi, (8) transaksional, (9) Atribut, dan (10) transformasional/karismatik.

13


(34)

Dalam penelitian ini saya membahas model kepemimpinan transformasional. Model kepemimpinan ini menggunakan pendekatan Kepemimpinan Normatif milik Sandler. Model ini lebih sentralistik, lebih mengarahkan, lebih mngontrol sistem. Model ini cenderung berbuat sewenang-wenang karena kepemimpinan yang kuat., berani berkorban sebagai pahlawan, karismatik, dan konsisten dengan teman sejawat dalam berbagi nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan umum.

Menurut Daryanto Asmani dalam bukunya yang berjudul “Kepala Sekolah sebagai Pemimpin Pembelajaran”, gaya kepemimpinan transformasional ditunjukkan dengan hal-hal sebagai berikut. Pertama, mengidentifikasikan dirinya sebagai agen perubahan dan pembaharuan. Kedua, memiliki sifat pemberani. Ketiga, mempercayai orang lain. Keempat, bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu atau atas dasar kepentingan dan kroninya). Kelima, meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus sepanjang hayat. Keenam, memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi rumit, tidak jelas, dan tidak menentu. Ketujuh, memiliki visi ke depan.14

Kepala Sekolah yang memiliki gaya kepemimoinan transformasional cenderung untuk menghargai ide-ide baru untuk proses belajar-mengajar.

14

Daryanto, Kepala Sekolah sebagai Pemimpin Pembelajaran, (Yogyakarta:Gava Media, 2011), cet. Ke-1, h. 2


(35)

Akibat positifnya adalah ditemukannya solusi persoalan kesehatian yang dihadapi guru dalam proses belajar mengajar di kelas.15

Menurut Sudarwan Danim dan Suparno, kepemimpinan transformasional memiliki penekanan dalam hal pernyataan visi dan misi yang jelas, penggunaan komunikasi yang efektif, pemberian rangsangan inteltual, serta perhatian pribadi terhadap permasalahan individu anggota organisasinya. Dengan penekanan pada hal-hal seperti itu, diharapkan kepala madrasah mampu meningkatkan kinerja staf pengajarnya dalam rangka mengembangkan kualitas sekolahnya. Penerapan kepemimpinan transformasional juga diperlukan mengingat berbagai informasi terkini seyogianya ditransformasikan kepada guru, tenaga administrasi, siswa, dan orang tua/wali melalui sentuhan persuasive, psikologis, edukarif dari kepala madrasah.

Kepemimpinan transformasional menuntut kemampuan Kepala Madrasah dalam berkomunikasi, terutama komunikasi persuasif atau komunikasi secara halus yang dapat mempengaruhi aspek Kognitif, Aspektif, dan Konatif. Kepala Madrasah yang mamapu berkomunikasi secara persuasif dengan komunitasnya akan menjadi faktor pendukung dalam proses transformasi yang dipimpinnya. Selain itu komunikasi dan motivasi berprestasi dari Kepala Madrasah juga turut mewarnai perilaku pelayanan

15


(36)

pendidikan kepada siswa dan masyarakat melalui pola kepemimpinan yang diterapkan.16

Northouse (2011) dalam bukunya Jamal Ma‟mur Asmani “Tips Menjadi Kepala Sekolah Profesional”, memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepamimpinan transformasional, diantaranya sebagai berikut. Pertama, berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal terbaik bagi organisasi. Kedua, berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani, dengan didasari nilai yang tinggi. Ketiga, mendengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja. Keempat, ciptakan visi yang diyakini oleh semua orang dal;am organisasi. Kelima, bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan. Keenam, menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi.17

Disisi lain, Dwi Suryanto menjelaskan ciri kepemimpinan transformasional secra lebih detail. Adapun cirri-ciri tersebut adalah sebagai berikut :

a. Idealized influence, meliputi :

1) Menunjukkan keyakinan diri yang kuat;

16

Sudarwan Danim dan Suparno, Manajemen dan Kepemimpinan Transfomasional Kepala Sekolah, Visi, dan Strategi Sukses Era Teknologi, Situasi Kritis, dan Internasional Pendidikan

(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), cet. Ke-1, h. 48-49.

17Jamal Ma‟mur Asmani,


(37)

2) Menhadirkan diri dalam saat-saat yang sulit; 3) Menunjukkan nila-nilai yang penting; 4) Menumbuhkan kebanggaan;

5) Meyakini visi, membanggakan keutamaan visi, dan secara pribadi bertanggung jawab penuh pada tindakkan;

6) Meneladani ketekunan alam semesta. b. Individualized consideration, meliputi :

1) Menerung, memikirkan, dan mengidentifikasi kebutuhan individual; 2) Mengidentifikasi kemampuan bawahan;

3) Memberikan kesempatan belajar; 4) Mendelegasikan wewenang;

5) Melatih dan memberikan umpan balik penembangan diri; 6) Memberdayakan bawahan.

c. Inspirational motivation, meliputi :

1) Menginspirasi bawahan mencapai kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbayangkan;

2) Menyelaraskan tujuan individu dan oraganisasi;

3) Memandang ancaman dan persoalan sebagai kesempatan untuk belajar dan berprestasi;

4) Menggunakan kata-kata yang membangkitkan semangat. 5) Menampilakn visi yang menggairahkan;


(38)

6) Memberikan dukungan terhadap apa yang perlu dilakukan;

7) Menciptakan budaya bahwa kesalahan yang terjadi dipandang sebagai pengalaman belajar.

d. Intellectual stimulation, meliputi : 1) Mendorong pemanfaatan imajinasi; 2) Mengajak melihat pefektif baru;

3) Memakai symbol-simbol pendukung motivasi;

4) Mempertanyakan kepercayaan yang melekat pada organisasi.18

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa efektivitas kepemimpinan transformasional adalah seberapa jauh Kepala Madrasah untuk berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal terbaik bagi organisasi, berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani, dengan didasari nilai yang tinggi, mendengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja, ciptakan visi yang diyakini oleh semua orang dalam organisasi, bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan, menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi melakukannya dengan baik dan memberikan efek positif terhadap guru, siswa, dan wali murid.

18


(39)

B. Budaya Pembelajaran (Budaya Learning)

Pembelajaran adalah sumber kreativitas, sebab hanya dengan pembelajaran-lah manusia belajar untuk memperbaiki diri. Karena itu, kedudukan guru dalam pelayanan pendidikan dan pembelajaran atau dalam pengembangan SDM secara keseluruhan sangatlah vital. Diutak-atik dengan logika apa pun, guru memang asset bangunan tak terbantahkan. Meskipun guru dikatakan sebagai asset, yang perlu ditelaah dalam praktik nyatanya adalah sejauh mana asset itu memberikan pengaruh dalam kemajuan bangsa secara keseluruhan. Karena itu, pendidikan perlu membekali siswa tentang bagaimana menggali bakat itu, bagaimana mengembangkan diri, dan bagaimana mengendalikan tabiat alami yang bisa menjadi sumber masalah jika keblabasan.19

Terkait dengan pembahasan di atas, fitrah manusia yang perlu dikembangkan oleh pendidikan adalah fitrah pembelajaran. Ini bukti bahwa semua manusia adalah makhluk pembelajaran. Pembelajaran yang dimaksudkan disini adalah proses yang ditempuh manusia utuk mengubah ketidakmampuannya (inability) menjadi bentuk kemampuan baru (new ability). Pembelajaran pada dasarnya adalah proses dari apa yang kita tahu, kita rasakan, atau kita dengar menjadi yang lebih baik dari sebelumnya.20

19

Hudaya Latuconsina, Pensisikan Kreatif…,h. 118

20


(40)

Sedangkan pembelajaran (learning) adalah menyalakan api perubahan pada siswa, sehingga ia mulai belajar menemukan sesuatu.21 Dalam buku, “Perilaku Keorganisasian”, disebutkan bahwa pembelajaran adalah bagaimana individu selalu memepersiapkan diri untuk berubah dengan melakukan aktivitas yang tidak pernah berhenti selama hidupnya, misalanya seperti berikut ini :

1. Membaca, merupakan kegiatan yang tidak pernah berhenti dalam rangka untuk mengamati, memepelajari, dan menganalisis situasi dan keadaan lingkungan sekitarnya.

2. Berhitung, merupakan kegiatan yang selalu dilakukan untuk membandingkan, mengukur, serta mengetahui laba rugi dari setiap aktivitas di lingkungannya. 3. Menulis, mencatat dan inventarisasi semua kegiatan otak agar tidak

terlupakan (kemampuan otak amnusia). Kemudian dapat digunakan sebagai pusat data bagi individu.

Pembelajaran juga dapat diartikan sebagai proses dari tidak tahu, tidak mengenal, tidak mengerti menjadi mengerti, mengenal, dan mengetahui yang didampingi dengan seoranng yang ahli.

Berdasarkan literatur yang sudah ada, sudah banyak teori-teori pembelajaran yang dihasilkan oleh pakar psikologi, diantaranya sebagai berikut:22 1. Opertant Conditioning (B.F. Skinner). Kondisi inilah yang membuat perilaku

orang mau belajar secara sukarela untuk memperoleh imbalan atas prestasi

21Ibid

, h. 137

22

Mahanan Tampubolon, Perilaku Keorganisasian , (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), cet. Ke-1,edisi 2, h.39-40


(41)

atau kegagalan atas kesalahan yang diperbuatnya.Tujuannya untuk memberdayakan kemampuan yang sudah dimilikinya secara maksimal. Sedangkann untuk memberdayakan kemampuan melalui pemebelajaran. 2. Classical Conditioning (Ivan Pavlov), Pavlov adalah seorang ahli psikologi

Rusia, dia melakukan eksperimen dengan mengajarkan anjing untuk merespons suara lonceng. Dia menemukan suatu kesimpulan bahwa apabila kondisi tidak ada stimulus, maka tidak akan terdapat respons terhadap suatu objek yang menjadi focus perhatian dan sebaliknya,apabila adastimulus atau rangsangan untuk memperhatikan objek, maka kondisi untuk merespons objek itu akan dilakukan.

3. Social Learning Theory (Robbin). Robbin menguraikan tentang social learning bahwa orang atau masyarakat akan melakukan pembelajaran melalui pengamatan dan pengalaman secara langsung tentang terjadinya suatu masalah, secara langsung tentang terjadinya suatu masalah atau objek.

Selanjutnya, seperti yang telah dikutip pada bab sebelumnya, yang saya maksudkan dengan budaya disini adalah kebiasaan kolektif yang sudah dijalankan secara berkelanjutan dan terus-menerus oleh seluruh pegawai dengan diawasi oleh atasan atau kalau pada lembaga pendidikan, Kepala Sekolah, budaya adalah nilai-nilai yang sudah direalisasikan, bukan semata nilai-nilai hidup yang dipampang di tembok, atau baru dijadikan moto profil sekolah. Budaya adalah


(42)

apa yang telah kita lakukan, sedangkan nilai-nilai adalah apa yang kita pahami dan yakini.23

Secara teori, budaya di suatu lembaga pendidikan atau pun organisasi lainnya itu lahir dari nilai-nilai dan perilaku atau kebiasaan yang dianut dan dijalankan secara berkelanjutan oleh kelompok pendiri atau orang-orang senior di lembaga itu, yang kemudian berhasil ditransfer secar ilmiah kepada yang lain sehingga membentuk perilaku kolektif.24

Sebagai contoh, kalau kita datang ke Pondok Modern Gontor di Ponorogo, Jawa Timur, pasti kita akan menyaksikan budaya baca dijalakan para santri. Ke mana-mana santri membawa buku. Tidak sedikit anak yang tetap membaca meski mengantre. Inilah budaya yang lahir dari para pendiri atau orang-orang senior di sana.25

Budaya juga lahir dari pengalaman kelompok dalam menyelesaikan masalah atau mengarungi bahtera hidup. Pengalaman itu kemudian diajarkan kepada mereka untuk menampilakan perilaku tertentu, seperti yang terjadi pada budaya masyarakat di seluruh Indonesia.26

Dalam praktiknya, budaya ini kemudian dikelompokkan menjadi dua, yaitu budaya kuat dan budaya lemah. Disebut budaya kuat apabila niali-niali, pedoman hidup, atau aturan suatu lembagaitu benar-benar direalisasikan dalam kehidupan

23

Hudaya Latuconsina, Pendidikan Kreatif…h. 139

24Ibid

.

25Ibid.

26


(43)

nyata, bukan hanya sebuah rumusan atau tulisan. Sebaliknya, disebut budaya lemah, apabila nilai-nilai, pedoman aturan, atau prosedur itu tidak dijalankan secara kolektif atau hanya dijalankan separuhnya.27

Budaya pembelajaran atau budaya learning sendiri menurut Bapak Hudaya

Latuconsina dalam bukunya, “Pendidikan Kreatif”, adalah pembelajaran atau learning yang sudah dijadikan budaya disekolah, yang tercermin dalam berbagai perilaku, sikap, pandangan hidup, pola hubungan antarmanusia, dan lain-lain.28

C. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Peningkatan Budaya Pembelajaran

Dengan keadaan modern seperti ini, salah satunya adalah pengetahuan dan ketrampilan yang semakin mudah tersebar luar berkat makin pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Bagi sebuah organisasi, semisal lembaga pendidikan layaknya sekolah, hal ini berarti keharusan untuk menjadi pembelajaran yang abadi. Atau dengan kata lain, organisasi harus mengembangkan budaya pembelajaran yang tinggi.29

Dalam organisasi yang memiliki budaya pembelajaran, akan ditumbuh kembangkan kolaborasi antar anggota yang bekerja demi mencapai tujuan bersama yang bekerja demi mencapai tujuan bersama dalam sebuah sistem yang

27 Ibid

, hlm. 140

28Ibid

, hlm. 138 29

Lihat di http:// www.jakartaconsulting.com/01/02/2014/budaya-pembelajaran-dalam-organisasi, yang diunggah pada tanggal 01 Februari 2014 oleh Jarkarta Konsulting


(44)

secar terus-menerus disempurnakan. Pada intinya, setiap masalah yang muncul dipandang sebagai peluang bagi pembelajaran demi peningkatan kompetensi dan kinerja. Bahkan bawahan kerap merasa tertantang untuk mengungkapkan masalah untuk kemudian dicari dan diterapkan solusinya.

Menyadari bahwa setiap solusi merupakan tantangan yang harus dihadapi, bawahan didorong untuk secara cepat mengidentifikasi permasalahan dan mengimplementasikannya. Hal ini, akan memberdayakan bawahan, menyempurnakan proses, serta mempertahankan organisasi agar tetap kompetitif. Harus diakui bahwa sudah ada sebagian sekolah-sekolah yang menerapkan budaya pembelajaran yang bagus, tetapi jumlahnya kurang jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang budaya pembelajarannya lemah. Sebgaian besar sekolah kita memiliki budaya pembelajaran yang rendah, yang ditandai dengan:30 Pertama, guru masih memosisikan dirinya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang paling berwibawa dan ditakuti. Guru menjadi birokrat

kurikulum dengan moto: “Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?!”. Untuk menumbuhkan budaya pembelajaran yang baik, maka sikap ini harus diganti. Guru harus memosisikan dirinya sebagai pihak yang belajar, misalnyaa memepelajari perilaku murid atau menggali ilmu dari sumber-sumber belajar lain, seperti internet, perpustakaan, atau alam.

Kedua, aktivitas di kelas masih banyak yang meosisikan siswa sebagai pihak yang pasif, tinggal mnerima materi. Hal ini kurang merangsang kreativitas

30 Ibid


(45)

siswa. Bisa saja guru memancing tema atau isu untuk kemudian didiskusikan bersama, Bahkan kalau perlu, guru bisa saja mendialogkan topik yang akan dipelajari sambil mengajukan kesepakatan kepada siswa untuk memantik kreativitasnya.

Ketiga, visi pendidikan bukan pada kehidupan tapi pada ujian nasional atau lebih sempit dari itu. Visi yang demikian kurang menumbuhkan budaya belajar. Siswa akan segera melupakan materi yang sudah dipelajarinya ketika ujian sudah selesai. Pihak sekolah atau guru perlu sesering mungkin membuat anak-anak paham tentang visi sekolah dan mendorong anak-anak untuk bercita-cita tinggi agar motivasinya muncul.

Keempat, pandangan terhadap kemapuan murid masih parsial dan belum komplet. Anak disebut bodoh atau pintar hanya berdasarkan standar tertentu. Guru dan sekolah harus mulai belajar untuk mengubah definisi tentang anak bodoh dan anak pintar. Semua anak dengan segala potensi yang dimilikinya adalah calon anak pintar. Asumsi seperti ini harus dimiliki supaya guru bisa memotivasi anak untuk terus belajar.

Kelima, penanganan terhadap kesalahan murid selalu hukuman., omelan, bukan pembelajaran yang menfasilitasi mereka untuk melakukan perubahan sikap dan tindakan melalui pengalaman dan pengetahuan. Hukuman memang tetap diperlukan, tetapi harus dengan alasan yang dan tujuan yang khusus. Kalau


(46)

sedikit-sedikit menggunakan hukuman sebagai reaksi, siswa akan kurang terfasilitasi untuk melakukan pembelajaran.

Keenam, budaya belajar di kelas cenderung menciptakan persaingan individual yang saling mengalahkan, diskriminasi, anak pintar-bodoh, baik-nakal, dan seterusnya. Guru dikelas perlu menjadi pihak yang mendorong semua anak untuk mengeluarkan potensinya dengan berbagai cara.

Ketujuh, arah pengembangan potensi siswa selalu cenderung pada pemenuhan kualifikasi kerja dan itu pun untuk posisi buruh. Mestinya, pengembangan potensi anak perlu disentuh dengan skill kerja dan skill untuk hidup sehingga tidak semua siswa orientasinya menjadi buruh atau pekerja, sebaliknya akan membuat anak punya banyak pilihan untuk profesinya nanti.

Oleh karenanya, sangat penting bagi sebuah organisasi untuk mengembangkan budaya pembelajaran agar para guru mampu merubah pemikiran tersebut diatas. Organisasi yang demikian, menurut Schein, memiliki ciri, memiliki kesadaran bahwa peranan manusia dalam lingkungannya adalah sebagai pemecah masalah dan pembelajar yang aktif. Guna membangun budaya pembelajaran yang aktif, maka pemimpin sebagai peletak dasar-dasar budaya organisasi, harus menanamkan keyakinan bahwa sikap aktif untuk terus-menerus melakukan penyempurnaan akan mengarah kepada pembelajaran. Dengan demikian hal ini akan menjadi contoh bagi para pengikutnya. Dalam mengahadapi makin tingginya kompleksitas, ketergantungan pemimpin kepada


(47)

pengikutnya dalam menghasilkan gagasan-gagasan baru lebih besar kemungkinannya untuk diadopsi jika para karyawan telah terlibat dalam proses pembelajaran.31

Organisasi dengan budaya pembelajaran yang tinggi sangat mementingkan komunikasi. Oleh karenanya perlu diciptakan sistem komunikasi yang efektif sehingga memungkinkan setiap orang mudah menjalin hubungan dengan orang lain. Dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi yang maju pesat, hal ini seharusnya lebih mudah diwujudkan. Komunikasi yang dijalin juga harus bersifat terbuka, langsung, jelas, dan jujur, terutama untuk hal-hal yang relevan dengan tugas-tugas karyawan. Pada bagian ini, pemimpin harus menentukan dengan rincin sistem komunikasi yang minimum yang harus ada dan jenis-jenis informasi apa saja yang penting bagi pembelajran yang efektif. Karena, informasi yang melimpah belum tentu bermanfaat karena acap membuat karyawan bingung.32

Saat ini organisasi semakin diisi oleh karyawan dengan latar belakang yang semakin beragam. Dampak positifnya adalah semakin kayanya sumber pembelajaran dan inovasi. Menjadi tugas pemimpinlah untuk membangun serta mengelola keberagaman tersebut.

Kompleksitas adalah hal lain yang harus disadari oleh pemimpin yang ingin mengembangkan organisasi dengan budaya pembelajaran yang tinggi.

31Ibid

.

32 Ibid.


(48)

Kompleksitas berarti saling terkaitnya komponen-komponen yang meski beragam dan otonom namun saling terkait dan saling bergantung.

Budaya pembelajaran identik dengan orientasi jangka panjang. Oleh karenanya, organisasi dengan budaya pembelajaran yang tinggi kerap tidak segan-segan mengorbankan keuntungan financial jangka panjang demi meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan anggotanya. Maka tak jarang banyak perusahaan yang mengalokasikan sebagian pendapatnya dalam jumlah yang cukukp besar demi memberikan pendidikan dan pelatihan bagi karyawannya.33

Berikut ini adalah model pembelajaran yang dapat diaplikasikan menjadi budaya learning :34

Action Learning (AL). Semua sekolah pasti dapat menjalankan model pembelajaran ini. AL adalah model pembelajaran untuk orang dewasa yang digagas oelh Profesor Reginald Revan (www.actionlearning.com). Seperti namanya pembelajaran ini berbasis pada apa yang sudah kita lakukan, lalu kita temukan masalahnya, kita audit hasilnya, dan kita temukan solusinya. Model ini harus dilakukan dalam tim untuk membentuk program. Dengan artian para guru dikumpulkan untuk sharing pengalaman dengan dipandu oleh kepala madrasah atau orag yang dianggap senior di sekolah.

Social Learning, menurut saya kepala sekolah dan guru tetap perlu menjadikannya sebagi sebuah budaya kolektif melalui suatu mekanisme yang

33Ibid 34


(49)

diikuti secara sadar oleh semua guru agar hasilnya lebih bagus. Sekolah perlu membuka ruang dimana masing-masing guru mau belajar dari rekannya untuk meningkatkan mutu pembelajran di sekolah.

Progamming learning by doing, dengan mengoptimalkann fungsi pembinaan choacing dan bimbingan (konseling). Di banyak tempat, model ini sangat bagus dan sangat efektif untuk meningkatkan kinerja individu (junior). Bahkan lebih efektif daripada training yang membutuhkan biaya tinggi.

Feedback, berdasarkan teori-teori manajemen, feedback adalah kegiatan yang dilakukan atasan untuk menanggapi hasil/proses kerja bawahan. Tanggapan ini bisa berupa tanggapan positif atas keberhasilan atau tanggapan yang menuntut perbaikan.35

Selain feedback, yang terpenting adalah menjaga dialog di antara semua elemn dalam sekolah dalam menyelesaikan masalah. Menegakkan dialog adalah menanam buday pembelajaran yang sangat penting. Orang akan sulit diharapkan bisa belajar apabila ia berada dalam ruangan yang penuh ketegangan, kebencian, dan amarah.36

Dengan mengakarnya budaya pembelajaran akan sangat memudahkan sebuah organisasi atau instansi menyesuaikan dengan lingkungannya, yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan dan daya saing.

35Ibid

, h. 186

36


(50)

Agar pembelajaran bisa menjadi budaya di sekolah, memang butuh sejumlah persyaratan. Salah satunya terpentingnya adalah motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang bersumber dari dalam diri sendiri.

Kepala sekolah harus memiliki motivasi intrinsik lebih dahulu, baru kemudian dia melakukan berbagai upaya untuk memunculkan motivasi intrinsk dari para guru agar bisa diajak melakukan Action learning, Social Learning atau dialog, serta programming learning by doing.

Menurut penjelasan diatas, dapat disimpulakan bahwa mengakarnya budaya pembelajaran di suatu organisasi atau instansi ini berhubungan dengan efektif atau tidaknya gaya kepemimpinan yang diterapkan. Mengingat di Madarah Aliyah Darul Ulum, gaya kepemimpinannya menggunakan transformasional maka saya tertarik untuk melakukan penelitian guna melihat hubungan keduanya.


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Bedasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu, cara ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu di dasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis.

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian a. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk kategori penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah jenis penelitian yangn menggunakan data kuantitatif dan data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka atau data yang kualitatif yang diberi skor/nilai. Data kuantitatif dapat dianalisis dengan statistik deskriptif atau statistik interferensial menggunakan rumus-rumus matematika terapan (statistik).37 Secara umum, metode penelitian kuantitatif dibedakan atas dua dikotomi besar, yaitu eksperimental dan non-eksperimental. Eksperimental dapat dipilah lagi menjadi eksperimen

37

Endang Mulyatiningsih, Metode Penelitian Terapan Bidang Pendidikan, (Bandung: ALFABETA, 2012), cet. Ke-1, h. 37


(52)

kuasi, subjek tunggal dsb. Sedangkan noneksperimental berupa deskriptif, komparatif, korelasional, survey, ex post facto, histories dan sebagainya. b. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang akan digunakan penulis adalah pendekatan korelasional. Pendekatan penelitian yang digunakan untuk penelitian yang berfokus pada penaksiran kovariasi antara variabel yang muncul secara alami. Kata korelasional berasal dari sebuah kata dalam bahasa Inggris correlation dan menjadi correlational artinya saling berhubungan atau hubungan timbal balik. Sebuah correlation atau korelasi adalah suatu uji statistik untuk menentukan tendensi atau pola dari dua variable atau lebih atau dua set data yang bervariasi secara konsisten. Dalam ilmu statistika istilah korelasi diberi pengertian sebagai hubungan antara dua variable atau lebih. Hubungan antara dua variabel dikenal dengan istilah bivariate correlation, sedangkan menurut Creswell hubungan antar lebih dari dua variabel dikenal dengan istilah multivariate correlation .Karena penulis ingin mencari dan menggambarkan kuatnya hubungan antara variabel, yaitu Kepemimpinan trasformasional dengan Budaya Pembelajaran.


(53)

B. Sumber dan Tehnik Pengumpulan Data 1. Sumber Data

Sumber data adalah subyek darimana data diperoleh, dalam hal ini yang menjadi sumber data adalah sebagai berikut :

c. Kepala sekolah d. Tenaga Pendidik e. Tenaga Kependidikan

Sumber data ini digolongkan menjadi dua, yaitu : a. Sumber data primer

Sumber data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama baik dari individu atau perseorangan seperti hasil dari wawancara atau hasil pengisian kuisioner yang biasa dilakukan oleh peneliti kepada pihak yang bersangkutan dilapangan yakni, Kepala Madrasah Aliyah Darul Ulum, perwakilan tenaga kependidikan dan pendidik, perwakilan wali murid, dan perwakilan siswa.38

b. Sumber data sekunder

Sumber data dalam penelitian ini meliputi : data yang diperoleh dari bahan atau buku-buku literature yang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Data ini biasanya dikatakan sebagai data yang diperoleh dari pihakn lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari

38

Husein Umar, Metode Penellitian Untuk Skrisi dan Tesis Bisnis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2008), h. 41


(54)

subyek penelitian. Atau biasa disebut juga data yang telah tersedia seperti dokumen sekolah, profil sekolah, dan lain-lain.39

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam pembahasan ialah sebagai berikut :

a. Observasi (pengamatan)

Teknik observasi adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki.40

Teknik ini digunakan penulis untuk mengumpulkan data tentang keadaan sekolah atau madrasah termasuk situasi dan kondisinya.41

b. Wawancara (Interview)

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila penulis ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila penulis ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil.42

39

Ibid, h. 42

40

Burhan As-Safa, Metode Penelitian, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2004), h. 26.

41

Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, (Bandung: ALFABETA, 2011), cet. Ke-20, h. 157

42


(55)

c. Kuisioner (Angket)

Kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab.43

d. Dokumentasi

Dokumentasi (dokumen) yaitu barang-barang tertulis. Di dalam melaksanakan metode ini peneliti menyelidiki benda-benda tertulis, seperti buku, dokumen, peraturan-peraturan, dan lain-lain.

Metode dokumentasi dapat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

1) Pedoman dokumentasi yang memuat garis-garis besar atau kategori yang akan dicari datanya.

2) Check list, yaitu daftar variabel yang akan dikumpulkan datanya. Dalam hal ini peneliti hanya memberi tanda pada setiap pemunculan gejala yang dimaksud.

Metode dokumentasi ini dapat berupa metode utama apabila peneliti melakukan pendekatan analisis isi. Untuk penelitian lainpun metode dokumentasi juga mempunyai kedudukan yang penting.

43


(56)

C. Merumuskan Hipotesis

Berangkat dari perumusan masalah tersebut di atas, khususnya dengan masalah yang berhubungan dengan variabel-variabel, maka dalam kaitan ini dapat ditentukan hipotesis sebagai berikut:44

Hipotesa kerja atau alternative yang diberi symbol huruf (Ha), yaitu hipotesa yang menyatakan adanya hubungan atau pengaruh antara variable bebas dengan variable terikat.

Ha : ada korelasi positif yang signifikan, antara variabel X (Kepemimpinan Transformasional) dan variabel Y (budaya pembelajaran) di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo.

Hipotesa nihil (Hipotesa Nol) yang diberi lambang (Ho) yang menunjukkan tidak adanyapengaruh antara kedua variable tersebut.

Ho : tidak adanya korelasi positif yang signifikan, antara variabel X (Kepemimpinan Transformasional) dan variabel Y (budaya pembelajaran) di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo.

D. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Dalam buku Metodologi Penelitian Adminisrasi disebutkan bahwa populasi bukan hanya orang, tetapi obyek dan benda-benda alam lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek yang

44


(57)

dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek itu. Jadi, dapat diterik kesimpulan bahawa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesipmpulan.45 Populasi dalam penelitian ini adalah guru Madrasah Aliyah Darul Ulum.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristiknya yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili).46

3. Teknik sampling

Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel. Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai teknik sampling yang digunakan. Teknik sampling pada dasarnya dapat

45Ibid,

h. 90

46


(58)

dikelompokkan mejadi dua yaitu Probability Sampling dan Nonprobability Sampling:47

a. Probability Sampling

Adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik ini meliputi, simple random (pengambilan populasi dilakukan secara acak tanpa melihat strata), proportionate stratified random sampling (digunakan bila populasi anggota tidak homogen dan berstrata sana proposional), disproportionate stratified random sampling (digunakan untuk menentukan jumlah sampel, bila populasi berstrata tetapi kurang proposional), Area sampling (digunakan untuk menetukan sampel bila obyek yang akan diteliti atau sumber data sangat luas).

b. Nonprobability Sampling

Adalah teknik pengambilan sampel yang tidak member peluang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik sampel seperti ini meliputi, sampling sistematis (tehnik pengambilan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut), sampling kuota (teknik untuk menetukan sampel dari populasi yang memiliki ciri-ciri tertentu sampai jumlah yang diinginkan), sampling incidental (teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, siapa saja yang kebetulan bertemu dengan peneliti), sampling purposive

47


(59)

(pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu), sampling jenuh (sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel), dan snowball sampling (teknik penentuan sampel yang muala-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar).

Makin besar jumlah sampel mendekati populasi, maka peluang kesalahan generalisasi semakin kecil dan sebaliknya. Rumus untuk menghitung ukuran sample dari populasi yang diketahui jumlahnya adalah sebagai berikut :

S = λ2. N. P. Q

d2 (N-1) + λ2. P . Q

E. Uji Instrumen penelitian

Dalam penelitian pendidikan khususnya penelitian kuantitatif dikenal dengan nama variabel. Variabel inilah yang pada umumnya ingin diketahui karakteristik yang dimilikinya, misalanya rata-rata, median, modus, standar deviasi, dan lain-lain. Untuk mengukur suatu variabel diperlukan alat ukur yang biasa disebut istrumen.48

48

Lihat di Zulkifli Matondang, Jurnal Tabularasa PPS UNIMED (Vol. 6 No. 1), (Juni: 2009) λ2

dengan dk = 1, taraf kesalahan bisa 1%, 5%, 10% P = Q = 0,5


(60)

Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah kuisioner atau angket yang berisi pertanyaan untuk diisi oleh responden yaitu para guru di Madarsah Aliyah Darul Ulum. Instrumen ini digunakan untuk mengukur hubungan antara gaya kepemimpinan transformasional dengan budaya pembelajaran yang ada di Madrasah Aliyah Darul Ulum Sidoarjo.

Dalam penelitian yang menggunakan penelitian kuantitatif, kualitas pengumpulan data sangat ditentukan oleh kualitas instrumen atau alat pengumpulan data yang digunakan. Instrumen itu disebut berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan pemakaianya apabila sudah terbukti validitas dan reliabilitasnya.

Tabel 3.1

Kisi-Kisi Instrumen Sebelum Uji Coba

Aspek Indikator angket No butir

angket Jumlah soal (+) (-) Kepemimpinan Transformasional

a. Implementasi Kepemimpinan transformasional

b. Menghadirkan diri pada masa-masa yang sulit

c. Bertanggung jawab penuh pada tindakan d. Memberdayakan, melatih dan memberikan

umpan balik pengembangan diri bawahan e. Menampilkan visi yang mengairahkan f. Memandang ancaman dan persoalan

sebagai kesempatan untuk belajar dan berprestasi

g. Mengajak melihat perfektif baru dan menginspirasi bawahan untuk mencapai kemungkinan yang tidak terbayangkan

1 2 3 4 5 6 7 7

Budaya Learning a. Realisasi budaya pembelajaran di sekolah b. Budaya pembelajaran mampu

8 9


(61)

memberikan dampak positif bagi guru dalam mengoptimalkan pembelajaran c. Action learning

d. Social Learning

e. Programming learning by doing f. Feedback g. Dialog 10 11 12 13 14 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Peningkatan Budaya Pembelajaran

a. Motivasi instrinsik

b. Guru sebagai pihak yang belajar (memepelajari perilaku murid)

c. Guru merangsangan keaktifan siswa d. Guru mampu mampu menanampan visi

sekolah jangka panjanng yang membangun

e. Guru mampu memotivasi anak untuk terus belajar

f. Guru mampu menerapkan pembelajaran yang memfasilitasi murid untuk melakukan perubahan sikap dan tindakan melalui pengalaman dan pengetahuan g. Guru mampu menjadi pihak yang

mendorong semua anak untuk mengeluarkan potensinya kemuadian mengarahkan pengembangan potensi murid ke ranah yang lebih luas.

15 16 17 18 19 20 21 7

Untuk keperluan analisis data, data yang diperoleh dari angket perlu ditransformasikan didalam skala interval dengan menggunakan skala yang berisi 5 tingkat jawaban menegenai kesetujuan atas pertanyaan yang disediakan peneliti, adalah : SS = Sangat Setuju (Nilai 5), S = Setuju (Nilai 4), Rg = Ragu-Ragu (Nilai 3), TS = Tidak Setuju (Nilai2), ST = Sangat Tidak Setuju (Nilai 1). 49

49


(62)

1. Validitas

Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (ukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat dipergunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur.

Nurkanca (1992:141) menyatakan bahwa suatu alat pengukur dapat dikatakan alat pengukur yang valid apabila alat pengukur tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur secara tepat. Dalam hal pengukuran, khususnya dalam pendiidkan tentunya yang terpenting adalah informasi hasil ukur yang benar. Jika tidak benar atau kurang tepat, maka kesimpulan yang diambil juga tidak benar.50

Konsep validitas tes dapat dibedakan atas tiga macam yaitu validitas isi, validitas konstruk dan validitas empiris atau validitas kriteria. Sedangkan untuk isntrumen yang nontest yang digunakan untuk mengukur sikap cukup memenuhi validitas konstruksi. Menurut Sutrisno Hadi, instrument yang memiliki validitas konstruk, jika instrumen tersebut dapat digunakan mengukur efektivitas kerja, maka perlu didefinisikan terlebih dahulu apa itu efektivitas kerja. Setelah itu disiapkan instrument yang digunakan untuk mengukur efektivitas dengan definisi. Untuk melahirkan definisi, maka diperlukan teori-teori atau digunakan pendapat para alhi. Dalam hal ini setelah instrument dikonstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu, maka selanjutnya dikonsultasikan dengan ahli.

50


(63)

Para ahli diminta pendapatnya tentanng instrument yang telah disusun. Jumlah tenaga ahli yang digunakan minimal tuga orang dan umumnya mereka yang telah bergelar doctor sesuai dengan lingkup yang diteliti.

Setelah pengujian konstruksi dengan para ahli dan berdasarkan pengalaman empiris di lapangan selesai, maka diteruskan dengan uji coba instrument. Instrumen tersebut dicobakan pada sampel dari mana populasi diambil. Setelah data ditabulasikan, maka pengujian validitas konstruk dilakukan dengan analisis faktor, yaitu dengan mengkorelasikan antar skor item instrument dalam suatu faktor, dan mengkorelasikan skor faktor dengan skor total.

Seperti telah dikemukakan bahwa, analisis faktor dilakukan dengan cara mengkorelasikan jumlah faktor dengan skor total. Bila korelasi tiap faktor tersebut positif dan besarnya 0.3 keatas maka faktor tersebut merupakan konstruk yang kuat. Jadi berdasarkan analisis faktor itu dapat disimpulkan bahwa instrument tersebut memiliki validitas konstruksi yang baik.

Selanjutnya untuk menghitung korelasi antara masing-masing butir pertanyaan dengan skor total memakai rumus tehnik korelasi product moment, yang rumusnya seperti berikut :

N. ∑ xy –∑x ) ( ∑y ) r xy =


(64)

r : koefisien validitas X : skor pada subyek item n Y : skor total subyek

XY : skor pada subyek item n dikalikan skor total n : banyaknya subyek

Koefisien korelasi ini merupakan koefisien validitas. Jiak koefisien korelasi hitung lebih besar dari koefisien korelasi table maka butir pertanyaan tersebut dinyatakan valid.51

2. Reliabilitas

Hasil ukur dipercaya apabila dalam beberapa kali pengukuran terhadap subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama. Untuk mencari reliabilitas alat ukur efektivitas kepemimpinan transformasional terhadap peningkatan budaya pembelajaran digunakan rumus alpha. Penggunaan rumus alpha ini didasarkan pada pertimbangan bahawa rumus alpha ini digunakan untuk mencari reliabilitas instrumen yang datanya interval misalnya angket atau soal bentuk uraian.52

51

Warsono Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1982), h. 132

52


(65)

Reliabilitas Alpha

Rumus untuk varian total dan varian item

2 t s =

n

X

X

t t

n 2 2 2

2 i s =

n

JK

JK

i S

n  2

Dimana :

JKi = jumlah kuadrat seluruh skor item JKs = jumlah kuadrat subyek

Menurut Azwar bahwa tinggi rendahnya reliabilitas secara empirik ditunjukan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Semakin tinggi koefisisen korelasi antara hasil ukur dari dua alat yang paralel berarti

R11 =

                 

2 2 1 1 t i s k k

s

Keterangan :

R11 = Reliabelitas instrument

K = Banyaknya butir pertanyaan

s

i2

mean kuadrat kesalahan

2

t s

= varian total

2 1


(66)

konsistensi antara keduanya semakin baik. Biasanya koefesien reliabilitas berkisar antara 0 sampai 1,00, jika koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya.53

F. Tehnik Analisis Data

Jenis data dan skala pengukuran menentukan tehnik analisis data yang dapat digunakan. Jenis data terbagi menjadi dua yaitu data kuantitatif dan data Kualitatif. Disini penulis menggunakan data Kuantitatif, yaitu data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang telah diberi skor/nilai.54

1. Analisis data kuantitatif

Untuk menguji hipotesis asosiatif/hubungan karena data berbentuk interval, maka digunakan korelasi Product Moment.

Untuk menganalisa data yang telah diperoleh melalui observasi, interview, dan penyebaran kuisioner, dan semua data dihimpun, maka penulis menggunakan langkah selanjutnya yaitu menganalisa data. Pada tahap ini dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang diajukan dalam penelitian. Dalam hal ini metode yang digunakan adalah untuk memperoleh jawaban tentang efektivitas kepemimpinan

53Ibid

, h. 354

54


(1)

Aliyah Darul Ulum. Hal ini berarti efektivitas kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap peningkatan budaya pembelajaran.

Sedangkan, berdasarkan harga koefisien sebesar 0.531, di mana harga korelasinya bersifat positif, artinya semakin tinggi efektivitas kepemimpinan transformasional, maka semakin tinggi pula peningkatan dalam penerapan budaya pembelajaran di Madrasah Aliyah Darul Ulum.

1. Pembahasan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini membuktikan adanya hubungan antara kepemimpinan transformasional dengan budaya pembelajaran. Dengan demikian hasil perhitungan data yang telah diperoleh dari lapangan, terlihat adanya hubungan yang positif dan signifikansi antara Kepemimpinan Transformasional dengan Budaya Pembelajaran di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa peningkatan budaya pembelajaran disebabkan dari faktor-faktor yang lain diluar dari penelitian ini.

Dengan demikian dapat disimpulkan jika ingin meningkatkan budaya pembelajaran maka yang harus diperhatikan keefektifan kepemimpinan transformasional yang digunakan Kepala Madrasah sebagai gaya kepemimpinannya, dengan begitu jika efektivitas kepemimpinannya tinggi maka akan mempengaruhi terhadap peningkatan budaya pembelajaran.


(2)

Meskipun dalam artian yang sesungguhnya banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan budaya pembelajaran, namun dari hasil penelitian ini dapai kita ketahui bersama bahwa Kepemimpinan Transformasional (variabel x) dengan Budaya Pembelajaran (variabel y) memiliki hubungan yang signifikan. Ini dapat menjadi masukan bagi para praktisi pendidikan di luar Madrasah Aliyah Darul Ulum ataupun para staff pengajar di Madrasah Aliyah Darul Ulum guna meningkatkan kualitas gurunya melalui peningkatan budaya pembelajaran, karena sebagian besar guru menjawab pada kuisioner, jika budaya pembelajaran sangat berdampak positif terhadap para guru.


(3)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil data penelitian yang telah diuraikan pada Bab sebelumnya tentang hubungan antara kepemimpinan transformasional dengan budaya pembelajaran, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Berdasarkan teori, data, dan fakta yang ada di lapangan terdapat hubungan yang baik antara efektivitas kepemimpinan transformasional Kepala Madrasah terhadap peningkatan budaya pembelajaran di Madrasah Aliyah Darul Ulum Kureksari Sidoarjo.

2. Hasil penelitian yang diperoleh melalui rumus statistic product moment bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara kepemimpinan transformasional dengan budaya pembelajaran, hal ini dapat dilihat dari hasil yang diperoleh.

B. Saran

1. Kepala Madrasah sebaiknya mengawasi secara langsung berlangsungnya MGMP antar guru mata pelajaran di Madrasah Aliyah Darul Ulum, jadi tidak dibawah pengawasan Kepala Urusan. Jika dibawah pengawasan Kepala


(4)

Madrasah langsung, agar MGMP antar guru dapat berlangsung lebih efektif lagi.

2. Peneliti menyadari meskipun penelitian in telah selesai menguji ada atau tidaknya hubungan kepemimpinan transformasional dengan budaya pembelajaran, akan tetapi tidak hanya dari faktor kepemimpinan trasformasional saja yang dapat mempengaruhi peningkatan budaya pembelajaran, namun semangat dari dalam diri para guru juga sangat penting dalam menjalankan budaya pembelajaran. Karena jika tidak ada semangat, maka budaya tidak akan bisa berjalan dengan baik. Selain itu banyak faktor lain yang ikut menjembatani terciptanya budaya pembelajaran, untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Asmuni Jamal Ma‟mur. 2012. Tips Menjadi Kepala Sekolah Profesional.

Yogyakarta: Diva Press.

As-Safa Burhan. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: Rieneka Cipta.

Danim Sudarwan, Suparno. 2009. Manajemen dan Kepemimpinan Transfomasional Kepala Sekolah, Visi, dan Strategi Sukses Era Teknologi, Situasi Kritis, dan Internasional Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

_______. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah; Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.

Daryanto. 2011. Kepala Sekolah sebagai Pemimpin Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media.

Latuconsina Hudaya. 2014. Pendidikan Kreatif,Menuju Generasi Kreatif dan Ekonomi Kreatif di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Mulyatiningsih Endang. 2012. Metode Penelitian Terapan Bidang Pendidikan. Bandung: ALFABETA.

Nawawi Ismail. 2004. Perilaku Organisasi, Teori, Transformasi Aplikasi pada Organisasi Bisnis, Politik, dan Sosial. Jakarta: Mitra Media Nusantara.

Sugiyono. 2010. Statistik untuk penelitian. Bandung: ALFABETA. ______. 2011. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: ALFABETA. Surachmad Warsono. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.

Tampubolon Mahanan. 2008. Perilaku Keorganisasian. Bogor: Ghalia Indonesia. edisi 2.

Umam Khaerul. 2010. Perilaku Organisasi. Bandung: Pustaka Setia.

Umar Husein. 2008. Metode Penellitian Untuk Skrisi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


(6)

Usman Husaini. 2013. Manajemen, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Aksara, Edisi 4.

Wylie Peter, et. al.1997. Karyawan Bermasalah, Kiat Meningkatkan Kinerja Mereka. Jakarta: erlangga. jilid 1.

Artikel dalam Internet: HMI Fia Organisasi. 2013.Teori Kepemimpinan Transformasional

Artikel dalam Internet: Socam.blogspot.com. 2013. Teori efektivitas menurut ahli. http://www.google.com/Dewimarifahunairaddlamp1.pdf

http://www.google.com/felixdeny.wordpress.com/2012/01/07/definisi-kepemimpinan-dan-macam-macam-gaya-kepemimpinan/

http://www.jakartaconsulting.com/01/02/2014/budaya-pembelajaran-dalam-organisasi

http://www.smpn1bantul.net Wikipedia.com/efektivitas-adalah/