Pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta - USD Repository

  

PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA

TERHADAP PENGHAYATAN IMAN UMAT DALAM

PERAYAAN EKARISTI

DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN

YOGYAKARTA

SKRIPSI

  Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

  Oleh: Agustina Erisusanti

  NIM: 051124034 PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  

PERSEMBAHAN

  Dengan sepenuh hati penulisan Skripsi ini kupersembahkan Kepada:

  Kehidupanku yang menakjubkan Bapak Ignatius Sumidi dan Ibu Cicilia Dwi Sutini

  Florentina Fibrianingtyas Bpk. Agustinus Sukarno

  Umat Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

  

Sor Asem Community

  Teman-teman angkatan 2005 tercinta Dosen-dosenku yang tersayang

  Adik-adik angkatan Gregorius Natalius

  

MOTTO

  “Hidup menyisakan perjuangan yang gigih, maka jangan takut menghadapinya”

  ABSTRAK

  Judul skripsi PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA

  

TERHADAP PENGHAYATAN IMAN UMAT DALAM PERAYAAN

EKARISTI DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN diangkat

  berdasarkan ketertarikan penulis pada budaya Jawa khususnya pada inkulturasi kebudayaan Jawa dalam Gereja. Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran adalah satu- satunya paroki di kota Yogyakarta yang masih rutin menggunakan bahasa Jawa dan iringan gamelan Jawa pada Perayaan Ekaristi tiap Minggunya. Unsur-unsur budaya Jawa melekat dan dihidupi oleh umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.

  Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis menguraikan dua hal pokok. Pada bagian pertama, melalui studi pustaka penulis menggali penggunaan iringan gamelan Jawa pada Perayaan Ekaristi. Gamelan Jawa adalah hasil budaya masyarakat Jawa yang pada umumnya dipakai untuk menyajikan karawitan. Mulai pada tahun 1925 gendhing Jawa mulai digunakan dalam liturgi gereja. Setelah tahun 1958 gamelan Jawa dapat digunakan dalam Perayaan Ekaristi namun tidak semua alat musiknya dapat dimainkan. Sekitar tahun 1967 setelah Konsili Vatikan II berlangsung, seluruh alat musik gamelan Jawa dapat dimainkan dalam liturgi Gereja. Pada bagian kedua, penulis menguraikan pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Iringan gamelan Jawa membawa pengaruh positif bagi penghayatan iman dalam Perayaan Ekaristi. Iringan gamelan Jawa membawa umat memasuki suasana khidmad dan tenang untuk mempersiapkan hati bertemu dengan Tuhan dalam Perayaan Ekaristi sehingga mampu memberi daya dan kekuatan dalam kehidupan sehari-hari.

  Untuk mengetahui besarnya pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman, penulis melakukan wawancara pada umat, anggota dewan paroki dan pastor Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Selain itu penulis juga melakukan studi pustaka untuk melengkapi data yang diperlukan.

  

ABSTRACT

  This thesis entitles THE IMPACT OF JAVANESE GAMELAN

  

ACCOMPANIMENT TOWARD THE LIVING FAITH OF THE

CONGREGATION IN THE EUCHARIST IN THE SACRED HEART OF

JESUS PARISH PUGERAN. It is chosen based on the writer’s interest on

  Javanese culture especially on its inculturation in the church. The Sacred Heart of Jesus Parish Pugeran is the only parish that is still using the Javanese gamelan accompaniment and language at every weekly Sunday mass. The elements of Javanese culture are still used by the congregation of this parish.

  Therefore, the writer describes two basic points. At the first part, the writer discovers the use of Javanese gamelan accompaniment during the Eucharist by an investigation of the literature about Javanese gamelan music. Javanese gamelan is a product of Javanese people's culture, commonly used as karawitan. Since 1925, Javanese sacred tunes have been used in the church's liturgy. After 1958, the Javanese gamelan orchestra partly has been used in the celebration of Eucharist. Round the year 1967, after the Second Vatican Council, all the instruments of the Javanese gamelan can be played in the Catholic liturgy. At the second part, the writer describes the impact of Javanese gamelan accompaniment toward the living faith of the congregation during the Eucharist in the Sacred Heart of Jesus Parish Pugeran. The accompaniment of Javanese gamelan brings a positive influence to the living faith of the Eucharist. It creates a meditative and sacred atmosphere in the church so that the celebrations give strength and faith into the hearts to meet God in the Eucharist and in daily lives.

  The writer interviewed a couple of people among the congregation, the members of the parish’ council and the parish priest of the Sacred Heart of Jesus Parish Pugeran to know the impact of the accompaniment of Javanese gamelan onto the living faith of the faithful. The writer also made a bibliographical study the complete the needed data.

KATA PENGANTAR

  Ribuan terima kasih yang tidak terhingga atas hidup dan Kasih Karunia Allah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi berjudul

PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA TERHADAP PENGHAYATAN

  

IMAN UMAT DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI HATI

KUDUS YESUS PUGERAN YOGYAKARTA ini dengan baik.

  Skripsi ini ditulis berangkat dari ketertarikan penulis pada inkulturasi budaya khususnya budaya Jawa dalam Gereja. Bentuk bangunan gereja, ornamen- ornamen dalam gereja, pakaian liturgi serta kesenian Jawa membantu umat untuk semakin menghayati imannya sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran merupakan satu-satunya Paroki di kota Yogyakarta yang tetap melestarikan budaya Jawa hingga saat ini. Salah satu hasil budaya yang tetap dipertahankan keberadaannya dan penggunaannya adalah gamelan Jawa. Gamelan Jawa memberikan peran positif untuk menciptakan suasana hening dan khusuk bagi umat yang berdoa. Gamelanpun memiliki nilai dan makna filosofis yang kuat bagi masyarakat Jawa. Diharapkan dengan masuknya unsur-unsur budaya setempat iman umat semakin mengakar dan kokoh. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

  1. Rm. Karl Edmund Prier, SJ Lic. Phil selaku dosen pembimbing utama yang senantiasa membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan senantiasa

  2. Drs. FX. Heryatno Wono Wulung SJ, M.Ed sebagai dosen pembimbing ke dua sekaligus Dosen Pembimbing Akademik, terimakasih atas inspirasi yang telah romo berikan baik dalam perkuliahan ataupun saat membimbing skripsi.

  3. Bapak Yoseph Kristianto, SFK selaku dosen pembimbing ke tiga yang telah membantu penulis, memberikan semangat yang tak kan ada habisnya.

  4. Seluruh umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.

  5. Segenap dosen dan karyawan Prodi IPPAK yang telah membimbing dan membantu penulis selama kuliah 4,5 tahun di IPPAK.

  6. Kedua orang tua Bapak Ignatius Sumidi, Ibu Cicilia Dwi Sutini dan saudaraku satu-satunya Florentina Fibrianingtyas atas hidup yang indah yang telah penulis rasakan selama ini juga atas semangat yang senantiasa penulis dapatkan lewat senyum kalian.

  7. Romo Suhardiyanto SJ, yang telah mengijinkan penulis tinggal di pondok asem sehingga proses studi dapat berjalan dengan lancar dan mendapatkan suatu semangat tak terhingga dari teman-teman yang selalu datang dan bekerja dengan keras di tempat ini.

  8. Semua teman-teman angkatan 2005 baik yang masih bertahan, sudah lulus ataupun yang sempat meninggalkan kami, terima kasih atas semangat yang senantiasa diberikan, atas semua kehangatan cinta dan persahabatan yang terjalin di IPPAK.

  9. Semua teman yang tergabung dalam Sor Asem Community terima kasih untuk

  10. Dominikus yang banyak membantu penulis dan memberi dorongan serta semangat selama 4 tahun ini.

  11. Semua teman yang pernah bekerja dengan penulis yaitu Tim Sexen 2006, Sexen 2007, Sexen 2009, Tim Van Lith 2007-2008, Tim Retret Regina Pacis, dan Gregorius Natalius, terimakasih atas dukungan, kerja keras dan kenangan indah yang senantiasa memacu penulis.

  12. Yohanes Itto, terimakasih untuk semangat dan dukungan yang tak pernah habis meskipun tak pernah lagi bertemu.

  13. Semua pihak yang tidak dapat penuliskan satu per satu.

  Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak mengalami kekurangan. Untuk itu dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan penulisan ini. Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya

  Yogyakarta, 9 September 2009 Penulis,

  Agustina Erisusanti

  

DAFTAR ISI

  JUDUL .................................................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................................... ii PENGESAHAN ................................................................................................... iii PERSEMBAHAN ................................................................................................. iv MOTTO ................................................................................................................. v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................... vi PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA .................................. vii ABSTRAK .......................................................................................................... viii ABSTRACT.......................................................................................................... ix KATA PENGANTAR ........................................................................................... x DAFTAR ISI....................................................................................................... xiii DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xvi

  BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar Belakang Penulisan........................................................................... 1 B. Rumusan Masalah...................................................................................... 5 C. Tujuan Penulisan........................................................................................ 5 D. Manfaat Penulisan...................................................................................... 5 E. Metode Penulisan....................................................................................... 6 F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 7 BAB II PENGGUNAAN IRINGAN GAMELAN JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI......................................................................... 9 A. Gamelan Jawa .......................................................................................... 10 1. Deskripsi Gamelan Jawa.................................................................... 10 2. Sejarah dan Perkembangan Gamelan Jawa........................................ 12 3. Jenis dan Komponen Gamelan Jawa.................................................. 17

  a. Alat yang Memainkan Balungan.................................................... 17

  b. Alat yang Menunjukkan Struktur Kalimat...................................... 20

  5. Gendhing............................................................................................ 24 B. Paduan Suara............................................................................................ 25 1.

  BAB III PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA TERHADAP PENGHAYATAN IMAN UMAT DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN YOGYAKARTA......................... 49 A. Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ........................................................... 50 1. Letak dan Wilayah Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran....................... 50 2. Sejarah Singkat Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran........................... 55

  Hati Kudus Yesus Pugeran ................................................................ 65 B. Pengaruh Iringan Gamelan Jawa bagi Penghayatan Perayaan Ekaristi ... 71 1.

  e. Masa Sesudah Konsili Vatikan II................................................... 63 3. Penggunaan Gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Paroki

  d. Sebelum Konsili Vatikan II............................................................ 59

  c. Sesudah Perang Dunia II ................................................................ 58

  b. Masa Pendudukan Jepang/ Sebelum Perang Dunia II.................... 57

  a. Sebelum Kemerdekaan................................................................... 55

  Masuknya kebudayaan setempat dalam liturgi .................................. 42 2. Penggunaan Iringan Gamelan Jawa dalam Liturgi ............................ 46

  Sejarah Singkat paduan Suara............................................................ 25 2. Fungsi Paduan Suara dalam Gereja Katolik....................................... 26 C. Perayaan Ekaristi...................................................................................... 27 1.

  Penggunaan Iringan Gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi ................. 42 1.

  d. Ritus Penutup ................................................................................. 35 3. Peran Serta Umat dalam Perayaan Ekaristi........................................ 36 4. Makna Ekaristi dalam Hidup Sehari-hari........................................... 41 D.

  c. Liturgi Ekaristi ............................................................................... 33

  b. Liturgi Sabda.................................................................................. 32

  a. Ritus Pembuka................................................................................ 30

  Pengertian Sakramen ......................................................................... 27 2. Tata Perayaan Ekaristi dalam Gereja ................................................. 28

  Mengalami Kehadiran Allah Melalui Iringan Gamelan Jawa............ 72

  3. Unsur Budaya Jawa memberi Daya yang membawa pada Relasi lebih Mendalam....................................................................... 75 4.

  Gerakan Batin yang Terjadi pada Perayaan Ekaristi.......................... 77 5. Hal-Hal yang Diperoleh dalam Perayaan Ekaristi ............................. 79 6. Unsur-Unsur Budaya Jawa sebagai Saran Pewartaan Karya Allah ... 80 C. Usaha Pengembangan Penggunaan Iringan Gamelan Jawa Guna

  Membantu Umat Menghayati Iman Pada Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ........................................................... 81 1.

  Peluang Untuk Mengembangkan Penggunaan Iringan Gamelan Jawa Pada Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ........... 81 2. Hambatan-Hambatan dalam Pengembangan Penggunaan Iringan

  Gamelan Jawa Pada Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.................................................................................... 83 3.

  Usaha yang Akan Dilakukan Untuk Mengembangkan Penggunaan Iringan Gamelan Jawa yang Membantu Penghayatan Iman Umat Dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ....... 85

  4. Usulan Katekese Untuk Kaum Muda.................................................. 87

  BAB IV PENUTUP ........................................................................................... 113 A. Kesimpulan ............................................................................................ 113 B. Saran....................................................................................................... 115 Daftar Pustaka .................................................................................................... 117 Lampiran ............................................................................................................ 119

Lampiran 1: Surat Keterangan Penelitian ..................................................... (1)

Lampiran 2: Surat dari Mgr. A. Soegijapranata, SJ ...................................... (2) Lampiran 3: Hasil Wawancara...................................................................... (4) Lampiran 4: VCD “Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran” ............................ (21)

DAFTAR SINGKATAN A.

   Singkatan Kitab Suci

  Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci

  

Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat . (Dipersembahkan

  kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA III). Ende: Arnoldus, 1981, hal 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

  CT : Chatechesi Tradendae LG : Lumen Gentium PUMR : Pedoman Umum Missale Romanum SC : Sacrosanctum Concilium GS :Gaudium et Spes C.

   Daftar Singkatan Lain

  Art : Artikel DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta dll : dan lain-lain G 30 S/ PKI : Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia HUT : Hari Ulang Tahun

  ISI : Institut Seni Indonesia

  MAWI : Majelis Agung Wali Gereja Indonesia Mgr. : Monseigneur MSF : Missionaris Sanctae Familiae PML : Pusat Musik Liturgi PNS : Pegawai Negeri Sipil Pr : Praja Rm : Romo Sdr. : Saudara SJ : Society of Jesus SMP : Sekolah Menengah Pertama

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekaristi merupakan sumber dan puncak hidup Kristiani (LG artikel 11). Sebagai sumber hidup Kristiani, Ekaristi memiliki makna yang sangat dalam. Dengan

  ikut serta dalam kurban Yesus Kristus, umat Kristiani memperoleh kekuatan rohani untuk kehidupan selanjutnya. Perayaan Ekaristi menjadi puncak karya keselamatan Allah bagi manusia melalui kurban Yesus yang dirayakan. Kristus sungguh hadir dalam Perayaan Ekaristi melalui tubuh dan darah-Nya yang digambarkan dalam rupa roti dan anggur. Dalam perayaan Ekaristi Kristus sendirilah yang hadir dan menjadi sumber keselamatan melalui sabda yang diwartakan. Hal itu ditegaskan dalam dokumen Ad Gentes atrikel 9 “melalui sabda yang diwartakan dan perayaan sakramen, yang pusat dan puncaknya Ekaristi maha kudus, Gereja membuat Kristus, sumber keselamatan, menjadi hadir”. Tidak hanya dalam wujud roti dan anggur serta sabda yang dibacakan dalam perayaan Ekaristi, Kristus pun hadir dalam diri para pelayan Ekaristi serta umat sendiri.`Perayaan ekaristi merupakan pengungkapan iman Gereja sehingga seluruh umat Allah yang hadir turut serta ambil bagian secara sadar dan aktif.

  Perayaan Ekaristi yang bersumber pada peristiwa perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-Nya sebelum ia menderita sengsara dan wafat di kayu salib dilaksanakan oleh seluruh umat Katolik di penjuru dunia. Ekaristi sebagai perayaan itu perayaan Ekaristi tidak dapat begitu saja dilepaskan dari kebudayaan masyarakat setempat. Unsur-unsur budaya yang dimiliki oleh umat digunakan dalam rangkaian perayaan Ekaristi yang bertujuan membantu umat menghayati iman sesuai dengan budaya yang dihidupinya. Perayaan Ekaristi yang dilakukan dengan menggunakan unsur-unsur budaya Eropa belum tentu dapat diterima dan dihayati oleh umat yang berada di wilayah Asia karena bahasa, simbol, kesenian yang digunakan dalam liturgi tidaklah sama. Semua unsur budaya tersebut adalah sarana dan bukanlah tujuan yang ingin dicapai dalam menghayati misteri keselamatan Tuhan dalam perayaan Ekaristi.

  Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku dan budaya. Masing-masing budaya memiliki kekhasan dan nilai yang sungguh dihidupi oleh masyarakat setempat tak terkecuali dalam hal peribadatan. Perayaan Ekaristi di Indonesia dilaksanakan dengan menggunakan unsur-unsur budaya setempat misalnya bahasa daerah, simbol-simbol, seni musik, seni tari, dan lagu-lagu dengan gaya daerah tertentu. Daerah Jawa khususnya di Keuskupan Agung Semarang hingga saat ini masih menggunakan unsur-unsur budaya Jawa dalam liturgi, meskipun di banyak tempat unsur-unsur itu perlahan-lahan mulai pudar. Sebagian umat di Keuskupan Agung Semarang menggunakan bahasa Jawa, nyanyian berbahasa Jawa, iringan gamelan Jawa, tarian Jawa dalam perayaan Ekaristi dan lain-lain.

  Seiring dengan berjalannya waktu, kebudayaan manusia mengalami perkembangan dan perubahan. Banyak unsur-unsur kebudayaan tradisional yang perlahan-lahan ditinggalkan sehingga banyak orang jaman sekarang khususnya kaum muda kurang memahami kebudayaan daerahnya sendiri. Demikian pula halnya yang umat menghayati imannya perlahan-lahan mulai luntur dan jarang digunakan lagi. Hal itu sangat terasa di daerah perkotaan seperti kota Yogyakarta. Jika sepintas diamati, perayaan Ekaristi yang menggunakan unsur budaya Jawa seperti bahasa Jawa hanya ada satu kali dalam satu minggu yaitu misa pertama di beberapa paroki di kota Yogyakarta. Saat ini juga tidak banyak gereja di kota Yogyakarta memiliki alat musik gamelan Jawa yang dipergunakan setiap minggunya. Peminat misa dengan bahasa dan iringan gamelan Jawa pun terasa kurang. Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya umat yang menghadiri perayaan Ekaristi dibandingkan dengan perayaan Ekaristi dengan bahasa Indonesia. Alasan yang biasanya dikemukakan khususnya oleh kaum muda adalah kurang pahamnya mereka akan bahasa Jawa, kurang minatnya mendengarkan iringan gendhing yang dirasa lambat dan membosankan sehingga membuat misa berlangsung lebih lama dari biasanya. Di sisi lain, saat ini banyak gereja menggunakan liturgi dengan gaya yang lebih modern, dengan pilihan lagu modern, dan alat musik pendukung yang juga modern. Tampaknya ini menjadi alternatif bagi umat yang tidak lagi memahami budaya tradisional yang sudah ada. Padahal sebagai masyarakat Jawa, sudah selayaknya unsur-unsur tradisi tersebut membantu penghayatan iman, bukan ditinggalkan begitu saja. Setiap orang memiliki latar belakang yang menjadi sebuah identitas bagi orang tersebut. Salah satu identitas tersebut adalah tradisi kebudayaannya sendiri. Meskipun sebagai kaum muda terkadang kurang paham dengan tradisi kebudayaannya, namun hal itu menjadi identitas yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Dimanapun berada identitas sebagai orang Jawa melekat pada diri orang tidak bisa dihapuskan. Oleh sebab itu sudah

semestinya sebagai orang Jawa, kaum mudapun harus mengenal dan mengerti akan kebudayaan tradisinya.

  Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran adalah satu-satunya paroki di kota Yogyakarta yang masih rutin menggunakan iringan gamelan pada misa tiap hari minggunya. Hal ini merupakan keunikan dan kekhasan tersendiri yang dimiliki oleh Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Bangunan gedung gereja Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran dibangun dengan corak Jawa. Selain itu hal penting yang hingga kini dipertahankan sekaligus menjadi kekhasan gereja Hati Kudus Pugeran adalah dalam hal liturgi dengan digunakannya bahasa Jawa dan iringan gamelan Jawa. Inkulturasi ini dimantapkan sejak tahun 1958 oleh Romo E. Hardjawardjaya, Pr bersama dengan F. Atmadarsana, C. Hardjasoebrata, dll. Dengan sarana-sarana tersebut umat Katolik diharapkan senantiasa dapat dengan sungguh-sungguh beriman Kristiani dan berakar pada kebudayaannya. Dari satu pihak umat tetap hidup dalam kesatuan dengan Gereja universal dan dari lain pihak tetap hidup dan berakar pada budayanya sendiri. Selain membuat iman umat mengakar dan berdiri kokoh, juga menjadikan Gereja bukanlah sesuatu yang asing tapi merupakan budaya umat sendiri.

  Melihat hal tersebut di atas, tampak adanya suatu keterkaitan antara kebudayaan umat setempat dalam hal ini penggunaan iringan gamelan Jawa dengan penghayatan iman umat akan Kristus di Paroki Pugeran. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk mengetahui bagaimana iringan gamelan Jawa mempengaruhi penghayatan iman umat di Paroki Hati Kudus Pugeran serta seberapa besar iringan gemelan Jawa tersebut berpengaruh dalam perayaan Ekaristi sebagaimana penulis

  

Penghayatan Umat dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus

Pugeran Yogyakarta.

  B. RUMUSAN PERMASALAHAN 1.

  Bagaimanakah penggunaan iringan gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi? 2. Seberapa besar peran iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran?

  C. TUJUAN PENULISAN

  Skripsi ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut: 1. Menjelaskan penggunaan iringan gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi.

  2. Mengetahui peranan iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.

  3. Sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana pendidikan.

D. MANFAAT PENULISAN

  Manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran a. Memberi informasi tentang proses masuknya iringan gamelan Jawa dalam Gereja dan penggunaannya yang berlangsung hingga sekarang.

  b.

  Memberi informasi manfaat iringan gamelan Jawa bagi penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi

2. Bagi Pastor dan Pengurus Dewan paroki Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

  Dengan diketahui seberapa besar pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi, maka selanjutnya dapat dikembangkan usaha-usaha yang dapat semakin memperkembangkan penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi melalui bidang inkulturasi kebudayaan Jawa

3. Bagi Penulis a.

  Memberikan informasi seberapa besar pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.

  b.

  Memberi informasi pentingnya penggunaan unsur-unsur budaya setempat dalam pengembangan penghayatan iman umat yang mendalam.

E. METODE PENULISAN Metode yang penulis gunakan dalan tulisan ini adalah deskriptif analisis.

  Dalam tulisan ini penulis memaparkan proses inkulturasi dalam Gereja khususnya di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Penulis juga menganalisis seberapa besar pengaruh kebudayaan Jawa dalam hal ini adalah iringan gamelan Jawa pada penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta. Dalam penulisan ini penulis juga mencari informasi mengenai inkulturasi budaya Jawa di Paroki Hati Kudus Yesus dengan membaca buku-buku penunjang antara lain Buku Kenangan 60 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran, Buku Kenangan 70 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran, Majalah Warta Musik edisi 04/ 2007, dan Inkulturasi Gamelan Jawa Studi Kasus di Gereja Katolik

F. SISTEMATIKA PENULISAN

  Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

  Bab I PENDAHULUAN Menguraikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II PENGGUNAAN IRINGAN GAMELAN JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI Menguraikan berbagai macam informasi pertama tentang gamelan Jawa yang terdiri dari deskripsi gamelan Jawa, sejarah dan perkembangan gamelan Jawa, jenis dan komponen gamelan Jawa, fungsi iringan gamelan Jawa, gendhing; kedua tentang paduan suara yang terdiri dari sejarah singkat paduan suara, fungsi paduan suara dalam Gereja Katolik; ketiga tentang perayaan Ekaristi yang terdiri dari pengertian Sakramen Ekaristi, Tata Perayaan Ekaristi dalam Gereja, peran serta umat dalam perayaan Ekaristi, makna Ekaristi dalam hidup sehari-hari; keempat tentang penggunaan iringan gamelan Jawa dalam perayaan Ekaristi yang terdiri dari Masuknya gamelan Jawa dalam liturgi, dan penggunaan iringan gamelan Jawa dalam liturgi.

  Bab III PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA TERHADAP PENGHAYATAN IMAN UMAT DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN Menguraikan informasi pertama tentang Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran yang terdiri dari letak paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, sejarah singkat Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, dan penggunaan iringan gamelan Jawa pada Perayaan Ekaristi bagi Penghayatan perayaan Ekaristi yang terdiri dari mengalami kehadiran Allah melalui iringan gamelan Jawa, cara penghayatan iman dipengaruhi oleh usia umat, unsur budaya Jawa memberi daya yang membawa pada relasi lebih mendalam, gerak batin yang terjadi dalam perayaan Ekaristi, hal-hal yang diperoleh dari perayaan Ekaristi, unsur-unsur budaya Jawa menjadi sarana pewartaan karya Allah; ketiga tentang usaha pengembangan penggunaan iringan Gamelan Jawa guna membantu umat menghayati iman pada perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran yang terdiri dari peluang untuk mengembangkan penggunaan iringan gamelan Jawa pada perayaan ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, hambatan-hambatan dalam pengembangan penggunaan iringan gamelan Jawa pada perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, usaha yang akan dilakukan untuk mengembangkan penggunaan iringan gamelan Jawa yang membantu penghayatan iman umat dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, usulan program katekese untuk kaum muda.

  Bab IV PENUTUP Berisi kesimpulan dan saran dari seluruh tulisan yang telah dibuat.

BAB II PENGGUNAAN IRINGAN GAMELAN JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI Pada bab sebelumnya penulis memaparkan latar belakang yang mendasari

  skripsi berjudul PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA TERHADAP PENGHAYATAN IMAN UMAT DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN YOGYAKARTA. Salah satu tujuan penulisan skripsi ini adalah menjelaskan penggunaan iringan gamelan Jawa dalam perayaan Ekaristi. Hal tersebut akan dibahas pada bab ini.

  Gamelan Jawa merupakan hasil budaya masyarakat di daerah Jawa yang berwujud seperangkat alat musik yang terbuat dari tembaga dan kuningan. Secara khusus penulis membahas gamelan sebagai hasil budaya masyarakat Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Gamelan tidak saja merupakan hasil seni tradisional Jawa, melainkan merupakan gambaran filosofis masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi nilai gotong royong, keharmonisan dan kepemimpinan yang dekat dengan masyarakat. Gamelan Jawa pada umumnya berfungsi untuk menyajikan

  

karawitan dan uyon-uyon. Seturut dengan perkembangan, maka gamelan juga

digunakan dalam ibadat di gereja.

  Pada bab II ini penulis memaparkan informasi tentang gamelan Jawa; paduan suara; perayaan Ekaristi; dan Penggunaan Iringan gamelan Jawa dalam perayaan Ekaristi.

A. Gamelan Jawa 1.

  Deskripsi Gamelan Jawa Bagi masyarakat Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain masyarakat Jawa tahu benar apa yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan. Gamelan adalah hasil budaya masyarakat Jawa yang berwujud seperangkat alat musik yang terbuat dari tembaga dan kuningan (Dinas Kebudayaan DIY, 1999:2). Gamelan Jawa adalah salah satu orkes tradisional di Indonesia. Gamelan dalam bahasa Jawa disebut juga gangsa atau dalam bahasa Jawa Kuno disebut pradonggo yang berarti gamelan (Winter, 1983:339). Kebanyakan alat musik gamelan dibuat dari perunggu atau dari besi (Wisnubroto, 1997: 1).

  Menurut Prof. Dr. Mantle Hood (1958: 9) dalam tulisannya , gamelan yang lengkap mempunyai kira-kira memiliki 75 alat dan dimainkan oleh 30 niyaga dengan disertai 10 atau 15 pesinden dan atau gerong.

  Setiap instrumen gamelan terdiri atas wadhah dan isi. Wadhah merupakan tempat untuk meletakkan atau menggantungkan bilah-bilah atau pencon-pencon gamelan. Wadhah tersebut biasanya dibuat dari kayu yang berkualitas tinggi seperti kayu jati dan kayu nangka. Ada berbagai macam bentuk wadhah dalam gamelan atara lain adalah gerobog, rancak, plangkan, gayor, dan pangkon. Sedangkan yang dimaksud dengan pencon adalah bagian dari instrumen gamelan itu sendiri. Bilah dan

  

pencon yang baik kualitasnya dibuat dari perunggu yaitu paduan antara timah putih

(Sn) dan tembaga (Cu) dengan perbandingan antara Sn : Cu = 3:10.

  Bagi masyarakat Jawa gamelan bukan hanya sekedar seperangkat alat musik tersebut. Pandangan hidup masyarakat Jawa akan keselarasan dan keharmonisan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak, serta perwujudan toleransi antar sesama tertuang dalam musik gamelan tersebut. Perwujudan nyata dalam musiknya adalah adanya tarikan rebab yang sedang, paduan yang seimbang antara bunyi kenong, saron, kendang, dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama (Utomo Wiji, accesed on Februari, 7, 2009).

  Alat musik gamelan pada umumnya dimainkan oleh kurang lebih 15 orang. Hal itu disebabkan karena alat musik gamelan dapat berbunyi sebagaimana mestinya jika semua alatnya dimainkan. Demikian halnya dengan masyarakat Jawa, dengan bermain gamelan masyarakat Jawa mengalami suasana kekeluargaan sama halnya dengan orang berkumpul untuk berbicara tentang masalah sehari-hari. Kebersamaan dalam memainkan gamelan merupakan suatu kegiatan gotong royong yang hanya menarik bila dikerjakan bersama-sama. Gotong royong adalah peristiwa sosial yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa. Ciri yang khas dari musik gamelan Jawa adalah heterofoni.

  Heterofoni artinya not balungan (lagu inti pada umumnya dengan nada-nada

  yang sama panjangnya) dimainkan secara lurus oleh saron-saron dan slenthem sebagai cantus firmus dan sekaligus dengan diberi “bunga” seperti teknik imbal dalam permainan bonang atau dengan pola khusus untuk main gender ataupun dengan teknik menghias oleh siter dan gambang (Prier, 2009: 21)

  Dengan begitu semua pemain gamelan membunyikan balungan yang sama namun dengan variasi-variasi yang juga dimainkkan pada waktu yang sama sehingga apa yang dimainkan menjadi satu bunyi yang indah. Dalam permainan gamelan ada semacam dialog antar para pemainnya. Pemain kendhang memberi kode untuk merubah tempo permainan lagu. Dialog dalam permainan gamelan memakai kalimat- kalimat yang diakhiri secara jelas dengan bunyi gong (Prier, 2009: 21) Permainan gamelan sama halnya dengan suatu musyawarah di kampung. Dalam musyawarah semua orang berbicara bersama, mengutarakan maksud dan usulan, meskipun hati masyarakat belum bisa menyatu, namun ada suatu usaha untuk menjalin sebuah persatuan. Pimpinan dalam permainan gamelan dipegang oleh pemain kendhang yang duduk bersama-sama dengan pemain yang lain, sehingga kerjasama antar pemain dapat terjalin dengan mudah. Demikian halnya dengan pemimpin dalam masyarakat Jawa yang tidak jauh dengan masyarakat karena pemimpin amat menyadari bahwa ia membutuhkan dukungan dari rakyat dan pada saat tertentu ia dihormati dan selalu diingatkan bahwa ada bawahan yang tergantung padanya. Pada tulisannya, Prier (2009:22) menyatakan bahwa “tempo musik gamelan klasik umumnya lambat”. Hal ini merupakan suatu gambaran dari hidup sehari-hari masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta yang terkenal sabar. Kesabaran adalah suatu keutamaan dengan menahan emosi, menguasai diri. Hal tersebut merupakan suatu nilai yang luhur dan tinggi dalam tata masyarakat Jawa.

  Alunan nada dalam gamelan Jawa yang lambat, seimbang dan harmonis misalnya suara gong dengan gaung yang dihasilkannya mampu menciptakan suasana tenang yang menggugah hati para pendengar untuk mencari yang transenden, yang tidak nampak namun memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan.

2. Sejarah dan Perkembangan Gamelan Jawa

  Alat musik gamelan Jawa mulai ada sejak jaman pra sejarah. Sekitar tahun 2500-1500 sebelum masehi terjadi suatu perpindahan bangsa dari Asia Tengah ke Asia Tenggara yang disebut Imigrasi Pra-Melayu atau proto Melayu. Perpindahan bangsa-bangsa ini membawa hasil-hasil budaya mereka. Salah satu hasil budaya yang mereka bawa adalah alat musik dari bambu. Setelah mengalami perkembangan beberapa waktu kemudian muncullah alat musik seperti angklung, seruling dan gambang yang termasuk dalam salah satu komponen musik gamelan jawa hingga saat ini (Prier, 2006:74-74).

  Pada abad 4 Sebelum Masehi, kembali terjadi imigrasi besar atau disebut

  

Deutero Melayu yang berpusat di daerah Cina Selatan bernama Annam. Abad 4

  disebut juga dengan jaman perunggu, maka kedatangan orang-orang tersebut membawa pengaruh juga di bidang musik. Diperkirakan bahwa gong-gong yang pertama berasal dari Asia Selatan di Desa Dong Son daerah Annam. Pada penggalian kurang lebih tahun 1930 ditemukan banyak sekali alat dari perunggu, sehingga terbukti bahwa dari sinilah kebudayaan perunggu tersebar tidak hanya ke Indonesia tapi ke seluruh Asia Tenggara. Tangga nada pelog juga ikut dibawa ke Indonesia oleh kelompok proto melayu. Tangga nada pelog ini tersebar di seluruh Asia Tenggara namun kemudian terutama dipelihara di Jawa dan Bali. Gong-gong yang dibawa oleh orang-orang proto Melayu dari Cina Selatan ke Indonesia ditemukan dalam penggalian di Jawa. Gong-gong ini pada jaman dahulu digunakan orang-orang dalam upacara adat antara lain untuk mendatangkan hujan secara magi (Prier, 2006: 75-78).

  Revolusi besar terjadi pada abad pertama dengan dibuatnya kapal-kapal besar intensif. Para pedagang India mendatangi daerah-daerah Indonesia sejak abad 2 dan 3 untuk mencari bahan perdagangan, sehingga pengaruh India di Indonesia menjadi besar terutama dalam hal perdagangan, politik, agama dan kebudayaan. Pada abad ke

  IV Agama Budha masuk ke Indonesia dan mendirikan pusatnya di Sumatera awal abad ke VII dengan nama Kerajaan Sriwijaya dan di Jawa dengan Kerajaan Syailendra pada tahun 750-850. Pada masa itu berkembanglah kebudayaan Jawa berupa musik dan tari, arsitektur dan seni rupa, serta dibangunnya Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Selain tangga nada pelog, dipakai juga tangga nada slendro yang diperkenalkan oleh Dinasti Syailendra pada abad VIII. Perkembangan musik sangat dipengaruhi oleh drama Hindu Ramayana (Prier, 2006: 78-80).

  Pada waktu orang Hindu datang ke Jawa, mereka telah menemukan bermacam-macam alat musik. Dalam relief Candi Borobudur terdapat alat musik lokal maupun alat musik yang diimpor dari India. Musik-musik tersebut adalah gendang, termasuk gendang dari tanah dengan kulit di salah satu sisinya, angklung, alat tiup (semacam hobo), xylofon (bentuknya setengah gambang setengah calung), sapeq, sitar dan harpa dengan 10 dawai, lonceng dari perunggu dalam berbagai macam ukuran, gong, saron, bonang. Alat-alat tersebut mula-mula dimainkan menurut kebiasaan India. Selain itu dari penggalian-penggalian di Jawa Tengah telah ditemukan sejumlah besar bonang, nada-nada gender dan saron, lonceng, gendang, gong-gong namun belum diketahui berasal dari abad berapa. Alat-alat musik ini telah digunakan sebelum jaman Hindu (Prier, 2006: 80).

  Pada akhir jaman Hindu gamelan sudah lengkap seperti sekarang ini hanya

  1520 merupakan jaman kemunduran dan kehancuran Majapahit. Pada tahun itu juga di Malaka terjadi perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang berkuasa sampai di Sumatera. Pada tahun 1511 Malaka direbut Portugis dan masuk pula ke kepulauan Maluku pada tahun 1522. Sementara itu di Jawa berdiri Kerajaan Demak, kerajaan Islam yang pertama. Kesultanan Demak menguasai seluruh Jawa dan sebagian besar kepulauan di luar Jawa. Bersama dengan agama Islam masuk Indonesia, alat musik Arab seperti rebana, gambus dan rebab masuk. Alat musik rebab berkembang dan hingga saat ini senantiasa digunakan untuk memainkan gendhing bersama dengan komponen gamelan yang lain (Prier, 2006: 81).

  Gamelan sebagai alat musik tradisional Jawa dilestarikan dalam dua jalur. Pertama, gamelan dipakai dan dilestarikan sebagai musik rakyat dalam bentuk

  

jathilan, reog, salawatan, rinding, siteran, lesungan , gamelan mulut, gamelan bambu

  atau gumbeng dan lain sebagainya. Kedua gamelan digunakan sebagai musik istana untuk mengiringi tari klasik dan wayang, digunakan sebagai musik sakral (sekaten) serta vokal tunggal berupa Sekar Ageng, Sekar Alit, Macapat, Panembrama dan sebagainya. Selama berabad-abad gamelan dipelihara di keraton sebagai suatu kebiasaan dan fasilitas hidup yang mewah dan mahal. Namun pada umumnya kesenian tidak dinikmati secara pribadi oleh raja sehingga rakyat sering diberi kesempatan untuk ikut menikmatinya pula (Prier, 2009: 22).

  Mulai pada abad 20 orkes gamelan perunggu tak hanya terdapat di keraton tapi juga ditemukan di luar keraton dalam masyarakat pada umumnya. Pada saat itu rakyat berusaha memainkan gamelan dengan cara yang sama seperti di keraton yaitu masih di bawah perlindungan dan dalam ketergantungan dari keraton. Pada tahun 1945 Indonesia mengalami kemerdekaan dan sejalan dengan politik Indonesia yang mulai berkembang maka tradisi dan kehidupan sosial masyarakat Solo dan Yogyakarta pun turut berubah dan berkembang. Hal itu menyebabkan terbentuknya suatu jurang antara tradisi dan perkembangan kontemporer. Tradisi keraton tetap dipelihara, sementara di luar keraton termasuk dalam sekolah dan Gereja gamelan dimainkan dengan adanya kreasi yang baru. Dari situ permainan gamelan dihayati secara sungguh-sungguh sehingga mampu menghubungkan batin dengan roh nenek moyang (Prier, 2009: 23). Perkembangan yang ada pun menimbulkan suatu perubahan yang mencolok. Prier (2009:23) dalam bukunya mengemukakan bahwa

  Bukan rahasia juga bahwa generasi muda merasa tidak tertarik lagi dengan gamelan tradisional. Dunia jaman sekarang dialami berputar lebih cepat daripada hidup di lingkungan Kraton dan musik gamelan klasik. Hidup sederhana dirasa lebih tepat dari pada hidup mewah seperti dapat disaksikan dalam kraton Yogya dan Solo. Adat Jawa makin kurang dikenal oleh generasi muda yang lahir dan tumbuh di kota.

  Seiring dengan perkembangan jaman, musik gamelan Jawa tidak terbatas pada gaya klasik Keraton. Saat ini terdapat bermacam-macam eksperimen kreasi baru misalnya memukul gong tidak pada kepala gong tapi pada bagian lain yang menghasilkan bunyi yang lain pula, memukul kayu rancakan gender, bonang dan sebagainya untuk menciptakan bunyi kotekan. Perkembangan lebih jauh lagi adalah penggunaan tambahan alat musik lain seperti terompet, keyboard, gitar dan lain-lain yang disebut dengan Campursari.

  Campursari mengandung arti campuran dari dua atau lebih sari-sarinya musik. asli. Campursari terdiri dari tiga jenis musik yaitu keroncong, uyon-uyon atau

  

karawitan dan musik diatonis. Ketiga jenis musik tersebut disatukan sehingga

  menjadi bentuk yang harmonis. Banyak orang menyukai jenis musik ini karena ketiga jenis musik campuran ini telah mengakar dalam hati masyarakat (Redaksi Tembi, 2004: 9-10). Musik Campursari ini merupakan suatu cermin dari masyarakat Jawa yang sedang berkembang hingga saat ini (Prier, 2009: 24).

3. Jenis dan Komponen Gamelan Jawa

  Satu perangkat gamelan terdiri dari bagian-bagian alat musik yang memiliki fungsi tertentu dalam memainkan gamelan. Dalam buku Deskripsi Umum Gamelan Jawa (Dinas Kebudayaan DIY, 1999: 4-22), tugas alat-alat musik gamelan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a.

  Alat yang Memainkan Balungan Gamelan Jawa memiliki komponen-komponen pokok yang memainkan balungan dalam sebuah lagu. Komponen-komponen tersebut antara lain adalah: 1)

  Alat Musik Metalofon Komponen gamelan Jawa yang termasuk dalam jenis metalofon memiliki bentuk bilah. Alat musik metalofon ini dibagi dalam tiga jenis yaitu: a)

  Saron Demung Dalam seperangkat gamelan Ageng yang lengkap, terdapat 4 pangkon saron demung. Dari keempat pangkon tersebut, terdapat 2 pangkon untuk laras pelog yang masing-masing berisi 7 bilah dan 2 pangkon yang lain untuk laras slendro yang masing-masing pangkon berisi 6 bilah.

  b) Saron Ricik

  Dalam seperangkat gamelan ageng yang lengkap, terdapat 8 pangkon saron ricik, 4 pangkon di antaranya untuk laras pelog yang masing-masing

  pangkon berisi 7 bilah dan 4 pangkon yang lain untuk laras slendro yang

  masing-masing pangkon berisi 6 bilah

  c) Saron Peking

  Jenis saron ini memiliki bentuk yang lebih kecil dari saron ricik. Saron ini memiliki 2 pangkon untuk laras pelog dan laras slendro.

  2) Gong Kecil

  Gong kecil adalah instrumen gamelan yang berbentuk pencon. Komponen gamelan Jawa yang berbentuk gong kecil ini dibagi dalam 3 jenis yaitu: a)

  Bonang Panembung Bonang penembung adalah ricikan yang berbentuk pencon yang diletakkan di atas rancakan dengan sususan dua deret yakni bagian deret atas yang disebut brunjung dan bagian deret bawah disebut dhempok. Bonang panembung terdiri dari 2 rancak, 1 rancak untuk laras slendro yang berisi 10 pencon dan laras pelog berisi 14 pencon.

  b) Bonang Barung

  Bonang barung memiliki bentuk lebih sedang (lebih kecil) dari bonang penembung. Bonang barung terdiri dari 2 rancak, 1 rancak untuk laras c) Bonang Penerus

  Bonang penerus memiliki bentuk lebih kecil dari bonang barung. Bonang penerus memiliki 2 rancak yaitu satu rancak untuk laras slendro yang berisi 10 pencon dan satu rancak pelog yang berisi 14 buah pencon. 3)

  Alat lembut dengan gema panjang Komponen ini adalah ricikan bentuk bilah berukuran besar yang menggunakan tabung atau bumbungan yang dibuat dari bambu atau seng sebagai resonator. Alat musik ini dibagi dalam 3 jenis yaitu:

  a) Slenthem

  Alat musik slenthem terbagi menjadi dua rancak yaitu satu rancak untuk laras pelog yang terdiri dari 7 bilah dan satu rancak yang lain untuk laras

  slendro yang berisi 6 bilah.

  b) Gender Barung

  Komponen gender barung memiliki tiga rancak yaitu satu rancak untuk laras slendro, satu rancak untuk laras pelog bem dan satu rancak yang lain untuk laras pelog barang yang masing-masing rancaknya biasanya terisi 14 bilah.

  c) Gender Penerus Komponen ini memiliki bentuk lebih kecil dari pada gender barung.

  Gender penerus memiliki tiga rancak masing-masing satu rancak untuk laras slendro, satu rancak untuk pelog barang dan satu rancak yang lain untuk pelog barang yang masing-masing rancak berisi 14 bilah. b.