Masa Depan Pekerjaan Sosial dari berbaga

A. Pendahuluan
Berlandaskan kepada Undang Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial bahkan disebutkan sebagai the primary
profession dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Artinya, Pekerja Sosial
menjadi profesi utama yang berperan dalam pelaksanaan pembangunan
kesejahteraan sosial di Indonesia. Secara konseptual, Pekerja Sosial telah
didefinisikan oleh Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI), Ikatan
Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia (IPPSI), serta lembaga-lembaga
pendidikan Pekerjaan Sosial. Kita juga telah memiliki berbagai perangkat yang
mendukung yaitu lembaga dan asosiasi pendidikan, Asosiasi Pekerja Sosial,
lembaga sertifikasi dan akreditasi, serta Konsorsium Pekerjaan Sosial yang
mewadahi sepuluh pilar organisasi Pekerjaan Sosial atau Kesejahteraan Sosial.

Banyak tantangan yang perlu dihadapi pekerja sosial baik di lingkungan
internal maupun eksternal. Beberapa tantangan tersebut menurut Harry Hikmat
(2013) antara lain:
1) Pertama, Perundang-undangan Praktek Pekerjaan Sosial masih berada pada
tahap pengkajian secara mendalam, masih diperlukan usaha keras untuk
mewujudkannya. Undang-undang ini juga perlu disertai oleh peraturan
pemerintah yang mengatur operasionalisasi pelaksanaan undang-undang.
2) Kedua, Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial (LSPS) maupun

Badan Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial (BALKS) masih
berada pada usia yang sangat muda, masih belum memiliki
mekanisme maupun prosedur kerja yang baku. Selain itu,
lembaga-lembaga ini juga masih memiliki jangkauan
pelayanan secara terbatas. Masih diperlukan komitmen kuat
serta kerja keras dalam mendewasakan lembaga sertifikasi ini.
Kemudian diperlukan juga action plan secara komprehensif
dalam pengembangan lembaga sertifikasi ini.
3) Ketiga, terbatasnya tempat praktek pekerja sosial. Para alumni
pendidikan Pekerjaan Sosial belum sepenuhnnya terjun dalam
bidang praktek Pekerjaan Sosial. Praktek pekerjaan sosial
masih dilakukan sangat terbatas, kurang lengkap, serta kurang
ditunjang oleh sistem evaluasi dan supervisi Pekerjaan Sosial.
Kondisi ini kurang menunjang bagi pelaksanaan praktek
Pekerjaan Sosial yang akuntabel.
4) Keempat, Indonesia adalah negara multikultur. Sedikitnya terdapat 300 etnik
atau suku-bangsa di Indonesia. Kondisi ini mengakibatkan kompleksitas
masalah sehingga menuntut para Pekerja Sosial untuk memiliki kompetensi
Pekerjaan Sosial dengan masyarakat multikultur agar dapat bekerja dengan


1

2

mereka. Hal ini menantang lembaga pendidikan Pekerjaan Sosial untuk juga
responsif terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia.
5) Kelima, rasio jumlah pekerja sosial dengan penyandang masalah kesejahteraan
sosial masih timpang. Saat ini, jumlah pekerja sosial di Indonesia berkisar
15.522 orang yang harus melayani lebih dari 15,5 juta keluarga penyandang
masalah kesejahteraan sosial, artinya satu orang pekerja sosial harus melayani
lebih dari 1000 keluarga penyandang masalah kesejahteraan sosial.
6) Keenam, peran serta masyarakat atau swasta, serta dunia usaha yang belum
mencukupi, mengakibatkan terpusatnya tumpuan pelayanan pada kemampuan
pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial. Kondisi ini
mengakibatkan kurang optimalnya pelayanan yang diberikan. Disamping itu,
sistem politik desentralisasi juga belum berkembang secara positif dalam
mendorong kemampuan pemerintah daerah untuk menyelanggarakan
pelayanan sosial sesuai kebutuhan masyarakat.
7) Ketujuh, Komunitas ASEAN 2015. Terbukanya peluang pasar Pekerja Sosial
antar negara selayaknya menantang Pekerja Sosial Indonesia untuk

meningkatkan profesionalistasnya dan nilai kompetitifnya. Apalagi untuk aspek
kesejahteraan sosial dan perlindungan sosial, para pemimpin negara-negara
ASEAN telah menegaskan “ASEAN is committed to enhancing the well-being
and the livelihood of the peoples of ASEAN through alleviating poverty,
ensuring social welfare andprotection, building a safe, secure and drug free
environment, enhancing disaster resilience and addressing health development
concerns”. Pernyataan tersebut merupakan peluang dan tantangan besar bagi
para Pekerja Sosial Indonesia.

Untuk merespon masalah sosial, kebutuhan terkait pentingnya profesi
pekerjaan sosial, dan tantangan bagi perkembangan pekerja sosial di Indonesia
maka hal yang perlu diperhatikan adalah dengan mengoptimalkan, membangun,
mempertahankan dan meningkatkan kualitas pendidikan pekerjaan sosial yang
sesuai dengan kompetensi dan dapat menjadi agen perubahan yang mampu
merespon isu-isu persoalan atau tantangan-tantangan tersebut.
Isu utama yang dijadikan acuan bahasan pada makalah ini adalah
optimalisasi kompetensi pekerja sosial dalam menyiapkan dirinya untuk
menghadapi tantangan kebijakan RUU Praktik Pekerja Sosial di Indonesia yang
belum disahkan.
B. Pekerja Sosial dengan Pendidikan Pekerjaan Sosial di Indonesia

Pattisiana dalam Edi Suharto, dkk (2011) menyatakan bahwa pendidikan
pekerjaan sosial di Indonesia, dimulai sejak tahun 1950an. Tepatnya yakni dengan
diselenggarakannya pendidikan dua tahun untuk wanita Kristen oleh Badan

3

Pengurus Wanita Kristen (BPWK) pada tahun 1957. Penyelenggaraan pendidikan
ini dikhususkan kepada keterampilan peserta program dalam membantu anak dan
perempuan. Penyelenggaraan pendidikan pekerjaan sosial secara lebih maju
kembali diselenggarakan pada tahun 1960, yakni ketika Akademi Sosial Kristen
(AKS) Widuri menyelenggarakan pendidikan pekerjaan sosial tiga tahun.
Pendidikan ini melibatkan utusan gereja dari seluruh Indonesia, walaupun utusan
pendidikan ini dari kalangan gereja tidak mengakibatkan peran pekerjaan sosial
menjadi sempit. Sebab, para pekerja sosial hasil dari program pendidikan ini tetap
memberikan pelayanan yang universal kepada masyarakat.

Tenaga pengajar pekerjaan sosial Indonesia yang mendidik di luar negeri
dan didukung oleh sejumlah pekerja sosial dan berbagai lembaga kerja sama
gereja di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia dengan intensif mengacu proses
pendidikan di STISIP Widuri. Demikian juga halnya dengan tenaga-tenaga

pendidik dari kalangan pemerintah dan perguruan tinggi negeri yang lain. Fokus
pendidikan pekerjaan sosial saat itu dan dalam perkembangannya sampai sekarang
diletakkan pada aspek Praktikum yang tersupervisi bagi mahasiswa agar mereka
dapat mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilannya serta nilai-nilai profesi
di berbagai lembaga pelayanan sosial. Ada banyak pula institusi lain yang
menyelenggarakan pendidikan pekerjaan sosial, seperti STKS Bandung atau
Universitas Muhammadiyah Jakarta pada tahun 1960an.

Praktik pekerjaan sosial juga pada masa-masa awal sudah diselenggarakan
di Indonesia. Namun demikian dilakukan secara individual dan keluarga dan
berbasis institusi. Pelaksanaan praktik ini belum terorganisir secara baik. Jika pun
sudah terorganisis, dalam konteks ini belum mengenal dan mempraktikan
pekerjaan sosial secara definitif. Misalnya Muhammadiyah sejak tahun 1912an
telah menyelenggarakan praktik pekerjaan sosial, namun tidak menamakan
kegiatannya sebagai pekerjaan sosial. Akan tetapi, Muhammadiyah diakui sebagai
pelopor penting penyelenggaraan pekerjaan sosial di Indonesia pada masa-masa
awal. Dewasa ini, perkembangan Pekerjaan Sosial berlangsung cepat. Sony A.
Nulhaqim (2013) menyatakan bahwa level pendidikan pekerja sosial di Indonesia
dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 1.1

Tingkatan Pendidikan Pekerjaan Sosial di Indonesia
N
o
1
2
3

NQF

Academic

Applied

Profesi

Level 9
Level 8
Level 7

Doctor

Master
-

Applied Doctor
Applied Master
-

Specialist 2
Specialist 1
Profession

4

4
5

Level 6
Level 5

Bachelor

-

-

Diploma IV
Diploma III

Sumber: LSPS, 2013
Dalam meningkatkan kualitas pendidikan pekerjaan sosial, sebuah sistem
pendidikan pekerjaan sosial sangat penting bagi pekerja sosial untuk memiliki
kompetensi yang sesuai dengan standar. Pada saat ini, di Indonesia terdapat 37
(tiga puluh tujuh) perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi
Pekerjaan Sosial atau Kesejahteraan Sosial, baik yang dimiliki pemerintah
maupun swasta yang diikat dalam Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial (IPPSPI).

Perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi Pekerjaan Sosial
atau Kesejahteraan Sosial pada saat itu telah berkembang pesat sejak tahun 1975,
terus bertambah keanggotaannya serta semakin menguat. Anggota IPPSI telah
mengembangkan praktik pekerjaan sosial secara terstruktur dan berlandaskan ilmu
pekerjaan sosial, tentunya pendidikan pekerjaan sosial ini mengembangkan

standar yang khas pekerjaan sosial. IPPSI menyepakati standar pendidikan
pekerjaan sosial dan praktik pekerjaan sosial. standar ini adalah body of
knowledge, body of skills, dan body of values yang dibangun bersama demi
pengembangan standar kurikulum minimal dalam pendidikan pekerjaan sosial di
Indonesia.

Rudy S. Darwis (2013) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas
pendidikan pekerjaan sosial maka hal yang perlu diperhatikan adalah kompetensi
dan spesialisasi dengan semua aspek gencar dalam melakukan kompetensi dan
spesialisasi serta diperlukan penyusunan kompetensi kurikulum. Selain
kompetensi dan spesialisasi, hal lain yang diperlukan adalah Input of Students for
each level education, kualifikasi dosen, hubungan dengan universitas, jaringan
IPPSPI, serta regulasi hukum di sistem pendidikan pekerja sosial.

Dalam perkembangannya praktik pekerjaan sosial di Indonesia mulai fokus
pada praktik yang bersifat makro. Misalnya dalam setting masyarakat
melaksanakan community organization (CO) dengan mengorganisasikan
masyarakat atau menggalang kerja sama dengan kelompok masyarakat. Praktik
semacam ini adalah sebagai pengaruh dari trend pembangunan masyarakat yang
berasal dari forum-forum internasional yang diakui oleh tenaga-tenaga pengajar di

bidang pekerjaan sosial. Adapun orientasi dari model ini adalah adanya kerja sama
antara sesama masyarakat dan kehidupan yang didasarkan pada gotong royong.

5

Pelaksanaan praktik pekerjaan sosial di Indonesia yang tidak begitu
berkembang dengan baik pada masa-masa awal antara lain diakibatkan adanya
sistem natural helping profession. Tingginya semangat gotong royong dan kasih
sayang antar sesama manusia yang ada di Indonesia, menjadikan masing-masing
masyarakat gemar memberikan pertolongan. Kondisi ini menjadikan pekerjaan
sosial seolah-olah kurang dibutuhkan. Walaupun, untuk masa sekarang ini sangat
diperlukan profesi yang profesional dalam bidang pekerjaan sosial untuk
menangani masalah sosial tersebut.

Perlu diakui bahwasanya ilmu pekerjaan sosial bukan berasal dari
Indonesia. Sehingga sangat diperlukan adanya kontekstualisasi khususnya
terhadap teori-teori ataupun nilai-nilai yang mendasari praktik. Dalam usaha
kontekstualisasi inilah, tampaknya diperlukan bagi pekerja sosial di Indonesia
untuk menjadikan praktik-praktik terbaik yang pernah dilakukan di Indonesia
sebagai pelajaran atau dasar dalam upaya pengembangan praktik.


Praktik terbaik ini perlu mendapatkan perhatian khusus, misalnya
dikembangkan secara keilmuan sehingga diperoleh suatu teori yang relevan
dengan kondisi dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam, karena
keefektifan praktik pekerjaan sosial justru terletak pada manusia dan konteks
lingkungannya. Artinya pengembangan dari medical ke social model, yang
menekankan pengaruh kekuatan-kekuatan individu maupun ekternal yang
mempengaruhi kehidupannya, lebih banyak digali dan didayagunakan untuk
mendukung penyelesaian masalah. Jika hal ini mampu dilakukan, bukan tidak
mungkin pekerjaan sosial di Indonesia akan berkembang pesat, sebab pekerjaan
sosial menjadi profesi yang benar-benar mengakar di masyarakat.

C. Pekerja Sosial: Agen Perubahan dalam Menghadapi Tantangan Era
Globalisasi
Era globalisasi yang terjadi sekarang ini sungguh sangat luar biasa
eksistensinya terhadap kehidupan manusia. Era globalisasi dalam dunia teknologi
dan informasi (IT) dapat dirasakan manfaat dan dampaknya terhadap kehidupan
manusia tersebut. Hampir tidak ada batas waktu, antara belahan dunia Utara dan
Selatan, Timur dan Barat, dan lain sebagainya. Semua dengan mudah diakses,
tidak lagi dalam hitungan jam tetapi menit bahkan detik. Peristiwa yang terjadi di
belahan dunia Barat dapat langsung diakses oleh belahan dunia Timur dan
sebaliknya. Dampaknya, permasalahan yang terjadi di belahan dunia Barat
langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi dan berdampak pada belahan
dunia Timur dan sebaliknya. Artinya tidak ada suatu negara yang dapat tidak
terpengaruh oleh perubahan negara lainnya. Negara yang dapat memanfaatkan

6

teknologi akan menguasai dunia dan sebaliknya negara yang tidak bisa menguasai
akan tertinggal dan tertindas. Pertanyaan sekarang apakah pekerja sosial tersebut
mampu memanfaatkan teknologi informasi tersebut dalam rangka pengembangan
eksistensi profesi pekerjaan sosial.

Dalam perkembangan ekonomi juga terjadi hal yang sama. Munculnya
perdagangan bebas, sekalipun konteks blok-blok seperti yang terjadi pada
beberapa kelompok negara, seperti: Uni Eropa (European Union) yang terjadi di
Eropa, NAFTA (North American Free Trade Area) yang terjadi di Amerika Utara,
AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang terjadi di Asia Tenggara, Asia Pasific
Economic Co-operation yang terjadi di Asia Pasifik, dan FTA (Free Trade Asia)
yang terjadi di Asia. Khusus untuk Asia perdagangan bebas (free trade) sudah
dimulai sejak 1 Januari 2010, yang berarti bahwa barang-barang dan jasa dari
negara Asia akan bebas masuk ke negara Indonesia dan sebaliknya barang-barang
dan jasa Indonesia akan bebas masuk ke negara Asia sesuai ketentuan-ketentuan
yang berlaku di negara masing-masing. Bagi suatu negara yang sudah siap,
perdagangan bebas ini sangat menguntungkan dan akan mempercepat negara
tersebut untuk maju, tetapi bagi negara yang belum siap akan semakin tertinggal.

Dengan konsep perdagangan bebas ini selain barang, jasa-jasa dari negara
lain akan masuk ke Indonesia, seperti jasa guru, konsultan, perawat, dokter,
konselor, pekerja sosial, termasuk tenaga-tenaga pendamping yang sudah
memiliki kompetensi dan kualifikasi. Mereka pada umumnya sudah memiliki
standar ISO. Tentunya bila kita tidak memperkuat standar dan sertifikasi profesi
terkait dengan pelayanan jasa tersebut, mereka akan bebas dengan leluasa keluar
masuk ke Indonesia sepanjang aturan, kriteria, atau standar aturannya belum ada.

Gejala-gejala perdagangan bebas ini sudah mulai terlihat di Indonesia
dengan hadirnya beberapa lembaga-lembaga internasional, seperti Rumah Sakit
Omni Internasional, Sekolah Internasional, Carrefoure, dan lain-lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa kehadiran mereka ini sangat direspon oleh masyarakat. orang
sekarang lebih memilih belanja di Carrefoure dari pada di pasar tradisional, selain
kualitasnya terjamin juga harganya sudah tetap tidak perlu ditawar. Namun
sebagai dampaknya, lembaga-lembaga dalam negeri khususnya sektor riil mulai
kewalahan dalam menghadapi kompetensi tersebut, dan beberapa di antara
mereka menjadi gulung tikar alias tutup. Gambaran seperti ini lambat laun akan
terjadi pada sektor atau lembaga lainnya termasuk dalam jasa pelayanan pekerja
sosial bila profesi pekerjaan sosial tidak membenahi diri, memperkuat kualitas
kurikulum dan menetapkan standar dalam pelayanan pekerjaan sosial tersebut.

7

Pekerja sosial perlu memiliki kesiapan dalam menghadapi hal tersebut karna
jasa praktik pekerjaan sosial termasuk salah satu dalam konteks perdagangan
bebas, apa lagi pada tahun 2015 telah diadakan Komunitas ASEAN dan tahuntahun berikutnya dapat diadakan kembali, sehingga terbukanya peluang pasar
Pekerja Sosial antar negara selayaknya menantang Pekerja Sosial Indonesia untuk
meningkatkan profesionalitasnya dan nilai kompetitifnya. Keberadaan pekerja
sosial sudah ada sejak lama di Indonesia akan tetapi belum mampu berkembang
dan merespon kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu para alumni pekerja sosial
atau kesejahteraan sosial dan semua stakeholder terkait untuk itu harus secara
bersama-sama menyiapkan profesi pekerjaan sosial dama masuk dalam era
globalisasi ini.

Langkah awal yang sangat mendasar dan strategis yang dapat kita lakukan
adalah memperkuat Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial dengan meningkatkan
kualitas SDM di bidang praktik pekerjaan sosial, meningkatkan mutu atau kualitas
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, filter dalam kompetensi terhadap
jasa pelayanan yang mungkin datang dari negara lain dan meningkatkan kualitas
keilmuan praktik pekerjaan sosial serta langkah selanjutnya yang tidak kalah
penting adalah perihal akreditasi terhadap lembaga-lembaga pelayanan sosial.

D. Meningkatkan Mutu Kompetensi dan SDM Pekerjaan Sosial
Kompetensi pekerja sosial mutlak diperlukan dan syarat agar bisa
terselenggara pelayanan sosial yang baik. Saat ini Kementerian Sosial telah
menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Hal ini ditujukkan agar tersedianya
sumber daya manusia (SDM) pekerja sosial yang memiliki kompetensi.
Mengingat permasalahan sosial semakin kompleks dan dinamis. Luasnya cakupan
masalah sosial, membutuhkan keterlibatan profesional dan kerja sama untuk
menumbuhkan harapan dan meningkatkan kualitas hidup. Kondisi struktur sosial
masyarakat masih dilingkupi oleh masalah kemiskinan, ketidakberdayaan,
eksklusi sosial dan penyalahgunaan obat. Selain itu itujukan untuk menghadapi
masalah sosial lintas batas sebagai dampak keterbukaan interaksi di era global.
Misalnya,terkait pekerja migran, adopsi antar-negara secara ilegal, serta
perdagangan manusia.

Kompleksitas masalah sosial tidak mungkin diatasi secara maksimal dengan
sumber daya manusia bidang kesejahteraan sosial terbatas. Oleh karena itu,
keterbatasan melahirkan tuntutan terhadap pendidikan pekerjaan sosial, penelitian
dan pelatihan. Harry Hikmat (2013) menyatakan bawa hingga kini, masih
dibutuhkan sebanyak 139,000 pekerja sosial untuk menambah kekurangan 15.000
pekerja sosial yang ada. Maka dari itu Indonesia, membutuhkan kader-kader

8

profesional yang memiliki kompetensi yang mampu menterjemahkan kebijakan
pembangunan kesejahteraan sosial ke dalam pelayanan nyata untuk kesejahteraan.

Penambahan SDM pekerja sosial juga harus didukung strategi perbaikan
remunerasi pekerja sosial seiring reformasi birokrasi. Pendidikan, penelitian dan
pelatihan merupakan elemen strategis transformasi kesejahteraan sosial. Kerja
sama turut mendorong generasi muda percaya diri, menimba keterampilan dan
meningkatkan pendidikan untuk berkontribusi terhadap kesejahteraan sosial dan
kehidupan lebih baik. Kerja sama yang dilakukan, perlu dipertahankan dan
ditingkatnya untuk mendorong perumusan rencana untuk memodernisasi
akademisi, peneliti dan pelatih dalam bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan
sosial serta mentransformasikan menjadi sumber keunggulan.

Aspek lain yang tidak kalah penting adalah sertifikasi dan payung hukum
yang jelas bagi pekerja sosial. Saat ini Lembaga Sertifikasi dan Badan Akreditasi
diharapkan dapat bekerja secara maksimal untuk memberikan hak-hak pekerja
sosial yang profesional yang sudah melengkapi syarat-syaratnya, walaupun usia
LSPS dan BALKS terbilang masih cukup muda. Akan tetapi kita perlu optimis
bahwa kedepannya peluang untuk profesi pekerja sosial masih terbuka lebar dan
pengakuan masyarakat akan jelas terlihat.

Dengan pelaksanaan Sertifikasi Pekerja Sosial dan Akreditasi Lembaga
Kesejahteraan Sosial ini, diharapkan mampu mengembangkan profesi pekerjaan
sosial di Indonesia, sehingga dapat mewujudkan penyelenggaraan kesejahteraan
sosial yang berkualitas untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal tersebut
juga dilandaskan dengan pengaturan pekerja sosial profesional dalam Peraturan
Perundang-undangan, seperti Undang Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, Undang Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan
Fakir Miskin dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak menjadi landasan kuat untuk menyediakan Pekerja Sosial
profesional di Indonesia.

Keberadaan Pekerja Sosial Indonesia sendiri saat ini tergabung dalam
Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) dan resmi menjadi anggota
IFSW (International Federation of Social Workers). IFSW adalah wadah
International bagi para pekerja sosial di seluruh dunia terhitung sejak 7 Juli 2012.
Upaya dan kerja keras guna memperkenalkan keberadaan pekerja sosial dapat
diakses melalui: P4s.kemsos.go.id; IPSPI.org; dan Forkom Fungsional Peksos

9

Indonesia. Domain utama dari para Pekerja Sosial adalah dalam bidang
kesejahteraan (Welfare). Di Indonesia bidang ini sering kita sebut sebagai
pembangunan kesejahteraan sosial, yakni serangkaian aktivitas yang terencana
dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas
kehidupan manusia. Dewasa ini salah satu kebijakan mengenai kesejahteraan
sosial yang banyak diperbincangkan adalah RUU Praktik Pekerja Sosial.

Edi Suharto (2005:71) menyatakan bahwa model kebijakan indikatif
merupakan kebijakan sosial yang mengupayakan kesamaan visi dan aspirasi
seluruh masyarakat. Dalam kaitan ini maka akan diulas mengenai Rancangan
Undang Undang (RUU) Praktik Pekerja Sosial. Sampai dengan saat ini RUU
tentang Praktek Pekerja Sosial (Lampiran: Sistematika Naskah Akademik dan
Draft RUU Praktek Pekerjaan Sosial) telah dibentuk, yang merumuskan secara
legal definisi pekerjaan sosial dan praktek pekerjaan sosial, persyaratan, jenjang
pendidikan, kedudukan, tugas dan fungsinya, sertifikasi, Asosiasi Pendidikan
pekerjaan Sosial, Asosiasi Pekerja Sosial serta kewajiban bagi lembaga pelayanan
sosial menggunakan pekerja sosial bersertifikasi.

Sebetulnya, besar harapan pada tahun 2014 Rancangan Undang Undang
tersebut sudah dapat disahkan menjadi Undang Undang. Akan tetapi hal tersebut
belum dapat direalisasikan dengan optimal yang dikarenakan Komisi VIII masih
belum menyepakati RUU Praktik Pekerja Sosial. Agar Rancangan Undang
Undang tersebut disahkan, memang pada akhirnya kita harus memulai semuanya
kembali dari awal. Fakta ini harus dapat kita jadikan sebagai tantangan bagi
seluruh pihak, agar harapan kita menjadi sebuah kenyataan.

Harapan saat ini mengenai Undang Undang Praktek Pekerjaan Sosial ada
pada tahun 2016. Pada tahun tersebut Kementerian Sosial dan seluruh pihak
terkait akan mengupayakan RUU Praktek Pekerjaan Sosial. Hal tersebut harus
menjadi momentum kita dalam melahirkan generasi emas pekerjaan sosial. Oleh
karena itu kita sebagai calon pekerja sosial atau generasi pekerja sosial muda
maka dapat melakukan penguatan passion pada profesi pekerja sosial yang
bermanfaat untuk meningkatkan mutu dan kompetensi pekerja sosial dalam hal
menjawab tantangan-tantangan pekerja sosial serta mewujudkan suatu harapan.
Gambar 1.1 berikut merupakan siklus minat (modal awal) bagi pekerja sosial
dalam menghadapi tantangan-tantangan dan mewujudkan sebuah harapan.

10

Gambar 1.1
Siklus Minat Pekerjaan Sosial dalam Menghadapi
Tantangan dan Mewujudkan Harapan

Mengacu pada Gambar 1.1 bahwa sebagai generasi muda pekerja sosial
penting bahwasanya untuk memberikan penguatan bagi perkembangan profesi
pekerja sosial di Indonesia. Ini merupakan langkah awal bagi generasi muda untuk
membentuk masa depan pekerja sosial menjadi lebih baik, yang berarti bahwa
pondasi awal dari masa depan pekerja sosial berasal dari minat dan passion
individu kepada profesi pekerja sosial untuk memberikan penguatan dan
pengembangan bagi profesi tersebut.

Sejatinya bahwa setiap individu merupakan makhluk sosial yang memiliki
perasaan empati dan simpati kepada sesamanya. Ketika ia peduli mengenai pada
penyakit jantung atau kanker maka akan memilih sebagai dokter, ketika ia peduli
pada keamanan masyarakat maka akan memilih sebagai polisi, namun ketika ia
peduli pada masalah sosial maka ia tidak begitu memahami profesi apa yang harus
ditekuninya. Oleh karena itu diperlukan sosialisasi yang bersifat komprehensif
untuk memberikan informasi mengenai profesi yang menangani masalah sosial
dengan fokus utama adalah keberfungsian sosial.

Contoh berikut ini mengacu pada pengalaman penulis ketika kuliah di
STKS Bandung. Langkah awal adalah sosialisasi. Sosialisasi masih perlu
dilakukan mengingat masih ada masyarakat yang belum mengetahui profesi
pekerja sosial. Ambil contoh ketika STKS Bandung melakukan penerimaan

11

mahasiswa baru, maka sosialisasi perlu dilakukan dengan sebaik mungkin karna
ini merupakan salah satu momentum untuk memberikan info mengenai profesi
pekerja sosial pada generasi muda. Sosialisasi tidak hanya dilakukan di lembagalembaga dibawah naungan Kementerian Sosial, namun sosialisasi juga diperlukan
di SMA atau SMK yang tujuan adalah untuk menemukan generasi muda yang
berminat pada profesi pekerja sosial.

Ketika sosialisasi sudah dilakukan maka hal kedua yang perlu dilakukan
adalah optimalisasi dalam hal rekrutmen calon pekerja sosial. Salah satu
contohnya ketika STKS Bandung sudah menampung calon mahasiswa maka tidak
ada lagi istilah ‘calon mahasiswa titipan’ yang dipastikan diterima di STKS
Bandung dengan test tulis atau wawacara yang hanya sekedar formalitas. Istilah
tersebut kerap didengar mengingat STKS Bandung adalah lembaga pendidikan di
bawah Kementerian Sosial sehingga banyak orangtua yang berharap anaknya
dapat bekerja di Kementerian Sosial atau sebagai Pegawai Negeri Sipil atau
mendapatkan status Ikatan Dinas (ID) yang sebetulnya anak-anaknya belum tentu
menyukai profesi pekerja sosial.

Pada tahun 2012, STKS Bandung telah memperketat syarat kelulusan untuk
calon mahasiswa dengan jalur penerima beasiswa, tugas belajar dan mandiri.
Sistem baru tersebut membuat siapa pun dapat menerima beasiswa dan orangtua
yang mencoba menitipkan anaknya kepada pihak STKS Bandung agar diterima
dapat diminimalisir. Dari pengamatan penulis bahwa sistem tersebut dapat
berdampak positif pada generasi muda calon pekerja sosial. Hal ini ditunjukkan
dari kualitas kompetensi mahasiswa yang meningkat dari angkatan sebelumnya.
Kualitas mahasiswa STKS Bandung menjadi lebih baik dari sebelumnya dari
mulai mereka dapat bersaing dengan positif bersama teman-temannya untuk
mendapatkan beasiswa, prestasi di dalam maupun di luar kampus dan kemampuan
mahasiswa dalam berbahasa asing.

Sosialisasi dan rekrutmen yang optimal diharapkan dapat menjaring
generasi muda yang memiliki minat pada profesi pekerja sosial. Dan ketika
individu tersebut sudah memiliki minat serta passion maka dapat berdampak pada
harapan-harapan yang ingin dicapai kedepannya seperti peningkatan kompetensi
atau kualitas sebagai pekerja sosial dan meningkatkan pendidikan serta praktik
pekerja sosial dengan tujuan utama yang diharapkan adalah generasi emas dari
pekerja sosial. Melalui minat maka dapat menciptakan inovasi, motivasi dan
strategi untuk menghadapi tantangan-tantangan pekerja sosial.

12

Dari ketujuh tantangan yang dikemukakan oleh Kementerian Sosial maka
hal tersebut sebetulnya dapat berdampak pada motivasi belajar dari para generasi
muda pekerja sosial misalnya. Salah satu contohnya ketika mahasiswa STKS
Bandung sering berhadapan dengan masyarakat yang belum mengetahui profesi
pekerja sosial dan memandang profesi tersebut dengan sebelah mata. Ketika
generasi muda tersebut tidak memiliki passion dan ketahanan diri akan tantangantantangan yang dihadapinya maka bukan hal yang tidak mungkin ia akan
menyerah sebagai pekerja sosial dan memilih bekerja sebagai profesi lain. Namun
ketika generasi muda tersebut memiliki minat dan passion yang kuat terhadap
profesi pekerja sosial maka ia pun akan memiliki strategi, inovasi dan motivasi
tersendiri untuk menghadapi segala macam tantangan yang dihadapinya sebagai
pekerja sosial.

Penulis yakin dimasa depan bahwa animo atau minat, mutu pendidikan dan
persaingan pekerjaan bagi profesi pekerja sosial dapat meningkat dari sebelumnya
sehingga Undang Undang Praktik Pekerja Sosial pada tahun 2016 dapat disahkan
dan harapan-harapan lain dapat diwujudkan. Dalam hal ini, penulis berpesan
bahwa banyaknya tantangan bukan berarti menjadi penghalang perkembangan
pekerjaan sosial dan banyaknya harapan bukan berarti seluruh tantangan tidak
bisa kita hadapi.

E. Rekomendasi
Hasil dari pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi
tantangan bagi profesi pekerja sosial dan kebijakan-kebijakan bagi pekerja sosial
diperlukan langkah awal yang dapat memberikan solusi agar tujuan awal dapat
tercapai. Sehingga bila di jabarkan menjadi satu persatu maka beberapa masukan
tentang langkah awal dalam mengoptimalkan kompetensi pekerjaan sosial agar
dapat melahirkan generasi emas pekerjaan sosial adalah sebagai berikut:
1. Pekerja sosial diwajibkan mampu memadukan keterkaitan komponen
pengetahuan, nilai dan keterampilan pekerjaan sosial. Hal ini dikarenakan
pengetahuan pekerjaan sosial tidak mudah begitu saja untuk
diimplementasikan, namun harus disaring dengan mempertimbangkan nilainilai yang ada, dan kemudian diterapkan dengan keterampilan yang dimiliki.
Tingkat kemampuan pekerja sosial dalam mengintergrasikan ketiga komponen
tersebut akan menunjang keberhasilan pelaksanaan visi dan misi
profesionalnya.
2. Mengembangkan suatu teori yang relevan dengan kondisi dan budaya
masyarakat Indonesia yang sangat beragam, karena keefektifan praktik
pekerjaan sosial justru terletak pada manusia dan konteks lingkungannya.

13

3. Alumni pekerja sosial atau kesejahteraan sosial dan semua stakeholder secara
bersama-sama menyiapkan profesi pekerjaan sosial siap untuk masuk dalam
era globalisasi.
4. Memperkuat Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial dengan meningkatkan
kualitas SDM di bidang praktik pekerjaan sosial, meningkatkan mutu atau
kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, filter dalam kompetensi
terhadap jasa pelayanan yang mungkin datang dari negara lain dan
meningkatkan kualitas keilmuan praktik pekerjaan sosial serta langkah
selanjutnya yang tidak kalah penting adalah perihal akreditasi terhadap
lembaga-lembaga pelayanan sosial.
5. Penambahan SDM pekerja sosial harus didukung melalui strategi perbaikan
remunerasi pekerja sosial seiring reformasi birokrasi dan kerja sama yang
dilakukan dengan beberapa pihak perlu dipertahankan dan ditingkatnya untuk
mendorong perumusan rencana untuk memodernisasi akademisi, peneliti dan
pelatih dalam bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial serta
mentransformasikan menjadi sumber keunggulan.
6. Perlunya diperhatikan dari para calon pekerja sosial terkait dengan minat dan
animo terhadap ilmu pekerja sosial atau kesejahteraan sosial. Dalam hal
perekrutan dapat menjadi momen untuk menyeleksi dan mengetahui SDM
yang benar-benar minat dengan ilmu pekerja sosial atau kesejahteraan sosial.
Selain itu diperlukan juga sosialisasi terkait dengan jurusan pekerja sosial atau
kesejahteraan sosial melalui berbagai program yang mampu menunjang
informasi ilmu tersebut agar masyarakat memiliki pengetahuan tentang jurusan
pekerja sosial atau kesejahteraan sosial di Indonesia sehingga eksistensinya
dapat meningkat dengan optimal.
7. Tahun 2015 dan 2016 harus menjadi momentum kita dalam melahirkan
generasi emas pekerjaan sosial untuk memperjuangkan Undang Undang
Praktek Pekerjaan Sosial dan memperkuat LSPS dan BALKS.