RADIKALISME DAN TERORISME DI INDONESIA M
RADIKALISME DAN TERORISME DI INDONESIA:
MEMBANGUN KESADARAN KRITIS MASYARAKAT
Oleh: Yusuf Kurniawan
NIM T151608003
A.
Latar Belakang
Dalam dua dekade terakhir dunia internasional disibukkan dengan upaya-upaya
pencegahan dan penanggulangan tumbuhnya radikalisme dan pemberantasan terorisme,
terutama sejak peristiwa runtuhnya dua simbol Amerika, yakni menara kembar The World
Trade Center (WTC) di kota New York Amerika Serikat dan gedung militer Pentagon pada
tanggal 11 September 2001. Hampir di berbagai negara terjadi aksi terorisme yang
menyebabkan korban jiwa dan korban luka serta menimbulkan trauma bagi masyarakat. Dalam
satu tahun terakhir saja (sepanjang tahun 2016) telah terjadi lebih dari empat puluh kali aksi
teror dan pengeboman yang terjadi di dunia (Rappler.com, 2017).
Kurang lebih sepekan setelah penyerangan WTC George W. Bush mencanangkan War
on Terror (WoT) dalam pidatonya tanggal 20 September 2001. Istilah tersebut lalu lebih
dikenal dengan Global War on Terrorism (GWoT), yang merupakan sebuah kampanye militer
internasional untuk memerangi segala bentuk aksi teror di seluruh dunia, dibawah inisiasi dan
komando Amerika Serikat (Wikipedia, 2001) & (Britannica, 2001). Tidak terkecuali di
Indonesia pasca bom natal tahun 2001 dan bom Bali I tahun 2002, pemerintah Indonesia lewat
Kapolri saat itu membentuk Detasemen Khusus 88 (Densus 88) yang persisnya dibentuk
tanggal 20 Juni 2003 (Amirullah, 2013). Detasemen khusus bentukan Polri tersebut tidaklah
“sia-sia” karena sejak peristiwa bom Bali 1 hingga tahun 2016 aksi pengeboman terus terjadi
di berbagai wilayah di Indonesia. Detasemen khusus tersebut sangat disibukkan dengan
penyergapan dan penangkapan para pelaku teror.
1
B.
Ancaman Terorisme dan Sikap Masyarakat
Dalam hampir setiap aksinya tim gegana Polri dan Densus 88 selalu diikuti oleh media
massa dengan segenap peralatan siarannya, sehingga penyergapan dan penangkapan hampir
selalu disiarkan secara langsung khususnya oleh media televisi. Berita tentang ancaman
terorisme ternyata menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat luas. Ada sebagian
masyarakat yang merasa ketakutan/tidak aman dengan adanya ancaman terorisme. Menurut
survei yang dilakukan oleh Saiful Muljani Research and Consulting (SMRC) sebagian
masyarakat Indonesia merasa tidak aman dengan adanya ancaman terorisme di Indonesia, dan
semakin tinggi pendidikannya maka semakin merasa tidak aman. Dalam survei tersebut 45%
masyarakat berpendidikan perguruan tinggi, yang berprofesi sebagai pengusaha, pegawai
swasta, PNS dan wiraswasta merasa tidak aman (Tashandra, 2016). Ketakutan sebagian
masyarakat ini dapat dipahami karena karena dalam peliputan berita seputar terorisme sebagian
stasiun televisi menyiarkannya secara langsung sehingga menimbulkan kesan dramatis bagi
pemirsa televisi. Selain itu, di banyak media cetak seperti surat kabar, isu terorisme sering
menghiasi halaman utama. Maka masyarakat dikepung dengan informasi dari berbagai media
massa yang memberitakan informasi yang sama. Dalam pemberitaan sering kita saksikan
tempat persembunyian pelaku/terduga teroris berada di lingkungan perumahan atau
perkampungan dan seringkali warga sekitar tidak mengetahuinya. Disamping itu, sasaran
pengeboman seringkali berupa tempat/fasilitas umum seperti kafe/restoran (bom Bali), hotel
(bom Ritz Carlton dan JW Marriot), pusat perbelanjaan (bom Alam Sutera dan Sarinah), dan
bahkan tempat ibadah (bom Solo dan Cirebon). Hal ini membuat sebagian masyarakat merasa
was-was dan ketakutan untuk pergi ke tempat-tempat tersebut. Misalnya, suatu ketika saat kita
sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan lalu listrik tiba-tiba mati, mungkin pikiran kita
terusik dengan ancaman bom atau kebakaran; terlebih lagi apabila sebelumnya mungkin kita
membaca/menyaksikan berita tentang (rencana) pengeboman, pasti hati kita tidak akan tenang.
2
Maka terciptalah teror di dalam masyarakat; rasa takut yang berlebihan yang menyebabkan
orang kehilangan hak azasinya untuk merasakan hidup bebas dari rasa takut dan tekanan.
Namun, ada sebagian masyarakat yang tidak merasa takut dengan adanya aksi-aksi teror
yang terjadi di Indonesia selama ini. Menurut survei yang dilakukan oleh SMRC semakin
rendah tingkat pendidikan masyarakat, maka semakin kecil rasa ketakutan mereka terhadap
ancaman terorisme (Tashandra, 2016). Memang terbukti ada sebagian warga masyarakat yang
berfoto selfie di TKP pengeboman dan bahkan seorang penjual sate tetap melayani pembeli
padahal jarak tempatnya berjualan hanya radius kurang lebih 200m dari lokasi kejadian
pengeboman di Sarinah (Samudra, 2016). Seorang pejabat PBB yang kebetulan sedang
bertugas di Jakarta ketika bom Sarina terjadi juga menyatakan kekagumannya melihat warga
Jakarta yang sama sekali tidak takut dengan insiden pengeboman tersebut. Bahkan dalam akun
Twitter mereka menuliskan hashtag #KamiTidakTakut dan #Jakartaberani (Maulana, 2016).
Sikap seperti ini mengakibatkan warga masyarakat menjadi kurang tanggap atau kurang kritis
terhadap fenomena sosial atau budaya yang ada di sekitar mereka. Sikap masyarakat yang
“kurang kritis” tersebut bukannya tidak beralasan karena penggerebekan dan penangkapan
yang dilakukan oleh Densus 88 selama ini banyak yang masih berdasarkan dugaan, sehingga
orang-orang yang mereka tahanpun masih berstatus “terduga teroris.” Diantara serangkaian
penangkapan yang terjadi selama ini ada yang menimbulkan kemarahan sebagian masyarakat
terhadap Densus 88 karena salah tangkap dan penganiayaan yang berujung pada kematian
“terduga teroris” bernama Siyono (Faiz, 2016) (BBC, 2016) (Artharini, 2016). Hasil forensik
menyatakan bahwa Siyono meninggal karena beberapa tulang iganya patah dan menusuk
jantungnya, maka masyarakat justru mempertanyakan “kinerja” Densus 88 yang sebelumnya
dikenal sebagai pahlawan oleh masyarakat. Belum lagi ketika belakangan ini ketika
pemberitaan tentang penangkapan terduga teroris secara kebetulan bersamaan dengan
peristiwa politik penting yang sedang terjadi, sehingga sebagian masyarakat menganggap
3
pemberitaan tentang penyergapan dan penangkapan terduga teroris adalah pengalihan isu. Hal
ini mengakibatkan masyarakat menjadi semakin acuh dengan berita-berita terorisme. Padahal
sikap acuh masyarakat berkontribusi terhadap tumbuhnya terorisme (Hidayat &
Kholisostussurur, 2016).
C.
Terorisme dan Ketidakadilan Global (Global Injustice)
Masalah ketidakadian global sangat jarang dibahas oleh media ketika mereka ramai
membicarakan isu terorisme, padahal ini merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya
serangan terhadap Barat atau objek-objek yang dianggap simbol Barat. Invasi Barat terhadap
negara-negara Islam serta dukungannya terhadap invasi Israel terhadap Palestina adalah salah
satu contoh riel ketidakadilan global. Setelah terjadi insiden penembakan di Kantor Majalah
Charlie Hebdo di Paris Perancis tanggal 7 Januari 2015 yang mengakibatkan dua belas orang
tewas (Banan, 2015) banyak pihak yang mengecam insiden tersebut dan bahkan dunia
internasional membuat hastag #prayforparis (Ratitia, 2015). Hal yang sama (kecaman)
seharusnya juga dilakukan terhadap Amerika Serikat ketika negara tersebut menyerang Iraq
dan mengakibatkan ratusan orang tewas. Dapat dipahami jika Amerika Serikat marah ketika
lebih dari 3.000 orang warganya tewas dalam serangan WTC, tetapi juga harus dipahami jika
umat Islam marah ketika tentara Amerika terus-terusan membunuh warga Afghanistan dan
Pakistan (Fadly, 2009). Kita juga bisa menyaksikan bagaimana Israel terus menginvasi
Palestina sepanjang sejarah dan tidak satu negara Barat pun yang berusaha menghentikannya
atau mengecamnya. Bahkan Amerika Serikat dan Inggris serta sekutu-sekutunya malah
mendukung Israel.
Di Indonesia terjadinya ketidakadilan yang bisa memicu tumbuhnya radikalisme juga
dapat dilihat dari beberapa peristiwa yang terjadi pada awal tahun 2017, yakni pertikaian antara
FPI (Front Pembela Islam) dan GMBI (Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia). Ketika massa
4
FPI kembali dari Mapolda Jawa Barat mengawal imam besar mereka, Habieb Rizieq Shihab
setelah diperiksa di Mapolda Jabar, dihadang dan diserang oleh massa GMBI yang
bersenjatakan balok hingga mengakibatkan sebuah mobil laskar FPI hancur dan banyak
anggota FPI terluka dan patah tulang (Kaimuddin, 2017). Sebagai aksi balasan FPI melakukan
aksi perusakan markas GMBI di Ciampea Bogor (Salim, 2017). Massa GMBI yang sudah
merencanakan aksi kerusuhan tersebut dibiarkan saja oleh polisi, terbukti ketika mereka terlihat
membawa batu dan balok kayu dibiarkan saja oleh polisi, karena Ketua Harian GMBI adalah
Kapolda Jawa Barat. Bentuk ketidakadilan seperti ini bisa menumbuhkan benih-benih
radikalisme.
Pada tahun 2005 sebuah laporan berjudul International Impact of Iraq yang ditulis oleh
Joint Intelligence Committee (JIC) menyatakan bahwa “We think that the conflict occurring in
Iraq has worsened international terrorism menace and continuously given impacts in long
term. The conflict has made terrorists more enthusiastic to attack the West and motivated other
people to do similar actions.(ibid)”. Maksudnya adalah konflik yang terjadi di Iraq telah
memperburuk ancaman teror internasional dan berdampak jangka panjang. Konflik tersebut
justru membuat para teroris semakin ingin menyerang Barat dan justru akan memotivasi orang
lain untuk melakukan aksi teror.
Jadi, siapapun yang ingin menghentikan kekerasan global harus berani minta pemerintah
Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya utuk menghentikan kebijakan-kebijakannya yang
eksploitatif dan diskriminatif terhadap Negara-negara Islam. Bagi umat Islam, ketidakadilan
global ini harus dihentikan atau akan menjadi bom-bom waktu berdaya ledak tinggi, dan
menurut saya sebagian diantaranya sudah terjadi, terutama di wilayah-wilayah di Indonesia
seperti tersebut di atas.
5
D.
Radikalisme di Indonesia
Menurut Merriam Webster online Dictionary “The opinions and behavior of people who
favor extreme changes especially in government, or radical political ideas and behavior .”
(Merriam-Webster, 2016). Sedangkan menurut Cambridge Dictionary radikalisme adalah
“believing or expressing the belief that there should be great or extreme social or political
change” (Cambridge, 2016). Jadi, radikalisme itu adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
pemikiran, keyakinan dan perilaku yang ekstrem, yang berkaitan dengan persoalan sosial atau
politik. Adapun dalam essay ini saya akan membicarakan tentang radikalisme dalam konteks
agama.
Menurut Listi (2015) ada empat faktor yang memicu munculnya radikalisme agama di
Indonesia yaitu yang pertama adalah misinterpretasi penganut agama terhadap ajaran
agamanya. Beberapa kelompok umat Islam meyakini bahwa terbunuh dalam mempertahankan
agama (Islam) adalah sebuah jihad, seperti yang disebutkan dalam al Qur’an dan hadits. Namun
demikian, ironisnya mereka menginterpretasikan ayat-ayat dan hadits secara literal dan
menunjukkan keimanan mereka dengan berjihad dengan cara apapun ketika agamanya
terancam atau kepentingan politisnya tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah. Ke dua
adanya kesenjangan kesejahteraan dalam masyarakat seperti kemiskinan. Bahkan hal ini bisa
menyebabkan terjadinya kudeta. Ke tiga adalah ideologi agama. Penganut keyakinan ini
beranggapan bahwa orang-orang diluar kelompok mereka dianggap kafir, sehingga mereka
ingin mendirikan Negara atas dasar ajaran Islam. Ke ampat adalah salafisme. Ideologi ini
memimpikan sebuah Negara yang murni berlandaskan ajaran Islam seperti Negara Islam yang
dulu pernah ada. Keempat sebab tersebut memicu lahir dan tumbuhnya radikalisme dalam
agama. Sementara itu, menurut Akbar radikalisme tidak dapat dipisahkan dari tiga faktor, yakni
faktor domestic, internasional dan budaya (Saifulloh, 2015). Disamping itu, Jati mengatakan
bahwa radikalisme di Indonesia berakar dari masalah kemiskinan dalam masyarakat. Hal ini
6
disebabkan oleh aspek ekonomi dan sosial yang semakin luas di masyarakat (Jati, 2013). Sirozi
menyatakan bahwa masalah mendasar yang menyumbang merebaknya radikalisme Islam di
seluruh dunia adalah sempitnya pemahaman tentang konsep jihad (Sirozi, 2005). Dapat
disimpulkan bahwa munculnya radikalisme itu lebih karena disebabkan oleh ketidakpuasan
dan ketidaksetujuan sekelompok orang terhadap kebijakan pemerintah dan mereka tidak
mempunyai akses untuk berdialog dengan penguasa atau mereka diperlakukan tidak adil oleh
penguasa.
Dari deskripsi dan penjelasan di atas kita bisa melihat ada persoalan yang ada di
masyarakat, yaitu pertama masyarakat yang “kurang kritis” terhadap isu terorisme secara tidak
langsung bisa turut berkontribusi terhadap tumbuhnya radikalisme dan aksi terorisme di
Indonesia. Jika ini dibiarkan para teroris akan lebih leluasa bergerak. Selama ini tempat tinggal
mereka yang diduga teroris ini tinggal di tengah-tengah komplek perumahan atau kampong
bersama warga masyarakat lainnya, hanya saja karena mereka pandai berkamuflase dan
masyarakat sekitar “tidak kritis” maka keberadaan mereka tidak diketahui.
Ke dua, nilai-nilai budaya masyarakat yakni saling menghargai dan menghormati sudah
tidak lagi dijunjung tinggi baik di tingkat individu, masyarakat maupun negara. Ke tiga,
semakin hilangnya budaya tabayun atau kroscek antara pihak-pihak yang terlibat konflik.
Masing-masing pihak saling berprasangka tidak baik. Ke empat, kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi yang semakin mempermudah keterbukaan informasi publik, apabila tidak
dikelola dengan profesional akan dapat menimbulkan rasa saling curiga dan fitnah.
Oleh karena itu, rumusan masalah yang harus dipecahkan adalah bagaimana membangun
“kesadaran kritis” warga masyarakat yang selama ini beranggapan bahwa terorisme itu bukan
ancaman serius dan bagaimana warga masyarakat dan pemerintah bisa saling membantu dalam
melakukan pencegahan radikalisme dan aksi terorisme di Indonesia.
7
E.
Metodologi
Riset ini harus diawali dengan membuat road map atau peta jalan, terkait dengan apa
yang telah dilakukan dan apa yang harus/akan dilakukan baik oleh para peneliti sebelumnya
ataupun oleh pemerintah. Upaya untuk membangun kesadaran kritis masyarakat diperlukan
metodologi yang tepat. Untuk membuat masyarakat sadar akan pentingnya kesadaran akan
bahaya radikalisme dan terorisme tidak bisa dilakukan dengan cara paksa, tetapi dengan
pendekatan halus atau Soft-power diplomacy; diplomasi antara pemerintah dan pihak-pihak
yang berkonflik atau antara pemerintah dan warga yang berkonflik dengan pemerintah.
Strategi Penelitian
Ini merupakan sebuah penelitian kualitatif berdasarkan studi kepustakaan (library
research). Karena topik penelitian ini berkaitan dengan budaya maka penelitian ini termasuk
penelitian etnografi (Grbich, 2007).
Lokasi
Penelitian ini akan dilaksanakan di kota Surakarta, karena kebetulan di Surakarta pernah terjadi
beberapa kali aksi terorisme dan pengeboman, sehingga memenuhi syarat untuk dijadikan
lokasi untuk penelitian ini.
Data dan Sumber Data
Data penelitian ini berupa hasil kuesioner dan wawancara dengan warga masyarakat dan tokohtokoh masyarakat Solo tentang persepsi dan pendapat mereka mengenai ancaman terorisme.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dari membagikan kuesioner dan melakukan wawancara
mendalam (in-depth interview) dengan nara sumber.
F.
Manfaat dan kontribusi
8
Sebuah negara makmur yang mempunyai penduduk dengan tingkat keteraturan sosial
yang tinggi, berpendidikan tinggi, memiliki kesadaran tinggi akan tanggung jawabnya dan
kewajibannya sebagai warga negara dan warga masyarakat dan kritis terhadap dinamika sosial
dan budaya serta memiliki rasa kepedulian sosial yang tinggi adalah sebuah mimpi yang
mungkin sulit kita temukan sekarang ini. Namun gambaran di atas adalah sebuah mimpi
seorang pemimpin atau kepala negara. Sebagai akademisi kita memiliki rasa tanggung jawab
terhadap bangsa dan negara kita yang berdasarkan Pancasila. Etika bernegara dan berwarga
negara sudah diatur dalam UUD 1945. Maka tidaklah berlebihan jika kita menginginkan
masyarakat bangsa kita seperti gambaran di atas. Jika riset ini dilakukan maka hasilnya akan
memberikan manfaat dan kontribusi kepada masyarakat luas, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Tingkat kesadaran, kepedulian dan sikap kritis masyarakat akan meningkat.
Hal ini tentu akan berimplikasi pada meningkatnya persatuan dan kesatuan warga masyarakat
serta jalinan kerjasama yang kooperatif antara masyarakat dan pemerintah selama pemerintah
konsekuen dengan tugas dan kewajibannya.
G.
Kesimpulan
Radikalisme dan terorisme telah muncul sejak lama. Dari waktu ke waktu para pelakunya
selalu ditekan, ditangkap dan dihukum oleh pemerintah. Apalagi sejak serangan yang menimpa
menara kembar World Trade Center tanggal 11 September 2001, Amerika Serikat dan
sekutunya mengeluarkan regulasi dan kebijakan yang semakin ketat untuk negara-negara Islam
dan orang-orang yang akan berkunjung ke Amerika Serikat, ditambah lagi dengan adanya
ketidakadilan pemerintah dalam menindak kasus-kasus hukum. Hal ini menyebabkan
munculnya reaksi menentang yang seringkali berlanjut dengan serangan bom bunuh diri yang
dilakukan oleh Muslim garis keras atau mereka yang dimarjinalkan atau diperlakukan tidak
adil oleh pemerintah.
9
Pendekatan diplomatis oleh pemerintah kepada pihak-pihak yang bertikai atau antara
pemerintah dengan pihak yang beroposisi dengan pemerintah perlu dilakukan agar dapat
memecahkan persoalan. Disamping itu membangun kesadaran kritis warga masyarakat akan
pentingnya ancaman terorisme juga harus dibangun agar warga masyarakat memiliki
kemampuan untuk berpikir kritis dan proaktif dalam menghadapi perubahan sosial dan budaya,
khususnya terhadap ancaman terorisme.
10
Bibliography
Aldeputro, R. (2015, October 31). Bom Alam Sutera dan Titik Balik Isu Terorisme di Indonesia.
Retrieved December 25, 2016, from Kompasiana.com:
http://www.kompasiana.com/rama.aldeputro/bom-alam-sutera-dan-titik-balik-isuterorisme-di-indonesia_5634b17e2ab0bd640950bfbc
Amirullah. (2013, March 8). Begini Detasemen Khusus 88 Antiteror Dibentuk. Retrieved January 13,
2017, from Tempo.co: https://m.tempo.co/read/news/2013/03/08/063465820/beginidetasemen-khusus-88-antiteror-dibentuk
Artharini, I. (2016, April 11). Penyebab kematian terduga teroris Siyono terungkap. Retrieved
December 26, 2016, from BBC Indonesia:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160411_indonesia_autopsi_siyo
no
Banan. (2015, January 8). Charlie Hebdo kantor majalah penghina Nabi Muhammad di Paris
diserang, 12 tewas - See more at: https://www.arrahmah.com/news/2015/01/08/charliehebdo-kantor-majalah-penghina-nabi-muhammad-di-paris-diserang-12tewas.html#sthash.GxxYFj2W.dpuf. Retrieved January 15, 2017, from Arrahmah.com:
https://www.arrahmah.com/news/2015/01/08/charlie-hebdo-kantor-majalah-penghinanabi-muhammad-di-paris-diserang-12-tewas.html
BBC. (2016, March 15). Warga Solo protes Densus 88 terkait kematian Siyono. Retrieved December
26, 2016, from BBC Indonesia:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160314_indonesia_densus_prot
es_solo.shtml
Britannica, E. (2001). War on Terrorism. Retrieved January 13, 2017, from Encyclopaedia Britannica:
https://www.britannica.com/topic/war-on-terrorism
Bruinessen, M. v. (n.d.). Genealogies of Islamic radicalism in post-Suharto Indonesia. South Esat Asia
Research, 10(2), 117-154. Retrieved January 14, 2017, from
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.5367/000000002101297035
Cambridge. (2016). Cambridge Dictionary. Retrieved December 27, 2016, from Online Cambridge
Dictionary: http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/radical
Fadly. (2009, October 3). Isu Terorisme dan Serangan Terhadap Islam. Retrieved December 25, 2016,
from Arrahmah.com: https://www.arrahmah.com/read/2009/10/03/5799-isu-terorismedan-serangan-terhadap-islam.html
Faiz, A. (2016, March 26). Apa Saja Kejanggalan dalam Kematian Siyono, Terduga Teroris? Retrieved
December 26, 2016, from Tempo:
https://m.tempo.co/read/news/2016/03/26/063757075/apa-saja-kejanggalan-dalamkematian-siyono-terduga-teroris
Grbich, C. (2007). Qualitative Data Analysis. Great Britain: Sage Publication.
Hidayat, M. A., & Kholisostussurur, L. (2016, January 15). NU: Sikap Cuek Masyarakat Menumbuhkan
Terorisme. Retrieved January 14, 2017, from VIVA:
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/723711-nu-sikap-cuek-masyarakatmenumbuhkan-terorisme
Jati, W. R. (2013, December). Radicalism in the Perspective of Islamic Populism: Trajectory of Political
Islam in Indonesia. Journal of Indonesian Islam, 7(2). Retrieved December 25, 2016, from
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&
ved=0ahUKEwjBuaubgI_RAhWKro8KHaJPBSgQFggeMAE&url=http%3A%2F%2Fjiis.uinsby.ac.i
d%2Findex.php%2FJIIs%2Farticle%2FviewFile%2F129%2F128&usg=AFQjCNEHqRBxG8u74p5
FFrmJ-MgqZBWtig&sig
Kaimuddin, H. (2017, January 13). Ini Foto-foto Bentrokan Antara FPI dengan Ormas GMBI. Retrieved
January 15, 2017, from Fajar.co.id: http://fajar.co.id/2017/01/13/ini-foto-foto-bentrokanantara-fpi-dengan-ormas-gmbi/
11
Maulana, V. (2016, January 15). Media Inggris: Masyarakat Indonesia Beri Pesan Kuat pada Teroris.
Retrieved January 15, 2017, from SindoNews.Com:
http://international.sindonews.com/read/1077321/41/media-inggris-masyarakat-indonesiaberi-pesan-kuat-pada-teroris-1452843015
Merriam-Webster. (2016). Merriam-Webster. Retrieved from Merriam Webster Dictionary:
https://www.merriam-webster.com/dictionary/radicalism
Rappler.com. (2017, January 1). Lini Masa: Serangan teror di penjuru dunia 2016. Retrieved January
15, 2017, from Rappler.com: http://www.rappler.com/indonesia/140923-kronologi-aksiteror-2016
Ratitia, G. (2015, January 15). Kompasiana.com. Retrieved January 15, 2017, from Serangan Teror di
Perancis, Harga Mahal Sebuah Kartun Charlie Hebdo:
http://www.kompasiana.com/gitanyali/serangan-teror-di-perancis-harga-mahal-sebuahkartun-charlie-hebdo_54f379417455137c2b6c7832
Saifulloh, M. (2015, July 30). Tiga Faktor Pemicu Radikalisme. Retrieved December 25, 2016, from
Kompasiana.com: http://news.okezone.com/read/2015/07/30/337/1187812/tiga-faktorpemicu-radikalisme
Salim, H. J. (2017, January 13). Polri Benarkan Kapolda Jabar Pembina GMBI yang Bentrok dengan
FPI. Retrieved January 15, 2017, from Liputan6.Com:
http://news.liputan6.com/read/2826030/polri-benarkan-kapolda-jabar-pembina-gmbi-yangbentrok-dengan-fpi
Samudra, N. (2016, January 15). KITA BANGSA INDONESIA TIDAK TAKUT Terhadap TERORISME.
Retrieved January 15, 2017, from Patriot Garuda:
http://patriotgaruda.com/2016/01/15/kita-bangsa-indonesia-tidak-takut-terhadapterorisme/
Sihbudi, R. (2002, October 21). Bom Bali, Konspirasi Intelijen Amerika dan Israel. (Hidayatullah.com)
Retrieved December 25, 2016, from Hidayatullah.com:
http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2002/10/21/213/bom-bali-konspirasiintelijen-amerika-dan-israel.html
Sirozi, M. (2005, January). The Intellectual Roots of Islamic Radicalism in Indonesia: Ja'far Umar
Thalib (Jihad Fighters) and His Educational Background. The Muslim World, 95, 81-120.
Retrieved December 25, 2016, from
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&
ved=0ahUKEwjBuaubgI_RAhWKro8KHaJPBSgQFgglMAI&url=http%3A%2F%2Fwww.umpalan
gkaraya.ac.id%2Fperpustakaan%2Fdigilib%2Ffiles%2Fdisk1%2F15%2F123-dfadfmuhammadsi-709-1-15840302.pdf
Syatibi, I. (2016, June 24). Fenomena Terorisme di Indonesia: Antara Gerakan Teologi-Politik dan
Religious Extremist. Retrieved December 25, 2016, from Rumah Kitab.com:
http://rumahkitab.com/fenomena-terorisme-di-indonesia-antara-gerakan-teologi-politikdan-religious-extremist/
Tashandra, N. (2016, January 22). Kompas.com. Retrieved January 15, 2017, from Survei: Masyarakat
Berpendidikan Tinggi Lebih Takut pada Ancaman Teroris:
http://nasional.kompas.com/read/2016/01/22/13310831/Survei.Masyarakat.Berpendidikan
.Tinggi.Lebih.Takut.pada.Ancaman.Teroris
Wikipedia. (2001). War on Terror. Retrieved January 13, 2017, from Wikipedia:
https://en.wikipedia.org/wiki/War_on_Terror
12
MEMBANGUN KESADARAN KRITIS MASYARAKAT
Oleh: Yusuf Kurniawan
NIM T151608003
A.
Latar Belakang
Dalam dua dekade terakhir dunia internasional disibukkan dengan upaya-upaya
pencegahan dan penanggulangan tumbuhnya radikalisme dan pemberantasan terorisme,
terutama sejak peristiwa runtuhnya dua simbol Amerika, yakni menara kembar The World
Trade Center (WTC) di kota New York Amerika Serikat dan gedung militer Pentagon pada
tanggal 11 September 2001. Hampir di berbagai negara terjadi aksi terorisme yang
menyebabkan korban jiwa dan korban luka serta menimbulkan trauma bagi masyarakat. Dalam
satu tahun terakhir saja (sepanjang tahun 2016) telah terjadi lebih dari empat puluh kali aksi
teror dan pengeboman yang terjadi di dunia (Rappler.com, 2017).
Kurang lebih sepekan setelah penyerangan WTC George W. Bush mencanangkan War
on Terror (WoT) dalam pidatonya tanggal 20 September 2001. Istilah tersebut lalu lebih
dikenal dengan Global War on Terrorism (GWoT), yang merupakan sebuah kampanye militer
internasional untuk memerangi segala bentuk aksi teror di seluruh dunia, dibawah inisiasi dan
komando Amerika Serikat (Wikipedia, 2001) & (Britannica, 2001). Tidak terkecuali di
Indonesia pasca bom natal tahun 2001 dan bom Bali I tahun 2002, pemerintah Indonesia lewat
Kapolri saat itu membentuk Detasemen Khusus 88 (Densus 88) yang persisnya dibentuk
tanggal 20 Juni 2003 (Amirullah, 2013). Detasemen khusus bentukan Polri tersebut tidaklah
“sia-sia” karena sejak peristiwa bom Bali 1 hingga tahun 2016 aksi pengeboman terus terjadi
di berbagai wilayah di Indonesia. Detasemen khusus tersebut sangat disibukkan dengan
penyergapan dan penangkapan para pelaku teror.
1
B.
Ancaman Terorisme dan Sikap Masyarakat
Dalam hampir setiap aksinya tim gegana Polri dan Densus 88 selalu diikuti oleh media
massa dengan segenap peralatan siarannya, sehingga penyergapan dan penangkapan hampir
selalu disiarkan secara langsung khususnya oleh media televisi. Berita tentang ancaman
terorisme ternyata menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat luas. Ada sebagian
masyarakat yang merasa ketakutan/tidak aman dengan adanya ancaman terorisme. Menurut
survei yang dilakukan oleh Saiful Muljani Research and Consulting (SMRC) sebagian
masyarakat Indonesia merasa tidak aman dengan adanya ancaman terorisme di Indonesia, dan
semakin tinggi pendidikannya maka semakin merasa tidak aman. Dalam survei tersebut 45%
masyarakat berpendidikan perguruan tinggi, yang berprofesi sebagai pengusaha, pegawai
swasta, PNS dan wiraswasta merasa tidak aman (Tashandra, 2016). Ketakutan sebagian
masyarakat ini dapat dipahami karena karena dalam peliputan berita seputar terorisme sebagian
stasiun televisi menyiarkannya secara langsung sehingga menimbulkan kesan dramatis bagi
pemirsa televisi. Selain itu, di banyak media cetak seperti surat kabar, isu terorisme sering
menghiasi halaman utama. Maka masyarakat dikepung dengan informasi dari berbagai media
massa yang memberitakan informasi yang sama. Dalam pemberitaan sering kita saksikan
tempat persembunyian pelaku/terduga teroris berada di lingkungan perumahan atau
perkampungan dan seringkali warga sekitar tidak mengetahuinya. Disamping itu, sasaran
pengeboman seringkali berupa tempat/fasilitas umum seperti kafe/restoran (bom Bali), hotel
(bom Ritz Carlton dan JW Marriot), pusat perbelanjaan (bom Alam Sutera dan Sarinah), dan
bahkan tempat ibadah (bom Solo dan Cirebon). Hal ini membuat sebagian masyarakat merasa
was-was dan ketakutan untuk pergi ke tempat-tempat tersebut. Misalnya, suatu ketika saat kita
sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan lalu listrik tiba-tiba mati, mungkin pikiran kita
terusik dengan ancaman bom atau kebakaran; terlebih lagi apabila sebelumnya mungkin kita
membaca/menyaksikan berita tentang (rencana) pengeboman, pasti hati kita tidak akan tenang.
2
Maka terciptalah teror di dalam masyarakat; rasa takut yang berlebihan yang menyebabkan
orang kehilangan hak azasinya untuk merasakan hidup bebas dari rasa takut dan tekanan.
Namun, ada sebagian masyarakat yang tidak merasa takut dengan adanya aksi-aksi teror
yang terjadi di Indonesia selama ini. Menurut survei yang dilakukan oleh SMRC semakin
rendah tingkat pendidikan masyarakat, maka semakin kecil rasa ketakutan mereka terhadap
ancaman terorisme (Tashandra, 2016). Memang terbukti ada sebagian warga masyarakat yang
berfoto selfie di TKP pengeboman dan bahkan seorang penjual sate tetap melayani pembeli
padahal jarak tempatnya berjualan hanya radius kurang lebih 200m dari lokasi kejadian
pengeboman di Sarinah (Samudra, 2016). Seorang pejabat PBB yang kebetulan sedang
bertugas di Jakarta ketika bom Sarina terjadi juga menyatakan kekagumannya melihat warga
Jakarta yang sama sekali tidak takut dengan insiden pengeboman tersebut. Bahkan dalam akun
Twitter mereka menuliskan hashtag #KamiTidakTakut dan #Jakartaberani (Maulana, 2016).
Sikap seperti ini mengakibatkan warga masyarakat menjadi kurang tanggap atau kurang kritis
terhadap fenomena sosial atau budaya yang ada di sekitar mereka. Sikap masyarakat yang
“kurang kritis” tersebut bukannya tidak beralasan karena penggerebekan dan penangkapan
yang dilakukan oleh Densus 88 selama ini banyak yang masih berdasarkan dugaan, sehingga
orang-orang yang mereka tahanpun masih berstatus “terduga teroris.” Diantara serangkaian
penangkapan yang terjadi selama ini ada yang menimbulkan kemarahan sebagian masyarakat
terhadap Densus 88 karena salah tangkap dan penganiayaan yang berujung pada kematian
“terduga teroris” bernama Siyono (Faiz, 2016) (BBC, 2016) (Artharini, 2016). Hasil forensik
menyatakan bahwa Siyono meninggal karena beberapa tulang iganya patah dan menusuk
jantungnya, maka masyarakat justru mempertanyakan “kinerja” Densus 88 yang sebelumnya
dikenal sebagai pahlawan oleh masyarakat. Belum lagi ketika belakangan ini ketika
pemberitaan tentang penangkapan terduga teroris secara kebetulan bersamaan dengan
peristiwa politik penting yang sedang terjadi, sehingga sebagian masyarakat menganggap
3
pemberitaan tentang penyergapan dan penangkapan terduga teroris adalah pengalihan isu. Hal
ini mengakibatkan masyarakat menjadi semakin acuh dengan berita-berita terorisme. Padahal
sikap acuh masyarakat berkontribusi terhadap tumbuhnya terorisme (Hidayat &
Kholisostussurur, 2016).
C.
Terorisme dan Ketidakadilan Global (Global Injustice)
Masalah ketidakadian global sangat jarang dibahas oleh media ketika mereka ramai
membicarakan isu terorisme, padahal ini merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya
serangan terhadap Barat atau objek-objek yang dianggap simbol Barat. Invasi Barat terhadap
negara-negara Islam serta dukungannya terhadap invasi Israel terhadap Palestina adalah salah
satu contoh riel ketidakadilan global. Setelah terjadi insiden penembakan di Kantor Majalah
Charlie Hebdo di Paris Perancis tanggal 7 Januari 2015 yang mengakibatkan dua belas orang
tewas (Banan, 2015) banyak pihak yang mengecam insiden tersebut dan bahkan dunia
internasional membuat hastag #prayforparis (Ratitia, 2015). Hal yang sama (kecaman)
seharusnya juga dilakukan terhadap Amerika Serikat ketika negara tersebut menyerang Iraq
dan mengakibatkan ratusan orang tewas. Dapat dipahami jika Amerika Serikat marah ketika
lebih dari 3.000 orang warganya tewas dalam serangan WTC, tetapi juga harus dipahami jika
umat Islam marah ketika tentara Amerika terus-terusan membunuh warga Afghanistan dan
Pakistan (Fadly, 2009). Kita juga bisa menyaksikan bagaimana Israel terus menginvasi
Palestina sepanjang sejarah dan tidak satu negara Barat pun yang berusaha menghentikannya
atau mengecamnya. Bahkan Amerika Serikat dan Inggris serta sekutu-sekutunya malah
mendukung Israel.
Di Indonesia terjadinya ketidakadilan yang bisa memicu tumbuhnya radikalisme juga
dapat dilihat dari beberapa peristiwa yang terjadi pada awal tahun 2017, yakni pertikaian antara
FPI (Front Pembela Islam) dan GMBI (Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia). Ketika massa
4
FPI kembali dari Mapolda Jawa Barat mengawal imam besar mereka, Habieb Rizieq Shihab
setelah diperiksa di Mapolda Jabar, dihadang dan diserang oleh massa GMBI yang
bersenjatakan balok hingga mengakibatkan sebuah mobil laskar FPI hancur dan banyak
anggota FPI terluka dan patah tulang (Kaimuddin, 2017). Sebagai aksi balasan FPI melakukan
aksi perusakan markas GMBI di Ciampea Bogor (Salim, 2017). Massa GMBI yang sudah
merencanakan aksi kerusuhan tersebut dibiarkan saja oleh polisi, terbukti ketika mereka terlihat
membawa batu dan balok kayu dibiarkan saja oleh polisi, karena Ketua Harian GMBI adalah
Kapolda Jawa Barat. Bentuk ketidakadilan seperti ini bisa menumbuhkan benih-benih
radikalisme.
Pada tahun 2005 sebuah laporan berjudul International Impact of Iraq yang ditulis oleh
Joint Intelligence Committee (JIC) menyatakan bahwa “We think that the conflict occurring in
Iraq has worsened international terrorism menace and continuously given impacts in long
term. The conflict has made terrorists more enthusiastic to attack the West and motivated other
people to do similar actions.(ibid)”. Maksudnya adalah konflik yang terjadi di Iraq telah
memperburuk ancaman teror internasional dan berdampak jangka panjang. Konflik tersebut
justru membuat para teroris semakin ingin menyerang Barat dan justru akan memotivasi orang
lain untuk melakukan aksi teror.
Jadi, siapapun yang ingin menghentikan kekerasan global harus berani minta pemerintah
Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya utuk menghentikan kebijakan-kebijakannya yang
eksploitatif dan diskriminatif terhadap Negara-negara Islam. Bagi umat Islam, ketidakadilan
global ini harus dihentikan atau akan menjadi bom-bom waktu berdaya ledak tinggi, dan
menurut saya sebagian diantaranya sudah terjadi, terutama di wilayah-wilayah di Indonesia
seperti tersebut di atas.
5
D.
Radikalisme di Indonesia
Menurut Merriam Webster online Dictionary “The opinions and behavior of people who
favor extreme changes especially in government, or radical political ideas and behavior .”
(Merriam-Webster, 2016). Sedangkan menurut Cambridge Dictionary radikalisme adalah
“believing or expressing the belief that there should be great or extreme social or political
change” (Cambridge, 2016). Jadi, radikalisme itu adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
pemikiran, keyakinan dan perilaku yang ekstrem, yang berkaitan dengan persoalan sosial atau
politik. Adapun dalam essay ini saya akan membicarakan tentang radikalisme dalam konteks
agama.
Menurut Listi (2015) ada empat faktor yang memicu munculnya radikalisme agama di
Indonesia yaitu yang pertama adalah misinterpretasi penganut agama terhadap ajaran
agamanya. Beberapa kelompok umat Islam meyakini bahwa terbunuh dalam mempertahankan
agama (Islam) adalah sebuah jihad, seperti yang disebutkan dalam al Qur’an dan hadits. Namun
demikian, ironisnya mereka menginterpretasikan ayat-ayat dan hadits secara literal dan
menunjukkan keimanan mereka dengan berjihad dengan cara apapun ketika agamanya
terancam atau kepentingan politisnya tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah. Ke dua
adanya kesenjangan kesejahteraan dalam masyarakat seperti kemiskinan. Bahkan hal ini bisa
menyebabkan terjadinya kudeta. Ke tiga adalah ideologi agama. Penganut keyakinan ini
beranggapan bahwa orang-orang diluar kelompok mereka dianggap kafir, sehingga mereka
ingin mendirikan Negara atas dasar ajaran Islam. Ke ampat adalah salafisme. Ideologi ini
memimpikan sebuah Negara yang murni berlandaskan ajaran Islam seperti Negara Islam yang
dulu pernah ada. Keempat sebab tersebut memicu lahir dan tumbuhnya radikalisme dalam
agama. Sementara itu, menurut Akbar radikalisme tidak dapat dipisahkan dari tiga faktor, yakni
faktor domestic, internasional dan budaya (Saifulloh, 2015). Disamping itu, Jati mengatakan
bahwa radikalisme di Indonesia berakar dari masalah kemiskinan dalam masyarakat. Hal ini
6
disebabkan oleh aspek ekonomi dan sosial yang semakin luas di masyarakat (Jati, 2013). Sirozi
menyatakan bahwa masalah mendasar yang menyumbang merebaknya radikalisme Islam di
seluruh dunia adalah sempitnya pemahaman tentang konsep jihad (Sirozi, 2005). Dapat
disimpulkan bahwa munculnya radikalisme itu lebih karena disebabkan oleh ketidakpuasan
dan ketidaksetujuan sekelompok orang terhadap kebijakan pemerintah dan mereka tidak
mempunyai akses untuk berdialog dengan penguasa atau mereka diperlakukan tidak adil oleh
penguasa.
Dari deskripsi dan penjelasan di atas kita bisa melihat ada persoalan yang ada di
masyarakat, yaitu pertama masyarakat yang “kurang kritis” terhadap isu terorisme secara tidak
langsung bisa turut berkontribusi terhadap tumbuhnya radikalisme dan aksi terorisme di
Indonesia. Jika ini dibiarkan para teroris akan lebih leluasa bergerak. Selama ini tempat tinggal
mereka yang diduga teroris ini tinggal di tengah-tengah komplek perumahan atau kampong
bersama warga masyarakat lainnya, hanya saja karena mereka pandai berkamuflase dan
masyarakat sekitar “tidak kritis” maka keberadaan mereka tidak diketahui.
Ke dua, nilai-nilai budaya masyarakat yakni saling menghargai dan menghormati sudah
tidak lagi dijunjung tinggi baik di tingkat individu, masyarakat maupun negara. Ke tiga,
semakin hilangnya budaya tabayun atau kroscek antara pihak-pihak yang terlibat konflik.
Masing-masing pihak saling berprasangka tidak baik. Ke empat, kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi yang semakin mempermudah keterbukaan informasi publik, apabila tidak
dikelola dengan profesional akan dapat menimbulkan rasa saling curiga dan fitnah.
Oleh karena itu, rumusan masalah yang harus dipecahkan adalah bagaimana membangun
“kesadaran kritis” warga masyarakat yang selama ini beranggapan bahwa terorisme itu bukan
ancaman serius dan bagaimana warga masyarakat dan pemerintah bisa saling membantu dalam
melakukan pencegahan radikalisme dan aksi terorisme di Indonesia.
7
E.
Metodologi
Riset ini harus diawali dengan membuat road map atau peta jalan, terkait dengan apa
yang telah dilakukan dan apa yang harus/akan dilakukan baik oleh para peneliti sebelumnya
ataupun oleh pemerintah. Upaya untuk membangun kesadaran kritis masyarakat diperlukan
metodologi yang tepat. Untuk membuat masyarakat sadar akan pentingnya kesadaran akan
bahaya radikalisme dan terorisme tidak bisa dilakukan dengan cara paksa, tetapi dengan
pendekatan halus atau Soft-power diplomacy; diplomasi antara pemerintah dan pihak-pihak
yang berkonflik atau antara pemerintah dan warga yang berkonflik dengan pemerintah.
Strategi Penelitian
Ini merupakan sebuah penelitian kualitatif berdasarkan studi kepustakaan (library
research). Karena topik penelitian ini berkaitan dengan budaya maka penelitian ini termasuk
penelitian etnografi (Grbich, 2007).
Lokasi
Penelitian ini akan dilaksanakan di kota Surakarta, karena kebetulan di Surakarta pernah terjadi
beberapa kali aksi terorisme dan pengeboman, sehingga memenuhi syarat untuk dijadikan
lokasi untuk penelitian ini.
Data dan Sumber Data
Data penelitian ini berupa hasil kuesioner dan wawancara dengan warga masyarakat dan tokohtokoh masyarakat Solo tentang persepsi dan pendapat mereka mengenai ancaman terorisme.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dari membagikan kuesioner dan melakukan wawancara
mendalam (in-depth interview) dengan nara sumber.
F.
Manfaat dan kontribusi
8
Sebuah negara makmur yang mempunyai penduduk dengan tingkat keteraturan sosial
yang tinggi, berpendidikan tinggi, memiliki kesadaran tinggi akan tanggung jawabnya dan
kewajibannya sebagai warga negara dan warga masyarakat dan kritis terhadap dinamika sosial
dan budaya serta memiliki rasa kepedulian sosial yang tinggi adalah sebuah mimpi yang
mungkin sulit kita temukan sekarang ini. Namun gambaran di atas adalah sebuah mimpi
seorang pemimpin atau kepala negara. Sebagai akademisi kita memiliki rasa tanggung jawab
terhadap bangsa dan negara kita yang berdasarkan Pancasila. Etika bernegara dan berwarga
negara sudah diatur dalam UUD 1945. Maka tidaklah berlebihan jika kita menginginkan
masyarakat bangsa kita seperti gambaran di atas. Jika riset ini dilakukan maka hasilnya akan
memberikan manfaat dan kontribusi kepada masyarakat luas, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Tingkat kesadaran, kepedulian dan sikap kritis masyarakat akan meningkat.
Hal ini tentu akan berimplikasi pada meningkatnya persatuan dan kesatuan warga masyarakat
serta jalinan kerjasama yang kooperatif antara masyarakat dan pemerintah selama pemerintah
konsekuen dengan tugas dan kewajibannya.
G.
Kesimpulan
Radikalisme dan terorisme telah muncul sejak lama. Dari waktu ke waktu para pelakunya
selalu ditekan, ditangkap dan dihukum oleh pemerintah. Apalagi sejak serangan yang menimpa
menara kembar World Trade Center tanggal 11 September 2001, Amerika Serikat dan
sekutunya mengeluarkan regulasi dan kebijakan yang semakin ketat untuk negara-negara Islam
dan orang-orang yang akan berkunjung ke Amerika Serikat, ditambah lagi dengan adanya
ketidakadilan pemerintah dalam menindak kasus-kasus hukum. Hal ini menyebabkan
munculnya reaksi menentang yang seringkali berlanjut dengan serangan bom bunuh diri yang
dilakukan oleh Muslim garis keras atau mereka yang dimarjinalkan atau diperlakukan tidak
adil oleh pemerintah.
9
Pendekatan diplomatis oleh pemerintah kepada pihak-pihak yang bertikai atau antara
pemerintah dengan pihak yang beroposisi dengan pemerintah perlu dilakukan agar dapat
memecahkan persoalan. Disamping itu membangun kesadaran kritis warga masyarakat akan
pentingnya ancaman terorisme juga harus dibangun agar warga masyarakat memiliki
kemampuan untuk berpikir kritis dan proaktif dalam menghadapi perubahan sosial dan budaya,
khususnya terhadap ancaman terorisme.
10
Bibliography
Aldeputro, R. (2015, October 31). Bom Alam Sutera dan Titik Balik Isu Terorisme di Indonesia.
Retrieved December 25, 2016, from Kompasiana.com:
http://www.kompasiana.com/rama.aldeputro/bom-alam-sutera-dan-titik-balik-isuterorisme-di-indonesia_5634b17e2ab0bd640950bfbc
Amirullah. (2013, March 8). Begini Detasemen Khusus 88 Antiteror Dibentuk. Retrieved January 13,
2017, from Tempo.co: https://m.tempo.co/read/news/2013/03/08/063465820/beginidetasemen-khusus-88-antiteror-dibentuk
Artharini, I. (2016, April 11). Penyebab kematian terduga teroris Siyono terungkap. Retrieved
December 26, 2016, from BBC Indonesia:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160411_indonesia_autopsi_siyo
no
Banan. (2015, January 8). Charlie Hebdo kantor majalah penghina Nabi Muhammad di Paris
diserang, 12 tewas - See more at: https://www.arrahmah.com/news/2015/01/08/charliehebdo-kantor-majalah-penghina-nabi-muhammad-di-paris-diserang-12tewas.html#sthash.GxxYFj2W.dpuf. Retrieved January 15, 2017, from Arrahmah.com:
https://www.arrahmah.com/news/2015/01/08/charlie-hebdo-kantor-majalah-penghinanabi-muhammad-di-paris-diserang-12-tewas.html
BBC. (2016, March 15). Warga Solo protes Densus 88 terkait kematian Siyono. Retrieved December
26, 2016, from BBC Indonesia:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160314_indonesia_densus_prot
es_solo.shtml
Britannica, E. (2001). War on Terrorism. Retrieved January 13, 2017, from Encyclopaedia Britannica:
https://www.britannica.com/topic/war-on-terrorism
Bruinessen, M. v. (n.d.). Genealogies of Islamic radicalism in post-Suharto Indonesia. South Esat Asia
Research, 10(2), 117-154. Retrieved January 14, 2017, from
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.5367/000000002101297035
Cambridge. (2016). Cambridge Dictionary. Retrieved December 27, 2016, from Online Cambridge
Dictionary: http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/radical
Fadly. (2009, October 3). Isu Terorisme dan Serangan Terhadap Islam. Retrieved December 25, 2016,
from Arrahmah.com: https://www.arrahmah.com/read/2009/10/03/5799-isu-terorismedan-serangan-terhadap-islam.html
Faiz, A. (2016, March 26). Apa Saja Kejanggalan dalam Kematian Siyono, Terduga Teroris? Retrieved
December 26, 2016, from Tempo:
https://m.tempo.co/read/news/2016/03/26/063757075/apa-saja-kejanggalan-dalamkematian-siyono-terduga-teroris
Grbich, C. (2007). Qualitative Data Analysis. Great Britain: Sage Publication.
Hidayat, M. A., & Kholisostussurur, L. (2016, January 15). NU: Sikap Cuek Masyarakat Menumbuhkan
Terorisme. Retrieved January 14, 2017, from VIVA:
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/723711-nu-sikap-cuek-masyarakatmenumbuhkan-terorisme
Jati, W. R. (2013, December). Radicalism in the Perspective of Islamic Populism: Trajectory of Political
Islam in Indonesia. Journal of Indonesian Islam, 7(2). Retrieved December 25, 2016, from
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&
ved=0ahUKEwjBuaubgI_RAhWKro8KHaJPBSgQFggeMAE&url=http%3A%2F%2Fjiis.uinsby.ac.i
d%2Findex.php%2FJIIs%2Farticle%2FviewFile%2F129%2F128&usg=AFQjCNEHqRBxG8u74p5
FFrmJ-MgqZBWtig&sig
Kaimuddin, H. (2017, January 13). Ini Foto-foto Bentrokan Antara FPI dengan Ormas GMBI. Retrieved
January 15, 2017, from Fajar.co.id: http://fajar.co.id/2017/01/13/ini-foto-foto-bentrokanantara-fpi-dengan-ormas-gmbi/
11
Maulana, V. (2016, January 15). Media Inggris: Masyarakat Indonesia Beri Pesan Kuat pada Teroris.
Retrieved January 15, 2017, from SindoNews.Com:
http://international.sindonews.com/read/1077321/41/media-inggris-masyarakat-indonesiaberi-pesan-kuat-pada-teroris-1452843015
Merriam-Webster. (2016). Merriam-Webster. Retrieved from Merriam Webster Dictionary:
https://www.merriam-webster.com/dictionary/radicalism
Rappler.com. (2017, January 1). Lini Masa: Serangan teror di penjuru dunia 2016. Retrieved January
15, 2017, from Rappler.com: http://www.rappler.com/indonesia/140923-kronologi-aksiteror-2016
Ratitia, G. (2015, January 15). Kompasiana.com. Retrieved January 15, 2017, from Serangan Teror di
Perancis, Harga Mahal Sebuah Kartun Charlie Hebdo:
http://www.kompasiana.com/gitanyali/serangan-teror-di-perancis-harga-mahal-sebuahkartun-charlie-hebdo_54f379417455137c2b6c7832
Saifulloh, M. (2015, July 30). Tiga Faktor Pemicu Radikalisme. Retrieved December 25, 2016, from
Kompasiana.com: http://news.okezone.com/read/2015/07/30/337/1187812/tiga-faktorpemicu-radikalisme
Salim, H. J. (2017, January 13). Polri Benarkan Kapolda Jabar Pembina GMBI yang Bentrok dengan
FPI. Retrieved January 15, 2017, from Liputan6.Com:
http://news.liputan6.com/read/2826030/polri-benarkan-kapolda-jabar-pembina-gmbi-yangbentrok-dengan-fpi
Samudra, N. (2016, January 15). KITA BANGSA INDONESIA TIDAK TAKUT Terhadap TERORISME.
Retrieved January 15, 2017, from Patriot Garuda:
http://patriotgaruda.com/2016/01/15/kita-bangsa-indonesia-tidak-takut-terhadapterorisme/
Sihbudi, R. (2002, October 21). Bom Bali, Konspirasi Intelijen Amerika dan Israel. (Hidayatullah.com)
Retrieved December 25, 2016, from Hidayatullah.com:
http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2002/10/21/213/bom-bali-konspirasiintelijen-amerika-dan-israel.html
Sirozi, M. (2005, January). The Intellectual Roots of Islamic Radicalism in Indonesia: Ja'far Umar
Thalib (Jihad Fighters) and His Educational Background. The Muslim World, 95, 81-120.
Retrieved December 25, 2016, from
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&
ved=0ahUKEwjBuaubgI_RAhWKro8KHaJPBSgQFgglMAI&url=http%3A%2F%2Fwww.umpalan
gkaraya.ac.id%2Fperpustakaan%2Fdigilib%2Ffiles%2Fdisk1%2F15%2F123-dfadfmuhammadsi-709-1-15840302.pdf
Syatibi, I. (2016, June 24). Fenomena Terorisme di Indonesia: Antara Gerakan Teologi-Politik dan
Religious Extremist. Retrieved December 25, 2016, from Rumah Kitab.com:
http://rumahkitab.com/fenomena-terorisme-di-indonesia-antara-gerakan-teologi-politikdan-religious-extremist/
Tashandra, N. (2016, January 22). Kompas.com. Retrieved January 15, 2017, from Survei: Masyarakat
Berpendidikan Tinggi Lebih Takut pada Ancaman Teroris:
http://nasional.kompas.com/read/2016/01/22/13310831/Survei.Masyarakat.Berpendidikan
.Tinggi.Lebih.Takut.pada.Ancaman.Teroris
Wikipedia. (2001). War on Terror. Retrieved January 13, 2017, from Wikipedia:
https://en.wikipedia.org/wiki/War_on_Terror
12