KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM RUMAH (1)

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
DALAM RUMAH TANGGA
Frans Paillin Rumbi, M. Th

Abstrak
Diskriminasi dan banyaknya kaum perempuan yang menjadi korban dari perlakuan semenamena, telah mengelitik alam bawah sadar kelompok feminis untuk memperjuangkan
kesetaraan gender. Walaupun demikian, perjuangan kelompok feminis untuk mendapatkan
hak dan pembagian peran yang sama dengan laki-laki, tidak akan maksimal apabila mereka
tidak melibatkan kaum laki-laki. Berangkat dari pemahaman itulah, maka tulisan ini akan
mengkaji salah satu masalah yang merupakan bias gender(kekerasan terhadap perempuan
dalam rumah tangga), dengan menempatkannya dari persfektif maskulin dan sekaligus upaya
memperlihatkan bahwa laki-laki pun merasakan perlunya kesetaraan gender.

A. Pendahuluan
Minat penulis untuk membahas tema kekerasan dalam rumah tangga, berangkat dari
beberapa peristiwa penting pada tataran praktis. Pengalaman pertama, yakni pengalaman
tinggal sekontrakan dengan sebuah rumah tangga muda „suara tangis seorang ibu sering
terdengar memecah keheningan malam dan membuat para penghuni rumah lainnya menjadi
terjaga‟. Tangisan sang ibu merupakan luapan emosional sebagai bentuk ekspresi atas
perlakuan kasar dan cacian yang dilakukan oleh suaminya. Hal tersebut belum termasuk
wajahnya yang kerap terlihat babak belur akibat hantaman benda keras.

Pengalaman lain yakni salah satu kasus yang sempat ditangani oleh tim kecil
pemerhati masalah perempuan di Makassar beberapa tahun lalu. Waktu itu team ini sempat
mendampingi seorang ibu beranak tiga yang harus dirawat di rumah sakit akibat perlakuan
kasar yang dilakukan oleh suaminya. Kasus yang pada akhirnya berujung pada penanganan
lebih serius oleh pihak kepolisian. Dari penuturan singkat sang ibu perlakuan kasar sudah
sering kali dialami. Anehnya lagi sang pelaku (suami) adalah salah seorang pejabat
diperusahaan swasta, yang juga berpendidikan tinggi. Perilaku sang suami membuat saya
berasumsi bahwa pendidikan dan jabatan yang tinggi tidak cukup menjamin kenyamanan
sang istri untuk terbebas dari kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam ranah
domestik (rumah tangga). Kedua kisah yang dialami sang istri dalam rumah tangganya
merupakan bagian kecil dari sekian banyak kasus kekerasan yang sering dialami oleh kaum
perempuan dalam keluarga, tidak peduli apakah ia dalam posisinya sebagai seorang ibu,
anak perempuan. ataukah dalam posisi sebagai pembantu.
Kaum ibu korban kekerasan tentunya merasakan perlakuan berbeda dengan masa
sebelum mereka berdua (maksudnya dengan suami) memutuskan untuk hidup
berumahtangga. Berbagai bentuk perlakuan, rayuan, perhatian, kasih sayang boleh mereka
alami ketika masih pacaran, tetapi kemudian menjadi sirna ketika hidup berumah tangga,
terganti dengan kekerasan.
Permasalahannya, mengapa kekerasan dalam rumah tangga mudah terjadi? Hal itulah
yang coba penulis dalam tulisan singkat ini.

B. Sekitar Definisi Kekerasan
Definisi kekerasan adalah berbagai bentuk perlakuan kasar yang menyebabkan
seseorang dicederai bahkan mengalami tekanan secara psikis. Terkadang kekerasan
disebabkan pemaksaan untuk melakukan sesuatu yang berada di luar keiginannya. Kekerasan
juga dapat diklasifikasikan menurut jenis kasusnya, yakni kekerasan fisik (misalnya,

22
tamparan, pemukulan, pencekikkan, lemparan benda keras, penyiksaan menggunakan senjata,
penyekapan, pengrusakan alat kelamin, penganiayaan dan pembunuhan); kekerasan
psikologis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, bentakan dan ancaman yang
diberikan untuk memunculkan rasa takut; kekerasan seksual yaitu setiap perbuatan
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
Sementara itu, Aina Rumiyati Aziz menambahkan dua jenis kekerasan lagi yakni kekerasan
ekonomi dan sosial. Kekerasan ekonomi terjadi apabila seseorang dalam situasi terlilit oleh
persoalan ekonomi. Sedangkan, kekerasan sosial lebih dipengaruhi oleh pemahaman yang
berlaku dalam suatu lingkungan khususnya tentang hubungan laki-laki dan perempuan.1
Dari segi hukum kekerasan dibedakan atas kekerasan terhadap perempuan dan
kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan yakni setiap perbuatan

berdasarkan perbedaan kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan dan
penderitaan secara fisik, seksual maupun psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di
depan umum ataupun dalam kehidupan pribadi. Sedangkan kekerasan dalam rumah tangga
yakni tindakan kekerasan baik fisik, psikis, ekonomi maupun seksual yang terjadi dalam
lingkup rumah tangga yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan bagi perempuan
dan anak.2
Arlina G. Latief lebih melihat kekerasan dari sudut pandang psikologis bahwa
kekerasan merupakan salah satu bentuk perilaku agresi. Agresi dapat dibedakan ke dalam tiga
kategori yaitu: ‘Hostile aggresion’, ‘Instrumental aggression’ dan ‘mass agression’. Agresi
hostile, merupakan tindakan tak terkendali akibat perasaan marah yang membludak keluar.
Sedangkan agresi “instrumental‟ adalah tindakan agresif yang dipakai secara sengaja sebagai
cara untuk mencapai suatu tujuan yang bisa saja bukan merupakan suatu agresi (misalnya
untuk mencapai tujuan politik tertentu). Lebih lanjut asgresi „massa‟ adalah tindakan agresif
yang dilakukan oleh massa sebagai akibat kehilangan individualitas dari masing-masing
individu. Manakala massa tersebut telah solid, harus berjumpa dengan seseorang yang
membawa kekerasan, dan mulai melakukan tindakan, maka secara otomatis semua akan ikut
melakukan kekerasan bahkan dapat semakin meninggi, karena saling membangkitkan.3
Berdasarkan sudut pandang ini dapat dikatakan kekerasan berbeda dengan marah. Orang
yang marah bisa saja tidak melakukan kekerasan. Kekerasan terjadi ketika emosi itu tidak

lagi dapat dikendalikan sehingga orang yang bersangkutan melakukan berbagai bentuk
tekanan untuk menguasai bahkan untuk mempertahankan dan merebut “kekuasaannya” yang
hilang. Namun demikian kekerasan juga berarti usaha untuk menonjolkan diri.

C. Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga
a. Budaya Patriarki
Budaya patriarki berperan penting menyuburkan praktek-praktek kekerasan. Ciri
budaya ini ialah aturan-aturan yang dijumpai, diamati, dilakukan dalam rumah tangga
maupun dalam lingkungan masyarakat yang semuanya bermuara pada pemberian
peran dan kesempatan lebih besar pada laki-laki. Budaya patriarki telah membangun
patron berupa tiang-tiang kokoh yang membatasi ruang gerak perempuan dalam sebuah
kerangkeng besi. Ketika mereka mencoba menerobos tiang-tiang pembatas itu,
masyarakat justru akan mengasingkannya. Keberadaan perempuan juga dapat
diandaikan seperti robot yang tidak memiliki kebebasan berbuat sekehendak hatinya,
yang tergantung „remote control‟ yang tidak lain adalah laki-laki.

23
Perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengerti dan mengenal dirinya sendiri
sehingga dapat mengatur sikapnya. Mereka menjadi manusia-manusia yang kehilangan
daya kritisnya karena kesempatan yang diberikan hanya sedikit belum lagi mereka

dibius oleh aturan-aturan yang mengharuskan mereka tunduk kepada laki-laki tanpa
memberi mereka celah untuk menanggapi situasi yang dialami.
Memang benar diantara kaum perempuan, ada yang berhasil melepaskan diri dari
kendali laki-laki tetapi itu hanya sebagian kecil. Perempuan yang lepas dari tirani
patriarki pada akhirnya akan menyadari bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan
ketika berada dalam bayang-bayang laki-laki bukan keadilan dan kehendak bebas
seutuhnya. Keadilan dan kehendak bebas sebagai manusia yang bermartabat baru di
dapatkan ketika ia mampu memahami dirinya sebagai seseorang benar-benar bebas
menentukan yang baik dan buruk bagi dirinya.
Jaques Lacan, seorang filsuf Perancis mengemukakan diskriminasi terhadap kaum
perempuan terjadi karena keterasingan yang mereka alami pada masa pertumbuhan, ada
simbol-simbol yang ia tidak mengerti karena simbol-simbol tersebut dikomunikasikan
lewat bahasa maskulin.4 Berbeda dengan Lacan, Mariane Katoppo berpendapat bahwa
budaya patriarki telah memaksa perempuan yang berada dalam puncak kekuasan untuk
berlaku sebagai laki-laki untuk mendatangkan ancaman bagi cita-cita perempuan itu
sendiri. Lebih lanjut ia katakan laki-laki kemudian menjadi norma bagi manusia.
Perempuan, karena dilihat menyimpang, mereka pun dinilai selaku yang bukan
manusia.5 Penilaian terhadap perempuan sebagai yang bukan manusia telah
melanggengkan hegemoni laki-laki diberbagai segi kehidupan. Namun demikian kita
tidak bisa secara sepihak mengklaim kesalahan sepenuhnya ada pada pihak laki-laki

sebagai pelanggeng budaya patriarki sebab secara terselubung perempuan dengan
sikapnya yang pasrah ikut melanggengkan budaya ini.
Sikap pasrah kaum perempuan membuat mereka menutup-nutupi berbagai bentuk
diskriminasi. Kebiasaan tersebut bahkan terbawa ketika mereka memasuki jenjang
rumah tangga. Sikap pasrah menuntut konsekuensi yang harus mereka terima. Di satu
sisi dapat berdampak positif dalam memudahkan ia menjalin suatu komunikasi yang
baik dengan sang suami sehingga mereka mampu membangun rumah tangga yang
rukun. Tetapi itu pun dengan syarat yakni dibarengi kesadaran dari sang suami bahwa
kehidupannya tidak lagi sebagai individu yang bebas berbuat sesukanya, hidupnya
harus berjalan dalam saling pengertian dengan sang istri. Di sisi lain, kita tidak bisa
menutup mata terhadap kemungkinan terburuk yang dapat timbul dimana sang suami
melakukan tindak kekerasan kepadanya.
b. Pendidikan Keluarga
Kenyataan bahwa telah terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga oleh suami
yang berpendidikan dan memiliki jabatan tinggi terhadap istrinya, tidak berarti
membuat kita mengabaikan aspek pendidikan. Faktor pendidikan sangat menentukan
kedua belah pihak (suami-istri) dalam membina rumah tangganya. Besarnya
kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi anak laki-laki dan sekaligus
kurangnnya kesempatan pada anak perempuan untuk duduk dalam bangku pendidikan
sangat mempengaruhi dalam membentuk pola pikir manusia. Tingkat pendidikan yang

tinggi telah membuat anak laki-laki merasa berada pada posisi lebih tinggi dari anak
perempuan. Oleh karena itu, mereka harus memiliki kekuasaan lebih setimpal dengan
pendidikannya termasuk dalam keluarga. Sebaliknya, dipihak perempuan
ketertinggalan dalam bidang pendidikan menghalangi keinginan untuk maju dan
memikirkan apa yang baik. Wawasan yang sempit membuka ruang bagi kaum laki-laki
untuk melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan.6

24
Sementara itu, jika tingkat pendidikan suami dan istri rendah dapat juga memicu
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga apalagi kalau salah satu pihak mudah
terprovokasi oleh orang lain yang mendengar perlakuan negatif pasangannya. Demikian
halnya ketika keluarga mereka dilanda oleh masalah ekonomi. Karena kurangnya
pendidikan, dapat saja sang suami melakukan tindak kekerasan untuk memaksa istrinya
bekerja, sementara dia sendiri enak-enakan di rumah sambil menunggu upah yang
diterima istrinya.
Di samping persoalan pendidikan formal, pendidikan informal yang
berlangsung dalam keluarga juga sangat penting dalam membina watak seseorang
khususnya dalam menanamkan pengetahuan yang benar tentang relasi laki-laki dan
perempuan. Sejak masa kanak-kanak pembagian peran yang adil antara perempuan dan
laki-laki (gender) dalam rumah tangga perlu untuk segera diajarkan kepada mereka,

sebab akan sangat menentukan pembentukan karakter anak. Sejalan dengan itu, bila
dalam keluarga ayah terlalu sering melakukan tindak kekerasan terhadap ibu dan
membeda-bedakan kasih sayang terhadap anak-anaknya, dimana anak laki-laki lebih di
sayang daripada anak perempuan, maka apa yang dirasakan oleh sang anak laki-laki
dapat terbawa ketika ia berkeluarga nantinya kemudian dengan semaunya
memperaktekkan tindak kekerasan terhadap istrinya.
c. Kurangnya Dialog
Dialog atau komunikasi dalam keluarga menjadi hal yang penting baik dalam
hubungan suami istri maupun dalam hubungan orang tua dan anak. Kurangnya dialog
akan berdampak pada pembagian peran atau kekuasaan dalam rumah tangga. Dapat
saja terjadi sharing of power yang adil antara suami dan istri, antara orang tua dengan
anak, atau sebaliknya berupa pembagian peran yang tidak adil. Jika perkiraan kedua
yang terjadi, biasanya suami yang mendominasi kekuasaan.7
Ketika sesama anggota keluarga jarang berkomunikasi apalagi jika disibukkan
oleh pekerjaan, maka mereka akan mudah disusupi unsur saling curiga, saling tidak
percaya dan salah paham. Apabila masalah tersebut tidak mampu diselesaikan, maka
akan membuat masing-masing orang berada dalam tingkat emosi yang cukup tinggi
sehingga akan mudah menyulut terjadinya tindak kekerasan.
d. Pribadi Korban Sendiri
Usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka mengungkap kasus-kasus kekerasan

dalam rumah tangga ataupun kekerasan di luar rumah terhadap perempuan mulai
membuahkan hasil. Masyarakat mulai menyadari berbagai perlakuan yang berujung
pada tindak kekerasan terhadap kaum perempuan, merupakan produk dari budaya
patriarki yang salah. Bahkan para korban mulai memiliki keberanian untuk melaporkan
kasus-kasus yang terjadi pada dirinya kepada LSM maupun kepada pihak yang
berwajib.
Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa sampai saat ini masih banyak
juga korban kekerasan yang enggan melaporkan kasusnya kepada pihak yang berwajib.
Berbagai alasan mempengaruhi keputusan tersebut. Misalnya, adanya rasa malu untuk
mengungkap masalahnya, adanya rasa takut, tidak yakin ada yang dapat membantu,
takut pada petugas, proses hukum yang melelahkan, tidak punya biaya, kesulitan
membuktikan, tidak ada jaminan keamanan jika melapor, takut dikucilkan keluarga dan
masyarakat.8
Budaya malu yang dikembangkan dan dijunjung tinggi masyarakat Indonesia
turut menghambat pengungkapan masalah kekerasan kepada orang lain. Kekerasan
yang terjadi dalam rumah tangga berusaha disembunyikan sedemikan rupa sehingga

25
hanya orang di dalam rumah atau kalau perlu hanya suami istri yang mengetahui.
Apabila sampai terdengar orang lain maka itu merupakan aib bagi keluarga. Orangorang akan menjadikan keluarganya sebagai bahan cerita, gosip atau sebagainya.

Ketidaksiapan untuk menanggung malu dan ditunjang sifat perempuan yang banyak
mengandalkan pertimbangan perasaan, mengkibatkan mereka mendiamkan
masalahnya.
Pertimbangan lain yakni ketakutan akan perlakuan lebih keji dari suami yang
dapat mereka alami apabila sang suami mengetahui bahwa ia telah melaporkan masalah
tersebut kepada orang lain atau bahkan kepada pihak kepolisian. Pertimbangan
semakin mengarah usaha untuk mendiamkan setelah mengetahui bahwa tidak ada
jaminan keamanan atau perlindungan dari pihak kepolisian setelah melapor dan selama
proses pemeriksaan atau proses hukum berjalan.
Masalah kekerasan tidak hanya sampai di situ sebab menurut Zohra Andi Baso
koordinator umum Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) di Makassar bahwa
para perempuan yang melaporkan masalahnya kepada pihak kepolisian atau aparat
hukum lainnya cenderung di diskreditkan dan mereka (aparat) kurang berpihak pada
kaum perempuan. Lebih lanjut dalam proses interogasi pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepada para korban cenderung bermakna memojokkan dan malah
mempersalahkan perempuan.9

D. Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga telah
mendorong pemerintah mengambil suatu langkah tegas untuk meminimalisir berbagai bentuk

tindak kekerasan. Adapun upaya yang ditempuh sebagaimana tertuang dalam Pasal 43
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Selanjutnya, menindak lanjuti undang-undang tersebut dikeluarkan lagi Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan
Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yang dimaksud dengan
pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah
tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis. Sementara penyelenggaraan
pemulihan adalah segala tindakan yang meliputi pelayanan pendampingan kepada korban
kekersan dalam rumah tangga.10
Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, sebenarnya usaha-usaha untuk menentang
kekerasan terhadap perempuan sudah sering kali dibahas dalam sebuah forum. Misalnya yang
dilakukan oleh Gerakan Anti-Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia (GATKPI) tahun
1995. Dari pertemuan itu selanjutnya disepakati tiga hal penting dan sekaligus menjadi tujuan
mereka selanjutnya yakni untuk menanggapi permasalahan kekerasan terhadap perempuan
yang terjadi di berbagai aspek kehidupan: keluarga, tempat kerja, masyarakat, dan negara;
mensosialisasikan bentuk-benuk kekerasan terhadap perempuan supaya makin banyak orang
mengetahui dan menyadarinya; memperkuat kerja sama antara LSM dan perseorangan yang
peduli terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.11
Berdasarkan hasil-hasil keputusan tersebut, usaha ke arah pencegahan harus mulai
dilakukan dalam keluarga. Keluarga menjadi fokus utama perhatian sebab berbagai hal yang
memicu dan terus memelihara kelanggengan kekerasan berawal dari dalam keluarga. Usaha
yang harus dilakukan berupa sosialisasi terhadap keluarga-keluarga baik dengan sistem door
to door maupun seminar-seminar berisi pembinaan tentang gender.
Berbagai tindakan yang dilakukan dalam keluarga telah mempengaruhi budaya yang
berkembang dalam masyarakat. Dalam kasus budaya patriarki misalnya. Kekuasaan dan
kesempatan lebih besar yang diterima laki-laki dalam keluarga berdampak pada usaha untuk

26
menerapkan dalam konteks masyarakat. Faktor ini didukung oleh kesadaran bahwa pada
masing-masing keluarga terjadi hal yang sama. Oleh karena itu, mereka mengambil nilai
umum yang berlaku untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat dan mewariskannya turun
temurun sehingga menjadi suatu budaya.
Terhadap kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga maupun korban
kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat, perlu pendampingan untuk memulihkan
perasaan-perasaan mereka yang terluka. Empati merupakan modal penting dalam
pendampingan. Dengan empati konselor (pendamping) akan dimudahkan untuk menangkap
dan mendengarkan suara-suara hati mereka dan menemukan pokok permasalahan serta apa
keinginan mereka.
Pendampingan hendaknya diarahkan pada usaha membangkitkan kesadaran setiap
kaum perempuan bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Kesadaran akan
membuat mereka menjadi berdayaguna sehingga memiliki keinginan untuk membebaskan
diri dari kungkungan perasaan-perasaan minder dan ketergantungan pada laki-laki. Dalam
ruang lingkup aspek kehidupan, diperlukan pemberian kesempatan yang sama besar. Juga
diperlukan pengakuan dan penghargaan yang sama terhadap usaha-usaha yang mereka
lakukan.
Sekalipun usaha-usaha pemulihan dan penghapusan kekerasan perempuan dalam
rumah tangga giat dilaksanakan, tetapi tidak berarti kita melupakan pembinaan terhadap
kaum laki-laki. Kepada mereka perlu diarahkan untuk mengubah pola pandang dan tingkah
lakunya terhadap perempuan. Hal ini dimaksudkan agar laki-laki menjadi terbuka dan
menyadari bahwa perempuan merupakan sesamanya yang harus diberikan kesempatan sama
seperti dirinya.
Apabila kesadaran telah dimiliki baik laki-laki maupun perempuan, maka dengan
sendirinya akan terjalin upaya untuk merekonstruksi ulang wilayah-wilayah personal yang
telah membuat laki-laki bertindak sesukanya terhadap perempuan (termasuk dalam hal
kekerasan dalam rumah tangga).
Kepada pelaku kekerasan, perlu dijatuhi sangksi hukum yang seberat-beratnya dengan
tujuan membuat jera serta menyadarkan mereka bahwa tindakannya salah. Hukum yang
ringan dapat membuat mereka mengulangi tindak kekerasan setelah masa hukuman selesai
bahkan bisa lebih sadis.
E. Kesimpulan
Perempuan merupakan salah satu aspek yang paling menentukan kemajuan generasi
selanjutnya. Bagaimana mungkin generasi muda akan maju kalau kaum perempuan atau
kaum ibu selalu mendapatkan tekanan dari lak-laki atau suaminya. Tekanan akan
menyebabkan mereka tidak memiliki kebebasan untuk membimbing dan membina anakanaknya dengan baik.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan di dalam rumah tangga disebabkan oleh
berbagai hal baik budaya patriarki, pendidikan, kegagalan dialog, pribadi si korban maupun
berbagai alasan lainnya. Hal ini tentunya perlu ditangani secara serius, sebab apabila
dibiarkan akan berdampak pada terhambatnya kemajuan suatu negara baik dalam pengakuan
hak asasi masing-masing individu, kebebasan manusia maupun peningkatan kualitas sumber
daya manusia, peningkatan kesejahteraan, terhambatnya perkembangan suatu negara dan
terganggunya keamanan suatu negara.

27

Aina Rumiyati Aziz (Jurnalis Majalah Forum Keadilan), “Perempuan Korban di Ranah Domestik”
dalam Gigih Nusantara mailto:gigihnusantaraid@yahoo.com. Bnd. A. Nunuk Prasetyo Murniati, Gerakan
Anti- Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: Kanisius, 1998hlm: 24
2
AKP. Wijayanti, SH. Bahan Pembinaan Ruang Pelayanan Khusus POLDA SULTRA Tentang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (sumber tidak diterbitkan). hlm.1
3
Arlina G. Latief, “Budaya Kekerasan di Indonesia Tantangan Bagi Teologi dan Praksis Pembebasan Suatu Pendekatan Sosial Psikologik”, di muat dalam JurnalINTIM, Jurnal STT INTIM Makassar, homepage
http://www.geocities.com/jurnalintim
4
Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, Jakarta: Kompas 2006, hlm.203
5
Mariane Katoppo, Perempuan Sebagai Yang Lain, dalam Jurnal Proklamasi No.2 edisi Mendengar
Suara-suara yang lain, Jakarta: STT Jakarta, 2002. hlm. 11
6
Bnd. Najlah Naqiyah, Otonomi Perempuan, Malang: Bayumedia, hlm 29
7
Bnd. Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan; Reorientasi Kebijakan Publik, Yogyakarta: Grha
Guru & Media Wacana, 2005. hlm. 58
8
_________, Permasalahan dan Penanganan Korban Tindak Kekerasan, Arsip Dinas Departement
Sosial Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
9
_________., Budaya BerperanTingkatkan Kasus-kasus Kekerasan, Senin 4 Maret 2002;
http://www.kompas.com
10
_________, Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaran dan Kerjasama
Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ditetapkan oleh Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono tanggal 13 Pebruari 2006.
11
Ibid. A. Nunuk Prasetyo Murniati, hlm. 56
1