HUKUM DIPLOMATIK DAN KOSULER Sejarah d

HUKUM DIPLOMATIK DAN KOSULER

Sejarah dan Perkembangan Hukum Diplomatik dan Istilah-Istilah Dalam
Hubungan Internasional

Oleh:

Nama

: Robyansyah

NIM

: A01112094

Dosen Pengajar

: Silvester Thomas, S.H., Msi & Erwin, S.H., L

Kelas


:A

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
2016

Page |1

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM DIPLOMATIK DAN
KONSULER

A. Sejarah Hukum Diplomatik dan Konsuler
Sejarah telah membuktikan bahwa, jauh sebelum bagsa-bangsa di dunia
mengenal dan menjalankan praktek hubungan diplomatik, di zaman india kuno
telah dikenal ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah yang mengatur
hubungan antara raja ataupun kerajaan, dimana hukum bangsa-bangsa pada
waktu itu telah mengenal pula apa yang dinamakan duta. Pengiriman duta
Negara Asia serta Arab sejak sebelum Negara-negara barat mengetahuinya. Di

benua eropa baru ada pada abad ke 16 masalah pengiriman dan penempatan
duta-duta itu diatur menurut hukum kebiasaan.
Pada zaman Mesir, India dan cina kuno sudah titemukan beberapa bukti
tentang adanya utusan diplomatik dan konsuler yang memiliki berbagai fungsi
dan keistimewaan. Pada tahun 1179 SM, sudah ada perjanjian perdamaian yang
dibuat oleh Ramses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kerajaan Kheta (Asia
Kecil) dengan menggunakan bahasa Akkadi/Babylon.
Raja Iskandar Agung (Alexander The Great) juga pernah menjalin
hubungan diplomatik dengan Kerajaan Maurya di India. Di saat yang
bersamaan, beberapa duta besar dari Yunani ditempatkan atau dipercayakan
pada Raja Patali Putra. Kemudian ada pula pertukaran utusan antara Maharaja
Ashoka dengan pemerintah di negara-negara seperti Syria, Macedonia, Cyprus
dan juga Mesir

Page |2

Kaidah-kaidah Hukum Diplomatik dibentuk oleh negara-negara seperti
Romawi, Perancis, Yunani dan Turki. Selain itu, kerajaan-kerajaan di wilayah
Indonesia juga telah sejak lama melakukan hubungan diplomatik dan
perdagangan dengan Cina, India, dan kawasan-kawasan timur lainnya. Awal

hukum diplomatik dimulai dengan hukum kebiasaan yang berlaku sebelumnya.
Contohnya adalah sebuah kebiasaan yang telah menjadi ketentuan mengenai
keistimewaan dan kekebalan para duta besar.
Hal ini dikarenakan Duta Besar adalah dianggap orang suci, yang perlu
diperlakukan secara istimewa. Duta Besar mempunyai kekebalan hukum.
Kekebalan hukum ini hendaknya tidak disalahartikan dan disalahgunakan
sehingga bebas melakukan berbagai kejahatan demi kepentingan diri sendiri.
Pada masa keemasan kerajaan Romawi di Eropa dan Afrika Utara,
untuk keperluan tentaranya, kerajaan Romawi telah membangun jalan-jalan
untuk mengamankan daerah-daerah kekuasaannya. Jalan-jalan tersebut sangat
penting, tidak hanya untuk keperluan militer, tetapi diperlukan oleh kaum
pedagang pada masa itu. Pemerintah juga mengizinkan para pedagang tersebut
untuk melintasi jalan-jalan yang mereka buat, asal menunjukan surat yang
dibuat untuk itu (surat izin). Dan surat yang dikeluarkan oleh kerajaan Romawi
tersebut disebut Diploma.
Demikianlah para pedagang melintasi jalan melalui pos-pos tentara
dengan membawa diploma. Diploma yang berbentuk logam tipis bundar diberi
cap dan disebutkan keahlian/kepandaian serta bakat orang yang membawanya,
dan orang yang membawa diploma itu disebut Diplomat. Kemudian, diploma


Page |3

yang berbentuk logam tipis itu disempurnakan menjadi passport (to pass to port
= izin untuk melintasi portal).
Untuk mencegah kepalsuan keterangan yang tercantum dalam diploma
(passport) itu, diadakanlah kantor-kantor perwakilan yang disebut res
diplomatica untuk memeriksa apakah paspor itu benar-benar asli / palsu. Kantor
perwakilan itu lebih populer dikenal dengan sebutan kedutaan (embassy).
Sejarah tentang hukum diplomatik kemudian bergulir dengan adanya
perjanjian Whespalia, yang merupakan awal perkembangan hukum diplomatik,
sebab saat itu pula perwakilan-perwakilan diplomatik kemudian bersifat
permanen, utusan-utusan diplomatik kemudian mulai diangkat, dikirim dan
dipercayakan pada negara lain.

B. Perkembangan Hukum Diplomatik dan Kodifikasinya
1. Kongres Wina 1815
Konggres Wina adalah sebuah pertemuan antara para wakil dari
kekuatan-kekuatan besar di Eropa. Pertemuan ini dipimpin oleh negarawan
Austria, Klemens Wenzel von Metternich dan diadakan di Wina, Austria
dari 1 September 1814 hingga 9 Juni 1815. Tujuannya adalah untuk

menentukan kembali peta politik di Eropa setelah kekalahan Perancis
hingga berakhirnya kekuasaan Napoleon pada musim semi sebelumnya.
Perbicangan dalam konggres ini tetap berlanjut meskipun Napoleon
Bonaparte, mantan Kaisar Perancis kembali dari pengasingan dan
melanjutkan kekuasaan di Perancis pada Maret 1815. Pasal Terakhir

Page |4

Kongres ditandatangani sembilan hari sebelum kekalahan terakhir
Napoleon pada Pertempuran Waterloo. Secara teknis, "Konggres Wina"
sebanrnya tidak pernah dilaksanakan, karena Kongres tersebut tidak pernah
bersidang dalam sesi pleno, namun hanya berbincang dalam sesi-sesi
informal yang dihadiri perwakilan dari para kekuatan besar Eropa.
Beberapa pemimpin dan wakil Negara Eropa yang hadir dalam Konggres
Wina:
1) Pangeran Matternich (Austria)
2) Viscount Castlereagh (Britania Raya)
3) Tsar Alexander I (Rusia)
4) Charles Maurice de Talleyrand-Perigord (Perancis)
Kongres Wina berlangsung di Wina, Austria dari 1 September 1814

hingga 9 Juni 1815. Dalam konggres wina banyak permasalahan yang
dibahas, akan tetapi masalah Saksen Polandia adalah masalah yang hangat
dibicarakan. Seperti diketahui bahwa Polandia adalah daerah yang sangat
strategis bagi Rusia. Tsar Alexander I lalu membujuk Prusia untuk
mendukung agar wilayah Polandia diakui sebagai wilayah Rusia, akan tetapi
Matternich dan Castlereagh tidak setuju dengan hal tersebut.
Pada saat genting tersebut, Perancis yang diwakili oleh Talleyrand
menawarkan kesediaannya untuk mendukung Austria-Inggris. Tampilnya
Perancis sebagai sekutu Austria-Inggris mengurungkan niat Rusia untuk
memiliki Polandia. Kemudian sebagai imbalan atas bantuan yang
diberikannya pada saat-saat genting tersebut, Perancis diterima untuk duduk

Page |5

bersama sebagai salah satu Negara besar, dan berhak ikut serta membuat
dan merundingkan keputusan-keputusan penting yang dicapai dalam
konggres wina.
Konggres yang berakhir pada bulan Juni 1815, menghasilkan
keputusan-keputusan penting yang ditandangani oleh Negara - Negara besar
peserta Konggres. Hasil konggres wina adalah sebagai berikut :

1) Russia diperluas wilayahnya dengan 2/5 wilayah kerajaan Saksen,
ditambah lagi dengan daerah

daerah Poses dan Pommerania, sedang

dibagian barat wilayahnya bertambah dengan wilayah

wilayah

Rheindland dan Westhphalia.
2) Daerah - daerah milik Austria di Belanda Selatan digabungkan dengan
kerajaan Belanda dengan maksud agar kerajaan Belanda cukup kuat
untuk kemungkinan menahan ekspansi Perancis ke utara.
3) Austria tetap memiki wilayah Gacilia, dan memperoleh daerah
Lombardia serta Venesia di Italia Utara. Kota Cracow (Polandia)
dijadikan kota merdeka atau free city.
4) Suatu kondeferasi konfederasi negara Jerman dibentuk dengan Austria
sebagai ketuanya. Konfederasi ini beranggotakan 39 negara.
5) Wilayah


wilayah kerajaan gereja diserahkan kembali kepada Paus;

sedangkan wilayah Toscana, Odena dan Parmaditempatkan dibawah
pemerintahan keluarga

keluarga Habsburg (Austria). Kerajaan

Sardinia diperluas wilayahnya.

Page |6

6) Inggris berhasil memperoleh jaminan dari negara negara besar, bahwa
mereka akan menghapuskan perdagangan budak; dan jaminan
pembukaan sungai

sungai tertentu untuk kepentingan lalu lintas

perdagangan. Di samping itu diperolehnya keuntungan

keuntungan


teritorial di daerah seberang lautan terutama di Asia.
Demikian keputusan-keputusan penting diambil dalam Kongres
Wina suatu rangkaian keputusan penting, yang pernah diambil antara
Konfrensi perdamaiaan. ( Di antara para ahli sejarah sering terdengar
pendapat, bahwa keputusan Kongres Wina itu berbau Reaksioner, hanya
menguntungkan pihak-pihak yang berkuasa dan menutup ide dan pahampaham Revolusioner namun perlu diinggat bahwa para diplomatik yang
berkumpul di Wina pada saat itu berada dalam keadaan yang sulit
disebabkan pleh situasi dan kondisi yang kurang menguntungkan.
Konggres Wina merupakan suatu perjanjian damai yang
muncul sebagai dampak bergulirnya Revolusi Perancis. Walaupun
Konggres Wina dianggap bukan sebagai suatu Konggres dalam arti
sebenarnya akan tetapi dari Konggres ini dihasilkan beberapa keputusan
penting untuk membangun kembali Eropa seperti sebelumnya terjadinya
perang koalisi. Para diplomat dan para Raja yang berkumpul di Wina tahun
1814 dan 1815, kebanyakan mereka berfikir bahwa mereka telah berhasil
menghentikan gerakan revolusioner dan ambisi imperialis Napoleon yang
melanda Eropa.

Page |7


2. Kongres Aix-la-Chapelle
Kongres Wina tersebut pada dasarnya merupakan tonggak sejarah
diplomasi sistematis, termasuk klasifikasi jabatan kepala perwakilan
diplomatik dan mengatur prosedur dan mekanisme hubungan diplomatik.
Dengan demikian, sampai dengan 1815 ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan hubungan diplomatik sebagian besar bersumber dari hukum
kebiasaan.
Pada Kongres Wina 1815, raja-raja yang ikut dalam konvensi itu
sepakat untuk mengodifikasian hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum
tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai, dan mereka hanya
menghasilkan satu naskah, yaitu hierarki diplomat (klasifikasi jabatan
kepala perwakilan diplomatik) yang kemudian dilengkapi pula dengan
Protocol Aix-La-Chapelle tanggal 21 November 1818. Sebenarnya Kongres
Wina ini dilihat dari segi substansi, praktis tidak menambah apa-apa
terhadap praktik yang sudah ada sebelumnya, yang jelas hanya sebagai
upaya positif mengoidifikasi praktik-praktik negara dalam bidang hubungan
diplomatik itu menjadi hukum tertulis, sehingga lebih terjamin
kepastiannya.


3. Dari Liga Bangsa-Bangsa, Konvensi Den Haag sampai Konvensi
Havana
Pada tahun 1927 dalam kerangka Liga bangsa-bangsa (LBB)
diupayakanlah kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang

Page |8

dicapai komisi ahli ditolak oleh dewan LBB tersebut. Alasannya yaitu
belum waktunya untuk merumuskan kesepakatan global mengenai hakhak istimewa dan kekebalan diplomatik yang cukup kompleks. karena itu,
memutuskan untuk tidak memasukkan masalah tersebut dalam agenda
konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada tahun 1930 untuk
kodifikasi hukum internasional.
Disamping itu, di Havana pada tahun 1928 konferensi ke-6
organisasi negara- negara amerika (OAS) menerima konvensi dengan nama
Convention of Diplomatik
Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh 12 negara Amerika, kecuali
Amerika Serikat yang mendatangani saja dan tidak meratifikasi karena
menolak ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suaka politik.
Mengingat

sifatnya

yang

regional implementasi konvensi ini tidak

menyeluruh.
Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh
Majelis Umum PBB atas amanat pasal 13 Piagam PBB yang berbunyi
sebagai berikut:
Majelis umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan
usulan-usulan (recoomendations) dengan tujuan: Memajukan kerjasama
internasional di bidang politik, dan mendorong peningkatan dan
pengembangan

hukum

internasional

secara

progresif

dan

pengodifikasiannya; Memajukan kerjasama internasional di bidang
ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan bidang-bidang kesehatan,

Page |9

dan membantu meningkatkan pemahaman atas hak-hak asasi manusia dan
kebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa membeda-bedakan
bangsa, ras, jenis kelamin, bahasa, ataupun agama.
Komisi Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topik
pembahasan yang didalamnya juga termasuk topik hubungan diplomatik,
terutama mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun,
pembahasan mengenai hubungan diplomatik tidak mendapatkan prioritas.
Selanjutnya, karena seringnya terjadi insiden diplomatik sebagai
akibat perang dingin dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang
hubungan diplomatik, maka atas usul delegasi Yugoslavia, Majelis Umum
PBB pada tahun 1953 menerima resolusi yang meminta Komisi Hukum
Internasional memberikan prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai
hubungan dan kekebalan diplomatik.
Pada tahun 1954, Komisi mulai membahas masalah-masalah
hubungan dan kekebalan diplomatik, dan sebelum berakhir 1959 Majelis
Umum melalui resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan
suatu Konferensi Internasional guna membahas maslah-masalah seputar
hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. (Ibid.)
Konferensi tersebut dinamakan The United Nations Conference on
Diplomatik Intercourse and Immunities , mengadakan sidangnya di Wina
pada 2 Maret 1961 14 April 1961. Kota Wina dipilih dengan pertimbangan
historis karena kongres pertama mengenai

hubungan diplomatik

diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. Konferensi ini dihadiri oleh

P a g e | 10

delegasi dari 81 negara, 75 diantaranya adalah anggota-anggota PBB dan
enam lagi adalah delegasi dari badan-badan yang berhubungan dengan
Mahkamah Internasional.

4. Sejak Berdirinya PBB
a) Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik
Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik setelah
berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pengembangan
kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah
dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum
Internasional

khususnya

mengenai

ketentuan-ketentuan

yang

menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah digariskan
secara rinci.
Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi
hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen
antar negara. Di samping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan mengenai
masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan
sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal.
Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah
diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987.
Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut
dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai
perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam

P a g e | 11

protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa.Pasal
1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi
diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan
surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes);
pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi
diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak.
Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang
diberikan kepada para diplomat dan keistimewaan bagi anggota
keluarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka dan pasal
48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan,
aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya Konvensi itu.
b) Konvensi Wina 1963 Mengenai Hubungan Konsuler
Dalam praktiknya, Konvensi Wina 1963 tentang hubungan
konsuler mulai berlaku secara efektif pada Maret 1967. Sebelum suatu
Negara meratifikasi konvensi ini, maka Negara itu harus menyiapkan
seperangkat ketentuan-ketentuan yang disebut Consular Manual atau
sekarang dikenal dengan Panduan Umum Tata Cara Hubungan Luar
Negeri.
Konvensi wina 1961 diterima oleh 72 negara, tidak ada yang
menolak dan hanya satu negara abstain. Pada 18 april 1961, wakil dari
75 negara menandatangani konvensi tersebut, yang terdiri dari
mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tga tahun kemudian, pada 24

P a g e | 12

april 1964, konvensi wina 1961 tentang hubungan diplomatik ini
dinyatakan mulai berlaku.
Kini, hampir seluruh negara di dunia telah meratifikasi konvensi
tersebut, termasuk indonesia yang meratifikasinya dengan UU no. 1
tahun 1982. pentingnya prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi
wina tersebut digaris bawahi oleh mahkamah internasional dalam kasus
united states diplomatic and copnsullar staff in teheran melalui
ordinasinya tertanggal 15 mei 1979, dan pendapat hukumnya (advisory
opinion) tertanggal 24 mei 1980.
konferensi wina ini sungguh merupakan kode diplomatik yang
sebenarnya. Walaupun hukum kebiasaan dalam konvensi wina ini tetap
berlaku seperti tersebut dalam alinea terakhir mukadimahnya, tetapi
peranannya hanya sebagai tambahan:
that the rules of costumary international law should
continue to govern question not expressly regulated by the provisions of
the present convention.
Sehubunagan dengan itu perlu diingat bahwa untuk pertama
kalinya ada usaha guna mengadaka kodifikasi peraturan-peraturan
tentang lembaga konsul, telah dilakukan dalam konferensi negaranegara amerika tahun 1928 di havana-cuba, dimana dalam tahun itu juga
telah disetujui convention of consular agents (konvensi mengenai
pejabat konsuler).

P a g e | 13

Sesudah itu dirasakan belum ada usaha yang cukup serius untuk
mengadakan kodifikasi lebih lanjut tentang peraturan-peraturan tentang
hubungan konsuler, kecuali setelah majelis umum PBB meminta kepada
komisi hokum international untuk melakukan kodifikasi mengenai
hubungan konsuler.
c) Konvensi New York 1969 Mengenai Misi Khusus
Konvensi wina 1963 mengenai hubungan konsuler terdiri dari
79 pasal dan digolongkan dalam lima bab yaitu:
1) Bab pertama (pasal 2-pasal 27) antara lain mengenai cara-cara
dalam mengadakan hubungan konsuler, termasuk tugas-tugas
konsul;
2) Bab kedua (pasal 28-pasal 57) mengenai kekebalan dan
keistimewaan yang diberikan bukan saja kepada perwakilan
konsulernya, tetapi juga kepada para pejabat konsuler karier serta
para anggota perwakilan konsuler lainnya;
3) Bab ketiga (pasal 58-pasal 67) khusus menyangkut ketentuanketentuan mengenai lembaga konsul kehormatan, termasuk
kantornya. Ketentuan-ketentuan dalam bab ketiga ini juga memuat
tentang kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada konsul
kehormatan dan kantornya;
4) Bab keempat (pasal 68-73) berisikan ketentuan-ketentuan umum,
antara lain mengenai pelaksanaan tugas-tugas konsuler olah

P a g e | 14

perwakilan diplomatik, hubungan konvensi ini dengan persetujuan
internasional lainnya, dan lain sebagainya;
5) Bab

kelima

mengenai

ketentuan-ketentuan

final,

seperti

penandatanganan, ratifikasi, aksesi, mulai berlakunya, dan
sebagainya.
Konvensi wina tersebut dilengkapi dengan konvensi mengenai
misi-misi khusus (convention on special missions) yang diterima oleh
majelis umum PBB pada 8 desember 1969. konvensi mengenai misimisi khusus yang juga disebut konvensi new york 1969 ini, telah pula
diratifikasi indonesia dengan UU no. 2 tahun 1982 pada 25 januari
1982.
d) Konvensi New York Mengenai Pencegahan dan Penghukuman
Kejahatan Terhadap Orang-Orang yang Menurut Hukum Internasional
Dilindungi Termasuk Para Diplomat
Dalam sidangnya yang ke-24 pada 1971, sehubungan dengan
meningkatnya kejahatan yang dilakukan terhadap misi diplomatic,
termasuk juga para diplomatnya, dan perlunya untuk menghukum para
pelanggar, majelis umum PBB telah meminta komisi hukum
internasional mempersiapkan draft artikel mengenai pencegahan dan
penghukuman kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap orangorang ynag dilindungi oleh hokum internasional.
Konvensi new york mengenai pencegahan dan penghukuman
kejahatan terhadap orang-orang yang menurut hukum internasional

P a g e | 15

dilindungi, termasuk para diplomat 1973 ini akhirnya telah disetujui
oleh majelis umum PBB di new york pada 14 desember 1973, dengan
resolusi 3166 (XXVII). Konvensi ini kemudian diberlaukan pada 2
febuari 1977, dan sekarang telah tecatat sekitar 79 negara yang sudah
menjadi anggotanya.
e) Konvensi Wina 1975 Mengenai Keterwakilan Negara Dalam
Hubungannya

Dengan

Organisasi

Internasional

yang

Bersifat

Universal.
Konvensi ini dikenal sebagai konvensi wina 1975 yang juga
merupakan sumbangan yang penting bagi pengembangan kodifikasi
hukum diplomatik. Urgensi perumusan konvensi sebenarnya disorong
oleh adanya situasi dimana pertumbuhan organisasi internasional begitu
cepat, baik jumlahnya maupun lingkup masalah hukumnya yang timbul
akibat hubungan negara dengan organisasi internasional.
Perumusan konvensi tersebut tidak seperti dalam konvensi
wina 1961 karena melibatkan tiga aspek subjek hukum, yaitu bukan
hanya

organisasi

internasional

dan negara-negara

anggotanya,

melainkan juga negara tuan rumah tempat markas besar organisasi itu
berada. Situasi yang sangat komplek seperti ini benar-benar
memerlukan hak dan kewajiban dari para pihak yang sangat adil dan
memadai.
Sejak dimajukannya masalah ini kepada komisi hukum
internasional untuk pertama kalinya pada 1958, barulah pembahasan

P a g e | 16

secara substantif dapat dilakukan pada 1968, di mana reporter khusus
yang ditugasi untuk menangani masalah ini dapat melaporkan tentang
draft articles yang lengkap dengan komentar mengenai status hukum
bagi wakil-wakil negara dalam organisasi internasional.
Komisi hukum internasional kemudian menyetujui draft
articles sebanya 21 pasal dengan komentar mengenai ruang lingkup dan
hal-hal lainnya yang menyangkut draft articles secara keseluruhan,
termasuk perwakilan tetap pada organisasi internasional secara umum.
Selama 1969 dan 1970, setelah melanjutkan pembahasan
mengenai topik tersebut, komisi hukum internasional telah menyetujui
draft articles lagi tentang kekebalan, keistimewaan, dan fasilitas
diplomatik bagi perwakilan diplomatik bagi perwakilan tetap, termasuk
kedudukan, kekebalan, keistimewaan dan kemudahan bagi perwakilan
peninjau tetap, serta delegasi ke berbagai badan dan konferensi. Dala
perkembangannya terdapat permasalahan baru dalam persidangan 1971
di mana telah dimajukan tiga masalah, yaitu:
1) Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa
seperti tidak adanya pengakuan, putusnya hubungan diplomatik,
dan konsuler, atau adanya pertikaian bersenjata di antara anggotaanggota organisasi internasional sendiri;
2) Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa; dan

P a g e | 17

3) Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan
konferensi.
Akhirnya pada 1972 majelis umum PBB memutuskan untuk
menyelenggarakan

konferensi

internasional

sesegera

mungkin.

Kemudian pada 1973, majelis umum memberikan waktu agar
konferensi semacam itu diberlakukan pada permulaan tahun 1975 di
wina.
Konferensi PBB mengenai keterwakilan negara-negara dalam
hubungannya dengan organisasi internasional yang bersifat universal
telah diselenggarakan di wina, austria sejak 4 febuari-14 maret 1975
yang dihadiri oleh 81 negara, 2 negara peninjau, 7 badan khusus, 3
organisasi antarpemerintah, dan 7 wakil dari organisasi pembebasan
nasional yang dilakukan oleh organisasi persatuan afrika atau liga arab.
Konferensi kemudian menyetujui konvensi tersebut yang terdiri dari 92
pasal dan terbuka untuk penandatanganan sejak 14 maret 1975 s.d. 30
april 1975 di kementrian luar negeri austria, kemudian diperpanjang s.d.
30 maret 1976 di PBB new york.

P a g e | 18

ISTILAH-ISTILAH DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
(PEMERINTAHAN)

Acceptance : Kesepakatan atas naskah awal hasil perumusan perundingan.
Accord : Persetujuan antara pihak bersengketa yang menghendaki tercapainya
persetujuan dalam rangka terwujudnya kedamaian bersama.
Advisory opinion :
Nasehat hukum yang diterima atau tidak diterimanya itu terserah kepada pihak
pemohon.
Agreement : Suatu perjanjian antara dua negara atau lebih dengan mempunyai
akibat hukum seperti traktat, namun dalam agreement lebih bersifat eksekutif atau
teknis administratif dan tidak mutlak harus diratifikasi.
Aksesi (Accesion) :Apabila negara yang mengesahkan suatu perjanjian
internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian.
Aliansi: Sebuah perjanjian untuk saling mendukung secara militer antara dua
negara atau lebih.
Aliran hukum kodrat :Suatu aliran (paham) yang mendasarkan sumber hukum
internasional pada hukum kodrat (alam).
Aliran Positivisme : Suatu aliran (paham) yang mendasarkan pada sumber hukum
internasional pada traktat dan adat kebiasaan.
Arbitrasi : Salah satu institusi (lembaga) peradilan yang berperan sebagai mediator
(perantara) atau wasit (penengah) untuk membantu penyelesaian masalah sengketa
yang berlaku dalam sistem hukum nasional maupun internasional.

P a g e | 19

Asas itikad baik : Setiap perjanjian yang dibuat atas dasar itikad baik atau jujur dan
tidak ada unsur penipuan.
Asas pacta sun servada: Setiap perjanjian yang dibuat harus dipatuhi oleh mereka
yang membuatnya atau mengikatkan diri.
Balance of Power: Konsep sistem perimbangan kekuasaan yang menggambarkan
bagaimana negara dalam mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan
keamanan nasional dalam konteks perubahan aliansi dan blok demi menjaga
kelangsungan hidup negara-negara.
Blokade Damai: Blokade yang dilakukan pada waktu damai, sebagai upaya untuk
memaksa negara yang blokade agar memenuhi permintaan negara yang
memblokade.
Charter: Suatu piagam yang digunakan untuk membentuk badan/lembaga
internasional tertentu.
Common consent: Dasar mengikatnya hukum internasional adalah terletak
persetujuan bersama dari negara-negara berdaulat untuk mengikatkan diri pada
kaidah-kaidah hukum internasional.
Compromis: Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa
Consul: Wakil negara yang dikirim ke luar negeri untuk memajukan kepentingan
nasional (komersial dan industri) negaranya, serta untuk memberikan perlindungan
bagi warga negara nasional yang tinggal atau dalam perjalanan di negara lain
tersebut.

P a g e | 20

Convenant: Suatu yang bertujuan untuk menjamin terjaminnya terciptanya
perdamaian dunia, meningkatnya kerja sama internasional dan mencegah terjadinya
peperangan.
Decision makers/ing: Orang orang yang memiliki pengaruh dalam menghasilkan
sebuah kebijakan politik suatu negara terhadap negara lain melalui berbagai proses
informasi, data dsb. serta pemikiran yang mendalam melalui berbagai aspek.
Deklarasi(Declaration): Suatu perjanjian yang bertujuan untuk memperjelaskan
dan menyatakan adanya hukum yang berlaku atau menciptakan hukum baru.
Denusiasi: Pemberitahuan oleh satu pihak kepada pihak-pihak lain bahwa ia
bermaksud menarik diri dari suatu traktat.
Deportasi: Pengembalian ke negara asal
Depositary: Negara tertentu atau organisasi internasional (sekretariat) yang
ditunjuk atau disebut secara tegas dalam suatu perjanjian untuk menyimpan naskah
pengesahan perjanjian internasional dimaksud.
Diplomasi: Praktek pelaksanaan hubungan antar negara melalui perwakilan resmi,
mencakup sarana dan mekanisme untuk mencapai kepentingan nasional di luar
batas wilayah jurisdiksi suatu negara.
Diplomasi ad hock: Diplomasi khusus.
Ekstradisi: Penyerahan seorang tertuduh melakukan tindakan pidana karena
melakukan kejahatan dari negara dimana dia melarikan diri atau bersembunyi
kepada negara yang berwenang mengadilinya atau negara asalnya.
Embargo: Maklumat pemerintah yang melarang warganya untuk berdagang dan
menjalin hubungan tertentu dengan sebuah atau beberapa negara asing, digunakan

P a g e | 21

sebagai senjata kebijaksanaan ekonomi nasional dalam mencapai tujuan strategis
atau politis tertentu.
Equity: Keadilan
Era Globalisasi: Era keterbukaan dunia tanpa dinding pemisah antara satu negara
dengan negara lainnya.
Exchange of Note: Suatu persetujuan antara negara-negara dengan cara pertukaran
nota yang dalam praktek digunakan sebagai persetujuan resmi dan masing-masing
negara mengakui adanya kewajiban-kewjiban yang mengikat.
Extra-Territoriality: Penerapan jurisdiksi suatu negara di wilayah negara lain,
dibentuk melalui perjanjian dan dengan tujuan melindungi warga negaranya dari
negara lain tersebut yang tentu saja memiliki perbedaan sistem budaya dan hukum.
Fakta (Pact): Suatu perjanjian yang dibuat oleh beberapa negara secara khusus.
Final Act: Suatu dokumen yang mencatat ringkasan hasil konferensi di dalamnya
menyebutkan tentang negara-negar peserta, nama-nama utusan yang ikut, dan lainlain.
Full credence: Surat kepercayaan
Geopolitik: Sebuah gambaran mengenai politik suatu negara dengan menekankan
upaya menganalisa, menerangkan dan meramalkan perilaku politik serta kapabilitas
suatu negara dalam terminologi lingkungan fisik manusia.
Full power: Surat kuasa
Hak Asyilum: Hak Melindungi pelaku politik bangsa asing.
Hak Ekstra Teritorial: Hak kebebasan Diplomat terhadap daerah perwakilan.

P a g e | 22

Hak Imunitas: Hak kekebalan hukum yang menyangkut diri pribadi seorang
Diplomat serta gedung perwakilannya.
Hak Kedutaan aktif: Hak mengangkat perwakilan diplomatik di negara lain.
Hak Kedutaan Pasif: Hak menerima perwakilan diplomatik dari negara lain.
HakAsyilum: Hak melindungi pelaku politik (suaka politik) bangsa asing
Hegemoni: Perluasan kekuasaan atau pengaruh suatu negara ke negara atau
kawasan lain.
Hubungan Bilateral: Hubungan antar dua negara dimanapun berada.
Hubungan hukum: Hubungan timbal balik berupa hak-hak dan kewajibankewajiban para pihak yang dirumuskan dalam naskah perjanjian tertentu dan dibuat
secara bersama-sama.
Hubungan Internasional: Suatu hubungan yang dilakukan oleh negara (bangsa)
yang satu dengan yang lainnya dengan aktifitas dan tujuan tertentu.
Hubungan Multilateral: Hubungan antar beberapa (banyak) negara yang tidak
terikat dalam satu kawasan yang sama.
Hubungan Regional: Hubungan antar beberapa negara dimanapun berada.
Hukum Diplomatik: Hukum Internasional yang mengatur hubungan diplomatik
antar negara yang merdeka dan berdaulat penuh.
Hukum humaniter: Hukum yang diterapkan dalam konflik senjata.
Hukum kodrat: Hukum yang menggunakan akal budinya manusia mampu
menemukan susunan aturan- aturan yang mengikat, menciptakan keadilan dan
bersifat universal.

P a g e | 23

IMF (internasional monetary funds): Dana-dana Moneter nternasional
Imperatif: Suatu sifat yang bersifat mengikat/ memaksa.
Imperialisme: Perluasan negara secara fisik dengan hubungan Superior-Inferior
yang menggambarkan keadaan wilayah dan rakyat lain tunduk terhadap negara
tersebut.
Intermunicipal law: Hukum internasional dalam tarap embrio.
Intervensi Eksternal: Intervensi terhadap sengketa yang terjadi antar negara satu
dengan negara lainnya.
Intervensi Intenal: Intervensi terhadap sengketa yang terjadi di dalam negeri suatu
negara.
Intervensi Puntiv: Intervensi dalam bentuk tindakan membalas tanpa perang akibat
kerugian ynag ditimbulkan oleh negara lain.
Intervensi subversif: Intervensi yang mengacu pada propaganda atau kegiatan lain
oleh suatu negara dengan tujuan memicu terjadinya revolusi atau perang saudara di
negara lain.
Invasi: Penguasaan wilayah.
Jus Intergentium: Ketentuan yang mengatur hubungan (hukum) antar bangsa
Romawi dengan bangsa lainnya.
Jus ab bellium: Hukum yang mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan
menggunakan kekerasan bersenjata.
Jus civil: Hukum yang berlaku untuk warga Romawi sendiri.
Jus Gentium: Hukum khusus yang mengadili perkara antara orang asing satu sama
lain.

P a g e | 24

Jus inbello: Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang, dan perlindungan
bagi orang yang menjadi korban perang.
Jus intergentes: Hukum bangsa- bangsa.
Jus Intergentium: Hukum yang mengatur hubungan antar bangsa.
Jus voluntarium: Hukum yang sengaja dibentuk melalui perjanjian- perjanjian
antaranegara dan dibentuk karena adat kebiasaan.
Kaum Grotians: Dasar hukum internasional selain hukum kodrat juga adat
kebiasaan dan traktat.
Kaum Naturalis: Hukum kodrat alam merupakan satu-satunya dasar hukum
internasional.
Ketentuan Umum: Ketentuan yang bersifat umum berupa traktat dan dapat juga
bersifat resmi atau tidak resmi.
Klasula: Ketentuan khusus yang pasalnya di perluas atau dibatasi.
Klausula opsional: Ketentuan tersendiri yang memilih untuk memproses
perkaranya melalui mahkamah.
Kombatan: Orang yang boleh membunuh dan dapat dibunuh dalam perang.
Konsiliasi: Suatu usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk
mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan itu/ Merupakan prosedur
penyelesaian pertikaian secara damai dan memperkenankan perwakilan kelompok
negara yang bertikai menyusun pakta pertikaian dan mempergunakannya sebagai
basis untuk mencari solusi..

P a g e | 25

Konsultasi: Suatu cara penyelesaian sengketa internasional mengenai keadaan
apapun yang dibentuk oleh para pihak untuk mempertemukan dan mencapai
persetujuan para piahak yang bersengketa.
Konvensi: Suatu perjanjian yang lazim diguakan dalam perjanjian nmultilateral
yang ketentuan-ketentuannya berlaku bagi masyarakat internasional secara
keseluruhan, walaupun tidak ikut menandatangani perjanjian.
Kuasa Usaha Sementara: Pejabat sementara selama kepala perwakilan diplomatik
tidak ada di tempat.
Kuasa Usaha tetap: Menjabat sebagai kepala perwakilan di negara tertentu.
Law making treaties: Suatu perjanjian yang fungsinya bukan hanya membuat
pembuatan perjanjian saja, melainkan ketentuan yang dibuatnya itu berlaku pula
bagi masyarakat internasional secara keseluruhan yang mengikatkan diri.
Lembaga pemrakarsa: Lembaga yang terdiri dari lembaga negara dan lembaga
pemerintahan.
Mahkamah Internasional: Satu-satunya organ internasional (umum) yang
memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa/ perkara internasional secara
yudisial.
Media diplomasi: Suatu sarana untuk melakukan hubungan internasional-luar
negeri berupa penyelenggara diplomasi dengan bangsa-negara lain.
Media negosiasi: Perundingan resmi dengan bangsa-bangsa lain mengenai suatu
objek atau kepentingan masing-masing lazimnya dilanjutkan samapi ke tingkat
perjanjian bersama.

P a g e | 26

Media organisasi: Organisasi yang digunakan untuk melakukan hubungan
internasional berupa organisasi regional maupun organisasi multilateral.
Mediasi: Cara perundingan yang berbeda dengan jasa baik, karena pihak ketiga
dalam mediasi terdapat intervensi yag lebih nyata.
Mobilisasi: Tindakan yang dilakukan pemerintah suatu negara untuk menempatkan
kekuatan-kekuatan negara dalam keadaan siap perang.
Modus Vivendi: Suatu dokumen untuk mencatat hasil-hasil persetujuan
internasional yang bersifat sementara sebelum dibentuk dalam ketentuan-ketentuan
yang bersifat yuridis dan sistematis.
NATO(north treaty irganization): Organisasi Fakta Atlantik Utara
Negosiasi: Penyesuaian/kompromi dalam perundingan melalui kontak hubungan
pribadi atau umum. Dalam usaha memajukan kepentingan nasional dan
menyelesaikan perbedaan secara damai.
Negitiation: Perundingan para pihak atau negara-negara tertentu dan subjek hukum
Internasional.
Netralitas: Sikap suatu negara yang tidak ikut berperang maupun permusuhan, atau
sikap yang tidak memihak terhadap salah satu negara yang sedang berperang.
Non Governmental Organization: Suatu oranisasi privat yang berfungsi sebagai
mekanisme yang menghasilkan hubungan kerjasama diantara kelompok-kelompok
swasta (non-pemerintah) dalam ihwal internasional dan global.
Non- hostess: Negara netral tidak turut berperang dalam salah satu pihak yang
berperang.

P a g e | 27

Non Justiciable: Kepentingan vital kemerdekaan, kehormatan, atau hal-hal
mengenai yurisdiksi domestic (kedaulatan hokum intern) negara yang bersengketa.
Non politis: Perjanjian yang tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian
secara cepat.
Organisasi Internasional: Setiap organisasi yang di dalamnya terdiri dari banyak
negara anggota, struktur organisasi, dasar hukum dan tujuan tertentu.
Organisasi Pembebasan: Kegiatan dengan ciri khas untuk mengadakan
pembaharuan, pendobrakan sistem (keadaan) yang telah ada, atau ada pihak yang
bersengketa.
Pacta Sun Sevada/ Pacta Sunt Servanda: Dasar mengikatnya hukum
internasional yang terletak pada asas Pacta Sun Servada yaitu setiap perjanjian
harus dipatuhi oleh pembuatnya / aturan umum hukum internasional yang
menyatakan bahwa perjanjian bersifat mengikat dan harus dilaksanakan.
Perang Dingin: Merupakan ketegangan dan permusuhan yang sangat ekstrim
antara blok barat dengan blok timur setelah perang dunia II. Ditandai oleh manuvermanuver politik, pertikaian diplomatik, perang psikologis, adu ideologi, perang
ekonomi, perlombaan senjata, dan spionase.
Penjajakan: Langkah awal yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang mau
mengadakan perjanjian internasional mengenai kemungkinan dibuatnya perjanjian
tertentu.
Persona non Grata: Tidak disenangi oleh negara di mana ia bertugas, atau bisa
juga karena kehendak negara yang membuka kedutaan besar yang biasanya dengan
penarikan.

P a g e | 28

Perwakilan diplomatik: Suatu perwakilan di negara lain dalam rangka
melaksanakan politik luar negeri dan menyelenggarakan hubungan luar negeri, baik
perwakilan diplomatik maupun perwakilan konsuler yang melibatkan menteri luar
negeri.
Piagam (statute): Himpunan peraturan yang ditetapkan sebagai persetujuan
internasional, baik mengenai lapangan kerja lembaga-lembaga internasional
maupun mengenai anggaran dasar suatu lembaga.
Pious Fund Case: Kasus dana yang mestinya ditepati.
Prosedur consensus: Suatu langkah atau tahap penyelesaian sengketa antar para
pihak untuk mencapai suatu kesepakatan bersama.
Prosedur sederhana: Pengesahan yang dilakukan melalui pemberitahuan tertulis
diantara para pihak atau didisposisikan kepada negara/ pihak penyimpan perjanjian.
Proses Verbal: Berisi berita acara dalam bentuk catatan-catatan ringkas atau
kesimpulan konferensi diplomatik yang berkembang.
Protokol: Persetujuan yang kurang formal jika dibandingkan dengan traktat/
konvensi, karena protokol hanya mengatur tentang masalah-maslah tambahan/
persetujuan tidak resmi dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala Negara, yang
mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausual-klausual tertentu.
Ratification: Tahap yang menentukan sahnya perjanjian-perjanjian internasional
yang bersifat politis.
Rebus sic stantibus: Terjadi perubahan yang fundimental dalam kenyataankenyataan yang ada pada waktu traktat itu diadakan.

P a g e | 29

Reprisal: Tindakan permusuhan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara
lain, sebagai upaya perlawanan untuk memaksa supaya menghentikan tindakan
ilegal (tidak sah secara hukum).
Reservation: Pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakuya
tertentu pada perjanjian Internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika
menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu Perjanjian
Internasional yang bersifat multilateral.
Resevasi:

Membebaskan

diri

dari

yudisdiksi

wajib

Mahkamah

dalam

menyelesaikan beberapa sengketa.
Resiprositas: Keinginan negara-negara untuk memberlakukan yurisdiksi wajib.
Revolusi: Suatu perubahan mendasar dalam kelembagaan pada prinsip politik,
ekonomi, sosial suatu negara secara cepat dan mendesak melalui penggulingan
pemerintahan yang berkuasa.
Retorsi: Tindakan pembalasan terhadap negara lain yang telah melakukan
perbuatan tidak baik atau tidak adil.
Selektif:

Menyikapi

dan

mendukung

kerjasama-perjanjian

internasional

memprioritasikan serta yang menguntungkan pihak satu tetapi merugikan terhadap
pihak lain
Self Limitation: Dasar mengikatnya hukum internasional yang terletak pada
masing-masing kehendak negara berdaulat yang bersangkutan
Sabotase: Penghancuran fasilitas militer, industri, komunikasi, dan transportasi di
negara musuh atau wilayah musuh secara terselubung, biasanya dilakukan oleh
agen profesional internasional.

P a g e | 30

Status Quo: Kebijaksanaan yang bersifat konservatif dan defensif dalam upaya
mempertahankan apa yang telah diraih dan dicapainya selama ini, serta berupaya
untuk menciptakan stabilitas dan menghindari perubahan.
Sengketa Internasional: Suatu pertentangan atau perselisihan antara subyek
hukum internasional dengan yang lainnya mengenai objek atau kepentingan
tertentu
Signature: Penandatanganan naskah perjanjian yang dilakukan oleh Pejabat negara
Suaka diplomataik: Pemberian suaka terhadap seseorang yang memasuki
lingkungannya.
Suaka ekstrateritorial: Suaka yang diberikan oleh suatu negara di luar. wilayahnya,
tetapi diakui sebagai wilayah negara pemberian suaka
Suaka teritorial: Suaka yang diberikan oleh suatu negara di wilayahnya
Surat tauliah: Surat penetapan gelar dan wilayah kerja konsul
Tahta Suci (Vatican): Kekuasaan yang selain mempunyai kekuasaan sebagai
Kepala Gereja Roma juga memiliki kekuasaan negara
Teknik administratif: Bersifat penjabaran dari perjanjian induk
113 Treaty (traktat): Suatu perjanjian antara dua negara atau lebih untuk mencapai
hubungan hukum mengenai objek hukum yang sama, masing-masing pihak
mempunyai hak dan kewajiban yang mengikat
Treaty contract: Suatu perjanjian oleh pihak/ negara tertentu saja yang fungsinya
hanya mengikat hak dan kewajiban bagi pihak yang mengadakan perjanjian saja
Urgen: Penting
Wanprestasi: Pelanggaran perjanjian