TUGAS KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

TUGAS
KESEHATAN DAN KESELAMATAN
KERJA

Nama :
-Afririo Muhammad W P (03)
-Dwi Andi Setyawan
(08)

SMK N 7 SEMARANG

Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3)
PENDAHULUAN
Di era golbalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di setiap
tempat kerja termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita perlu mengem-bangkan dan
meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka menekan serendah mungkin risiko
kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan
produktivitas dan efesiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja di sektor kesehatan tidak
terkecuali di Rumah Sakit maupun perkantoran, akan terpajan dengan resiko bahaya di
tempat kerjanya. Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat

tergantung jenis pekerjaannya.
Dari hasil penelitian di sarana kesehatan Rumah Sakit, sekitar 1.505 tenaga kerja wanita di
Rumah Sakit Paris mengalami gangguan muskuloskeletal (16%) di mana 47% dari gangguan
tersebut berupa nyeri di daerah tulang punggung dan pinggang. Dan dilaporkan juga pada
5.057 perawat wanita di 18 Rumah Sakit didapatkan 566 perawat wanita adanya hubungan
kausal antara pemajanan gas anestesi dengan gejala neoropsikologi antara lain berupa mual,
kelelahan, kesemutan, keram pada lengan dan tangan.
Di perkantoran, sebuah studi mengenai bangunan kantor modern di Singapura dilaporkan
bahwa 312 responden ditemukan 33% mengalami gejala Sick Building Syndrome (SBS).
Keluhan mereka umumnya cepat lelah 45%, hidung mampat 40%, sakit kepala 46%, kulit
kemerahan 16%, tenggorokan kering 43%, iritasi mata 37%, lemah 31%.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 mengenai
kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib diseleng-garakan pada setiap
tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar
bagi pekerja agar dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat
sekelilingnya, untuk memperoleh produktivitas kerja yang optimal, sejalan dengan program
perlindungan tenaga kerja.

Pengertian Keselamatan dan kesehatan Kerja (K3)
Menurut Mangkunegara (2002, p.163)

Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin
keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya,
dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan
makmur.
Menurut Suma’mur (2001, pasal.104)
Keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang
aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Menurut Simanjuntak (1994)

Keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan
kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin,
peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja .
Mathis dan Jackson (2002, pasal. 245)
Keselamatan adalah merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik
seseorang terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada
kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum.
Menurut Ridley, John (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia (2000, pasal.6)
Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat
dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan
sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.

Jackson (1999, pasal. 222)
Kesehatan dan Keselamatan Kerja menunjukkan kepada kondisi-kondisi fisiologisfisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang disediakan
oleh perusahaan.
Sekarang sudah cukup jelas tentang pengertian dari K3 ini. Setiap orang bebas untuk
memberikan pengertian menurut pemahaman dan pemikiran mereka masing-masing dan
Anda pun berhak memberikan pengertian tentang K3 ini selama itu masih dalam kontek
Keselamatan dan Kesehatan Kerja

HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN PELAKSANAAN K3 PERKANTORAN
Ada beberapa hal penting yang harus mendapatkan perhatian sehubungan dengan
pelaksanaan K3 perkantoran, yang pada dasarnya harus memperhatikan 2 (dua) hal yaitu
indoor dan outdoor, yang kalau diurai seperti dibawah ini :
 Konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya
kebakaran serta kode pelaksanaannya.

jaringan elektrik dan komunikasi.
 kualitas udara.
 kualitas pencahayaan.
 Kebisingan.
 Display unit (tata ruang dan alat).








Hygiene dan sanitasi.
Psikososial.
Pemeliharaan.
Penggunaan

Komputer.

Teori Penyebab Kecelakaan Kerja

1.

2.


3.

4.

5.

6.

Kecelakaan kerja merupakan suatu hal yang sering terjadi dalam
dunia kerja, terjadinya kecelakaan kerja ini dapat kita pelajari dan
diupayakan pencegahannya. Adapun beberapa teori mengenai
penyebab kecelakaan kerja, yaitu:
Teori Heinrich ( Teori Domino)
Teori ini mengatakan bahwa suatu kecelakaan terjadi dari suatu
rangkaian kejadian . Ada lima faktor yang terkait dalam rangkaian
kejadian tersebut yaitu : lingkungan, kesalahan manusia, perbuatan
atau kondisi yang tidak aman, kecelakaan, dan cedera atau kerugian
(Ridley, 1986).
Teori Multiple Causation
Teori ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kemungkinan ada lebih dari

satu penyebab terjadinya kecelakaan. Penyebab ini mewakili perbuatan,
kondisi atau situasi yang tidak aman. Kemungkinan-kemungkinan
penyebab terjadinya kecelakaan kerja tersebut perlu diteliti.
Teori Gordon
Menurut Gordon (1949), kecelakaan merupakan akibat dari interaksi
antara korban kecelakaan, perantara terjadinya kecelakaan, dan
lingkungan yang kompleks, yang tidak dapat dijelaskan hanya dengan
mempertimbangkan salah satu dari 3 faktor yang terlibat. Oleh karena
itu, untuk lebih memahami mengenai penyebab-penyebab terjadinya
kecelakaan maka karakteristik dari korban kecelakaan, perantara
terjadinya kecelakaan, dan lingkungan yang mendukung harus dapat
diketahui secara detail.
Teori Domino terbaru
Setelah tahun 1969 sampai sekarang, telah berkembang suatu teori yang
mengatakan bahwa penyebab dasar terjadinya kecelakaan kerja adalah
ketimpangan manajemen. Widnerdan Bird dan Loftus mengembangkan
teori Domino Heinrich untuk memperlihatkan pengaruh manajemen
dalam mengakibatkan terjadinya kecelakaan.
Teori Reason
Reason (1995,1997) menggambarkan kecelakaan kerja terjadi akibat

terdapat “lubang” dalam sistem pertahanan. Sistem pertahanan ini dapat
berupa pelatihan-pelatihan, prosedur atau peraturan mengenai
keselamatan kerja,
Teori Frank E. Bird Petersen
Penelusuran sumber yang mengakibatkan kecelakaan . Bird mengadakan
modifikasi dengan teori domino Heinrich dengan menggunakan teori
manajemen, yang intinya sebagai berikut (M.Sulaksmono,1997) :
I. Manajemen kurang kontrol
II. Sumber penyebab utama
III. Gejala penyebab langsung (praktek di bawah standar)

IV. Kontak peristiwa ( kondisi di bawah standar )
V. Kerugian gangguan ( tubuh maupun harta benda )
Usaha pencegahan kecelakaan kerja hanya berhasil apabila dimulai
dari memperbaiki manajemen tentang keselamayan dan kesehatan kerja.
Kemudian, praktek dan kondisi di bawah standar merupakan penyebab
terjadinya suatu kecelakaan dan merupakan gejala penyebab utama
akibat kesalahan manajemen.
PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI
Konstruksi gedung :

 Disain arsitektur (aspek K3 diperhatikan mulai dari tahap perencanaan).
 Seleksi material, misalnya tidak menggunakan bahan yang membahayakan seperti asbes
dll.
 Seleksi dekorasi disesuaikan dengan asas tujuannya misalnya penggunaan warna yang
disesuaikan dengan kebutuhan.
 Tanda khusus dengan pewarnaan kontras/kode khusus untuk objek penting seperti
perlengkapan alat pemadam kebakaran, tangga, pintu darurat dll. (peta petunjuk pada setiap
ruangan/unit kerja/tempat yang strategis misalnya dekat lift dll, lampu darurat menuju exit
door).
Kualitas Udara :
 Kontrol terhadap temperatur ruang dengan memasang termometer ruangan.

Kontrol terhadap polusi
 Pemasangan "Exhaust Fan" (perlindungan terhadap kelembaban udara).
 Pemasangan stiker, poster "dilarang merokok".
 Sistim ventilasi dan pengaturan suhu udara dalam ruang (lokasi udara masuk, ekstraksi
udara, filtrasi, pembersihan dan pemeliharaan secara berkala filter AC) minimal setahun
sekali, kontrol mikrobiologi serta distribusi udara untuk pencegahan penyakit "Legionairre
Diseases ".


Kontrol terhadap linkungan (kontrol di dalam/diluar kantor).
 Misalnya untuk indoor: penumpukan barang-barang bekas yang menimbulkan debu, bau
dll.
Outdoor: disain dan konstruksi tempat sampah yang memenuhi syarat kesehatan dan
keselamatan, dll.
 Perencanaan jendela sehubungan dengan pergantian udara jika AC mati.
 Pemasangan fan di dalam lift.
Kualitas Pencahayaan (penting mengenali jenis cahaya) :

 Mengembangkan sistim pencahayaan yang sesuai dengan jenis pekerjaan untuk
membantu menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan aman. (secara berkala diukur
dengan Luxs Meter)
 Membantu penampilan visual melalui kesesuaian warna, dekorasi dll.
 Menegembangkan lingkungan visual yang tepat untuk kerja dengan kombinasi cahaya
(agar tidak terlalu cepat terjadinya kelelahan mata).
 Perencanaan jendela sehubungan dengan pencahayaan dalam ruang.
 Penggunaan tirai untuk pengaturan cahaya dengan memperhatikan warna yang
digunakan.
 Penggunaan lampu emergensi (emergency lamp) di setiap tangga.
Jaringan elektrik dan komunikasi (penting agar bahaya dapat dikenali) :

 Internal
 Over voltage
 Hubungan pendek
 Induksi
 Arus berlebih
 Korosif kabel
 Kebocoran instalasi
 Campuran gas eksplosif
 Eksternal
 Faktor mekanik.
 Faktor fisik dan kimia.
 Angin dan pencahayaan (cuaca)
 Binatang pengerat bisa menyebabkan kerusakan sehingga terjadi hubungan pendek.
 Manusia yang lengah terhadap risiko dan SOP.
 Bencana alam atau buatan manusia.
 Rekomendasi
 Penggunaan central stabilizer untuk menghindari over/under voltage.
 Penggunaan stop kontak yang sesuai dengan kebutuhan (tidak berlebihan) hal ini untuk
menghindari terjadinya hubungan pendek dan kelebihan beban.
 Pengaturan tata letak jaringan instalasi listrik termasuk kabel yang sesuai dengan syarat

kesehatan dan keselamatan kerja.
 Perlindungan terhadap kabel dengan menggunakan pipa pelindung.
Kontrol terhadap kebisingan :





Idealnya ruang rapat dilengkapi dengan dinding kedap suara.
Di depan pintu ruang rapat diberi tanda " harap tenang, ada rapat ".
Dinding isolator khusus untuk ruang genset.
Hak-hal lainnya sudah termasuk dalam perencanaan konstruksi gedung dan tata ruang.

Display unit (tata ruang dan letak) :
 Petunjuk disain interior supaya dapat bekerja fleksibel, fit, luas untuk perubahan posisi,
pemeliharaan dan adaptasi.
 Konsep disain dan dan letak furniture (1 orang/2 m²).
 Ratio ruang pekerja dan alat kerja mulai dari tahap perencanaan.
 Perhatikan adanya bahaya radiasi, daerah gelombang elektromagnetik.
 Ergonomik aspek antara manusia dengan lingkungan kerjanya.
 Tempat untuk istirahat dan shalat.
 Pantry dilengkapi dengan lemari dapur.
 Ruang tempat penampungan arsip sementara.
 Workshop station (bengkel kerja).
Hygiene dan Sanitasi :
 Ruang kerja
 Memelihara kebersihan ruang dan alat kerja serta alat penunjang kerja.
 Secara periodik peralatan/penunjang kerja perlu di up grade.
 Toilet/Kamar mandi
 Disediakan tempat cuci tangan dan sabun cair.
 Membuat petunjuk-petunjuk mengenai penggunaan closet duduk, larangan berupa
gambar dll.
 Penyediaan bak sampah yang tertutup.
 Lantai kamar mandi diusahakan tidak licin.
 Kantin
 Memperhatikan personal hygiene bagi pramusaji (penggunaan tutup kepala, celemek,
sarung tangan dll).
 Penyediaan air mengalir dan sabun cair.
 Lantai tetap terpelihara.
 Penyediaan makanan yang sehat dan bergizi seimbang. Pengolahannya tidak
menggunakan minyak goreng secara berulang.
 Penyediaan bak sampah yang tertutup.
 Secara umum di setiap unit kerja dibuat poster yang berhubungan dengan pemeliharaan
kebersihan lingkungan kerja.
 Psikososial
 Petugas keamanan ditiap lantai.
 Reporting system (komunikasi) ke satuan pengamanan.
Mencegah budaya kekerasan ditempat kerja yang disebabkan oleh :
 Budaya nrimo.
 Sistem pelaporan macet.
 Ketakutan melaporkan.
 Tidak tertarik/cuek dengan lingkungan sekitar.
 Semua hal diatas dapat diatasi melalui pembinaan mental dan spiritual secara berkala
minimal sebulan sekali.

 Penegakan disiplin ditempat kerja.
 Olah raga di tempat kerja, sebelum memulai kerja.
 Menggalakkan olah raga setiap jumat.
 Pemeliharaan
 Melakukan walk through survey tiap bulan/triwulan atau semester, dengan
memperhitungkan risiko berdasarkan faktor-faktor konsekuensi, pajanan dan kemungkinan
terjadinya.
 Melakukan corrective action apabila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan.
 Pelatihan tanggap darurat secara periodik bagi pegawai.
 Pelatihan investigasi terhadap kemungkinan bahaya bom/kebakaran/demostrasi/ bencana
alam serta Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) bagi satuan pengaman.
Aspek K3 perkantoran (tentang penggunaan komputer). Pergunakan komputer secara sehat,
benar dan nyaman,
Hal-hal yang harus diperhatikan :
 Memanfaatkan kesepuluh jari.
 Istirahatkan mata dengan melihat kejauhan setiap 15-20 menit.
 Istirahat 5-10 menit tiap satu jam kerja.
 Lakukan peregangan.
 Sudut lampu 45º.
 Hindari cahaya yang menyilaukan, cahaya datang harus dari belakang.
 Sudut pandang 15º, jarak layar dengan mata 30 – 50 cm.
 Kursi ergonomis (adjusted chair).
 jarak meja dengan paha 20 cm
 Senam waktu istirahat.
 Rekomendasi
 Perlu membuat leaflet/poster yang berhubungan dengan penggunaan komputer disetiap
unit kerja.
 Mengusulkan pada Pusat Promosi Kesehatan untuk membuat poster/leaflet.
 Penggunaan komputer yang bebas radiasi (Liquor Crystal Display).

HSE (Health, Safety, Environment,) atau di beberapa perusahaan juga disebut EHS,
HES, SHE, K3LL (Keselamatan & Kesehatan Kerja dan Lindung Lingkungan) dan SSHE
(Security, Safety, Health, Environment). Semua itu adalah suatu Departemen atau bagian dari
Struktur Organisasi Perusahaan yang mempunyai fungsi pokok terhadap implementasi Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) mulai dari Perencanaan,
Pengorganisasian, Penerapan dan Pengawasan serta Pelaporannya. Sementara, di Perusahaan
yang mengeksploitasi Sumber Daya Alam ditambah dengan peran terhadap Lingkungan
(Lindungan Lingkungan).
Membicarakan HSE bukan sekedar mengetengahkan Issue seputar Hak dan
Kewajiban, tetapi juga berdasarkan Output, yaitu korelasinya terhadap Produktivitas
Keryawan. Belum lagi antisipasi kecelakaan kerja apabila terjadi Kasus karena kesalahan

prosedur ataupun kesalahan pekerja itu sendiri (naas).

DASAR HUKUM
Ada minimal 53 dasar ocia tentang K3 dan puluhan dasar ocia tentang Lingkungan
yang ada di Indonesia. Tetapi, ada 4 dasar ocia yang sering menjadi acuan mengenai K3
yaitu:
Pertama, dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja,
disana terdapat Ruang Lingkup Pelaksanaan, Syarat Keselamatan Kerja, Pengawasan,
Pembinaan, Panitia Pembina K-3, Tentang Kecelakaan, Kewajiban dan Hak Tenaga Kerja,
Kewajiban Memasuki Tempat Kerja, Kewajiban Pengurus dan Ketentuan Penutup (Ancaman
Pidana). Inti dari UU ini adalah, Ruang lingkup pelaksanaan K-3 ditentukan oleh 3 unsur:
 Adanya Tempat Kerja untuk keperluan suatu usaha.
 Adanya Tenaga Kerja yang bekerja di sana.
 Adanya bahaya kerja di tempat itu.
Dalam Penjelasan UU No. 1 tahun 1970 pasal 1 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2918, tidak hanya bidang Usaha bermotif Ekonomi tetapi Usaha
yang bermotif ocial pun (usaha Rekreasi, Rumah Sakit, dll) yang menggunakan Instalasi
Listrik dan atau Mekanik, juga terdapat bahaya (potensi bahaya tersetrum, korsleting dan
kebakaran dari Listrik dan peralatan Mesin lainnya).
Kedua, UU No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81
Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (yang mana disahkan 19 Juli
1947). Saat ini, telah 137 negara (lebih dari 70%) Anggota ILO meratifikasi (menyetujui dan
memberikan sanksi formal) ke dalam Undang-Undang, termasuk Indonesia .
Ada 4 alasan Indonesia meratifikasi ILO Convention No. 81 ini, salah satunya adalah point 3
yaitu baik UU No. 3 Tahun 1951 dan UU No. 1 Tahun 1970 keduanya secara eksplisit belum
mengatur Kemandirian profesi Pengawas Ketenagakerjaan serta Supervisi tingkat pusat (yang
diatur dalam pasal 4 dan pasal 6 Konvensi tersebut) – sumber dari Tambahan Lembaran
Negara RI No. 4309.
Ketiga, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Paragraf 5
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86 ayat 1berbunyi: “Setiap
Pekerja/ Buruh mempunyai Hak untuk memperoleh perlindungan atas (a) Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.”
Aspek Ekonominya adalah Pasal 86 ayat 2: ”Untuk melindungi keselamatan Pekerja/
Buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Sedangkan Kewajiban penerapannya ada dalam pasal 87: “Setiap Perusahaan wajib
menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang terintegrasi dengan
Sistem Manajemen Perusahaan.”
Keempat, Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996 tentang Sistem
Manajemen K3. Dalam Permenakertrans yang terdiri dari 10 bab dan 12 pasal ini, berfungsi

sebagai Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K-3 (SMK3), mirip OHSAS 18001 di
Amerika atau BS 8800 di Inggris
HUKUM KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang memproteksi
pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari bahaya akibat
kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh
perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja
(zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost)
perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang
memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.
Bagaimana K3 dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu
norma keselamatan, kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja merupakan
sarana atau alat untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang tidak diduga yang
disebabkan oleh kelalaian kerja serta lingkungan kerja yang tidak kondusif. Konsep ini
diharapkan mampu menihilkan kecelakaan kerja sehingga mencegah terjadinya cacat atau
kematian terhadap pekerja, kemudian mencegah terjadinya kerusakan tempat dan peralatan
kerja. Konsep ini juga mencegah pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat sekitar
tempat kerja.Norma kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yang mampu
menciptakan dan memelihara derajat kesehatan kerja setinggi-tingginya.
K3 dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat kerja, misalnya
kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara, dan lain-lain yang dapat
menyebabkan kerusakan pada alat pendengaran, gangguan pernapasan, kerusakan paru-paru,
kebutaan, kerusakan jaringan tubuh akibat sinar ultraviolet, kanker kulit, kemandulan, dan
lain-lain. Norma kerja berkaitan dengan manajemen perusahaan. K3 dalam konteks ini
berkaitan dengan masalah pengaturan jam kerja, shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda,
pengaturan jam lembur, analisis dan pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal
tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa kecelakaan kerja.
Eksistensi K3 sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di Eropa,
terutama Inggris, Jerman dan Prancis serta revolusi industri di Amerika Serikat. Era ini
ditandai adanya pergeseran besar-besaran dalam penggunaan mesin-mesin produksi
menggantikan tenaga kerja manusia. Pekerja hanya berperan sebagai operator. Penggunaan
mesin-mesin menghasilkan barang-barang dalam jumlah berlipat ganda dibandingkan dengan
yang dikerjakan pekerja sebelumnya. Revolusi IndustriNamun, dampak penggunaan mesinmesin adalah pengangguran serta risiko kecelakaan dalam lingkungan kerja. Ini dapat
menyebabkan cacat fisik dan kematian bagi pekerja. Juga dapat menimbulkan kerugian
material yang besar bagi perusahaan. Revolusi industri juga ditandai oleh semakin banyak
ditemukan senyawa-senyawa kimia yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan
fisik dan jiwa pekerja (occupational accident) serta masyarakat dan lingkungan hidup.
Pada awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral dalam perusahaan.
Pada era in kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai kecelakaan atau resiko kerja (personal
risk), bukan tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan konsep common
law defence (CLD) yang terdiri atas contributing negligence (kontribusi kelalaian), fellow
servant rule (ketentuan kepegawaian), dan risk assumption (asumsi resiko) (Tono,
Muhammad: 2002).
Kemudian konsep ini berkembang menjadi employers liability yaitu K3 menjadi
tanggung jawab pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar
lingkungan kerja.Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak

pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak
Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang ditandai dengan penerbitan
Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910. Selanjutnya, pemerintah kolonial
Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan perlindungan bagi
keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara terpisah berdasarkan masing-masing
sektor ekonomi.
Beberapa di antaranya yang menyangkut sektor perhubungan yang mengatur lalu
lintas perketaapian seperti tertuang dalam Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de
Exploitate van Spoor en Tramwegen Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia
(Peraturan umum tentang pendirian dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas
umum Indonesia) dan Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940
(Ordonansi Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan
Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya. Kepedulian Tinggi Pada awal
zaman kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis dan menjadi bagian dari masalah
kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat dipahami karena Pemerintahan Indonesia masih
dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan keamanan nasional. Sementara itu,
pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai dirintis oleh pemerintah dan swasta nasional.
K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin ramainya
investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional (manufaktur). Perkembangan
tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk
pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang Keselamatan
Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU
Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang
dikelompokkan sebagai norma kerja.Setiap tempat kerja atau perusahaan harus melaksanakan
program K3. Tempat kerja dimaksud berdimensi sangat luas mencakup segala tempat kerja,
baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang
angkasa.

Pengaturan hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan sektor/bidang
usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU No. 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain sekor perhubungan di
atas, regulasi yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti
pertambangan, konstruksi, pertanian, industri manufaktur (pabrik), perikanan, dan lainlain.Di era globalisasi saat ini, pembangunan nasional sangat erat dengan perkembangan isuisu global seperti hak-hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh.
Persaingan global tidak hanya sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup kualitas
pelayanan dan jasa. Banyak perusahaan multinasional hanya mau berinvestasi di suatu negara
jika negara bersangkutan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup. Juga
kepekaan terhadap kaum pekerja dan masyarakat miskin. Karena itu bukan mustahil jika ada
perusahaan yang peduli terhadap K3, menempatkan ini pada urutan pertama sebagai syarat
investasi.
TUJUAN PENERAPAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA :
Secara umum, kecelakaan selalu diartikan sebagai kejadian yang tidak dapat diduga.
Kecelakaan kerja dapat terjadi karena kondisi yang tidak membawa keselamatan kerja, atau

perbuatan yang tidak selamat. Kecelakaan kerja dapat didefinisikan sebagai setiap perbuatan
atau kondisi tidak selamat yang dapat mengakibatkan kecelakaan. Berdasarkan definisi
kecelakaan kerja maka lahirlah keselamatan dan kesehatan kerja yang mengatakan bahwa
cara menanggulangi kecelakaan kerja adalah dengan meniadakan unsur penyebab kecelakaan
dan atau mengadakan pengawasan yang ketat. (Silalahi, 1995)
Keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan mengungkapkan
kelemahan yang memungkinkan terjadinya kecelakaan. Fungsi ini dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu mengungkapkan sebab-akibat suatu kecelakaan dan meneliti apakah
pengendalian secara cermat dilakukan atau tidak.
Menurut Mangkunegara (2002, p.165) bahwa tujuan dari keselamatan dan kesehatan
kerja adalah sebagai berikut:
a. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik,
sosial, dan psikologis.
b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif mungkin.
c. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
e. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi
kerja.
g. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja
PENUTUP
Dalam pelaksanaan K3 perkantoran perlu memperhatikan 2(dua) hal penting yakni
indoor dan outdoor. Baik perhatian terhadap konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan
operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta kode pelaksanannya maupun terhadap
jaringan elektrik dan komunikasi, kualitas udara, kualitas pencahayaan, kebisingan, display
unit (tata ruang dan alat), hygiene dan sanitasi, psikososial, pemeliharaan maupun aspek lain
mengenai penggunaan komputer.
Hal diatas tidak hanya meningkatkan dari sisi kesehatan maupun sisi keselamatan
karyawan/pekerja dalam melakukan pekerjaan di tempat kerjanya.
Harapannya rekomendasi ini dapat dijadikan sebagai acuan ataupun perbandingan dalam
rangka meningkatkan pelaksanaan K3 khususnya di perkantoran.