SPIRITUALITAS MASYARAKAT DALAM NOVEL JAT (1)

SPIRITUALITAS MASYARAKAT DALAM NOVEL JATISABA
KARYA RAMAYDA AKMAL
Septi Yulisetiani, Teguh Trianton
UM Purwokerto, septiyulisetiani_new@yahoo.co.id
UM Purwokerto, teguhtrianton@gmail.com

ABSTRACT
This article discusses about presentation of spiritualitty the traditional society in Jatisaba
novels by Ramayda Akmal. Spirituality was the core which is one reason that someone in
entities do something. Spirituality also a top to be achieved by someone after do
something. Be spiritual means has ties more on this to be a chaplaincy and psychological
compared with this to be physical and material. Meaning spirituality understood as a
series of characteristic motivasional, the emotional common cause, direct and choose
diverse mannerisms individuals. Individuals will try to building an understanding of goals
and purport to live in. Spirituality open the door to expand understanding of motivation
and goal individuals. Transdensi spiritual individual reflect the ability to stand erect build
lives of sight more plural, with the realization and meaning deeper accompained purport
to the purpose live in a relationship that more enduring; relationship with one God. The
individual is a part comunity. Spirituality community to describe in this novels identified
by a set of an idea or ideas related to the belief system. The belief system in perspective
anthropology includes two things interconected, there are the system religious and

religious ceremony.
Keywords: spirituality, the community, anthropology, novels

PENDAHULUAN
Novel Jatisaba merupakan salah satu karya sastra penulis muda yang
konsen dengan persoalan politik, sosial, dan budaya lokal. Novel ini ditulis oleh
Ramayda Akmal, seorang penulis asal Cilacap, Jawa Tengah. Pada tahun 2012,
novel ini menjadi nominator pemenang di ajang sayembara penulisan novel
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Novel yang berlatar sosial masyarakat desa ini
menceritakan fenomena sindikat perdagangan manusia di tengah sengketa politik
dan kisah cinta yang getir dengan latar budaya lokal yang diungkapkan secara
etnografis.
Di dalamnya dideskripkan keragaman budaya Banyumas, termasuk sistem
kepercayaan masyarakat setempat yang masih sangat tradisional. Presentasi sistem
kepercayaan masyarakat Jatisaba dalam novel tersebut berkait erat dengan praktek
politik lokal dan liku-liku kehidupan tokoh yang terlibat berbagai konflik. Sistem
kepercayaan dalam perspektif antropologi merupakan salah satu anasir budaya

yang melekat pada masyarakat tertentu. Sistem kepercayaan masyarakat dapat
mewujud dalam tiga konstruksi budaya yaitu kompleksitas ide, kompleksitas

aktivitas, dan kompleksitas benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat,
2004: 5).
Kompleksitas ide dimaknai sebagai tata kelakuan, atau adat istiadat
(Hasyim dan Yudi Hartono, 2008: 21). Artinya, wujud ide ini berfungsi mengatur,
mengendalikan, dan memberi arah pada kelakuan dan perbuatan manusia dalam
masyarakat. Tata kelakuan atau adat istiadat meliputi beberapa lapisan, yaitu dari
yang paling abstrak dan luas sampai paling konkrit dan terbatas. Lapisan yang
paling abstrak meliputi sistem nilai budaya. Selanjutnya lapisan sistem normanorma kebudayaan dan sistem norma hukum. Lapisan paling konkrit dari wujud
ide budaya meliputi peraturan-peraturan khusus mengenai aktivitas sehari-hari
dalam kehidupan masyarakat.
Kompleksitas

aktivitas

didefinisikan

sebagai

sistem


sosial

yang

berhubungan dengan tindakan berpola dari manusia (Pamungkas, 2012: 189).
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia untuk berinteraksi,
berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lainnya dengan mengikuti pola-pola
tertentu berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusiamanusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkrit, terjadi di
sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi dan didokumentasi. Hasyim dan Yudi
Hartono (2008: 22) mengungkapkan bahwa wujud benda hasil karya manusia
merupakan seluruh total dari hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya
manusia dalam masyarakat yang berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat
diraba, difoto maupun didokumentasikan.
Sistem kepercayaan yang tumbuh dan dianut oleh entitas sosial tertentu
merupakan akar religiositas budaya. Sistem kepercayaan bermula dari ide atau
gagasan manusia sebagai mikro kosmos yang berpikir mengenai keberadaan
makro kosmos dan eksistensi sang pencipta (Tuhan) yang mengadakan semuanya.
Oleh sebab itu, sistem ide terdapat pada ranah kognitif manusia. Ide bersifat
abstrak, sama dengan wacana yang berisi pengetahuan-pengetahuan tentang
berbagai hal.


Pengetahuan tentang tata cara bermasyarakat disebut sebagai norma,
pengetahuan tentang tata pergaulan hidup yang menyangkut hak dan kewajiban
warga negara yang dibuat oleh lembaga disebut peraturan atau undang-undang.
Pada akhirnya semua ide, gagasan, norma dan peraturan tersebut menentukan
nilai. Dengan demikian nilai juga berada dalam ranah ide, karena nilai juga
bersifat abstrak. Nilai juga bagian dari sistem pengetahuan itu sendiri. Dengan
demikian, jika nilai merupakan titik puncak atau inti dari segala sistem yang
berlaku dalam masyarakat, maka sistem kepercayaan yang dianut oleh entitias
tertentu akan melahirkan nilai-nilai religiositas. Nilai religiositas ini pada akhirnya
bermuara di satu titik yang paling inti yaitu spiritualitas.
Artikel ini akan membahas lebih jauh mengenai presentasi spiritualitas
masyarakat tradisional yang terdapat dalam novel Jatisaba . Perlu ditegaskan,
bahwa spiritualitas di sini merupakan inti yang menjadi puncak, yang
menyebabkan seseorang atau sekelompok orang dalam entitias tertentu melakukan
sesuatu. Spiritualitas masyarakat yang digambarkan dalam novel diidentifikasi
melalui seperangkat ide atau gagasan yang berkenaan dengan sistem kepercayaan.
Sistem kepercayaan dalam perspektif antropologi mencakup dua hal yang saling
berhubungan yaitu sistem religi dan upacara keagamaan.


PEMBAHASAN
Spiritualitas dan Sistem Kepercayaan
Spiritualitas secara umum dapat dipahami sebagai sesuatu atau segala hal
yang berhubungan dengan rohani, kejiwaan, atau kebatinan. Spiritualitas
merupakan puncak, nilai tertinggi yang hendak dicapai oleh manusia dalam hidup.
Spiritualitas berakar dari sistem kepercayaan dan religi. Oleh sebab itu,
spiritualitas secara umum ditandai dengan sikap religi atau religiositas.
Religiusitas merupakan perwujudan dari sikap religius. Religiusitas
bertalian dengan hasrat manusia untuk hidup dalam dunia yang nyata dan berdaya
serta berkisar pada kesadaran tentang yang menciptakan dirinya dan dunianya,
tempat ia kembali, membedakan antara yang sejati dan palsu (Mangunwijaya,
1988: 17-18). Mulanya, religiusitas ditawarkan oleh agama. Namun, religiusitas
tidak selalu dimaknai dalam konteks agama. Religiusitas dapat dipahami sebagai

riak getaran hati nurani pribadi, lebih dalam dari agama. Religiusitas juga dapat
dimaknai sebagai perasaan rindu, perasaan ingin selalu bersama dengan sesuatu
yang abstrak, yang berada di luar jangkauan pikiran dan hati. Meskipun abstrak
tetapi keberadaannya sangat riil.
Sistem religi dan upacara keagamaan mencakup dua hal yang saling
berhubungan, yang disebut sistem kepercayaan. Sistem religi dapat didefinisikan

sebagai bentuk kepercayaan manusia terhadap hal-hal yang tidak dapat ditangkap
secara langsung oleh panca indra manusia. Artinya, sistem religi berkaitan dengan
kepercayaan manusia terhadap ritual, spiritualitas, Tuhan dan makhluk-makhluk
ghaib yang diciptakanNya. Dalam ranah ide, upacara keagamaan muncul dalam
bentuk gagasan tentang tata cara dan peraturan dalam ritual atau upacara
keagamaan. Sebagai ide, sistem kepercayaan dan religi merupakan inti kehidupan
yang memberikan keyakinan, penyadaran, transformasi pikiran dan daya nalar
yang menyadarkan manusia bahwa di luar dirinya ada yang berkuasa.
Sistem kepercayaan dalam perpektif antropologi merupakan salah satu
unsur budaya yang berlaku universal. Artinya sistem serupa dianut juga oleh
masyarakat dengan latar kebudayaan tertentu di seluruh dunia. Antropologi
memandang, sistem kepercayaan masyarakat dapat terwujud dalam tiga bentuk
yaitu ide atau gagasan, aktivitas religi, dan benda-benda yang berhubungan
dengan kepercayaan tertentu.
Antropologi adalah studi tentang umat manusia. Antropologi berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya untuk
memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman budaya yang
melingkupinya (Haviland, 1995: 7; Koentjaraningrat, 2011: 23).
Antropologi sastra disebut juga sebagai kajian terhadap karya sastra yang
menekankan pada aspek-aspek antropologis. Aspek-aspek tersebut meliputi sistem

pengetahuan, adat istiadat, sistem kekerabatan, sistem peralatan hidup dan
teknologi, mata pencaharian, kesenian, serta sistem kepercayan dan agama.
Aspek-aspek ini, akan menunjukkan keragaman budaya masyarakat tertentu yang
dinarasikan dalam karya sastra. Di antaranya dalam novel Jatisaba karya
Ramayda Akmal.
Spiritualitas dalam Sastra

Pada awal mulanya segala sastra adalah religius (Mangunwijaya, 1988).
Pernyataan ini menunjukkan, bahwa karya sastra apapun wujud dan genrenya
mengandung anasir religiositas. Setiap pengarang adalah homo religi, manusia
yang memiliki kepercayaan dan menganut sistem kepercayaan tertentu
(spiritualitas) yang dapat mempengaruhi proses kreatif dalam menulis. Dengan
demikian, religositas selalu hadir dalam semua karya sastra.
Karya sastra mempunyai dua makna, yaitu makna niatan (amanat) dan
makna muatan (tema). Makna niatan yang dimaksud adalah makna yang
dikendaki oleh sastrawan sedangkan makna muatan adalah makna yang terdapat
dalam struktur karya sastra itu sendiri. Kedua jenis makna karya sastra itu jelas
bertolak belakang dari pengalaman-pengalaman sastrawan. Pengalaman itu bisa
diperoleh dalam interaksi sosial maupun pengalaman religiusnya (Jabrohim, 2002:
158).

Pengalaman religius inilah yang membawa sastrawan pada kesadaran
spiritualitas. Seorang pengarang akan mempresentasikan gagasan mengenai
spiritualitas melalui tokoh-tokoh rekaan yang dimunculkan dalam berbagai
karakter dan konflik dalam karya sastra. Kepercayaan pengarang akan keberadaan
sesuatu yang bersifat imanen mendorongnya untuk mengungkapkan kepercayaan
tersebut dalam karya sastra.
Religiusitas terepresentasi dalam karya sastra. Sebab, pada hakikatnya
keberhasilan sebuah karya sastra adalah bertemunya kebenaran religiusitas dengan
keindahan. Karya sastra dapat menghadirkan keindahan dan religiusitas secara
seimbang ketika hendak disajikan ke hadapan pembacanya. Dalam konstelasi
sastra Indonesia, kehadiran sastra religius telah memberikan warna tersendiri.
Religiusitas dalam sastra bukan semata-mata menampilkan kehidupan
beragama secara khusus, tetapi harus menampilkan aspek-aspek sosial.
Religiusitas merupakan intensitas pengamalan ajaran agama. Secara umum agama
mengajarkan dua hal, yaitu; ajaran mengenai hubungan horizontal manusia
dengan manusia (aspek sosial) dan alam, kemudian hubungan vertikal; manusia
dengan Tuhan (aspek spiritual).
Imajinasi pengarang dapat dipengaruhi oleh hal-hal yang bertalian dengan
agama. Dalam hal ini agama hadir sebagai pengalaman batin yang akan


mencetuskan inspirasi yang memperkuat ide (Syahruddin, 2005: 17, 51).
Kepercayaan pada agama atau sistem religi lainnya akan menjadi dasar
pembentukan karakter tokoh untuk menciptakan realitas baru yang imajiner dalam
karya sastra. Realitas dalam karya sastra merupakan hasil imajinasi pengarang
yang diolah kembali. Berkaitan dengan hal tersebut, karya sastra religius harus
mempunyai dimensi transeden dan dimensi sosial. Oleh karena itu, religiusitas
dalam karya sastra harus menyentuh kenyataan sosial (Prasetyawan, 2005: 49).
Dengan demikian, dalam konteks proses kreatif penciptaan karya sastra,
spiritualitas merupakan kompleksitas ide yang dapat dikembangkan dalam bentuk
cerita rekaan. Ide sebagai wujud budaya bersifat abstrak; tidak dapat diraba atau
difoto. Ide berada dalam alam pikiran warga masyarakat. Namun, ide atau
gagasan dapat dipresentasikan dalam karya seni termasuk sastra. Ide dapat
dimaknai sebagai rancangan yang tersusun di dalam pikiran, gagasan, maupun
cita-cita. Kumpulan ide-ide, gagasan, cita-cita ini merupakan wujud ideal
kebudayaan. Selain itu, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang
sifatnya abstrak juga merupakan wujud ideal kebudayaan yang tidak dapat diraba
atau disentuh.
Ide sebagai wujud budaya intangible, yaitu budaya yang bersifat abstrak
seperti konsep dan nilai, dan dapat pula bersifat kongkret, tetapi tidak dapat
dipegang, seperti tarian. Budaya intangible memiliki beberapa aspek yaitu konsep

mengenai

sesuatu,

perlambangan

yang

diwujudkan

melalui

sesuatu,

kebermaknaan dalam kaitannya dengan fungsi atau kegunaannya, isi pesan yang
terkandung di dalamnya, khususnya bila terdapat tulisan pada benda tersebut, dan
teknologi untuk membuatnya (Sedyawati, 2006: 160-168).
Dengan demikian yang dimaksud kompleksitas ide sebagai wujud
budaya imateri adalah keseluruhan gagasan, pemikiran, cita-cita, nilainilai, norma-norma, peraturan yang bersifat abstrak, yang terpresentasi melalui
wacana lisan maupun tulisan dan tersimpul menjadi satu sistem budaya yang

mengatur hubungan manusia dalam kehidupannya.
Spiritualitas Masyarakat Dalam Novel Jatisaba
Spiritualitas adalah sesuatu atau segala hal yang berhubungan dengan
rohani, kejiwaan, atau kebatinan. Spiritualitas merupakan puncak, nilai tertinggi

yang hendak dicapai oleh manusia dalam hidup. Spiritualitas berakar dari sistem
kepercayaan dan religi. Oleh sebab itu, spiritualitas secara umum ditandai dengan
sikap religi atau religiositas. Gagasan mengenai spiritualitas masyarakat dalam
novel Jatisaba dapat diidentifikasi dari apa yang dipikirkan oleh para tokoh dalam
novel. Tokoh-tokoh dalam novel Jatisaba digambarkan sebagai manusia yang
hidup di lingkungan masyarakat desa. Jatisaba dalam novel tersebut digambarkan
sebagai sebuah wilayah desa di pinggiran Banyumas.
Ide sebagai wujud budaya tentang sistem religi dan upacara keagamaan
dapat dipahami sebagai gagasan yang berhubungan dengan sistem kepercayaan,
nilai religius, pandangan hidup religius, komunikasi keagamaan, upacara-upacara
adat maupun upacara keagamaan. Sebagai wujud budaya yang bersifat
abstrak,lokasi ide ada dalam alam pikiran manusia sebagai bagian dari warga
masyarakat yang berkebudayaan. Untuk itu, sebenarnya ide dapat mewujud dalam
bentuk gagasan tentang apa saja, termasuk gagasan yang berhubungan dengan
sistem religi dan upacara keagamaan.
Cerita dalam novel Jatisaba dimulai dengan munculnya tokoh Mainah
yang sedang berada dalam perjalanan pulang dari perantauan. Mainah hendak
pulang menuju kampung halamannya; Jatisaba. Mainah begitu menikmati
perjalanan dalam sebuah bus, sambil mengenang masa lalu. Meski sudah lama
tidak pulang kampung, namun ia sangat mengenali suasana perjalanan yang
melintasi jalan-jalan berlubang yang membuat bus yang ditumpanginya
berguncang. Mainah mengungkapkan bahwa kondisi jalan yang berlubang
merupakan bagian dari kutukkan makhluk halus berupa arwah-arwah manusia
yang kuburannya dibongkar paksa demi pelebaran jalan. Ungkapan ini
berkembang menjadi kepercayaan dan mitos dalam masyarakat Jatisaba.
Mitos merupakan bagian dari cerita rakyat yang mengandung arahan,
pesan, nilai-nilai, norma-norma, yang dapat difungsikan sebagai pedoman
pedoman bagi kehidupan manusia. Mitos kerap menjadi cerita yang dilisankan
secara turun-temurun dan diakui kebenarannya oleh penganut kepercayaan mitos
tersebut. Tokoh Mainah dalam novel Jatisaba digambarkan memiliki pengetahuan
tentang mitos kutukan arwah manusia berdasarkan cerita ibunya. Hal ini
menunjukkan bahwa mitos berkembang secara turun temurun. Pada saatnya, mitos

yang

mengandung

nilai

dijadikan

sebagai

pedoman

kehidupan

dalam

bermasyarakat. Masyarakat Jatisaba dalam cerita yang dinarasikan oleh Ramayda
Akmal menjadikan beberapa mitos sebagai pedoman hidup. Di antaranya mitos
tentang keberadaan makhluk ghaib dalam wujud arwah manusia.
Jalan yang berlubang dan bergelombang menjadi identitas
kampungku. Walaupun setiap tahun jalan itu dihaluskan. Jalan itu
tetap menyiksa dengan kerikil-kerikil segitiganya yang tajam. Hampir
semua orang di kampungku yakin, sampai kapan pun jalan ini tidak
akan pernah halus. Konon jalan ini dibangun di atas kuburan leluhur.
Demi memenuhi syarat pelebaran jalan, mereka harus menggusur
sebagian kuburan. Kala itu kampungku menjadi seperti kampung
zombi dengan bau anyir dan busuk yang tidak tertahankan. Waktu itu
aku masih kecil. Aku hanya merasakan kengerian dari cerita ibuku.
Oleh karena pemindahan kuburan semaunya ini, arwah-arwah dari
mayat itu marah dan mengutuk jalan di kampung halamanku (hal. 10).
Mitos tersebut mengandung sebuah pesan untuk saling menjaga dan
menghormati sesama sampai akhir hayat. Masyarakat tidak dianjurkan untuk
melakukan pembongkaran paksa kuburan. Dalam hal ini, kuburan yang
difungsikan untuk menguburkan jasad manusia yang telah meninggal dunia
dipelihara sebagai wujud adanya rasa saling menghormati sesama manusia. Baik
semasa masih hidup ataupun sudah meninggal dunia.
Melalui mitos ini, masyarakat tidak melakukan pembongkaran paksa
terhadap kuburan. Apabila hal itu dilakukan maka dapat menimbulkan kutukan
dari arwah manusia yang jasadnya terkubur di dalamnya. Kepercayaan tokoh
Mainah terhadap adanya pengaruh kekuatan para roh mewakili sistem
kepercayaan masyarakat tradisional. Pada umumnya, masyarakat tradisional di
desa masih menganut animisme. Mereka juga percaya jika ada kalanya arwah
manusia yang baru meninggal dunia masih berkeliaran.
Selain melalui tokoh Mainah, kepercayaan masyarakat terhadap perkara
gaib juga dipresentasikan melalui tokoh Sitas, Gao, dan Besuk.
Setiap kali berusaha memejamkan mata aku merasa ada
makhluk-makhluk lain yang sedang memperhatikan dan siap
menerkamku. Apalagi aku yakin betul, arwah Pontu masih terbangterbang di dalam rumah ini (hal. 234).
Mainah, Sitas, dan Gao merupakan tokoh sentral dalam novel ini.

Ketiganya terlibat konflik satu dengan yang lainnya, mulai dari persoalan asmara,
kepercayaan, upacara tradisional, sampai konflik politik. Melalui tokoh-tokoh
tersebut, gagasan tentang eksistensi yang gaib dan yang Maha Pencipta di
munculkan.
Dalam sistem kepercayaan masyarakat tradisional, manusia yang
meninggal dunia pada hakikatnya; jiwa dan raganya terpisah. Raganya dikubur di
dalam tanah, sedangkan jiwanya kembali kepada Tuhan. Arwah manusia akan
dianggap tetap ada, bahkan berada disekitar manusia. Kepercayaan ini,
menyebabkan munculnya aktivitas penghormatan terhadap manusia yang sudah
meninggal dengan diadakan upacara slametan.
Sutiyono (2013: 45) menarasikan perihal upacara slametan kematian. Pada
upacara slametan hari ke-1000 (nyewu) disertakan sesaji burung merpati masih
hidup yang akan diterbangkan. Maksud diterbangkannya burung merpati itu
adalah bahwa nyawa manusia yang telah meninggal dunia telah pergi jauh dan
tidak akan kembali.Artinya, masyarakat penganut kepercayaan ini membutuhkan
waktu sekitar 1000 hari untuk meyakini bahwa arwah manusia yang telah
meninggal dunia telah pergi selama-lamanya. Apabila baru meninggal beberapa
hari, maka arwahnya dianggap masih ada di sekitar rumah yang pernah ditinggali.
Inilah bentuk kepercayaan yang membudaya.
Kepercayaan semacam itu, sebenarnya mengandung pesan untuk saling
mendo’akan terhadap sesama manusia. Selain animisme yaitu percaya pada arwah
leluhur atau orang yang baru meninggal, masyarakat Jatisaba juga digambarkan
memiliki kepercayaan terhadap keberadaan mahluk ghaib lain yang memiliki
kekuatan. Alur cerita juga mendeskripsikan tokoh yang memiliki kepercayaan
terhadap makhluk gaib yang mampu memberi nasihat atau petunjuk.
Dalam novel Jatisaba, tokoh yang meyakini adanya makhluk gaib
semacam itu adalah Gao. Tokoh ini digambarkan sebagai dalang atau kerap
disebut dengan sebutan panimbul. Ia merupakan orang yang berperan mengatur
jalannya pertunjukan kesenian tradisional ebeg. Sebagai panimbul, dia memiliki
kesaktian yang membuat ia mampu berdiskusi dengan makhluk-makhluk gaib.
Sistem kepercayaan dinamisme dalam novel Jatisaba muncul dalam
bentuk pemujaan terhadap dewa-dewi melalui ritual cowongan. Cowongan adalah

sebuah upacara tradisional yang diadakan di setiap musim kemarau panjang.
Ritual ini digelar untuk memuja dewa-dewi yang dipercaya memiliki kekuatan
menurunkan hujan. Dewa-dewi yang dipuja dalam ritual cowongan adalah dewi
kesuburan yang disebut Dewi Sri.
Dalam mitos orang Jatisaba, dewi Sri bertugas menyampaikan
permohonan hujan manusia kepada Tuhan. Agar ritual cowongan efektif, maka
ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi.
“Sebelum dibenamkan pada pohon pisang raja pinggir paceran,
siwur nini cowong harus didapatkan dengan cara dicuri dari rumah
tanpa langit-langit dan memiliki lubang angin yang besar. Rumah
seperti itu diyakini sering dilewati makhluk halus. Jadi siwur yang
ada kemungkinan dilewati oleh dewa-dewi.” Hampir semua orang di
desaku percaya, nini cowong adalah jelmaan Dewi Sri yang akan
menyampaikan permintaan penduduk kepada Tuhan agar segera
mencurahkan hujan untuk membasahi alam semesta (hal. 133).
Dewi Sri dianggap sebagai mahluk gaib yang mampu menjadi perantara
doa manusia pada Tuhan. Dalam ritual cowongan, Dewi Sri disimbolisasi dengan
boneka yang kepalanya terbuat dari siwur . Boneka ini kemudian diberi naman nini
cowong. Sementara itu, agar permohonan cepat dikabulkan, maka doa dituangkan

dalam bentuk mantra-mantra yang diucapkan saat ritual berlangsung.
Agar upacara permohonan hujan tersebut, semakin khidmat dan sakral,
maka ada beberapa ketentuan yang harus ditaati. Di antaranya peraturan yang
boleh membawa boneka nini cowong adalah perempuan yang suci. Perempuan
suci dalam ritual tersebut, adalah gadis yang masih perawan atau wanita yang
telah menopause. Berikut petikan cerita yang menunjukkan syarat tersebut.
“Yang boleh membawa nini cowong hanya nenek-nenek
yang sudah tidak lagi kotor,” jawab Sitas seperti seorang guru.
Yang memegang siwur haruslah perempuan yang masih
perawan atau yang sudah menopause sekalian. Perempuanperempuan itu sebelumnya harus sudah menjalani tirakat atau
puasa (hal. 132-133).
Selain disyaratkan wanita yang masih perawan atau yang sudah
menopouse, syarat lainnya ialah harus menjalani tirakat atau puasa. Puasa tirakat
adalah puasa yang dilakoni sebagai syarat atau untuk tujuan tertentu. Dalam
tradisi masyarakat Jatisaba seperti yang terepresentasi dalam novel, tirakat adalah

hal yang lumrah dilakukan oleh orang yang tengah punya hajat tertentu. Aturan
lain tentang ritual cowongan tersurat jelas dalam kutipan berikut ini.
Nini cowong akan terus diarak dalam waktu-waktu yang
ganjil, seperti tiga, lima, atau tujuh kali sampai turun hujan.
Hampir semua orang di desaku percaya, nini cowong adalah
jelmaan Dewi Sri yang akan menyampaikan permintaan
penduduk kepada Tuhan agar segera mencurahkan hujan untuk
membasahi alam semesta (Hal. 133).

Dengan demikian dapat diketahui bahwa Nini cowong tidak diarak pada
sembarang waktu. Agar ritual ini membawa hasil, maka nini cowong hanya boleh
diarak pada waktu-waktu tertentu. Ritual cowongan lazimnya dilakukan pada
waktu-waktu atau tanggal ganjil seperti tiga, lima, tujuh dan seterusnya. Arakarakan akan digelar hingga tujuh kali atau bahkan lebih, pada hari-hari yang telah
ditentukan. Ritual ini, akan diulang hingga hujan turun membasahi tanah sawah
yang kering kerontang akibat musim kemarau panjang.
Sebenarnya, mitos Dewi Sri telah meresap ke dalam jiwa masyarakat di
seluruh nusantara. Muasalnya dari India, termasuk sampai ke pulau-pulau kecil
yang tidak tersentuh oleh kebudayaan india. Sebab, kepercayaan terhadap Dewi
Sri ini berasal dari kepercayaan yang berkembang di India. Setiap daerah
memiliki mitos Dewi Sri dengan versi yang berbeda. Hingga sekarang pemujaan
Dewi Sri masih dilakukan oleh masyarakat khususnya para petani di wilayah
pedesaan dengan harapan akan menghasilkan panen secara maksimal.
Kepercayaan terhadap kekuatan makhluk gaib sudah menjadi bagian dari
budaya Jawa sejak jaman prasejarah. Wilayah Banyumas merupakan bagian dari
pulau Jawa. Kebudayaan yang berkembang di Banyumas setali tiga uang dengan
kebudayaan yang berkembang di Jawa. Pengaruh ajaran Hindu dan Budha lebih
dahulu berkembang dan mengakar, sehingga masuknya ajaran agama Islam di
Banyumas, tidak serta merta menghapus mitos tersebut.
Dalam ritual tersebut muncul kepercayaan adanya dewa-dewi yang
menjadi perantara manusia dengan Tuhan. Dialah dewi Sri yang bertugas
menyampaikan permohonan manusia kepada Tuhan agar Tuhan segera
menurunkan hujan. Tokoh Sitas mengungkapkan keberadaan Dewi Sri. Ia
bercerita pada tokoh Mainah, bahwa Dewi Sri bertempat tinggal di rumah
penduduk yang tidak memiliki langit-langit, tetapi memiliki lubang angin yang

besar. Di tempat semacam itulah makhluk gaib bersemayam.
Di samping itu, ada pula makhluk gaib yang disebut sebagai makhluk
halus yang baik dan makhluk halus yang jahat. Kedua makhluk tersebut dipercaya
menjadi bagian dari kehidupan manusia di dunia. Makhluk halus yang jahat
merupakan makhluk halus yang dapat mendatangkan bencana sehingga harus
diusir. Sedangkan makhluk halus yang baik ialah makhluk halus yang diyakini
dapat memberikan petunjuk.
Selain perwujudan ide sistem kepercayaan animisme dan dinamisme yang
bersifat positif, novel Jatisaba juga memuat ide kepercayaan tentang ritual yang
berhubungan dengan pengusiran mahluk gaib yang jahat. Ritual ini biasanya
dipadukan dengan ritual perwujudan rasa syukur atau disebut selamatan.
Alur cerita menarasikan kepercayaan tokoh terhadap roh baik dan roh
jahat. Roh tersebut ada di mana-mana. Mulai di belakang rumah, di bawah pohon
bambu, beringin, ketos, klampis, dan di gumuk atau kepundung. Terutama roh-roh
jahat yang menguasai kawasan tertentu yang setiap saat dapat mengganggu
manusia. Agar terhindar dari roh-roh yang berkuasa dan bersifat jahat, manusia
memberikan sesaji untuk roh itu dengan melakukan serangkaian upacara.
“... anakku among-among. Itu berkah untuk kalian.” Air kapur
itu akan dibasuhkan kepada semua anak-aak untuk menghindarkan
mereka dari gangguan makhluk halus (hal. 170).
Upacara among-among merupakan upacara peringatan hari lahir anak yang
masih berusia balita. Upacara ini biasanya diadakan pada hari-hari tertentu sepert;
senin

manis,

selasa

pahing,

dan

seterusnya.

Upacara

among-among

mengisyaratkan dua bentuk kepercayaan, yaitu; Pertama, kepercayaan bahwa
among-among dapat mendatangkan berkah bagi anak-anak yang mengikuti.
Kedua, kepercayaan bahwa among-among akan menghindarkan si anak dari

gangguan makhluk halus.
Upacara ini memiliki karakteristik tersendiri, yaitu adanya makanan yang
bernama kluban. Makanan tersebut merupakan makanan sejenis urap dan tumpeng
kecil yang kemudian ditata di atas nampan yang dilengkapi dengan lauk pauk.
Kluban tersebut disandingkan dengan aneka jajan pasar, mulai dari pao-pao, lapis,
klepon, mie lidi, dan lain-lain yang siap dibagikan kepada anak-anak yang
menghadiri upacara among-among.

Di samping itu, ada pula air kapur atau enjet yang ditaruh di sebuah wadah
yang disebut rantang dengan isian daun sirih dan uang logam yang nantinya akan
diperebutkan oleh anak-anak yang mengikuti upacara among-among. Upaya
penghindaran terhadap makhluk halus dilakukan melalui air kapur yang
disediakan dalam upacara among-among. Air kapur itulah yang menjadi perantara
untuk menghindarkan anak dari makhluk halus yang mengganggu.
Sementara itu, ada juga kepercayaan terhadap makhluk gaib yang baik.
Makhluk tersebut dipercaya dapat memberikan petunjuk. Dalam novel Jatisaba,
tokoh yang meyakini adanya makhluk gaib semacam itu adalah tokoh Gao.
“Sesekali aku mendapat mimpi atau penglihatan. Kadang
mendiang ayahku hadir dimimpi dan mengucapkan sesuatu,
kadang melalui anakku yang ngelindur, kadang lewat angin,
kadang terbatik begitu saja di hati. Memang, aku kerap
merasakan sesuatu yang tengah atau akan terjadi.” (hal. 227).
Tokoh Gao pada kutipan di atas digambarkan sebagai orang yang mampu
berkomunikasi dengan mahluk ghaib. Gao banyak berhubungan dengan makhluk
halus. Dalam cerita tersebut, tokoh bernama Gao digambarkan berperan sebagai
dukun ebeg. Ebeg adalah salah satu wujud kesenian tradisional khas Banyumas
yang pernah disakralkan.
Dalam novel Jatisaba, tokoh Gao mengungkapkan bahwa ia sering
berhubungan dengan makhluk halus. Mulai dari lewat mimpi dalam tidurnya, dari
igauan anaknya, lewat angin, atau langsung hadir dalam hatinya. Ia kerap
menemukan hal ghaib tentang sesuatu yang tengah atau akan terjadi. Tokoh Gao
digambarkan sebagai panimbul. Ia merupakan dukun kesenian ebeg. Untuk itu,
dia memiliki kesaktian yang membuat ia dapat berdiskusi dengan makhlukmakhluk halus.
Dalam novel Jatisaba, tokoh Gao mengungkapkan bahwa ia sering
berhubungan dengan makhluk halus. Mulai dari lewat mimpi dalam tidurnya, dari
igauan anaknya, lewat angin, atau langsung hadir dalam hatinya. Ia kerap
menemukan hal gaib tentang sesuatu yang tengah atau akan terjadi. Ide tentang
kepercayaan terhadap beberapa bentuk makhluk gaib yang masih menjiwai
kebudayaan di wilayah Banyumas merupakan pengaruh dari kepercayaan

animisme yang telah berkembang lebih dahulu sebelum islam masuk ke pulau
Jawa.
Kuatnya pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan
pengaruh sinkretisme antara kebudayaan dan agama. Sebelum Islam masuk ke
pulau Jawa khususunya Banyumas, terlebih dahulu telah berkembang agama
hindu-budha. Sinkretisme membentuk sistem kepercayaan baru di Banyumas
yang disebut Islam Kejawen. Sehingga, meski sebagian besar masyarakat yang
tinggal di wilayah karasidenan Banyumas memeluk agama Islam namun, unsur
animisme dan dinamisme masih melekat dalam sistem kepercayaan mereka.
Religius adalah segala hal yang bersifat keagamaan. Religiositas dapat
tercermin dari segala pikiran, ucapan, dan perbuatan yang berhubungan dengan
keyakinan dan perasaan keagamaan. Religiositas akan mencapai puncaknya jika
semua yang amalan telah disandarkan, didasarkan, dan membawa seseorang pada
tingkat tertinggi yaitu menggapai spiritualitas.
“Masih sering Yasinan Mbak?” tanyaku lagi. “ Yasinan masih
Mae. Tapi bersama ibu-ibu. Aku tak berani mendekati totoan dara
lagi. Katanya bulu burung dara tidak bagus untuk anak kecil.
Lagipula isinya cuma ghibah. Masyaalloh.” (hal. 45).
Meski percaya terhadap kekuatan roh, namun Maenah juga taat terhadap
ajaran agamanya seperti menggelar Yasinan. Yasinan merpakan tradisi membaca
surat Yasin pada momen tertentu. Pembacaan surat Yasin secara berjamaah
dipercaya dapat mendatangkan kebaikan. Sementara itu, hal-hal yang mubadzir
hanya akan membawa kerugian, termasuk ghibah atau sesuatu yang tidak
bermanfaat. Untuk itu, perlu untuk dihindari bahkan ditinggalkan. Menjauhi
totoan atau taruhan adalah salah satu presentasi karakter religius yang sangat
terang.
Tokoh Musri kerap melaksanakan Yasinan. Ia merupakan tokoh yang taat
pada ajaran agamanya yaitu islam. Ia tidak menyukai totoan dara karena itu
merupakan judi dan dalam agama islam hukumnya ghibah. Hal-hal yang mubadzir
hanya akan membawa ghibah atau sesuatu yang tidak bermanfaat. Untuk itu, perlu
untuk dihindari bahkan ditinggalkan untuk tidak dilakukan lagi.
Selain Yasinan, spiritualitas juga diejawantahkan melalui kegiatan
berjanjen di mushola. Berjanjen merupakan aktivitas membaca pasal-pasal pada

kitab barjanzi secara bersama-sama. Berjanjen ditandai dengan sebuah kegiatan
kerohanian yaitu melafalkan ayat-ayat Barjanzi, berisi doa-doa, puji-pujian dan
riwayat Nabi Muhammad SAW yang dilantunkan dengan irama. Biasanya,
aktivitas berjanjen diadakan

bertepatan dengan sebuah peringatan, misalnya

peringatan Maulid Nabi (hari lahirnya nabi Muhammad SAW pada 12 robiul
awal), Aqiqah bayi yang baru lahir, tujuh hari kelahiran bayi dan juga peringatan
kematian.
Dalam upacara peringatan kematian, selain aktivitas berjanjen ada pula
aktivitas Yasinan. Keduanya merupakan aktivitas yang berbeda, namun memiliki
tujuan yang sama. Berjanjen merupakan pembacaan ayat Barjanzi, sedangkan
Yasinan merupakan pembacaan ayat Al-Qur’an khusus surat Yasin. Aktivitas

membaca ayat-ayat Barjanzi dilakukan saat malam hari. Sementara Yasinan
dalam cerita digambarkan dilakukan pada malam jum’at atau pada peringatan hari
kematian anggota masyarakat yang meninggal dunia. Yasinan dilakukan dalam
rangka upaya do’a bersama. Aktivitas ini dilakukan oleh seluruh warga. Dari
anak-anak sampai orang tua.
Di malam hari orang-orang legok mengaji bersama, membaca
Yasin, atau berjanjen di mushola. Aku ingat, pernah ada suatu kala,
orang-orang legok ingin menjadi lebih religius. Bapak, ibu, dan
anak-anak mereka dari yang balita sampai remaja berbondongbondong pergi ke mushola. Kemudian mereka mengadakan Yasinan
setiap malam jum’at (hal. 45-47).
Aktivitas membaca surat Yasin yang disebut dengan Yasinan ini biasanya
disertai pembacaan kalimat tahlil, tahmid, dan takbir yang sering disebut
tahlillan. Ritual ini ditutup dengan doa oleh seorang imam, yang diamini bersama

oleh seluruh jamaah. Pada dasarnya, masyarakat Jatisaba percaya adanya Tuhan
yang Maha Besar dan sangat berkuasa.
“Alloh memiliki kekuasaan yang Maha besar. Dia juga Maha
pemurah. Dia menciptakan bumi dan biji-biji di atasnya.
Menaburkan kebun kurma dan anggur, dengan mata air disekitarnya.
Agar manusia bisa memakannya dan memetik sendiri. Bahkan Alloh
bisa menghidupkan api di kayu yang hijau...” (hal. 56)

Kepercayaan kepada adanya Tuhan merupakan puncak spiritualitas. Salah
satu tokoh cerita mengungkapkan bahwa Alloh memiliki kekuasaan yang Maha
besar. Alloh SWT juga Maha pemurah. Alloh menciptakan bumi dan biji-biji di
atasnya. Menaburkan kebun kurma dan anggur, dengan mata air disekitarnya.
Agar manusia bisa memakannya dan memetik sendiri. Bahkan Alloh bisa
menghidupkan api dari kayu yang hijau. Kepercayaan yang demikian itu
merupakan bagian dari religuis manusia.

PENUTUP
Gagasan tentang sistem kepercayaan yang menunjukan spiritualitas dalam
novel Jatisaba ialah kepercayaan terhadap keberadaan yang gaib yang diciptakan
oleh Tuhan. Makhluk tersebut terwujud dalam beberapa bentuk. Pertama,
makhluk gaib berbentuk arwah yang dalam mitos warga Jatisaba dapat mengutuk
jalan menjadi terus berlubang. Kedua, makhluk gaib berbentuk arwah yang
dipercaya dapat berkeliaran setelah meninggal. Ketiga, makhluk gaib berupa
Dewa-dewi dalam ritual cowongan yaitu Dewi Sri yang menjadi perantara
permohonan manusia pada Tuhan agar Tuhan segera menurunkan hujan.
Keempat, makhluk gaib berbentuk makhluk jahat yang dapat mengganggu anak-

anak. Kelima, makhluk gaib dalam wujud makhluk baik yang dapat memberi
petunjuk. Selain itu, spiritualitas masyarakat juga ditandai dengan pengamalan
ajaran agama Islam seperti membaca Al Qur’an, Surat Yasin, membaca kitab sirah
atau sejarah nabi Muhammad (Barzanji), dan pengajian.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Akmal, Ramayda. 2012. Jatisaba. Yogykarta: Era Baru Pressindo.
Alfan, Muhammad. 2013. Filsafat Kebudayaan. Bandung: Pustaka Setia.
Hasyim, H. A. Dardiri dan Yudi Hartono. 2008. Pendidikan Multikultural di
Sekolah. Surakarta: UNS Press.
Haviland, William A. 1995. Antropologi. Terj. R.G.Soekadijo. Jakarta: Erlangga.
Jabrohim. 2002. "Sosiologi Sastra Beberapa Konsep Pengantar" Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita dan Masyarakat Poetika
Indonesia.
Kontjaraningrat. 2011. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiusitas. Yogyakarta: Kanisius..
Prasetyawan. 2005. " Realitas dan Imajinasi dalam Karya Sastra Relijius", Mozaik
Sastra Indonesia Dimensi Sastra dari Pelbagai Perspektif". Bandung:
Nuansa.
Pamungkas, Sri. 2012. Bahasa Indonesia dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta:
Andi.
Ratna, I. Nyoman. Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, I. Nyoman. Kutha. 2010. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ratna, I. Nyoman. Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur
Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi Seni dan Sejarah.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutiyono. 2013. Poros Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Syahruddin, Y.S. 2005. " Sastra, Imajinasi, dan Empirisme Relijius". Mozaik
Sastra Indonesia Dimensi Sastra dan Pelbagai Perspektif". Bandung:
Nuansa.