Representasi Budaya Korupsi Dalam Iklan

Representasi Budaya Korupsi Dalam Iklan Rokok Djarum 76 Versi Korupsi Pungutan
Liar Dan Sogokan Di Media Televisi
JudulRepresentasi Budaya Korupsi Dalam Iklan Rokok Djarum 76 Versi Korupsi Pungutan Liar
Dan Sogokan Di Media Televisi
PenulisANGGIE ADHITYA UTAMA
PenerbitUnpad
BahasaIndonesia
Hak CiptaUnpad
Kata KunciBudaya, Iklan, media televisi, Representasi

Abstrak
Anggie Adhitya Utama, 210110070270, 2012. Representasi Budaya Korupsi
Dalam Iklan Rokok Djarum 76 Versi Korupsi Pungutan Liar Dan Sogokan Di
Media Televisi : Studi Semiotika Mengenai Representasi Budaya Korupsi Dalam
Iklan Rokok Djarum 76 Versi Korups Pungli Dan Sogokan Di Media Televisi.
Pembimbing Utama Dudy Zein, Drs.,M.Si. Serta Pembimbing Pendamping Teddy
Kurnia Wirakusumah, Drs.,M.I.Kom. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas
Padjadjaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana Budaya Korupsi
Direpresentasikan Dalam Iklan Rokok Djarum 76 Versi Korupsi, Pungli &
Sogokan Di Televisi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif,
dengan pendekatan studi semiotika dari Roland Barthes. Dalam pengumpulan

data, penelitian ini menggunakan teknik Studi Pustaka dan observasi secara
mendalam terhadap iklan yang menjadi objek penelitian ini.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat scene-scene penting yang
mewakili keseluruhan scene, dimana di dalamnya terdapat tanda tanda yang penting, yakni
isyarat tangan dari tokoh dalam iklan ini, tokoh dalam iklan ini, ekspresi wajah dari tokoh dalam
iklan ini, dan Sosok Jin dalam iklan ini. Terdpat makna konotasi, yaitu uang pelicin dianggap
lumrah dalam sebuah birokrasi dan dilakukan tanpa rasa malu, pelaku korupsi identik dengan
pegawai negeri, masyarakat sudah sangat kesal terhadap korupsi namun tak dapat berbuat apaapa, masyarakat tidak lagi percaya terhadap pihak berwenang untukmenghapus korupsi, korupsi
sangat sulit untuk dihilangkan. Terdapat tiga mitosdalam iklan ini, dan analisis mitos yang telah
dilakukan, yaitu korupsi umumnyadilakukan oleh pejabat, korupsi sudah menjadi budaya di
negeri kita, instansi
pemberantasan korupsi belum bekerja maksimal. Peneliti juga menemukan
ideologi yang muncul pada iklan ini yaitu ideologi konsumerisme dan kapitalis

Pustaka Terkait


Distorsi Nilai-Nilai Budaya Minangkabau dalam Iklan Pertamina: AnalisisSemiotika
Roland Barthes Mengenai Distorsi Nilai-Nilai Budaya Minangkabau dalam Iklan
Pertamina Edisi Ramadhan 2011 di Televisi




Aspek Hukum Penyelenggaraan Iklan Kampanye Pemilihan Umum Legislatif 2014
melalui Media Televisi pada Lembaga Penyiaran berdasarkan Peraturan PerundangUndangan di Indonesia



Representasi Citra Polisi Lalu Lintas pada Film Dokumenter POLICE IS MY HERO



REPRESENTASI PENDIDIKAN PESANTREN DALAM FILM 3 DOA 3 CINTA



Representasi Dugaan Korupsi Tiga Petinggi PKS dalam Sampul Majalah Berita
Mingguan Tempo

Download: File Cover , File Abstrak


STUDI TANDA DALAM MEDIA MASSA: REPRESENTASI IDENTITAS
DIRI KAUM PRIA MODERN DALAM MAJALAH PRIA DEWASA
ABSTRAK
Penelitian ini mencoba mendeskripsikan bagaimana majalah-majalah pria dewasa di Indonesia
dalam mengkonstruksi citra identitas diri ( self identity ) kaum pria modern.Penelitian ini juga
mencoba mengetahui konsep atau perspektif media massa di Indonesia dalam hal identitas diri
kaum pria modern, sebagai bagian dalam wacana postmodern dewasa ini. Berdasarkan analisis
dapat ditarik kesimpulan bahwa majalah pria dewasa di Indonesia – dalam hal ini majalah F H
M, MATRA, Male Emperium,POPULER, Mens’Health, Edisi Januari 2004 sampai dengan
Februari 2005 sebagai sampel — mencoba menkonstruksikan citra identitas diri kaum pria
modern sebagai pria yang masih harus menanggung mitos keperkasaan dan makhluk yang lebih
utama ketimbang lawan jenisnya; pria yang senantiasa berdandan, tampil resik, harum dan
perlente, menyukai pergaulan dan kerja, selalu menjaga kebugaran dan tak sungkan “berlelahlelah” merawat diri serta mengeluarkan biaya khusus untuk mendapatkannya atau populer
dengan sebutan pria metroseksual. Selain itu kita temukan juga majalah-majalah pria dewasa
dalam telaah kita menangkap sekaligus mem-frame ada semacam krisis identitas diri bagi pria
modern ketika dia harus menterjemahkan identitasnya di dalam rumah. Media-media ini juga
mengkonstruksi identitas diri pria modern adalah pria yang tak harus tunduk pada suatu
norma-noram kultural hitoris.
________________

Kata kunci : identitas diri ( self identity ), konstruksi, majalah pria dewasa
PENDAHULUAN
“Wacana kolonial, seperti hubungan antara identitas ego dan manifestasinya yang di bawah
sadar, selalu dibayangi ketakutan akan perpecahan dirinya sendiri. Hal ini berputar terus
melalui citraan media dan wacana budaya populer, keduanya membuktikan kekuatan dan
pembaharuannya atas kekurangannya”
( Stevenson, 1999)
Proses yang dilakukan oleh media massa sarat dengan tindak produksi dan konstruksi nilai –
tanda. Itulah tesis pokok yang mendasari penelitian ini. Yang dimaksud dengan media massa di
sini adalah majalah, dalam hal ini majalah yang segmentasinya adalah pembaca pria dewasa.
Berbeda dengan majalah wanita yang lebih dahulu marak dan banyak memproduksi nilai tanda
demi mengekspresikan konsep cantik, majalah pria dewasa nampaknya tidak hanya menyajikan
konsep tampan – sebagai lawan cantik. Selain karena kodratnya yang memang tidak hanya
disibukkan dengan urusan memoles wajah – meski sekarang ini ada gejala banyak pria
metropolitan yang suka berpenampilan klimis – citra pria dewasa modern yang coba
direpresentasikan dalam majalah pria dewasa nampaknya lebih kompleks; ia tidak hanya
berkaitan dengan penampilan tetapi lebih dari itu berhubungan dengan penyataan, yakni
penyataan citra identitas diri.
Coba simak ilustrasi berikut ini : sebuah majalah bertajuk Male Emperium (ME) edisi Januari
tahun 2005, menampilkan judul salah satu rubriknya di halaman cover “ Pria tanpa


perkawinan : Sex Yes, Marriage No ! “ Sementara di halaman sampul depan majalah lainnya
yakni Men’s Health (Edisi Indonesia)terpampang judul :12 Makanan Super Pria. Dan masih
banyak lagi tema-tema pokok yang menjadi unggulan dalam tiap edisi dari beberapa majalah
pria dewasa lainnya yakni dalam Matra, Populer, yang intinya seakan hendak berujar: inilah dia
citra pria modern! – lengkap dengan perangkat teknologi pencitraan yang serba semiotis.
Lalu apa yang menarik sehingga perlu meneliti ini? Penelitian ini akan sedikit banyak
bersinggungan dengan praktek pertandaan di media massa cetak dengan meminjam konsep
psikologi vision dan visuality.Vision adalah apa yang secara psikologi dapat dilihat oleh mata
manusia. Visuality merujuk pada bagaimana vision dikonstruksi dalam beragam cara, bagaimana
kita melihat, bagaimana kita dapat, dibolehkan, atau dibuat untuk melihat, dan bagaimana kita
melihat yang terlihat atau yang tidak terlihat itu ada. Frase yang mirip konotasinya dengan
visuality adalah scopic regime. Keduanya merujuk pada apa yang dilihat dan bagaimana itu
dilihat adalah sesuatu yang terkonstruksi secara kultural ( Rose, 2001 ). Kongkritnya, penelitian
ini nantinya akan berurusan dengn tanda-tanda dan kode-kode dalam majalah pria dewasa dan
melihat bagaimana mitos identitas diri ( self identity) pria modern Indonesia ditampilkan dalam
majalah.Adapun tesis awal yang dikemukakan dalam kajian ini berbunyi : Proses yang
dilakukan oleh media massa sarat dengan tindak produksi dan konstruksi nilai–tanda.
Pernyataan ini berlandaskan pada teori bahwa representasi dalam media massa lebih dilihat
sebagai suatu proses mengkonstruksi dunia sekitar kita dan juga proses memaknainya ( Sturken

dan Cartwright, 2001 ).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika. Majalah-majalah pria dewasa yang menjadi
kajian adalah F H M, MATRA, Male Emperium,POPULER, Mens’Health, Edisi Januari 2004
sampai dengan Februari 2005. Korpus atau satuan data berupa teks, baik verbal maupun citra
visual,yang diambil secara acak dengan pedoman pada asas kelayakan, yakni peneliti merasa
cukup terhadap data bersangkutan, yang dianggap telah merepresentasikan tentang apa yang
ingin ditemukan dalam penelitian ini.
HASIL PENELITIAN
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini terangkum dalam pokok – pokok berikut ini :
Pertama, citra identitas diri pria modern yang dikonstruksikan oleh media dalam hal ini majalah
pria dewasa di Indonesia – F H M, MATRA, Male Emperium,POPULER, Mens’Health –
ternyata adalah pria yang masih harus menanggung mitos keperkasaan dan makhluk yang lebih
utama ketimbang lawan jenisnya. Mitos keperkasaan itu dibangun dalam mekanisme
pendisiplinan tubuh. Mitos keperkasaan ini juga merambah ke makna konotasi perkasa dalam
arti kemampuannya untuk menundukkan lawan jenisnya secara seksual. Ada semacam benang
merah yang mengaitkan antara kebugaran tubuh – keperkasaan fisik – keperkasaan seksual – dan
kebahagiaan. Ikatan ini dibina terus bahkan menjadi semacam ideologi tersendiri yang lalu
mencoba memberi definisi siapakah lelaki ideal dan siapa yang bukan.
Kedua, identitas diri pria modern yang juga dimitoskan adalah pria yang senantiasa berdandan,

tampil resik, harum dan perlente, menyukai pergaulan dan kerja, selalu menjaga kebugaran dan
tak sungkan “berlelah-lelah” merawat diri serta mengeluarkan biaya khusus untuk
mendapatkannya atau populer dengan sebutan pria metroseksual. Untuk melengkapi itu, pria
modern juga harus senantiasa meng- Up date dirinya dengan perangkat teknologi yang serba
canggih baik dalam konteks fungsional maupun artifisial. Identitas terakhir ini akrab dikenal
pria teknoseksual. Dunia lelaki dengan identitas yang semacam itu lalu didefinisikan sebagai
dunia di luar rumah: ia yang sukses berkarir dan juga berbahagia di kala senggang. Dunia siang
lelaki yang diwarnai kesuksesan kerja dan juga dunia malam lelaki yang penuh dengan
kegairahan seksual.

Ketiga, majalah-majalah pria dewasa dalam telaah kita juga menangkap sekaligus mem-frame
ada semacam krisis identitas diri bagi pria modern sebenarnya ketika dia harus menterjemahkan
identitasnya di dalam rumah. Dalam beberapa kasus, media mengkonstruksi pria yang harus
bekerja di kawasan dalam rumah ( house husband ) ternyata di-frame sebagai korban dari lawan
jenisnya. Eksistensi wanita lalu menjadi sosok yang mengancam jati diri lelaki. Konsep ini
kembali menguatkan mitos bahwa pria haruslah lebih dimenangkan, dan wanita adalah pihak
yang dinomorsekiankan. Pria adalah subjek dan wanita adalah objek.
Keempat, media mengkonstruksi identitas diri pria modern adalah pria yang tak harus tunduk
pada norma-noram kultural hitoris. Di sini ditemukan kontradiksi bahkan nyaris menjadi
paradok sebenarnya, yakni ketika media membangun identitas diri pria modern dalam setting

kultural yang patriarki sementara dalam waktu yang bersamaan media juga hendak mencabut
identitas diri pria modern dari kekuatan norma kultural yang melingkupinya. Jadilah pria
modern itu yang tak harus punya komitmen menjadi sosok utama keluarga layaknya suami, juga
tak harus memilih hidup berumahtangga ketika kerja dan kegairahan kehidupan malam sudah
bisa mengisi hidupnya.
Kelima, corak perspektif yang dibangun beberapa majalah tersebut memang tidaklah seragam,
tapi dalam pembacaan semiotik level kedua, atau dalam tataran konotatif, majalah pria dewasa
yang nampaknya mengumbar sensualisme sebenarnya tidaklah semata menyajikan
hiburan.Sukar ditutupi bahwa memang ada nuansa “anti-feminist”justru ketika media-media ini
mencoba membangkitkan nilai-nilai maskulinitas.
IMPLIKASI
Beberapa temuan di atas bila kita diskusikan dengan kajian teoritis mengenai media dalam
fungsinya sebagai Ideological State Apparatus, sebenarnya dapat kita terawang sebagai
berikut:Bahwa media sendiri tidak bisa dipungkiri adalah korban dari kerja mitos yang
senantiasa menaturalisasikan sejarah.Sebagaimana dikemukakan Barthes ( dalam Fiske 1990 )
bahwa mitos tidak lain merupakan produk kelas sosial ( atau kekuatan sosial ? penulis ) yang
mencapai dominasi melalui sejarah tertentu.Di sinilah tampil kapitalisme sebagai kekuatan yang
sudah hampir pasti menentukan hidup matinya media. Kapitalismelah yang lalu menjadi roh
kehidupan media dan tak henti-hantinya menjadikan media sebagai alat menumbuhkan perasaan
tertentu dari kondisi sosial yang dihasilkan industrialisasi pada abad ke-19.Rasa ketidakpuasan

yang tiada henti, rasa kekurangan tak berkeputusan akan aktualisasi diri dalam penanda-penanda
kelas sosial yang artifisial adalah akibat dari kerja mekanisme kapitalisme.Kapitalisme lalu juga
menuntut peran-peran maskulinitas tertentu yang melekat dalam identitas diri pria modern, yang
pada gilirannya akan mendapat pelabelan berdasarkan penanda produk – produk canggih,
modern, dsb dan menjamin perputaran modal bagi kekuatan kapitalis itu tentunya.
Mencermati konsep atau perspektif media massa di Indonesia dalam hal konstruksi identitas diri
pria modern ini nampaknya membawa kita pada simpulan bahwa media – media tersebut tak
luput juga dari gelombang arus dunia hiperreal (realitas semu ) yang menjadi isu sentral wacana
postmodern. Bisa jadi media massa di Indonesia telah turut andil dalam menyajikan pengalaman
transformasi dalam cara manusia ( pria dewasa modern) melihat diri sendiri secara ontologis di
antara objek-objek kebudayan ciptaannya. (Baudrillard dalam Piliang 1998 )
Terakhir, bila memang benar bahwa media bisa menjebak pembaca sehingga terjadi
misrecognition (Lacan dalam Anika 1977 ) tentu juga akan terjadilah misrecognition identity.
Alangkah malangnya makhluk pria modern itu ketika “aku” yang dibangunnya adalah “aku yang
lain” . “Aku” yang telah mengalami penanaman dan pelekatan identitas melalui perampasan
individu dari kondisi “naturalnya” dan memasukkan individu dalam suatu tatanan simbolik yang
berisi regulasi-regulasi, bahasa dan penamaan dari lingkungannya.
Bahasan di paragraf terakhir di atas sudah barang tentu bukan lagi cakupan dalam penelitian
ini, perlu perspektif psikoanalisis untuk mendekatinya dan mensyaratkan pendekatan lain


semisal reception analysis yang mudah-mudahan terbangunkan gairahnya sebagai implikasi
teoritis maupun metodologis bagi peneliti lain ketika kajian ini penulis publikasikan.
________________
Daftar Pustaka:
Berger, Arthur Asa,2000, Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Tiara Wacana, Jogja
Budiman, Kris,2004,Jejaring Tanda-Tanda, Indonesiatera, Magelang
Fiske, John, 1990, Introduction to Communication Studies, 2nd edition, Roudlegde
Garland, David,1990, Punishment and Modern Society,Clarendon Press Oxford
Gauntlett, David., 2002, Media, Gender and Identity, Routledge, London
Gidden, Anthony, 1991, Modernity and Self Identity: Self and Society in the Late Modern Age,
Polity, Cambridge
Lemaire, Anika, 1977, Jacques Lacan ( Trans. David Morley) , Routlegde & kegan Paul,
London
Luke, Carmen., 1996, The Literacy Lexicon, , Prentice Hall, New York/Sidney
Moleong, Lexy, J,1991,Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung
Nasution, S., 1988, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung
Piliang, Yasraf A,1997, Realitas-Realitas Semu Masyarakat Konsumer: Estetika Hiperalitas dan
Politik Konsumerisme, dalam ECSTASY GAYA HIDUP, Idi Subandy Ibrahim ( ed), Mizan,
Bandung
Piliang, Yasraf A,1998, Sebuah DUNIA YANG DILIPAT Realitas Kebudayaan Menjelang

Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme, Mizan, Bandung
Rose, Gillian, 2001, Visual Methodologies, Sage Publication, London
Siregar, Ashadi.1997.Popularisasi Gaya Hidup: Sisi Remaja dalam Komunikasi Massa, dalam
ECSTASY GAYA HIDUP, Idi Subandy Ibrahim ( ed), Mizan, Bandung
Stevenson, Nick, 1995, Understanding Media Culture, Sage Publication, London
Sturken, M. dan Lisa Cartwright, 2001, Practices of Looking, an Introduction to Visual Culture,
Oxford University Press, New York
Sunardi, St. 2002, Semiotika Negativa, Kanal, Yogyakarta