UJI KETAHANAN KLON KARET IRR SERI 400 TERHADAP BEBERAPA ISOLAT PENYAKIT GUGUR DAUN Colletotrichum Resistance Test of Rubber IRR 400 Series to Saveral Isolates Colletotrichum Leaf Fall Disease

Jurnal Penelitian Karet, 2015, 33 (2) : 131 - 142
Indonesian J. Nat. Rubb. Res. 2015, 33 (2) : 131 - 142

UJI KETAHANAN KLON KARET IRR SERI 400 TERHADAP BEBERAPA
ISOLAT PENYAKIT GUGUR DAUN Colletotrichum
Resistance Test of Rubber IRR 400 Series to Saveral Isolates
Colletotrichum Leaf Fall Disease
Syarifah Aini PASARIBU1), ROSMAYATI2), dan SUMARMADJI1)
1)

Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet
P.O. Box 1415 Medan 20001 Sumatera Utara
Email: balitsp@indosat.net.id
2)

Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
Jln. dr.T.Mansur No.9 Kampus USU Medan 20155
Email: tanjungrosmayati@yahoo.co.id

Diterima : 10 Juli 2015 / Direvisi : 8 September 2015 / Disetujui : 25 September 2015
Abstract

Creating clones with high productivity,
vigour, resistant to leaf fall disease and wide
adaptability is breeding rubber purpose. Clones
IRR 400 series are candidate for the next IRR series
has a greater potential yield than PB 260.
Especially for disease resistance, creating
resistant clones carried out by crossing between
parent who have high yield potential and disease
resistance. Colletotrichum leaf fall disease is one of
the most important diseases. Disease caused by
fungus of Colletotrichum gloeosporioides. This
disease can decrease productivity, delay for
grafting in the nursery, and in severe attacks make
seed defective, dwarf and die. Therefore, the
research was conducted at Sungei Putih Research
Centre, in scion garden to find the resistance of 22
clones IRR 400 series and clone controlPB 260.
Parameters to be observed were attacks intensity
and laten period. Then to see the resilience of
genetically tested heretability (h2) with compare

genetic diversity with environments diversity.
There were six clones had a high level to attack
intensity of Colletotrichum resistance viz IRR 428,
IRR 429, IRR 446, IRR 451 and IRR 452. There was
no interaction between isolates with clones
selected because isolate used was Colletotrichum
gloeosporioides. Resistance level affected by
clones was reflected from high heretability >0.5.
Keywords: IRR 400 series, Colletotrichum,
heretability
Abstrak
Perakitan klon dengan produktivitas
tinggi, pertumbuhan jagur, resisten terhadap
penyakit gugur daun serta memiliki daya

adaptabilitas luas adalah tujuan pemuliaan
karet. Klon IRR seri 400 merupakan calon klon
unggul seri IRR berikutnya yang memiliki potensi
produksi melebihi klon PB 260. Khusus untuk
ketahanan penyakit, pendekatan dengan

perakitan klon tahan juga telah dilakukan, yaitu
menyilangkan tetua yang memiliki potensi
produksi tinggi dan tahan penyakit. Penyakit
gugur daun Colletotrichum merupakan salah satu
penyakit terpenting pada tanaman karet.Penyakit
ini disebabkan oleh cendawan Colletotrichum
gloeosporioides. Gangguan penyakit ini dapat
menurunkan produktivitas kebun, tertundanya
saat okulasi di pembibitan, dan dalam serangan
yang berat mengakibatkan bibit cacat, kerdil
bahkan mati. Oleh karena telah dilakukan
penelitian di Balai Penelitian Sungei Putih di
kebun Entres untuk mengetahui ketahanan 22
klon IRR seri 400 dan klon pembanding PB 260.
Parameter yang diamati adalah intensitas
serangan dan periode laten, kemudian untuk
melihat sifat ketahanan, dicari nilai heretabilitas
(h2) dengan membandingakan ragam genetik dan
ragam lingkungan terhadap parameter
pengamatan. Terseleksi enam klon yang memiliki

tingkat ketahanan yang tinggi terhadap
intensitas serangan Colletotrichum yaitu IRR 428,
IRR 429, IRR 446, IRR 451 dan IRR 452. Tidak
adanya interaksi antara isolat dengan klon
karena jenis isolat yang digunakan adalah
Colletotrichum gloeosporioides. Tingkat
ketahanan dipengaruhi oleh klon yang
dicerminkan dari nilai heretabilitas tinggi yaitu
>0,5.
Kata kunci: IRR seri 400, Colletotrichum,
heretabilitas

131

Pasaribu, Rosmayati, dan Sumarmadji

PENDAHULUAN
Salah satu komoditas perkebunan
Indonesia yang merupakan sumber devisa
negara adalah karet. Oleh karena itu

sasaran penelitian tanaman karet diarahkan
untuk mendapatkan klon unggul baru yang
memiliki potensi produktivitas tinggi. Klon
karet unggul komersial saat ini telah
memiliki potensi produktivitas 2500-3000
kg/ha/thn (Aidi Daslin et al., 2009). Potensi
produktivitas tersebut masih dapat
ditingkatkan sampai 7000 kg/ha/thn (Aziz,
1998), sehingga membuka peluang
ditemukannya klon-klon unggul baru yang
memiliki potensi produksi lebih dari 3000
kg/ha/thn.
Program pemuliaan tanaman karet
bertujuan untuk merakit klon dengan
produktivitas tinggi, pertumbuhan jagur,
resisten terhadap penyakit gugur daun serta
memiliki daya adaptabilitas yang luas. Pada
daerah kering, pertumbuhan tanaman
terhambat dan produktivitasnya lebih
rendah. Sementara pada daerah basah,

tanaman mempunyai resiko lebih besar
terserang penyakit daun dan penyakit
bidang sadap (Hadi, 2003).
Penyakit gugur daun Colletotrichum
merupakan salah satu penyakit penting
pada tanaman karet dan dapat menjadi
ancaman bagi kelangsungan budidaya karet
di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh
cendawan Colletotrichum gloeosporioides.
Penurunan produksi yang ditimbulkan
akibat penyakit ini bervariasi antara 7-45%,
tergantung dari intensitas serangan
(Pawirosoemardjo dan Suryaningtyas,
2008). Selain itu, serangan di areal
pembibitan mengakibatkan tertundanya
saat okulasi dan dalam serangan yang berat
mengakibatkan bibit cacat, kerdil bahkan
mati. Pada tanaman produksi di lapangan,
serangan dapat mengakibatkan gugurnya
daun-daun muda, sehingga tajuk tanaman

tipis dan perkembangan lilit batang
terhambat serta tertundanya matang sadap
(Basuki et al. 1990). Epidemi tersebut timbul
karena terjadinya penyimpangan pola iklim,
yaitu kemarau panjang yang diikuti oleh
hujan sepanjang tahun, kondisi tanaman
lemah karena kurang pemeliharaan, serta
penanaman klon rentan (Pawirosoemardjo,
2004).

132

Epidemi penyakit yang menimbulkan
kerusakan sangat parah dilaporkan terjadi
di Jawa yang menyerang klon GT1 pada
tahun 1973 sampai 1975 dan di Sumatera
tahun 1976 (Soepadmo, 1975). Selanjutnya
pada tahun 1989 terjadi epidemi yang sangat
berat di Kalimantan Barat dengan luas
kerusakan mencapai 24.000 ha (Soepena,

1995).Serangan penyakit merebak pada
tanaman karet rakyat secara
berkepanjangan sampai tahun 1992.
Banyak tanaman yang mengalami mati
pucuk bahkan banyak pula pohon-pohon
mati.
Bekas serangan penyakit terlihat
pada tanaman tua, sampai tahun 1993
masih banyak tanaman yang meranggas
dengan dahan dan rantingnya mati
(Soepena, 1995).
Fenomena gugur daun juga terjadi di
beberapa kebun PTP VIII, yaitu kebun
Cibungur, Jalupang, Batu Lawang dan
Cikupa. Gugur daun terjadi sepanjang
tahun 2010 sampai pertengahan 2011,
akibatnya daun muda yang terbentuk gugur
kembali. Tajuk tanaman sangat tipis
perdaunannya (25%-30%) akibat terserang
penyakit gugur daun Colletotrichum dan

Oidium, sehingga menyebabkan produksi
menurun 25%. Klon yang terserang adalah
LCB 1320, RRIM 600, RRIM 712, RRIM 703
dan PR 255 (Balai Penelitian Sungei Putih,
2011). Dalimunthe et al., (2014),
menyatakan bahwa potensi kerugian akibat
penyakit gugur daun di perkebunan karet
Sumatera Utara cukup besar. Produksi
turun sebesar 30%, maka potensi
kehilangan pendapatan lebih dari 2 triliun
rupiah/tahun, dan hal ini meningkat setiap
tahunnya. Asumsi tahun 2018 pendapatan
akan terus berkurang menjadi lebih 3 triliun
rupiah/tahun.
Sejauh ini metode pengendalian yang
diterapkan adalah secara kimiawi dengan
menggunakan berbagai jenis fungisida.
Pengendalian ini membutuhkan biaya mahal
dan dapat mengakibatkan pencemaran
lingkungan yang tinggi. Penggunaan klon

karet unggul yang resisten merupakan salah
satu strategi pengendalian yang murah dan
ramah lingkungan (Rahayu et al., 2005).

Uji Ketahanan Klon Karet IRR Seri 400 Terhadap Beberapa Isolat Penyakit Gugur Daun Colletotrichum

Usaha yang dapat dilakukan untuk
memperoleh klon karet yang tahan terhadap
penyakit adalah dengan menyilangkan tetua
karet yang tahan penyakit, sehingga
dihasilkan keturunan yang tahan. Tetua
persilangan yang mempunyai sifat
ketahanan cukup baik sebagian besar
berasal dari klon-klon sekunder dan tersier
seperti BPM 1, BPM 24, RRIC 100, serta klon
introduksi seperti F 4542, FX 25, FX 2784,
dan FX 4037. Mulai tahun 1995 beberapa
genotipe terpilih material IRRDB 1981 (PN 6,
PN 7, PN 1505 dan PN 2662) yang memiliki
pertumbuhan jagur dan tergolong tahan

penyakit daun telah dimasukkan dalam
program pemuliaan untuk perbaikan
karakteristik sekunder (Aidi-Daslin et al.,
2009).
Klon IRR seri 400 merupakan klon
hasil seleksi Balai Penelitian Sungei Putih,
Pusat Penelitian Karet. Material genetik yang
diseleksi merupakan hasil persilangan
tahun 1996/1997 yang menghasilkan 101
progeni (tanaman F1). Progeni yang
terseleksi berdasarkan sifat pertumbuhan
dan produksi tersebut kemudian disebut
sebagai klon IRR seri 400. Saat ini klon IRR
seri 400 tersebut sudah ditanam di areal
pengujian pendahuluan yang dibangun
sejak tahun 2004. Dari hasil pengamatan
produksi, terseleksi beberapa klon yang
memiliki potensi hasil lebih dari 50 g/p/s.
Seleksi ketahanan klon karet
terhadap penyakit gugur daun dapat
diketahui dengan menggunakan metode
konvensional dan molekuler (Darmono et al.,
1996; Silva et al., 1998; Saha et al., 2000).
Pendekatan secara konvensional dilakukan
dengan mengamati beberapa parameter
genetik yang tercermin dengan menghitung
tingkat keparahan penyakit dan periode
laten. Parameter tersebut juga digunakan
untuk mengetahui pola pewarisan suatu
klon terhadap ketahanan penyakit gugur
daun. Hal tersebut dapat dilakukan jika
keragaman populasi luas (Syukur et al.,
2012). Mudah tidaknya pewarisan suatu
karakter dapat diketahui dari besarnya nilai
heretabilitas (h2) yang dapat diduga dengan
membandingkan besarnya ragam genotipe
terhadap ragam fenotipe (Borojevic, 1990;
Syukur et al., 2012).

BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun
Entres Balai Penelitian Sungei Putih dengan
uji ketahanan diferensial terhadap daun dari
22 klon IRR seri 400 (HP 1996/1997) dan
klon pembanding PB 260 terhadap tiga isolat
Colletotrichum. Tiga isolat Colletotrichum
yang digunakan berasal dari Sungei Putih,
Sembawa dan Getas. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Petak Tersarang
(Nested Design). Faktor perlakuan terdiri
atas dua, yaitu klon dan isolat dan
menggunakan tiga ulangan. Model linier
yang digunakan adalah :
Yijk = µ +Ʈi
dimana :
Yijk

µ
Ʈi
βj
γk/i
(Ʈβ)ij
ε(ij)k

+

βj + γk/i + (Ʈβ)ij + ε(ij)k,

: Respon yang ditimbulkan pada unit
percobaan yang mendapat
perlakuan klon dan isolat
kombinasi ke-ij dengan ulangan kek.
: Pengaruh rataan percobaan.
: Pengaruh jenis klon sebanyak i
taraf.
: Pengaruh jenis isolat Colletotrichum
sebanyak j taraf.
: Pengaruh ulangan ke k yang
tersarang pada klon sebanyak i
taraf.
: Pengaruh interaksi yang
ditimbulkan oleh perlakuan klon
dan isolat ke-ij.
: Pengaruh galat yang bekerja pada
unit percobaan yang mendapat
perlakuan klon dan isolat
kombinasi ke-ij dengan ulangan
ke-k.

Bila dalam pengujian sidik ragam
diperoleh pengaruh perlakuan yang nyata
atau sangat nyata, maka uji beda antar
perlakuan dilakukan uji jarak Duncan
Multiple Range Test (DNMRT) (Montogomery,
2001).
Bahan tanam di kebun entres
dipangkas ± 2 bulan sebelum pelaksanaan
inokulasi jamur untuk memperoleh
pertumbuhan tanaman yang seragam. Jika
pada saat aplikasi tanaman tidak
seluruhnya tumbuh secara seragam maka

133

Pasaribu, Rosmayati, dan Sumarmadji

aplikasi dapat dilakukan pada tanaman
yang memenuhi syarat untuk diaplikasi.
Larutan konidia Colletotrichum dengan
konsentrasi 4 x 104 spora/ml disemprotkan
ke permukaan bawah daun tengah yang
berwarna kecokelat-cokelatan. Satu klon
terdiri dari tiga pohon, dan dari satu pohon
diambil tiga cabang, masing-masing untuk
isolat yang berbeda. Setelah disemprot daun
disungkup dengan plastik transparan.
Inkubasi berlangsung selama 2 hari.
Setelah dua hari plastik pembungkus
dibuka dengan tetap memberi label setiap
tangkai perlakuan. Pengamatan keparahan
penyakit dilakukan pada hari ke-7, 14 dan
21 hari setelah inokulasi spora.
Parameter yang diamati dalam
penelitian ini adalah tingkat keparahan
penyakit (intensitas serangan), periode
laten, tebal kutikula, dan jumlah stomata.
Pengamatan intensitas penyakit
adalah sebagai berikut:
A. Intensitas Serangan Penyakit Skala
bercak daun
Pengukuran skala bercak daun karet
terserang Colletotrichum di lapangan
dilakukan menurut metode
Pawirosoemardjo (1984) yang telah
dimodifikasi. Skala bercak daun ditetapkan
menjadi tujuh taraf, yaitu:
Skala 0 = tidak terdapat bercak pada daun
Skala 1 = terdapat 1 sampai 8 bercak pada
daun
Skala 2 = terdapat 9 sampai 12 bercak pada
daun
Skala 3 = terdapat 13 sampai 16 bercak
pada daun
Skala 4 = terdapat 17 sampai 20 bercak
pada daun

Skala 5 = terdapat 21 sampai 24 bercak pada
daun
Skala 6 = terdapat lebih dari 24 bercak pada
seluruh permukaan daun
Skala Cacat Daun
Skala 0 = tidak terdapat daun yang cacat
Skala 1 = terdapat 1/16 bagian daun yang
cacat
Skala 2 = terdapat 1/8 bagian daun yang
cacat
Skala 3 = terdapat 1/4 bagian daun yang
cacat
Skala 4 = terdapat 1/2 bagian daun yang
cacat
Skala 5 = terdapat lebih dari 1/2 bagian
daun yang cacat
Skala 6 = terdapat seluruh daun yang cacat
atau daunnya gugur
Tingkat keparahan penyakit dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
∑ (ni x vi)
IS
=
x 100 %
N x Z
Keterangan;
IS
: Intensitas serangan
ni
: Jumlah daun ke i pada skala
serangan (v) ke I
vi
: Skala dari tiap kategori serangan
N
: Jumlah seluruh daun yang
diamati
Z
: Skala serangan tertinggi
(Pawirosoemardjo, 1984)
Klasifikasi penilaian intensitas
serangan (IS) penyakit Colletotrichum
adalah:
Resisten
: 0-20%
Agak Resisten : 21-40%
Moderat
: 41-60%
Agak Peka
: 61-80%
Peka
: 81-100%

Gambar 1. Metode penentuan skala bercak dan cacat daun
Figure 1. Method of determining spot scale and deefective leaf
134

Uji Ketahanan Klon Karet IRR Seri 400 Terhadap Beberapa Isolat Penyakit Gugur Daun Colletotrichum

A.

Periode Laten

Periode laten merupakan interval
dimulai dari inokulasi sampai sporulasi
pertama kali terdeteksi. Pengamatan
dilakukan secara umum terhadap daun
semua klon yang di uji, apabila terlihat ada
satu sampel daun yang terinfeksi maka hal
tersebut sudah dicatat sebagai periode laten
klon tersebut.

Analisis ragam uji resistensi
tanaman karet terhadap penyakit gugur
daun Colletotrichum dilakukan dengan
menggunakan model Singh dan Chaudhary
(1979) dalam Woelan et al. (2009) yang
tertera pada Tabel 1.
Berdasarkan sidik ragam pada Tabel
1, dapat dihitung nilai ragam genotipe (δ2g)
dan ragam fenotipe (δ2p) yaitu sebagai
berikut:.

Tabel 1. Model analisis ragam uji resistensi klon IRR seri 400 terhadap penyakit gugur
daunColletotrichum.
Table 1. Analysis of variance of IRR 400 series to test resistance of Colletotrichum leaf fall
disease

Sumber
keragaman
Source of variance

Derajat bebas
Degree of
freedom

Kuadrat
tengah
Mean square

Kuadrat tengah
harapan
Expected mean square

Klon (A)

a - 1

M1

δ2e + rb δ2a

Isolat (B)

b - 1

M2

δ2e + ra δ2b

AB
Galat
Total

(a – 1)(b – 1)
(ab - 1)(r – 1)
abr – 1

M3
M4

δ2e + r δ2ab
δ 2e

Ragam Genotipe (δ2g)

M1 - M4
= ———————
rb

Ragam Lingkungan (δ2e) =
Ragam Fenotipe (δ2p)
=

M4
δ2g + δ2e

Nilai heritabilitas dalam arti luas (h2)
dihitung berdasarkan rumus yang
dikemukakan Allard (1960) dalam Syukur et
al. (2012) sebagai berikut:
h2 = (δ2g)/(δ2p)
Notasi X adalah skor rata-rata hasil
pengamatan secara visual terhadap klon
karet yang diuji. Kriteria heritabilitas dalam
arti luas menggunakan acuan Allard (1960)
dalam Syukur et al. (2012), nilai heritabilitas
tinggi apabila h2 > 0,50, dan tergolong sedang
apabila h2= 0,20 – 0,50 serta rendah apabila
h2< 0,20.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis sidik ragam terhadap
sifat ketahanan klon IRR Seri 400 dengan
klon pembanding PB 260 terhadap tiga isolat
penyakit gugur daun Colletotrichum yang
dilakukan memperlihatkan pengaruh nyata
klon, baik pada pengamatan hari ke-7, 14,
maupun hari ke-21 setelah inokulasi. Hasil
pengamatan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa
intensitas serangan yang terjadi pada klon
yang diuji bervariasi antara 8,02-50,62%.
Dengan demikian tingkat ketahanan klon
yang diuji tergolong ke dalam moderat
sampai resisten.Namun demikian, bila
dibandingkan dengan klon PB 260 (9,88%)
terlihat bahwa pada pengamatan 7 hsi
hanya klon IRR 451 yang memiliki sifat
ketahanan yang lebih tinggi walaupun

135

Pasaribu, Rosmayati, dan Sumarmadji

Tabel 2. Resistensi klon IRR seri 400 terhadap penyakit gugur daun Colletotrichum
Table 2. Resistance of clone IRR 400 series to Colletotrichum leaf fall disease
Intensitas serangan
Attack intensity
Resistensi klon 21 hsi
(%)
Clone resistance of 21 dai
7 hsi
14 hsi
21 hsi
hi
efg
IRR 425
Agak resisten
16,7
18,5
21,6fgh
k
h
ij
IRR 428
Resisten
12,4
15,4
16,7
IRR 429
Resisten
14,8 ij
15,4 h
16,1ij
ab
c
bc
IRR 431
Moderat
37,7
37,7
43,8
fg
e
ghi
IRR 434
Agak resisten
19,1
20,9
20,9
IRR 437
Agak resisten
13,6jk
19,1 ef
19,1 hij
hij
fgh
ij
IRR 440
Resisten
15,4
16,7
16,7
a
a
a
IRR 443
Moderat
38,9
50,6
50,6
IRR 444
Agak resisten
17,3gh
28,4 d
28,4 ghi
IRR 445
Agak resisten
19,8f
25,9 d
25,9 ef
jk
fgh
ij
IRR 446
Resisten
14,2
16,7
16,7
IRR 447
Moderat
28,4 c
42,6b
45,7b
ef
d
e
IRR 448
Agak
resisten
20,4
27,2
27,2
hi
fgh
hij
IRR 449
Resisten
16,7
17,9
17,9
IRR 450
Resisten
14,8 ij
15,4 h
16,7 ij
IRR 451
l
h
j
Resisten
8,0
14,8
15,4
IRR 452
Resisten
16,7 hi
17,9 fgh
17,9hij
jk
e
fgh
IRR 453
Agak
resisten
12,9
20,9
21,6
ef
d
efg
IRR 454
Agak resisten
20,9
25,3
25,3
IRR 455
Agak resisten
20,9 ef
35,8 c
38,9 c
IRR 456
21,6e
26,5d
40,1 c
Moderat
d
c
d
IRR 457
Agak
resisten
20,9
35,8
32,1
l
gh
ij
PB 260
Resisten
9,9
16,1
16,1
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang samapada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT
(Duncan Multiple Range Test).
Note: The figures followed the same letter in the same column showed no significant
difference in the level of 5% by DMRT (Duncan Multiple Range Test).
Klon (K)
Clones

secara statistik dianalisis sama yaitu
sebesar 8,02%. Pengamatan 14 hsi ada dua
klon yang memiliki tingkat resistensi lebih
tinggi dibanding klon PB 260 (16,05%) yaitu
klon IRR 450 (15,43%) dan IRR 451
(14,81%). Pengamatan 21 hsi juga ada satu
klon yang tingkat resistensinya lebih tinggi
dengan klon PB 260 (16,05%), yaitu klon IRR
451 yaitu sebesar 15,43%.

kemampuan tanaman untuk membentuk
struktur-struktur tertentu yang tidak
menguntungkan bagi patogen (Wiratama et
al., 2013). Salah satu penyebab gen
ketahanan tidak muncul adalah karena gen
ketahanan itu dikendalikan oleh beberapa
gen minor dan bersifat kuantitatif yang
berarti dipengaruhi oleh lingkungan
(Yunasfi, 2002).

Ketahanan terhadap suatu penyakit
pada berbagai varietas tanaman tidak sama.
Ketahanan terhadap suatu penyakit
dikendalikan oleh gen-gen ketahanan yang
terekspresi sebagai sifat morfologi tanaman
yang akan mendukung terjadinya
mekanisme ketahanan terhadap penyakit
tersebut. Ketahanan dapat terjadi karena

Perlakuan jenis isolat menunjukkan
pengaruh yang tidak nyata terhadap
intensitas serangan pada pengamatan ke-7,
14, dan 21 hsi yang diujikan pada klon IRR
seri 400 dan klon pembanding PB 260.Hasil
pengamatan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 3.

136

Uji Ketahanan Klon Karet IRR Seri 400 Terhadap Beberapa Isolat Penyakit Gugur Daun Colletotrichum

Tabel 3. Pengaruh faktor isolat (I) terhadap rataan intensitas serangan
Colletotrichum (%) di kebun entres
Table 3. Isolate influence (I) to mean intensity of Colletotrichum attacking (%) in
scion garden
Isolat (I)
Isolate (I)
Sungei Putih
Sembawa
Getas

7 hsi
17,63
21,66
22,22

Tabel 3 memperlihatkan bahwa
perlakuan isolat terhadap intensitas
serangan memiliki variasi antara 17,6330,68%. Pada semua waktu pengamatan (7,
14, 21 hsi) menunjukkan bahwa isolat asal
Getas memiliki intensitas serangan tertinggi,
yaitu sebesar 22,22%, 24,15%, dan 30,68%.
Kemudian juga terlihat persamaaan
intensitas serangan pada 7 dan 14 hsi,
dimana intesitas serangan terendah terlihat
pada isolat asal Sungei Putih yaitu 17,63%
dan 20,85%.
Pengaruh intensitas serangan dari
beberapa isolat secara umum diduga karena
kondisi lingkungan. Faktor lingkungan
tersebut adalah faktor biotik dan abiotik.
Faktor biotik adalah tanaman inang sebagai
tempat hidup patogen tersebut dan jasad
renik yang ada di sekitar patogen yang
menyebabkan patogen dapat bertahan
hidup dan mampu bersaing dengan jasad
renik lainnya. Tanaman karet merupakan
salah satu tanaman inang yang baik dalam
melewati seluruh daur hidup jamur
Colletotrichum tersebut (Senechal et al.,
1987cit Lopez dan Lucas, 2010). Sementara
faktor abiotik diantaranya ketinggian
tempat, curah hujan, kelembaban, dan pH
tanah. Faktor abiotik tertentu dapat
menyebabkan tanaman mengalami
cekaman sehingga penyakit yang
ditimbulkan patogen menjadi lebih berat bila
tanaman hanya terserang oleh patogen saja.
Sa'diyah dan Aeny (2012), menyatakan
bahwa perkembangan penyakit tergantung
pada kondisi cuaca panas dan kelembaban
tinggi.
Interaksi antara perlakuan klon
dengan jenis isolat terlihat tidak
berpengaruh nyata terhadap intensitas
serangan pada pengamatan 7, 14, dan 21 hsi

Intensitas serangan
Attack intensity
(%)
14 hsi
18,36
23,67
24,15

21 hsi
20,85
28,02
30,68

yang diaplikasikan pada klon IRR seri 400
dan klon pembanding PB 260. Hasil
pengamatan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa
kombinasi antara klon dan isolat memiliki
intensitas serangan antara 12,96-70,37%
yang diamati pada hari ke-7, 14, dan 21 hsi.
Pengamatan 7 hsi menunjukkan
bahwa klon pembanding PB 260 asal isolat
Sembawa memiliki tingkat ketahanan paling
tinggi (3,70%), namun demikian dari klon
IRR seri 400 yang diuji, ada satu klon yang
memiliki tingkat ketahanan yang sama
dengan klon PB 260 yaitu klon IRR 451 asal
isolat Getas (3,70%).
Pengamatan 14 hsi menunjukkan
bahwa klon pembanding PB 260 asal isolat
Sembawa dan Getas juga memiliki tingkat
ketahanan tertinggi, dengan nilai intensitas
serangan 12,96% untuk isolat asal Sembawa
dan 14,81% untuk isolat asal Getas.
Terdapat empat klon seri IRR 400 yang
memiliki tingkat ketahanan yang sama
dengan klon pembanding PB 260 tersebut,
yaitu klon IRR 428 asal isolat Sungei Putih
(12,96%), IRR 429 asal isolat Sungei Putih
(12,96%), IRR 450 asal isolat Sembawa
(12,96%) dan IRR 451 asal isolat Sembawa
(14,81%) serta asal isolat Getas (14,81%).
Pengamatan 21 hsi juga
menunjukkan bahwa klon pembanding PB
260 dengan asal isolat Sembawa dan Getas
(12,96%) memiliki tingkat ketahanan
tertinggi. Dari kelompok klon IRR seri 400
terdapat satu klon yang nilai intensitas
serangan nya sama dengan klon PB 260,
yaitu klon IRR 451 asal isolat Sembawa dan
Getas (12,96%).

137

Pasaribu, Rosmayati, dan Sumarmadji

Tabel 4. Pengaruh interaksi klon dengan isolat (K x I) terhadap rataan intensitas
serangan Colletotrichum (%) di kebun entres
Table 4. Effect of interaction clones with isolates (K x I) toward mean intensity of
Colletotrichum attactking (%) in scion garden
Intensitas serangan
Attack intensity
(%)
Klon
7 hsi
14 hsi
21 hsi
clone
Isolat
(K)
Isolate
(I)
SP
SB
GT
SP
SB
GT
SP
SB
GT
IRR 425
16,7
16,7
16,7
16,7
22,2
16,7 22,2 24,1 18,5
IRR 428
11,1
12,9
12,9
12,9
16,7
16,7 16,7 16,7 16,7
IRR 429
12,9
14,8
16,7
12,9
16,7
16,7 14,8 16,7 16,7
IRR 431
35,2
24,1
53,7
35,2
24,1
53,7 44,4 24,1 62,9
IRR 434
16,7
14,8
25,9
16,7
24,1
22,2 16,7 24,1 22,2
IRR 437
14,8
14,8
11,1
16,7
16,7
24,1 16,7 16,7 24,1
IRR 440
16,7
12,9
16,7
16,7
16,7
16,7 16,7 16,7 16,7
IRR 443
31,5
37,0
48,2
66,7
37,0
48,2 66,7 37,0 48,2
IRR 444
9,3
27,8
14,8
31,5
33,3
20,4 31,5 33,3 20,4
IRR 445
16,7
25,9
16,7
25,9
35,2
16,7 25,9 35,2 16,7
IRR 446
14,8
11,1
16,7
16,7
16,7
16,7 16,7 16,7 16,7
IRR 447
29,6
38,9
16,7
29,6
70,4
27,8 29,6 79,6 27,8
IRR 448
12,9
22,2
25,9
16,7
29,6
35,2 16,7 29,6 35,2
IRR 449
16,7
16,7
16,7
16,7
18,5
18,5 16,7 18,5 16,7
IRR 450
14,8
12,9
16,7
16,7
12,9
16,7 16,7 16,7 16,7
IRR 451
11,1
9,3
3,70
16,7
14,8
14,8 16,7 14,8 14,8
IRR 452
16,7
16,7 16,67 16,7
18,5
18,5 16,7 18,5 18,5
IRR 453
11,1
12,9 14,81 24,1
20,4
18,5 25,9 20,4 18,5
IRR 454
11,1
12,9 38,89 16,7
20,4
38,9 16,7 20,4 38,9
IRR 455
16,7
29,6 16,67 35,2
44,4
27,8 35,2 44,4 27,8
IRR 456
16,7
12,9 35,19 20,4
18,5
40,5 20,4 46,3 53,7
IRR 457
14,8
14,8 44,44 22,2
20,4
64,8 22,2 20,4 64,8
PB 260
14,8
3,7
11,11 20,4
12,9
14,8 20,4 12,9 12,9
Keterangan: SP: Sungei Putih; SB: Sembawa; GT: Getas
Note: SP: Sungei Putih; SB: Sembawa; GT: Getas

Tidak adanya interaksi antara jenis
klon dan jenis isolat diduga karena jenis
Colletotrichum yang digunakan sama, yaitu
Colletotrichum gloesporioides. Hal ini
terbukti dari pengamatan mikroskopik yang
dilakukan. Terlihat bahwa dari ketiga jenis
isolat tersebut memiliki konidium hialin
berbentuk silinder dengan ujung-ujung
tumpul, bentuk agak jorong dengan ujung
membulat dan pangkal sempit terpancung,
tidak bersekat, dan berinti satu (Semangun,
1991)(Gambar 2).
Periode Laten
Hasil pengamatan terhadap waktu
munculnya gejala serangan penyakit
(periode laten) adalah tiga hari dari setelah
138

inokulasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada
3 hsi telah terjadi penetrasi jamur
Colletotrichum ke dalam jaringan daun,
dimana pembentukan apresorium
berlangsung lebih kurang 12 jam setelah
kontak antara konidia dan daun tanaman
inang. Apresorium akan membentuk kapak
infeksi yang terus menerus menekan
kutikula hingga kutikula pecah, kemudian
hifa primer mengeluarkan enzim perusak
lamela tengah dinding sel sehingga sel-sel
daun terpisah-pisah serta dinding sel
hancur. Jaringan yang dirusak tersebut
khususnya kloroplas sehingga daun yang
terinfeksi akan menimbulkan bercak
berwarna kuning (Pawirosoemardjo, 1979
dalam Fairuzah et al., 2009).

Uji Ketahanan Klon Karet IRR Seri 400 Terhadap Beberapa Isolat Penyakit Gugur Daun Colletotrichum

Sungei Putih

Sembawa

Getas

Gambar 2. Hasil pengamatan mikroskopik konidia jamur Colletotrichum gloesporioides pada
perbesaran 40X.
Figure 2. Microscopic observation of conidial Colletotrichum gloesporioides fungus at 40X.
Heretabilitas
Komponen ragam genotipe (δ2g),
ragam lingkungan (δ2e), ragam fenotipe (δ2p)
diketahui untuk mendapatkan nilai

heretabilitas (h2). Nilai heretabilitas pada 7
hsi, 14 hsi dan 21 hsi masing-masing adalah
0,68; 0,71; 0,67. Untuk lebih jelasnya nilai
masing-masing komponen ragam yang
diamati dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis komponen ragam dan heretabilitas klon IRR seri 400 terhadap penyakit
gugur daun Colletotrichum
Table 5. Analysis of variance components and heretability of IRR 400 clone series to
Colletotrichum leaf fall disease
Komponen ragam
Variance components
Ragam genotipe
Ragam lingkungan
Ragam fenotipe
Heritabilitas

Simbol
Symbol
δ 2g
δ 2e
δ 2f
h2

Nilai analisis komponen ragam dan heretabilitas
Analysis of variance components and heretability
7 hsi
14 hsi
21 hsi
500,52
847,36
1020,94
227,19
350,01
499,40
727,71
1197,37
1520,34
0,68
0,71
0,67

139

Pasaribu, Rosmayati, dan Sumarmadji

Hasil dari pengaruh faktor genotipe
yang terlihat dari karakter intensitas
serangan yang diamati di kebun entres pada
7, 14 dan 21 hsi diperoleh nilai heretabilitas
yang tinggi. Nilai heretabilitas adalah
proporsi besaran ragam genotipe dengan
ragam fenotipe. Karakter yang memiliki nilai
heretabilitas tinggi akan mudah diwariskan
dan lebih stabil sehingga seleksi dilakukan
pada lingkungan yang luas dengan hasil
yang efektif. Nilai heretabilitas
dikelompokkan atas tiga kelompok, yaitu:
tinggi: h2> 0,50, sedang: h2: 0,20-0,50, dan
rendah h2 : 0,5.
Saran
Uji ketahanan klon IRR seri 400
dapat lebih dipertajam lagi pengamatan
secara biologi molekuler.
DAFTAR PUSTAKA
Aidi-Daslin, S. Woelan, M. Lasminingsih,
dan H. Hadi. 2009. Kemajuan
Pemuliaan dan Seleksi Tanaman Karet
di Indonesia. Prosiding Lokakarya
Nasional Pemuliaan Tanaman Karet.
Batam, 4-6 Agustus 2009.Pusat
Penelitian Karet.: 50-83.
140

Aziz, A. SAK. 1998. Introducing Research
Result Into Practice the Experience
with Natural Rubber. In Aziz, A. SAK
and Schiweltzer, D.T. (eds) Research
Management, RRIM Kuala Lumpur.
Balai Penelitian Sungei Putih. 2011.
Evaluasi Rekomendasi Sistem
Ekspliotasi Tanaman Karet di KebunKebun PTP Nusantara VIII Jawa Barat.
Pusat Penelitian Karet, Medan.
Basuki., S. Pawirosoemardjo, dan A.
Situmorang. 1990. Penyakit Gugur
Daun Colletrotrichum pada Tanaman
Karet Indonesia. Prosiding Lokakarya
Nasional Prospek Karet Alam Abad 21.
Pontianak, 14-17 Juli. Pusat
Penelitian Karet.: 51-64.
Borojevic, S. 1990. Principles and Methods of
Plant Breeding. Elsivier Sci. Pub. Co.
Inc, New York.
Dalimunthe, C. I., Z. Fairuzah dan I. R.
Fauzi. 2014. Persfektif Kerugian
Akibat Penyakit Gugur Daun pada
Tanaman Karet di Sumatera Utara.
Inovasi 11 (3): 3225-232.
Darmono, T. W., A. Darussamin. and S.
Pawirosoemardjo. 1996. Variation
Among Isolates of Corynespora
cassicola Associated with Hevea
brasiliensis in Indonesia. Proceeding on
the workshop on corynespora leaf fall
disease of hevea rubber. Medan, 16-17
Desember. Indonesian Rubber
Research Institute.: 79-91.
Fairuzah, Z., Aidi-Daslin dan S.A. Pasaribu
2009. Resistensi Beberapa Klon Karet
Terhadap Tiga Isolat Penyakit Gugur
Daun Colletotrichum. Prosiding
Lokakarya Nasional Pemuliaan
Tanaman Karet. Batam, 4-6 Agustus,
Pusat Penelitian Karet: 276-287.
Hadi, H. 2003. Analisis Genetik Sifat
Ketahanan Tanaman Karet terhadap
Penyakit Gugur Daun Corynespora.
Disertasi. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Uji Ketahanan Klon Karet IRR Seri 400 Terhadap Beberapa Isolat Penyakit Gugur Daun Colletotrichum

Lopez, A. M. Q. and J. A. Lucas. 2010.
Reaction of Dwarf Cashew to
Colletotrichum gloesporioides Isolates
in Controlled Environment.
Sci.Agric.(Piracicaba,Braz.), 67(2): 228235.
Montgomery, Douglas.C. 2001. Design and
Analysis of Experiments-5thEdition.
Arizona State University, USA.
Pawirosoemardjo, S. 1984. Beberapa Aspek
Hubungan Patogen-Inang dalam
Penyakit Gugur Daun Colletotrichum
pada Hevea brasiliensis Muell. Arg.
Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pawirosoemardjo, S. 2004. Manajemen
Pengendalian Penyakit Penting dalam
Upaya Mengamankan Target Produksi
Karet Nasional Tahun 2020. Prosiding
Pertemuan Teknis Strategi Pengelolaan
Penyakit Tanaman Karet untuk
Mempertahankan Potensi Produksi
Mendukung Industri Perkaretan
Indonesia tahun 2020. Palembang, 6-7
Oktober. Pusat Penelitian Karet.: 2145.
Pawirosoemardjo, S. dan H. Suryaningtyas.
2008. Strategi Pengendalian Penyakit
Gugur Daun dan Pencegahan Penyakit
Hawar Daun Amerika Selatan pada
Tanaman Karet di Indonesia.
Prosiding Lokakarya Nasional
Agribisnis Karet 2008. Yogyakarta, 2021 Agustus. Pusat Penelitian Karet.:
194-212.
Rahayu, S., Sujatno, dan S.
Pawirosoemardjo. 2005. Resistensi
Klon Karet Harapan Terhadap
Penyakit Gugur Daun Corynespora
dan Colletotrichum. Prosiding
Lokakarya Nasional Pemuliaan
Tanaman Karet. Medan, 22-23
Nopember 2005. Balai Penelitian
Sungei Putih. Pusat Penelitian Karet:
275-289.

Saha, T., A. Kumar, A. S. Sreena, A. Joseph,
C. K. Jacob, R. Kothandaraman. and
M. A. Nazeer. 2000. Genetic Variability
of Corynespora cassicola Infecting
Hevea brasiliensis Isolated from the
Traditional Rubber Growing Areas in
India. Indian Journal of Natural Rubber
Research 13(1 & 2): 1-10.
Sa'diyah, N. dan T. N. Aeny. 2012.
Keragaman dan Heretabilitas
Ketahanan Tebu Populasi F1 terhadap
Penyakit Bercak Kuning di PT Gunung
Madu Plantations Lampung. Jurnal
HPT Tropika 12 (1): 71-77.
Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit
Tanaman Perkebunan di Indonesia.
Fakultas Pertanian. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Silva W. P. K, B. J. Deverall. and B. R. Lyon
1998. Molecular, Physiological and
Phatological Characterization of
Corynespora Leaf Spot Fungi from
Rubber Plantations in Sri Lanka. Plant
Phatology 47 (3): 267-277.
Soepadmo, B. 1975. Colletotrichum
gloeosporioides Causing Leaf Fall of
Rubber Research Institute of State
Crops, Bogor. Paper No.9.
Soepena, H. 1994. Karakteristik Isolat C.
gloeosporioides Penyebab Gugur
Daun. Buletin Perkaretan 12 (3): 30-38.
Soepena, H. 1995. Colletotrichum acutatum
dan Colletotrichum gloeosporioides
Sebagai Penyebab Gugur Daun pada
Tanaman Karet, Warta Pusat
Penelitian Karet 14 (1): 10-14.
Syukur, M., S. Sujiprihati. dan R. Yunianti.
2012. Teknik Pemuliaan Tanaman.
Penebar Swadaya, Jakarta.

141

Uji Ketahanan Klon Karet IRR Seri 400 Terhadap Beberapa Isolat Penyakit Gugur Daun Colletotrichum

Wiratama, I. D. M. P., I. P. Sudiarta, I. M.
Sukewijaya, K. Sumiartha dan M. S.
Utama. 2013. Kajian Ketahanan
Beberapa Galur dan Varietas Cabai
terhadap Serangan Antraknosa di
Desa Abang Songan Kecamatan
Kintamani Kabupaten Bangli. E-Jurnal
Agroekoteknologi tropika 2 (2): 71-81.
Woelan, S., Sayurandi. dan S. A. Pasaribu.
2009. Ketahanan Genetik Klon IRR
Seri 400 Terhadap Penyakit Gugur
Daun Corynespora. Jurnal Penelitian
Karet 27(2): 14-25.

142

Yunasfi. 2002. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Perkembangan
Penyakit dan Penyakit yang
Disebabkan oleh Jamur. USU digital
library.: 1-13.