PEMBUATAN TEMPE DARI KEDELAI DAN PEMBUAT

LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI INDUSTRI

PRAKTIKUM
PEMBUATAN TEMPE DARI KEDELAI DAN PEMBUATAN TAPE DARI
SINGKONG

Dibuat oleh:

Yesaya Reuben Natanael
(2313100146)
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI TEKNIK
JURUSAN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2015

3

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)

LAPORAN RESMI
PEMBUATAN TEMPE DARI KEDELAI DAN PEMBUATAN TAPE DARI
SINGKONG
I. Tujuan
I.1 Pembuatan Tempe dari Kedelai
Untuk mengetahui bahwa jamur dapat memfermentasikan suatu bahan sehingga mudah
dicernakan oleh usus.
I.2 Pembuatan Tape dari Singkong
I.2.1 Untuk mengetahui cara penerapan bioteknologi dengan fermentasi tape.
I.2.2 Mengetahui peranan organisme Saccharomyces cereviceae dalam peragian.
Pengamatan
II.1 Pembuatan Tempe dari Kedelai
Percobaan pembuatan tempe dari kedelai menggunakan mikroorganisme Rhizopus oryzae.
Tabel II.1.1 Hasil Pengamatan Percobaan Pembuatan Tempe dari Kedelai dengan Menggunakan
Petridish
Variabel

Waktu
Pengamatan


24 jam

Petridish Terbuka

1. Kondisi jamur:

Petridish Tertutup

1. Kondisi jamur:

Jamur belum tumbuh dan

Jamur belum tumbuh dan tidak

mengalami kontaminasi

mengalami kontaminas

2. Kondisi tempe:


2. Kondisi tempe:

a. Warna: Kuning kecoklatan

a. Warna: Putih

b. Bau: Tidak sedap

b. Bau: Khas kedele

c. Tekstur: Belum memadat

c. Tekstur: belum memadat

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

4

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)

d. Rasa: -

d. Rasa: -

1. Kondisi jamur:

1. Kondisi jamur:

46 jam

Jamur tumbuh dan mengalami

Jamur tumbuh dan tidak mengalami

kontaminasi

kontaminasi

2. Kondisi tempe:


2. Kondisi tempe:

a. Warna: Sebagian jamur berwarna

a. Warna: Putih

hitam

b. Bau: Aroma khas tempe

b. Bau: Tidak sedap

c. Tekstur: Permukaan halus dan agak

c. Tekstur: Keras

empuk

d. Rasa :-


d. Rasa : Tidak ada rasa asam

Tabel II.1.2 Hasil Pengamatan Percobaan Pembuatan Tempe dari Kedelai dengan Menggunakan
Plastik
Waktu Pengamatan

Variabel
Plastik Terbuka

Plastik Tertutup

24 jam
1. Kondisi jamur:

1. Kondisi jamur:

Belum tumbuh dan tidak

Belum tumbuh dan tidak


mengalami kontaminasi

mengalami kontaminasi

2. Kondisi tempe:

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

2. Kondisi tempe:

5

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)

46 jam

a. Warna: Putih

a. Warna: Putih


b. Bau: Tidak sedap

b. Bau: -

c. Tekstur: Belum memadat

c. Tekstur: Belum memadat

d. Rasa :-

d. Rasa: -

1. Kondisi jamur:

1. Kondisi jamur:

Tumbuh dan tidak

Tidak tumbuh dan tidak


terkontaminasi

mengalami kontaminasi

2. Kondisi tempe:

2. Kondisi tempe:

a. Warna: Putih

a. Warna: Putih

b. Bau: Aroma khas tempe

b. Bau: Tidak sedap

c. Tekstur: Padat dan lembut

c. Tekstur: Tidak ada perubahan


d. Rasa: Ttidak ada rasa asam

d. Rasa: -

Tabel II.1.3 Hasil Pengamatan Percobaan Pembuatan Tempe dari Kedelai dengan Menggunakan
Daun Pisang
Waktu Pengamatan

Variabel
Daun Pisang Terbuka

Daun Pisang Tertutup

24 jam
1. Kondisi jamur:

1. Kondisi jamur:

Jamur tumbuh sedikit dan tidak


Jamur belum tumbuh dan tidak

mengalami kontaminasi

mengalami kontaminasi

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

6

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)

46 jam

2. Kondisi tempe:

2. Kondisi tempe:

a. Warna: Putih

a. Warna: Putih

b. Bau: Tidak terlalu sedap

b. Bau: Aroma tempe

c. Tekstur: Belum Memadat

c. Tekstur: Belum memadat

d. Rasa : -

d. Rasa:-

1. Kondisi jamur:

1. Kondisi jamur:

Tumbuh dan tidak mengalami

Tumbuh sedikit dan tidak

kontaminasi

mengalami kontaminasi

2. Kondisi tempe:

2. Kondisi tempe:

a. Warna: Putih

a. Warna: Putih

b. Bau: aroma khas tempe

b. Bau: Aroma khas tempe

c. Tekstur: Sudah memadat dan

c. Tekstur: Bagian pinggir sudah

lembut
d. Rasa: Tidak ada rasa asam

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

memadat
d. Rasa: -

7

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)
II.2 Pembuatan Tape dari Singkong
Percobaan

pembuatan

tape

dari

singkong

menggunakan

mikroorganisme

Saccharomyces cereviciae.
Tabel II.2.1 Hasil Pengamatan Percobaan Pembuatan Tape dari Singkong dengan Menggunakan
Daun Pisang
Waktu Pengamatan

Hasil Pengamatan

1. Kondisi jamur:
Tumbuh jamur dan tidak mengalami kontaminasi
2. Kondisi tape:
a. Warna: Putih pucat kekuningan
b. Bau: Bau tape dan alkohol kurang menusuk
c. Tekstur: Lembek ada bagian permukaan saja
24 jam

46 jam

d. Rasa: rasanya kurang manis

3. Kondisi jamur:
Tumbuh jamur dan tidak mengalami kontaminasi
4. Kondisi tape:
a. Warna: Putih kekuningan
b. Bau: Aromanya asam
c. Tekstur: Lembek hingga bagian tengahnya
d. Rasa: Manis

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

8

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)
II. Pembahasan
III.1 Pembuatan Tempe dari Kedelai
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui bahwa jamur dapat memfermentasikan suatu
bahan agar mudah dicerna oleh usus. Tempe adalah produk fermentasi oleh jamur dengan bahan
baku kacang kedelai yang telah direndam dan dimasak supaya lembut. Hasil fermentasi kacang
kedelai oleh jamur ini menghasilkan tekstur yang padat, dan kaya protein, sehingga banyak
digunakan sebagai bahan olahan pengganti protein hewani/daging yang biasa disebut „mock
burgers‟ di Amerika Serikat. Tempe sangat populer utamanya di Indonesia dan acapkali disebut
sebagai kuliner nasional (Babu,2009). Jamur yang digunakan untuk fermentasi adalah genus
Rhizopus, beberapa jenis jamur dari genus Rhizopus yang banyak digunakan adalah Rhizopus
stolonifer, Rhizopus arrhizuz, Rhizopus oryzae, dan Rhizopus formosaensis. Pada ragi tempe
komersial umumnya ditemukan tidak hanya jamur kapang, namun juga ragi, bakteri gram-negatif,
dan bakteri asam laktat (Babu,2009).
Tempe secara umum dapat dibuat dari beberapa jenis kacang-kacangan, namun pada kali ini
pembuatan tempe dilakukan menggunakan bahan baku kacang kedelai. Kacang kedelai, layaknya
kacang-kacangan lain merupakan bahan yang kaya protein dan nutrisi pada umumnya. Kacang
kedelai memiliki 35% kandungan protein dan memiliki delapan asam amino esensial (Shurtleff dan
Aoyagi, 2001) . Hasil fermentasi kacang kedelai, seperti tempe, memiliki kandungan protein yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan daging ayam dan sapi, dimana tempe memiliki kandungan
protein sebesar 43% (Shurtleff dan Aoyagi, 2001). Namun, secara umum, banyak dari produk yang
terbuat dai kacang-kacangan akan sulit untuk dicerna oleh tubuh, tetapi tidak demikian untuk
tempe, karena pada proses pembuatannya menyebabkan tempe menjadi tidak memproduksi gas
dalam perut, menurunkan tingkat oligosakarida (senyawa kompleks gula), bahkan membantu
memecahkan beberapa lemak dan protein sehingga lebih mudah dicerna oleh tubuh (Shurtleff dan
Aoyagi, 2001).
Penggunaan kacang kedelai yang berkualitas baik akan sangat memengaruhi hasil dari
tempe yang dibuat, maka langkah pertamanya ialah memilih kacang kedelai yang berkualitas.
Pemilihan ini dapat dilakukan dengan merendam kacang kedelai dalam air kemudian membuang
kacang yang mengambang, membuang kacang kedelai yang berwarna kehitaman, dan kotoran yang
kasat mata. Selanjutnya kacang kedelai dicuci dengan air bersih agar semua kotoranya hilang.
Setelah bersih, kacang kedelai direbus selama kurang lebih 30 menit. Tujuan dilakukan perebusan
ialah agar lebih mudah pada saat melepaskan kulit ari dari kacang kedelai. Selanjutnya kacang

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

9

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)
kedelai direndam dalam air perebus dimana air perebus telah ditambahkan cuka sebanyak 10 ml
asam cuka per liter air perebus selama satu malam sehingga diperoleh pH kacang kedelai dan
larutannya sebesar 5. Tujuan dari menurunkan pH kacang kedelai adalah untuk menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan. Pertumbuhan jamur Rhizopus sp. tidak
terganggu. Jamur dapat tumbuh baik pada pH diatas 3,5 dan tetap tumbuh pada pH yang lebih asam
namun akan lebih lambat proses pertumbuhannya (Babu, 2009). Selain itu perendaman bertujuan
untuk membuat kacang kedelai dapat menyerap air, sehingga pertumbuhan jamur pada saat
penambahan bibit tempe akan lebih maksimal.
Setelah direndam selama satu malam, proses selanjutnya ialah membuang kulit ari dari
kacang kedelai. Proses pembuangan kulit ari dapat dilakukan dengan menggosok kacang kedelai
dengan tangan, namun cara yang efektif ialah dengan menginjak-injak kacang kedelai, lalu
dimasukan ke dalam air sehingga kulit ari kacang kedelai tersebut akan mengambang dan dapat
dipisahkan dari kacang kedelai. Tujuan dari pemisahan dari kulit ari kacang kedelai adalah untuk
medorong pertumbuhan jamur agar lebih baik (Babu, 2009).
Setelah kulit ari dibuang, kacang kedelai direbus kembali dengan air bersih. Perebusan
dilakukan selama 90 menit dengan air mendidih. Tujuan dari perebusan ini ialah agar kacang
kedelai menjadi lebih lunak dan lebih mudah difermentasikan oleh jamur selain itu serta membuat
bakteri yang lain yang tumbuh pada saat proses perendaman akan mati dengan panas dari air yang
mendidih. Proses berikutnya ialah menaruh kacang kedelai pada nyiru agar suhu kacang kedelai
turun sampai suhu 37-38oC dan juga agar kacang kedelai tidak terlalu basah pada saat ditambahkan
bibit tempe. Hal ini dilakukan karena suhu 37-38oC merupakan suhu optimal dilakukannya
inokulasi jamur pada kacang kedelai (Babu, 2009). Pada proses inkubasi maupun penambahan
kacang kedelai tidak boleh berkontak dengan air, sehingga harus terlebih dahulu dikeringkan (Babu,
2009).
Proses selanjutnya ialah menambahkan bibit tempe ke dalam kacang kedelai. Jumlah ragi
yang cukup harus tepat agar dapat dihasilkan tempe yang baik. Ragi tempe yang ditambahkan
sebanyak 2 gram / kg kacang kedelai. Pada saat penambahan ragi pada kacang kedelai, hal ini harus
dilakukan hingga ragi tercampur dengan rata. Hal ini dapat dilakukan dengan mencampur ragi
dengan tangan, sehingga ragi tempe tercampur rata pada kacang kedelai.
Kacang kedelai yang telah ditambahi dengan ragi kemudian dibungkus dengan 6 variabel
pembungkusan yang berbeda, yaitu dengan plastik berlubang, plastik tanpa lubang, daun pisang
dengan lubang, daun pisang tanpa lubang, cawan petri yang dibiarkan terbuka, dan cawan petri

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

10

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)
yang tertutup. Cawan petri yang digunakan telah sebelumnya disterilisasi dengan cara dibersihkan
dengan alkohol 70% dengan tujuan untuk memusnahkan semua mikroorganisme yang berada di
cawan petri tersebut. Berat kacang kedelai untuk cawan petri ialah 50 gram, sedangkan untuk daun
pisang dan plastik masing masing 98 gram. Secara umum, variabel-variabel yang berbeda ini
dimaksudkan untuk mengetahui kondisi terbaik untuk membuat tempe berdasarkan ketersedian
udara.
Setelah itu kacang kedelai yang sudah diberi ragi dan dibungkus dengan variabel-variabel
yang berbeda ini diinkubasikan selama 45 jam pada suhu 37 oC, diamati pada 24 jam pertama dan
pada 48 jam masa inkubasi. Suhu 37 oC merupakan suhu optimal jamur Rhizopus sp untuk tumbuh
(Babu, 2009). Dari penilitian, suhu dibawah 45oC dan diatas 25oC masih memberikan hasil
pertumubuhan jamur yang memuaskan, akan tetapi bila inkubasi dilakukan pada suhu 25 oC proses
fermentasi kacang kedelai untuk menjadi tempe membutuhkan waktu selama 5 hari, atau 5 kali lipat
lebih lama daripada fermentasi pada suhu optimalnya, 37 oC (Babu, 2009).
Pengamatan setelah 24 jam masa inkubasi terlihat bahwa kacang kedelai yang dibungkus
daun pisang berlubang dan daun pisang tidak berlubang terdapat hifa putih pada kacang kedelai.
Namun hanya terlihat sedikit substrat putih, dan kacang masih terpisah-pisah. Sementara pada
tempat lainya seperti pada petridish dan plastik, tidak terlihat adanya substrat putih atau
pertumbuhan hifa disana dan kondisi kacang kedelai masih terpisah pisah. Pengamatan awal ini
menandakan bahwa supaya jamur Rhizopus oryzae dapat tumbuh dan memfermentasikan tempe,
namun belum dapat disimpulkan apa apa mengenai peranan oksigen pada pertumubuhan jamur
tersebut. Pada pengamatan 24 jam, tekstur tempe pada umumnya belum terbentuk. Hal ini
menandakan bahwa fermentasi tempe belum selesai dan tempe belum matang. Maka selanjutnya
dimasukan kembali pada inkubator dengan suhu 37 oC.

a

b

Gambar III.1.1 Tempe pada daun pisang yang dilubangi (a) dan tertutup (b) 24 jam

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

11

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)

a

b

Gambar III.1.2 Tempe pada plastik yang dilubangi (a) dan tertutup (b) 24 jam

a

b

Gambar III.1.3 Tempe pada petridish yang terbuka (a) dan tertutup (b) 24 jam

Pada pengamatan 46 jam, tempe yang dibungkus dengan daun pisang berlubang, plastik
berlubang, dan cawan petri tertutup, telah terbentuk tempe yang matang. Tempe yang terbentuk
memiliki tekstur tempe yang keras, padat dan kokoh, hal ini ditandai ketika tempe dipotong, tempe
masih bertekstur cake yang kuat di mana kacang kedelai tidak berjatuhan. Menurut literatur, tempe
yang baik ketika kacang kedelai terlekat secara kokoh dan kompak, terselimuti miselium putih
secara merata dan memiliki karakteristik yang padat (Shurtleff dan Aoyagi, 2001). Maka dapat
dikatakan bahwa tempe pada daun pisang berlubang, plastik berlubang dan cawan petri tertutup
merupakan tempe yang baik. Sementara itu pada tempe yang dibungkus dengan daun pisang tidak
berlubang, terdapat miselium cukup merata namun terdapat beberapa bagian yang masih tidak
padat, sehingga bukanlah tempe yang baik. Pada cawan petri terbuka terdapat warna hitam yang
menandakan jamur ini telah bersporulasi akibat fermentasi yang terlalu lama serta ada kemungkinan
terjadinya kontaminasi. Sementara tempe yang dibungkus dengan plastik tertutup tidak terlihat
adanya pertumubuhan dari jamur yang ditandai tidak adanya miselium yang terbentuk maupun hifa
putih yang terbentuk pada kacang kedelai.

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

12

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)

a

b

Gambar III.1.4 Tempe pada daun pisang yang dilubangi (a) dan tertutup (b) 48 jam

a

b

Gambar III.1.5 Tempe pada plastik yang dilubangi (a) dan tertutup (b) 46 jam

a

b

Gambar III.1.6 Tempe pada petridish yang terbuka (a) dan tertutup (b) 46 jam

Dari hasil percobaan, menunjukan bahwa jamur membutuhkan asupan udara yang cukup
untuk dapat tumbuh, namun udara tersebut tidak dapat terlalu banyak. Secara umum, jamur
membutuhkan keberadaan oksigen untuk tumbuh (Babu, 2009). Hal ini sesuai dengan percobaan
dimana pada konndisi plastic tertutup dimana udara sama sekali tidak dapat masuk, tidak terjadi
pertumbuhan jamur. Pada daun pisang tertutup, tetap ada udara yang masuk dari pori daun namun
jumlahnya sangat sedikit, sehingga pertumbuhan terjadi namun tidak maksimal. Sedangkan untuk
cawan petri tertutup, daun pisang berlubang serta plastik berlubang, pertumbuhan jamur sangat baik
karena mendapat asupan oksigen yang cukup. Namun faktor lain yang menentukan pertumbuhan
jamur ialah kelembapan (Babu, 2009). Pada cawan petri terbuka, terdapat terlalu banyak kontak

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

13

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)
dengan udara, dan ketika dimasukan ke dalam inkubator, menyebabkan kurang lembabnya
lingkungan tersebut, dibuktikan dengan keadaan kacang kedelai yang kering. Hal ini menyebabkan
pertumbuhan jamur kurang maksimal, sehingga pada cawan petri terbuka tidak terbentuk tempe
yang baik. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa supaya jamur dapat memfermentasi tempe
dibutuhkan asupan udara yang cukup agar jamur dapat berkembang dengan baik, serta kelembaban
yang tinggi (Babu, 2009).
Maka dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa jamur Rhizopus oryzae dapat
memfermentasi kacang kedelai menjadi tempe yang mudah dicerna usus. Tempe lebih mudah
dicerna oleh usus dibandingkan dengan kacang kedelai. Fermentasi membuat kacang kedelai
menjadi lebih lembut dan lunak karena jamur yang ada pada proses fermentasi mencerna nutrien
dasar menjadi bentuk solid yang dapat larut dan nitrogen (Shurtleff dan Aoyagi, 2001). Enzim
protease yang terdapat pada jamur juga memecahkan protein menjadi asam amino, agar lebih
mudah dicerna oleh usus, sedangakan enzim lipase memecah lipid menjadi asam lemak, sehingga
lebih mudah dicerna oleh usus (Shurtleff dan Aoyagi, 2001).

Proses fermentasi juga

menghilangkan bakteri, bau, dan rasa yang tidak diinginkan dari kedelai (Shurtleff dan Aoyagi,
2001).

III.2 Pembuatan Tape dari Singkong
Tujuan dari percobaan pembuatan tape singkong ini adalah untuk mengetahui penerapan
bioteknologi dengan fermentasi tape dan peranan organisme Saccharomyces cerevisiae dalam
peragian. Salah satu penerapan bioteknologi yang telah diterapkan sejak lama adalah fermentasi.
Fermentasi makanan telah dilakukan sejak lama untuk memproses dan mengawetkan makanan.
Makanan yang difermentasi pada umumnya memiliki rasa yang enak, dan umumnya memiliki bau,
tekstur yang baik serta baik untuk disimpan pada keadaan ambien (Law, 2011).
Tape merupakan suatu produk makanan yang dibuat oleh proses fermentasi. Umumnya tapai
berbahan dasar ketan (Oryza sativa glutinosa), namun selain itu singkong (Manihot utilissima)
sering digunakan sebagai bahan untuk difermentasi (Law, 2011). Manusia telah memfermentasi
umbi-umbian selama lebih dari 1000 tahun. Fermentasi meningkatkan kandungan nutrisi, tekstur,
dan rasa dari ubi kayu (Law, 2011). Fermentasi tape berlangsung secara fakultatif anaerobik, dan
alkoholik di mana fermentasi ini menghasilkan alkohol sebagai produk samping selain produk
akhir. Fermentasi dilakukan oleh khamir (Saccharomyces cerevisiae) dan kapang (Aspergillus sp.).
Khamir dan kapang ini dapat ditemukan pada ragi tape komersial (Rukmana, 2001).

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

14

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)
Tabel III.1.1 Komposisi kandungan kimia singkong dan tape (per 100 gram)

Pada pembuatan tapai, digunakan ragi tapai sebagai bahan atau zat yang berfungsi untuk
memfermentasi. Salah satu cara membuat ragi yang sering dilakukan pada desa yaitu ragi dibuat
dengan mencampur beberapa bahan yaitu, tapung beras, bawang putih, akar tumbuhan Alpina
galanga, lada hitam, lada putih, cabai merah, kayu manis, buah adas, gula tebu, lemon, dan air
kelapa. Beberapa tetes sari jahe ditambahkan, dan air juga ditambahkan sehingga adonan tebal yang
kemudian dicetak. Adonan yang sudah dibentuk ini kemudian diletakkan pada suatu tempat yang
bebas angin selama 2-3 hari, dimana tempat ini sebagai fermentasi natural. Selanjutnya adonan
kemudian dikeringkan dengan bantuan cahaya matahari. Ragi tape merupakan campuran beberapa
mikroorganisme antara lain Amylomyces rouxii, Rhizopus oryzae, Endomycopsis burtonii, Mucor
sp., Candida utilis, Saccharomycopsis fibuligera, Sacharomyces cerevisiae, dan beberapa bakteri :
Pediococcus sp., Bacillus sp.
(Gandjar, 2003)
Pada percobaan ini digunakan bahan baku berupa tape singkong dan ragi tapai. Hal pertama
yang dilakukan ialah mengupas singkong dan mengupas bagian kulit arinya dengan kesat
(mengerok bagian lendirnya). Setelah dikupas singkong, lalu singkong dicuci dengan air bersih.
Selanjutnya singkong kemudian dikukus menggunakan dandang hingga ¾ matang yang ditandai
dengan singkong yang sudah dikukus ini bisa ditusuk dengan garpu. Tujuan pengukusan adalah
agar singkong lebih lunak dan lebih mudah dipecahkan oleh mikroorganisme yang
memfermentasikan singkong tersebut. Selanjutnya singkong ditiriskan. Tujuan meniriskan singkong
adalah agar singkong tidak terlalu basah karena berpotensi menyebabkan singkong membusuk dan
juga agar suhu singkong lebih dingin agar pada saat penambahan ragi dapat tumbuh dengan baik.
Kemudian setelah singkong dingin, singkong di taruh di baskom atau Tupperware yang dialasi

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

15

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)
dengan daun pisang. Selanjutnya ragi tapai dibalurkan ke singkong secara merata. Penambahan ragi
tidaklah terlalu banyak karena bila penambahan ragi terlalu banyak dapat mempercepat proses
fermentasi dan dapat membuat tape menjadi rasnaya asam dan bahkan berpotensi menjadi racun
(Gandjar, 2003). Selanjutnya singkong ditutup dengan daun pisang dan ditutup dengan rapat dan
diinkubasikan pada suhu 30 oC pada inkubator. Pada proses inkubasi juga tidak dapat dilakukan
terlalu lama karena dapat membuat tape menjadi sangat asam (Gandjar, 2003). Secara umum proses
fermentasi yang terjadi ialah:
C6H12O6

2 C2H5OH

Glukosa

Etanol

+

2 CO2
Karbondioksida

Proses ini terjadi secara anaerob atau dalam artian tanpa adanya oksigen pada lingkungan terjadinya
proses fermentasi. Namun bila dijabarkan lebih lanjut, pada fermentasi ini ialah pati yang dipecah
menjadi maltose lalu glukosa, sehingga terbentuk asam piruvat dan baru terbentuklah etanol. Jadi
fermentasi yang terjadi pada singkong ialah memecah pati dari singkong menjadi suatu etanol pada
proses yang anaerob. Secara umum, proses pemecahan pati menjadi glukosa merupakan peranan
dari khamir ataupun kapang, dan ragi tape berperan mengubah glukosa menjadi alkohol (Rukmana,
2001). Saccharomyces cerevisiae yang terdapat pada ragi tape berperan besar dalam
mendekomposisi glukosa menjadi alkohol.(Gandjar, 2003).

Gambar III.2.1 Reaksi fermentasi alkohol tape

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

16

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)
Setelah 24 jam inkubasi, tape diamati. Hasil tape myang didapatkan bahwa rasa dari tape
belum terlalu manis, dan belum tercium bau alkohol yang terlalu kuat, sementara itu tekstur dari
tape empuk dan basah pada bagian luarnya saja, dengan warna putih.

Gambar III.2.2 Tape setelah pada 24 jam

Pada pengamatan tape yang diinkubasikan selama 46 jam, uji organoleptik menandakan
bahwa rasa dari tape manis dengan sedikit asam, dengan bau alkohol, tekstur tape empuk dan basah,
dengan warna putih kekuningan dengan terlihat serbuk putih. Sesuai dengan literatur bahwa tape
akan berasa manis dan terdapat rasa maupun bau alkohol yang merupakan hasil dari fermentasi.
Pada percobaan kali ini digunakan dua wadah yang berbeda, kedua wadah ini memberikan cita rasa
serta tekstur yang berbeda, dimana yang ada pada baskom lebih basah dan rasanya kurang manis
bila dibandingkan dengan yang di dalam Tupperware. Dengan demikian dapat dilihat bahwa
kualitas tape lebih baik terdapat pada yang ada di dalam Tupperware hal ini sesuai dengan literatur
karena pada Tupperware oksigen lebih sedikit dan prosesnya lebih anaerob.

a

b

Gambar III.2.3 Tape setelah 46 jam pada baskom (a) dan Tupperware (b)

Dari hasil percobaan, didapatkan kualitas tape yang baik dimana terdapat rasa manis dan bau
alkohol yang kuat. Kualitas tape sendiri dapat dipengaruhi oleh 4 hal. Pertama ialah jenis varietas

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

17

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)
singkong dimana singkong yang mengandung lebih sedikit HCN akan menghasilkan tape yang
lebih baik. Kedua, pemberian ragi yang tidak berlebihan. Ketiga ialah kualitas ragi tape yang
digunakan akan sangat memengaruhi kualitas tape. Terakhir ialah kerapatan penutupan wadah, hal
ini dikarenakan tape terfermentasi secara anaerob, maka semakin rapat penutupnya maka semakin
baik hasil tapenya.
(Rukmana, 2001)
Pada percobaan ini dapat disimpulkan bahwa proses pembuatan tape merupakan proses
bioteknologi dengan fermentasi oleh ragi tape, dan peranan Saccharomyces cerevisiae adalah untuk
mendekomposisi glukosa menjadi alkohol.

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

18

Laporan Resmi Praktikum Mikrobiologi Industri (2015)
IV. Kesimpulan
IV.1 Pembuatan Tempe dari Kedelai
Dari percobaan pembuaatan tempe kedelai ini dapat diketahui bahwa jamur Rhizopus oryzae
mampu memfermentasi kacang kedelai menjadi tempe yang lebih mudah dicerna oleh tubuh
IV.2. Pembuatan Tape Singkong
Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada pembuatan tape singkong telah diketahui proses bioteknologi dengan proses
fermentasi singkong menjadi tape.
2. Mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae berperan dalam proses pembuatan tape untuk
mendekomposisi gula sederhana menjadi alkohol.

Daftar Pustaka
Babu, Dinesh P., et al. 2009. A Low Cost Nutritious Food “Tempeh”, A Review. World Journal of
Dairy and Food Sciences (4) 1: 22-27
Gandjar, I. 2003. Tapai from Cassava and Cereals. Department of Biology, Faculty of Mathematics
and Natural Sciences, University of Indonesia.
Law, S.V., et al. 2011. Mini Review: Popular Fermented Food and Beverages in Southeast Asia.
International Food Research Journal 18: 475-484.
Rukmana, Rahmat dan Yuyun Yuniarsih. 2001. Teknologi Tepat Guna: Aneka Olahan Ubi Kayu.
Jakarta: Kanisius
Shurtlett, William dan Aiko Aoyagi. 2001. The Book Of Tempeh: A Cultured Soy Food. California:
10Speed Press

Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS