PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA DAN BAHASA KE

PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA DAN BAHASA KEDUA
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikolinguistik
Dosen Pengampu: Dr. Tadkirotun Musfiroh, M.Hum.

Disusun oleh:
1. Karla

13210141043

2. Saiful Ramdhani

10210144034

3. Linawati

13210141046

4. Riska Setyaningsih

13210144003


5. Wildan Failsasuf A.

13210141048

KELAS 6B

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016

TEORI PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA
A. Teori Behavioristik
B. Teori Nativis
C. Teori Kognitif
FAKTOR DAN TAHAPAN PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA
A. Faktor Pemerolehan Bahasa Pertama
B. Tahap Pemerolehan Bahasa Pertama
HIPOTESIS PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
A. Hipotesis Pemerolehan Bahasa Kedua Menurut Krashen.

B. Hipotesis Pemerolehan Bahasa Kedua Menurut Rod Ellis
C. Hipotesis Kesamaan Pemerolehan (Identity Hipotesis)
D. Hipotesis Kontrastif
TEORI PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
A. Teori/ Model Akulturasi
B. Teori Akomodasi
C. Teori Wacana
D. Teori/ Model Monitor
E. Teori Kompetensi Variabel
F. Hipotesis Universal
G. Teori Neurofungsional
KEDWIBAHASAAN
A. Kedwibahasaan di Indonesia (Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia)
B. Kediwbahasaan di Indonesia (Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing)
C. Alih Kode dan Campur Kode

2

TEORI PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA
(Karla/13210141043)


Krasen (via Musfiroh, 2016: 15-16) menjelaskan bahwa pemerolehan merupakan
proses bawah sadar ―mendapatkan‖ bahasa melalui pajanan-pajanan yang pada akhirnya
secara sadar akan dipelajarinya secara formal. Dengan ini, seorang pembelajar memperoleh
dan mempelajari kaidah-kaidah bahasa secara independen dan terpisah waktu. Pemerolehan
bahasa merupakan proses bawah sadar. Proses bawah sadar berarti tidak ditargetkan secara
sadar.
Bahasa diperoleh sejak bayi berumur satu tahun. Mereka mulai dengan menirukan
kata-kata, hingga pada usia 18 bulan mulai menirukan kalimat. Selanjutnya usia 3 tahun,
mereka menyerap masukan linguistik yang sangat banyak, terutama kemampuan wicara.
Kelancaran dan kreativitas berlanjut hingga usia sekolah ketika anak-anak mencerap struktur
yang semakin kompleks, memperluas kosakata dan mengasah ketrampilan komunikasi
(Brown, 2008: 27-28).
Teori pemerolehan bahasa dibagi menjadi tiga, yaitu; teori behavioristik; teori nativis; dan
teori kognitive.
A. Teori Behavioristik
Pendekatan behavioristik berfokus pada aspek-aspek yang bisa ditangkap langsung dari
perilaku linguistik –respons yang biasa diamati secara nyata—dan hubungan atau kaitan
antara respons dan peristiwa di dunia sekelilingnya. Maka, anak-anak dapat menghasilkan
respons linguistik berupa wujud tanggapan yang terkondisikan. Teori Skinner, oleh B. F.

Skinner dalam bukunya Verbal Behavior (1957), menghasilkan perilaku verbal dikendalikan
oleh konsekuensi-konsekuensi. Ketika konsekuensinya berupa imbalan, perilaku ini
dipertahankan dan ditingkatkan frekuensinya. Ketika konsekuensinya berupa hukuman,
perilaku ini dilemahkan (Brown, 2008: 29).
B. Teori Nativis
Nativistik berasal dari pernyataan dasar bahwa pemerolehan bahasa sudah ditentukan
dari lahir dengan kapasitas genetik yang mempengaruhi kemampuan untuk memahami
3

sekitarnya. Pernyataan ini didukung oleh Eric Lenneberg (1967) menyatakan bahwa bahasa
merupakan perilaku ―spesifik-spesies‖ dan Chomsky (1965) yang diumpamakan dengan
―kotak hitam kecil‖ di otak, sebuah perangkat pemerolehan bahasa atau language acquistion
device (LAD). Mc Neill dan para peneliti tradisi Chomskyan menyakinkan berpendapat

mengenai gagasan yang bertolak belakang dengan teori stimulus-respons (S-R) aliran
behavioristik yang terdapat dalam bahasa anak-anak (Brown, 2008: 30-31).
Chomsky berpendapat kita dilahirkan dengan perangkat akuisisi bahasa, sebuah daerah
di otak kita yang memungkinkan belajar bahasa secara natural. Menurutnya, anak-anak di
seluruh dunia belajar bahasa dengan cara yang sama, terlepas dari budaya mereka atau bahasa
yang mereka pelajari (Field, via Musfiroh, 2016).

Kajian nativis mengenai pemerolehan bahasa anak-anak menghasilkan hipotesis tata
bahasa bebas-susun pada bahasa anak-anak. Pada umumnya tata bahasa ini adalah
representasi struktur dalam seperangkat kaidah abstrak yang mendasari ujaran di permukaan,
struktur yang tidak muncul dalam pembicaraan.
Tata bahasa awal pada bahasa anak-anak disebut tata bahasa poros (pivot grammars)
yang pada umumnya diakui bahwa dua kata pertama anak-anak menampakkan adanya dua
kelompok kata yang terpisah, bukan sekedar dua kata yang dilontarkan bersama-sama secara
acak. Contoh, ―my cap”, “that horsie”. Dalam contoh tersebut terlihat terdapat dua kelompok
kata yang berbeda, dalam artian my dapat muncul bersama cap, dan horsie, tetapi tidak
bersama that. Kata-kata kelompok pertama disebut ―poros‖, karena mereka tidak dapat
berputar, dan kelompok kedua ―terbuka‖ (Brown, 2008: 32-33).
Kaidah pertama tata bahasa generatif anak-anak,
Kalimat  kata poros + kata terbuka
C. Teori Kognitivisme
Piaget (Piaget &Inhelder, 1955 via Brown, 2008) menjelaskan keseluruhan proses
interaksi anak-anak dengan lingkungan mereka, dan antara kapasitas kognitif mereka yang
tengah berkembang serta pengalaman linguistik mereka. Slobin memperlihatkan bahwa
dalam semua bahasa, pembelajaran semantik bergantung pada perkembangan kognitif dan
rangkaian perkembangan lebih ditentukan oleh kompleksitas semantik daripada kompleksitas
struktural.

4

Mayer & Alexander (via Musfiroh, 2016) menyatakan kognitivisme adalah
pendekatan teoretis untuk memahami pikiran manusia, setujuan pembelajaran menurut
kognitivisme adalah peningkatan pengetahuan sistem memori manusia. (Jordan, Carlile,
&Stack, 2008: 38-44) menyatakan prinsip kogntivisme sebagai berikut:
1) Sensation
Sensation merupakan proses di mana rangsangan dari lingkunga diterima secara cepat
(singkat) pada sistem sensori untuk diteruskan proses pengolahan informasi selanjutnya.
2) Perception
Perception

merupakan

proses

penerjemahan

informasi


yang

diterima

indra. Proses ini melibatkan pattern recognition (pengenalan pola), recognition
(pengenalan objek), bottom-up atau top-down processing unconcious perception
(persepsi secara tidak sadar).
3) Attention
Kognisi dimulai dari proses persepsi input sensor. Proses ini merupakan upaya
pemfokusan konsentrasi pada hal yang dianggap penting dan pengabaian yang tidak
penting. Proses ini sangat menentukan kesadaran.
4) Encoding
Encoding

merupakan

proses

penerjemahan


informasi.

Hasil

dari

proses

adalah representasi mental berupa skema.
5) Memory
Memory merupakan kemampuan seseorang untuk menyimpan dan memanggil kembali
informasi yang diperoleh dari tahapan tahapan kognitif sebelumnya. Memori melibatkan
tiga sistem yang terhubung satu sama lain yakni sensori, memori jangka pendek, dan
memori jangka panjang.
Peta konsep:

• behavioristik
• navistik
Teori Pemerolehan • kognitivisme
B1


5

DAFTAR PUSTAKA
Brown, H. Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa Indonesia .
Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Musfiroh, Tadkiroatun. 2016. Psikolinguistik. Yogyakarta: UNY Press.

6

FAKTOR TAHAPAN PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA
(Saiful Ramdani/ 10210144034)

Pemerolehan B1 terjadi apabila anak yang belum pernah belajar bahasa apapun mulai
belajar bahasa untuk pertama kalinya. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pemerolehan
bahasa pertama B1 antara laian melalui perkembangan kognitif anak, perkembangan sosial
anak, alat pemerolehan bahasa yang dibawa sejak lahir dan urutan pemerolehan bahasa anak.
A. Perkembangan Kognitif Anak
Agar seorang anak dapat disebut menguasai B1-nya ada beberapa unsur yang penting
yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu, diantaranya adalah

perkembangan nosi-nosi (nations) seperti waktu, ruang, modalitas, dan sebab-akibat
merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak.
Dalam proses pemerolehan B1-nya, seorang anak akan belajar semua konsep atau nosi,
karena ia memerlukannya untuk berkomunikasi dengan orang-orang dan anak-anak lain di
sekelilingnya.
B. Perkembangan Sosial Anak
Melalui bahasa, khususnya B1, seorang anak belajar untuk menjadi anggota
masyarakat. B1 menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan,
pendirian, dan sebagainya dalam bentuk-bentuk bahasa. Ia belajar pula bahwa ada bentukbentuk yang tidak dapat diterima oleh anggota masyarakatnya, dan bahwa ia tidak selalu
boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang. Sebagai contoh seorang anak kecil
mengutarakan kalimat-kalimat berikut “Makanan ini tidak enak” “lho rumah ini kok jelek?”
ujaran-ujaran secara gamblang dari seorang anak masih diampuni, tetapi ia harus sudah mulai
belajar bahwa ada norma-norma budaya tertentu yang harus diperhatikan, yang mungkin
berubah dengan kemajuan zaman.
C. Alat Pemerolehan Bahasa Yang Dibawa Sejak Lahir
Seorang anak yang normal akan memperoleh B1 dalam waktu yang relatif singkat
(yakni kira-kira usia dua hingga enam tahun), meskipun B1 yang didengar di sekelilingnya
bukan B1 yang gramatik. Menurut Chomsky, karena semua orang diperlengkapi dengan
LAD, seorang anak tidak perlu menghafal atau menirukan pola-pola kalimat agar mampu
7


menguasai bahasa itu. Ia akan mampu mengucapkan kalimat-kalimat yang belum pernah
didengar sebelumnya dengan menerapkan kaidah-kaidah tata bahasa yang secara tidak sadar
memprakirakan struktur bahasa, dan oleh karena itu, banyak ciri-ciri tata bahasa B1 tidak
perlu dipelajari seseorang dengan sadar.
Selain faktor-faktor yang telah dipaparkan di atas, terdapat pula tahapan anak dalam
pemerolehan bahasa pertama, yakni:
A. Tahap Pengocehan
Anak pada umur enam bulan ketika ia mengoceh, pada tahap itu ia mengucapkan
sebagian besar bentuk ujaran yang sebagian besar tidak bermakna, dan sebagian kecil lainnya
menyererupai kata atau penggal kata yang bermakna hanya karena kebetulan saja. Pada tahap
mengoceh tersebut penting artinya karena dalam tahap tersebut anak belajar untuk
menggunakan bunyi-bunyi ujar yang benar dan membuang bunyi-bunyi yang salah. Dalah
tahap tersebut anak mulai menirukan pola-pola intonasi kalimat-kalimat yang diucapkan oleh
orang dewasa.
B. Tahap Satu Kata Satu Frasa
Seorang anak pada usia satu tahun sudah mulai menggunakan serangkaian bunyibunyi secara berulang-ulang untuk maksud dan makna yang sama. Pada usia tersebut anak
sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata
yang pertama. Pada mulanya kata tersebut diucapkan ketika rangsangan ada di sekitarnya,
maka setelah lebih dari satu tahun ia bisa mengeluarkan bunyi yang sama dengan maksud dan
tujuan yang bisa berbeda-beda dan peran orangtuanya dalam hal ini sangat penting mengingat
hanya mereka yang mengerti maksud dan makna dari bunyi yang dikeluarkan si anak meski
intonasi sama dan hanya diulang-ulang saja namun memiliki arti yang berbeda dengan
maksud yang diinginkan oleh si anak. Menurut beberapa ahli bahasa anak, kata-kata dalam
tahap ini memiliki arti (1) kata-kata itu dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri, (2)
untuk mengungkap suatu perasaan, (3) untuk memberi nama pada suatu benda.
C. Tahap Dua Kata Satu Frase
Pada kira-kira usia dua tahun, seorang anak mulai mengucapkan ujaran-ujaran yang
terdiri dari dua kata. Dalam tahap ini anak itu menggunakan rangkaian dari ucapan satu kata
dengan intonasi seakan-akan ada dua ucapan. Contoh: ―Ani/mam,‖ yang artinya ―Ani sedang
minta makan‖. Kemudian ia mulai menggunakan kalimat-kalimat yang terdiri ats dua kata
8

yang ciri-ciri hubungan antara kedua kata itu jelas sintaksis dan semantiknya, dan tidak ada
jeda antara dua kata tersebut. Ini suatu kemajuan yang amat pesat karena anak itu sudah
mulai berpikir secara ―subjek+predikat‖, meskipun hubungan-hubungan seperti infleksi, kata
ganti orang dan jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu subjek + predikat
dapat terdiri dari kata benda+kata benda, seperti: ―Ani Mainan‖ yang berarti Ani sedang
bermain dengan mainan, atau sifat + kata benda, seperti: ―kotor patu‖ yang artinya sepatu itu
kotor dan sebagainya.
D. Tahap Menyerupai Telegram
Apabila seorang anak sudah mampu menggunakan lebih dari dua kata maka jumlah
kata yang dapat dipakai dapat tiga, empat, bahkan lebih. Pada usia kira-kira dua tahun anak
itu sudah mulai menguasai kalimat-kalimat yang lebih lengkap. Hubungan-hubungan
sintaktik sudah mulai tampak dengan jelas meskipun hingga usia ini yang menjadi topik
pembicaraan adalah hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, yakni ada di tempat dan terjadi
pada waktu itu. Sejumlah ahli yang meneliti bahasa anak telah mengadakan penelitianpenelitian mengenai ucapan-ucapan anak, khususnya beberapa kata yang dapat diucapkan
dalam satu kalimat. Mereka mengatakan tahap pemerolehan bahasa dalam hal jumlah kata
tiap ujaran tidak diukur menurut usia anak. Tetapi menurut jumlah morfem yang sudah
mampu diucapkan. Penemuannya ialah bahwa anak-anak yang rata-rata dapat mengucapkan
2-3 morfem rupanya telah pula menguasai tata bahasa.
Pada usia dini dan selanjutnya anak belajar secara bertahap dengan caranya sendiri.
Ada teori yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia dini belajar menirukan. Tetapi hasil
eksperimen-eksperimen menunjukkan bahwa meskipun orang dewasa menyuruh seorang
anak untuk menirukan kalimat secara harfiah, anak itu tidak menirukannya seperti yang
diharapkan oleh orang dewasa tersebut.

9

DAFTAR PUSTAKA

Nababan, Sri Utari. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

10

HIPOTESIS PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
(Linawati / 13210141046)

Pemerolehan bahasa kedua (PB2) dapat disebut sebagai proses yang sangat rumit. Hal
ini karena terdapat faktor-faktor yang menjadi kendalanya. Namun telah terdapat banyak ahli
psikolinguistik/psikologi yang berhasil memecahkan masalah tersebut. Untuk memecahkan
permasalahan tersebut, para ahli memunculkan teori atau hipotesis yang sebelumnya telah
dilakukan eksperimen dan diuji kebenarannya (Nababan, 1992: 85). Telah dihipotesiskan
bahwa terdapat susunan yang agak stabil mengenai pemerolehan struktur dalam pemerolehan
bahasa, yaitu, seseorang dapat melihat kesamaan-kesamaan yang jelas antara sesama
pemeroleh, seperti struktur mana yang cenderung diperoleh mula-mula dan mana pula yang
diperoleh kemudian (Tarigan, 1988: 126).
Menurut para ahli, terdapat beberapa pembagian mengenai hipotesis pemerolehan
bahasa kedua (PB2). Krashen membagi hipotesis pemerolehan bahasa kedua (PB2) menjadi
lima jenis: hipotesis pembedaan pemerolehan dan pembelajaran; hipotesis urutan alamiah;
hipotesis monitor; hipotesis masukan; dan hipotesis saringan afektif. Sementara menurut Elle
terdapat sebelas hipotesis pemerolehan bahasa kedua (PB2) berdasarkan keumuman, situasi,
masukan, perbedaan pelajar, proses belajar, dan keluaran linguistik (Tarigan, 1988: 126).
Selain kedua hipotesis tersebut, terdapat pula Hipotesis ―Kesamaan Pemerolehan‖ atau
Identity Hypothesis yang dicetuskan oleh Klein, serta Hipotesis Kontranstif yang dipaparkan

oleh Lado (Nababan, 1992: 86-99)
A. Hipotesis Pemerolehan Bahasa Kedua Menurut Krashen
Terdapat lima hipotesis mengenai pemerolehan bahasa kedua (PB2) yang dipaparkan
oleh Krashen yakni: hipotesis pembedaan pemerolehan lawan pembelajaran; hipotesis urutan
alamiah; hipotesis monitor; hipotesis masukan; dan hipotesis saringan afektif (Tarigan, 1988:
126). Kelima hipotesis tersebut dibicarakan sehubungan dengan teori pendekatan pengajaran
bahasa mereka yang disebut pendekatan ilmiah dan erat kaitannya dengan pemerolehan
bahasa kedua (PB2) (Nababan, 1992: 87).
Hipotesis pemerolehan lawan pembelajaran (Acquisition vs Learning) menyatakan
bahwa pelajar bahasa kedua yang dewasa dapat mencamkan dalam hati aturan-aturan bahasa
11

kedua melalui satu atau dua sistem yang terpisah; yakni secara implisit atau di bawah sadar
dan secara eksplisit yakni dengan sengaja atau secara sadar. Terdapat beberapa rumusan
mengenai perbedaan antara pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa. Pemerolehan
memiliki ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama seorang anak penutur asli,
semetara pembelajaran adalah pengetahuan yang didapat secara formal. Pelajar bahasa kedua
dalam pemerolehan belajar seperti memungut, sementara pelajar bahasa kedua dalam
pembelajaran mengetahui mengenai bahasa kedua. Pemerolehan bahasa dilakukan melalui
proses di bawah sadar, sementara proses pembelajaran dilakukan dengan sadar dan sengaja.
pemerolehan bahasa secara formal tidak menambah kemampuan anak, sementara dalam
pembelajaran secara formal keberadaan guru dapat menambah kemampuan anak. (Nababan,
1992: 87-88).
Tarigan menyatakan bahwa dalam hipotesis urutan alamiah, para pemeroleh bahasa
tertentu cenderung memperoleh struktur gramatikal tertentu terlebih dahulu, dan yang lainlainnya baru kemudian. Persesuaian antara para pemeroleh secara individual tidak selalu
seratus persen, tetapi jelas terdapat persamaan yang nyata, yang signifikan secara statistik.
Dalam urutan pemerolehan bahasa kedua tidak selalu sama dengan urutan pemerolehan bagi
bahasa pertama, namuan tetap terdapat persamaan (Tarigan, 1988: 129).
Nababan (1992: 90) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa kedua dalam hipotesis
urutan alamiah dalam hal struktur bahasa berjalan menurut ―urutan yang dapat
diperkirakan‖. Terdapat struktur yang diperoleh lebih awal daripada struktur-struktur
lainnya. Salah satu hasil penelitian yang menguatkan hipotesis urutan alamiah adalah
penelitian dimana kata-kata tugas (function word) diperoleh lebih awal sedangkan struktur
lainnya diperoleh relatif lebih kemudian (Dulay & Burt, 1974 melalui Nababan, 1992: 90).
Menurut Krashen & Terrell urutan alamiah tidak berlaku ketika pelajar bahasa kedua
diberikan tes tata bahasa, namun berlaku bila yang ditekankan adalah komunikasi. Sehingga
urutan alamiah akan berlaku ketika pelajar bahasa kedua memperoleh bahasa kedua secara
alamiah dan tidak dipusatkan pada butir-butir struktur (Nababan, 1992: 90-91).
Hipotesis monitor mengemukakan serta menjelaskan bahwa pemerolehan dan
pembelajaran dipakai dengan cara yang amat khas. Pemerolehan berusaha mengawali dalam
berbahasa kedua dan bertanggung jawab atas kelancaran, kefasihan dalam berbahasa kedua.
Sementara pembelajaran hanya berfungsi sebagai monitor (pemantau) atau editor
(penyunting) dan membuat perubahan-perubahan dalam ujaran setelah dihasilkan oleh
12

sistem yang diperoleh yang diinginkan (Tarigan, 1988: 129-130). Dalam hipotesis monitor,
fungsi pembelajaran sangat terbatas dalam perilaku berbahasa orang dewasa. Hasil dari
pembelajaran bahasa kedua secara sadar hanya dapat digunakan sebahai pemantau (monitor)
atau penyunting (editor). Tindak berbahasa atau berujar yang dihasilkan dari pemerolehan
alamiah akan menghasilkan ujaran yang lancar. Apabila kemampuan berbahasa terjadi
karena hasil pembelajaran secara sengaja, menghasilkan ujaran yang kurang mantap atau
taersendat. Terdapat tiga kategori pemakai monitor, yakni: 1) overusers, pemakai monitor
yang mempunyai tuntutan yang terlalu tinggi mengenai kebenaran pengungkapannya; 2)
underusers, pemakai monitor yang terlalu mengandalkan apa yang diketahui tanpa

memahami kaidah; 3) optional users, adalah pemakai monitor yang mampu menggunakan
hasil pembelajaan dan hasil pemerolehan secara seimbang (Nababan, 1992: 92-93).
Hipotesis masukan menurut Nababan adalah memperoleh bahasa dengan mengerti
masukan yang lebih sukar sedikit dari tingkat kemampuan berbahasa kita yang telah peroleh.
Berdasarkan hipotesis masukan, orang dewasa di sekeliling anak akan mempermudah
pemerolehan bahasanya dengan cara memodifikasi bahasa yang digunakan orang dewasa,
sehingga mudah dimengerti oleh anak. Ragam bahasa yang dihasilkan dari proses modifikasi
tersebut disebut bahasa pengasuh (caretaker speech) (Nababan, 1992: 90-91).
Hipotesis saringan afektif (affectif filter ) menyatakan bahwa pelajar bahasa kedua yang
memiliki motivasi tertentu dan percaya pada diri sendiri biasanya lebih berhasil dalam
perolehan bahasa kedua daripada seorang pelajar yang tidak memiliki motivasi tertentu dan
kurang percaya diri. Pelajar bahasa kedua yang memiliki sikap positif memiliki hambatan
atau saringan afektif yang rendah atau tidak ada perasaan tegang atau khawatir sama sekali
serta lebih mudah mencerna masukan-masukan. Sementara pelajar bahasa kedua yang
memiliki tingkat saringan afektif lebih tinggi makin kuat perasaan negatifnya terhadap
bahasa kedua dan makin sukar mencerna atau menerima masukan (Nababan, 1992: 93-94).
Berdasarkan hipotesis yang disampaikan oleh Karshen tersebut ditemukan bahwa
beberapa hal yakni hipotesis urutan alamiah sama atau mirip dengan hipotesis kesamaan
pemerolehan. Juga Hipotesis pemerolehan lawan pembelajaran tidak menyatakan bagaimana
cara pemakaian keduanya dalam performansi berbahasa kedua. Cara pemakaian
pemerolehan dan pembelajaran baru disampaikan dalam hipotesis monitor.

13

B. Hipotesis Pemerolehan Bahasa Kedua Menurut Rod Ellis
Rodd Ellis mengemukakan sebelas hipotesis mengenai pemerolehan bahasa kedua
(PB2) yang disusun dalam bagian-bagian yang berhubungan dengan komponen pemerolehan
bahasa kedua (PB2). Hipotesis yang dikemukakan Ellis tersebut ditinjau dari segi umum,
situasi, masukan, perbedaan-perbedaan pelajar, proses-proses pelajar, dan keluaran
linguistik. (Tarigan, 1988: 126). Apabila dibuat bagan maka hipotesis pemerolehan bahasa
kedua (PB2) menurut Ellis dapat dijelaskan sebagai berikut.
Segi
Umum

Hipotesis
Hipotesis 1

Pernyataan
pemerolehan bahasa kedua (PB2) mengikuti ―urutan‖
perkembangan alamiah, tetapi akan terdapat berbagai
variasi minor dalam ―susunan‖ perkembangan dan lebih
banyak variasi major dalam ―kecepatan‖ perkembangan
dan dalam ―tingkat kecakapan‖ yang dicapai.
Urutan

tersebut

perkembangan

mengacu

umum

pada

yang

tahap-tahap

mengkarakteristikkan

pemerolehan bahasa kedua (PB2), dan susunan oada
perkembanan ciri-ciri grmatikal khusus. Hipoetesis ini
merujuk pada variabel vertikal.
Hipotesis 2

Pada setiap perkembangan, antar bahasa sang pelajar
terdiri dari suatu sistem ―kaidah-kaidah variabel‖.
Hipotesis

2

variabilitas

merujuk
horisontal

pada

variabel

merupakan

horisontal,

cermin

bagi

variabilitas vertikal.
Situasi

Hiptesis 3

Faktor-faktor situasional merupakan penentu atau
determinan-determinan

tidak

langsung

terhadap

kecepatan pemerolehan bahasa kedua (PB2) dan juga
terhadap tingkat kecakapan yang dicapai, tetapi tidak
mempengaruhi susunan perkambangan hanya dengan
cara-cara temporer dan minor saja.
Hipotesis 4

Faktor-faktor

situasional

merupakan

penyebab

variabilitias primer dalam bahasa pelajar-bahasa. Faktor-

14

faktor situasional (yakni siapa mengalamatkan kepada
siapa, apabila, tentang apa, dan di mana) menguasai
penggunaan variabel antar-bahasa sang pelajar dalam
cara yang sama dengan menguasai penggunaan bahasa
ibu sang pembicara asli.
Masukan

Hipotesis 5

Masukan yangs ecara interaksional (tetapi tidak perlu
formal) diatur sebagai akibat.hasil perundingan makna
dalam wacana dua arah antara sang pelajar dan sang
pembicara lain berfungsi sebagai penentu (tetapi tidak
hanya sebagai

determinan saja) terhadap

urusan

perkembangan, susuanan perkembangan dan jalur
perkembangan.
Perbedaan-

Hipotesis 6

Perbedaan-perbedaan pelajar secara afektif (yaitu yang

perbedaan

berhubungan dengan motivasi dan personal) menentukan

pelajar

kecepatan pemerolehan bahasa kedua (PB2) dan tingkat
kecakapan yang tercapai, tetapi tidak menentukan urutan
dan susunan perkembangan.
Hipotesis 7

Bahasa pertama sang pelajar mempengaruhi susunan
perkembangan (walaupun tidak dengan cara-cara yang
major),

tetapi

tidak

mempengaruhi

urutan

perkembangan.
Proses-proses

Hipotesis 8

pelajar

Perkembangan natar bahasa terjadi sebagai suatu
produksi dari penggunaan pengetahuan prosedural sang
pelajar untuk membangun wacara.

Hipotesis 9

Perkembangan antarbahasa terjadi sebagai produk tata
bahasa universal sang pelajar, yang membuat beberapa
lebih mudah dipelajari daripada yang lain-lainnya.

Keluaran
linguistik

Hipotesis 10

Bahasa pelajar-bahasa terdiri dari ujaran formulais dan
ucapan-capan yang dibangun secara kreatif. Hipotesis ini
memberi pengakuan pada perbedaan dasar dalam
keluaran linguistik. ujaran formulais dapat mengambil
bagian

dalam

perkembangan

antarbahasa,

suatu

kemungkinan yang dipertimbangkan oleh korolari

15

mengenai hipotesis 9, mengenai proses-proses yang
dapat beroperasi pada formula-formula dengan cara
yang sama dengan operasinya pada masukan.
Hipotesis 11

Bahasa pelajar-bahasa bervariabel, dinamis tetapi juga
sistematis.

Kesebelas hipotesis di atas merupakan cerminan masalah-masalah pokok yang telah
mengarah pada penyelidikan pemerolehan bahasa kedua (PB2). Namun tidak berarti
kesebelas hipotesis pemerolehan bahasa kedua (PB2) tersebut disetujui oleh semua peneliti
pemerolehan bahasa kedua (PB2). Terdapat kemungkinan bahwa peneliti memiliki cara yang
berbeda dalam menjelaskan beberapa diantara kesebelas hipotesis tersebut, maupun
menambahkan penekanan yang berbeda (Tarigan, 1988: 146-152).
C. Hipotesis Kesamaan Pemerolehan (Identity Hypotesis)
Hipotesis ini dikemukakan oleh Klein dan menyatakan bahwa pemerolahan bahasa
pertama dan pemerolehan bahasa kedua melalui proses yang sama, yang diatur oleh aturanaturan yang sama. Hal tersebut dinyatakan sebagai versi yang kuat dari suatu hipotesis, dan
terdapat pula versi yang lemah dari hipotesis tersebut atau disebut hipotesis kesamaan
esensial (esensial indentity hypotesis) (Nababan, 1992: 86). Terdapat lima hal yang relevan
untuk diperhatian dalam hipotesis kesamaan essensial, yakni:
1. Pemerolehan bahasa pertama merupakan komponen yang hakiki dari perkembangan
kognisi dan sosial seorang anak. Sedangkan, pemerolehan bahasa kedua terjadi sesudah
perkembangan kognisi dan sosial seorang anak.
2. Hasil yang diperoleh pada pemerolehan bahasa pertama adalah pemerolehan lafal tanpa
kesalahan. Sedangkan pada pemerolehan bahasa kedua Jarang ditemukan lafal pelajar
bahasa kedua yang sesuai dengan lafal penutur asli.
3. Terdapat persamaan pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua dalam urutan
pemerolehan butir-butir tata bahasa.
4. Terdapat banyak variabel berbeda dalam pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua.
5. Identital esensial yang sahih antara bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentu ada.
(Nababan, 1992: 86-87).

16

D. Hipotesis Kontrastif
Hipotesis kontrastif menyatakan bahwa pemerolehan bahas kedua sebagaian besar
ditentukan oleh struktur bahasa pertama. Hipotesis ini berbeda dengan hipotesis kesamaan
(Nababan, 1992: 97). Lado (1957: i melalui Nababan, 1992: 97) menyatakan bahwa terdapat
pola-pola kalimat yang tidak akan menjadi problem dalam pelajaran dan terdapat pola-pola
kalimat yang akan menjadi probelm dalam pelajaran. Pola-pola yang akan menjadi problem
dalam pelajaran adalah pola-pola yang berbeda, dan mengakibatkan adanya kesalahan dalam
produksi bahasa kedua sebagi hasil pengalih engatif yang mengahasilkan interferensi dari
bahasa pertama pada bahasa kedua yang berlainan tersebut. Pola-pola yang tidak menjadi
masalah dalam pelajaran adalah yang mirip atau sama dengan pola-pola bahasa sumber
(bahasa pertama). Hal tersebut akan menghasilkan pengalihan positif yang menghasilkan
pemudahan (facilitation) (Nababan, 1992: 97).

17

DAFTAR PUSTAKA

Nababan, Sri Utari. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Jakarta: Depdikbud. Dikti.
P2LPTK.

18

TEORI PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
(Riska Setyaningsih /13210144003)

Pemerolehan bahasa kedua diartikan dengan mengajar dan belajar bahasa asing dan
atau bahasa kedua lainnya (Tarigan, 1988:125). Bahasa kedua dapat didefinisikan
berdasarkan urutan, yakni bahasa yang diperoleh atau dipelajari setelah anak menguasai
bahasa pertama (B1) atau bahasa ibunya (Ghazali, 2000:11).
Pemerolehan bahasa, sebagaimana pembelajaran bahasa, pun dapat dilihat dari
beberapa teori. Berbicara mengenai teori, Harasim (dalam Tadkiroatun, 2016) mengatakan
teori berisi penjelasan mengapa suatu hal itu terjadi dan bagaimana suatu hal itu bisa terjadi.
Pada umumnya teor bermula dari rasa ingin tahu yang memunculkan upaya pemikiran
terhadap hal yang dipertanyakan. Teori merupakan suatu penjelasan yang dikembangkan
secara ilmiah. Teori pembelajaran berfungsi untuk membantu para praktisi untu memahami
bagaimana sejatinya manusia belajar.
Berikut ini merupakan teori pemerolehan bahasa kedua, Ellis (1987) Telah
mengklasifikasikannya menjadi ―tujuh teori PB2‖ (Tarigan, 1988:182).
A. Teori/Model Alkulturasi
Brown (1980:129) membatasi ―akulturasi‖ sebagai ―proses penyesuaian diri terhadap
kebudayaan baru‖. Itu dipandang sebagai suatu aspek penting PB2, karena bahasa merupakan
salah satu ekspresi budaya yang paling nyata yang dapat diamati dan bahwa proses
pemerolehan baru akan terlihat dari cara saling memandang antara masyarakat B1 dan
masyarakat B2 (Tarigan, 1988:183).
Teori ini menjelaskan bahwa proses pemerolehan B2 telah dimulai ketika anak mulai
dapat menyesuaikan dirinya terhadap kebudayaan B2, seperti penggunakan kata sapaan, nada
suara, pilihan kata, dan aturan-aturan yang lain. Dalam teori ini, jarak sosial dan jarak
psikologis anak sangat menentukan keberhasilan pemerolehan (Ghazali, 2000:83-91).
B. Teori Akomodasi
Teori akomodasi ini diturunkan oleh Giles bersama rekan-rekannya. Ia menyatakan
bahwa hubungan masyarakat B1 dengan B2 dalam berinteraksi sangat menentukan
19

pemerolehan B2. Kalau Schumann terlihat memperlakukan jarak sosial dan jarak psikologis
sebagai fenomena yang menentukan tingkat interaksi antara pelajar dan para pembicara
pribumi, maka Giles melihat hubungan antar kelompok sebagai subjek bagi perundingan
yang konstan selam interaksi berlangsung. Jadi, kalau Schumann menganggapnya statis,
maka bagi Giles itu dinamis (Tarigan, 1988:189-190).
Kekuatan Teori Akomodasi ialah bahwa dia mencakup pemerolehan bahasa dan
pemakaian bahasa di dalam satu kerangka kerja tunggal. Juga, teori ini menghubungkan
pemerolehan dialek atau aksen baru pada pemerolehan bahasa kedua. Karena keduanya
telihat sebagai refleksi presepsi (Tarigan, 1988:190). Misalnya orang B1 berdialek Ngapak,
orang B2 berdialek Sunda maka tidak menutup kemungkin B2 akan diperoleh atau berefleksi.
C. Teori Wacana
Teori ini beranjak dari penggunaan bahasa, dimana komunikasi diperlukan sebagai
matriks pengetahuan linguistik, bahwa perkembangan bahasa harus dilihat dari segi
bagaimana caranya sang pelajar menemukan makna potensial bahasa dengan jalan ikut serta
berpartisipasi dalam komunikasi (Tarigan, 1988:193).
Seperti kedua teori terdahulu, maka teori wacana tidak tertuju pada hakihat strategistrategi sang pelajar yang bertanggung jawab pada PB2. Hatch selanjutnya menyatakan
bahwa ―sementara interaksi sosial dapat memberikan data ―terbaik‖ yang dapat diolah oleh
sang pelajar, maka otak selanjutnya harus menyusun suatu model masukan yang layak dan
relevan‖ (1983:186).
Mengutip pernyataan Soejono dalam bukunya Psikolinguistik mengatakan bahwa
percakapan anak dapat berjalan lancar dan pada umumnya memberikan dukungan kalimatkalimat penyambung (Habis itu, ke mana si kanci?l) namun kalimat tersebut terdengar aneh
bila digunakan pada percakapn orang dewasa (Soejono, 2014:267). Hal tersebut adalah salah
satu bukti komunikasi menjadi ukuran perkembangan pemerolehan B2.
D. Teori/Model Monitor
Model Monitor ini dikemukakan oleh Stephen D. Kharsen. Teori ini memandang
pemerolehan bahasa sebagai proses konstruktif kreatif. Monitor adalah alat yang digunakan
anak untuk menyunting performansi (penampilan verbal) berbahasanya. Monitor ini bekerja
menggunakan kompetensi yang‖dipelajari‖ (Ghazali, 2000:65-67).
20

Kharsen (1976) berpendapat bahwa ada dua sistem pengetahuan yang mendasari
perfomansi kemampuan bahasa kedua. Pertama dan yang paling penting adalah sistem yang
diperoleh. Kedua, sistem pengetahuan yang menurut Kharsen tidak begitu penting, adalah
pengetahuan nahu yang didapat karena pembelajar menerima pelajaran tata bahasa itu secara
formal.
Kharsen juga menjelaskan bahwa pengetahuan jenis pertama ini diperoleh juga ketika
seoarang membaca. Oleh karena itu, kita dapat lebih cepat membaca daripada berbicara.
Maka bahasa tulis merupakan sumber yang lebih baik dari pemerolehan bahasa daripada
bahasa lisan (Ghazali, 2000:67).
E. Teori Kompetensi Variabel
Teori ini melihat bahwa pemerolehan B2 dapat direfleksikan dan bagaimana bahasa itu
digunakan. Teori ini menyatakan bahwa cara seseorang mempelajari bahasa akan
mencerminkan cara orang itu menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Produk bahasa terdiri
atas produk terencana (seperti menirukan cerita atau dialog) dan tidak terencana (seperti
percakapan sehari-hari) (Tarigan, 1988:197).
Model kompetensi variabel mengemukakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
1) Anak memiliki alat penyimpanan yang berisi bahasantara. Penyimpanan ini akan aktif
jika diekploitasi untuk berlatih;
2) Anak memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa, yang berbentuk proses wacana
primer (penyederhanaan semantik: dhahar = makan), wacana sekunder (penyuntingan
performansi bahasa), proses kognitif (penyusunan, perbandingan, dan pengurangan
unsur)
3) Tampilan berbahasa anak adalah proses primer dalam perkembangan wacana yang tidak
terencana atau proses sekunder dari wacana terencana
4) Perkembangan pemerolehan adalah akibat pemerolehan kaidah baru dan pengaktifan
kaidah-kaidah itu. (Tarigan, 1988:198-199).

F. Hipotesis Universal
Secara singkat dapat dikatakan bahwa hipotesis universal menyatakan bahwa terdapat
kesemestaan linguistik yang menentukan jalannya PB2. Hipotesis universal menyatakan
bahwa anak menemukan kaidah-kaidah bahasa dengan bentuk gramatika universal, yakni
21

gramatika inti. Hipotesis ini menyajikan suatu pertimbangan yang menarik mengenai
bagaimana caranya sarana-sarana linguistic bahasa sasaran dan bahasa pertama sang pelajar
(Tarigan, 1988:201).
Berikut ini kesemestaan bahasa yang menentukan proses pemerolehan B2.
a) Kesemestaan bahasa membantu mengatasi hambatan yang berpotensi muncul dalam
bahasa antara (interlangue)
b) Pembelajar akan merasa lebih mudah memperoleh pola-pola yang sesuai dengan
kesemestaan bahasa daripada yang tidak sesuatu
c) Apabila B1 menerapkan kesemestaan bahasa maka B1 cenderung akan membantu
perkembangan penguasaan bahasa antara melalui transfer (Tarigan, 1988:202).

G. Teori Neurofungsional
Teori ini menyatakan adanya hubungan antara bahasa dengan anatomi syaraf.
Pemerolehan bahasa berkaitan erat dengan sistem syaraf, terutama area Broca (area ekspresif
verbal) dan Wernicke (area komprehensi). Meskipun demikian, area asosiasi, visualisasi, dan
nada tuturan juga berperan. Dua daerah dalam otak, yaitu belahan otak kanan dan belahan
otak kiri, menentukan pemerolehan B2.
Pemerolehan B2 dapat diterangkan menurut fungsi syaraf dengan memperhatikan dua
hal. Pertama, fungsi syaraf yang mana yang digunakan untuk berkomunukasi. Kedua,
tingatan mana dalam system syaraf tersebut yang dilibatkan (Tarigan, 1988:203-204).
Teori ini lebih dikenal dengan nama Lamandella’s Neurofuctional Theory. Lamandella
(1979) membedakan dua tipe dasar pemerolehan bahasa: (1) pemerolehan bahasa primer, dan
(2) pemerolehan bahasa sekunder. Pertama, berlaku pada anak usia 2-5 dalam pemerolehan
satu atau lebih bahasa sebagai bahasa pertamanya. Yang kedua, terbagi dua bagian, yaitu: (a)
belajar secara formal bahasa asing/bahasa kedua, dan (b) pemerolehan bahasa kedua yang
terjadi secara alamiah setelah anak berusia di atas lima tahun. Kedua macam pemerolehan
bahasa itu mempunyai sistem neurofungsional yang berbeda, dan masing-masing mempunyai
fungsi hirarkis. Lamandella menunjukkan fungsi-fungsi hirarkis itu sebagai berikut.
1) Hirarkis komunikasi: bertanggung jawab menyimpan bahasa dan simbol-simbol lain
melalui komunikasi interpersonal.

22

2) Hirarkis kognitif: berfungsi mengontrol penggunaan bahasa dan kegiatan pemrosesan
informasi kognitif. Pola latihan-latihan praktis dalam pembelajaran bahasa asing/bahasa
kedua adalah bagian dari hirarki kognitif. (Tarigan, 1988:205).

23

DAFTAR PUSTAKA
Djardjowidjojo, S. 2014. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia . Jakarta:
Pustakan Obor Indonesia.
Tadkiroatun, Musfiroh. 2016. Psikolinguistik Yogyakarta: UNY Press.
Ghazali, Syukur. 2000. Pemerolehan dan Pengajaran Bahasa Kedua. Yogyakarta: PPGSM.
Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Jakarta: Depdikbud. Dikti.
P2LPTK.

24

KEDWIBAHASAAN
(Wildan Failasuf A./ 13201041048)

Salah satu hasil pemerolehan atau pembelajaran bahasa kedua ialah bahwa orang yang
belajar atau memperoleh B2 itu menjadi tahu dua bahasa. Bisa disebut kemampuan
dwibahasa atau bilingualitas karena belajar B2 untuk digunakan dalam keadaan dimana B2

diperlukan. Memperoleh atau mempelajari B2 juga menghasilkan penggunaan dua bahasa
atau kedwinahasa atau mengerjakan bilingualisme. Disini kita akan membedakan antara
kemampuan dan penggunaan dua bahasa, sebab tidak semua orang yang mampu memahami
dua bahasa menggunakan kedua bahasa itu setiap waktu.
Dibawah ini akan dibicarakan secara singkat dua macam kedwibahasaan yang terdapat
di indonesia, yaitu: (1) bahasa daerah dan bahasa indonesia, dan (2) bahasa indonesia dan
bahasa asing.
A. Kedwibahasaan di Indonesia (Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia)
Kedwibahasaan seseorang ialah kebiasaanorang memakai dua bahasa dan penggunaan
kedua bahasa itu secara bergantian. Menurut laporan Nababan dan kawan-kawan (1984),
penggunaan kedwibahasaan (bahasa Daerah dan bahasa Indonesia) dapat terjadi karena :
1. Dalam sumpah pemuda tahun 1928 penggunaan bahasa Indonesia dikaitkan dengan
perjuangan perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme;
2. Bahasa-bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar disamping pembinaan dan
pengembangan bahasa dan kebudayaan Indonesia;
3. Perkawinan campur atarsuku;
4. Perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain yang disebabkan urbanisasi,
transmigrasi, mutasi karyawan atau pegawai, dan sebagainya;
5. Interaksi antarsuku.
6. Motivasi yang banyak didorong oleh kepentingan profesi dan kepentingan hidup.
Namun, sering para penutur bahasa daerah yang juga penutur bahasa Indonesia
menggunakan bahasa daerahnya yang bersifat informal. Hal ini disebabkan oleh beberapa
25

faktor antara lain: Upacara adat yang mengharuskan penggunaan bahasa daerah agar lebih
berkesan dan lebih sesuai dengan suasana yang diharapkan, untuk menciptakan suasana khas,
dan untuk kepentingan sastra menikmati budaya.
B. Kedwibahasaan di Indonesia (Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing)

1. Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris
Sebagai negara yang berkembang, interaksi internasional untuk kepentingan kemajuan
negara (perdagangan, budaya, politik) kita memerlukan penggunaan bahasa Inggris. Dengan
demikian boleh dikatakan bahwa tujuan penguasaan bahasa Inggris di samping bahasa
Indonesia merupakan suatu keharusan bagi banyak orang yang ingin ikut berperan serta
dalam kemajuan negara. Disamping itu, menilai lakunya kursus-kursus bahasa inggris di
indonesia, kita dapat mengatakan bahwa ada tujuan-tujuan lain untuk belajar bahasa inggris,
yakni, antara lain:
1) Untuk memperoleh pekerjaan yang layak di sektor swasta yang menuntut
pengetahuan dan kelancaran berbahasa Inggris;
2) Untuk menunjang harga diri pelajar;
3) Untuk mampu berperan serta dalam pembicaraan-pembicaraan forum Internasional;
dan
4) Untuk mampu mengikuti kulian di dalam atau di luar negeri di mana bahasa Inggris
digunakan.
2.

Mengenai kedwibahasaan yang melibatkan bahasa Indonesia dan bahasa asing lainya
masih belum cukup data yang dapat dikumpulkan oleh penulis, karena waktu tidak
menginginkan. Tetapi hal ini akan diteliti dalam waktu-waktu mendatang.

C. Alih Kode dan Campur Kode
Alih kode ialah mengganti bahasa yang digunakan oleh seseorang yang bilingual;
umpamanya dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia; dari bahasa Indonesia ke bahasa asing,
dan sebagainya. Penggunaan alih kode ini terjadi karena dalam pikiran si pembicara terlintas
suatu alasan yang dapat diterima oleh pembicara dan lawan bicaranya. Alasan-alasan itu,
antara lain, ialah :

26

1. Kalau kita sedang berbicara dengan orang yang sama-sama mengerti bahasa daerah, tibatiba ada orang ketiga yang tidak mengerti bahasa daerah itu, maka terjadi alih kode ke
bahasa lain yang dimengerti oleh orang ketiga itu, umpamanya ke bahasa Indonesia.
2. Kalau kita berbicara dengan orang yang meskipun mengerti bahasa daerah yang kita
gunakan (umpamanya: bahasa jawa), untuk mengelakkan masalah penggunakan tingkat
yang mana yang harus dipakai, kita menggunakan bahasa Indonesia, yang dianggap
―netral‖
3. Untuk memberi suasana yang lebih formal, umpamanya dalam interaksi di kantor,
sekolah, dan rumah-rumah ibadah, kita lebih suka menggunakan bahasa Indonesia
daripada bahasa daerah.
Sementara campur kode ialah penggunaan dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa
secara santai antara orang-orang yang kita kenal dengan akrab. Dalam situasi berbahasa yang
informal ini kita bisa dengan bebas mencampur kode (bahasa atau ragam bahasa) kita;
khususnya apabila ada istilah yang di ungkapkan dalam bahasa lain. Alasan lain ialah bahwa
seorang penutur ingin mengajukkan kemahirannya dalam berbahasa asing tertentu.
Demikianlah beberapa penjelasan mengenai konsep pemerolehan bahasa pertama B1
dan bahasa kedua/asing B2. Permasalahan bagi bidang psikolinguistik ialah apakah
kemampuan berpikir dan bernalar orang yang dwibahasawan itu bertambah baik atau
terganggu. Pembaca dapat mempelajari topik ini lebih lanjut dalam buku Nababan (1986).

27

DAFTAR PUSTAKA

Nababan, Sri Utari. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama

28