PENGARUH INTERVENSI NORTH ATLANTIC TREAT

Pengaruh Intervensi North Atlantic Treaty Organization (NATO) terhadap
Transformasi Konflik Sipil Libya pada Tahun 2011
Nur Luthfi Hidayatullah (0911240076)
Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional
Universitas Brawijaya, Malang, E-mail: luthfi2006@gmail.com

ABSTRACT
The development of revolutionary demonstrations movement in the Arab world which
started in December 2010 had also occurred in Libya. On 15 th February 2011,
protestors occupied the streets of Benghazi to demand democratization in Libya.

Gaddafi’s governance responded by sending the Libyan National Army which violently
attacked the protestors. Consequently, the Libyan society formed an opposition party,
namely the National Transitional Council (NTC) to rebel against Gaddafi’s regime. The

fight between Gaddafi’s regime and the opposition rebels created a civil conflict in
Libya.
On 17th March 2011, United Nations Security Council (UNSC) issued the UNSC
Resolution 1973 which justified the international society to conduct any necessary

means to protect Libyan civilians from being violated by Gaddafi’s regime. This

mandate authorized North Atlantic Treaty Organization (NATO) to militarily intervene
in Libya by implementing arms embargo, no-fly zone and air strikes towards Gaddafi’s
troops and military assets.

This research will analyze the impact of NATO’s intervention towards transformation of
Libyan civil conflict in 2011 by comparing two periods in the Libyan civil conflict,
which are the period of conflict before the intervention of NATO and the period after

NATO’s intervention.
Key words: Civil Conflict, Conflict Transformation , NATO, Libya, Gaddafi

1

PENDAHULUAN
Sejak bulan Desember 2010, telah terjadi berbagai gerakan demonstrasi
revolusioner oleh masyarakat di negara-negara dunia Arab yang menentang
pemerintahan mereka. Revolusi serupa juga terjadi di Libya, berawal dari demonstrasi
di Benghazi pada tanggal 15 Februari 2011 untuk menentang pemerintahan Muammar
Gaddafi yang otoriter. Gaddafi merespon demonstrasi tersebut dengan mengerahkan
pasukan militer sehingga mengakibatkan terjadinya perang sipil antara masyarakat

pemberontak (oposisi) dengan pasukan pemerintahan Gaddafi. Demonstrasi semakin
berkembang di berbagai wilayah Libya lainnya, sehingga meningkatkan jumlah korban
sipil (“NATO and Libya”, 2011).
Pada tanggal 26 Februari 2011, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa
(DK PBB) merespon tindakan pemerintahan Gaddafi dengan mengeluarkan Resolusi
1970 DK PBB yang menerapkan embargo persenjataan ke Libya, serta pembekuan asetaset dan larangan bepergian ke luar negeri bagi Gaddafi dan sepuluh staf
pemerintahannya (“Resolution 1970”, 2011). Setelah diberlakukannya Resolusi 1970,
North Atlantic Treaty Organization (NATO) meluncurkan Airborne Warning and
Control System (AWACS) pada tanggal 8 Maret 2011 untuk mengawasi dan

melaporkan kondisi perang sipil Libya dari udara (“Last Air Mission”, 2011).
Seiring dengan meningkatnya tingkat kekerasan yang terjadi dalam perang sipil
Libya, DK PBB menilai bahwa pemerintahan Gaddafi tidak merespon isi Resolusi 1970
sebagaimana diharapkan oleh DK PBB (“Resolution 1973”, 2011). Karena itu pada
tanggal 17 Maret 2011 DK PBB mengeluarkan Resolusi 1973 yang mengutuk
kekerasan sistematik terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh Gaddafi. Resolusi
1973 mengesahkan negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk
2

menerapkan zona larangan penerbangan (no fly zone) diatas wilayah Libya dan semua

tindakan yang diperlukan (all necessary means) untuk melindungi masyarakat Libya
(“Resolution 1973”, 2011).
Pada tanggal 19 Maret 2011, koalisi berbagai negara merespon Resolusi 1973
untuk menerapkan zona larangan penerbangan di Libya dipimpin oleh Perancis, Inggris
dan Amerika Serikat (Garland, 2012:43). Beberapa hari setelah intervensi pasukan
koalisi di Libya, NATO merespon Resolusi 1973 dengan mengambil alih penerapan
embargo senjata ke Libya melalui Operation Unified Protector sejak tanggal 22 Maret
2011. Pada tanggal 24 Maret 2011 NATO bersedia mengambil alih zona larangan
penerbangan di Libya (Garland, 2011:43). Kemudian pada tanggal 31 Maret 2011,
NATO memegang kendali penuh terhadap semua aktivitas militer di Libya (“NATO
and Libya”, 2011).
Keterlibatan

NATO

melalui

intervensi

Operation


Unified

Protector

menimbulkan berbagai perubahan terhadap kondisi konflik sipil tersebut. Salah satu
perubahan signifikan yang terjadi adalah hancurnya persenjataan dan aset-aset militer
pihak Gaddafi setelah pengeboman oleh pasukan NATO melalui jalur udara
(International Center, 2011:27-28). Penelitian ini akan menjelaskan tentang bagaimana
pengaruh intervensi Operation Unified Protector oleh North Atlantic Treaty
Organization (NATO) terhadap transformasi konflik sipil di Libya pada tahun 2011.

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Konflik
Menurut Bartos, konflik adalah situasi dimana aktor-aktor saling menggunakan
tingkah laku konflik terhadap sesama untuk mendapatkan tujuan-tujuan yang tidak
3

sejalan dan/atau untuk mengekspresikan perlawanan mereka. Tingkah laku konflik juga
meliputi perilaku kelompok-kelompok dalam konflik (Bartos, 2002:13). Konflik dapat

terjadi karena adanya tujuan-tujuan yang tidak sejalan (goal incompatibility) antara
pihak-pihak yang berkonflik. Kita dapat mengetahui apakah tujuan-tujuan tersebut
sejalan atau tidak dengan mengukur apakah tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai secara
bersamaan (Bartos, 2002:14).
Selain itu, koflik juga dapat terjadi karena adanya perasaan perlawanan (feeling
of hostility) terhadap pihak lain dalam konflik dalam bentuk perasaan atau prinsip

antagonisme, oposisi atau resistansi terhadap pihak lain. Keberadaan perasaan
perlawanan sangat dipengaruhi oleh persepsi aktor-aktor tersebut terhadap tindakan
yang dianggap rasional maupun tidak rasional untuk dilakukan dalam konflik (Bartos,
2002:19).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan istilah “konflik sipil Libya” untuk
menggantikan istilah “perang sipil Libya”. Perang sipil Libya dapat dikategorikan
sebagai konflik karena dua hal: terdapat tujuan-tujuan yang tidak sejalan antara kedua
belah pihak, yaitu pihak oposisi yang mendukung demokratisasi sedangkan pihak
Gaddafi yang menentang demokratisasi; serta terdapat tindakan mengekspresikan
perlawanan, yaitu pihak Gaddafi menyerang para demonstran dan pihak oposisi
mendirikan National Transitional Council (NTC).
Teori Transformasi Konflik
Francis berpendapat bahwa transformasi konflik adalah serangkaian proses dan

hasil pendekatan terhadap konflik untuk menangani konflik tanpa menggunakan
kekerasan (Francis, 2002:7). Berbagai tahap transformasi dalam konflik diperlukan
untuk mengubah kondisi opresif antara pihak-pihak yang berkonflik menjadi kondisi
4

yang lebih damai (Francis, 2002:49). Menurut interpretasi penulis, Francis memandang
bahwa transformasi konflik adalah suatu langkah yang sengaja dimunculkan oleh pihak
inferior dalam konflik untuk dapat melakukan resolusi konflik yang diawali dengan

proses dialog dan negosiasi.
Di sisi lain, Miall memandang bahwa transformasi konflik adalah proses
pendekatan terhadap perubahan hubungan, perilaku, kepentingan, dialog dan konstitusi
dalam masyarakat yang mendukung keberlanjutan konflik kekerasan tersebut (Miall,
2004:4). Transformasi konflik adalah pendekatan komprehensif terhadap berbagai
dimensi yang bertujuan membangun kapabilitas dan mendukung perubahan struktural,
bukan untuk memfasilitasi hasil atau mencapai penyelesaian. Pendekatan terhadap
konflik dilakukan pada fase-fase sebelum dan sesudah terjadinya kekerasan, serta pada
penyebab dan konsekuensi konflik kekerasan yang biasanya berkembang melampaui
lokasi pertempuran (Miall, 2004:17).
Miall menjelaskan bahwa ada lima tipe transformasi konflik (Miall, 2004:9-10),

yaitu:
(1)

Transformasi Konteks – Perubahan dalam lingkungan terjadinya konflik yang
secara radikal dapat mengubah persepsi masing-masing pihak terhadap situasi
konflik dan motif-motifnya;

(2)

Transformasi Struktural – Struktur adalah pola hubungan antara aktor-aktor
dalam konflik dengan badan-badan dan institusi-institusi di sekitarnya yang
menentukan hubungan tersebut;

(3)

Transformasi Aktor – Aktor adalah entitas yang tersusun oleh serangkaian
kepentingan, tujuan dan identitas bersama, dibentuk oleh lingkungan sekitarnya
dan membentuk lingkungan tersebut melalui tindakannya;
5


(4)

Transformasi Isu – Bagaimana pihak-pihak yang berkonflik mereformulasi
posisi mereka terhadap isu-isu yang menjadi inti dari konflik tersebut; dan

(5)

Transformasi Personal / Elit – Perubahan perasaan atau pemikiran individual
para pemimpin dalam institusi-institusi pembuat kebijakan (decision makers)
pada saat yang kritis (crucial).

METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian eksplanatif untuk
menjelaskan objek penelitian, yaitu pengaruh intervensi North Atlantic Treaty
Organization (NATO) terhadap transformasi konflik sipil di Libya pada tahun 2011.

Ruang lingkup penelitian ini adalah pada tahun 2011, sejak terjadinya perang sipil di
Libya pada bulan Februari 2011 hingga berakhirnya Operation Unified Protector oleh
NATO di Libya pada bulan Oktober 2011. Penulis melakukan penelitian tersebut di
level analisa negara (state) dan kelompok (groups). Teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah studi pustaka (library research) dan menggunakan teknik analisa
kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini penulis menganalisis transformasi-transformasi yang terjadi
dari segi struktur, aktor dan isu dalam konflik sipil Libya antara periode sebelum
terjadinya intervensi NATO dibandingkan dengan periode setelah intervensi NATO
terjadi. Penulis tidak menganalisis transformasi-transformasi yang terjadi dari segi
konteks maupun individu / elit karena berada diluar level analisa negara dan kelompok.

6

Transformasi Struktural
Pengaruh intervensi NATO terhadap transformasi pola hubungan struktural
antara pihak Gaddafi dengan pihak oposisi dalam konflik sipil Libya dianalisis melalui
tiga variabel, yaitu:
(1)

Perubahan struktur power . Struktur power terkait dengan perbandingan power
antara pihak Gaddafi dengan pihak oposisi dalam konflik sipil Libya yang

diukur dari segi kapabilitas militer serta struktur perintah dan pengendalian
(command and control).
Dalam konflik sipil Libya pihak Gaddafi memiliki Angkatan Perang
Libya yang terdiri atas 50.000 personel angkatan darat (4.000 personel
diantaranya pasukan terlatih), 8.000 personel angkatan laut (4.000 personel
terlibat dalam konflik sipil Libya) dan 18.000 personel angkatan udara (Vira,
2011:22-31). Angkatan Perang Libya memiliki 500 tank, 1.500 kendaraan
berlapis baja, penembak roket, 2.000 buah artileri, beberapa kapal tonase dan
mobil amfibi, serta 100 pesawat tempur dan puluhan helikopter (Vira, 2011:2230). Selain itu, pihak Gaddafi memiliki personel polisi, paramiliter dan tentara
bayaran walaupun tidak diketahui secara pasti jumlahnya dan kontribusinya
tidak signifikan.
Selain kapabilitas militer, pihak Gaddafi memiliki struktur perintah dan
pengendalian yang dijabat oleh anggota keluarga Gaddafi. Sebagai contoh,
Khamis Gaddafi menjabat sebagai komandan pasukan militer terlatih 32nd
Brigade dan Mutassim Gaddafi menjabat sebagai Penasihat Keamanan Nasional

(Resolution 1970, 2011:8-10). Anak-anak Gaddafi tersebut memiliki peran
penting dalam mengkoordinir dan menyusun strategi bagi pasukan-pasukan
7


pihak Gaddafi. Pihak Gaddafi juga memiliki berbagai staf yang bertugas dalam
konflik sipil Libya, seperti Mayor Jendral Abu Bakr Yunis Jabir yang menjabat
sebagai Menteri Pertahanan Libya (Resolution 1970, 2011:8-10).
Sedangkan pihak oposisi memiliki kapabilitas militer rendah serta tidak
memiliki struktur perintah dan pengendalian dibandingkan dengan pihak
Gaddafi. National Transitional Council merupakan organisasi politis sehingga
tidak terlibat secara langsung dalam pertempuran, sedangkan National
Liberation Army (NLA) merupakan angkatan perang pasukan pemberontak yang

terdiri atas tentara mantan anggota pasukan Gaddafi yang mendukung oposisi,
para pemuda dan kelompok jihadist. Walaupun para tentara memiliki kapabilitas
militer lebih baik daripada para pemuda dan jihadist, tetapi jumlah personel
tentara sangat sedikit. Para pemuda yang merupakan mayoritas personel NLA
tidak memiliki pengalaman bertempur sama sekali, sedangkan jumlah maupun
kontribusi para jihadist tidak bisa diukur secara signifikan (Vira, 2011:42).
Setelah intervensi NATO, terjadi perubahan struktur power pihak
Gaddafi dalam konflik sipil Libya, yang diukur dengan indikator perubahan
kapabilitas militer serta perubahan struktur perintah dan pengendalian pihak
Gaddafi.
Pertama , kapabilitas militer pihak Gaddafi menurun karena banyak

pasukan pihak Gaddafi yang terbunuh oleh serangan udara NATO dan
hancurnya berbagai fasilitas militer pihak Gaddafi. Pada minggu pertama
Operation Unified Protector , NATO telah menghancurkan 30% dari Angkatan

Perang Libya melalui serangan udara, termasuk menghancurkan radar anti8

penerbangan, kendaraan tempur & artileri berat (International Center, 2011:28).
Pada akhir bulan Mei 2011, pasukan Gaddafi hanya tersisa 20% dari kapabilitas
awalnya (Vira, 2011:17). Dan pada tanggal 6 Juni 2011, NATO telah
menghancurkan 1.800 target militer, meliputi 100 situs yang digunakan oleh
Gaddafi untuk memerintahkan pasukannya, lebih dari 700 gudang amunisi serta
500 tank dan kendaraan tempur (Vira, 2011:18).
Kedua , pihak Gaddafi menghadapi kekosongan struktur perintah dan

pengendalian karena serangan udara NATO telah membunuh beberapa anak
Gaddafi yang memiliki posisi strategis. Sebagai contoh, pada tanggal 29
Agustus 2011 NATO membunuh Khamis Gaddafi di Tripoli. Serangan tersebut
juga menyebabkan struktur perintah dan pengendalian pihak Gaddafi terceraiberai karena kemudian Saif al-Islam melarikan diri ke Bani Walid dan Mutassim
Gaddafi melarikan diri ke Sirte (HRW, 2012:20).
Di sisi lain, intervensi NATO tidak menimbulkan perubahan struktur
power bagi pihak oposisi. Intervensi NATO tidak secara langsung meningkatkan

kapabilitas militer pihak oposisi karena NATO tidak melatih personil NLA.
Selain itu, dalam Operation Unified Protector NATO tidak mengirimkan
angkatan darat untuk bertempur bersama pihak oposisi. Intervensi NATO juga
tidak membantu menciptakan struktur perintah dan pengendalian yang baik bagi
pihak oposisi.
(2)

Perubahan dari hubungan asimetris menjadi simetris. Miall menjelaskan bahwa
hubungan tidak seimbang (asimetris) terjadi saat adanya dominasi pihak
mayoritas terhadap pihak minoritas dalam konflik (Miall, 2007:6). Sebelum
intervensi NATO, hubungan antara pihak Gaddafi dengan pihak oposisi dalam
9

konflik sipil Libya tergolong tidak seimbang (asimetris) karena pihak Gaddafi
lebih dominan daripada pihak oposisi dari segi persediaan dan akses terhadap
aset-aset militer serta pergerakan pasukan.
Sebelum intervensi NATO, pihak Gaddafi memiliki persediaan serta
akses terhadap senjata dan aset-aset militer karena memiliki berbagai gudang
senjata seperti di Tobruk, Cyrenaica dan Sabha (Garland, 2011:172). Pihak
Gaddafi juga menguasai kota-kota penghasil minyak seperti Ra’s Lanuf, Mersa
Brega dan Zawiya yang sangat dibutuhkan sebagai cadangan bahan bakar
kendaraan tempur (Garland, 2011:162). Selain itu, pihak Gaddafi memiliki akses
untuk membeli persenjataan atau menyewa tentara bayaran (mercenaries) dari
luar negeri. Di sisi lain, pihak oposisi tidak memiliki persediaan senjata maupun
aset-aset militer.
Setelah intervensi NATO melalui serangan udara serta dengan
diterapkannya embargo persenjataan dan no-fly zone, hubungan antara pihak
Gaddafi dengan pihak oposisi menjadi seimbang karena pihak Gaddafi
kehilangan persediaan dan akses terhadap senjata dan aset-aset militer. Selain
itu, pergerakan pasukan pihak Gaddafi terhambat setelah diterapkannya no-fly
zone.
Pertama , serangan udara NATO telah memaksa pasukan Gaddafi

mundur ke Sirte dan Bin Jawad sehingga pada akhir bulan Maret 2011 pasukan
oposisi berhasil menguasai kota minyak Mersa Brega dan Ra’s Lanuf tanpa
harus bertempur dengan pasukan Gaddafi (Garland, 2011:27). Dengan demikian,
pihak Gaddafi tidak lagi bisa mendapatkan bahan bakar bagi kendaraan tempur

10

pasukannya. Selain itu, NATO juga telah menghancurkan gudang amunisi milik
pihak Gaddafi di Sabha (Garland, 2011:172).
Kedua , dalam melaksanakan embargo persenjataan NATO mengawasi

wilayah perairan Libya seluas 61.000 nautical mil persegi. Selama pelaksanaan
embargo persenjataan, NATO telah mengawasi lebih dari 3.100 kapal laut,
memperbolehkan 300 kapal untuk melewati perairan dan melarang 11 kapal
untuk memasuki wilayah perairan Libya karena kapal tersebut maupun
muatannya dianggap dapat membahayakan masyarakat Libya ( Operation
Unified, 2011:1). Penulis berasumsi bahwa setelah diterapkannya embargo

persenjataan, pihak Gaddafi tidak memiliki akses untuk membeli persenjataan
ataupun menyewa tentara bayaran dari luar negeri.
Ketiga , dalam menerapkan no-fly zone NATO telah menghancurkan

pesawat-pesawat dan fasilitas penerbangan milik pihak Gaddafi karena dianggap
melanggar no-fly zone. NATO telah menyerang Angkatan Udara Libya dan
menghancurkan landasan udara Mitigia di Tripoli, Ghardabiya di Sirte, Al Jufra,
dan Sabah di tenggara Libya. Selain itu, NATO juga telah menhancurkan
berbagai helikopter milik pihak Gaddafi (Vira, 2011:30-31).
(3)

Perubahan dalam pasar kekerasan. Elwert menjelaskan bahwa pasar kekerasan
merupakan tindakan untuk memonopoli kekerasan dalam konflik yang muncul
dari tingkah laku ekonomis untuk memaksimalkan keuntungan dengan
menggunakan kekerasan (Elwert, 1999:2). Dalam konflik sipil Libya, penulis
menganalisis bahwa tidak terdapat pasar kekerasan karena pihak Gaddafi
maupun oposisi tidak menggunakan kekerasan untuk mendapatkan keuntungan
ekonomis. Akan tetapi, kedua pihak tersebut berkonflik untuk mencapai tujuan
11

politis. Tujuan politis pihak Gaddafi adalah mempertahankan kekuasaannya,
dibuktikan dengan pernyataan Gaddafi bahwa masyarakat yang tidak
mendukung pihaknya tidak berhak untuk hidup (Garland, 2011:10). Sedangkan
tujuan pihak oposisi adalah membangun pemerintahan yang lebih demokratis di
Libya (International Center, 2011:24). Setelah intervensi NATO, tidak terjadi
perkembangan pasar kekerasan karena tidak ada upaya dari pihak Gaddafi
maupun pihak oposisi untuk mendapatkan keuntungan ekonomis dengan
menggunakan kekerasan.
Transformasi Aktor
Pengaruh intervensi NATO terhadap perubahan keputusan, tujuan dan
pendekatan pihak Gaddafi maupun pihak oposisi terhadap konflik sipil Libya melalui
lima variabel, yaitu:
(1)

Perubahan kepemimpinan.
Sebelum intervensi NATO, pihak Gaddafi dipimpin Kolonel Muammar
Gaddafi dan dibantu oleh berbagai stafnya yang menempati posisi-posisi
strategis. Setelah intervensi NATO, terjadi perubahan kepemimpinan dalam
pihak Gaddafi dengan bentuk kekosongan kepemimpinan di berbagai posisi
strategis yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu karena terbunuhnya para pejabat
pihak Gaddafi serta karena para pejabat tersebut melarikan diri. Pada tanggal 25
hingga 30 April 2011 NATO membunuh seorang anak Gaddafi beserta tiga
orang cucu Gaddafi dalam penyerangan di Bab al-Azizia (Ulfstein, 2013:16).
Pada tanggal 29 Agustus 2011, NATO membunuh Khamis Gaddafi di Tripoli
dengan serangan udara. Kemudian, Saif al-Islam melarikan diri ke Bani Walid,

12

dan Mutassim Gaddafi melarikan diri ke Sirte untuk menghindari serangan
NATO dan pasukan pemberontak (HRW, 2012:20).
Pada akhirnya, pada tanggal 20 Oktober 2011, Abu Bakr Yunis dan
Kolonel Muammar Gaddafi meninggal dunia dalam pertempuran di Sirte (HRW,
2012:7). Kemudian, Mutassim Gaddafi dibunuh oleh pasukan pemberontak di
Misrata (HRW, 2012:4). Kematian Muammar Gaddafi, Abu Bakr Yunis dan
Mutassim juga menandai kekosongan di pihak Gaddafi.
(2)

Perubahan tujuan-tujuan.
Sebelum intervensi NATO, pihak oposisi tidak bertujuan untuk
membentuk pemerintahan sementara, tetapi hanya bertujuan menghimpun
gerakan pemberontakan di Libya sebagai gerakan politis (Garland, 2011:10).
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut pihak oposisi tidak mau meminta
bantuan pihak asing, dibuktikan dengan pernyataan juru bicara NTC Abdul
Hafiz Ghoza pada tanggal 27 Februari 2011 bahwa NTC tidak menghubungi
pemerintah-pemerintah negara lain dan tidak menginginkan intervensi asing di
Libya (Garland, 2011:116). Di sisi lain, tujuan pihak Gaddafi adalah untuk
memberantas segala upaya pemberontakan di Libya, dibuktikan dengan
pernyataan Gaddafi pada bulan Februari 2011 bahwa pihaknya akan
menindaklanjuti siapapun yang mengganggu perdamaian dan menimbulkan
kekacauan di Libya (Garland, 2011:9).
Setelah terjadi intervensi NATO, tujuan oposisi tetap untuk mewujudkan
demokratisasi di Libya, tetapi cara pihak oposisi mencapai tujuan tersebut
berubah. Pada tanggal 23 Maret 2013 NTC justru membentuk pemerintah
transisi sebagai badan eksekutif di Libya dan NTC direncanakan menjadi
13

lembaga legislatif dalam pemerintahan baru Libya (Garland, 2011:117). Selain
itu, pihak oposisi meminta pertolongan kepada pihak asing dibuktikan dengan
pernyataan Nouri Abdallah Abdel Ati, seorang anggota NTC di Misrata yang
meminta bantuan NATO untuk melindungi masyarakat sipil Libya pada tanggal
19 April 2011 (International Center, 2011:25).
Di sisi lain, setelah intervensi NATO tujuan pihak Gaddafi juga
mengalami perubahan. Jika sebelumnya pihak Gaddafi hanya bertujuan
memberantas gerakan-gerakan pemberontakan di Libya, setelah intervensi
NATO tujuan pihak Gaddafi juga meliputi mempertahankan wilayah Libya dari
serangan negara-negara anggota NATO. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan
Gaddafi bahwa pemberontakan terhadap pemerintahannya merupakan rencana
kolonialis dari berbagai negara asing, terutama Perancis, Amerika Serikat dan
Inggris untuk mengontrol minyak Libya dan memperbudak masyarakat Libya
(Garland, 2011:10).
(3)

Perubahan internal pihak-pihak
Sebelum konflik sipil Libya terjadi, pihak Gaddafi didukung oleh
menteri-menteri

dan staf pemerintahannya.

Banyak menteri

dan staf

pemerintahan Gaddafi yang melarikan diri karena menolak saat diperintahkan
Gaddafi untuk menyerang masyarakat sipil Libya. Setelah intervensi NATO,
banyak menteri maupun staf pemerintahan Gaddafi yang membelot untuk
bergabung dengan pihak oposisi. Berbagai pembelotan para menteri dan staf
pemerintahan Gaddafi kepada pihak oposisi tersebut merupakan perubahan
internal karena mengurangi keberadaan anggota pihak Gaddafi dan menambah
anggota pihak oposisi.
14

Sebelum intervensi NATO, Menteri Keadilan Libya Mustafa Abdul Jalil
mengundurkan diri pada tanggal 21 Februari 2011 dan Menteri Dalam Negeri
Libya Mayor Jendral Abdul Fatah Yunis membelot pada tanggal 22 Februari
2011 untuk mendukung pasukan pemberontak (Garland, 2011:33-34).
Pembelotan juga berlanjut pada periode setelah intervensi NATO terjadi. Pada
tanggal 30 Maret 2011 Pemerintah Inggris mengkonfirmasi bahwa menteri Luar
Negeri Libya, Musa Kusa telah membelot dan pergi ke Inggris. Selain itu, wakil
menteri luar negeri, kepala intelijen, menteri minyak, dan sekertaris General
People’s Congress juga membelot dan melarikan diri dari Libya (Garland,
2011:174). Pada akhir bulan Mei 2011 hanya tersisa 10 orang jendral yang
mendukung pihak Gaddafi (Vira, 2011:17). Kemudian 8 orang jendral pihak
Gaddafi melarikan diri ke Italy (Vira, 2011:21).
(4)

Perubahan dukungan terhadap pihak-pihak
Sebelum intervensi NATO terjadi terdapat masyarakat di beberapa kota
yang mendukung pihak Gaddafi maupun berada dalam kendali Gaddafi,
misalnya kota Sirte yang merupakan kampung halaman Gaddafi dan kota Tripoli
yang merupakan pusat pemerintahan Gaddafi (Garland, 2011:112). Selain itu,
pihak Gaddafi juga didukung oleh perusahaan maupun badan usaha negara
Libya berupa akses terhadap dana dan aset-aset yang digunakan pihak Gaddafi
untuk berbagai keperluan militer (Resolution 1973, 2011:7-8).
Setelah intervensi NATO, terjadi perubahan dukungan terhadap pihak
Gaddafi maupun oposisi. Pada bulan Juni 2011, dukungan terhadap pihak
oposisi mulai berkembang di kota-kota yang berada dibawah kekuasaan
Gaddafi, terutama di Tripoli (Vira, 2011:12). Pada tanggal 20 Agustus, pasukan
15

pemberontak berhasil menduduki Tripoli dan Bani Walid (Ulfstein, 2013:168).
Selanjutnya, pada tanggal 20 Oktober 2011 pasukan pemberontak menduduki
Sirte (Taylor, 2011:25). Banyak pendukung pihak Gaddafi yang terbunuh dalam
pertempuran di kota Sirte karena diserang oleh pasukan pihak oposisi dan
serangan udara NATO (HRW, 2011:6).
Selain itu, pihak Gaddafi juga kehilangan dukungan dari perusahaan
maupun badan usaha negara milik pemerintahan Libya. Hilangnya dukungan
tersebut disebabkan oleh kaburnya pemimpin perusahaan-perusahaan tersebut
dan dibekukannya aset-aset perusahaan berdasarkan Resolusi 1973 DK PBB.
Akibatnya, pihak Gaddafi tidak bisa mendapatkan dana untuk keperluan militer
dalam konflik sipil Libya.
(5)

Perubahan aktor-aktor. Dalam penelitian ini perubahan aktor-aktor dianalisis
melalui dua indikator, yaitu Angkatan Udara Libya tidak lagi berfungsi sebagai
angkatan perang dan terhentinya pergerakan tentara bayaran setelah blokade
perairan oleh NATO.
Pertama , Angkatan Udara Libya tidak lagi berfungsi sebagai angkatan

perang dalam konflik sipil Libya karena kehilangan kapabilitas militernya
setelah diserang oleh serangan udara NATO. Pada tanggal 25 Mei 2011, NATO
memberitakan bahwa Angkatan Udara Libya tidak lagi berfungsi sebagai
pasukan perang dalam konflik sipil Libya (Vira, 2011:49).
Kedua , pergerakan tentara bayaran (mercenaries) menuju Libya terhenti

setelah blokade perairan oleh NATO. Walaupun kontribusi tentara bayaran bagi
pihak Gaddafi tidak signifikan, sebelum intervensi NATO para tentara bayaran
terlibat dalam beberapa pertempuran, seperti di Al-Baida pada tanggal 18
16

Februari 2011 (2011:18). Saat NATO menerapkan embargo persenjataan di
Libya, NATO juga melakukan blokade perairan yang melarang pergerakan
tentara bayaran untuk memasuki Libya sebagaimana penerapan larangan
terhadap peredaran persenjataan ke Libya (Taylor, 2011:12).
Transformasi Isu
Penulis menganalisis bagaimana pihak Gaddafi maupun pihak oposisi
mereformulasi posisi mereka terhadap isu-isu yang menjadi inti dalam konflik sipil
Libya melalui empat variabel, yaitu:
(1)

Isu-isu yang saling berseberangan. Isu-isu yang saling berseberangan adalah
adanya pernyataan yang dipertentangkan kebenarannya oleh masing-masing
pihak dalam konflik. Dalam konflik sipil Libya, pihak Gaddafi maupun oposisi
saling menentang pernyataan dari kedua belah pihak tersebut.
Dalam konflik sipil Libya, pihak oposisi menyatakan diri sebagai satusatunya perwakilan resmi negara Libya, dibuktikan dengan pernyataan Mustafa
Abdul Jalil pada tanggal 5 Maret 2011 (International Center, 2011:22).
Pernyataan tersebut membuktikan bahwa pihak oposisi tidak mengakui
pemerintahan Gaddafi sebagai pemerintah resmi Libya. Di sisi lain, pihak
Gaddafi menganggap bahwa pemerintahannya adalah pemerintahan resmi Libya
yang tidak berniat untuk melukai masyarakat sipil Libya dan para pemberontak
oposisi adalah teroris yang berusaha memecah belah Libya (Garland, 2011:109).
Penulis menganalisis bahwa tidak terjadi perubahan isu yang
dipertentangkan tersebut setelah intervensi NATO dalam konflik sipil Libya
karena pihak Gaddafi dan pihak oposisi tetap saling menyatakan sebagai
perwakilan resmi negara Libya dan tidak mempercayai pihak lain.
17

(2)

Kompromi konstruktif. Kompromi konstruktif adalah upaya dialog maupun
negosiasi antara pihak-pihak yang berkonflik dengan tujuan mencapai resolusi
konflik secara damai, seperti gencatan senjata (ceasefire) maupun negosiasi.
Dalam konflik sipil Libya, terdapat upaya mediasi yang dilakukan oleh beberapa
negara untuk menginisiasi dialog antara pihak Gaddafi dengan pihak oposisi.
Tetapi, pihak oposisi selalu menolak upaya dialog tersebut sehingga tidak
menunjukkan progress signifikan dalam mencapai penyelesaian konflik secara
damai.
Beberapa upaya negosiasi diantaranya: pada tanggal 3 Maret 2011,
Presiden Venezuela Hugo Chavez menghubungi pihak oposisi dalam konflik
sipil Libya untuk mengadakan dialog damai dengan pihak Gaddafi Gaddafi
(Garland, 2011:157). Kemudian pada tanggal 11 April 2011, seorang delegasi
Afrika Selatan, menyarankan diadakannya gencatan senjata dan dialog antara
pihak oposisi dengan pihak Gaddafi. NTC menolak upaya perundingan damai
karena tidak mengharuskan Gaddafi untuk turun dari kekuasaannya saat proses
dialog berlangsung. Selain itu, pasukan pemberontak juga menolak upaya
perundingan damai tersebut karena tidak mengharuskan Gaddafi menarik
pasukannya dari medan perang serta tidak mewajibkan NATO menghentikan
serangan udara selama upaya perundingan berlangsung.
Pada tanggal 18 Maret 2011, Menteri Luar Negeri Libya Musa Kusa
yang mengumumkan gencatan senjata (ceasefire ) untuk menghindari serangan
helikopterpihak oposisi (Garland, 2011:24). Tetapi beberapa jam kemudian,
pihak Gaddafi tetap menyerang pasukan pemberontak di Misrata dan Ajdabiya
18

menggunakan artileri (Garland, 2011:14). Sehingga, upaya menginisiasi
gencatan senjata antara pihak Gaddafi dengan pihak oposisi gagal.
Di sisi lain, tidak ada upaya dari NATO untuk menginisiasi perundingan
damai antara pihak Gaddafi dengan oposisi. Menurut Sekertaris Jendral NATO,
Anders Fogh Rasmussen, kondisi konflik sipil Libya masih terlalu awal untuk
melakukan gencatan senjata karena mekanisme pengawasan yang efektif
terhadap gencatan senjata tersebut belum terbentuk (Ulfstein, 2013:165).
(3)

Perubahan isu-isu
Berkembangya isu demokratisasi dalam konflik sipil Libya dimunculkan
oleh pihak oposisi sejak awal upaya pemberontakan terhadap pihak Gaddafi.
(International Center, 2011:24). Upaya NTC membangun negara demokratis di
Libya dibuktikan dengan rencana NTC menyelenggarakan pemilihan umum
untuk memilih perwakilan legislatif maupun presiden dalam pemerintahan Libya
setelah Gaddafi jatuh dari kekuasaannya. Selain itu, NTC juga berencana
membentuk konstitusi nasional melalui referendum untuk membentuk partaipartai politik (International Center, 2011:24).
Setelah intervensi NATO terjadi perkembangan isu dalam konflik sipil
Libya karena NATO mengangkat isu perubahan rezim di Libya. Hal ini
dibuktikan dengan pernyataan Sekertaris Jendral NATO Anders Fogh
Rasmussen yang menginginkan terjadinya pergantian rezim di Libya (Vira,
2011:47). Selain itu di awal pelaksanaan Operation Unified Protector , Presiden
Amerika Serikat Barrack Obama bersama perwakilan dari negara-negara Eropa
dan NATO menyatakan bahwa Kolonel Gaddafi harus turun dari kekuasaannya
demi masa depan masyarakat Libya. Tujuan NATO untuk mengubah rezim di
19

pemerintahan Libya tersebut juga dibuktikan dengan serangan udara NATO di
Bab al-Azizia pada akhir bulan April 2011 yang membunuh seorang anak
Gaddafi beserta tiga orang cucu Gaddafi (Ulfstein, 2013:16).
(4)

Memutus atau menghubungkan kembali isu-isu.
Pada awal konflik sipil Libya isu yang penting bagi pihak Gaddafi adalah
memberantas segala upaya pemberontakan dari masyarakat Libya, dibuktikan
dengan pernyataan pihak Gaddafi yang berjanji untuk membersihkan setiap
rumah di Libya hingga gerakan pemberontakan bisa dihentikan. Selain itu,
Gaddafi juga menyatakan bahwa masyarakat yang tidak mendukungnya tidak
berhak untuk hidup (Garland, 2011:10).
Dengan terjadinya intervensi NATO penulis berasumsi bahwa Gaddafi
juga harus menghadapi isu baru, yaitu melindungi wilayah Libya dan aset-aset
militer pihak Gaddafi dari serangan udara NATO. Serangan udara NATO telah
menghancurkan berbagai aset militer pihak Gaddafi seperti markas-markas
militer, gudang amunisi, dan kendaraan tempur (Vira, 2011:18). Selain itu,
intervensi NATO juga telah menghancurkan berbagai infrastruktur strategis bagi
pihak Gaddafi seperti landasan udara Mitigia di Tripoli, Ghardabiya di Sirte, Al
Jufra, dan Sabah di tenggara Libya (Vira, 2011:31).

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian yang dilakukan oleh penulis terkait dengan pengaruh intervensi
NATO terhadap transformasi konflik sipil Libya pada tahun 2011 tersebut telah
membuktikan hipotesis yang diajukan oleh penulis bahwa intervensi NATO melalui
20

Operation Unified Protector telah menyebabkan terjadinya transformasi struktural,

aktor dan isu dalam konflik sipil Libya. Dari dua belas variabel transformasi struktural,
aktor dan isu, intervensi NATO menyebabkan terjadinya transformasi pada sembilan
variabel.
Pertama , transformasi struktural terjadi dalam dua variabel yang meliputi:

perubahan struktur power yang diukur dengan menurunnya kapabilitas militer pihak
Gaddafi dan terjadinya perubahan struktur perintah dan pengendalian pihak Gaddafi;
serta perubahan dari hubungan asimetris menjadi simetris karena hilangnya persediaan
dan akses pihak Gaddafi terhadap persenjataan dan karena terhambatnya pergerakan
pasukan Gaddafi setelah diterapkannya no-fly zone.
Kedua , transformasi aktor terjadi dalam lima variabel yang meliputi: perubahan

kepemimpinan karena terbunuhnya Kolonel Muammar Gaddafi dan berbagai stafnya;
perubahan tujuan-tujuan karena pihak oposisi berencana membangun pemerintahan baru
di Libya dan karena pihak Gaddafi menyatakan perlawanan terhadap NATO; perubahan
internal pihak-pihak kerena banyak menteri maupun staf pihak Gaddafi yang membelot
dan mendukung oposisi; perubahan dukungan terhadap pihak-pihak yang diukur dengan
berkurangnya dukungan masyarakat dan perusahaan milik Libya terhadap pemerintahan
Gaddafi; serta perubahan aktor-aktor yang diukur dengan tidak berfungsinya Angkatan
Udara Libya sebagai angkatan perang dan terhentinya pergerakan tentara bayaran
setelah diterapkannya embargo senjata oleh NATO.
Ketiga , transformasi isu terjadi dalam dua variabel yang meliputi: perubahan

isu-isu yang dibuktikan dengan pernyataan Sekertaris Jendral NATO yang
menginginkan pergantian rezim di Libya; serta memutus atau menghubungkan kembali

21

isu-isu yang dibuktikan dengan kebijakan Gaddafi menghubungkan isu intervensi
NATO sebagai rencana kolonialis.
Di sisi lain, dari dua belas variabel transformasi struktural, aktor dan isu,
intervensi NATO tidak menyebabkan terjadinya transformasi pada tiga variabel.
Pertama , tidak terjadi transformasi pada salah satu variabel dari transformasi struktural

yaitu perubahan dalam pasar kekerasan karena dalam konflik sipil Libya pihak Gaddafi
maupun pihak oposisi tidak menggunakan kekerasan untuk mendapatkan keuntungan
ekonomis. Kedua , tidak terjadi transformasi pada dua variabel dari transformasi isu,
yaitu: isu-isu yang saling berseberangan karena pihak Gaddafi maupun pihak oposisi
tetap mengklaim pihaknya sebagai perwakilan resmi Libya; serta tidak terjadi
perubahan dalam kompromi konstruktif karena intervensi NATO di Libya tidak
memfasilitasi upaya negosiasi maupun gencatan senjata untuk menyelesaikan konflik
secara damai.
Saran
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan
substansial maupun teknis yang dapat dikembangkan dalam penelitian-penelitian
selanjutnya. Penelitian ini hanya terbatas dari segi ruang lingkup penelitian, yaitu
pengaruh intervensi NATO terhadap transformasi konflik sipil Libya. Padahal,
intervensi NATO bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi
pada konflik sipil di Libya.
Selain itu, penelitian ini hanya membahas tentang periode konflik sipil di Libya
sejak bulan Februari hingga Oktober 2011. Penulis menyarankan agar penelitian
selanjutnya menjelaskan lebih terinci tentang kondisi faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya konflik sipil Libya pada bulan Februari 2011 maupun progres demokratisasi
22

di Libya setelah bulan Oktober 2011. Penelitian ini juga dapat dikembangkan lebih
lanjut dengan menggunakan level of analysis individu dalam menganalisis aktor-aktor
yang terlibat dalam konflik sipil Libya.
Dalam penulisan penelitian ini penulis menghadapi beberapa kendala teknis.
Kendala utama dalam penulisan penelitian ini adalah keterbatasan sumber referensi
yang dapat diakses oleh penulis. Sehingga, penelitian ini tidak bisa menganalisis
pengaruh intervensi NATO terhadap transformasi konflik sipil Libya dengan data-data
yang lebih terinci. Pada penelitian selanjutnya yang serupa, penulis menyarankan untuk
mencari berbagai referensi tambahan yang relevan.

DAFTAR RUJUKAN
Bartos, O. dan Wehr, P. (2002) Using Conflict Theory. Cambridge: Cambridge
University Press.
Elwert, G. (1999) Intervention in Markets of Violence [online] Tersedia di:
http://www.oei.fu-berlin.de/en/projekte/cscca/downloads/ge_pub_
marketsofviolence.pdf [Diakses pada: 23 Maret 2013]
Francis, D. (2002) People, Peace and Power – Conflict Transformation in Action .
London: Pluto Press.
Garland, L. (2012) 2011 Libyan Civil War . Delhi: White Word Publications.
HRW (2012) Death of a Dictator – Bloody Vengeance in Sirte [online] Human Rights
Watch.
Tersedia
di:
www.hrw.org/sites/default/files/reports/
libya1012webwcover_0.pdf [Diakses pada: 28 Mei 2013]
International Center for the Study and Research into Terrorism and assistance to the
victims of Terrorism (2011) Libya: An Uncertain Future – Report on a Fact
Finding Mission to Assess Both Sides of the Libyan Conflict [online] CIRETAVT. Tersedia di: www.iran-bulletin.org/.../ LibyaReport201105 .pdf [Diakses
pada: 12 Januari 2013]
Last Air Mission of Unified Protector concluded . (2011) [online] North Atlantic Treaty
Organization. Tersedia di: http://www.nato.int/cps/en/natolive/ news_80133.htm
[Diakses pada: 19 Maret 2013]
23

Miall, H. (2004) Conflict Transformation: A Multi-Dimensional Task [online] Berghof
Research Center for Constructive Conflict Management. Tersedia di:
http://www.berghof-handbook.net/documents/publications/miall_ handbook.pdf
[Diakses pada: 1 Februari 2013]
Miall, H. (2007) Conflict Transformation Theory and European Practice [online] Sixth
Pan-European Conference on International Relations, Turin 12-15 September
2007.
Tersedia
di:
http://www.turin.sgir.eu/uploads/Miallconflict_transformation_theory_and_european_practice.pdf [Dikses pada: 1
Februari 2013]
Nato and Libya. (2011) [online] North Atlantic Treaty Organization. Tersedia di:
http://www.nato.int/cps/en/natolive/topics_71652.htm
[Diakses
pada
3
September 2012]
Operation Unified Protector Final Mission Stats. (2011) [online] North Atlantic Treaty
Organization. Tersedia di: http://www.nato.int/.../pdf/pdf.../ 20111108_111107factsheet_up_factsfigures [Diakses pada 28 Mei 2013]
Resolution 1970. (2011) [online] United Nations Security Council. Tersedia di:
http://www.un.org/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/RES/1970(2011)
[Diakses pada: 2 Januari 2013]
Resolution 1973. (2011) [online] United Nations Security Council. Tersedia di:
http://www.un.org/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/RES/1973(2011)
[Diakses pada: 2 Januari 2013]

Taylor, C. (2011) Military Operations in Libya [online] House of Commons Library.
Tersedia di: http://www.parliament.uk/briefing-papers/SN05909 .pdf [Diakses
pada: 28 Mei 2013]
Ulfstein, G. dan Christiansen, H. (2013) The Legality of The NATO Bombing in Libya
[online] International and Comparative Law Quarterly. Tersedia di:
http://journals.cambridge.org/abstract_S0020589312000565 [Diakses pada: 28
Mei 2013]
Vira, V. (2011) The Libya Uprising: An Uncertain Trajectory [online] Center for
Strategic & International Studies. Tersedia di: http://csis.org/files/
publication/110620_libya.pdf [Diakses pada: 1 Februari 2013]

24