dampak KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENYANDANG

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENYANDANG DIFABEL UNTUK
MENINGKATKAN KEMANDIRIAN

Abstrak
Tidak mudah bagi penyandang difabel hidup di tengah lingkungan masyarakat karena
masih banyak masyarakat yang memandang dengan sebelah mata bahkan mereka
menganggap bahwa penyandang difabel merupakan aib yang harus dijauhi, perlakuan ini
diperparah dengan kurangnya perhatian pemerintah terhadap penyandang difabel sehingga
hak-hak penyandang difabel tidak dapat terpenuhi, masih banyak diskriminasi yang diterima
seperti dalam bidang pendidikan, pekerjaan, aksebilitas. Pemerintah harus membuat
kebijakan-kebijakan yang dapat melindungi hak-hak kaum difabel agar mereka bisa hidup
mandiri selayaknya masyarakat yang normal pada umumnya.
Not easy for people with disabilities living in the community environment because
there are many people who look to the eye even they assume that persons with disabilities is a
disgrace that should be shunned, this treatment is compounded by the lack of government
attention to persons with disabilities so that the rights of persons with disabilities can not be
met , there are still many who received such discrimination in education, employment,
accessibility. The government should create policies that can protect the rights of people with
disabilities so they can live independently should a normal society in general.

Kata Kunci : Difabel, kebijakan pemerintah


PENDAHULUAN
Difabel terbagi dalam cacat mental, cacat fisik, cacat mental dan fisik yang meliputi
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunalaras, tunadaksa, berbakat, dan anak berkesulitan
belajar, serta anak dengan kecacatan ganda, dimana mereka merupakan orang yang relatif
mengalami hambatan dalam perkembangan, maupun dalam kariernya. Berbagai macam
masalah sering dihadapi mereka, baik masalah dibidang akademik, psikologis, maupun
masalah social lainnya.(Tin suharni, 2009:1)
Difabel bukan merupakan sebuah pilihan hidup, tetapi merupakan hak seutuhnya dari
maha pencipta. Difabel bukan merupakan kaum yang tidak berguna, mereka masih
mempunyai potensi yang dapat disumbangkan pada masyarakat, bangsa dan negara.
Namun masih banyak perlakuan yang diskriminatif terhadap kaum difabel baik dari
masyarakat , instansi maupun dari pemerintah sendiri. Hak-hak kaum difabel yang antara lain
berupa hak memperoleh pendidikan, kesempatan kerja atau pengembangan ekonomi,
meggunakan fasilitas umum dan mendapatkan informasi, perlindungan hukum, peran politik,
jaminan sosial, dan kesehatan serta pengembangan budaya sering terabaikan.
Pemerintah telah membuat kebijakan dengan membuat peraturan perundang-undangan
tentang hak-hak kaum difabel seperti UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia , UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 4 Tahun 1997 pasal 14
tentang hak pekerjaan, pemerintah juga telah meratifikasi konvensi hak-hak kaum Difabel

yang tertuang dalam UU No. 19 tahun 2011. Tetapi kebijakan tersebut belum bisa optimal
karena masih banyak pelanggaran terhadap UU tersebut sehingga kaum difabel masih banyak
yang tidak bisa menikmati hak-hak mereka.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan Pemerintah untuk mewujudkan hak-hak kaum
difabel antara lain, dengan mengontrol atau mengawasi pelanggaran dengan memberikan
sangsi yang tegas terhadap pihak yang melanggar kebijakan tersebut kemudian pemerintah
memberikan fasilitas yang memadai kepada kaum difabel untuk mengaktualisasikan diri
sehingga mereka bisa hidup mandiri.

Istilah difabel merupakan pengindonesian dari kependekan istilah different abilities
people ( orang yang berkemampuan berbeda). Pemakaian difabel dapat dimaksudkan sebagai
kata eufimisme, yaitu penggunaan kata yang memperhalus istilah penyandang cacat dengan
istilah difabel, masyarakat diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya , yang semula
memandang kondisi cacatatautidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan
menjadi pemahaman terhadap difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang
mampu melakukan aktifitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula. Undang –
Undang No. 4 Tahun 1997 mendefinisikan Difabel adalah setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari difabel fisik, difabel mental,
dan difabel fisik dan mental.

Di Indonesia berdasar pada departemen sosial, terdapat 6.000.000 difabel. Atau
sekitar 3 persen dari 200.000.000 penduduk. Namun berdasar pada perhitungan WHO, ada
sekitar 10,5 juta penyandang cacat di Indonesia (sekitar 5,5%). Tentu saja angka angka akan
terus bertambah, karena banyak di tengah masyarakat orang difabel disembunyikan karena
rasa malu, hingga luput dari penghitungan. Belum lagi karena gelombang tsunami, di Aceh
dan Pangandaran, serta gempa di Jogja, jumlah orang difabel jelas menjadi lebih besar
(Damartoto, 2005)
Tidak mudah bagi kaum difabel hidup dalam masyarakat karena masih banyak
masyarakat menganggap jika keberadaan kaum disabilitas ini sebagai sesuatu hal yang
merepotkan. Ada yang menganggap keberadaan mereka sebagai aib keluarga, biang masalah,
hingga kutukan akan sebuah dosa yang pada akhirnya semakin memojokan disabilitas dari
pergaulan masyarakat.

Diskriminasi Terhadap Penyandang Difabel

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.4 tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat, kaum difabel merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai hak,
kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya di segala aspek
kehidupan dan penghidupan, Akan tetapi Undang-Undang Republik Indonesia No.4 tahun
1997 tentang Penyandang Cacat ini belum terimplementasikan dengan baik di masyarakat.

(Demartoto, 2005:2).
Padahal menurut B.Hestu Penegakkan hak asasi manusia merupakan mata rantai yang
tak terputus dari prinsip demokrasi, kedaulatan rakyat, dan negara hukum. Tanpa adanya
penghargaan terhadap hak asasi manusia, mustahil pelaksaan pemerintahan yang
demokratis dan berkedaulatan rakyat dapat terwujud.( B. Hestu. C. Handoyo, 2009:383)
Masih banyak pelanggaran yang dilakukan berbagai pihak terhadap kaum difabel
misalnya saja dalam bidang pekerjaan, dalam perekrutan CPNS dimana persyaratan untuk
mengikuti tes harus sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter Rumah
Sakit Pemerintah atau Swasta.(benni indo.blogspot) contoh lain dalam lapangan pekerjaan,
masih banyak perusahan-perusahaan di Indonesia memandang “miring” atas kemampuan
kerja para disablitas ini. Para penerima kerja di perusahaan-perusahaan masih menganggap
kemampuan bekerja orang-orang Difable, masih dibawah rata-rata orang normal. Bahkan,
tidak banyak dari penerima kerja tersebut berpikiran, perusahaan akan mendapatkan kesulitan
dari segi waktu, financial dan lain sebagainya, jika menerima pegawai yang hanya
mempunyai keterbatasan tertentu. Arya Indrawati menyatakan ‘kuota satu persen’ bagi
penyandang cacat seakan masih menjadi mitos. Menurutnya, banyak perusahaan yang meski
mempekerjakan lebih dari 100 orang, ternyata tak mempekerjakan satu orang pun
penyandang cacat.(aryaindrawati.blogspot)
gedung-gedung fasilitas publik di lingkungan pemerintahan masih minim bagi kaum
difabel. Papan penunjuk di tempat pelayanan publik juga belum menggunakan huruf braile

untuk memudahkan mereka yang tuna netra. Di bidang pendidikan, sekolah inklusi pun
belum sepenuhnya berpihak pada kaum difabel.(winarta.blogspot)
Dalam skala Internasional, perumusan kebijakan dan undang-undang tentang
aksesibilitas telah dikumandangkan dalam UN-ESCAP dengan program dekade penyandang
cacat (1983-1992 dan 1993-2002); Deklarasi Sapporo (2002) dan Biwako Milenium (2003),
yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan dan melindungi hak-hak kaum difabel dan
lansia di dalam mendapatkan kesempatan yang setara untuk menikmati lajunya pembangunan
guna

meningkatkan

kehidupan

dan

penghidupannya

(Setyaningsih.blogspot).

Namun banyaknya keluhan mengenai kurangnya kemudahan akses fasilitas publik bagi

mereka yang berkebutuhan khusus mengindikasikan masih kurangnya komitmen penyedia
pelayanan publik yang menjangkau seluruh pihak khususnya bagi kaum difabel. Masih
banyak ditemui pembangunan layanan publik maupun bangunan-bangunan yang banyak
tersebar diberbagai daerah di Indonesia berupa gedung pemerintahan, instansi pendidikan,
maupun tempat layanan publik lainnya masih sering tidak diikuti pembangunan yang
menunjang tersedianya layanan yang mendukung bagi para difabel.
Menurut Abraham Maslow manusia memiliki lima kebutuhan mendasar. Kelima
kebutuhan tersebut disusunnya bertingkat-tingkat membentuk piramida dimana kebutuhan
akan aktualisasi diri atau diakui keberadaannya berada di tingkat paling atas
(hanifahhasnur.blogspot). Teori ini apabila dikaitkan dengan permasalahan disabilitas, maka
wajar bila kita menemukan permasalahan ini belum menemukan titik terang sampai saat ini,
karena kaum difabel di negeri kita masih dipandang sebagai orang yang terpisah dari badan
masyarakat, padahal sebenarnya mereka masih memiliki kemampuan lain disebalik
kekurangannya itu yang hendaknya dioptimalkan potensinya selain untuk membantu mereka
hidup mandiri juga guna membuat mereka merasa hidup dalam kehidupan mereka. Mereka
adalah bagian dari masyarakat yang tidak bisa dipisahkan dari tujuan pembangunan yaitu
meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai aset penting dalam pembangunan.
(hanifahhasnur.blogspot)

Kebijakan Pemerintah Yang Mengatur Hak Kaum Difabel

Sebenarnya Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan untuk pemenuhan hak kaum
difabel antara lain dalam hal :

Pendidikan
Dalam membela dan menjamin hak pendidikan bagi difabel, berbagai kebijakan telah
dilakukan oleh pemerintah, di antaranya membuat undang-undang tentang hak pendidikan
bagi difabel yaitu undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang berbunyi
bahwa “setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk

menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa
percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan
bernegara.” Undang-undang ini menyatakan sacara jelas tentang hak-hak difabel, termasuk
hak pendidikan.
Selanjutnya undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberikan layanan dan kemudahan,
serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi. Dengan demikian, difabel juga termasuk dalam undang-undang ini. Untuk
mewujudkan hak tersebut, pemerintah juga membuatkan sekolah khusus bagi difabel. Maka
dibuatlah Keputusan Mendikbud No. 0491/U19992 tentang Pendidikan Luar Biasa, dari

tingkat Taman Kanak-Kanak sampai tingkat Menengah

Pekerjaan
Difabel, sebagaimana manusia biasanya, mereka juga memiliki kebutuhan hidup yang
harus dipenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mereka juga butuh pekerjaan agar tidak
hanya bergantung kepada orang lain. Karena sejatinya, mereka juga dapat melakukan sesuatu
yang menghasilkan uang. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR sudah menerbitkan UU
tentang difabel No. 4 Tahun 1997. Khusus mengenai aksebilitas kerja, UU ini bahkan
menentukan bahwa perusahaan negara dan swasta memberi kesempatan kepada difabel untuk
bekerja. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 14 UU difabel bahwa sebuah perusahaan harus
mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 orang difabel untuk tiap 100 karyawan.

1.

Fasilitas Bangunan Publik

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang difabel yang dilanjutkan dengan
Keputusan Menteri (Kepmen) Pekerjaan Umum (PU) Nomor 468 Tahun 1998 tentang
Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan serta Kepmen
Perhubungan Nomor 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas difabel dan Orang Sakit pada

Sarana dan Prasarana Perhubungan. Dalam Kepmen PU dan Kepmen Perhubungan
disebutkan secara rinci bagaimana supaya bangunan, seperti pedestrian, jembatan

penyeberangan, telepon umum, dan sektor transportasi, dapat diakses secara aman oleh para
difabel.
Selain Undang-Undang tersebut Pemerintah juga telah meratifikasi konvensi hak-hak
penyandang cacat yang disepakati oleh 146 negara di PBB pada tahun 2007. Ratifikasi ini
tertuang dalam UU no.19 tahun 2011. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Konvensi
Internasional Hak-Hak Penyandang Cacat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3, meliputi :
1. Penghormatan atas martabat yang melekat, otoritas individual termasuk kebebasan untuk
menentukan pilihan dan kemandirian orang-orang;
2. Nondiskriminasi
3. Partisipasi dan keterlibatan penuh dan efektif dalam masyarakat
4. Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan orang-orang penyandang cacat sebagai
bagian dari keragaman manusia dan rasa kemanusiaan;
5. Kesetaraan kesempatan
6. Aksesibilitas
7. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; dan
8. Penghormatan atas kapasitas yang berkembang dari anak-anak penyandang cacat dan
penghormatan atas hak anak-anak penyandang cacat untuk melindungi identitas mereka.

Upaya Untuk Meningkatkan Kemandirian
Pendidikan inklusi
Pendidikan Inklusi gabungan pend. Regular dan pend. Khusus kedalam satu system
persekolahan yang dipersatukan untukmempertemukan perbedaan kebutuhan semua siswa.
(mulyono.blogspot)

Salah

satu

kesepakatan

Internasional

yang

mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on
the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan
pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa
setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan

inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya
adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam
kehidupan masyarakat.(mulyono.blogspot)

1. Meningkatkan partisipasi difabel dalam penyusunan berbagai kebijakan.
Partispasi publik merupakan kegiatan untuk mempengaruhi keputusan pemerintah,
tanpa melihat bentuk, sifat dan hasil dari partisipasi yang dilakukannya (Saifudin, 2009: 18).
Sedangkan menurut (Miriam budiardjo, 2009:367) partisipasi kegiatan seseorang atau
kelompok orang untuk ikut serta secar aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan
memilih pimpinan Negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi
kebijakan pemerintah (publik policy).
Kebijakan publik yang terbaik adalah kebijak publik yang terbaik adalah kebijakan
yang mendorong setiap warga Negara masyarakat daya saingnya masing-masing, dan bukan
semakin menjeruskan kedalam pola ketergantungan.Kebijakan publik adalah sebagai
manajemen

pencapaian

tujuan

nasional,

yaitu:

• Kebijakan publik mudah untuk dipahami, krena makna nya adalah “hal-hal yan dikerjakan
untuk mencapai tujuan nasional”
• Kebijakan publik mudah diukur karena ukurannya jelas yakni sejauh mana kemajuan
pencapaiancita-citasudahditempuh.(RiantNugroho,2003:50)

Banyaknya permasalahan yang ada pada penyandang difabel karena tidak dilibatkannya
difabel pada pembuatan peraturan atau pengambilan keputusan dan kebijakan. Dengan
melibatkan para difabel dalam perumusan kebijakan akan lebih optimal karena para difabel
lebih tahu apa yang dinginkan dan dibutuhkan mereka. Difabel harus diposisikan sebagai
kelompok yang lebih mengetahui yang terbaik bagi mereka, dan karenanya, ruang-uang
partisipasi bagi difabel harus dibuka di tingkat pengambil kebijakan. Dalam hal ini,
organisasi-organisasi difabel, barangkali bisa menjadi infrastruktur yang akan secara efektif
menampung aspirasi para anggotanya, yang selanjutnya dapat disuarakan di tingkat
pengambil kebijakan.
2. Memberikan Pelantihan Berwirausaha
Kaum Difabel seharusnya tidak hanya diberi kesempatan untuk bisa bekerja di
Perusahaan tetapi didorong untuk menjadi Wira Usaha karena lapangan kerja yang tersedia
tentunya belum tentu dapat menampung semua kaum difabel yang membutuhkan pekerjaan.

Dengan berwirausaha justru akan lebih mendorong kreatifitas mereka dan juga mereka lebih
leluasa dalam pengaturan waktu kerja dan cara kerja mereka sendiri dan tidak terikat d an
tergantung pada tempat mereka bekerja.Wirausaha menjadi pilihan yang tepat untuk kaum
difabel, dan tidak hanya tergantung pada lapangan pekerjaan yang ada. Untuk itu Pemerintah
harus bisa memberikan dukungan berupa sarana dan prasarana termasuk pelatihan wirausaha
termasuk adanya pinjaman lunak untuk modal usaha mereka dan memeberikan pelatihan atau
seminar juga aplikasi nyata dari kewirausahaan.
Dengan memberikan banyak alternatif dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi kaum
difabel untuk bisa hidup mandiri , produktif, berkarya dan berprestasi tentunya akan sangat
membantu mereka untuk menemukan dan meraih apa yang menjadi impian, cita-cita dan
juaga harapan dan membuat mereka tetap menjadi pribadi yang bermanfaat ditengah
keterbatasan fisik mereka. Dan diharapkan kaum difabel tidak merasa dideskriminasikan lagi
serta mendapatkan kebebasan yang seluas-luasnya dan kesamaan hak bagi kaum difabel
dalam segala bidang baik dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan publik serta politik dan
lain sebagainya.

PENUTUP

Difabel juga merupakan manusia seperti pada umumnya mereka juga mempunyai
keperluan yang sama seperta halnya manusia yang lain, tetapi mereka banyak mendapat
perlakuan yang berbeda dari masyarakat ataupun pemerintah,b banyak hak-hak mereka yang
dilanggar diberbagai bidang seperti pendidikan , pekerjaan maupun pelayanan publik padahal
pemerintah telah membuat beberapa kebijakan seperti membuat Undang-Undang tentang
hak-hak kaum difabel baik dalam bidang pendidikan , pekerjaan maupun aksebilitas
pelayanan publik dan juga telah meratifikasi konvensi hak-hak kaum difabel yang diharapkan
dengan kebijakan tersebut kaum difabel mendapat pelayanan yang baik sehingga mereka bisa
hidup mandiri , namun sayangnya kebijakan tersebut belum bisa terimplementasi dengan
optimal karena masih banyak pelanggaran yang dilakukan dari berbagai pihak , pelanggaran
tersebut terjadi karena kurangnya pengawasan dari pemerintah dan tidak adanya sangsi yang
tegas yang membuat banyak pelanggaran terhadap hak-hak kaum difabel. Dari berbagai
pelanggaran tersebut banyak kaum difabel tidak mendapat perlakuan ataupun hak mereka
dengan baik dan hal inilah yang menyebabkan kehidupan mereka tidak bisa mandiri dan
selalu bergantung pada orang lain sehingga kaum difabel rentan dengan kemiskinan.
Pemerintah seharusnya mengontrol secara langsung atas pelaksanaan undang-undang
tersebut agar tidak hanya berhenti pada selembar kertas saja, tetapi terwujud pada kehidupan
nyata. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan sangsi yang tegas terhadap pelanggaran
undang-undang tersebut. Diharapkan dengan upaya tersebut tidak terjadi pelanggaran
terhadap hak kaum difabel sehingga mereka bisa hidup mandiri.

DAFTAR RUJUKAN

Al Amin, ikhwan. 3 Desember 2013. Hak-hak yang belum dipenuhi bagi kaum difabel di
Indonesia. (online),(nimalana whki.wordpress.com) diakses 14 Maret 2014.
Poer,

blontank.1

April

2013.Sikap

terhadap

Difabilitas.

(online),

(http://sosbud.kompasiana.com). Diakses 14 Maret 2014
Puji, ida. 16 Desember 2009. Mari dukung Ratifikasi Konvensi Hak Difabel.(online),
(www.Wikimu.com) diakses 15 Maret 2014
(http://www.bphn.go.id/hakkaumdifabel) diakses 15 Maret 2014
(Febria1990.blogspot.com/pendidikan inklusi) diakses 28 April 2014
www.detikhot.com/index.ohv/mobile. read/tahun/2005 - di akses pada 15 April 2014
Pendidkan

Inklusi

terhadap

Anak

Berkebutuhan

www.samnj.sch.id, diakses pada 15 April 2014

Khusus,

dalam