PEMBELAJARAN SEJARAH DI SMK DALAM KONTEK

PEMBELAJARAN SEJARAH DI SMK DALAM KONTEKS
GLOBALISASI1
Oleh: Miftahul Habib Fachrurozi
(Mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah UNS. Email:
habibhmps1@gmail.com)
ABSTRAK
Pendidikan termasuk pendidikan kejuruan (SMK) memiliki peran strategis
dalam perkembangan suatu bangsa. Perkembangan pendidikan kejuruan harus
sesuai dengan perkembangan zaman. Proses pembelajaran di pendidikan kejuruan
saat ini harus sesuai dengan tuntutan era global. Pendidikan kejuruan harus
mampu membentuk karakter peserta didik yang siap dan mampu mengahadapi
persaingan di era global. Pembelajaran sejarah di pendidikan kejuruan juga harus
mampu membentuk karakter siswa yang sesuai dengan tuntutan tersebut.
Pembelajaran sejarah di pendidikan kejuruan harus melingkupi beberapa
aspek; 1) Pembelajaran sejarah di pendidikan kejuruan harus menanamkan nilainilai serta karakter kepada peserta didik agar siap menghadapi persaingan di era
global, 2) Pembelajaran sejarah di sekolah kejuruan harus mampu
mengedepankan aspek lokalitas sehingga peserta didik tidak kehilangan jati
dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Untuk mengaplikasikan aspek-aspek tersebut pembelajaran sejarah di
pendidikan kejuruan idealnya dikembangkan berdasarkan paradigma
konstruktivisme. Pembelajaran sejarah dengan paradigma konstruktivisme

memungkinkan siswa untuk menggali pengetahuan sendiri. Selanjutnya siswa
diharapkan mampu memahami serta memberi makna dari pengatahuan yang
mereka dapatkan. Dengan demikian, pembelajaran sejarah di pendidikan kejuruan
harus lebih menekankan pada proses sehingga siswa mampu memiliki
pengetahuan serta karakter yang sesuai dengan pengalaman yang dimiliki. Proses
pembelajaran inilah yang diharapkan mampu membentuk karakter peserta didik
yang siap menghadapi persaingan di era global.
Kata kunci: Pembelajaran Sejarah, SMK, Globalisasi

1

Disampaikan sebagai makalah pendamping dalam Seminar Nasional Pendidikan Sejarah
UNY tanggal 19 Oktober 2016

Pengantar
Dunia pada masa kini sedang memasuki era globalisasi. Globalisasi
merupakan suatu kondisi dunia yang ditandai dengan menghilangnya sekat
teritorial akibat perkembangan teknologi serta komunikasi (Hermanu, 2013: 5).
Globalisasi juga ditandai dengan semakin ketatnya persaingan antar negara dalam
segala bidang terutama ekonomi. Arus globalisasi yang semakin deras menuntut

seluruh masyarakat dunia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.
Indonesia tidak terelakkan lagi menjadi bagian dari proses perubahan tersebut.
Pengaruh globalisasi di Indonesia menyentuh berbagai sektor kehidupan
tidak terkecuali pendidikan. Pendidikan memiliki peran strategis dalam
menghadapi arus globalisasi yang semakin deras. Peran strategis dunia pendidikan
ini tidak terlepas dari fungsi pendidikan untuk mempersiapkan sumber daya
manusia (SDM) yang unggul. Oleh karena itu, pendidikan harus mampu
mempersiapkan diri dalam persaingan di era global. Pendidikan diharapkan
mampu menghasilkan SDM yang unggul sehingga dapat meningkatkan daya
saing bangsa Indonesia di dunia. Apabila dunia pendidikan gagal menciptakan
SDM yang unggul, bisa dipastikan bangsa Indonesia akan semakin tertinggal
dalam persaingan di era global.
Pendidikan kejuruan atau SMK di Indonesia memiliki posisi yang sangat
penting dalam menciptakan SDM yang unggul tersebut. SMK memiliki
kekhususan apabila dibandingkan dengan pendidikan menengah pada umumnya.
SMK memiliki tanggung jawab untuk mempersiapkan peserta didik agar siap
memasuki dunia kerja setelah menyelesaikan proses pendidikannya. SMK harus
mampu membekali peserta didik dengan hardskill dan softskill yang mampu
menjawab tantangan di dunia kerja. Persaingan tenaga kerja yang semakin ketat
pada era globalisasi ini menuntut pendidikan kejuruan berbenah dalam

menghadapi tantangan tersebut. Tantangan inilah yang harus dihadapi oleh
seluruh elemen di SMK terutama guru-guru SMK.
Setiap mata pelajaran yang diajarkan di SMK harus mampu menyesuaikan
diri dengan tantangan di era globalisasi. Tantangan tersebut yang juga harus
dihadapi oleh guru mata pelajaran sejarah di SMK. Keberadaan mata pelajaran
sejarah di SMK relatif baru keberadaanya yakni sejak diberlakukannya Kurikulum
2013. Meskipun keberadaannya relatif baru, namun pembelajaran sejarah di SMK
harus segara menyesuaikan diri dengan tantangan di era global ini. Pembelajaran
sejarah di SMK idealnya memiliki kekhususan apabila dibandingkan dengan
pembelajaran sejarah di pendidikan menengah yang lain. Kekhususan
pembelajaran sejarah di SMK inilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam
artikel ini.
Globalisasi dan Pembelajaran di SMK
Keunggulan suatu bangsa tidak hanya bergantung pada kekayaan sumber
daya alamnya namun juga keunggulan sumber daya manusia. Keberadaan sumber
daya manusia yang unggul ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari peran dunia
pendidikan. Pendidikan sangat berkaitan dengan pembangunan suatu bangsa.
Penyelenggaraan pendidikan yang baik akan mengahasilkan sumber daya manusia
berkualitas yang akan menopang jalannya pembangunan. Pendidikan jelas


memiliki peranan penting disini karena menjadi sektor utama penghasil sumber
daya manusia yang unggul. Keberadaan sumber daya manusia berkualitas inilah
yang juga diharapkan mampu mengelola kekayaan sumber daya alam Indonesia
sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat
Indonesia.
Pendidikan kejuruan atau SMK memiliki peran strategis dalam menjawab
persoalan ini. Pendidikan kejuruan memiliki perbedaan yang signifikan apabila
dibandingkan dengan pendidikan menengah yang lain. Pendidikan kejuruan
menurut UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS) adalah pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik
terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Spesialisasi inilah yang
memungkinkan peserta didik di SMK mempelajari materi kejuruannya secara
lebih mendalam.
SMK juga memilki karakteristik yang sangat berbeda bila dibandingkan
dengan pendidikan umum yang lain. Karakteristik SMK menurut Calhoum dan
Finch (1982: 12-13) antara lain (1) berorientasi pada pendidikan dan pelatihan; (2)
justifikasi untuk eksistensi dan legitimasi; (3) fokus pada isi kurikulum; (4)
kriteria keberhasilan pembelajaran; (5) kepekaan terhadap perkembangan
masyarakat; dan (6) hubungan kerjasama dengan masyarakat. Karakteristik
tersebut mencerminkan setidaknya beberapa hal yakni (1) pembelajaran di SMK

berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hardskill serta softskill siswa; (2)
Pembelajaran di SMK menekankan pada proses, dan; (3) Pembelajaran di SMK
harus relevan dengan perkembangan masyarakat.
Lebih lanjut, pembelajaran di SMK harus mampu mendorong peserta didik
untuk memiliki kemampuan dalam memecahkan berbagai persoalan yang terjadi
pada masa kini dengan menggunakan cara berfikir yang logis serta terbuka (Putu
Sudira, 2014: 686). Dengan demikian, lulusan SMK diharapkan mampu menjadi
warga negara yang berpengetahuan serta memiliki keterampilan di bidangnya.
Selain itu, lulusan SMK juga mampu terlibat serta berpartisipasi aktif dalam
masyarakat demokratis sesuai dengan perkembangan masyarakat di era global.
Tuntutan ini membuat proses pembelajaran SMK harus menyesuaikan diri serta
up to date terhadap perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Globalisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses
pembelajaran di SMK. Sebagai contoh, memudarnya batas suku, bangsa, agama,
serta ras dalam dunia kerja saat ini menuntut calon tenaga kerja untuk
menyesuaikan diri dengan hal tersebut. Calon tenaga kerja diharapkan mampu
bersikap adaptif, menjunjung toleransi, serta dapat bekerja sama dengan berbagai
pihak yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda tersebut. Persoalan inilah
yang seharusnya dikenalkan guru SMK terhadap peserta didiknya. Guru SMK
dapat menyisipkan ide-ide multikulturalisme dalam proses pembelajaran untuk

membiasakan siswa dalam mengahadapi persoalan di era global. Dengan
demikian, lulusan SMK diharapkan mampu memahami realitas dunia global yang
kelak akan mereka hadapi sesuai memanamatkan proses pendidikannya.
Pembelajaran di SMK juga harus mengadopsi nilai-nilai demokratis dalam
proses pembelajarannya. Pendidikan yang demokratis mendorong peserta didik
untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya sekaligus berpartisipasi penuh dalam

kehidupan masyarakat (Putu Sudira, 2014: 686). Dengan demikian, siswa jangan
hanya aktif dalam pembelajaran di kelas saja, namun juga harus mampu terlibat
dalam persolan-persoalan nyata di masyarakat.
Pembelajaran di SMK pada akhirnya harus menyesuaikan dengan
perubahan yang terjadi di masyarakat global saat ini. Perkembangan teknologi
yang diikuti dengan berkembangnya ide-ide demokratisasi serta multikulturalisme
merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Pembelajaran di SMK harus
mampu menyiapkan peserta didik agar mampu beradaptasi dengan kondisi
tersebut. Pembelajaran di SMK jangan hanya menyiapkan peserta didik menjadi
calon tenaga kerja saja. Pembelajaran di SMK harus mengakomodasi semua
kebutuhan peserta didik baik material maupun non-material sehingga mereka
mampu serta siap menghadapi semua tantangan di masa yang akan datang.
Hakikat Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru dan peserta didik
melalui proses belajar mengajar (Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi, 1995: 6). Guru
hendaknya mempersiapkan proses pembelajaran dengan sebaik mungkin agar
siswa mencapai target serta tujuan pembelajaran. Guru tidak hanya memberikan
materi saja kepada siswa, namun siswa diharapkan aktif dalam menggali
pengetahuan serta makna dari hal tersebut selama proses pembelajaran. Dengan
demikian, proses pembelajaran diharapkan tidak hanya bergantung kepada guru
saja, namun dapat berkembang sesuai dengan konteks masing-masing siswa.
Kontekstualisasi proses pembelajaran harus diterapkan dalam setiap mata
pelajaran termasuk dalam pembelajaran sejarah. Menurut I Gde Widja,
pembelajaran sejarah merupakan perpaduan antara aktivitas belajar mengajar yang
didalamnya mempelajari masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini
(Setianto, 2012: 479). Pembelajaran sejarah bukan lagi berkisar pada hafalan
mengenai peristiwa-peristiwa ataupun tokoh dari masa lampau namun harus
mampu memberikan inspirasi bagi peserta didik dalam menjalani kehidupannya di
masa kini maupun di masa yang akan datang. Dengan demikian, pembelajaran
sejarah harus diajarkan secara kontekstual agar memiliki relevansi dengan kondisi
masa kini maupun masa yang akan datang.
Pembelajaran sejarah tidak hanya berpusat pada transfer of knowledge
namun juga transfer of value. Pembelajaran sejarah bukan hanya mengedepankan

aspek kognitif saja namun harus menanamkan nilai-nilai yang berguna bagi
generasi masa kini. Menurut Sartono Kartodirjo dalam Supardi (2006:129) bahwa
maksud pembelajaran sejarah adalah agar generasi muda yang berikut dapat
mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman nenek moyangnya. Dengan
demikian pembelajaran sejarah tidak hanya diharapkan dapat menambah
pengetahuan siswa tentang masa lampau, namun juga dapat mengubah perilaku
sebagai akibat dari proses pembelajaran sejarah yang telah dilalui.
Pembelajaran sejarah juga harus menjadi alat evaluasi terhadap peristiwa
di masa lampau agar dapat meniti kehidupan yang lebih arif serta bijaksana
(Hermanu, 2013: 4). Hal tersebut menjadi bagian dari proses penanaman nilai
serta karakter bagi peserta didik. Guru sejarah harus mampu membimbing serta
mendorong peserta didik agar melihat masa lampau secara lebih kritis tanpa

mencekoki siswa dengan “kebenaran tunggal” dalam sejarah. Harapannya siswa
mampu memahami suatu peristiwa sejarah dengan lebih baik sehingga dapat
mengambil nilai-nilai yang tersirat dari masa lampau.
Pembelajaran sejarah juga sepatutnya mengedepankan aspek lokalitas
dalam materi pembelajaran yang dimuat. Sejarah lokal didefinisikan sebagai
sejarah yang memuat aspek lokalitas baik itu bersifat geografis maupun etniskultural. Definisi sejarah lokal bergantung kepada “perjanjian” yang diajukan oleh
penulis sejarah (Taufik Abdullah, 1996: 15). Sejarah lokal bersifat elastis karena

dapat berbicara mengenai sejarah suatu desa, kecamatan, kabupaten, tempat
tinggal suatu etnis, suku bangsa yang mendiami satu atau beberapa daerah.
Pembelajaran sejarah lokal memiliki arti penting dalam konteks
globalisasi. Pembelajaran sejarah lokal diharapkan mampu memberikan
sumbangan kesadaran sejarah pada peserta didik. Selain itu melalui pembelajaran
sejarah lokal, peserta didik diharapkan mampu lebih mengenal lingkungan tempat
tinggalnya serta potensi-potensi yang ada di lingkungannya. Pengenalan
lingkungan kepada peserta didik ini memiliki arti penting karena dapat
mengenalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap aspek lokalitas
masyarakat. Tujuannya untuk memberikan inspirasi kepada peserta didik dalam
menghadapi tantangan di masa kini maupun masa yang akan datang.
Kebermaknaan pembelajaran sejarah lokal inilah yang harus ditanamkan oleh
guru selama proses pembelajaran.
Pembelajaran Sejarah di SMK dalam Konteks Globalisasi
Bagaimana implementasi pembelajaran sejarah di SMK dalam konteks
globalisasi? Paradigma yang paling ideal untuk mengembangkan pembelajaran
sejarah di SMK dalam konteks globalisasi adalah Konstruktivisme. Paradigma
Konstruktivisme merupakan landasan utama dalam penyusunan Kurikulum 2013.
Konstruktivisme memandang siswa sebagai manusia aktif yang dapat
mengembangkan pengetahuan bagi diri mereka sendiri (Schunk, 2012: 323).

Dengan demikian, peserta didik memiliki kemungkinan untuk mengonstruksi
pengetahuan serta sikapnya selama proses pembelajaran. Sementara itu posisi
guru dalam proses pembelajaran lebih sebagai fasilitator yang mendorong siswa
mengonstruksi pemahamannya.
Berkaitan dengan tugas guru sebgai fasilitator,maka guru harus mampu
melakukan inovasi dalam pembelajaran sejarah. Sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas, kontekstualisasi pembelajaran sejarah serta upaya merupakan
hal yang harus dilakukan guru. Dalam konteks pembelajaran sejarah di SMK,
guru harus melakukan framing strategy (mewacanakan tema tertentu yang
dilanjutkan dengan penggalian wacana) sebagai pijakan bagi terbentuknya
kesadaran serta karakter peserta didik.
Framing strategy dapat dilakukan oleh guru dengan memilah serta
mengembangkan materi tertentu. Dalam konteks pembelajaran sejarah di SMK,
guru sejarah harus menyesuaikannya dengan persoalan konkrit yang berkaitan
dengan pendidikan kejuruan. Sebagai contoh dalam materi sejarah pergerakan
nasional, guru dapat menyampaikan kepada peserta didik mengenai persoalan
tenaga kerja di zaman kolonial Hindia Belanda. Pada masa itu, minimnya tenaga

kerja pribumi yang terampil mengakibatkan mayoritas pekerja pribumi menjadi
pekerjaan kasar sehingga mendapat upah yang sangat rendah bila dibandingkan

dengan pekerja-pekerja asing (Ingelson, 2013:124-125). Persoalan inilah yang
harus dikontekstualisasikan dalam proses pembelajaran sejarah di SMK.
Guru kemudian dapat meminta siswa untuk membandingkan persoalan
tersebut dengan persoalan ketenagakerjaan pada masa kini. Siswa didorong untuk
menganalisis hal tersebut untuk menemukan benang merah dari keduanya. Setelah
itu, guru dapat membimbing siswa untuk mencari pemecahan masalah dari
persoalan tersebut, sekaligus mendorong siswa untuk dapat mempersiapkan diri
menghadi persoalan tersebut dalam kehidupan nyata. Kontekstualisasi materi
pembelajaran sejarah melalui pembelajaran berbasis masalah inilah yang dapat
dilakukan guru sejarah agar mempersiapkan peserta didik menjadi pribadi yang
kritis, solutif, serta adaptif dalam menghadapi berbagai persoalan di dunia nyata.
Pembelajaran berbasis masalah memiliki sejumlah keunggulan
diantaranya: 1) Siswa dapat lebih mengenal persoalan di dunia nyata dan
berkontribusi dalam upaya pemecahannya, 2) Siswa dapat mengembangkan
kemampuan untuk membangun pengetahuannya sendiri, 3) Siswa mulai terbiasa
dengan cara kerja yang ilmiah dan rasional (Dindin Abdul Muiz, tanpa tahun: 6).
Melalui pembelajaran berbasis masalah ini juga siswa diharapkan lebih aktif dan
dan mampu memberikan solusi dalam menghadapi berbagai persoalan. Sikap dan
Karakter inilah yang harus dimiliki peserta didik untuk menghadapi persaingan
era globalisasi seperti saat ini.
Selain kontekstualisasi materi, pembelajaran Sejarah di SMK idealnya
juga mengedepankan aspek lokalitas dalam proses pembelajarannya. Upaya ini
penting karena pembudayaan nilai-nilai karakter di SMK di setiap daerah
seharusnya berbeda satu dengan yang lainnya. Nilai-nilai yang ditanamkan
tersebut harus memperhatikan karakteristik sosio-kultural, potensi wilayah, serta
keunggulan masing-masing daerah (Putu Sudira, tanpa tahun: 2). Selain itu, nilainilai yang ditanamkan pada peserta didik juga harus sesuai dengan nilai-nilai
sosio-kultural yang hidup dalam masyarakat. Penanaman tersebut penting untuk
mencegah efek negatif globalisasi yakni memudarnya nilai-nilai budaya lokal
dalam masyarakat yang digantikan dengan budaya McDonaldisasi yang liberal
(Hermanu, 2013: 5). Memudarnya nilai-nilai budaya lokal sebagai akibat
globalisasi yang seharusnya dicegah melalui proses pembelajaran sejarah lokal di
SMK.
Sejarah lokal memiliki beberapa tema yang dapat dimasukkan dalam
materi pembelajaran sejarah. Salah satu tema sejarah lokal yang dapat dikenalkan
kepada peserta didik adalah biografi tokoh lokal (Kuntowijoyo, 2003: 145).
Kajian mengenai biografi tokoh lokal ini dapat dimanfaatkan guru dalam
menanamkan nilai-nilai moral tokoh tersebut kepada peserta didik. Selain itu,
penggunaan tokoh lokal sebagai role mode yang dipelajari siswa akan lebih
mudah diterima ketimbang tokoh dari daerah lain. Sebagai contoh di Yogyakarta,
guru dapat mengenalkan ketokohan Pangeran Diponegoro sebagai seorang yang
memperjuangkan nilai-nilai budaya Jawa saat nilai-nilai tersebut mulai tergerus
oleh dampak negatif budaya Barat di lingkungan keraton Yogyakarta (Carey,

2015: 218). Nilai-nilai perjuangan Diponegoro inilah yang harus dipahami oleh
peserta didik dalam proses pembelajaran.
Tugas guru sejarah kemudian membangun konstruksi sosial dalam proses
pembelajaran. Guru sejarah dapat memulai proses tersebut dengan memberikan
pemahaman kepada siswa mengenai degradasi moral yang dialami bangsa
Indonesia pada era global ini. Sikap sebagian bangsa Indonesia yang begitu saja
menerima segala pengaruh budaya Barat dapat menjadi salah satu persoalan yang
disampaikan. Berpijak pada fenomena tersebut, guru sejarah dapat mengajak
siswa meneladani sikap Diponegoro yang tetap mengedepankan nilai-nilai
kearifan lokal dan tidak begitu saja menerima sepenuhnya pengaruh budaya Barat
di masa lampau. Keteladanan Diponegoro inilah yang perlu dipahami oleh peserta
didik sehingga mereka dapat menyikapi pengaruh globalisasi dengan lebih baik.
Pemahaman akan nilai-nilai budaya lokal merupakan hal yang sangat
penting dalam menghadapi era globalisasi. Nilai-nilai lokal diharapkan tetap
menjadi basis penyaring untuk menyeleksi berbagai dampak negatif yang
diakibatkan globalisasi. Proses pembelajaran sebaiknya berakar pada tradisi lokal,
namun di sisi lain juga harus mampu menyerap pengetahuan global yang sesuai
untuk mendorong perkembangan nilai-nilai lokal tersebut. Penyerapan nilai-nilai
lokal inilah yang diperlukan untuk mengembangkan masyarakat lokal secara
umum ataupun individu-individu sebagai bagian dari masyarakat lokal tersebut.
Pembelajaran sejarah lokal juga dapat menanamkan nasionalisme kepada
siswa. Melalui pembelajaran sejarah lokal, siswa diharapkan mampu mengetahui
serta memahami kontribusi masyarakat lokal terhadap perjuangan kebangsaan di
masa lampau. Fakta ini seharusnya dapat menumbuhkan rasa nasionalisme serta
kesadaran integrasi peserta didik. Dengan demikian, kekhawatiran akan
tumbuhnya rasa primordial maupun etnosentrisme maupun memudarnya rasa
nasionalisme sebagai efek globalisasi dapat sepenuhnya diatasi.
Implementasi pembelajaran sejarah di SMK dalam konteks globalisasi
tentu mustahil lepas dari berbagai macam hambatan. Beberapa hambatan yang
terjadi pada saat ini anatara lain: (1) cakupan materi yang harus diajarkan sesuai
dengan kompetensi dasar (KD) begitu luas, sehingga menyulitkan guru dalam
mengembangkan materi untuk disampaikan kepada peserta didik, (2) kesulitan
pengembangan materi tersebut mengakibatkan kontekstualisasi materi serta upaya
mengedepankan aspek lokalitas sulit dilaksanakan, (3) ketersediaan jam mengajar
yang hanya 2x45 menit dalam satu minggu membuat guru sejarah di SMK sering
terkendala dengan keterbatasan waktu.
Semestinya kendala-kendala teknis tersebut dapat teratasi andaikata para
stakeholder pendidikan memberikan ruang yang cukup kepada guru sejarah di
SMK untuk mengembangkan materi pembelajarannya. Kebebasan ruang bagi
guru untuk mengembangkan materi merupakan hal yang mutlak agar
pembelajaran sejarah dapat menginspirasi peserta didik. Proses pembelajaran
sejarah yang menginspirasi tersebut diharapkan mampu mewujudkan peserta didik
yang siap dan mampu mengahadapi semua tantangan di era globalisasi.
Komitmen bersama serta kesamaan visi antara stakeholder pendidikan baik di
tingkat pusat maupun daerah, pihak sekolah, hingga para guru sejarah di SMK
menjadi kunci untuk mewujudkan hal tersebut.

Penutup
Pembelajaran sejarah di SMK dalam konteks globalisasi tidak dapat
diajarkan secara konvensional. Tantangan yang dihadapi peserta didik sudah
semakin kompleks di era globalisasi ini. Pembelajaran sejarah di SMK dapat
diajarkan sesuai dengan paradigma Konstruktivisme. Paradigma ini
memungkinkan siswa menggali sendiri pengetahuan sejarah serta menggali makna
dari proses tersebut. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses
tersebut. Dalam pembelajaran sejarah, guru juga diharapkan mendorong siswa
agar mampu menggali nilai-nilai yang relevan dalam konteks globalisasi serta
tidak mengabaikan aspek lokalitas dalam pembelajaran sejarah. Proses tersebut
diharapkan akan membuat peserta didik siap dan mampu menghadapi semua
tantangan di era globalisasi.
Daftar Pustaka
Buku:
Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi. 1995. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka
Cipra.
Calhoum, C.C. dan Finch, A.V. 1982. Vocational Education: Concept and
Operations. California: Wads Worth Publishing Company
Carey, Peter. 2015. Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Jakarta:
Kompas.
Ingelson, John. 2013. Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa
Kolonial. Depok: Komunitas Bambu.
Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Schunk, Dale H. 2012. Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Obor Indonesia.
Taufik Abdullah. 1996. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Makalah/Artikel Ilmiah:
Hermanu Joebagio. Tantangan Pembelajaran Sejarah di Era Global. disampaikan
dalam seminar nasional Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNY
dengan tema “Problematika Pendidikan Nasional dalam Menghadapi
Tantangan di Era Global”, Yogyakarta, 25 September 2013.
Putu Sudira. “Praksis Pendidikan Kejuruan dan Vokasi Indonesia diantara
Mahzab John Dewey dan Charles Prosser” dalam Maman Suryaman, dkk.

2014. Memantapkan Pendidikan Karakter untuk Melahirkan Insan
Bermoral, Humanis, dan Profesional. Yogyakarta: UNY Press.
Setianto, Yudi. 2002. “Dikotomi Bebas dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran
Sejarah”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 18(4), hlm. 477-488.
Supardi. 2006. “Pembelajaran Sejarah Lokal dalam Konteks Multikulturalisme”,
Cakrawala Pendidikan, Th. XXV, No.1, hlm. 117-137.
Internet:
Dindin Abdul Muiz Lidinillah. Pembelajaran Berbasis Masalah. Tersedia pada:
http://file.upi.edu/Direktori/KDTASIKMALAYA/DINDIN_ABDUL_MUIZ_LIDINILLAH_(KDTASIKMALAYA)-197901132005011003/132313548%20%20dindin%20abdul%20muiz%20lidinillah/problem%20based%20learning
.pdf . Diunduh pada 12 Oktober 2016.
Putu Sudira. Nilai Pendidikan Kejuruan dan Pendidikan Nilai Berkarakter
Industri di SMK. Tersedia pada: http://eprints.uny.ac.id/4652/1/011Pendidikan_Nilai_Berkarakter_Kejuruam.pdf . Diunduh pada 12 Oktober
2016.