PEMAKNAAN LINGGA YONI DALAM MASYARAKAT J

1

PEMAKNAAN LINGGA-YONI DALAM MASYARAKAT JAWA-HINDU
DI KABUPATEN BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR:
STUDI ETNOARKEOLOGI
Bayu Ari Wibowo
Arkeolog dari Banyuwangi

Pendahuluan
Banyuwangi merupakan salah satu wilayah Majapahit yang terletak di
ujung timur Pulau Jawa yang dulu lebih dikenal dengan nama Wirabhumi atau
Blambangan dan diperintah oleh Bhre Wirabhumi, dia merupakan anak Hayam
Wuruk dari selir (rabihaji) atau saudara tiri Ratu Suhita. Banyuwangi menyimpan
tinggalan sejarah periode abad ke-13 Masehi hingga paruh kedua abad ke-18
Masehi (Boechari, 2012 : 108; Margana dkk, 2012: 1; Munandar, 2013b: 21).
Majapahit mengalami kemerosotan ketika Hayam Wuruk turun tahta dan
Wirabhumi berdiri sebagai salah satu kerajaan Hindu di Jawa. Asumsi ini
dilandasi oleh temuan bukti-bukti arkeologis Hindu-Buddha di daerah
Banyuwangi yang menunjukkan bahwa apa yang digambarkan sebagai
kebudayaan tersebut sebagian besar adalah hasil kebudayaan Hindu-Buddha yang
tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan masa kejayaan hingga

surutnya kerajaan Majapahit.
Sejarah Banyuwangi belum banyak diungkapkan berdasarkan bukti-bukti
arkeologis

yang

memadai.

Publikasi

kepurbakalaan

Hindu-Buddha

di

Banyuwangi, sebagian besar masih berupa laporan dan ada sejumlah kecil tentang
litografi tentang bangunan Candi Macan Putih yang dibuat oleh Belanda.
Tinggalan arkeologi di Banyuwangi sangat beragam mulai dari artefak,
situs, maupun lokus dan dapat dikategorikan ke dalam warisan budaya daerah

yang bersifat tangible, yaitu yang dapat disentuh, berupa benda konkret, pada
umumnya benda yang merupakan hasil buatan manusia dan dibuat untuk
memenuhi kebutuhan tertentu. Kebutuhan tersebut dapat bersifat sakral maupun
profan. Tinggalan arkeologi yang dijadikan sebagai objek penelitian skripsi ini
adalah lingga-yoni.

2

Lingga-yoni merupakan penggambaran wujud visual, dengan bentuk yang
bervariasi sesuai dengan landasan konsepsinya, namun pada hakikatnya
merupakan sebuah simbol. Simbol atau lambang adalah tanda-tanda yang dibuat
oleh manusia dipergunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi. Sejalan dengan
pengertian tersebut, Soebadio mengungkapkan bahwa lingga-yoni merupakan
simbol dari Siwa (Berata, 1994: 25).
Sebuah simbol memiliki kapasitas mengekspresikan secara langsung
beberapa makna yang kontinuitasnya tidak nyata terlihat secara langsung.
Berbagai makna tersebut bersifat multivalentif secara vertikal maupun horizontal,
serta saling berhubungan antar semua tingkatannya. Suatu simbol tidaklah
bermakna secara terpisah tetapi harus dimaknai secara berkaitan dengan simbolsimbol lainnya Perwujudan sebuah lingga-yoni dapat disebutkan memuat
sinkretisasi dari berbagai simbol. Hal ini mengingat sedemikian banyaknya simbol

yang dipergunakan untuk memvisualisasikan suatu makna dan konsepsi
keagamaan kepada umatnya. Simbol-simbol yang terdapat dalam suatu wujud
lingga-yoni tidaklah optimal apabila hanya dimaknai secara visual dan spasial.
Simbol-simbol pada lingga-yoni akan dapat dimaknai lebih mendalam, apabila
dikaitkan dengan mitos atau sistem kepercayaan sebagai ekspresi verbalnya, ritual
sebagai ekspresi gerak-isyaratnya, dan doktrin keagamaan sebagai ekspresi
konseptualnya (Paramadhyaksa, 2010 : 164).
Agama Hindu melihat lingga-yoni sebagai perwujudan kebenaran ataupun
perwujudan keindahan tertinggi dan sekaligus suatu penggambaran kebenaran
agama dan filsafat dalam bentuk ikon. Ikon mempunyai bentuk tertentu, yang
secara keseluruhan atau bagian demi bagian mewakili pengertian-pengertian
tertentu (Sedyawati, 1994 : 24).
Siwa-Sakti dalam Sastra Jawa Kuna
Siwa-Sakti sebagai dewa tertinggi dalam agama Hindu selalu disebut
dalam sejumlah sastra Jawa Kuna. Penyebutan Siwa-Sakti dalam sastra tersebut
sangat beragam, ada yang hanya sepintas dan panjang. Peneliti menggunakan
sumber sastra dalam tulisan ini mengingat sampai saat ini belum ada prasasti yang

3


memuat mengenai Wirabhumi ataupun Blambangan. Penggunaan kakawin tidak
terpaku pada sastra yang berkembang pada masa Majapahit saja, melainkan pada
periode sebelumnya.
Babad Mas Sepuh (salah satu dari enam Babad Blambangan) pada bait
pertama terdapat ungkapan om nama siwaya swaha (Arifin, 1995 : 119), suatu
kalimat seruan yang berarti penghormatan kepada Siwa.
Ramayana dalam sarga ke-26 bait 40-42 berisi kata-kata Sita yang hendak
berpisah dengan Trijata, mengingatkan akan masa mereka bersama dalam
kesedihan di Lengka :
“ndah Trijatari nihann ujarangkwa (40.1); tat alupa ri laranta ta nguni (40.2);
kala nikat para ringtalagarum (40.3); ring watu ring wulakan kita t anghyan
(40.4); wreksagong ya ta pinaranta sunya sunyan (41.1); hyang Durgga
Ganapati bap banaspati ngka (41.2); sengkan durggama maruhur ya
durggamargga (41.3); durgrahyan inangen-angen paranta t anghyan (41.4);
sotagon pamenanga sang narendra ring prang (42.1)” (Sedyawati, 1994 : 200201).
Terjemahan :
“Nah, dinda Trijata, inilah yang hendak kuutarakan kepadamu (40.1); jangan
hendaknya engkau lupa akan kesedihanmu dahulu (40.2); ketika engkau pergi ke
telaga yang indah (40.3); engkau pergi memohon ke batu di mata air (40.4); diamdiam kau datangi pohon besar di tempat sunyi (41.1); di sana (ada) Durga,
Ganapati, dan banyak Banaspati (41.2); jalan tanjakan yang tinggi dan sulit

dilalui, itulah jalan yang sukar (41.3); (tempat-tempat) yang sukar dicapai, itulah
yang kau idamkan untuk didatangi guna memohon (41.4); agar sesuai dengan
kodrat, hendaklah akan besarlah kemenangan raja (Rama) dalam peperangan
(42.1).” (Sedyawati, 1994 : 200-201).
Ramayana menyebut sakti dengan istilah Durga bersama dengan Ganesa
yang terletak di tepi sebuah telaga, di sana Durga dipuja dalam wujud sthula,
yakni perwujudan dewi sebagai arca dalam beberapa hal berkaitan dengan
fungsinya sebagai pahlawan perang, sehingga dimintai restu agar Rama
memenangkan peperangan.
Kakawin Bhomakawya dalam pupuh ke-110 bait 1 menyebut Siwa dengan
nama Bhatara Parameswara yang bermaksud dipuja sebagai raja dari semua dewa.
Namun dalam hal ini, Siwa tidak didampingi oleh sakti melainkan bersama kedua

4

anaknya yaitu Kumara dan Ganesa. Bunyi teks Bhomakawya tersebut sebagai
berikut :
“bhatara Parameswaradhipati sang watek dewata dateng sira lawan
Gananjaya Kumara tansah tumut.” (Sedyawati, 1994 : 201).
Terjemahan :

“Bhatara Parameswara, raja dari semua dewa, datang bersama Gananjaya
dan Kumara (yang) selalu menyertainya.”
Berikutnya, kakawin yang menyebut Siwa-Sakti adalah Arjunawijaya.
Dalam kakawin ini mereka disebut dalam pupuh ke-32 bait 2 dan pupuh ke-40
bait 10 sebagai Siwa-Giriputrika. Dalam penyebutan yang pertama (pupuh ke-32
bait 2) Siwa diletakkan di bangunan utama sebagai mandala atau pusat
konfigurasi jagat raya, sedangkan penyebutan yang kedua (pupuh ke-40 bait 10)
menggambarkan penyatuan antara Siwa-Sakti disaksikan oleh Ganesa. Teks
Arjunawijaya itu sebagai berikut :
“Wwanten dharma lepas rubuh katemu de nira kahawan i pinggir ing wukir;
candy angon pupa king tengah penuh ikang kayu halalang i madhya ning natar;
wwadyaket amilet hyang arca Harirupa masemu-semu nagabhusana; mwang
sang hyang Siwawimba rakwa kasihan sira saha Gana tan pakolulan (32.2); …
Ndan sang hyang Gana ring swadanta pakasalya karana nira tan pacumbana;
mwang sang sri Giriputrikangdani kummel pasupati tinut ing manah lengeng
(40.10).” (Sedyawati, 1994 : 202).
Terjemahan :
“Ada (bangunan) dharma lepas yang roboh, dijumpai olehnya dalam perjalanan di
lereng bukit; bagian atas candi pusat(nya) telah runtuh sampai bagian tengah,
(sedang) bagian tengah pelataran penuh dengan perdu dan ilalang; akar-akarnya

lengket membelit arca berwujud Hari, seolah-olah merupakan ular yang jadi
perhiasannya; dan sang arca Siwa tampak kasihan, sedang (arca) Gana tak
bernaungan (32.2);
…Maka, penyebab ia tidak bercumbu adalah Gana yang taringnya (terasa) bagai
duri; (ia bercumbu) dengan Giriputrika yang bersiap menahan Pasupati dan
mengikuti hati yang mabuk (40.10).” (Sedyawati, 1994 : 202).
Terlihat dalam Kakawin Arjunawijaya bahwa antara Siwa dan Giriputrika
mengalami sebuah penyatuan kosmis yang bersifat sakral, Maha Esa dan Maha
Agung adalah yang tunggal (Titib, 2003 : 105). Selain itu, Siwa dan saktinya

5

selalu diikuti oleh Ganesa. Hal ini juga dinyatakan dalam Siwaratrikalpa, selain
itu, dalam kakawin tersebut juga dinyatakan Siwa dipuja sebagai Siwalingga
(37.2): bhatara Siwalingga kewala sirarcanan i dalem ikang suralaya… (hanya
Bhatara Siwalingga sajalah yang hendaknya dipuja di dalam kediaman dewadewa…) (Sedyawati, 1994 : 203).
Mengenai Siwa-Sakti yang selalu diikuti oleh Ganesa, Redig (2008 : 114115) mengatakan bahwa ketika Siwa memberi tugas kepada Ganesa dan Kartikeya
untuk mengelilingi dunia tujuh kali ternyata, dari mereka berdua yang paling
cepat menyelesaikan tugasnya adalah Ganesa. Ketika Kartikeya berangkat
mengelilingi dunia, Ganesa tetap tinggal di rumah seraya berfikir bahwa ia tidak

perlu pergi jauh mengelilingi dunia sebab karya-karya sastra menyebutkan bila
Siwa dan Uma (Parwati) sesungguhnya adalah representasi dunia ini. Setelah
merenung sejenak, Ganesa lalu menyembah Siwa dan Parwati yang sedang duduk
bersama seraya mengelilinginya tujuh kali, setelah itu mohon untuk diizinkan
menikah terlebih dahulu.
Kakawin Smaradahana pupuh 28-29 tersebut menyebutkan bahwa SiwaSakti disebut dengan julukan yang cukup beragam, seperti Sangkara-Sailaputri,
Hyang Isa-Dewi Uma, Tripuraripu-Giriputri, Smararipu-Giriwaraduhita, dan
Girija. Pupuh tersebut diceritakan pula mengenai kemesraan antara Siwa dengan
saktinya yang dipangku dan akhirnya mengalami penyatuan. Siwa yang
memangku Saktinya ini disebut dengan nama Umamaheswara. Mereka dipuja
oleh para dewa sebagai representasi dari alam semesta.
Selain disebut dengan nama-nama seperti tersebut di atas, Siwa juga
menyebut saktinya dengan nama Ibu karena dalam keadaan seperti itu, Siwa
menganggap bahwa saktinya sebagai sumber kelahiran. Menurut beberapa kitab
Purana, sakti atau Dewi ini memiliki dua wujud yakni wujud santa atau somya
(tenang) dan wujud krodha (dahsyat), sedangkan dalam kitab Dewi Purana, sakti
Siwa ini disebutkan dalam tiga kualitas, yakni sattvika (santa), rajasika (krodha),
dan tamasika atau krura (menakutkan, bengis) (Redig, 2008 : 105-107).
Penyebutan Siwa-Sakti sebagai Arddhanariswara mempertegas kembali
adanya sebuah hakikat kemanunggalan di antara keduanya. Hal ini mengandung


6

maksud bahwa dua hal yang berbeda itu tidak dapat dipisahkan dan harus
menyatu demi keseimbangan dunia. Selain itu, Siwa-Sakti disebut dengan nama
Rudra-Parwati, Tripurantaka-Ghori, Sri Isana, Bhatara Guru, Rudra, dan
Ghoripati-Selatmaja. Mengenai penyebutan Siwa sebagai Rudra, Sedyawati (1994
: 212) berpendapat bahwa Siwa sebagai dewa tertinggi dikenal sebagai dewakelompok, dengan nama Rudra, khususnya, ia dikenal sebagai kelompok Rudra
yang kesebelas atau Eka Dasa Rudra. Di dalam Smaradahana pupuh 31 hanya
disebutkan sepuluh Rudra yang lari tunggang langgang, mungkin dengan maksud
untuk mengatakan bahwa yang kesebelas, dalam hal ini yang pokok, yaitu Siwa
tidak ikut berlarian karena ia adalah dewa yang tertinggi.
Sumber kakawin terakhir yang memuat tentang Siwa-Sakti adalah Tantu
Panggelaran dan Sri Tanjung. Penulisan Tantu Panggelaran ini antara tahun 1500
Masehi dan 1635 Masehi. Ini berarti bahwa pusat kerajaan Hindu yang jaya pada
waktu itu sudah tidak ada lagi di Jawa (Sedyawati, 1994 : 223). Namun dalam
penelitian ini, peneliti tidak ingin menganggap demikian, melainkan kakawin
tersebut ditulis ketika Majapahit mengalami suatu kemunduran dan digantikan
perannya oleh Blambangan yang baru runtuh pada tahun 1691 Masehi.
Siwa-Sakti dalam kakawin ini disebut dengan nama Bhatara Guru-Bhatari

Uma atau Huma dan Bhatara Iswara-Ghori, ditampilkan peranannya dalam tiga
konteks cerita. Konteks pertama menceritakan tentang Siwa-Sakti yang berperan
sebagai sumber kesuburan atau kehidupan dan pelindung. Adapun konteks ketiga
mengenai pentingnya kedudukan Siwa dalam sebuah mandala.
Mengenai peran Sakti dari Siwa sebagai pelindung atau penyelamat juga
ditemukan dalam bagian akhir kisah Sri Tanjung, dirinya digambarkan sebagai Ra
Nini yang merupakan bentuk ugra dari Dewi Uma atau Parwati yang
mempertemukan kembali Sri Tanjung dan Raden Sidapeksa, sehingga mereka
akhirnya hidup bahagia. Cerita Sri Tanjung sekarang dikenal sebagai cerita yang
menjelaskan asal-usul Banyuwangi (Sedayawati, 1994 : 258; Munandar, 2013b :
20).
Penjelasan di atas secara tidak langsung memberikan pemahaman bahwa
ketika manusia berhadapan dengan kekuatan adi kodrati, Yang Maha Suci, Yang

7

Maha Esa, maka dirinya tidak berdaya, kerdil, hormat, dan takut sekaligus
terpesona. Manusia dalam kemampuannya untuk berkomunikasi dengan Tuhan
terbatas, sehingga manusia hanya dapat menyentuh hakikat kenyataan lewat
simbol. Melalui simbol-simbol tersebut manusia membangkitkan emosi

keagamaannya, sehingga akhirnya dapat menjalin komunikasi dengan alam
semesta dan kekuasaan yang ada di luar batas akalnya (Windarti, 1998 : 55-56).
Pandangan Tentang Tuhan
Kebudayaan apapun di dunia memiliki unsur religi di dalamnya, namun
perlu pula diingat bahwa kebudayaan di dunia tidak memiliki kesamaan dan
dengan demikian berbeda satu dari lainnya. Sebagai akibatnya maka setiap
kebudayaan tidak sama dalam menerima agama karena masing-masing memiliki
sudut pandang sendiri.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa Bangsa Yunani Kuno
mempresentasikan dewinya, yaitu Venus, sebagai sosok wanita yang secara
anatomis memiliki kesempurnaan tubuh. Arca dari Pulau Melos ini merupakan
peninggalan arkeologi Yunani yang sangat terkenal. Kebudayaan India
melambangkan Istadevata-nya sebagai figur yang sedang menari di alam raya,
yaitu Siva Nataraja, yang juga sangat terkenal. Kebudayaan Tibet lain lagi,
melambangkan kesempurnaan sebagai perpaduan dua perlawanan, yaitu laki-laki
dan perempuan, keduanya berbeda tetapi menyatu. Berdasarkan uraian tersebut
terlihat bahwa kebudayaan lokal memberikan intepretasi terhadap agama yang
diterimanya, sesuai dengan persepsinya masing-masing. Sebaliknya dapat pula
dikatakan bahwa agamalah yang beradaptasi terhadap lingkungan kebudayaan
masyarakat pemeluknya (Magetsari, 2011 : 250). Begitu juga dengan agama
Hindu yang berkembang di Pulau Jawa umumnya dan Banyuwangi khususnya.
Kebudayaan Hindu yang berasal dari India harus mengalami proses
adaptasi dengan kebudayaan setempat, oleh para pujangga zaman dulu proses ini
disebut sebagai mangjawaken byasamata atau membahasajawakan ajaran-ajaran
Bhagawan Byasa. Kemudian proses ini dimulai sejak abad ke-10 Masehi pada
zaman Raja Dharmawangsa Teguh dari Wangsa Isana di Jawa Timur.

8

Sampai abad ke-19 Masehi pun, proses yang disebut Sastrawan Jawa,
Subagio Sastrowardoyo sebagai Jawanisasi ini masih dilakukan dalam rangka
pengembangan budaya Jawa. Jawanisasi kebudayaan Hindu yang telah
mengkristal dalam pandangan hidup Jawa tersebut dapat dilihat pada sendi-sendi
kehidupan masyarakat Jawa baik dalam kerangka falsafah, tinggalan bendawi,
sistem etika, maupun pelaksanaan ritual Jawa itu sendiri (Miswanto, 2009 : 2223).
Peranan kebudayaan lokal ini juga dapat dikategorikan sebagai local
genius, dalam arti bahwa agama luar diolah dan dijadikan milik sendiri, karena
telah diserap oleh kebudayaan pemeluknya. Sesungguhnya tidak dapat dikatakan
bahwa telah terjadi proses Hinduisasi terhadap kebudayaan Jawa, dalam arti
bahwa

kebudayaan

Jawa

menerima

mentah-mentah

kebudayaan

Hindu

(Magetsari, 2011 : 253).
Tuhan atau Gusti Pangeran dalam pandangan Jawa disebut sebagai
sangkan paraning dumadi (awal serta akhir alam semesta), sangkan paraning
manungsa (awal dan akhir manusia), dan dumadining manungsa (terjadinya
manusia). Masyarakat Jawa-Hindu juga memandang Tuhan sebagai sesuatu yang
Imanen (Tuhan berada di dalam struktur alam semesta serta turut serta mengambil
bagian dalam proses-proses kehidupan manusia atau Saguna Brahman dan
sekaligus Transenden atau Nirguna Brahman (Tuhan itu agung, berada begitu
jauh sehingga manusia sangat hormat kepada-Nya.
Konsep imanensi ketuhanan dalam masyarakat Jawa-Hindu dapat dilihat
dalam ungkapan seperti dewa-dewi, bhatara-bhatari, Ibu Bumi-Bapa Akasa, dan
Sri Sedana. Selain itu kata Dhanyang dan Kang Mbaureksa yang selalu diucapkan
dalam ujub-ujub pada setiap ritual genduren (kenduri) di Jawa juga menunjukkan
konsep imanensi Tuhannya. Jika dalam setiap ritual Jawa Dhanyang dihormati
melalui ujub-ujub yang biasanya diucapkan oleh seorang sesepuh dan juga
diberikan suguhan maka tidaklah berlebihan jika mereka disebut sebagai
manifestasi dari Hyang Maha Kuasa. Dia adalah Gusti Kang Mangejawantah
(Tuhan yang mengejawantahkan Diri-Nya).

9

Terlepas dari masalah tersebut, pada prinsipnya konsep ketuhanan dalam
masyarakat Jawa-Hindu yang lebih banyak ditemui adalah konsep ketuhanan yang
bersifat transenden di mana Gusti Pangeran dalam masyarakat Jawa-Hindu
diyakini sebagai yang tidak dapat dibayangkan seperti apapun (acintya). Dia
sangat dekat tetapi tidak bersentuhan namun Dia juga sangat jauh tiada batas.
Dalam istilah Jawa konsep ini dikenal dengan istilah Dat kang tan kena
kinayangapa, cedhak tanpa senggolan, lan adoh tanpa wangenan (Miswanto,
2009 : 34-36).
Meskipun bersifat Nirguna, Tuhan bagi masyarakat Jawa-Hindu selalu
diletakkan dalam setiap hela nafas hidupnya setiap hari karena bagi mereka agama
merupakan pegangan hidup yang utama dan berharga. Hal ini sebagaimana
termaktub dalam petikan Serat Wedhatama Pupuh III (Pucung) bait 44 yang
berbunyi :
Bhatara gung,
inguger graning jajantung,
jenek Hyang Wisesa,
sana pasenedan suci,
………………………… (44)
Terjemahan :
Tuhan Maha Agung, diletakkan dalam setiap hela nafas, menyatu dengan Hyang
Maha Kuasa, teguh mensucikan diri,…. (44).
(Wulandari, 2012 : 100-118).
Masyarakat

Jawa-Hindu

selalu

belajar

untuk

menguasai

atau

mengendalikan nafsu yang ada di dalam dirinya. Pengendalian tersebut mereka
lakukan melalui berucap yang baik (mardibasa), bersikap manis atau enak kepada
sesama (mardawalagu), dan selalu ingat kebaikan sesama (sambegana) (Suwardi,
2008 : 12). Kehidupan masyarakat Jawa-Hindu dibingkai oleh aturan-aturan yang
khas, hal ini dimaksudkan agar mereka dapat memayu-hayuning bawana. Jika hal
ini dapat dicapai maka akan mudah menuju sangkan paraning dumadi.
Ungkapan sangkan paraning dumadi juga dapat dijumpai di dalam Kitab
Brahma Sutra I.I.2 yang berbunyi janmadhyasya yatah (sesungguhnya Tuhan
adalah asal dari mana segala yang ada). Tuhan merupakan primacausa yang
bersifat mutlak karena sebagai asal atau sumber dari semua yang ada. Kata

10

janmadi juga diartikan sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur (Pudja, 1992 :
14).
Melihat dualisme pandangan ketuhanan masyarakat Jawa-Hindu tentang
yang Imanen dan Transenden sebagaimana diulas di atas maka dapat dikatakan
bahwa mereka meyakini eksistensi ada atau dununge ana dan eksistensi tiada atau
dununge ora ana. Konsep ini tidak jauh berbeda dengan konsep sat-asat dalam
filsafat India atau hana tan hana dalam tattwa Hindu di Indonesia.
Selain itu, Tuhan oleh masyarakat Jawa-Hindu juga disebut dengan
berbagai macam nama yang umumnya menggambarkan sifat-Nya. Nama-nama
tersebut antara lain Sang Hyang Taya (Tiada), Sang Hyang Wenang (Maha
Kuasa), Sang Hyang Wening (Maha Suci), dan masih banyak lagi lainnya.
Walaupun demikian, Dia juga sebagai Sang Hyang Tunggal (Maha Tunggal,
hanya satu, tiada duanya) (Miswanto, 2009 : 46; Munandar dkk, 2011 : 29).
Gambaran tentang konsep ketuhanan tersebut juga dapat dijumpai pada
ajaran ketuhanan Hindu sebagaimana tertuang dalam Kitab Suci Hindu tertua,
Rgveda Mandala pertama, Sukta ke-64, Sloka nomor 46 yang dinyatakan sebagai
berikut.
Ekam sadvipra bahudha vadanti agnim yaman matarisvanam ahuh.
Terjemahan :
Ia (Tuhan) adalah Esa, para maharsi (vipra/orang bijaksana) memberi banyak
nama. Mereka menyebut-Nya Indra, Yama, Matarisvan (Miswanto, 2009 : 47;
Pudja, 1992 : 15; Titib, 2003 : 100).
Lingga-Yoni dan Hindu bagi Masyarakat Lokal Jawa
Berdasarkan penelitian yang berhasil dilakukan oleh peneliti di lapangan
dapat diketahui, bahwa tidak semua tempat yang terdapat lingga-yoni merupakan
sebuah situs melainkan pura dan petilasan atau petilasan yang kemudian dijadikan
sebagai sebuah pura dan disimpan di museum. Begitu juga dengan lingga-yoni
yang ada di lokasi, tidak semua artefak tersebut sesuai dengan kaidah ikonografi
sebagaimana dipahami dari negara asal yakni India.
Berkaitan dengan hal tersebut, Abdullah Ciptoprawiro menyebutnya
dengan istilah mosaikisme. Konsep mosaikisme ini bagi pemahaman masyarakat

11

Jawa-Hindu tentang lingga-yoni memiliki pola yang tetap, namun unsur-unsur
atau batu-batunya akan berubah. Mereka tidak menerima mentah-mentah
kebudayaan Hindu atau lebih tepatnya masyarakat Jawa menganut agama Hindu,
kemudian mengolahnya menjadi kebudayaannya sendiri. Pengolahan ini antara
lain dengan memberikan intepretasi terhadap agama Hindu berdasarkan konteks
kebudayaannya untuk kemudian merepresentasikannya ke dalam kehidupan
keagamaannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh peninggalan arkeologinya
(Magetsari, 2011 : 253; Miswanto, 2009 : 3).
Fenomena tersebut dapat ditemukan di hampir sebagian masyarakat Jawa,
Ron Hatley membenarkannya dengan menyatakan bahwa akan selalu ada Jawa
yang lain di luar Keraton Yogyakarta dan Solo. Di daerah ini, agama, adat, seni,
dan karakter yang diturunkan oleh leluhur Jawa masih dipegang teguh oleh
penduduknya, daerah-daerah tersebut pada dasarnya adalah di dalamnya terdapat
peninggalan kerajaan Hindu-Buddha yang sporadis menyebar di pegunungan,
pesisir, dan sebagainya. Banyuwangi merupakan salah satu di antara dari daerahdaerah tersebut mengingat wilayah ini terletak di sekitar kaki Gunung Raung.
Masyarakat Jawa-Hindu di daerah ini merupakan masyarakat yang memegang
teguh warisan leluhur Jawa. Hal ini diakui oleh Andrew Beatty ketika
mengadakan penelitian di wilayah Banyuwangi (Miswanto, 2009 : 3-4).
Arkeologi sangat berperan dalam pembangunan dan penguatan karakter
tersebut, karena dasar-dasar dari karakter ini bertumbuh di masa lampau, sebagai
nilai-nilai kehidupan yang diturunkan dari satu ke generasi berikutnya. Dengan
demikian, membangun masyarakat Jawa-Hindu yang berkarakter atau yang
berkepribadian kuat tidak cukup dari perspektif kekinian, tetapi yang lebih
mendasar, dari perspektif arkeologi lewat penelusuran nilai-nilai budaya yang
mewarnai perjalanan kehidupannya yang sangat panjang.
Karakter, kepribadian, dan jatidiri merupakan istilah-istilah sinonim yang
sering digunakan ketika berbicara tentang pembangunan karakter (character
building). Karakter itu, dalam arkeologi mengkait erat dengan apa yang disebut
sebagai local genius, istilah yang pertama kali diungkapkan oleh Quartich Wales
untuk menyebut: the sum of the cultural charakteristics which the vast majority of

12

a people have in common as a result of their experiences is early life dan
terjemahan yang diusulkan oleh Haryati Subadio sebagai kepribadian budaya
bangsa. Berkaitan dengan itu pula, keberadaan local genius sebagai budaya asli
masyarakat Jawa-Hindu yang menurut Edi Sedyawati mencakup nilai, konsep,
teknologi, dan kemampuan mengolah pengaruh asing, menjadi sangat penting
untuk dasar pembentukan dan pertahanan masyarakat Jawa yang berkarakter di
masa sekarang dan masa datang (Simanjuntak, 2012 : 7-9).
Meskipun dari segi bentuk atau ikonografi berubah namun lingga-yoni
oleh masyarakat Jawa-Hindu yang bermukim di Kabupaten Banyuwangi tetap
difungsikan sebagai media pemujaan kepada Hyang Widhi atau Dewa Siwa
bersama saktinya, leluhur, dan danyang (Wawancara Sukajianto dan Untung, 29
Juni 2014). Brahma Sutra menyebutkan bahwa Brahman bagaikan sinar
menggunakan bentuk demikian dalam hubungannya dengan upadhi, yang
membantu untuk tujuan upasana atau meditasi (Viresvarananda, 2004 : 33).
Berkaitan dengan itu, peneliti telah mengunjungi lima tempat yang sesuai
dengan informasi dari masyarakat terdapat lingga-yoni dan apabila diperinci
sebagai berikut.
Tabel Frekuensi Lingga-Yoni di Kabupaten Banyuwangi
No.

Desa/Blok

1. Sembulung
2. Karangdoro
3. Ketapang
4. Gumuk Payung
5. Banyuwangi
Jumlah Total

Lokasi
Penempatan
Pura
Pura/Petilasan
Situs/Petilasan
Situs
Museum

Jumlah
1
3
1
1
4
10

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lingga-yoni yang masih
difungsikan sampai sekarang oleh masyarakat Jawa-Hindu sebagai media
pemujaan kepada Siwa dan saktinya atau Tuhan Yang Maha Esa berjumlah enam
buah yang distribusinya berada di Desa Sembulung, Karangdoro, Ketapang, dan
Gumuk Payung. Sementara itu, lingga-yoni yang sudah tidak difungsikan lagi
berjumlah empat buah dan sekarang disimpan di Museum Blambangan.

13

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa lingga-yoni yang masih
difungsikan oleh masyarakat saat ini berada di situs maupun petilasan. Berkaitan
dengan hal tersebut, situs dalam penelitian ini diberi arti secara umum sebagai
suatu bidang lahan yang mengandung tinggalan arkeologi. Tinggalan arkeologi
tersebut, baik yang dapat ditemukan atau di dalam tanah ataupun yang tidak utuh
atau utuh, dijadikan petunjuk atau bahkan bukti bahwa di tempat tersebut suatu
komunitas pada masa lalu pernah melakukan kegiatan tertentu untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya (Mundardjito, 2002 : 34).
Sedangkan petilasan berasal dari kata tilas yang artinya bekas atau yang
pernah ditempati seseorang tokoh atau rohaniawan yang kemudian meninggalkan
sesuatu. Petilasan merupakan simbol dari kesederhanaan orang Jawa, kesunyian,
tempat untuk menemukan atau berdialog dengan diri sendiri. Mereka yang datang

14

ke petilasan umumnya masih kuat keyakinannya terhadap praktik-praktik
keagamaan asli atau Hindu. Bagi masyarakat Jawa-Hindu, petilasan merupakan
sebuah tempat yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas batin dengan cara
melakukan perenungan atau Samadhi (Media Hindu, 2013 : 17; Putra, 2013 : 3;
Suratnaya, 2013 : 12).
Benda yang terdapat dalam situs maupun petilasan tersebut dalam
penelitian ini disebut dengan artefak. V. Gordon Childe mendefinisikan artefak
sebagai things made or unmade by deliberate human action (benda yang dibuat
atau tidak dibuat secara sengaja oleh manusia). Brian M. Fagan mengatakan
artefak sebagai any object manufactured or modified by man (suatu objek yang
dibuat atau diubah oleh manusia). Robert J. Sharer dan Wendy Ashmore
mendefinisikan artefak sebagai a discrete and portable object whose
characteristics result wholly or in part from human activity. Sekalipun penelitian
arkeologis berusaha menemukan bukti artefaktual, namun artefak bukan satusatunya tujuan utama, karena ilmu arkeologi berusaha untuk mengungkap
kehidupan manusia di segala aspeknya, maka tujuan akhir yaitu manusianya juga
karena artefak adalah the fossilized result of human behavior. Sir Mortimer
Wheeler mengingatkan bahwa too often we dig up mere things unrepentantly
forgetful that our proper aim is to dig up people (Haryono, 2011 : 257).
Hal ini dinyatakan pula oleh Daoed Yoesoef yang mengatakan bahwa
kalaupun arkeologi tidak bisa sendirian menjawab sepenuhnya suatu pertanyaan
yang sudah dan akan terus mengusik manusia sepanjang sejarah peradabannya,
yaitu sangkan paraning dumadi (asal usul dan tujuan penciptaan), paling
sedikitnya disiplin ilmiah arkeologi diharapkan dapat menjelaskan how the worlds
become (bagaimana bumi menjadi human) (Supardi, 2012 : 128-129).
Pemaknaan Masyarakat Jawa-Hindu terhadap Lingga-Yoni
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa lingga-yoni selain
sebagai artefak juga oleh masyarakat Jawa-Hindu yang bermukim di Kabupaten
Banyuwangi difungsikan sebagai media pemujaan terhadap Dewa Siwa dan
saktinya, leluhur, dan dhanyang. Mereka tidak terlalu mempermasalahkan

15

kerangka teoretik ataupun tekstual karena pengamalan dari kitab yang diwujudkan
dalam bentuk sikap, tindakan, dan perilaku sehari-hari lebih mendominasi
kerangka pemikiran atau pandangan hidup mereka.
Masyarakat Jawa-Hindu selalu berusaha untuk menjadi jawa baik secara
lahir maupun batin, bagi mereka benda yang berasal dari masa lalu adalah suatu
saksi budaya yang harus diperlakukan dengan penuh hormat karena material
tersebut merupakan bukti peradaban (Miswanto, 2009 : 68; Supardi, 2012 : 129)
yang membentuk dan melahirkan mereka yang sekarang.
Masyarakat Jawa-Hindu di Banyuwangi memiliki tata cara sendiri dalam
merawat dan memperlakukan lingga-yoni karena artefak tersebut menjadi bagian
dari sendi-sendi yang membangun karakter mereka dalam beragama. Hal ini
terlihat pada masyarakat Jawa-Hindu di Dusun Tanjungrejo, Desa Sembulung,
Kecamatan Cluring yang setiap Selasa Kliwon membuat sesaji berupa tumpeng
yang tersusun dari ketan hitam, kelapa parut, gula Jawa atau merah, rokok klobot,
dan kopi pahit. Selain itu, setiap upacara keagamaan dan hari Jumat Legi
masyarakat terbiasa membawa Banten Kumara yang terdiri dari gedhang
setangkep (dua sisir pisang) dan cok bakal (wawancara Juminten dan Untung, 29
Juni 2014).
Masyarakat Dusun Blokagung, Desa Karangdoro, Kecamatan Tegalsari
selalu menyiapkan sesaji khusus berupa kinangan, rokok klobot, teh pahit, kopi
pahit, dan setiap Sugihan Jawa yang jatuh pada Kajeng Kliwon mereka juga
membuat segahan Jawa berupa gedhang setangkep (dua sisir pisang) (wawancara
Sukajianto, 29 Juni 2014).
Sejumlah sesaji tersebut dibuat oleh masyarakat Hindu-Jawa di
Banyuwangi sebagai wujud nyata dari aktivitas religius yang kesemuanya
didasarkam atas tuntunan atau pedoman tertentu dengan tujuan memantapkan
perasaan batin yang tulus dalam upaya menuju atau mendekatkan diri dengan
sumbernya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa bersama atribut-atributnya.
Lingga-yoni oleh masyarakat Jawa-Hindu di Banyuwangi bagaimanapun
bentuknya sangat dikultuskan yaitu mengakui ranah sakral yang dekat dengan
pengalaman pribadi atau yang bersifat spiritual dan memberi nuansa kontinuitas.

16

Berkaitan dengan hal itu, masyarakat meletakkan lingga-yoni di samping
Padmasana dan memposisikannya sebagai panglurah yaitu tempat para
Dhanyang. Keberadaan Dhanyang tersebut akan memudahkannya dalam
berbhakti kepada Tuhan dan juga dapat memohon bantuan kepada para Dhanyang
tersebut untuk tujuan tertentu seperti mengobati orang sakit dan memohon doa
restu (wawancara Untung, 29 Juni 2014).
Miswanto (2009 : 98) mengatakan bahwa kata Dhanyang ini bukan
menjurus pada sesuatu yang negatif, justru sebaliknya kata tersebut lebih
menjurus kepada Dhanghyang yang merupakan sebutan untuk dewa/dewata atau
orang yang sangat dihormati dan melindungi atau mbahureksa suatu wilayah.
Dewata/dewa di dalam Weda digunakan untuk menyebut Tuhan Yang
Maha Esa, kata ini memiliki arti cahaya, berkilauan, dan sinar gemerlapan yang
semuanya itu ditujukan kepada manifestasi-Nya. Dalam Kitab Nirukta VII.4 dan
VII.15 disebutkan bahwa dewa adalah yang memberikan sesuatu kepada manusia,
oleh karena demikian tinggi makna dan ciri khas dari dewata yang merupakan
jiwa alam semesta yang dipuja dengan berbagai pujian. Para dewa, hanyalah
bagian dan/atau manifestasi-Nya. Para dewa tampil dengan berbagai wujud karena
aktivitas-Nya (Titib, 2003 : 73-75). Dalam hal ini, lingga-yoni sebagai
representasi dari aktivitas Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur yang
tunggal.
Etika merupakan tujuan puncak masyarakat Jawa-Hindu di akhir
perjalanan ke sangkan paran. Hal ini termaktub dalam Serat Centhini jilid III, 51
yang berbunyi gegeyonganing ngagesang puniki, inggih budi kang minulyeng
titah, tampak bahwa etika hidup itu tidak akan lepas dari budi. Jika budi itu
menjadi budi luhur, maka etika pun akan mengantarkan manusia Jawa ke arah
budi pekerti luhur.
Cita-cita akhir hidup masyarakat Jawa-Hindu disederhanakan dalam etika
dan jiwa Serat Centhini sendiri terletak pada hubungan antara Niken
Tambanglaras dengan Centhini, dalam hal ini Tambanglaras merupakan
representasi Gusti, sementara Centhini adalah kawula (Suwardi, 2008 : 2).

17

Masyarakat

Jawa-Hindu

memandang

nilai

etika

sebagai

sebuah

perwujudan dari rasa kemanusiaan dan kesusilaan itu sendiri. Nilai etika Jawa
atau yang lebih dikenal dengan unggah-ungguh ini banyak terkandung pada
beberapa karya Pujangga-pujangga Jawa dalam bentuk serat, tembang, gancaran,
dan lain-lain baik secara tersurat maupun tersirat. Nilai-nilai ini kemudian melekat
dalam tindakan-tindakan Jawa.
Berkaitan dengan tataran tata laku spiritual manunggaling kawula gusti
tersebut maka Mangkunegara IV merumuskan dalam konsep Catur Sembah yang
terdiri dari sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Mengenai
hal ini, Mangkunegara IV menuliskannya dalam Serat Wedhatama Pupuh IV
(Gambuh) bait 1 sebagai berikut :
Samengko ingsun tutur,
sembah catur supaya lumuntur,
dhihin raga, cipta, jiwa, rasa, kaki,
ing kono lamun tinemu,
tandha nugrahaning manon,
(Miswanto, 2009 : 65; Wulandari, 2012 : 116).
Terjemahan :
Kini aku menasehatkan, empat sembah agar kau tiru : raga, cipta, jiwa, dan rasa,
anakku, di situ bila dapat kau temukan (lakukan), itulah tanda anugerah Tuhan.
Senada dengan konsep Catur Sembah dari Mangkunegara IV tersebut,
dalam Pustaka Suci Manava Dharmasastra V.109 dinyatakan secara tersirat
melalui sloka berikut :
adbhhirgatrani suddhyanti manah satyena suddhyati,
vidyatapobhyam bhutatma buddhir jnanena suddhyati.
(Miswanto, 2009 : 65)
Terjemahan :
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia
disucikan dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan disucikan dengan
pengetahuan yang benar.
Menyimak sloka di atas, maka sesungguhnya keempat sembah dalam
Catur Sembah tersebut sudah memenuhi kriteria sebagaimana yang dinyatakan
dalam sloka tersebut. Sembah raga adalah praktik penyucian badan yang

18

sarananya adalah dengan air, sembah cipta adalah praktik penyucian pikiran
dengan melalui kebenaran, sembah jiwa adalah praktik penyucian jiwa melalui
tapa brata atau meditasi, dan sembah rasa adalah penyucian budi atau kecerdasan
melalui pengetahuan suci (kawruh) atau kebenaran.
Tata perilaku Jawa akan sangat terkait dengan budaya semu atau
samudana sebagaimana dalam ungkapan wong Jawa iku nggone semu, orang
Jawa tidak hanya menampilkan segala sesuatu dalam bentuk yang kasat mata,
tetapi penuh isyarat makna atau sasmita (Miswanto, 2009 : 65-67). Lingga-yoni
oleh masyarakat Jawa-Hindu yang bermukim di Kabupaten Banyuwangi sering
digunakan sarana untuk bermeditasi atau bersamadhi, memusatkan pikiran kepada
Tuhan Yang Maha Esa seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Pura Bukit
Amerta, Pura Satya Mandara Giri Loka, dan Situs atau Petilasan Selogiri.
Nitihardjo menyatakan bahwa kearifan lokal Jawa merupakan warisan
budaya dari para leluhur Jawa dan mengingat hal tersebut sebagai warisan, maka
masyarakat Jawa-Hindu untuk memelihara tradisi-kebendaan (lingga-yoni)
tersebut tidak pernah lari dari modernisasi sebagaimana apa yang pernah
disampaikan oleh Mahatma Gandhi, think globally but act locally. Dari
pernyataan Gandhi ini tersirat bahwa seseorang walaupun sudah memiliki
wawasan global tetap harus menghargai local wisdom (kearifan lokal).
Mereka bukan berarti tidak mengikuti perkembangan zaman, justru bisa
menjadikan budaya lokal tersebut mampu bersaing dalam peradaban global.
Wawasan sadar budaya yang perlu Masyarakat Jawa-Hindu di Kabupaten
Banyuwangi menganggap bahwa yang perlu dibangun tidak hanya berorientasi
pada masa lampau, namun yang penting dan lebih penting adalah pada
keseimbangan dalam transmisi keluhuran masa lampau, realitas faktual masa kini,
dan peluang serta tantangan masa depan.
Perspektif tentang wawasan sadar budaya yang sudah dimiliki oleh
masyarakat Jawa-Hindu di Kabupaten Banyuwangi dengan jalan merawat,
menjaga, dan memfungsikan lingga-yoni sebagaimana mestinya perlu dimaknai
sebagai penguatan nilai luhur lokal, pengembangan nilai baru melalui keterbukaan

19

yang selektif, serta pemberdayaan individu dan kolektif dalam kompetisi global
untuk harmoni, kesetaraan, dan kesejahteraan.
Vedo ‘khilo dharma mulam smrti sile ca tadwidam,
Acarascaiwa sadhunam atmamanastutir ewa ca.
(Manu Smrti II.6)
Terjemahan :
Seluruh pustaka suci Veda adalah sumber pertama daripada dharma, kemudian
acara (adat istiadat), dan lalu sila (tingkah laku yang terpuji orang-orang budiman
yang mendalami ajaran pustaka suci Veda), juga tata cara peri kehidupan orangorang suci dan akhirnya atmanastuti (kepuasan diri pribadi).
Adat istiadat merupakan kearifan lokal yang menjadi sumber pelaksanaan
dharma yang perlu dipertimbangkan setelah Sruti atau Kitab Suci Veda itu
sendiri. Berangkat dari kesepakatan Smrti tentang sumber-sumber pelaksanaan
dharma itu, maka menjaga kearifan lokal yang terkandung dalam lingga-yoni
adalah kewajiban bagi masyarakat Jawa-Hindu di Kabupaten Banyuwangi
(Miswanto, 2009 : 25-27; Miswanto, 2010 : 3).
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa lingga-yoni merupakan
salah satu jenis data arkeologi yang telah diberi makna budaya. Pembahasan
mengenai makna atau arti dari tinggalan arkeologi ini selalu terbawa dalam
wacana teori arkeologi. McGkade & Van der Leeuw (dalam Sedyawati, 2014b :
325) mengatakan bahwa ideologi, kekuasaan, dan tindakan sosial sangat berperan
dalam menggerakkan proses kemasyarakatan. Komponen-komponen itulah yang
merupakan pembentuk dari struktur-struktur makna yang pada gilirannya
membentuk kehidupan manusia.
Apabila memperhatikan uraian di atas, maka lingga-yoni yang ada di
Kabupaten Banyuwangi memuat sinkretisasi dari berbagai macam konsepsi yang
bersumber dari ajaran agama, mitologi, adat budaya, dan kepercayaan masyarakat
lokal. Lingga-yoni tersebut memiliki makna sebagai: (a) Siwa dan saktinya selaku
penguasa kelahiran, kehidupan, dan kematian; (b) leluhur yaitu seseorang yang
telah melahirkan; dan (c) Dhanyang yaitu sosok yang sangat dihormati. Ketiga
komponen tersebut merupakan representasi dari kemahakuasaan Hyang Widhi

20

Wasa yang akan selalu dekat dengan masyarakat Jawa-Hindu di Kabupaten
Banyuwangi. Selain itu, sebagai salah satu implementasi dari kedekatan tersebut
masyarakat Jawa-Hindu di Kabupaten Banyuwangi selalu menjaga hubungan
yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan
manusia (Pawongan), dan manusia dengan alam (Palemahan).

Daftar Pustaka

21

Arifin, Winarsih Partaningrat. 1995. Babad Blambangan. Yogyakarta: Bentang
Budaya.
Berata, I Made. 1994. “Lingga dengan Tiga Buah Relief Arca di Pura Puseh
Kangin Canangsari Badung”. Skripsi. Denpasar: Jurusan Arkeologi
Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Boechari. 2012. “A Preliminary Note on the Study of the Old-Javanese Civil
Administration”, dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat
Prasasti, Kumpulan Tulisan Boechari. Hlm. 103-113. Jakarta: KPG- FIB
UI-EFEO.
Haryono, Timbul. 2011. “Penanganan Data Artefaktual dalam Penelitian
Arkeologi”, dalam Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia I
(PATI I), Trowulan, Mojokerto-Jawa Timur, 2008. Hlm. 256-259.
Depok: FIB-UI.
Magetsari, Noerhadi. 2011. “Agama di Majapahit”, Laporan Penelitian Arkeologi
Terpadu Indonesia I (PATI I), Trowulan, Mojokerto-Jawa Timur, 2008.
Hlm. 246-255. Depok: FIB-UI.
Margana, Sri, dkk 2012. Laporan Survei dan Pemetaan Tinggalan Kraton
Blambangan di Macan Putih, Kecamatan Kabat, Kabupaten
Banyuwangi. Tidak diterbitkan.Yogyakarta: FIB UGM.
Media Hindu. 2013. “Romo Ageng Wijoyo Buntoro: Petilasan di Jawa,
Kembalikan ke Posisi Sebenarnya”. Media Hindu. Edisi 114, Agustus
2013. Hlm. 17-18.
Miswanto. 2009. Esensi Falsafah Jawa Bagi Peradaban Umat Hindu. Surabaya:
Penerbit Paramita.
__________. 2010. “Menuju Generasi Hindu yang Sadar Budaya Lokal dalam
Dinamika Kehidupan Masyarakat Global”. Makalah disampaikan dalam
Seminar Kebudayaan. Sabha Widya II KPHDS Kabupaten Banyuwangi.
Pura Agung Blambangan, 24-25 Desember 2010.
Munandar, Agus Aris, dkk. 2011. Bangunan Suci Sunda Kuna. Jakarta:
Wedatama Widya Sastra.
Munandar, Agus Aris. 2013. “Istana dan Kaum Agamawan dalam Masa
Majapahit”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Mengungkap
Kebesaran Majapahit. Pekan Budaya dan HUT 32 Fakultas Sastra dan
Budaya. Denpasar. 11 Oktober 2013.

22

Mundardjito. 2002. Pertimbangan Ekologis Penempatan Situs Masa Hindu-Buda
di Daerah Yogyakarta. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra-EFEO.
Paramadhyaksa, I Nyoman Widya. 2010. “Tafsiran Kesetaraan Makna Ornamen
Karang Bhoma Pada Bangunan Suci Tradisional Bali dengan Ornanen
Kala Pada Arsitektrur Candi”, dalam Mutiara Warisan Budaya, Sebuah
Bunga Rampai Arkeologis. Hlm. 163-178. Denpasar: Arkeologi, Fakultas
Sastra-Program Studi Magister-Program Doktor Kajian Budaya,
Universitas Udayana.
Pudja, Gde. 1992. Theologi Hindu (Brahma Widya). Jakarta: Penerbit Yayasan
Dharma Sarathi.
Putra, Ngakan Putu. 2013. “Menjaga Api Spiritualitas Hindu”. Media Hindu.
Edisi 114, Agustus 2013. Hlm. 2-3.
Redig, I Wayan. 2008. “Ikonografi Sakti dalam Siwaisme, Sebuah Fenomena
Persoalan Gender”, dalam Pusaka Budaya dan Nilai-nilai Religiusitas.
Hlm 103-120. Denpasar: Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas
Udayana.
Sedyawati, Edi. 1994. Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari, Sebuah
Tinjauan Sejarah Kesenian. Jakarta: LIPI-RUL.
__________. 2014. “Museum dan Warisan Budaya Tak Benda”, dalam
Kebudayaan di Nusantara dari Keris, Tor-tor sampai Industri Budaya.
Hlm. 321-330. Depok: Komunitas Bambu.
Simanjuntak, Truman. 2012. “Arkeologi dan Pembangunan Karakter Bangsa”,
dalam Arkeologi untuk Publik. Hlm. 7-14. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi
Indonesia.
Supardi, Nunus. 2012. “Arkeologi untuk Masyarakat-Masyarakat untuk
Arkeologi, Catatan Kecil seorang Pemerhati untuk IAAI”, dalam
Arkeologi untuk Publik. Hlm. 125-134. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi
Indonesia.
Suratnaya, Dewa K. 2013. “Situs-situs Hindu di Jawa Timur, Petilasan, Tempat
Persinggahan”. Media Hindu. Edisi 114, Agustus 2013. Hlm. 12-15.
Suwardi. 2008. “Pendidikan Etika dalam Serat Centhini, dari Udarasa, Udasmara,
Sampai Udanagara”. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional
dan Peluncuran Serat Centhini. FIB Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta. 22 Desember 2008.

23

Titib, I Made. 2003. Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya:
Penerbit Paramita.
Viresvarananda, Svami. 2004. Brahma Sutra, Pengetahuan tentang Ketuhanan.
Surabaya: Penerbit Paramita.
Windarti, Esti. 1998. “Model Busana Kain Pada Beberapa Arca Masa Singasari”.
Skripsi. Denpasar: Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas
Udayana.
Wulandari, Susiani. 2012. “Nilai-nilai Pendidikan Karakter Berbasis Moral yang
Terkandung dalam Serat Wedhatama di Banyuwangi”. Skripsi. Denpasar:
Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia.