KATA PENGANTAR - Etika Organisasi PrajabII 2011

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Teori Etika Dan Hubungannya Dengan Paradigma Hakikat Manusia ........................................................................................................... 27

Tabel 4.1. Perbandingan Kode Etik antar unit Eselon I di Lingkungan Kementerian Keuangan ................................................................................... 48

Tabel 4.2. Perbandingan Sanksi Pelanggaran dan Lembaga yang Bertugas Memeriksa Pelanggaran Kode Etik dalam Aturan Kode Etik tiap Unit Eselon I .............................................................................................. 51

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Terbentuknya Tindakan Etis ....................................................... 11

Gambar 2.1. Peran Etika dalam Tindakan ....................................................... 20

Gambar 2.2. ..................................................................................................... 23

Gambar 2.3. ..................................................................................................... 26

vii

PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL

Modul Etika Organisasi Pemerintah ini adalah uraian terkecil bahan ajar diklat untuk memandu peserta diklat dalam proses pembelajaran diklat secara rinci. Modul ini berisi uraian dari pokok-pokok bahasan sesuai dengan kompetensi dasar yang dilengkapi dengan metode dan media pembelajaran, petunjuk penugasan, diskusi, latihan-latihan, dan evaluasinya.

Langkah-langkah belajar yang sebaiknya dilakukan oleh peserta dalam menguasai materi modul ini adalah sebagai berikut: -

Bacalah modul ini terlebih dahulu sebelum Anda mengikuti pembelajaran di kelas. Hal ini akan membantu Anda dalam memahami penjelasan yang disampaikan oleh fasilitator. Tidak ada informasi yang perlu dihafal.

- Fasilitator di kelas adalah orang yang akan membantu pemahaman Anda secara lebih baik dan tempat untuk bertanya bila terdapat hal yang masih sulit dipahami.

- Kerjakan semua soal latihan yang terdapat di akhir tiap kegiatan belajar dengan seksama begitu Anda menyelesaikan tiap kegiatan belajar. Bacalah kembali bagian yang belum Anda kuasai.

Modul yang ada di tangan pembaca ini merupakan sarana kegiatan belajar mengajar yang memiliki beberapa tujuan dalam penulisan. Secara lengkap, tujuan penulisan modul ini adalah sebagai berikut:

1. Referensi materi

Modul ini merupakan suatu paket pengajaran yang disusun secara sistematis, terarah, dan lengkap sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar.

2. Referensi belajar

Modul ini dapat digunakan untuk referensi belajar atau pengganti tatap muka antara widyaiswara/tenaga pengajar dan peserta diklat.

3. Referensi lanjutan belajar

Pendalaman lanjutan terhadap suatu objek studi tertentu juga disajikan di dalam modul dalam bentuk kepustakaan.

viii

4. Motivator

Modul ini digunakan untuk memperjelas dan mempermudah penyajian pesan atau materi agar tidak terlalu bersifat verbal. Selain itu, modul ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi belajar bagi peserta diklat dan mengembangkan kemampuan peserta diklat dalam berinteraksi langsung dengan lingkungan.

5. Evaluator

Modul ini dapat digunakan oleh peserta diklat untuk mengukur atau mengevaluasi sendiri hasil belajarnya karena modul ini memungkinkan peserta diklat belajar mandiri.

6. Pembelajaran yang fleksibel

Penggunaan modul dapat mengatasi masalah keterbatasan waktu, ruang, dan daya indra, baik bagi peserta diklat maupun widyaiswara/tenaga pengajar.

ix

PETA KONSEP MODUL

Keutamaan

Deont o logi

Kode Etik

Moral

Etika Organisasi Pemerintah

Kode Etik di Lingkungan Kementerian Keuangan

Pendahuluan

1. Deskripsi Singkat

Etika menjadi prasyarat utama bagi efektifnya fungsi organisasi pemerintah. Organisasi pemerintah yang memang dibentuk untuk menjalankan fungsi pelayanan publik memiliki tanggung jawab hukum dan moral kepada masyarakat luas sebagai pemangku kepentingan dalam pencapaian kinerjanya. Adanya pelanggaran etika sekecil apapun yang dilakukan oleh aparatur pemerintah akan menyebabkan publik menjadi tidak percaya kepada organisasi ini.

Sering terjadi, ketika suap dan korupsi marak, pelayanan publik yang rumit dan bertele-tele, serta krisis moralitas terjadi di lingkungan organisasi pemerintah, isu etika menjadi penting dan mendesak untuk diperhatikan oleh semua unsur aparatur pemerintah dari level pimpinan tertinggi yaitu Presiden, hingga ke level pelaksana terendah di unit organisasi pemerintah. Padahal, pembangunan etika yang baik sesungguhnya tidak melihat momentum ataupun kondisi tertentu, bila kondisi sudah mencemaskan maka barulah etika diperhatikan. Lebih dari itu, etika sepatutnya tidak hanya dipahami dalam tataran teori saja namun harus mampu mengembangkan perilaku, keterampilan, dan sikap yang mendukung pelaksanaan tugas aparatur pemerintah.

Donald C. Menzel yang pernah menjabat sebagai Presiden American Society for Public Administration mengatakan bahwa tidak ada obat ajaib yang dapat diaplikasikan kepada organisasi sektor publik untuk mentransformasi mereka menjadi organisasi yang berintegritas. Organisasi sektor publik yang berintegritas harus mampu menjadi tempat kerja dimana tiap individu memperlakukan satu sama lain dengan rasa hormat, menghargai pekerjaannya, saling peduli, mengutamakan akuntabilitas, dan menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan. Beberapa perangkat yang saling bersinergi dapat digunakan untuk mewujudkan organisasi pemerintah yang ideal tersebut, yaitu:

 Kepemimpinan yang menjadi teladan  Pelatihan Etika  Kode Etik dan Sumpah Jabatan  Pemeriksaan Etika, dan  Manajemen Sumber Daya Manusia

Pendidikan dan pelatihan etika, salah satunya melalui Diklat Prajabatan Golongan II, sebagai salah satu media transformasi organisasi penting untuk diberikan kepada para pegawai khususnya pegawai Kementerian Keuangan agar kelak mereka berperilaku sesuai dengan tuntutan-tuntutan etika dalam bernegara, berorganisasi, dan bermasyarakat. Lebih lanjut, pemahaman terhadap etika diharapkan akan membekali para peserta Diklat Prajabatan Golongan II dalam mengapresiasi organisasi tempat mereka bekerja.

Pelatihan etika melalui diklat seperti Diklat Prajabatan ini adalah pelatihan yang bersifat off the job training. Yang utama, etika tidak cukup dibangun melalui aktivitas seperti ini tetapi harus juga dikembangkan ketika para pegawai telah berkecimpung dalam kesibukan di kantor masing-masing. Disini menjadi tugas para pimpinan unit organisasi untuk dapat mengembangkan on the job training seperti melakukan orientasi kepada pegawai, coaching (pemberian instruksi), mentoring (pembekalan rutin), atau melalui rapat rutin dan penugasan yang akan memberi wawasan berkesinambungan bagi pegawai di tempat kerja.

2. Prasyarat Kompetensi

Para peserta yang ditunjuk untuk mengikuti Diklat Prajabatan Golongan II adalah CPNS yang mempunyai kompetensi yang diindikasikan dari sikap dan perilakunya yang penuh dengan kesetiaan dan ketaatan kepada negara, bermoral dan bermental baik, profesional, sadar akan tanggung jawab sebagai pelayan publik, serta mampu menjadi perekat persatuan dan kesatuan negara. Selanjutnya, peserta yang mengikuti mata diklat Etika Organisasi Pemerintah ini hendaknya telah memiliki pemahaman dasar tentang konsep perilaku dan prinsip perilaku utama yang dianut suatu organisasi sehingga dapat mempengaruhi proses pembelajaran selanjutnya.

3. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD)

Standar kompetensi merupakan kecakapan atau kompetensi (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) yang dipersyaratkan bagi setiap PNS (mulai PNS Golongan

II) agar dalam menjalani karirnya sebagai PNS di lingkungan Kementerian Keuangan dapat senantiasa: II) agar dalam menjalani karirnya sebagai PNS di lingkungan Kementerian Keuangan dapat senantiasa:

b. Melaksanakan etika dalam kehidupan kerja;

c. Menginternalisasi dan merefleksi etika sehingga dapat dikembangkan perilaku-perilaku etis.

Kompetensi dasar adalah serangkaian kecakapan atau kompetensi yang diharapkan dapat dicapai setelah mempelajari modul secara mandiri dan memperoleh pengalaman belajar melalui kegiatan-kegiatan tutorial. Serangkaian kompetensi dasar yang diharapkan adalah:

a. Memahami konsep-konsep etika dan aplikasi etika dalam dunia kerja;

b. Menyimpulkan berbagai argumentasi dari teori-teori etika;

c. Menghargai pentingnya aplikasi etika dalam kehidupan birokrasi;

d. Menganalisis keterkaitan antar unsur dalam berbagai kode etik di lingkungan Kementerian Keuangan.

4. Relevansi Modul

Modul Etika Organisasi Pemerintah ini menyajikan bahasan studi mulai dari penjelasan umum tentang konsep-konsep etika secara teoretis hingga bagaimana penerapan etika di lingkungan Kementerian Keuangan yang dilakukan dengan sistematika yang sederhana. Relevansi modul etika organisasi pemerintah ini bagi peserta dan pelaksanaan diklat meliputi:

a. Para peserta diberikan pemahaman dan kerangka acuan berpikir yang utuh tentang etika yang selanjutnya dapat menjadi panduan untuk diaplikasikan di unit kerja masing-masing;

b. Modul ini memiliki keterkaitan secara langsung dengan mata diklat lain pada Diklat Prajabatan Golongan II, yaitu mata diklat Budaya Organisasi Pemerintah disebabkan prinsip etika dan budaya organisasi merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu, modul ini dapat dijadikan referensi tambahan atau pelengkap dari materi yang terdapat di dalam modul Budaya Organisasi Pemerintah.

Tes Sederhana untuk Menguji Keyakinan Etis Anda

Jawablah pertanyaan berikut sesuai dengan tindakan yang mungkin Anda lakukan. Lingkarilah salah satu angka dari 1 sampai 4 yang paling menunjukkan keyakinan Anda.

1) Sebagai seorang pegawai, Anda melaporkan secara tertulis kepada atasan jika berada dalam situasi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugas:

1 Sangat tidak setuju

3 Setuju

2 Tidak setuju

4 Sangat setuju

2) Anda memberitahukan kepada atasan langsung mengenai pertemuan dengan pihak lain yang akan dan telah dilaksanakan, baik sendiri atau bersama orang lain, dalam hubungannya dengan tugas kedinasan:

1 Sangat tidak setuju

3 Setuju

2 Tidak setuju

4 Sangat setuju

3) Anda boleh mengumpulkan kontribusi di tempat kerja untuk membiayai aktivitas politik:

1 Sangat setuju

3 Tidak setuju

2 Setuju

4 Sangat tidak setuju

4) Anda tidak membutuhkan persetujuan untuk bekerja atau beraktivitas di luar ketika hal ini tidak berkaitan dengan pekerjaan Anda di instansi pemerintah:

1 Sangat setuju

3 Tidak setuju

2 Setuju

4 Sangat tidak setuju

5) Anda mendapati bahwa kantor akan bekerja hingga tengah malam. Karena Anda tidak bisa melakukan pekerjaan mendesak di luar kantor karena lembur tersebut, Anda menggunakan telepon kantor untuk menghubungi teman dan memberitahukan mereka:

1 Sangat setuju

3 Tidak setuju

2 Setuju

4 Sangat tidak setuju

6) Anda membatasi diri dari menggunakan fasilitas olahraga, hotel, restoran dan atau hiburan lainnya secara berlebihan bersama dengan pihak atau pihak-pihak yang secara langsung atau tidak langsung berpotensi menimbulkan benturan kepentingan:

1 Sangat tidak setuju

3 Setuju

2 Tidak setuju

4 Sangat setuju

7) Ketika anda mendapatkan sebuah pertanyaan yang berkaitan dengan etika dalam pekerjaan, Anda seharusnya:

1 Melempar koin

2 Bertanya pada bawahan

3 Bertanya kepada atasan

4 Bertanya pada bagian KITSDA

Tentukan nilai total skor Anda dengan menjumlahkan angka-angka yang Anda lingkari. Semakin rendah nilai skor Anda, semakin besar pertanyaan terhadap prinsip-prinsip etis yang Anda anut dalam melakukan pekerjaan. Nilai skor terendah yang mungkin adalah 7, skor tertinggi adalah 28.

Kegiatan Belajar

Kegiatan Belajar 1

Etika, Moral, Etos, Etiket, dan Kode Etik

INDIKATOR KEBERHASILAN

Setelah mempelajari Kegiatan Belajar ini diharapkan peserta mampu:

• Membedakan dalam garis besar istilah etika, moral,

etos, dan etiket; • Membandingkan perbedaan mendasar antara etika

dan etiket; • Menjelaskan pengertian kode etik; • Menyebutkan dan menjelaskan syarat-syarat agar

kode etik dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

1. Uraian dan Contoh

a. Etika dan Moral

Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) atau ethics (plural) yang berarti aturan atau cara berperilaku yang didasarkan pada ide tentang apa yang secara moral baik dan buruk. Seperti misalnya di sebuah unit eselon I Kementerian Keuangan, para pegawai diwajibkan mengenakan tanda pengenal, berpakaian rapi dan sopan selama jam kerja dan dilarang mengenakan celana jeans dan/atau kaos oblong di lingkungan kantor. Ini adalah aturan cara berperilaku (etika) di kantor tersebut dimana kewajiban harus dilaksanakan karena secara moral dianggap baik sementara larangan harus ditinggalkan karena secara moral dianggap buruk. Akan tetapi, terkadang ethics (uncountable atau bentuk kata benda yang tidak dapat dihitung) berarti suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral.

Istilah etika dalam bahasa Yunani disebut ethikos yang diterjemahkan menjadi karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung konsep- konsep seperti harus, mesti, benar-salah; mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral; serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral. Dalam bahasa Yunani Kuno, etika disebut ethos (bentuk tunggal) yang mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, Istilah etika dalam bahasa Yunani disebut ethikos yang diterjemahkan menjadi karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung konsep- konsep seperti harus, mesti, benar-salah; mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral; serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral. Dalam bahasa Yunani Kuno, etika disebut ethos (bentuk tunggal) yang mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,

Jadi, jika kita membatasi pada asal-usul kata ini, maka etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Secara lebih rinci, etika merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.

Dalam perkembangannya, etika memiliki pengertian-pengertian yang lebih luas. Agoes dan Ardana (2009) mengutip beberapa pengertian etika tersebut di antaranya:

1) Ada dua pengertian etika; sebagai praksis dan sebagai refleksi (Bertens, 2000). Sebagai praksis, etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang baik yang dipraktikkan atau justru tidak dipraktikkan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai praksis sama artinya dengan moral atau moralitas – yaitu apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan sebagainya. Seperti misalnya korupsi, pembunuhan, penindasan, dan pelanggaran hak asasi manusia secara praksis tidak boleh dilakukan atau tidak pantas dilakukan karena bertentangan dengan nilai-nilai dan norma moral. Namun dalam kenyataan masih banyak orang-orang yang melakukan hal tersebut. Sementara itu, etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Etika sebagai pemikiran moral bisa saja mencapai taraf ilmiah bila proses penalaran terhadap moralitas tersebut bersifat kritis, metodis, dan sistematis. Dalam taraf ini ilmu etika dapat saja mencoba merumuskan suatu teori, konsep, asas, atau prinsip-prinsip tentang perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik, mengapa perilaku tersebut dianggap baik atau tidak baik, mengapa menjadi baik itu sangat bermanfaat, dan sebagainya. Ketika kita membaca tulisan Socrates, Plato, dan Aristoteles yang mendiskusikan etika maka kita telah berhubungan dengan etika sebagai refleksi.

2) Menurut Lawrence, Weber, dan Post (2005), etika adalah suatu konsepsi tentang perilaku benar dan salah. Etika menjelaskan kepada kita apakah 2) Menurut Lawrence, Weber, dan Post (2005), etika adalah suatu konsepsi tentang perilaku benar dan salah. Etika menjelaskan kepada kita apakah

3) Menurut David P. Baron (2005), etika adalah suatu pendekatan sistematis atas penilaian moral yang didasarkan atas penalaran, analisis, sintesis, dan reflektif.

4) Istilah lain dari etika adalah susila. Su artinya baik, dan sila artinya kebiasaan atau tingkah laku. Jadi, susila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik. Etika sebagai ilmu disebut tata susila, yang mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan, apa yang harus dikerjakan atau dihindari sehingga tercipta hubungan yang baik di antara sesama manusia (Suhardana, 2006). Dari beberapa definisi di atas, tampak jelas bahwa kajian tentang etika

sangat dekat dengan kajian moral. Sebagai perbandingan, moral berasal dari bahasa Latin moralis (kata dasar mos, moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, cara, dan tingkah laku. Bila dijabarkan lebih jauh moral mengandung arti; (1) baik- buruk, benar-salah, dan tepat-tidak tepat dalam aktivitas manusia, (2) tindakan benar, adil, dan wajar, (3) kapasitas untuk diarahkan pada kesadaran benar-salah, dan kepastian untuk mengarahkan orang lain sesuai dengan kaidah tingkah laku yang dinilai benar-salah, (4) sikap seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Meskipun demikian, moral dan etika memiliki sedikit perbedaan. Prinsip etika merupakan titik awal bagi perilaku hidup manusia, sementara moral merupakan prinsip yang membimbing ke arah kebahagiaan spiritual.

Manusia disebut etis manakala manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dengan menjaga asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan lingkungannya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk yang berdiri sendiri dengan penciptanya. Dapat disimpulkan bahwa perilaku yang dianggap etis itu adalah perilaku atau perbuatan yang baik, benar dan adil. Baik, benar, dan adil merupakan hal yang cederung subyektif karena adanya pemikiran prinsipil dan kritis dari individu. Baik, benar, dan adil menurut orang yang Manusia disebut etis manakala manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dengan menjaga asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan lingkungannya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk yang berdiri sendiri dengan penciptanya. Dapat disimpulkan bahwa perilaku yang dianggap etis itu adalah perilaku atau perbuatan yang baik, benar dan adil. Baik, benar, dan adil merupakan hal yang cederung subyektif karena adanya pemikiran prinsipil dan kritis dari individu. Baik, benar, dan adil menurut orang yang

Agama

Moralitas

Filosofi Hidup

dan

Masyarakat,

Pilihan Moral

Budaya, Komunitas

Kode Etik,

Lingkungan

Hukum, dan

Peraturan

Keluarga/Klan

Konteks Lokal

Argumen Prinsip dan

Tindakan

Kritis dari

Individu

Etis

Gambar 1.1. Terbentuknya Tindakan Etis

b. Etos

Etos dapat didefinisikan sebagai karakter mendasar atau semangat dari suatu budaya; suatu sentimen yang menginformasikan tentang kepercayaan, adat kebiasaan, dan praktik dari suatu kelompok atau masyarakat. Dalam bahasa Inggris, ethos diterjemahkan sebagai suatu keyakinan yang membimbing orang, kelompok, ataupun organisasi (Merriam-Webster’s, 2008). Secara lebih luas, Magnis Suseno (1992) mendefinisikan etos sebagai semangat dan sikap batin tetap seseorang atau sekelompok orang terhadap kegiatan tertentu yang di dalamnya termuat nilai-nilai moral tertentu.

Pemakaian kata etos seringkali tampak pada kombinasi etos kerja, etos profesi, dan sebagainya. Beberapa pengertian etos kerja, yaitu: • Keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang,

sekelompok orang atau sebuah institusi. • Etos kerja merupakan perilaku khas suatu komunitas atau organisasi,

mencakup motivasi yang menggerakkan, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi- aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, dan standar-standar.

• Sehimpunan perilaku positif yang lahir sebagai buah keyakinan fundamental dan komitmen total pada sehimpunan paradigma kerja yang integral. Akar yang membentuk etos kerja menurut Jansen H. Sinamo adalah motivasi

kerja. Lebih jauh, Jansen H. Sinamo mengidentifikasi delapan etos kerja profesional, yaitu:

1) Kerja adalah Rahmat: bekerja tulus penuh syukur.

2) Kerja adalah Amanah: bekerja benar penuh tanggung jawab

3) Kerja adalah Panggilan: bekerja tuntas penuh integritas.

4) Kerja adalah Aktualisasi: bekerja keras penuh semangat.

5) Kerja adalah Ibadah: bekerja serius penuh kecintaan.

6) Kerja adalah Seni: bekerja cerdas penuh kreativitas.

7) Kerja adalah Kehormatan: bekerja tekun penuh keunggulan.

8) Kerja adalah Pelayanan: bekerja paripurna penuh kerendahan hati. Dalam Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2004 tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik Pegawai Negeri Sipil disebutkan bahwa ruang lingkup pembinaan jiwa korps Pegawai Negeri Sipil salah satunya mencakup peningkatan etos kerja dalam rangka mendukung produktivitas kerja dan profesionalitas Pegawai Negeri Sipil. Etos kerja aparatur yang dimaksudkan disini adalah kegiatan atau upaya-upaya untuk menggali dan menerapkan nilai-nilai positif dalam organisasi/instansi pemerintah yang disepakati oleh para anggotanya (Pegawai Negeri Sipil) untuk meningkatkan produktivitas kerja. Sebagai contoh, pada unit Ditjen Perbendaharaan telah diciptakan motto “Layanan cepat, tepat, akurat, transparan dan tanpa biaya”. Dengan motto baru ini diharapkan tertanam nilai-nilai 8) Kerja adalah Pelayanan: bekerja paripurna penuh kerendahan hati. Dalam Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2004 tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik Pegawai Negeri Sipil disebutkan bahwa ruang lingkup pembinaan jiwa korps Pegawai Negeri Sipil salah satunya mencakup peningkatan etos kerja dalam rangka mendukung produktivitas kerja dan profesionalitas Pegawai Negeri Sipil. Etos kerja aparatur yang dimaksudkan disini adalah kegiatan atau upaya-upaya untuk menggali dan menerapkan nilai-nilai positif dalam organisasi/instansi pemerintah yang disepakati oleh para anggotanya (Pegawai Negeri Sipil) untuk meningkatkan produktivitas kerja. Sebagai contoh, pada unit Ditjen Perbendaharaan telah diciptakan motto “Layanan cepat, tepat, akurat, transparan dan tanpa biaya”. Dengan motto baru ini diharapkan tertanam nilai-nilai

c. Etiket

Pengertian etiket dan etika sering dicampuradukkan, padahal kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda, walaupun ada persamaannya. Istilah etika sebagaimana dijelaskan sebelumnya berkaitan dengan moral (mores), sedangkan kata etiket berkaitan dengan nilai sopan santun, tata krama dalam pergaulan formal. Persamaannya adalah keduanya mengatur mengenai perilaku manusia secara normatif yang etis, artinya memberikan pedoman atau norma-norma tertentu yaitu bagaimana seharusnya seseorang itu melakukan perbuatan dan tidak melakukan sesuatu perbuatan.

Istilah etiket berasal dari etiquette (Perancis) yang berawal dari suatu kartu undangan yang biasanya dipergunakan semasa raja-raja di Perancis mengadakan pertemuan resmi, pesta dan resepsi untuk kalangan para elite kerajaan atau bangsawan. Dalam pertemuan tersebut telah ditentukan atau disepakati berbagai peraturan atau tata krama yang harus dipatuhi, seperti cara berpakaian (tata busana), cara duduk, cara bersalaman, cara berbicara, dan cara bertamu dengan sikap serta perilaku yang penuh sopan santun dalam pergaulan formal atau resmi.

Ada beberapa pengertian etiket, menurut para pakar, di antaranya, etiket merupakan kumpulan tata cara dan sikap yang baik dalam pergaulan antar manusia yang beradab. Pendapat lain mengatakan bahwa etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah laku sebagai anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan.

Menurut K. Bertens (2000) selain ada persamaannya, ada empat perbedaan antara etika dan etiket, secara umum sebagai berikut:

1) Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya. Etiket menetapkan cara untuk melakukan perbuatan benar sesuai dengan yang diharapkan.

2) Etika adalah nurani (batiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang timbul dari kesadaran dirinya. Etiket adalah formalitas (lahiriah), tampak dari sikap luarnya penuh dengan sopan santun dan kebaikan.

3) Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi; perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi. Etiket bersifat relatif, yaitu yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan daerah tertentu, belum tentu demikian di daerah lainnya.

4) Etika berlakunya tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir. Etiket hanya berlaku, jika ada orang lain yang hadir, dan jika tidak ada orang lain maka etiket itu tidak berlaku.

d. Kode Etik

Selama ini kode etik hanya dikenal di lingkungan profesi tertentu seperti dokter, pengacara, atau akuntan publik. Ketiga profesi ini adalah bagian dari bidang pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup. Profesi secara sempit memang bisa disebut sebagai pekerjaan, tetapi secara lebih luas profesi dapat diartikan sebagai kelompok moral yang memiliki ciri-ciri dan nilai-nilai bersama yang harus dijunjung tinggi (Cominish 1983:48). Pada dasarnya semua orang yang secara khusus bekerja penuh (purna waktu) dan hidup dari pekerjaan ini dengan mengandalkan keahlian dan keterampilannya yang tinggi dan memiliki komitmen pribadi yang menjunjung tinggi pekerjaannya dapat dikatakan sebagai kelompok profesional, termasuk di dalamnya seorang Pegawai Negeri Sipil.

Weiss (2006) mendefinisikan kode etik (code of conduct) sebagai pernyataan nilai yang mendefinisikan suatu organisasi. Di dalam kode etik biasanya tertuang nilai-nilai dan kepercayaan dominan dari pemimpin suatu organisasi yang menjadi landasan dari budaya organisasi. Karena itu, kode etik harus berisi mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang harus didahulukan dan apa yang boleh dikorbankan ketika menghadapi situasi konflik atau dilematis, tujuan atau cita-cita luhur organisasi, dan bahkan sanksi yang akan dikenakan kepada anggota organisasi yang melangar.

Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu anggota profesi sebagai seorang yang profesional supaya tidak merusak citra profesi. Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi:

• Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang

prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

• Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas

profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengendalian terhadap para pelaksana di lapangan kerja.

• Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi

terkait dengan hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di instansi atau perusahaan lain. Saat ini makin banyak organisasi yang menyadari pentingnya aspek sikap

dan perilaku ini sehingga makin banyak organisasi yang mengembangkan kode etik untuk dijadikan acuan perilaku bagi seluruh karyawannya, tak terkecuali instansi pemerintah. Kode etik yang baik tidak hanya cukup menjadi pedoman yang dihasilkan oleh suatu organisasi, namun harus dipahami, disadari pentingnya, dan dijalankan oleh semua pegawai termasuk manajemen puncak.

Berdasarkan studi oleh Weaver, Trevino, dan Cochran (dalam Brooks, 2003:149) ada sedikitnya enam dimensi program etik agar suatu kode etik dapat dipatuhi, yaitu:

1) Kode etik formal, yaitu suatu kode etik yang dirumuskan atau ditetapkan secara resmi oleh suatu asosiasi, organisasi profesi, atau suatu lembaga/entitas tertentu.

2) Komite etika, yaitu entitas yang mengembangkan kebijakan, mengevaluasi tindakan, menginvestigasi, dan menghakimi pelanggaran-pelanggaran etika.

Kita mengenal di Kementerian Keuangan terdapat unit yang bernama Pusat Kepatuhan Internal Kepabeanan dan Cukai sebagai sebuah contoh komite etika yang dibentuk untuk mengembangkan kebijakan tentang etika di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

3) Sistem komunikasi etika, yaitu suatu media atau cara untuk menyosialisasikan kode etik dan perubahannya, termasuk isu-isu etika dan cara mengatasinya yang bersifat dua arah – antara pejabat otoritas etika dengan pihak-pihak terkait dalam suatu entitas/organisasi. Di lingkungan organisasi pemerintah, para pimpinan unit kerja tertentu dapat menggunakan coaching, mentoring, dan pertemuan koordinasi (on the job training) untuk menyosialisasikan kode etik sehingga dapat menumbuhkan perilaku, keterampilan, dan sikap yang diharapkan oleh organisasi dari para pegawai.

4) Pejabat etika (ethics officers, ombuds persons), yaitu pihak yang mengoordinasikan kebijakan, memberikan pendidikan, dan menyelidiki tuduhan adanya pelanggaran etika. Dalam organisasi Kementerian Keuangan lembaga ini dikenal dengan nama Majelis Kode Etik.

5) Program pelatihan etika, yaitu program yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan membantu karyawan dalam merespons masalah-masalah etika. Sebagai contoh, pelatihan etika dapat dilakukan melalui diklat Pra Jabatan maupun diklat yang dilakukan oleh konsultan swasta (outsourcing).

6) Proses penetapan disiplin dalam hal terjadi perilaku tidak etis.

2. Latihan 1 Jawab dan tanggapi beberapa pertanyaan dan instruksi berikut.

1. Jelaskan hubungan antara etika dan moral!

2. Jelaskan pengertian etos kerja!

3. Jelaskan apa yang membedakan antara etika dan etiket!

4. Jelaskan pengertian kode etik!

5. Sebutkan enam dimensi program etik!

3. Rangkuman

Etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika merupakan sistem moral dan prinsip-prinsip dari suatu perilaku manusia yang kemudian dijadikan sebagai standardisasi baik-buruk, salah-benar, serta sesuatu yang bermoral atau tidak bermoral.

Etos dapat didefinisikan sebagai karakter mendasar atau semangat dari suatu budaya; suatu sentimen yang menginformasikan tentang kepercayaan, adat kebiasaan, dan praktik dari suatu kelompok atau masyarakat.

Istilah etika berkaitan dengan moral (mores), sedangkan kata etiket berkaitan dengan nilai sopan santun dan tata krama dalam pergaulan formal.

Di dalam kode etik biasanya tertuang nilai-nilai dan kepercayaan dominan dari pemimpin suatu organisasi yang menjadi landasan dari budaya organisasi. Ada sedikitnya enam dimensi program etik agar suatu kode etik dapat dipatuhi, yaitu: kode etik formal, komite etika, sistem komunikasi etika, pejabat etika (ethics officers, ombuds persons), program pelatihan etika, dan proses penetapan disiplin dalam hal terjadi perilaku tidak etis.

4. Tes Formatif 1

I. Tulislah B bila pernyataan di bawah ini Benar atau S bila Salah

1. Antara etika dan etiket terdapat kesamaan yaitu sama-sama mengacu pada norma moral.

2. Kode etik adalah seperangkat aturan moral dalam sebuah organisasi mengenai bagaimana semua anggota organisasi harus bersikap dan berperilaku.

3. Kode etik formal yaitu suatu media atau cara untuk menyosialisasikan kode etik dan perubahannya.

4. Etika sebagai praksis sama dengan moral atau moralitas yang berarti adat istiadat.

5. Etika adalah suatu pendekatan sistematis atas penilaian moral yang didasarkan atas penalaran, analisis, sintesis, dan reflektif merupakan definisi menurut Ardana dan Agoes.

II. Pilihlah

A, bila pernyataan-pernyataan 1, 2, dan 3 benar

B, bila pernyataan-pernyataan 1 dan 3 benar

C, bila pernyataan-pernyataan 2 dan 4 benar

D, bila semua pernyataan benar

6. Moral dan etika memiliki beberapa kesamaan yaitu:

1. Asal kata sama-sama diambil dari bahasa Yunani kuno

2. Bersifat situasional

3. Dilandasi oleh nilai-nilai tertentu yang diyakini

4. Mengandung arti adat istiadat atau kebiasaan

7. Moral dapat diartikan sebagai:

1. Pembeda antara yang harus dan tidak harus dilakukan

2. Dorongan batin dalam diri seseorang

3. Adat istiadat

4. Kebiasaan

8. Hal-hal berikut yang menerangkan tentang “Etos” yaitu:

1. Terlihat dalam cara dan semangat orang melakukan kegiatan

2. Dipengaruhi oleh pandangan, harapan, dan kebiasaan kelompoknya

3. Kuat lemahnya terlihat pada saat menghadapi hambatan dan tantangan

4. Pola sikap dan perilaku yang diharapkan dari individu

9. Etika dapat dikaitkan dengan hal-hal berikut:

1. Dalam arti sempit, sama maknanya dengan moral

2. Juga merupakan bidang studi filsafat

3. Sebagai praksis diartikan sebagai nilai-nilai moral yang mendasari perilaku

4. Berlakunya tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir.

10. Profesi merupakan istilah yang memiliki dimensi:

1. secara sempit disebut sebagai pekerjaan,

2. hanya untuk dokter, pengacara, dan akuntan

3. secara luas dapat diartikan sebagai kelompok moral,

4. dilakukan oleh para profesional

5. Umpan Balik dan Tindak Lanjut

Cocokkan hasil jawaban Anda dengan kunci jawaban yang telah disediakan. Hitunglah jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat pemahaman Anda terhadap materi pada kegiatan belajar ini. Perhatikan dan cocokkan hasil jawaban Anda dengan kualifikasi hasil belajar yang telah terinci sebagaimana rumus dibawah ini.

Jumlah Jawaban Yang Benar TP =

X 100%

Jumlah keseluruhan Soal

Apabila tingkat pemahaman (TP) Anda dalam memahami materi yang sudah dipelajari mencapai:

91% s.d 100%

Sangat Baik

81% s.d. 90,00%

Baik

71% s.d. 80,99%

Cukup

61% s.d. 70,99%

Kurang

0% s.d. 60%

Sangat Kurang

Bila hasil perhitungan Anda telah mencapai 81 % atau lebih, maka Anda telah menguasai materi kegiatan belajar 1 ini dengan baik. Untuk selanjutnya Anda dapat melanjutkan kegiatan belajar berikutnya.

Kegiatan Belajar 2

Teori-Teori Etika

INDIKATOR KEBERHASILAN

Setelah mempelajari Kegiatan Belajar ini diharapkan peserta mampu:

• Menguraikan alasan mengapa etika dikatakan

sebagai cabang filsafat; • Membedakan dalam garis besar pengertian antara

etika deontologi, etika teleologi, dan etika

keutamaan; • Membandingkan perbedaan pokok antara egoisme

etis dan utilitarianisme.

1. Uraian dan Contoh

a. Etika sebagai Cabang Filsafat

Menurut Ginandjar Kartasasmita (1996) etika adalah dunianya filsafat, nilai, dan moral. Etika bersifat abstrak dan mengacu kepada pengetahuan secara menyeluruh dan sistematis yang berkenaan dengan perilaku baik dan buruk, sementara moral lebih ke arah pola aktual dari perilaku dan aturan yang secara langsung mempengaruhi tindakan. Sebagai cabang filsafat etika didiskusikan secara ilmiah dan berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai- nilai, dan norma-norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik.

Gambar 2.1. Peran Etika dalam Tindakan

Dalam membahas etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat tiga macam pendekatan menurut K. Bertens (2000) sebagai berikut:

1) Etika Deskriptif Etika deskriptif menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya dan tidak mengevaluasi secara moral. Ia tidak menilai apakah adat mengayau (memenggal kepala) yang dilakukan oleh suatu suku primitif bisa diterima atau ditolak. Ia juga tidak menilai apakah abortus yang sangat permisif di Cina bisa diterima atau ditolak.

Etika deskriptif tampak pada ilmu-ilmu sosial, seperti Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Sejarah dan sebagainya. Objek penyelidikannya adalah individu-individu, dan kebudayaan-kebudayaan. Ilmu-ilmu ini hanya membatasi diri pada pengalaman atau peristiwa inderawi. Karena alasan ini, etika deskriptif tidak dapat dimasukkan dalam kelompok filsafat umumnya dan filsafat moral khususnya.

2) Etika Normatif Etika normatif menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.

Etika normatif mengevaluasi apakah perilaku tertentu bisa diterima atau tidak berdasarkan norma-norma moral yang menjunjung tinggi martabat manusia. Dalam hal ini, seseorang dapat dikatakan terlibat dalam participation approach karena yang bersangkutan telah melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang Etika normatif mengevaluasi apakah perilaku tertentu bisa diterima atau tidak berdasarkan norma-norma moral yang menjunjung tinggi martabat manusia. Dalam hal ini, seseorang dapat dikatakan terlibat dalam participation approach karena yang bersangkutan telah melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang

Etika normatif lebih lanjut dibagi dalam etika umum dan etika khusus. Etika umum memfokuskan pada kajian-kajian umum, seperti apa yang dimaksud dengan norma moral, mengapa norma moral berlaku umum, apa perbedaan antara hak dan kewajiban, apa persyaratan agar manusia dapat dikatakan memiliki kebebasan, dan sebagainya. Di lain pihak, etika khusus menitikberatkan pada prinsip-prinsip atau norma-norma moral pada perilaku manusia yang khusus, misalnya perilaku manusia di bidang bisnis, kedokteran, politik, dan sebagainya. Karena etika khusus terkait dengan perilaku manusia yang khusus, etika khusus sering juga disebut sebagai etika terapan.

3) Metaetika Metaetika membahas mengenai bahasa atau logika khusus yang digunakan di bidang moral, sehingga perilaku etis tertentu dapat diuraikan secara analitis. Awalan meta (Yunani) berarti melebihi atau melampaui. Metaetika seolah-olah bergerak pada taraf yang lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf bahasa etis atau bahasa yang digunakan di bidang moral. Karena fungsinya yang menganalisis, metaetika sering juga disebut sebagai etika analisis dan dapat dimasukkan dalam kelompok filsafat umumnya dan filsafat moral khususnya.

Dari berbagai pembahasan di atas dapat diklasifikasikan tiga jenis pandangan terhadap etika, yaitu sebagai berikut: • Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia. • Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang

membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, hingga akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik.

• Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat

normatif dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap normatif dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap

b. Beberapa Teori Etika

Ada 3 (tiga) macam teori etika yang berkaitan langsung dengan etika sebagai refleksi kritis sebagaimana disebutkan dan dirinci oleh Sonny Keraf (2002), yaitu:

1) Etika Deontologi Deontologi berasal dari bahasa Yunani, deon berarti tugas/kewajiban dan logos berarti pengetahuan. Sehingga etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Paham ini dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804). Suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibatnya atau tujuan baik dari tindakan yang dilakukan, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai kewajiban yang mengacu pada nilai-nilai atau norma-norma moral. Dengan kata lain, bahwa tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Sebagai contoh, jika Anda menolong orang yang selama ini menjadi musuh Anda maka Anda telah menerapkan etika deontologi. Membantu orang lain yang sedang mengalami kesusahan adalah tindakan yang baik, karena ini merupakan kewajiban manusia untuk melakukannya.

“Kamu memang menyebalkan. Tapi

saya akan tetap

menolongmu..”

Gambar 2.2.

2) Etika Teologi Teleologi berasal dari kata Yunani telos, yang berarti tujuan. Etika teleologi

yaitu etika yang mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan atas tindakan yang dilakukan. Suatu tindakan dinilai baik jika bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau akibat yang ditimbulkannya baik dan bermanfaat. Misalnya: mencuri sebagai etika teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan tindakan itu sendiri, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Jika tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik. Seorang anak mencuri untuk membiayai berobat ibunya yang sedang sakit sepintas tindakan ini baik untuk moral kemanusian, tetapi dari aspek hukum jelas tindakan ini melanggar hukum. Sehingga etika teologi lebih bersifat situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat bergantung pada situasi khusus tertentu.

Pertanyaan mendasar berkaitan dengan tujuan adalah apabila tujuan itu dinilai baik, baik bagi siapa: diri sendiri, orang lain, atau banyak orang? Untuk menjawab pertanyaan ini, etika teleologi dikelompokkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme.

a) Egoisme etis memandang bahwa perilaku dapat diterima tergantung pada konsekuensinya. Memaksimalkan kepentingan kita terkait erat dengan akibat yang kita terima yang berupaya mengembangkan kebaikan bagi diri sendiri. Yang amat dikenal sebagai penganut paham ini adalah Niccolo Machiavelli, seorang birokrat Itali (Florensia) pada abad ke-15, yang menganjurkan bahwa kekuasaan dan survival pribadi adalah tujuan yang benar untuk seorang administrator pemerintah.

b) Utilitarianisme yang pangkal tolaknya adalah prinsip kefaedahan (utility), yaitu prinsip semakin tinggi kegunaannya maka semakin tinggi nilainya. Prinsip ini sudah berakar sejak lama, terutama pada pandangan-pandangan abad ke-19, antara lain dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mills. Jeremy Bentham (1748-1832) memaparkan bahwa tujuan dan akibat suatu tindakan harus dievaluasi berdasarkan kriteria obyektif tertentu sehingga dapat dinilai etis tidaknya tindakan tersebut. Kriteria obyektif ini dapat diperoleh dengan b) Utilitarianisme yang pangkal tolaknya adalah prinsip kefaedahan (utility), yaitu prinsip semakin tinggi kegunaannya maka semakin tinggi nilainya. Prinsip ini sudah berakar sejak lama, terutama pada pandangan-pandangan abad ke-19, antara lain dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mills. Jeremy Bentham (1748-1832) memaparkan bahwa tujuan dan akibat suatu tindakan harus dievaluasi berdasarkan kriteria obyektif tertentu sehingga dapat dinilai etis tidaknya tindakan tersebut. Kriteria obyektif ini dapat diperoleh dengan

3 kriteria berikut:

1) Kriteria pertama adalah manfaat, yaitu apakah suatu tindakan mendatangkan manfaat tertentu.

2) Kriteria kedua adalah manfaat yang lebih besar atau terbesar, yaitu apakah suatu tindakan mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar dibandingkan dengan tindakan lainnya.

3) Kriteria ketiga adalah manfaat lebih besar atau terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yaitu bahwa suatu tindakan dinilai baik apabila manfaat lebih besar atau terbesar dirasakan oleh sebanyak mungkin orang.

Di antara dua cabang teleologi, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme, tidak terdapat jurang pemisah yang tajam karena merupakan suatu kontinuum, yang di antaranya dapat ditempatkan, misalnya, pandangan Weber bahwa seorang birokrat sesungguhnya bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri pada waktu ia melaksanakan perintah atasannya, yang oleh Chandler (1994) disebut sebagai “a disguise act of ego”.

Dapat diperkirakan bahwa dalam masa modern dan pasca modern ini, pandangan utilitarianisme atau kelompok pendekatan teleologis ini memperoleh lebih banyak perhatian. Dalam pandangan ini yang amat pokok adalah bukan memperhatikan nilai-nilai moral, tetapi konsekuensi dalam keputusan dan tindakan administrasi itu bagi masyarakat. Kepentingan umum (public interest) merupakan ukuran penting menurut pendekatan ini.

3) Etika Keutamaan (Virtue Theory) Teori Keutamaan telah ada cukup lama dan didasarkan atas pemikiran

Aristoteles (384-322 SM). Etika keutamaan tidak mempermasalahkan kewajiban dan akibat dari suatu tindakan, juga tidak mengacu kepada norma-norma dan nilai-nilai universal untuk menilai moral sebagaimana teori teleologi dan deontologi. Etika keutamaan lebih memfokuskan pada pengembangan watak moral pada diri setiap Aristoteles (384-322 SM). Etika keutamaan tidak mempermasalahkan kewajiban dan akibat dari suatu tindakan, juga tidak mengacu kepada norma-norma dan nilai-nilai universal untuk menilai moral sebagaimana teori teleologi dan deontologi. Etika keutamaan lebih memfokuskan pada pengembangan watak moral pada diri setiap

Dalam ilmu psikologi, karakter merupakan disposisi sifat/watak seseorang. Karakter seseorang ditentukan oleh kebiasaannya, sedangkan kebiasaan dibentuk oleh tindakan yang berulang ulang. Tindakan yang berulang-ulang ditentukan oleh tujuan/makna hidup yang ingin dicapai, dan makna hidup ditentukan oleh pola/paradigma berpikir. Berdasarkan asumsi ini, sebenarnya teori keutamaan bukan merupakan teori yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori etika tindakan (deontologi dan teleologi) karena sifat keutamaan bersumber dari tindakan yang berulang-ulang.

Sebagai contoh dalam birokrasi pemerintah, etika keutamaan, kejujuran, dapat membedakan antara karakteristik figur pegawai yang satu dan yang lain. Etika keutamaan menekankan pada arti penting kejujuran yang selama ini dirindukan kehadirannya dalam segala tindak tanduk pejabat dan birokrat kita. Kejujuran menjadi perwujudan etika keutamaan karena tidak dilandaskan pada aspek tindakan. Fenomena itulah yang menjadikan etika keutamaan dipandang mampu melampaui dua aliran etika yang mendominasi dalam diskusi moralitas, yakni etika teleologi (bertujuan) dan etika deontologi (kewajiban).

Gambar 2.3.

Keunggulan etika keutamaan adalah bahwa moralitas dalam suatu masyarakat dibangun melalui sejarah atau cerita. Melalui sejarah atau cerita disampaikan pesan-pesan moral, nilai-nilai, dan berbagai keutamaan moral agar dapat ditiru dan dihayati oleh semua anggota masyarakat.

Meskipun demikian, etika keutamaan memiliki kelemahan yaitu, ketika berbagai kelompok masyarakat memunculkan berbagai keutamaan moral yang berbeda-beda sesuai dengan persepsi masing-masing. Khususnya dalam masyarakat modern dimana cerita atau dongeng tidak lagi memperoleh tempat seperti pada masyarakat yang belum maju, moralitas dapat kehilangan relevansinya. Demikian pula dalam masyarakat dimana kita sulit menemukan tokoh publik yang bisa memberikan keteladanan moral, maka moralitas akan hilang dari masyarakat tersebut. Dalam masyarakat kita sekarang, kita sangat sulit menemukan keteladanan moral dari tokoh-tokoh tertentu. Yang kita peroleh adalah keteladanan semu, seperti bagaimana menjadi kaya melalui cara yang tidak halal, atau berbisnis dengan keuntungan besar tetapi dengan cara curang.

Secara umum, pada tabel 2.1. dapat dilihat ringkasan berbagai teori etika dan hubungannya dengan paradigma hakikat manusia.

Tabel 2.1. Teori Etika Dan Hubungannya Dengan Paradigma Hakikat Manusia

Paradigma

No Teori

Penalaran Teori

Kriteria Etis

Tujuan Hidup

1 Deontologi

Tindakan itu

Kewajiban mutlak

Demi kewajiban itu

sendiri

setiap orang

sendiri

Kenikmatan duniawi Egoisme Etis

2 Telelologi –

Tujuan dari

secara individu

pribadi

3 Telelologi –

Kesejahteraan Utilitarianism

Tujuan dari

Memberi

tindakan

manfaat/kegunaan duniawi masyarakat bagi banyak orang

4 Keutamaan

Disposisi karakter Karakter positif

Kebahagiaan

negatif individu

duniawi dan mental (psikologis)

Sumber: Agoes dan Ardana (2009).

2. Latihan 2 Jawab dan tanggapi beberapa pertanyaan dan instruksi berikut.

1. Jelaskan pengertian etika teleologi!

2. Jelaskan pengertian etika deontologi!

3. Jelaskan apa yang membedakan antara egoisme etis dan utilitarianisme!

4. Jelaskan pengertian etika keutamaan!

5. Sebutkan pendekatan dalam membahas etika sebagai ilmu!

3. Rangkuman

Sebagai cabang filsafat etika didiskusikan secara ilmiah dan berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma-norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Terdapat tiga macam pendekatan menurut K. Bertens (2000) dalam membahas etika sebagai ilmu, yaitu Etika Deskriptif, Etika Normatif, dan Metaetika.

Etika Deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibatnya atau tujuan baik dari tindakan yang dilakukan, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada diri sendiri.