Pembuatan biodiesel dari minyak ikan air tawar menggunakan kopelarut mtbe (metil tersier butil eter)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Produksi ikan di Indonesia cukup besar, baik ikan laut maupun ikan air tawar. Ikan memiliki sifat yang sangat mudah rusak selain itu kondisi penanganan pascapanen yang kurang baik juga membuat ikan menjadi cepat busuk. Kerusakan mekanis dapat terjadi akibat benturan selama penangkapan, pengangkutan, dan persiapan sebelum pengolahan (Astawan, 2003). Sebagai contoh volume limbah pengalengan ikan di Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, mencapai 50-60 ton per bulan. Sehingga perlu dilakukan pemanfaatan lebih jauh mengenai penanganan limbah ikan. Salah satunya adalah mengolahnya menjadi biodiesel.

Biodiesel merupakan salah satu bahan bakar alternatif dari bahan mentah terbarukan (renewable). Biodiesel bisa digunakan dengan mudah karena dapat bercampur dengan segala komposisi dengan minyak solar. Biodiesel merupakan bahan bakar mesin diesel yang diperoleh dari minyak nabati atau lemak hewani dan dapat digunakan pada mesin diesel konvensional meskipun tanpa modifikasi (Rahayu, 2005). Lemak hewan yang biasa digunakan meliputi lemak babi, lemak ayam, lemak sapi, dan juga lemak yang berasal dari ikan (Wibisono, 2007).

Pembuatan biodiesel dengan bahan baku lemak hewan belum banyak diteliti, menurut Winarno (1997) biodiesel hasil konversi trigliserida dari lemak hewan umumnya mengandung asam lemak berupa asam palmitat sekaitar 15-50% dari seluruh asam-asam lemak yang ada, sedangkan jenis lainnya sekitar 25% diantaranya asam stearat, dimana jenis asam tersebut juga terkandung dalam biodiesel dari minyak nabati. Hal ini menunjukkan lemak juga potensial sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.

Guru (2008) ilmuwan dari Turki ini membuat biodiesel dari sisa-sisa lemak hewan menggunakan dua katalis yakni H 2 SO 4 dan NaOH 0,01 (w/w) menggunakan pereaksi metanol membutuhkan waktu 2 jam. Selanjutnya dilakukan penambahan Nikel dan Magnesium berlebih untuk meningkatkan karakteristik biodiesel. Adi Setyono (2005) telah melakukan pembuatan biodiesel dari lemak babi menggunakan Guru (2008) ilmuwan dari Turki ini membuat biodiesel dari sisa-sisa lemak hewan menggunakan dua katalis yakni H 2 SO 4 dan NaOH 0,01 (w/w) menggunakan pereaksi metanol membutuhkan waktu 2 jam. Selanjutnya dilakukan penambahan Nikel dan Magnesium berlebih untuk meningkatkan karakteristik biodiesel. Adi Setyono (2005) telah melakukan pembuatan biodiesel dari lemak babi menggunakan

Reaksi transesterifikasi dapat dikatalisis dengan katalis asam atau basa. Katalis asam yang sering digunakan adalah asam sulfat dan asam klorida. Penggunaan katalis asam membutuhkan waktu refluk yang sangat lama (48-96 jam), perbandingan mol metanol yang dibutuhkan besar (30-150:1). Sedangkan katalis basa yang sering digunakan adalah kalium hidroksida, natrium hidroksida dan karbonatnya. Aktivitas katalis basa lebih cepat dibandingkan katalis asam, katalis asam lebih korosif, sehingga katalis basa lebih disukai dan sering digunakan (Ilgen, 2007).

Minyak dan metanol tidak saling melarutkan secara sempurna, sehingga dibutuhkan suhu tinggi untuk membentuk metil ester. Metanolisis minyak kedelai menggunakan katalis basa dua fasa dengan tetrahidrofuran sebagai kosolven lebih cepat dari proses dua fasa. Pembuatan biodiesel menggunakan katalis homogen basa tanpa kopelarut biasanya menggunakan temperatur sekitar 50-60 °C dan waktu reaksi

sekitar 2 jam (waktunya lama) (Foon, 2004 dan Van Garpen, 2004). Kopelarut digunakan untuk membentuk satu fasa yang mana metanol yang bersifat polar dapat saling larut dengan trigliserida yang bersifat nonpolar. Eter merupakan pelarut yang bagus untuk banyak reaksi organik. Eter siklik dengan masa molar kecil saling larut dengan air dalam banyak perbandingan dan menjadi kopelarut yang bagus dalam sistem metanol/minyak. Tetrahidrofuran merupakan pilihan terbaik untuk eter siklik.

Studi penggunaan kopelarut diketahui dapat meningkatkan kecepatan reaksi transesterifikasi. Pada umumnya penggunaan kopelarut meningkatkan kecepatan reaksi dengan menjadikan minyak larut dalam metanol sehingga meningkatkan kontak yang terjadi pada reaktan dan reaksi berada pada satu fase (Ilgen, 2007).

Beberapa contoh kopelarut yang biasa digunakan merupakan turunan dari senyawa eter yaitu Tetrahidroferon (THF), dietil eter, diisopropil eter dan metil tert-butil eter (MTBE). MTBE biasa digunakan untuk meningkatkan bilangan oktan pada bahan bakar, selain itu MTBE mudah dipisahkan dan digunakan lagi dengan metanol. Sebelumnya, Lirong Chi (1999) telah berhasil mensintesis metil ester dari minyak kedelai menggunakan kopelarut MTBE.

Penelitian ini dilakukan untuk mereaksikan minyak ikan hasil dari limbah ikan menjadi biodiesel melalui reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa dan MTBE sebagai kopelarut. Biodiesel yang dihasilkan diidentifikasi menggunakan HNMR dan GC-MS.

B. Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan reaksi transesterifikasi diantaranya adalah pengaruh air dan asam lemak bebas, perbandingan molar alkohol dan bahan mentah, temperatur dan jenis katalis. Penggunaan katalis dalam sistem ini dapat menggunakan katalis basa homogen maupun heterogen. Katalis basa homogen yang biasa digunakan adalah NaOH, KOH, dan karbonatnya.

Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester dengan katalis NaOH membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam dan temperatur di atas suhu kamar (50-60 °C). Waktu yang lama dan suhu yang tinggi tersebut diperlukan karena kelarutan metanol dalam minyak pada kondisi kamar tidak besar, sehingga reaksi lambat pada kondisi kamar. Upaya untuk meningkatkan kelarutan metanol dalam minyak adalah dengan penambahan kopelarut.

2. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka dibuat batasan masalah sebagai berikut :

a. Minyak ikan yang digunakan berasal dari limbah usaha tepung ikan, di waduk Gajah Mungkur Wonogiri

b. Katalis yang digunakan adalah NaOH sejumlah 1 % berat minyak ikan.

c. Kondisi dalam pembuatan biodiesel adalah sebagai berikut:

1. Perbandingan mol methanol dengan minyak 27:1.

2. Reaksi dilakukan pada suhu kamar.

3. Waktu reaksi yaitu 5, 10, 15, 20 dan 25 menit.

4. Perbandingan volume MTBE dengan minyak adalah 0,5; 1,0; 1,5; dan 2,0.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah di atas, rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana pengaruh perbandingan volume MTBE dalam pembuatan biodiesel dari minyak ikan terhadap kecepatan reaksinya?

b. Bagaimana pengaruh perbandingan volume MTBE dalam pembuatan biodiesel dari minyak ikan menggunakan kopelarut MTBE pada suhu kamar terhadap kemurniannya?

c. Apakah karakterisasi sifat fisik biodiesel yang dihasilkan memenuhi standar American Society for Testing Materials (ASTM) dan Dirjen Migas?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui bahwa minyak dari limbah ikan dapat dimanfaatkan menjadi biodiesel melalui reaksi transesterifikasi dengan katalis basa pada suhu kamar.

2. Mempelajari pengaruh variasi jumlah kopelarut MTBE dan waktu reaksi transesterifikasi minyak ikan pada suhu kamar.

3. Mengkarakterisasi sifat fisik biodiesel yang dihasilkan berdasarkan standar American Society for Testing Materials (ASTM) dan Dirjen Migas.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memanfaatkan minyak ikan dari limbah ikan untuk produksi biodiesel sehingga dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

2. Memberi informasi tentang penggunaan MTBE sebagai kopelarut dalam pembuatan biodiesel.

BAB II LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Minyak Ikan

Sebagai bahan pangan, ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin, dan mineral yang sangat baik dan prospektif. Keunggulan utama protein ikan dibandingkan dengan produk lainnya adalah kelengkapan komposisi asam amino dan kemudahannya untuk dicerna. Dibandingkan dengan negara-negara lain, konsumsi ikan per kapita per tahun di Indonesia saat ini masih tergolong rendah, yaitu 19,14 kg. Hal ini sangat disayangkan, terutama mengingat betapa besar peranan gizi ikan bagi kesehatan. Untuk mengatasi masalah rendahnya konsumsi ikan laut akibat harganya yang relatif mahal, perlu upaya pengembangan ikan air tawar (Astawan, 2003).

Budidaya ikan air tawar biasa dilakukan di kolam, tambak atau karamba- karamba di sekitar waduk. Namun, yang yang menjadi perhatian adalah ikan merupakan bahan pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan karena berbagai jenis bakteri dapat menguraikan komponen gizi ikan menjadi senyawa-senyawa

berbau busuk dan anyir, seperti indol, skatol, H 2 S, merkaptan, dan lain-lain. Sehingga pada budidaya ikan setiap harinya akan menghasilkan limbah ikan berbau busuk yang menumpuk. Limbah ikan tersebut perlu diolah untuk menjadikannya lebih bermanfaat, salah satunya adalah mengambil kandungan minyak didalamnya.

Minyak ikan adalah minyak yang berasal dari jaringan ikan yang berminyak. Minyak ikan dianjurkan untuk diet kesehatan karena mengandung asam lemak omega-3, EPA (eikosapentanoat), DHA (dokosaheksanoat) yang dapat mengurangi peradangan pada tubuh. Tidak semua ikan menghasilkan asam lemak omega-3 akan tetapi hanya ikan yang mengkonsumsi mikroalga saja yang dapat menghasilkan asam lemak tersebut misalkan saja ikan herring dan ikan sarden atau ikan-ikan predator yang memangsa ikan yang yang mengandung asam lemak omega-3 seperti ikan air tawar, ikan air danau, ikan laut yang gepeng, ikan tuna dan ikan salmon dimungkinkan mengandung asam lemak omega-3 yang tinggi.

Minyak ikan mengandung asam lemak yang beragam. Kandungan asam lemak jenuh rendah sedangkan asam lemak tak jenuhnya tinggi terutama asam lemak tak jenuh rantai panjang yang mengandung 20 atau 22 atom C atau lebih. Beberapa asam ini termasuk EPA dan DHA (De Man, 1997). Asam lemak komponen beberapa minyak ikan air tawar dan ikan laut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Asam lemak komponen utama beberapa minyak ikan air laut dan air tawar.

Asam lemak

3,2 - Carp

5,8 Tr Trout

0,2 0,2 lele Tr = Sesepora Sumber: De Man, 1997

Lemak dan minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk pada golongan lipid, yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik non-polar, misalnya dietil eter (C 2 H 5 OC 2 H 5 ), kloroform (CHCl 3 ), benzena dan hidrokarbon lainnya. Lemak dan minyak dapat larut dalam pelarut tersebut karena mempunyai polaritas yang sama dengan pelarut tersebut (Herlina, 2002). Lemak dan minyak adalah trigliserida dan triasilgliserol. Trigliserida alami adalah triester dari asam lemak berantai panjang (C12 sampai C24) dan gliserol, merupakan penyusun utama lemak hewan dan minyak nabati. Trigliserida juga banyak diubah menjadi monogliserida dan digliserida, karena baik monogliserida dan digliserida luas penggunaannya sebagai bahan pengemulsi. Oleh Lemak dan minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk pada golongan lipid, yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik non-polar, misalnya dietil eter (C 2 H 5 OC 2 H 5 ), kloroform (CHCl 3 ), benzena dan hidrokarbon lainnya. Lemak dan minyak dapat larut dalam pelarut tersebut karena mempunyai polaritas yang sama dengan pelarut tersebut (Herlina, 2002). Lemak dan minyak adalah trigliserida dan triasilgliserol. Trigliserida alami adalah triester dari asam lemak berantai panjang (C12 sampai C24) dan gliserol, merupakan penyusun utama lemak hewan dan minyak nabati. Trigliserida juga banyak diubah menjadi monogliserida dan digliserida, karena baik monogliserida dan digliserida luas penggunaannya sebagai bahan pengemulsi. Oleh

Asam-asam lemak yang ditemukan di alam biasanya merupakan asam-asam monokarboksilat dengan rantai yang tidak bercabang dan mempunyai jumlah atom genap. Asam-asam lemak yang ditemukan di alam dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam-asam lemak tidak jenuh berbeda dalam jumlah dan posisi ikatan rangkapnya, dan berbeda dengan asam lemak jenuh dalam bentuk molekul keseluruhannya. Asam lemak tak jenuh biasanya terdapat dalam bentuk cis karena itu molekul akan bengkok pada ikatan rangkap, walaupun ada juga asam lemak tidak jenuh dalam bentuk trans (Padley, 1994).

Lemak hewani mengandung banyak sterol yang disebut kolesterol, sedangkan lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair. Lemak hewani ada yang berbentuk padat yang biasanya berasal dari lemak hewan darat seperti lemak susu, lemak sapi, lemak babi. Lemak hewan laut seperti minyak ikan paus, minyak ikan Cod, minyak ikan herring berbentuk cair dan disebut minyak. Bahan pangan hampir semua banyak mengandung lemak dan minyak, terutama bahan yang berasal dari hewan (Winarno, 1997). Asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat pada tumbuhan dan hewan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat pada tumbuhan dan hewan Nama Sistematis

Shorthand 9,12-oktadekadinoat

Nama Trivial

18:2 (n-6) 6,9,12-oktadekatrinoat

Linoleat

18:3 (n-6) 9,12,15-oktadekatrinoat

Gamma-linoleat

18:3 (n-3) 5,8,11,14-eikosatetranoat

Alfa-linoleat

20:4 (n-6) 5,8,11,14,17-eikosapentanoat

Arachidonat

20:5 (n-3) 4,7,10,13,16,19-dokosaheksanoat DHA

EPA

22:5 (n-3)

Untuk asam lemak jenuh pada minyak ikan biasanya adalah asam miristat dan asam palmitat dengan asam stearat yang jumlahnya sangat sedikit. Kadar asam lemak polienoat yang tinggi menyebabkan mimyak ikan rentan terhadap autooksidasi (De Man, 1997). Asam-asam lemak jenuh yang terdapat pada tumbuhan dan hewan dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel.3 Asam-asam lemak jenuh yang terdapat pada tumbuhan dan hewan. Nama Sistematis

Shorthand Etanoat

Nama Trivial

Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif dari bahan mentah terbaharukan (renewable) selain bahan bakar diesel dari minyak bumi. Biodiesel tersusun dari berbagai macam ester asam lemak yang dapat diproduksi dari minyak-minyak tumbuhan seperti minyak sawit (palm oil), minyak kelapa, minyak jarak pagar, minyak biji kapok randu, dan masih ada lebih dari 30 macam tumbuhan Indonesia yang potensial untuk dijadikan sumber energi bentuk cair ini. (Prakoso, 2003). Selain minyak nabati, biodiesel juga dapat dibuat dari lemak hewani seperti lemak babi (Harjanti, 2008).

Biodiesel dikenal sebagai produk yang ramah lingkungan, tidak mencemari udara, mudah terbiodegradasi, dan berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui.

Pada umumnya biodiesel disintesis dari ester asam lemak dengan rantai karbon antara C6-C22. Biodiesel bisa digunakan dengan mudah karena dapat bercampur dengan segala komposisi dengan minyak solar, mempunyai sifat-sifat fisik yang mirip dengan solar biasa sehingga dapat diaplikasikan langsung untuk mesin-mesin diesel yang ada hampir tanpa modifikasi. (Prakoso, 2003)

Dibanding bahan bakar solar, biodiesel memiliki beberapa keunggulan, yaitu: § Biodiesel diproduksi dari bahan pertanian, sehingga dapat diperbaharui. § Biodiesel memiliki nilai cetane yang tinggi, volatile rendah, dan bebas sulfur.

§ Ramah lingkungan karena tidak ada emisi SOx. § Menurunkan keausan ruang piston karena sifat pelumasan bahan bakar yang

bagus (kemampuan untuk melumasi mesin dan sistem bahan bakar). § Aman dalam penyimpanan dan transportasi karena tidak mengandung racun. § Meningkatkan nilai produk pertanian. § Biodegradabel: jauh lebih mudah terurai oleh mikroorganisme dibandingkan

minyak mineral. Pencemaran akibat tumpahnya biodiesel pada tanah dan air bisa teratasi secara alami (Park, 2008). Oleh karena itu, pengembangan biodiesel di Indonesia dan dunia menjadi

sangat penting seiring dengan semakin menurunnya cadangan bahan bakar diesel berbasis minyak bumi, isu pemanasan global, serta isu tentang polusi lingkungan. Pengembangan biodiesel didunia sudah dilakukan sejak tahun 1980-an sehingga pada saat ini beberapa bagian dunia telah dilakukan komersialisasi bahan bakar ramah lingkungan ini.

Adapun pembuatan biodiesel dari minyak yang berasam lemak bebas tinggi ini menggunakan reaksi transesterifikasi seperti pembuatan biodiesel pada umumnya dengan pretreatment untuk menurunkan angka asam pada minyak tersebut. Biodiesel dapat dibuat dari minyak berasam lemak bebas tinggi dengan proses konversi trigliserida menjadi metil atau etil ester dengan proses yang disebut transesterifikasi. Proses transesterifikasi mereaksikan alkohol dengan minyak untuk memutuskan tiga rantai gugus ester dari setiap cabang trigliserida. Reaksi ini memerlukan panas dan katalis basa untuk mencapai derajat konversi tinggi dari minyak menjadi produk

yang terdiri dari biodiesel dan gliserin. (Prakoso,2008). Tahapan reaksi dalam pembuatan biodiesel adalah sebagai berikut:

a. Esterifikasi

Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester. Esterifikasi mereaksikan minyak lemak dengan alkohol. Katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter asam kuat seperti asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation. Asam kuat merupakan katalis-katalis yang biasa terpilih dalam praktek industrial (Soerawidjaja, 2006). Untuk mendorong agar reaksi bisa berlangsung ke konversi yang sempurna pada temperatur rendah (misalnya paling tinggi 120 °C), reaktan metanol harus ditambahkan dalam jumlah yang sangat berlebih (biasanya lebih besar dari 10 kali nisbah stoikhiometrik) dan air produk ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak. Melalui kombinasi-kombinasi yang tepat dari kondisi-kondisi reaksi dan metode penyingkiran air, konversi sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya dapat dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam. Reaksi esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 1.

RCOOH

RCOOCH 3 +H 2 O Asam lemak

CH 3 OH

methanol

metil ester

Gambar 1. Reaksi esterifikasi dari asam lemak menjadi metil ester Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar asam lemak bebas tinggi (berangka-asam ≥ 5 mg-KOH/g). Pada tahap ini, asam lemak bebas akan dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi biasa diikuti dengan tahap transesterfikasi. Namun sebelum produk esterifikasi diumpankan ke tahap transesterifikasi, air dan bagian terbesar katalis asam yang dikandungnya harus disingkirkan terlebih dahulu.

b. Transesterifikasi

Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan,

karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Jadi, di sebagian besar dunia ini, biodiesel praktis identik dengan ester metil asam-asam lemak (Fatty Acids Metil Ester, FAME).

Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa adanya katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan dengan lambat (Mittlebatch, 2004). Katalis yang biasa digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi. Reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 2 (Schuchardt, 1998).

C R 1 (katalis) H 2 C OH

metil ester

Gambar 2. Reaksi Transesterifikasi

Dimana mekanisme reaksi yang terjadi dalam reaksi diatas dapat dilihat pada gambar

NaOH + CH 3 OH

R'OH + OH

OH + Na

NaOH

Gambar 3. Mekanisme reaksi transesterifikasi dalam katalis basa

Hal-hal yang mempengaruhi reaksi transesterifikasi perlu diperhatikan agar didapatkan produk biodiesel dengan jumlah yang maksimum. Beberapa kondisi

reaksi yang mempengaruhi konversi serta perolehan biodiesel melalui transesterifikasi adalah sebagai berikut (Freedman, 1984):

1) Pengaruh air dan asam lemak bebas Minyak yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan asam lemak bebas lebih kecil dari 0,5% (<0,5%). Selain itu, semua bahan yang akan digunakan harus bebas dari air. Karena air akan bereaksi dengan katalis, sehingga jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak dengan udara agar tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida.

2) Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8:1 dapat menghasilkan konversi 98%. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah. Pada rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-99%, sedangkan pada 3:1 adalah 74-89%. Nilai perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang maksimum.

3) Pengaruh jenis alkohol Pada rasio 6:1, metanol akan memberikan perolehan ester yang tertinggi dibandingkan dengaan menggunakan etanol atau butanol.

4) Pengaruh jenis katalis Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH),

natrium metoksida (NaOCH 3 ), dan kalium metoksida (KOCH 3 ). Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida). Reaksi transesterifikasi akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0,5-1,5%-b minyak.

5) Pengaruh temperatur Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperatur 30 – 65 °C (titik didih metanol sekitar 65 °C). Semakin tinggi temperatur, konversi yang diperoleh

akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat. Untuk waktu 6 menit, pada

temperatur 60 o C konversi telah mencapai 94% sedangkan pada 45 C yaitu 87% dan pada 32 o

C yaitu 64%. Temperatur yang rendah akan menghasilkan konversi yang lebih tinggi namun dengan waktu reaksi yang lebih lama (Destianna, 2007). Suatu teknik pembuatan biodiesel hanya akan berguna apabila produk yang dihasilkannya sesuai dengan spesifikasi (syarat mutu) yang telah ditetapkan dan berlaku di daerah pemasaran biodiesel tersebut. Persyaratan mutu biodiesel di Indonesia sudah dibakukan dalam SNI-04-7182-2006, yang telah disahkan dan diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) (Soerawidjaja, 2006).

3. Metil Tert-Butil Eter (MTBE)

Metil tert-butil eter juga dikenal dengan nama lain metil tersier butil eter dan MTBE. MTBE merupaka senyawa kimia dengan rumus molekul C 5 H 12 O. MTBE memiliki sifat volatil (mudah menguap), mudah terbakar dan berwarna jernih serta mudah larut dalam air. Hal tersebut dapat dilihat dari sifat fisik senyawa MTBE pada Tabel 4.

Tabel 4. Sifat senyawa MTBE

Keterangan Rumus molekul

C 5 H 12 O

Massa molekuler

88.15 g/mol

Berat jenis

0.7404 g/cm³

Titik beku

-109 °C, 164 K, -164 °F

Titik Didih

55.2 °C, 328 K, 131 °F

MTBE dibuat dengan mereaksikan metanol dengan metil propana. Reaksi ini ditemukan di Amerika serikat pada tahun 1994. reaksi dapat dilihat pada gambar 4 dibawah ini.

CH 3 OH + CH 3 C(CH 3 )=CH 2 (CH 3 ) 3 C-O-CH 3

Gambar 4. Reaksi pembuatan MTBE

MTBE merupakan zat aditif pada bahan bakar yang digunakan sebagai donor oksigen dan dapat meningkatkan angka oktan. Namun MTBE ditemukan dapat mudah memberikan polusi dalam jumlah besar dalam air tanah jika terjadi kebocoran pada tangki bahan bakar karena sifatnya yang mudah larut dalam air. MTBE juga digunakan dalam kimia organik sebagai pelarut dengan harga yang relafit tidak mahal jika dibandingkan dengan dietil eter yang memiliki titik didih tinggi dan sulit larut dalam air (Putrajaya, 2008).

Sebagai kopelarut, MTBE memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan senyawa-senyawa eter yang lain. MTBE memiliki kecenderungan lebih rendah dalam membentuk senyawa organik peroksida yang mudah meledak. Pada kondisi keadaan botol yang terbuka, dietil eter dan THF berada pada level yang berbahaya sebagai senyawa peroksida jika dibiarkan selama 1 bulan, berbeda dengan MTBE yang relatif aman meskipun dibiarkan selama 1 tahun. Karena alasan titik didih yang tinggi ini, MTBE digunakan sebagai pelarut dalam skala industri karena lebih aman jika dibandingkan dengan dietil eter, THF, atau eter lain yang lebih sulit dan mahal. Walaupun MTBE biasa digunakan dalam bidang industri, namun penggunaannya sebagai pelarut dalam bidang pendidikan masih jarang sebagai contoh penggunaan volume MTBE dalam penelitian lebih sedikit, padahal MTBE bertujuan mengurangi resiko berbahaya dibanding eter lain, dan juga penggunaan MTBE sebagai pelarut sangat jarang ditemukan pada literatur prosedur sintetik sebagai pelarut kimia (Fischer, 2005 ).

Dalam pembuatan biodisel studi penggunaan kopelarut diketahui dapat meningkatkan kecepatan reaksi transesterifikasi (Ilgen, 2007). Namun kopelarut yang digunakan harus dapat larut dalam kepolaran metanol dan triglisireda yang bersifat nonpolar serta pelarut harus bersifat inert. Beberapa contoh pelarut yang biasa digunakan merupakan turunan dari senyawa eter yaitu Tetrahidroferon (THF), 1,4-dioksan, dietil eter, diisopropil eter dan metil tert-butil eter (MTBE). MTBE biasa digunakan untuk meningkatkan bilangan oktan pada bahan bakar, selain itu

MTBE mudah di pisahkan dan digunakan lagi dengan metanol. MTBE terbukti dapat digunakan sebagai kopelarut dalam reaksi transesterifikasi minyak kedelai (Chi, 1999).

4. Karakterisasi Biodiesel

a. Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa (GC-MS) Kromatografi adalah salah satu metode pemisahan senyawa untuk mendapatkan senyawa murni dari senyawa campuran. Pemisahan didasarkan pada perbedaan distribusi (migrasi) zat dalam dua fasa yang berbeda yaitu fasa diam dan fasa gerak. Fasa diam biasanya berupa padatan atau cairan yang tertapis (percolated) pada padatan pendukung (solid support), sedangkan fasa gerak dapat berupa zat cair atau gas. Perbedaan interaksi senyawa terhadap senyawa lain (zat pada fasa gerak maupun pada fasa diam) menyebabkan senyawa tersebut berbeda dalam hal distribusinya dalam fasa gerak maupun dalam fasa diam. Distribusi senyawa campuran yang terserap dalam fasa diam dan fasa gerak merupakan proses kesetimbangan.

Kromatografi gas-spektroskopi massa merupakan gabungan dari kromatografi gas yang menghasilkan pemisahan dari komponen-komponen dalam campuran dan spektroskopi massa yang merupakan alat untuk mengetahui berat senyawa dari setiap puncak kromatogram. Pada metode ini komponen-komponen dalam sampel dipisahkan oleh kromatografi gas dan hasil pemisahan dianalisis oleh spektroskopi massa. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi sampel campuran dari beberapa komponen. Puncak-puncak kromatogram memberikan informasi jumlah komponen yang ada dalam sampel dan spektra dari spektroskopi massa memberikan kunci-kunci penting dalam proses identifikasi senyawa.

Prinsip dari instrumen ini adalah menguapkan senyawa organik dan mengionkan uapnya dalam spektroskopi, molekul-molekul organik ditembak dengan berkas elektron dan diubah menjadi ion-ion bermuatan positif (ion molekul) yang dapat dipecah menjadi ion-ion yang lebih kecil. Molekul organik mengalami proses pelepasan satu elektron menghasilkan ion radikal yang mengandung satu elektron tidak berpasangan. Ion-ion radikal ini akan dipisahkan dalam medan magnet akan

menimbulkan arus ion pada kolektor yang sebanding dengan limpahan relatifnya. Spektra massa merupakan gambar antara limpahan relatif lawan perbandingan massa/muatan (m/z) (McLafferty, 1988).

Spektra massa biasanya dibuat dari massa rendah ke massa tinggi. Cara penyajian yang jelas dari puncak-puncak utama dapat diperoleh dengan membuat harga mass/muatan (m/z) terhadap kelimpahan relatif. Kelimpahan tersebut disebut puncak dasar (base peak) dari spektra dan dinyatakan sebagai 100%. Puncak-puncak lain mempunyai harga relatif terhadap puncak dasar. Dengan data tersebut dapat diperkirakan bagaimana struktur molekul awal dari senyawa yang dianalisis (Cresswell, 1982).

Kromatografi gas-spektroskopi massa ini biasa digunakan untuk analisis kualitatif senyawa organik yang pada umumnya bersifat dapat diuapkan. Campuran metil ester hasil transesterifikasi minyak nabati memenuhi kriteria ini sehingga dapat dianalisis dengan kromatografi gas-spektroskopi massa. Pemisahan yang dihasilkan dari setiap jenis senyawa yang dianalisis bersifat khas untuk tiap senyawa. Demikian juga untuk senyawa-senyawa metil ester. Ion-ion pecahan dari metil ester diakibatkan penataan ulang hidrogen dan pecahan satu ikatan yang dipisahkan dari gugus C=O.

b. Hidrogen Nuclear Magnetic Resonance ( 1 HNMR) Partikel dari atom (elektron-elektron, proton-proton, neutron-neutron) dapat

berputar pada porosnya. Di beberapa atom seperti 12

C, perputarannya saling berpasangan dan berlawanan satu sama lain jadi inti dari atom tidak memiliki spin

1 pelindung. Akan tetapi di beberapa atom seperti 13 H, dan C intinya hanya memiliki sebuah pelindung. Saat inti berada dalam medan magnet, populasi terinisiasi dari

tingkatan energi ditentukan oleh termodinamikanya yang didiskripsikan oleh distribusi Boltzman.

Sebuah inti dengan spin ½ dalam suatu medan magnet dimana inti ini berada dalam tingkat energi yang lebih rendah. Inti tersebut akan berputar pada porosnya. Ketika diberi medan magnet, maka pusat rotasi akan terpresisi mengelilingi medan

magnet. Jika energi magnet diserap oleh inti maka sudut presisi akan berubah dan menyebabkan perputaran spin berlawanan arah.

Medan magnet pada inti tidaklah sama dengan medan magnet yang digunakan, elektron-elektron disekeliling inti melindunginya dari medan yang ada. Perbedaan antara medan magnet yang dipakai dengan medan magnet inti disebut sebagai perisai inti. Medan magnet yang diberikan akan berpengaruh terhadap pergeseran kimia (chemical shift) karena proton yang memiliki banyak perisai (shielding) akan semakin sedikit menerima medan magnet yang diberikan. Efek pergeseran kimia adalah perbedaan frekuensi absorbsi proton akibat perbedaan lokasi letak atom terikat. Atom C yang semakin terlindung akan mengalami pergeseran kimia semakin ke kanan atau semakin terperisai sehingga spektra yang terbentuk akan semakin mendekati TMS (Tetra metil silan) yang digunakan sebagai standar.

Puncak spektra 1 HNMR akan mengalami pemecahan dipengaruhi oleh jumlah atom

H tetangga. Jika tidak terdapat atom H maka disebut singlet yang berarti tidak terjadi pemecahan puncak. Satu atom H disebut duplet dengan pemecahan puncak sebanyak

2 puncak. Demikian juga untuk triplet dan kuartet menunjukkan pemecahan puncak sebanyak 3 dan 4 (Skoog, 1997). Untuk mengetahui persentase konversi metil ester yang diperoleh digunakan

1 H-NMR. Nilai konversi metil ester (yang dinyatakan sebagai konsentrasi metil ester) ditentukan dengan rumus:

C ME = konversi metil ester, %

I ME = nilai integrasi puncak metil ester, %, dan

I TAG = nilai integrasi puncak triasilgliserol, %. Faktor 5 dan 9 adalah jumlah proton yang terdapat pada gliseril dalam molekul trigliserida mempunyai 5 proton dan tiga molekul metil ester yang dihasilkan dari satu molekul trigliserida mempunyai 9 proton (Knothe, 2000).

c. American Society for Testing Materials (ASTM) Uji bahan bakar yang dilakukan di laboratorium sebagian bersifat fisis dan sebagian lainnya bersifat kimia. Agar dapat dibuat duplikat uji, maka dalam uji-uji diperlukan alat-alat baku dan prosedur-prosedur baku. Komite D-2 American Society for Testing Materials menerbitkan suatu publikasi tahunan Annual Book of ASTM Standards yang memuat secara rinci mengenai prosedur-prosedur baku dan alat-alat baku uji bahan baker. Disamping itu, prosedur-prosedur baku dan alat-alat baku uji minyak bumi dan produknya dapat juga diperoleh dari Standard Methods and Testing petroleum and Its products, suatu publikasi tahunan dari The Institut of Petroleum.

Sifat biodiesel komersial tergantung pada pemurnian dan sifat dasar minyak yang dapat diketahui menggunakan ASTM. Beberapa metode ASTM yang digunakan sebagai standar sifat fisik biodiesel disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Beberapa Standar Parameter Sifat Fisik Biodiesel

Dirjen Migas

ASTM

Standar Specific Gravity at 60/60 o F D 1298 Tidak diatur 0,840– 0,920

Viscosity Kinematic at 40 o

C, mm/s

D 445 1,9 – 6,0

Min. 100 Cloud Point

Flash Point P.M C.C., o C D 93

Min. 130

Maks. 26 Copperstrip Corrosion (3 hrs/50 o C)

D 97

Maks. 26

Maks. No. 3 Conradson Carbon Residue, % wt.

D 130 Maks. No. 3

Maks. 0,1 Water Content, % vol.

D 189 Maks. 0,1

Maks. 0,05 Sediment, % wt.

D 95

Maks. 0,05

D 473 Maks. 0,05

Maks. 0,05

1. Berat jenis (specific grafity) Specific grafity didefinisikan sebagai perbandingan berat dari sejumlah volume minyak bakar terhadap berat air untuk volume yang sama pada suhu tertentu.

Densitas bahan bakar relatif terhadap air, disebut specific grafity. Specific grafity air ditentukan sama dengan 1. karena specific grafity tidak memiliki perbandingan maka tidak memiliki satuan. Specific grafity digunakan dalam perhitungan yang melibatkan berat dan volume.

Berat jenis minyak dapat ditentukan dengan beberapa macam cara, antara lain dengan menggunakan cara hidrometer (ASTM D 1298-85) yang umumnya dikenakan pada minyak mentah dan produknya yang berupa cairan dan yang mempunyai tekanan uap Red kurang dari 179 kPa. Pada dasarnya uji ini dilakukan dengan menempatkan hidrometer yang mempunyai skala berat jenis atau gravitasi API pada sampel yang diuji yang mempunyai suhu tertentu dan selanjutnya dibaca skala hidrometer yang dipotong oleh permukaan sampel sebagai berat jenis atau gravitasi API sampel pada suhu yang berlaku. Harga yang diperoleh harus

dikembalikan ke suhu 15 o C (60 F), dengan menggunakan Petroleum Measurement

Tables o (ASTM D 1250-80). Uji tidak harus dilakukan pada suhu 15 C (60 F), tetapi disesuaikan dengan keadaan sampel. Namun pengukuran yang paling teliti adalah

apabila suhu sampel 15 o C (60 F). Gambar alat uji dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Penentuan berat jenis dengan cara hidrometer (Hardjono,2001)

2. Kekentalan kinematis (viscosity kinematic) Kekentalan kinematis minyak bumi dan produknya dapat ditentukan dengan viskometer. Ada bermacam-macam viskometer tipe pipet yang dapat digunakan untuk menentukan kekentalan kinematis. Pada dasarnya pengukuran kekentalan kinematis produk minyak adalah mengukur waktu alir produk minyak yang mempunyai volume tertentu melalui pipa kapiler viskometer pada suhu tertentu. Selanjutnya kekentalan kinematis sampel dapat dihitung dengan persamaan :

v=Ct

dimana v adalah kekentalan kinematis dan centistoke. T adalah waktu alir dalam detik dan C adalah tetapan viskometer. Apabila tetapan viskometer belum diketahui, maka perlu dilakukan kalibrasi dengan menggunakan cairan baku. Alat uji viskometer dapat diliha pada Gambar 6.

Gambar 6. Viskometer pipa kapiler

3. Titik Nyala (flash point) Titik nyala adalah suhu terendah dimana uap minyak dalam campurannya dengan udara akan menyala kalau dikenai nyala uji (test flame) pada kondisi tertentu.Ada tiga macam alat uji yang dapat digunakan untuk menentukan titik nyala bahan bakar, yaitu

a) Alat uji cawan terbuka Cleveland (ASTM D 92-90) dapat digunakan untuk menentukan titik nyala minyak, kecuali minyak bakar yang

mempunyai titik nyala cawan terbuka dibawah 79 o C (175 F).

b) Alat uji cawan tertutup Pensky-Martens (ASTM D 93-80) yang dapat digunakan untuk menentukan titik nyala minyak bakar, minyak pelumas, dan suspensi padatan.

c) Alat uji cawan tertutup Abel, yang dapat digunakan untuk menentukan titik nyala produk minyak yang mempunyai titik nyala antara -18 oC (0 oF ) dan 71 oC (160 oF).

Gambar alat uji titik nyala dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Alat uji titik nyala cawan tertutup Pensky-Martens

(ASTM D 93-80)

4. Titik kabut (cloud point) Cloud point suatu bahan bakar yang sudah terdestilasi adalah temperatur dimana bahan bakar menjadi berkabut karena kehadiran dari kristal-kristal lilin. Cloud point sangat dipengaruhi oleh harga ssalinitas, bila salinitas tinggi harga cloud point cenderung turun.

Berikut dapat dilihat alat uji untuk penentuan titik kabut pada Gambar 8.

Gambar 8. Alat uji penentuan titik kabut

5. Korosi terhadap tembaga (copperstrip corrosion) Metode ini digunakan untuk deteksi terhadap korosifitas lempeng tembaga pada aviation gasoline, bahan bakar turbin, automotif gasolin, atau hidrokarbon lain yang memiliki tekanan uap Reid tidak lebih besar dari 18 psi (124 Pa) seperti kerosin, bahan bakar diesel, minyak pelumas dan produk petroleum yang lain.

Pengujian ini dilakukan dengan memasukkan lempeng tembaga dalam sejumlah sampel minyak, kemudian dipanaskan dan pada waktu tertentu material akan diujikan. Pada akhirnya lempeng tembaga dipisahkan, dicuci dan dibandingkan

dengan standar ASTM Copper Strip Corrosion. Berikut ini disajikan klasifikasi pengujian pada lempeng tembaga pada Tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi Uji Korosifitas pada Lempeng Tembaga

Klasifikasi

Penggambaran / No. Penggolongan

jenis

tipe

Kenampakkan korosifitas

korosifitas

1. 1 tidak ada bercak a Orange terang, mengkilap, hampir sama halnya baru

b Orange gelap

2. 2 ada bercak

a Merah anggur bordeaux

dan memudar

b Lembayung muda

c Beraneka warna Dengan

Lembayung muda Yang biru atau perak atau kedua-duanya d perak

e seperti kuningan atau emas

3. 3 Bercak gelap

a Warna merah keungu-unguan b Beraneka warna

mempertunjukkan hijau dan merah tetapi tidak kelabu

4. 4 karatan

a Gelap kelabu transparan

b Grafit atau hitam tanpa kilau

c Glossery dan hitam pekat

6. Residu karbon conradson (conradson carbon residue) Metode D189 ini digunakan untuk menentukan sejumlah residu karbon setelah proses evaporasi dan pirolisis pada minyak, selain itu juga dapat memberikan indikasi kecenderungan coke-forming. Metode ini umumnya digunakan pada produk petroleum nonvolatil, dimana sebagian minyak terdekomposisi pada tekanan atmosfer saat destilasi. Produk petroleum yang mengandung ash-forming dapat ditentukan dengan metode D482 atau metode IP4 namun akan memberikan hasil yang tidak tepat pada tingginya residu karbon.

Perhitungan residu karbon pada sampel atau pada 10 % residu terdestilasi adalah:

Residu karbon = (A x 100)/ W

Keterangan:

A = massa residu karbon (gr) W = massa sampel (gr)

7. Kandungan air (water content) Metode ASTM D95 ini bertujuan untuk menentukan kandungan air pada petroleum, serta material-material bitumen yang lain menggunakan metode destilasi. Pengukuran pada emulsi bitumen merujuk pada metode ASTM D244 yang sejalan dengan ASTM D4006. Air yang terkandung dalam bahan bakar menyebabkan penurunan mutu bahan bakar karena:

- menurunkan nilai kalor dan memerlukan sejumlah kalor untuk penguapan, - menurunkan titik nyala, - memperlambat proses pembakaran, dan menambah volume gas buang.

Keadaan tersebut mengakibatkan: - pengurangan efisiensi ketel uap ataupun efisiensi motor bakar, - penambahan biaya perawatan ketel, - menambah biaya transportasi, merusak saluran bahan bakar cair (“fuel

line”) dan ruang bakar. Alat uji kandungan air dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Alat uji kandungan air menggunakan metode destilasi Perhitungan kandungan air dalam sampel dinyatakan dalam % berat atau % volume, dengan rumus sebagai berikut:

Air (%) = V / W x 100

Keterangan:

V = volume air pada tabung trap

W = berat (atau volume sampel) Jika ada material yang larut dalam air maka diukur sebagai kandungan air.

8. Kandungan sedimen Metode ASTM D473 ini digunakan untuk menentukan kandungan sedimen pada minyak murni atau bahan bakar dengan metode ekstraksi menggunakan toluena panas. Alat uji kandungan sedimen dapat di lihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Alat uji kandungan sedimen dengan metode ekstraksi Uji sampel minyak dalam tabung refraktori di ekstraksi menggunakan toluena

panas hingga diperoleh residu konstan. Massa dari residu diperoleh dalam persen menggunakan rumus

% massa = massa sedimen x 100

massa sampel awal

Pada umumnya uji minyak bumi dan produknya dapat dikerjakan dengan cepat, mudah dibuat duplikat oleh teknisi laboratorium biasa dan hasil ujinya dapat diinterpretasikan sebagai fungsi kinerja produk selama penggunaan. Pengertian duplikat hasil uji tidaklah berarti bahwa uji yang kedua hasilnya harus persis sama dengan hasil uji yang pertama. Hasil uji kedua sudah boleh dikatakan sama dengan hasil uji pertama apabila telah memenuhi harga-harga repitibilitas dan reprodusibilitas yang diisyaratkan untuk setiap uji. Repitibilitas adalah hal diulanginya kembali sesuatu uji apabila hasil kedua uji yang dilakukan oleh seorang melampaui harga yang telah ditetapkan. Sedangka nreprodusibilitas adalah hal

diulanginya kembali sesuatu apabila hasil kedua uji yang dilakukan oleh dua orang melampaui harga yang ditetapkan (Hardjono, 2001).

B. Kerangka Pemikiran

Minyak ikan memiliki kandungan trigliserida yang dapat diubah menjadi metil ester melalui reaksi transesterifikasi. Kandungan asam lemak yang tinggi pada minyak ikan dapat menghambat reaksi pembentukan metil ester karena terbentuknya banyak sabun. Untuk mengatasinya maka dilakukan reaksi esterifikasi yang bertujuan untuk mengkonversi asam lemak bebas menjadi alkil ester, sehingga pada reaksi transesterifikasi akan diperoleh biodiesel yang lebih banyak dan terbentuk sabun yang lebih sedikit.

Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa seperti KOH dan NaOH membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam dan temperatur diatas suhu kamar (50-60 °C). Laju reaksi dalam reaksi transesterifikasi tersebut cukup lambat, hal tersebut disebabkan karena kelarutan metanol dalam minyak yang rendah. Laju reaksi dalam reaksi transesterifikasi sebanding dengan tingkat tumbukan antar molekulnya, dimana semakin tinggi tingkat tumbukan maka laju raksi akan semakin cepat. Besarnya tingkat tumbukan ini dipengaruhi oleh energi yang diberikan salah satunya melalui temperatur reaksi, sehingga dibutuhkan suhu tinggi untuk meningkatkan laju reaksi.

Alternatif lain agar reaksi dapat berjalan lebih cepat pada suhu kamar adalah dengan penambahan kopelarut MTBE. Ilgen pada tahun 2007 telah menggunakan kopelarut dalam pembuatan biodiesel menggunakan minyak nabati untuk mempercepat reaksi transesterifikasi, sehingga dalam studi ini penggunaan kopelarut dalam minyak hewani juga diperkirakan dapat meningkatkan kecepatan reaksi. Penambahan kopelarut ini bertujuan untuk mendekatkan sistem polar dan non polar antara metanol dengan minyak, sehingga akan membantu kontak reaktan keduanya. Dengan penambahan kopelarut ini mengakibatkan metanol menjadi mudah larut dalam minyak sehingga laju reaksi semakin besar dalam waktu yang singkat.

27

C. Hipotesis

1. Semakin banyak penggunaan MTBE sebagai kopelarut pada reaksi transesterifikasi, maka diperoleh biodiesel dengan waktu reaksi yang singkat.

2. Semakin banyak penggunaan MTBE sebagai kopelarut pada reaksi transesterifikasi, kemurnian biodiesel akan mencapai optimum.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental di laboratorium. Pembuatan biodiesel dari minyak ikan menggunakan katalis basa NaOH dan kopelarut MTBE. Kondisi optimal diperoleh dengan memvariasi perbandingan volume MTBE dengan minyak dan waktu reaksi. Biodiesel yang

diperoleh selanjutnya dikarakterisasi menggunakan GC-MS, 1 HNMR, dan ASTM

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April 2009 sampai September 2009. Produksi biodiesel dan karakterisasi biodiesel hasil produksi dilakukan di Laboratorium Kimia Dasar FMIPA dan Sub-Laboratorium Kimia Pusat UNS Surakarta, Sub Laboratorium Kimia dan Sub Laboratorium Teknik Kimia UGM Yogyakarta, serta Laboratorium Kimia Instrumen UPI Bandung.

C. Alat dan Bahan

1. Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Magnetic stirrer

b. o Thermometer 100 C

c. Seperangkat alat refluks

d. Piknometer 10 ml Duran

e. Peralatan gelas pyrex

f. Neraca Analitik Sartorius Bp-110

g. Pemanas listrik cole palmer

h. Seperangkat alat titrasi i.

Vacuum rotary evaporator IKA j.

H-Nuclear Magnetic Resonanse (HNMR)

k. Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS) shimadzus l.

Saringan kopi m. Lumpang porselin n. Penggerus porselin

2.Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Minyak limbah ikan

b. NaOH p.a

(E. Merck)

c. KOH p.a

(E. Merck)

d. Aquades (Laboratorium Kimia Pusat MIPA UNS)

e. Metanol (CH 3 OH)

(E. Merck)

f. Etanol (C 2 H 5 OH)

(E. Merck)

g. H 2 SO 4 (E. Merck)

h. Na 2 SO 4 anhidrat

(E. Merck)

i. MTBE

(E.Merck)

j. Indikator PP k. pH universal

D. Prosedur Penelitian

1. Pembuatan Biodiesel

a. Penyaringan minyak ikan

Penyaringan dilakukan untuk menghilangkan partikel berukuran besar atau pengotor yang ada pada minyak limbah ikan. Minyak dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 30-35 ºC lalu disaring menggunakan saringan kopi.

b. Esterifikasi

Minyak yang telah disaring dipanaskan pada suhu 45 ºC kemudian ditambahkan metanol dan katalis H 2 SO 4 0,5% berat minyak dengan volume metanol 30% volume minyak. Campuran direfluks pada suhu 52 ºC selama 1 jam. Penetralan

H 2 SO 4 dengan pencucian menggunakan akuades berulang ulang sampai diperoleh pH netral. Sebelum dan sesudah esterifikasi dicek bilangan asamnya.

c. Penentuan bilangan asam

Sebanyak 1 ml minyak dalam erlenmeyer ditambah 2 tetes indikator penolftalen, kemudian campuran dititrasi dengan KOH 0,005 N menghasilkan warna merah jambu.

d. Transesterifikasi menggunakan kopelarut MTBE

Selanjutnya pembuatan NaOCH 3 dengan mencampur katalis NaOH 1% berat minyak dengan sebagian metanol. Secara terpisah minyak hasil esterifikasi yang bebas air dan metanol ditambah metanol sedemikian sehingga jumlah metanol mempunyai perbandingan mol 1:27 dengan mol minyak serta ditambahkan MTBE

dengan berbagai variasi perbandingan volume. NaOCH 3 ditambahkan dalam campuran dan waktu reaksi mulai dihitung. Reaksi transesterifikasi dihentikan dengan variasi waktu menggunakan H 2 SO 4 0,1 M sebagai penetral.

e. Pencucian dan pemurnian biodiesel

Hasil transesterifikasi kemudian ditambahkan H 2 SO 4 hingga pH 4, keasaman metil ester diketahui menggunakan kertas lakmus. Untuk menghilangkan gliserol dan sabun, biodiesel dicuci menggunakan aquades berulang-ulang. Biodiesel

kemudian ditambahkan dengan Na 2 SO 4 anhidrat untuk menghilangkan air yang tersisa dan dialirkan gas N 2 untuk menghilangkan metanol dan MTBE sehingga diperoleh biodiesel murni.

2. Uji Komposisi biodiesel

Biodiesel yang diperoleh selanjutnya dilakukan uji karakteristik dengan

1 HNMR, GC-MS, dan ASTM. Berikut prosedur pengujian sifat fisik biodiesel menggunakan metode ASTM. a). Pengukuran berat jenis dengan ASTM D1298 Sampel dengan suhu yang sesuai dituang dalam tabung yang mempunyai