HAK ASASI MANUSIA SEBUAH KAJIAN TERHADAP (1)
HAK ASASI MANUSIA : SEBUAH KAJIAN TERHADAP KEBEBASAN
BERAGAMA DI INDONESIA
Disusun Oleh:
Winarti
8111416169
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebebasan beragama, suatu hal yang menjadi isu hangat sampai saat ini.
Pelanggaran kebebasan beragama menjadi suatu masalah yang dihadapi banyak
negara di dunia tak terkecuali Indonesia. Di negara ini pelanggaran kebebasan
beragama juga kerap terjadi, paling banyak menimpa kelompok agama minoritas.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukan masyarakatnya
yang tinggi. Masyarakatnya terdiri dari ratusan suku bangsa dan banyak ras.
Dalam kehidupan beragama, ada enam agama yang diakui oleh pemerintah
Republik Indonesia, diantaranya: Hindu, Buddha, Katolik, Kristen, Islam, dan
Konghucu. Hampir 90% (sembilan puluh persen) masyarakat Indonesia adalah
pemeluk agama Islam. Oleh karena itu, Indonesia senagai negara hokum secara
tegas dalam UUD 1945, pasal 29 ayat 2, telah memberikan jaminan kemerdekaan
atau kebebasan masing-masing warga negaranya untuk memeluk agama dan
keyakinannya. Ini berarti bahwa hak asasi manusia Indonesia untuk memiliki agama
dan keyakinan masing-masing mendapatkan jaminan konstitusional.
Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai Hak Asasi Manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan
dalam TAP MPR No. XVII Tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan dan
Pemajuan HAM, pasal 37:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikirangi
dalam keadaan apapun (non-derogable).
Sebagai negara hukum sudah sepatutnya memang Hak Asasi Manusia diatur
didalam undang-undang dasar. Karena dengan pengaturan tersebut maka hak asasi
manusia diberikan dasar hukum dan dengan dasar hukum tersebut ada jaminan
hukum atas perlindungan terhadap hak asasi manusia. Walaupun pada dasarnya
hak asasi manusia sudah diatur didalam konstitusi namun, dalam realita
kehidupan berbangsa dan bernegara, antara apa yang diatur di dalam undangundang dan pelaksanaanya dilapangan masih banyak terdapat kesenjangankesenjangan. Pengekangan terhadap kebebasan beragama, pembatasanpembatasan tertentu untuk beribadah malah dilegitimasi melalui perundangundangan seperti peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama
Nomor 9 dan 8 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah Dalam Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadah dimana didalam beberapa syarat terdapat banyak malah
pengekangan dan pembatasan untuk beribadah dan mendirikan rumah ibadah,
misalnya seperti persyaratan izin lingkungan dimana dipersyaratkan harus
sembilan puluh daftar nama pengguna rumah ibadah dan 60 orang yang memberi
dukungan dari masyarakat yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Masyarakat
yang intoleran cenderung menggunakan alasan yuridis ini untuk mencegah umat
beragama lain didalam mendirikan rumah ibadah.
Pembatasan-pembatasan lain adalah munculnya perda-perda yang secara
hierarkis yuridis bertentangan dengan undang-undang dasar. Pembiaranpembiaran pemerintah terhadap peraturan daerah yang bertentangan terhadap
undang-undang dasar merupakan sikap tidak bertanggung jawab terhadap
perlindungan hak asasi manusia. Misalnya saja seperti kasusu tentang penyegelan
Masjid Al-Misbah di Jalan Terusan Pangrango No.44, Jatibening, Bekasi oleh
Pemerintah Kota Bekasi pada tanggal 4 April 2013 sehinga mendapat perlawanan
oleh Jemaah Ahmadiyah Bekasi. Tentu saja peristiwa ini menimbulkan serentetan
pertanyaan-pertanyaan. Mengapa orang dilarang untuk mengespresikan keyakinan
mereka, sementara UUD 1945 sangat jelas menjamin hal itu.
Berdasarkan uraian diatas penulis akan mencoba untuk mengulas kasus tentang
penyegelan Masjid Al-Misbah di Bekasi dalam kaitannya dengan jaminan konstitusi
Indonesia bagi masing-masing warga negaranya untuk memeluk agama dan
keyakinannya. Untuk itu penulis memberikan judul makalah ini yaitu “Hak Asasi
Manusia : Sebuah Kajian Terhadap Kebebasan Beragama di Indonesia”
1.2 Rumusan Masalah
Dari apa yang telah diuraikan didalam latar belakang dan agar pembahasan
tidak menyimpang dari permasalahan yang ada serta analisa yang akan dilakukan
lebih terarah maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dikaji yaitu:
1. Bagaimana perspektif hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai kebebasan
beragama di Indonesia?
2. Bagaimana peranan negara didalam melindungi kebebasan beragama di
Indonesia mengenai kasus penyegelan Masjid Al-Misbah, Bekasi?
1.3 Tujuan
Dengan adanya makalah ini diharapkan para mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami hal-hal di bawah ini:
1. Mengetahui dan memahami perspektif hukum dan Hak Asasi Manusia
mengenai kebebasan beragama di Indonesia
2. Mengetahui dan memahami peranan negara didalam melindungi
kebebasan beragama di Indonesia mengenai kasus penyegelan Masjid AlMisbah, Bekasi
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini ialah:
1. Dapat menambah pengetahuan tentang kehidupan dan kebebasan
beragama yang terjadi di masyarakat Indonesia
2. Diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu
hukum pada umumnya.
3. Diharapkan dapat memperkaya referensi mauapuan literatur dalam
kepustakaan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia Mengenai Kebebasan
Berpendapat di Indonesia
Istilah hak asasi manusia ( HAM ) merupakan suatu istilah yang relatif baru,
dan menjadi bahasa sehari-hari semenjak Perang Dunia dan pembentukan
Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) pada tahun 1945. Istilah tersebut
menggantikan istilah natural rights ( hak-hak alam ) karena konsep hukum alamyang berkaitan dengan istilah natural rights menjadi suatu kontroversi, dan frasa
the rights of man yang muncul kemudian dianggap tidak mencakup hak-hak
wanita (Arinanto, 2008:65)
Hak asasi manusia (HAM) dalam istilah asing sering dikenal dengan sebutan
human right (Inggris), droit de l’home (perancis), mensen rechten (Belanda), yang
dalam bahasa Indonesia semua istilah tersebut diartikan sebagai hak-hak
kemanusiaan atau hak-hak asasi manusia. Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia
terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak
kebebasan (Martitah, 2013).
Dalam perspektif hak asasi manusia, memeluk suatu agama adalah kebebasan
yang tak boleh direnggut, bukan saja dalam keadaan damai, bahkan dalam
keadaan perang sekalipun. Kebebasan beragama dan berkeyakinan tergolong
sebagai kebebasan dasar bagi setiap manusia. Itulah sebabnya, hak atas kebebasan
beragama merupakan hak kodrati yang tidak dapat dikurangi dan ditangguhkan
(non-derogable) oleh Negara dalam keadaan apapun. Jaminan konstitusi dan
Undang-undang terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah
sangat meyakinkan.
Hak Asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang
tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Pengertian
ini terdapat dalam ABC Teaching Human Rights, yang merumuslkan HAM
sebagai “Human rights could be generally defined as those rights which are
inhenrent in our nature and without which cannot live as human being”.
Hak Asasi Manusia ( HAM ) menurut pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor
39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. Selanjutnya pada pasal yang kedua di jelaskan bahwa Negara
Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan
serta keadilan.
Kewajiban menghormati hak asasi manusia juga tercermin dalam pembukaan
UUD1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama
berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan
pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadah sesuai denguai dengan
agama dan kepercayaanya itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajara
(Huda:224)
Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam UUD 1945 tersebut, MPR
dengan Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 tentang Hak asasi Manusia,
menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi Negara dan seluruh aparatur
pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai hak asasi manusia kepada sleuruh masyarakat, serta segera meratifikasi
berbagai instrument perserikatan bangsa-bangsa tentang hak asasi manusia
sepanjang tidak bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945.
Atas amanat perintah konstitusi dan amanat Ketetapan MPR di atas, pada
tanggal 23 september 1999 diberlakukanlah UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
( Lembaran Negara RI Tahun 1999 ) Nomor 165 ). Didalam UU mengatur
mengenai HAM yang berpedoman pada Deklarasi HAM PBB, Konvensi PBB
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB
tentang Hak anak, dan berbagai instrument internasional lain yang mengatur
HAM.
Lalu bagaimanakah dengan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan
Kebebasan berkeyakinan jelas dijamin oleh UUD 1945. Dalam pasal 28E
ayat (1), (2) dan (3) tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945
tahun 2000 disebutkan, ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ayat (2) “Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya”. Ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Di samping itu, dalam pasal pasal 29 ayat (2) disebutkan, “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Sementara dalam UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 22
ayat (1), menegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan
redaksi yang sama juga terdapat dalam ketetapan MPR No. XVII.MPR.1998
tentang Hak Asasi manusia pasal 13.
Selain itu juga, didalam UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1) “Setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun
bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk
menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan,
pengamalan dan pengajaran”. Pasal 18 ayat (2) “Tidak seorang pun boleh dipaksa
sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama
atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya”.
2.2 Peranan Negara didalam Melindungi Kebebasan Beragama di Indonesia
Mengenai Kasus Penyegelan Masjid Al-Misbah, Bekasi
Jaminan kebebasan sipil di Indonesia telah mendapat pengakuan utuh secara
legal dan konstitusional. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 telah menegaskan setiap orang memiliki seperangkat hak dan
kebebasan: bebas dari perlakuan diskriminatif, bebas dari kekerasan, jaminan
kesetaraan hukum, dan lain-lain. Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan
konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan
dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di
suatu negara.
Negara hukum berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan
beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya
tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan
keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal
usulnya. Dalam konsep HAM, hak kebebasan beragama masuk ke ranah hak sipil
dan hak politik.
Seperti dalam contoh kasus berikut ini. Pada tanggal 4 April 2013,
Pemerintah Kota Bekasi menyegel dan memagari Masjid Al- Misbah di jalan
Terusan Pangrango No.44, Jatibening, Bekasi. Tindakan Pemerintah Kota Bekasi
tersebut mendapatkan perlawanan dari Jemaah Ahmadiyah Bekasi. Upaya
penyegelan telah dimulai dari pukul 13.00 WIB, namun dengan dikawal 200
personil TNI penyegelan dan pemagaran baru dilaksanakan pukul 18.30 WIB.
Penyegelan itu dilakukan atas dasar Surat Keputusan Bersama Menteri Agama
RI, Jaksa Agung RI, dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun2008, Kep033/A/JA/6/2008, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11/Munas
VII/MUI/15/2005, Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011, dan
Peraturan Walikota Bekasi Nomor 40 Tahun 2011 (Bab IV Pasal 4). Pada
akhirnya, Jemaah Ahmadiyah hanya bisa pasrah masjidnya disegel aparat.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai tindakan
Pemerintah Kota Bekasi telah bertentangan dengan UUD 1945 karena didalam
Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Selain itu, Pemerintah Kota
Bekasi juga melanggar Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, dimana ditegaskan bahwa
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dengan kata lain tindakan Wlikota dan Satpol PP kota Bekasi yang melakukan
penyegelan dan pemagaran Masjid Al-Misbah telah bertentangan dengan UUD
1945.
YLBHI mengecam tindakan Walikota dan Aparat Satpol PP kota Bekasi
yang melakukan penyegelan dan pemagaran Masjid Ahmadiyah Al-Misbah yang
secara langsung melawan Konstitusi Negara dimana negara menjamin
perlindungan bagi rakyat Indonesia untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Tindakan yang
dilakukan Pemerintah Kota Bekasi adalah suatu tindakan yang berlebihan (Extra
Exercive). Aktivitas Jemaah Ahmadiyah bukanlah suatu ancaman bagi Negara
yang membuat disabilitas dan disintegrasi Negara. Mereka melainkan warga
negara yang mesti diayomi dan dilindungi oleh Negara dalam hal ini Pemerintah
Kota Bekasi.
Tindakan Pemerintaj Kota Bekasi yang menyegel Masjid Al-Misbah
merupakan tindakan langsung (commision) kejahatan terhadap Hak Asasi
Manusia dalam hal ini dalam kegiatan kebebasan untuk menjalankan ibadah
menurut agamanya dan kepercayaannya. Semestinya, Pemerintah Kota Bekasi
melindungi semua warganya dari ancaman pelanggaran Hak Asasi Manusia
sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) No.39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dimana di ayat (1) ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya ini”, dan di ayat (2) ditegaskan bahwa “Negara menjamin
kemerdekaan setiap orang memeluk agama yang masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Seharusnya Pemerintah
Kota Bekasi menjadi pelindung hak masyarakat untuk beribadah HAM sehingga
menciptakan hubungan yang harmoni diantara masyarakat.
YLBHI juga mempertanyakan kehadiran personel TNI didalam
penyegelan Masjid Al-Misdah yang bertentangan dengan tugas pokok dan fungsi
didalam UU No.34 Thun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Tridarma
Ekakarma berdasarkan Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/45/VI/2010
Tanggal 15 Juni 2010.
YLBHI mendesak Walikota Bekasi dan seluruh aparatur terkait, untuk
segera mencabut pagar dan segel terhadap Masjid Al-Misdah, Bekasi karena
bertentangan dengan Konstitusi Negara Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal
Ika (Metro.news, 17 April 2017)
Kewajiban pemenuhan atas semua hak kebebasan beragama atau
berkeyakinan adalah di pundak Negara. Seperti dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1)
“Negara-Negara Pihak diwajibkan untuk menghormati dan menjamin hak-hak
yang diakui dalam Kovenan ini yang diperuntukkan bagi semua individu yang
berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya”. Hal ini dipertegas oleh
Undang Undang HAM, bahwa kewajiban negara untuk menjamin tidak adanya
pelanggaran HAM termasuk pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau
berkeyakinan adalah dalam bentuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan
memajukan. Kewajiban-kewajiban tersebut tidak hanya berarti keharusan
pembuatan konstitusi atau peraturan perundang-undangan, tetapi juga kewajiban
untuk menjamin penikmatan hak-hak tersebut bagi semua individu. Negara harus
melakukan upaya-upaya yang dibutuhkan agar setiap orang mampu menikmati
hak-hak mereka. Artinya, secara prinsip pelaksanaan hal tersebut harus dilakukan
negara baik secara aktif seperti membuat undang-undang maupun peraturan yang
dibutuhkan maupun secara pasif dengan menjamin tidak adanya pelanggaran
kebebasan beragama atau berkeyakinan dari pihak lain.
Di sinilah tugas pemimpin Negara demokrasi yaitu menegakkan hak asasi
manusia universal, memfasilitasi dan mendukung kehidupan beragama yang
memeluk dan menghargai kemanusiaan. Sebab kebebasan beragama sebagai
bagian HAM merupakan salah satu fundasi Negara demokrasi .
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hak Asasi Manusia ( HAM ) menurut pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor
39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. Selanjutnya pada pasal yang kedua di jelaskan bahwa Negara
Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan
serta keadilan.
Kemudian kebebasan berkeyakinan jelas dijamin oleh UUD 1945. Dalam
pasal 28E ayat (1), (2) dan (3) tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD
1945 tahun 2000. Di samping itu, juga dalam pasal pasal 29 ayat (2), termasuk
UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 22 ayat (1). Selain itu juga,
didalam UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1) dan (2).
Jaminan kebebasan sipil di Indonesia telah mendapat pengakuan utuh secara
legal dan konstitusional. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 telah menegaskan setiap orang memiliki seperangkat hak dan
kebebasan
Negara hukum berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan
beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya
tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan
keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal
usulnya. Dalam konsep HAM, hak kebebasan beragama masuk ke ranah hak sipil
dan hak politik.
Kewajiban pemenuhan atas semua hak kebebasan beragama atau
berkeyakinan adalah di pundak Negara. Seperti dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1).
Hal ini dipertegas oleh Undang Undang HAM, bahwa kewajiban negara untuk
menjamin tidak adanya pelanggaran HAM termasuk pelanggaran terhadap
kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah dalam bentuk menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan. Kewajiban-kewajiban tersebut tidak
hanya berarti keharusan pembuatan konstitusi atau peraturan perundangundangan, tetapi juga kewajiban untuk menjamin penikmatan hak-hak tersebut
bagi semua individu. Negara harus melakukan upaya-upaya yang dibutuhkan agar
setiap orang mampu menikmati hak-hak mereka.
Di sinilah tugas pemimpin Negara demokrasi yaitu menegakkan hak asasi
manusia universal, memfasilitasi dan mendukung kehidupan beragama yang
memeluk dan menghargai kemanusiaan. Sebab kebebasan beragama sebagai
bagian HAM merupakan salah satu fundasi Negara demokrasi.
3.2 Saran
Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia yang sesuai dengan Konstitusi
Negara Republik Indonesia, khususnya mengenai kebebsan beragama perlu
campur tangan dari semua pihak bukan hanya pemerintah saja tetapi kita sebagai
masyarakat juga harus ikut serta. Selain itu, Perda-perda yang bermasalah yang
melanggar hak asasi manusia dan membatasi kebebasan beragama harus di cabut
oleh pemerintah. Dan aparat keamanan harus berani didalam menindak kelompok
atau ormas keagamaan yang suka main hakim sendiri atas dalil agama.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arinanto, Satya. 2008. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik. Jakarta :
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Martitah. 2013. Mahkamah Konstitusi:Dari Negative Legislature ke Positive
Legislature?. Jakarta: KONpress.
Hudal, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Utama.
Undang-Undang
________TAP MPR No. XVII tahun 1998
________UUD 1945 Amandemen ke 4
______UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
______Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan
Daerah,
______UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil Politik
Website
http://metro.news.viva.co.id/news/read/396277-kronologi-penyegelan-masjidahmadiyah-di-bekasi
BERAGAMA DI INDONESIA
Disusun Oleh:
Winarti
8111416169
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebebasan beragama, suatu hal yang menjadi isu hangat sampai saat ini.
Pelanggaran kebebasan beragama menjadi suatu masalah yang dihadapi banyak
negara di dunia tak terkecuali Indonesia. Di negara ini pelanggaran kebebasan
beragama juga kerap terjadi, paling banyak menimpa kelompok agama minoritas.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukan masyarakatnya
yang tinggi. Masyarakatnya terdiri dari ratusan suku bangsa dan banyak ras.
Dalam kehidupan beragama, ada enam agama yang diakui oleh pemerintah
Republik Indonesia, diantaranya: Hindu, Buddha, Katolik, Kristen, Islam, dan
Konghucu. Hampir 90% (sembilan puluh persen) masyarakat Indonesia adalah
pemeluk agama Islam. Oleh karena itu, Indonesia senagai negara hokum secara
tegas dalam UUD 1945, pasal 29 ayat 2, telah memberikan jaminan kemerdekaan
atau kebebasan masing-masing warga negaranya untuk memeluk agama dan
keyakinannya. Ini berarti bahwa hak asasi manusia Indonesia untuk memiliki agama
dan keyakinan masing-masing mendapatkan jaminan konstitusional.
Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai Hak Asasi Manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan
dalam TAP MPR No. XVII Tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan dan
Pemajuan HAM, pasal 37:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikirangi
dalam keadaan apapun (non-derogable).
Sebagai negara hukum sudah sepatutnya memang Hak Asasi Manusia diatur
didalam undang-undang dasar. Karena dengan pengaturan tersebut maka hak asasi
manusia diberikan dasar hukum dan dengan dasar hukum tersebut ada jaminan
hukum atas perlindungan terhadap hak asasi manusia. Walaupun pada dasarnya
hak asasi manusia sudah diatur didalam konstitusi namun, dalam realita
kehidupan berbangsa dan bernegara, antara apa yang diatur di dalam undangundang dan pelaksanaanya dilapangan masih banyak terdapat kesenjangankesenjangan. Pengekangan terhadap kebebasan beragama, pembatasanpembatasan tertentu untuk beribadah malah dilegitimasi melalui perundangundangan seperti peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama
Nomor 9 dan 8 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah Dalam Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadah dimana didalam beberapa syarat terdapat banyak malah
pengekangan dan pembatasan untuk beribadah dan mendirikan rumah ibadah,
misalnya seperti persyaratan izin lingkungan dimana dipersyaratkan harus
sembilan puluh daftar nama pengguna rumah ibadah dan 60 orang yang memberi
dukungan dari masyarakat yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Masyarakat
yang intoleran cenderung menggunakan alasan yuridis ini untuk mencegah umat
beragama lain didalam mendirikan rumah ibadah.
Pembatasan-pembatasan lain adalah munculnya perda-perda yang secara
hierarkis yuridis bertentangan dengan undang-undang dasar. Pembiaranpembiaran pemerintah terhadap peraturan daerah yang bertentangan terhadap
undang-undang dasar merupakan sikap tidak bertanggung jawab terhadap
perlindungan hak asasi manusia. Misalnya saja seperti kasusu tentang penyegelan
Masjid Al-Misbah di Jalan Terusan Pangrango No.44, Jatibening, Bekasi oleh
Pemerintah Kota Bekasi pada tanggal 4 April 2013 sehinga mendapat perlawanan
oleh Jemaah Ahmadiyah Bekasi. Tentu saja peristiwa ini menimbulkan serentetan
pertanyaan-pertanyaan. Mengapa orang dilarang untuk mengespresikan keyakinan
mereka, sementara UUD 1945 sangat jelas menjamin hal itu.
Berdasarkan uraian diatas penulis akan mencoba untuk mengulas kasus tentang
penyegelan Masjid Al-Misbah di Bekasi dalam kaitannya dengan jaminan konstitusi
Indonesia bagi masing-masing warga negaranya untuk memeluk agama dan
keyakinannya. Untuk itu penulis memberikan judul makalah ini yaitu “Hak Asasi
Manusia : Sebuah Kajian Terhadap Kebebasan Beragama di Indonesia”
1.2 Rumusan Masalah
Dari apa yang telah diuraikan didalam latar belakang dan agar pembahasan
tidak menyimpang dari permasalahan yang ada serta analisa yang akan dilakukan
lebih terarah maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dikaji yaitu:
1. Bagaimana perspektif hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai kebebasan
beragama di Indonesia?
2. Bagaimana peranan negara didalam melindungi kebebasan beragama di
Indonesia mengenai kasus penyegelan Masjid Al-Misbah, Bekasi?
1.3 Tujuan
Dengan adanya makalah ini diharapkan para mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami hal-hal di bawah ini:
1. Mengetahui dan memahami perspektif hukum dan Hak Asasi Manusia
mengenai kebebasan beragama di Indonesia
2. Mengetahui dan memahami peranan negara didalam melindungi
kebebasan beragama di Indonesia mengenai kasus penyegelan Masjid AlMisbah, Bekasi
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini ialah:
1. Dapat menambah pengetahuan tentang kehidupan dan kebebasan
beragama yang terjadi di masyarakat Indonesia
2. Diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu
hukum pada umumnya.
3. Diharapkan dapat memperkaya referensi mauapuan literatur dalam
kepustakaan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia Mengenai Kebebasan
Berpendapat di Indonesia
Istilah hak asasi manusia ( HAM ) merupakan suatu istilah yang relatif baru,
dan menjadi bahasa sehari-hari semenjak Perang Dunia dan pembentukan
Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) pada tahun 1945. Istilah tersebut
menggantikan istilah natural rights ( hak-hak alam ) karena konsep hukum alamyang berkaitan dengan istilah natural rights menjadi suatu kontroversi, dan frasa
the rights of man yang muncul kemudian dianggap tidak mencakup hak-hak
wanita (Arinanto, 2008:65)
Hak asasi manusia (HAM) dalam istilah asing sering dikenal dengan sebutan
human right (Inggris), droit de l’home (perancis), mensen rechten (Belanda), yang
dalam bahasa Indonesia semua istilah tersebut diartikan sebagai hak-hak
kemanusiaan atau hak-hak asasi manusia. Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia
terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak
kebebasan (Martitah, 2013).
Dalam perspektif hak asasi manusia, memeluk suatu agama adalah kebebasan
yang tak boleh direnggut, bukan saja dalam keadaan damai, bahkan dalam
keadaan perang sekalipun. Kebebasan beragama dan berkeyakinan tergolong
sebagai kebebasan dasar bagi setiap manusia. Itulah sebabnya, hak atas kebebasan
beragama merupakan hak kodrati yang tidak dapat dikurangi dan ditangguhkan
(non-derogable) oleh Negara dalam keadaan apapun. Jaminan konstitusi dan
Undang-undang terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah
sangat meyakinkan.
Hak Asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang
tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Pengertian
ini terdapat dalam ABC Teaching Human Rights, yang merumuslkan HAM
sebagai “Human rights could be generally defined as those rights which are
inhenrent in our nature and without which cannot live as human being”.
Hak Asasi Manusia ( HAM ) menurut pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor
39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. Selanjutnya pada pasal yang kedua di jelaskan bahwa Negara
Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan
serta keadilan.
Kewajiban menghormati hak asasi manusia juga tercermin dalam pembukaan
UUD1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama
berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan
pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadah sesuai denguai dengan
agama dan kepercayaanya itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajara
(Huda:224)
Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam UUD 1945 tersebut, MPR
dengan Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 tentang Hak asasi Manusia,
menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi Negara dan seluruh aparatur
pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai hak asasi manusia kepada sleuruh masyarakat, serta segera meratifikasi
berbagai instrument perserikatan bangsa-bangsa tentang hak asasi manusia
sepanjang tidak bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945.
Atas amanat perintah konstitusi dan amanat Ketetapan MPR di atas, pada
tanggal 23 september 1999 diberlakukanlah UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
( Lembaran Negara RI Tahun 1999 ) Nomor 165 ). Didalam UU mengatur
mengenai HAM yang berpedoman pada Deklarasi HAM PBB, Konvensi PBB
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB
tentang Hak anak, dan berbagai instrument internasional lain yang mengatur
HAM.
Lalu bagaimanakah dengan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan
Kebebasan berkeyakinan jelas dijamin oleh UUD 1945. Dalam pasal 28E
ayat (1), (2) dan (3) tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945
tahun 2000 disebutkan, ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ayat (2) “Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya”. Ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Di samping itu, dalam pasal pasal 29 ayat (2) disebutkan, “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Sementara dalam UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 22
ayat (1), menegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan
redaksi yang sama juga terdapat dalam ketetapan MPR No. XVII.MPR.1998
tentang Hak Asasi manusia pasal 13.
Selain itu juga, didalam UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1) “Setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun
bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk
menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan,
pengamalan dan pengajaran”. Pasal 18 ayat (2) “Tidak seorang pun boleh dipaksa
sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama
atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya”.
2.2 Peranan Negara didalam Melindungi Kebebasan Beragama di Indonesia
Mengenai Kasus Penyegelan Masjid Al-Misbah, Bekasi
Jaminan kebebasan sipil di Indonesia telah mendapat pengakuan utuh secara
legal dan konstitusional. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 telah menegaskan setiap orang memiliki seperangkat hak dan
kebebasan: bebas dari perlakuan diskriminatif, bebas dari kekerasan, jaminan
kesetaraan hukum, dan lain-lain. Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan
konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan
dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di
suatu negara.
Negara hukum berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan
beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya
tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan
keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal
usulnya. Dalam konsep HAM, hak kebebasan beragama masuk ke ranah hak sipil
dan hak politik.
Seperti dalam contoh kasus berikut ini. Pada tanggal 4 April 2013,
Pemerintah Kota Bekasi menyegel dan memagari Masjid Al- Misbah di jalan
Terusan Pangrango No.44, Jatibening, Bekasi. Tindakan Pemerintah Kota Bekasi
tersebut mendapatkan perlawanan dari Jemaah Ahmadiyah Bekasi. Upaya
penyegelan telah dimulai dari pukul 13.00 WIB, namun dengan dikawal 200
personil TNI penyegelan dan pemagaran baru dilaksanakan pukul 18.30 WIB.
Penyegelan itu dilakukan atas dasar Surat Keputusan Bersama Menteri Agama
RI, Jaksa Agung RI, dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun2008, Kep033/A/JA/6/2008, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11/Munas
VII/MUI/15/2005, Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011, dan
Peraturan Walikota Bekasi Nomor 40 Tahun 2011 (Bab IV Pasal 4). Pada
akhirnya, Jemaah Ahmadiyah hanya bisa pasrah masjidnya disegel aparat.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai tindakan
Pemerintah Kota Bekasi telah bertentangan dengan UUD 1945 karena didalam
Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Selain itu, Pemerintah Kota
Bekasi juga melanggar Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, dimana ditegaskan bahwa
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dengan kata lain tindakan Wlikota dan Satpol PP kota Bekasi yang melakukan
penyegelan dan pemagaran Masjid Al-Misbah telah bertentangan dengan UUD
1945.
YLBHI mengecam tindakan Walikota dan Aparat Satpol PP kota Bekasi
yang melakukan penyegelan dan pemagaran Masjid Ahmadiyah Al-Misbah yang
secara langsung melawan Konstitusi Negara dimana negara menjamin
perlindungan bagi rakyat Indonesia untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Tindakan yang
dilakukan Pemerintah Kota Bekasi adalah suatu tindakan yang berlebihan (Extra
Exercive). Aktivitas Jemaah Ahmadiyah bukanlah suatu ancaman bagi Negara
yang membuat disabilitas dan disintegrasi Negara. Mereka melainkan warga
negara yang mesti diayomi dan dilindungi oleh Negara dalam hal ini Pemerintah
Kota Bekasi.
Tindakan Pemerintaj Kota Bekasi yang menyegel Masjid Al-Misbah
merupakan tindakan langsung (commision) kejahatan terhadap Hak Asasi
Manusia dalam hal ini dalam kegiatan kebebasan untuk menjalankan ibadah
menurut agamanya dan kepercayaannya. Semestinya, Pemerintah Kota Bekasi
melindungi semua warganya dari ancaman pelanggaran Hak Asasi Manusia
sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) No.39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dimana di ayat (1) ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya ini”, dan di ayat (2) ditegaskan bahwa “Negara menjamin
kemerdekaan setiap orang memeluk agama yang masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Seharusnya Pemerintah
Kota Bekasi menjadi pelindung hak masyarakat untuk beribadah HAM sehingga
menciptakan hubungan yang harmoni diantara masyarakat.
YLBHI juga mempertanyakan kehadiran personel TNI didalam
penyegelan Masjid Al-Misdah yang bertentangan dengan tugas pokok dan fungsi
didalam UU No.34 Thun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Tridarma
Ekakarma berdasarkan Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/45/VI/2010
Tanggal 15 Juni 2010.
YLBHI mendesak Walikota Bekasi dan seluruh aparatur terkait, untuk
segera mencabut pagar dan segel terhadap Masjid Al-Misdah, Bekasi karena
bertentangan dengan Konstitusi Negara Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal
Ika (Metro.news, 17 April 2017)
Kewajiban pemenuhan atas semua hak kebebasan beragama atau
berkeyakinan adalah di pundak Negara. Seperti dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1)
“Negara-Negara Pihak diwajibkan untuk menghormati dan menjamin hak-hak
yang diakui dalam Kovenan ini yang diperuntukkan bagi semua individu yang
berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya”. Hal ini dipertegas oleh
Undang Undang HAM, bahwa kewajiban negara untuk menjamin tidak adanya
pelanggaran HAM termasuk pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau
berkeyakinan adalah dalam bentuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan
memajukan. Kewajiban-kewajiban tersebut tidak hanya berarti keharusan
pembuatan konstitusi atau peraturan perundang-undangan, tetapi juga kewajiban
untuk menjamin penikmatan hak-hak tersebut bagi semua individu. Negara harus
melakukan upaya-upaya yang dibutuhkan agar setiap orang mampu menikmati
hak-hak mereka. Artinya, secara prinsip pelaksanaan hal tersebut harus dilakukan
negara baik secara aktif seperti membuat undang-undang maupun peraturan yang
dibutuhkan maupun secara pasif dengan menjamin tidak adanya pelanggaran
kebebasan beragama atau berkeyakinan dari pihak lain.
Di sinilah tugas pemimpin Negara demokrasi yaitu menegakkan hak asasi
manusia universal, memfasilitasi dan mendukung kehidupan beragama yang
memeluk dan menghargai kemanusiaan. Sebab kebebasan beragama sebagai
bagian HAM merupakan salah satu fundasi Negara demokrasi .
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hak Asasi Manusia ( HAM ) menurut pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor
39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. Selanjutnya pada pasal yang kedua di jelaskan bahwa Negara
Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan
serta keadilan.
Kemudian kebebasan berkeyakinan jelas dijamin oleh UUD 1945. Dalam
pasal 28E ayat (1), (2) dan (3) tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD
1945 tahun 2000. Di samping itu, juga dalam pasal pasal 29 ayat (2), termasuk
UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 22 ayat (1). Selain itu juga,
didalam UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1) dan (2).
Jaminan kebebasan sipil di Indonesia telah mendapat pengakuan utuh secara
legal dan konstitusional. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 telah menegaskan setiap orang memiliki seperangkat hak dan
kebebasan
Negara hukum berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan
beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya
tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan
keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal
usulnya. Dalam konsep HAM, hak kebebasan beragama masuk ke ranah hak sipil
dan hak politik.
Kewajiban pemenuhan atas semua hak kebebasan beragama atau
berkeyakinan adalah di pundak Negara. Seperti dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1).
Hal ini dipertegas oleh Undang Undang HAM, bahwa kewajiban negara untuk
menjamin tidak adanya pelanggaran HAM termasuk pelanggaran terhadap
kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah dalam bentuk menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan. Kewajiban-kewajiban tersebut tidak
hanya berarti keharusan pembuatan konstitusi atau peraturan perundangundangan, tetapi juga kewajiban untuk menjamin penikmatan hak-hak tersebut
bagi semua individu. Negara harus melakukan upaya-upaya yang dibutuhkan agar
setiap orang mampu menikmati hak-hak mereka.
Di sinilah tugas pemimpin Negara demokrasi yaitu menegakkan hak asasi
manusia universal, memfasilitasi dan mendukung kehidupan beragama yang
memeluk dan menghargai kemanusiaan. Sebab kebebasan beragama sebagai
bagian HAM merupakan salah satu fundasi Negara demokrasi.
3.2 Saran
Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia yang sesuai dengan Konstitusi
Negara Republik Indonesia, khususnya mengenai kebebsan beragama perlu
campur tangan dari semua pihak bukan hanya pemerintah saja tetapi kita sebagai
masyarakat juga harus ikut serta. Selain itu, Perda-perda yang bermasalah yang
melanggar hak asasi manusia dan membatasi kebebasan beragama harus di cabut
oleh pemerintah. Dan aparat keamanan harus berani didalam menindak kelompok
atau ormas keagamaan yang suka main hakim sendiri atas dalil agama.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arinanto, Satya. 2008. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik. Jakarta :
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Martitah. 2013. Mahkamah Konstitusi:Dari Negative Legislature ke Positive
Legislature?. Jakarta: KONpress.
Hudal, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Utama.
Undang-Undang
________TAP MPR No. XVII tahun 1998
________UUD 1945 Amandemen ke 4
______UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
______Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan
Daerah,
______UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil Politik
Website
http://metro.news.viva.co.id/news/read/396277-kronologi-penyegelan-masjidahmadiyah-di-bekasi