ALAT BUKTI SURAT dalam hukum perdata.doc

ALAT BUKTI SURAT
DALAM HUKUM ACARA PERDATA
(Artikel ini disusun guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah
Hukum Pembuktian Kelas J)
DOSEN PENGAMPU : ZAKKI ADLHIYATI S.H., M.H., L.LM.

OLEH KELOMPOK 1 :
1.

ALBA VENA RAHADIAN

E0014016

2.

ANIK WULANDARI

E0014033

3.


ERVINA DYAH P.

E0014133

4.

GRACE AYU

E0014434

5.

NIA ARDINURROHMAH

E0014299

6.

RATNA AMALIA


E0014328

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2016

ABSTRAK

Proses pembuktian dilakukan terhadap barang siapa mendalilkan terhadap
suatu hak atau peristiwa dan untuk meneguhkan haknya atau guna membantah hak
orang lain haruslah dibuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Alat bukti
dalam perkara perdata ada lima yaitu alat bukti surat atau tulisan, alat bukti saksi,
persangkaan, pengakuan dan sumpah. Kelima macam alat bukti tersebut, pada
asasnya majelis hakim dalam sidang perkara perdata harus memberi kesempatan
yang luas kepada para pihak yang berperkara tersebut untuk mengajukan suatu
alat bukti guna menguatkan dalil-dalil gugatannya serta bantahannya, oleh karena
itu peran alat bukti dalam persidangan sangat berperan penting untuk
membuktikan suatu peristiwa yang disengketakan.
Pembuktian dengan surat dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun
dengan tulisan-tulisan dibawah tangan. Tulisan-tulisan otentik yang berupa akta

otentik, dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan olh undang-undang, dibuat
dihadapan pejabat umum yang diberikan wewenag dan tempat dimana akta
tersebut dibuat. Tulisan dibawah tangan atau juga disebut akta dibawah tangan
dibuat dalam bentuk yangtidak ditentukan oleh undang undang dan tanpa
perantara pejabat umum yang berwenang.
Kata Kunci : Pembuktian, Alat bukti surat.
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam hukum, pembuktian merupakan bagian terpenting dalam proses
penyelesaian sengketa. Karena pembuktian mempunyai tujuan untuk menetapkan
hukum diantara kedua belah pihhak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang
memiliki nilai keadilan, dan kepastian hukum. Pembuktian harus berjalan dengan
baik, agar putusan yang dikeluarkan oleh hakim dapat adil bagi seluruh pihak
yang bersengketa.

Dalam menyelesaikan sebuah perkara perdata maupun pidana, pihak yang
bertugas menyelesaikan suatu sengketa haruslah melakukan pembuktian untuk
menjelaskan apa yang dialami. Pembuktian dilakukan apabila terjadi bentrokan
kepentingan antara para pihak: penggugat dan tergugat, yang diselesaikan melalui
peradilan dan melalui hakim yang bersiang di depan persidangan. Bentrokan

tersebut dinamakan ‘perkara’.
Pembuktian merupakan cara untuk menunjukkan kejelasan perkara kepada
Hakim supaya dapat dinilai apakah masalah yang dialami penggugat atau korban
dapat ditindak secara hukum. Oleh karenanya, pembuktian merupakan prosedur
yang harus dijalani karena merupakan hal penting dalam menerapkan hukum
materil. Pembuktian disebut juga penyajian alat-alat bukti yang sah menurut
hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkata guna memberikan kepastian
tentang kebenaran suatu perisiwa yang dikemukakan.
Dalam menyelesaikan sebuah perkara perdata maupun pidana, pihak yang
bertugas menyelesaikan sengketa haruslah melakukan pembuktian untuk
menerangi dan menjelaskan secara gamblang apa yang dialami. Pembuktian ini
baru ada apabila terjadi bentrokan kepentingan yang diselesaikan melalui
peradilan. Sekali lagi hanya diselesaikan melalui peradilan dan melalui hakim
yang bersidang di depan persidangan. Lalu bentrokan kepentingan siapa?
Kepentingan dari para pihak, penggugat dan tergugat. Bentrokan kepentingan
yang diselesaikan melalui persidangan itulah yang kemudian disebut perkara.
Perkara yang diajukan ke pengadilan1. Dalam persidangan perkara perdata, tidak
hanya peristiwa-peristiwa dasar saja yang digunakan untuk menguatkan hak
perdatanya, namun para pihak harus menyertakan bukti-bukti yang sah menurut
hukum agar kebenarannya dapat dipastikan. Peristiwa tersebut harus disertai

pembuktian secara yuridis.
Dalam pembuktian perdata, hakim bersifat pasif, sementara para pihak
yang berperkara harus aktif dan memiliki kewajiban untuk membuktikan
peristiwa-peristiwa yang dikemukakan. Pihak yang berperkara tidak perlu
1

Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn., Toeri dan Prakatik Peradilan Perdata Di
Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Yustisia), h. 105.

memberitahu dan membuktikan peraturan hukumnya, tapi yang perlu dibuktukan
adalah perstiwanya atau hubungan hukumnya yang menjadi dasar adanya hak
perdata pihak-pihak yang berperkara. Karena hakin menurut asas hukum acara
perdata dianggap mengetahui akan hukumnya, baik tertulis maupun tidak
sehingga hakim tak boleh menolak untuk menangani perkara perdata; dan oleh
karena itu hakimlah yang memiliki tugas untuk menerapkan hukum perdata
(materiil) terhadap perkara yang diperiksa dan diputuskannya.
Pembuktian harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur tentang cara pembuktian, beban pembuktian, macam-macam ala bukti,
serta kekuatan alat-alat buki tersebut dan sebagainya. Hukum pembuktian ini
termuat dalam HIR (Pasal 162 sampai dengan Pasal 177), RBg (Pasal 282

sampai dengan Pasal 314), Stb. 1867 Nomor 29 (tentang kekuatan pembuktian
akta dibawah tangan), dan BW Buku IV (Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945).
Sebagai pedoman, diberikan oleh pasal 1865 B.W. bahwa “Barang siapa
yang mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan sesuatu hak,
diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu;sebaliknya barang siapa yang
mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan
juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu.” Misalnya, jika seorang menggugat
orang lain supaya orang ini dihukum menyerahkan sebidang tanah, karena benda
ini termasuk harta peninggalan ayahnya, tetapi pendirian ini disangkal oleh
tergugat, maka orang yang menggugat itu diwajibkan membuktikan bahwa ia
adalah ahliwaris dari si meninggal dan tanah tersebut betul kepunyaan si
meninggal itu. Jika ia telah berhasil membuktikan hal-hal tersebut dan pihak
tergugat masih juga membantah haknya karena katanya ia telah membeli tanah
tersebut secara sah, maka tergugat ini diwajibkan membuktikan adanya jual beli
itu2.
Tugas pengadilan yang sangat berat, adalah menjaga kepentingan kedua
belah pihak/para justiciable, agar kedua belah pihak itu tidak ada yang
dirugikan.Beban pembuktian itu tidak boleh berat sebelah sebab tidak setiap orang
2


Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa), cet.
31, 2003, h.177

dapat membuktikan sesuatu yang benar dan dimungkinkan pula seseorang dapat
membuktikan apa yang tidak benar. Perlu ditekankan, bahwa jalannya acara
pembuktian di persidangan Pengadilan Perdata akan menentukan hasil akhir
perkara3. Karenanya, tugas pengadilan sangatlah berat yatu menjaga kepentingan
kedua belah pohak agar tak ada yang dirugikan.
Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib
membuktikannya. Dalam pembahasan artikel kali ini, penulis berusaha
menjelaskan kepada para pembaca agar tahu tentang pengertian pembuktian dan
alat-alat bukti dalam hal ini adalah alat bukti tertulis (surat) yang dibuktikan
dalam Hukum Acara Perdata. Maka dari itu, pihak yang berperkara haruslah
memberikan bukti yang kuat sesuai dengan masalah yang ada apakah perkara
yang dialami. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat
menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat,
maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi.
Dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW alat-alat bukti dalam
perkara perdata, yaitu : Tulisan; Saksi-saksi; Persangkaan; Pengakuan; dan
Sumpah.

BAB II
PEMBAHASAN ALAT BUKTI SURAT

A.

Pengertian Surat/Akta Sebagai Salah Satu Alat Bukti
Untuk mendukung proses pembuktian suatu perkara didalam persidangan

diperlukan suatu alat bukti maka dari itu harus diketahui apa itu alat bukti.
Pengertian Alat Bukti yang dalam Bahasa Belanda disebut Bewijsmiddle adalah
bermacam- macam bentuk dan jenis, yang dapat memberi keterangan dan
penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Alat bukti diajukan
para pihak untuk membenarkan dalil gugatan atau dalil bantahan, dimana
3

Op. cit, h. 107.

berdasarkan kateterangan dan penjelasan yang diberikan alat bukti itulah hakim
akan melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna dan meyakinkan
pembuktian atas dalilnya.4

Para pihak yang berperkara di Pengadilan hanya dapat membuktikan
kebenaran dalil gugatan atau dalil bantahan maupun fakta- fakta yang mereka
kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu, hukum pembuktian di
Indonesia berpegang kepada jenis alat bukti tertentu saja, diluar itu tidak
dibenarkan diajukan alat bukti lain alat bukti yang di luar yang di tentukan dalam
Undang – undang.5
Dalam perkara perdata, bukti tulisan adalah alat bukti yang paling utama
karena dalam lalu lintas keperdataan seringkali ada pihak yang sengaja
menyediakan suatu bukti yang dimungkinkan timbul permasalahan dalam hal ini
perselisihan/persengketaan yang patut dan lazimnya disediakan bukti berupa
tulisan.
Alat bukti surat/tulisan ini dianggap sebagai alat bukti paling sempurna
dalam konsep hukum acara perdata, dimana maksud kedudukannya lebih kuat jika
dibandingkan dengan alat bukti lainnya. Meskipun sempurna bukan berarti sifat
alat bukti surat/tulis tersebut mutlak, sebuah surat atau tulisan sebagai alat bukti
bisa saja bukan alat bukti kuat apabila ada pihak yang dapat membuktikan
ketidaksempurnaannya atau dengan kata lain menunjukan kecacatannya.
Akta adalah suatu tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan
alat bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya 6, sehingga
unsur-unsur yang penting dalam sebuah akta ialah kesengajaan untuk menciptakan

suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu. Jadi untuk dapat dibuktikan
menjadi akta sebuah surat haruslah ditandatangani7. Pengaturan mengenai akta
diatur dalam KUHPerdata Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1880 dan dalam RIB
serta RDS.8
4

Asri Diamitri Lestari, Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik Yang Dibuat Oleh
Notaris Dalam Pembuktian Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Sleman,
Jurnal Hukum 09629, hlm.9.
5
Ibid.
6
Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga,2012), hal.
82
7
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
2006), hal. 149
8
Op.Cit, hal. 82


Salah satu syarat pokok surat atau tulisan sebagai alat bukti, harus
tercamtum di dalamnya tanda tangan (handtekening, signature). Tanpa tanda
tangan, suatu surat tidak sah sebagai alat bukti tulisan. Tanda tangan tersebut
harus memenuhi syarat, pertama menuliskan nama penanda tangan dengan atau
tanpa menambah nama kecil, kedua tanda tangan dengan cara menuliskan nama
kecil, ketiga ditulis tangan oleh penanda tangan, tidak dibenarkan dengan stempel
dengan huruf cetak, keempat dibenarkan mencamtumkan kopi tanda tangan si
penanda tangan, kelima tanda tangan dengan mempergunakan karbon.
Tanda tangan tidak hanya tertulis, namun juga dapat berupa cap jempol
yang dipersamakan dengan tanda tangan, sesuai yang ditegaskan oleh Pasal 1874
ayat (2) KUH Perdata, St. 1919-776 dan 286 ayat (2) RBG. Namun untuk
keabsahannya

harus

pertama dilegalisir

pejabat

yang

berwenang

(waarmerking), kedua dilegalisasi diberi tanggal, ketiga pernyataan dari yang
melegalisir, bahwa orang yang membubuhkan cap jempol dikenal atau
diperkenalkan kepadanya, keempat isi akta telah dijelaskan kepada yang
bersangkutan, kelima pembubuhan cap jempol dilakukan dihadapan pejabat
tersebut.
B.

Macam Macam Alat Bukti Surat
Bukti tulisan atau bukti dengan surat sengaja dibuat untuk kepentingan

pembuktian di kemudian hari bilamana terjadi sengketa. Secara garis besar,bukti
tulisan atau bukti dengan surat terdiri dari dua macam, yaitu akta dan tulisan atau
surat lain.
Akta ada 2 macam yaitu, yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan.
Pertama, akta otentik atau akta resmi yang berdasarkan pasal 1868 KUHPerdata
adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang
menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut di
tempat di mana akta itu dibuat. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris,
hakim, pegawai pencatatan sipil (ambtenaar burgerlijke stand)9, presiden,

9

R. Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata,Cetakan ke
29(Jakarta:Intermassa,2001),hlm 178.

menteri, gubernur, bupati, camat, pegawai pencatat nikah, panitera pengadilan,
jurusita, dan sebagainya.
Prof. Subekti berpendapat bahwa Akta Otentik adalah suatu akta yang di
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang

yang dibuat oleh atau

dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk membuatnyadi tempat
dimana akta itu dibuat10.
Berdasarkan undang-undang, suatu akta otentik atau akta resmi
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs). Artinya jika
suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim harus menerimanya dan
menganggap apa yang dituliskan di dalam akrta itu sungguh sungguh telah terjadi
sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian pembuktian
lagi.11
Berdasarkan KUHPerdata, RIB, RDS, akta otentik dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu akta otentik yang dibuat oleh pejabat (ambtenaar acte atau
relaas acte) dan akte yang dibuat oleh para pihak (partij acte). Akta yang dibuat
pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang memang diberi wewenang
untuk itu yang mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat, didengar,
serta apa yang dilakukan oleh pejabat tersebut. Dengan demikian, isi akta itu
semacam pemberitahuan ataupun proses verbal tentang terjadinya suatu
perbuatan. Singkatnya inisiatif pembuatan akta itu datang dari pejabat itu sendiri
atau merupakan kewajiban pekerjaannya, bukan dari pihak yang namanya
tercantum dalam akta tersebut. Misalnya Berita Acara Lelang oleh Pejabat Lelang,
Berita Acara Rapat oleh notaris, dan sebagainya.
Partij acte atau akta para pihak adalah akta yang dibuat di hadapan pejabat
yang diberi wewenang untuk itu, bisa dilakukan oleh para pihak sendiri di
hadapan pejabat yang berwenanag berdasarkan permintaan para pihak. Dengan ini
akta dibuat oleh para pihak dan inisiatifnya datang dari para pihak itu sendiri.
Dengan demikian, akta itu mengandung keterangan-keterangan dari dua pihak
yang menghadap di hadapan pejabat umum (misalnya notaris) sehingga pejabat
umum ini sebenarnya hanya membantu menetapkan atau memformulasikan saja
10

Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita,2010), Hlm 26
R. Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata,Cetakan ke
29(Jakarta:Intermassa,2001),hlm 178-179
11

apa yang diterangkan oleh para pihak yang menghadap tersebut.12 Misalnya akta
jual beli, sewa menyewa dan sebagainya.
Kedua, adalah akta di bawah tangan, yaitu tiap akta yang tidak dibuat oleh
atau dengan perantaraan seorang pejabat umum, yang mana akta itu dibuat dan
ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu.
Jika pihak yang menandatangani suatu perjanjian atau akta itu mangakui atau
tidak menyangkal tanda tangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak
menyangkal kebenaran hal yang tertulis dalam surat perjanjian atau akta itu, akta
di bawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama
dengan suatu akta otentik atau akta resmi.
Sebaliknya, jika tanda tangan itu disangkal, pihak yang mengajukan surat
perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan
atas isi akta tersebut. Ini merupakan suatu hal yang sebaliknya dari hal yang
berlaku terhadap suatu akta resmi.13 Singkatnya, yang dibebani beban pembuktian
tersebut adalah orang yang akan mempergunakan akta di bawah tangan tersebut.
Karena pembuktian dengan suatu akta memang merupakan cara
pembuktian yang paling utama, dapatlah dimengerti mengapa pembuktian dengan
alat bukti tulisan ini oleh undang-undang disebut sebagai cara pembuktian yang
nomor satu. Begitu pula dapat dimengerti mengapa undang undang untuk
beberapa perbuatan atau perjanjian yang dianggap sangat penting mengharuskan
adanya pembuatan akta.14
Misalnya Pasal 1851 KUHPerdata yang pada intinya mengharuskan bahwa
suatu perdamaian hanyalah sah jika dibuat secara tertulis. Artinya, untuk suatau
akta perdamaian, paling tidak harus dibuktikan dengan akta di bawah tangan.
Contoh lain adalah pasal 1682 KUHPerdata yang menyatakan sahnya suatu hibah
hanya dapat dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris. Artinya,
pembuktian terhadap adanya hibah berpegang pada ada atau tidaknya akta otentik
notaris.
Selain akta, bukti tulisan berupa surat biasa juga meliputi semua tulisan
dengan surat-surat, register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain.
Tulisan tulisan atau surat surat tersebut pada dasarnya merupakan suatu bukti
12

R.Subekti ,Op,Cit hlm 178
Op,Cit, hlm 179
14
Op,Cit hlm 180
13

terhadap siapa yang membuatnya, Kekuatan pembuktian surat surat atau tulisan
tersebut adalah sebagai alat bukti yang bebas. Artinya, hakim tidak harus
mempercayai surat surat atau tulisan tulisan tersebut, kecuali diperkuat oleh alat
bukti lainnya. Dengan demikian, agar surat-surat atau tulisan tulisan selain akta
mempunyai kekuatan sebagai bukti atau untuk dapat dipercayai dan diterima oleh
hakim sebagai bukti, dibutuhkan cooraborating evidence.
C.

Pihak Yang Berwenang Membuat
1. Dalam akta otentik
Dalam pasal 165 H.I.R. atau pasal 285 R.B.G. memuat definisi apa yang

dimaksud

dengan

Akta

Otentik,

yang

berbunyi

sebagai

berikut

:

“Akta otentik yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang
berkuasa akan membuatnya”.
Di atas tertera bahwa ada akta otentik yang dibuat oleh dan ada yang
dibuat di hadapan pegawai pejabat umum yang berwenang membuatnya. Akta
otentik yang dibuat “oleh” misalnya adalah surat panggilan Juru Sita, Surat
Putusan Hakim, sedangkan Akta Perkawinan dibuat di hadapan Pegawai Pencatat
Nikah dan surat perjanjian dibuat di hadapan Notaris. Pegawai umum yang
dimaksud yaitu Notaris, Hakim, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil (ambtenaar
burgelijke stand), presiden, menteri, gubernur, bupati, camat,pegawai pencatatan
nikah, panitra pengadilan, dan sebagainya.
2. Dalam akta dibawah tangan
Akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat
umum. Akta ini dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya.
Apabila suatu akta di bawah tangan tidak disangkal oleh Para Pihak, maka
berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis
pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUH Perdata
akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama
dengan suatu Akta Otentik.
3. Surat biasa
Akta / surat biasa yaitu surat di bawah tangan non-akta yang dibuat tanpa
perantaraan pejabat umum dan pembuatannya tidak dimaksudkan untuk dijadikan

alat bukti. Jika di kemudian hari surat itu dijadikan bukti, hal itu adalah karena
kebetulan belaka.
D.

Status Hukum Alat Bukti Surat
Dalam perkara perdata soal pembuktian diketahui suatu yang amat penting

seperti seorang hakim yang mesti memikirkan pertanyaan dasar yang diutarakan
oleh Penggugat didapat bukti atau tidak didapat bukti. Cara hakim untuk mencari
bukti dapat kita tilik dari ketentuan Pasal 162 sampai 177 H.I.R.15
Dalam pengadilan untuk mengadakan pembuktian sengketa yakni apa
yang dikatakan oleh Tergugat bahwa ia tidak sependapat dengan Penggugat
misalnya A mengajukan gugatan pada pengadilan, menuntut agar supaya B
mengembalikan otopet milik A yang berada di tangan B. Dalam tuntutan itu tidak
perlu misalnya A sebagai pemilik harus juga menyatakan dalam tuntutannya,
bahwa otopet itu didapat olehnya dari pembelian yang sah dengan melampirkan
kuitansi tanda pembayarannya, ia cukup mengemukakan bahwa ia

sebagai

pemilik sebuah otopet yang ia jelaskan tanda-tandanya, dan otopet itu berada di
tangan B yang tidak mau menyerahkan kepada A, apabila kemudian B tidak
mengakui dan mengucapkan sepatah kata bahwa otopet itu bukan milik A
sebaliknya merupakan milik B sendiri, pembeliannya 6 bulan yang lalu dari toko
X, maka B harus membuktikan apa yang ia katakan itu.16

BAB III
PENUTUP

A.

15
16

Kesimpulan

Herziene Inlands Reglement, halaman 64.
Ibid.

Berdasarkan pembahasan mengenai alat bukti surat ini, maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Alat bukti surat menurut Eddy O.S Hiariej adalah suatu tulisan yang

singaja dibuat untuk membuktikan suatu peristiwa telah terjadi,
sehingga unsur-unsur yang penting dalam sebuah akta ialah
kesengajaan

untuk

menciptakan

suatu

bukti

tertulis

dan

penandatanganan tulisan itu. Serta pengaturan mengenai alat bukti
surat dapat dilihat dalam KUHPerdata Pasal 1867 sampai dengan Pasal
1880 dan dalam RIB serta RDS.
2. Macam alat bukti surat ada tiga yakni :

a. Akta otentik atau akta resmi yang berdasarkan pasal 1868
KUHPerdata adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan
seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan
untuk membuat surat-surat akta tersebut di tempat di mana akta itu
dibuat.
b. Akta di bawah tangan, yaitu tiap akta yang tidak dibuat oleh atau
dengan perantaraan seorang pejabat umum, yang mana akta itu
dibuat dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian itu.
c. Surat biasa, yaitu surat non-akta yang dibuat bukan untuk alat
bukti.
3. Pihak yang membuat akta otentik dan akta dibawah tangan itu berbeda.
Akta Otentik yang membuat adalah pejabat yang berwenang sebagai
perantara para pihak. Sedangkan Akta di Bawah Tangan yang membuat
dan menandatangai adalah para pihak tanpa melalui perantara pejabat.
4. Status hukum alat bukti surat : alat bukti surat adalah suatu yang amat

penting seperti seorang hakim yang mesti memikirkan pertanyaan
dasar yang diutarakan oleh Penggugat didapat bukti atau tidak didapat
bukti.

B.

Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka disarankan :
1. Dalam akta otentik pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum
yang dituangkan kedalam akta otentik untuk lebih teliti dan berhatihati terhadap isi dan pokok dari akta otentik itu sendiri, karena disini
akta otentik dibuat oleh perantara yaitu pejabat yang berwenang.
2. Dalam pembuatan akta dibawah tangan sebaiknya para pihak benar-

benar paham mengenai risiko membuat suatu akta tertulis yang mana
tidak atau tanpa melalui perantara pejabat yang berwenang.

DAFTAR PUSTAKA

Herziene Inlands Reglement (H.I.R)
Hiariej, Eddy O.S. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta: Erlangga
Lestari, Asri D. 2014. Jurnal Hukum 09629 Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik
Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Pembuktian Perkara Perdata Di Pengadilan
Negeri Sleman, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya
Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:
Liberty
Muljono, Wahju. 2012. Toeri dan Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia ,
Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Subekti. 2003. Pokok-pokok Hukum Perdata cet.31, Jakarta: PT Intermasa
Subekti. 2010. Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita