SUBJEKTIVITAS DAN IDENTITAS KEBUDAYAAN I
SUBJEKTIVITAS DAN IDENTITAS KEBUDAYAAN INDONESIA : FastFood
sebagai Identitas Baru di Kalangan Kaum Muda
Evi Fadillawati (4815111569)
Pendidikan Sosiologi Reguler 2011, FIS UNJ
ABSTRAK
Penulisan ini menyajikan telaah kritis mengenai fenomena menjamurnya
fastfood sehingga mengubah selera makanan kaum muda Indonesia. Fastfood dianggap
sebagai makan yang praktis dan memberikan gengsi sosial yang tinggi bagi yang
memakannya. Fastfood banyak digemari orang sehingga fastfood dapat dikatakan
sebagai salah satu budaya populer. Namun, ada pula yang menganggap fastfood sebagai
budaya massa karena telah dikomersialkan. Fastfood merupakan makanan yang berasal
dari budaya asing telah diadopsi kaum masyarakat Indonesia menjadi sebuah lifestyle.
Hal ini memperlihatkan munculnya budaya baru yaitu memakan fastfood.
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan subjektivitas dan
identitas dalam kajian Cultural Studies untuk menganalisa fenomena merebaknya fast
food di Indonesia. Berkembangnya fast food mendorong munculnya identitas baru pada
kalangan kaum muda yang dipengaruhi oleh adanya budaya asing (Budaya Barat).
Kata Kunci: FastFood, Subjektivitas, dan Identitas
1
LATAR BELAKANG
Di era globalisasi ini, Indonesia dihadapi dengan berbagai pengaruh dari adanya
globalisasi. Globalisasi merupakan istilah yang berhubungan dengan peningkatan
keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui
perdagangan, investasi, wisata atau perjalanan antar negara, lintas budaya, dan berbagai
bentuk interaksi lainnya sehingga batas-batas suatu kawasan atau negara atau juga
komunitas terterntu menjadi bias sedangkan peran negara itu sendiri menjadi
berkurang.1 Globalisasi mempengaruhi nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dan secara
perlahan menggeser nilai-nilai yang telah ada baik nilai positif maupun nilai negatif.
Globalisasi tidak hanya berkaitan dengan soal ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan isu
budaya. Globalisasi mampu mengikis identitas bangsa dan yang terjadi adalah
“pengaburan” identitas.
Globalisasi membuat batas antar negara tidak ada artinya, sehingga yang terjadi
adalah proses akulturasi, saling meniru dan saling mempengaruhi budaya masingmasing. Proses akulturasi mampu melunturkan nilai-nilai yang merupakan identitas
bangsa. Semakin berkembang pesatnya teknologi informasi memudahkan masyarakat
mengakses nilai-nilai dari budaya asing. Dengan demikian, adanya globalisasi
mendorong munculnya berbagai produk-produk kebudayaan baru dalam masyarakat
khusunya kaum muda Indonesia. Salah satu wujud kebudayaan yang dihasilkan dengan
adanya teknologi informasi adalah kebudayaan masa atau mass culture dan kebudayaan
popular atau pop culture. Berbagai wujud pop culture ada di kehidupan sehari-hari
seperti gaya berbusana, makanan, music dan film.
Saat ini, kaum muda Indonesia dalam hal selera makanan telah dipengaruhi oleh
budaya asing (Budaya Barat). Kaum muda sekarang sangat menggrandungi makanan
cepat saji atau fastfood yang dianggap lebih praktis dan menaikkan gengsi sosial di
kalangan masyarakat. Keberadaan fastfood ini merupakan wujud budaya popular karena
banyak orang yang menyukai makanan tersebut meskipun makan cepat saji tidak baik
untuk kesehatan. Di sisi lain, fenomena merebaknya fastfood dianggap sebagai bentuk
1 Tim Dosen Kewarganegaraan UNJ. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Fakultas
Ilmu Sosial UNJ, 2010, hlm.41.
2
dari budaya massa. Fastfood berusaha menarik konsumen dengan memasang berbagi
iklan di media elektronik maupun di media cetak, hal ini memperlihatkan adanya
komersialisasi makanan.
Sejarah Munculnya FastFood dan Perkembangannya di Indonesia
Fast food atau makanan cepat saji telah menjadi bagian dari kehidupan manusia
di era modern ini. Fastfood telah dikenal sejak lama bahkan sebelum namanya menjadi
fast food. Sebelumnya fastfood dikenal sebagai quick service restoran. Munculnya
fastfood dipelopori oleh Carl N.Karcher dan istrinya, Margaret Heinz dengan menjual
roti yang dipasarkan ke restoran-restoran dan pasar-pasar.2 Roti menjadi makanan yang
digemari pada saat itu di California Selatan dan mengubah cara makan masyarakatnya,
yang kemudian mendorong bermunculannya drive in restaurant yaitu mobil-mobil yang
menjual roti.
Pada tahun 1940-1945 pemerintah Amerika mengeluarkan dana sebanyak 20
milyar dollar untuk pembangunan California dan sekitar Los Angeles. Pada akhir
Perang Dunia ke-2, Los Angeles menjadi pusat produksi kedua di Amerika.
Kesejahteraan di wilayah ini berpengaruh pada kehidupan Carl dan Margaret yang telah
memiliki restoran hotdog dan hamburger. Namun, seiring dengan pembangunan kota
muncullah restoran McDonald’s Hamburger yang menjual hamburger dengan seharga
15 sen. George Ritzer mengungkapkan telah lahir ‘sarana konsumsi baru” di Amerika
Serikat selama kurun waktu lebih dari setengah abad sejak akhir Perang Dunia II. 3
McDonald’s (dan lebih umumnya industry makanan cepat saji) adalah salah satu sarana
konsumsi baru. Pada tahun 2006, McDonald memiliki gerai makanan hamper 31.000
berjalan di 126 negara dan enam benua.4 Banyaknya yang memilih makanan fastfood
2Ratih. 2010. Awal Mula Fast Food : Inspirasi untuk Berwiraswasta Makanan Baru.
http://openriceindonesia.wordpress.com/ dalam Eric Schlosser. Fast food nation: The
Dark Side of the all-American Meal. New York: Houghton Mifflin Company, 2001
3 George Ritzer dan Douglas J.Goodman. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Muktahir Teori Sosial Postmodern. Penerjemah Nurhadi
(Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2008) hlm. 617.
4 Ratih, Loc. Cit
3
mendorong bermunculannya restoran dan outlet makanan cepat saji lainnya di berbagai
negara.
Di Indonesia, masuknya bisnis franchise makanan cepat saji dimulai pada tahun
1970-an. Pada tahun ini, mulai masuk berbagai franchise makanan cepat saji seperti
KFC dan Burger King. Seiring dengan penerimaan dari masyarakat Indonesia akan
makanan cepat saji, meningkatkan persebarluasan outlet-outlet makanan cepat saji
(KFC,McDonald’s, dan lain sebagainya) di berbagai kota. Penyebaran outlet-outlet
makanan cepat saji diiringi dengan penyebaran budaya konsumtif yaitu budaya baru
yang merubah selera makan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan
telah terjadi proses Amerikanisasi. Proses Amerikanisasi merupakan bentuk dari
modernisasi, dimana Negara berkembang seperti Indonesia mencontoh atau mengadopsi
pengalaman Negara maju seperti Amerika.5
Fast Food sebagai Bagian dari Budaya Populer dan Budaya Massa
Fast food atau makanan cepat saji menjadi makanan yang digemari saat ini,
yang kemudian mendorong industri makanan cepat saji begitu cepat tersebar luas di
berbagai kota di Indonesia terlebih dibantu dengan media massa yang berperan
memperkenalkannya kepada masyarakat. Keberadaan outlet-outlet makanan cepat saji
mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, terutama kaum muda. Banyak kaum muda
yang suka makan ke outlet-outlet tersebut karena ke-istanan-nya yang memberikan
kemudahan untuk mengenyangkan perut. Tidak hanya itu, munculnya outlet-outlet fast
food memunculkan budaya nongkrong para kaum muda dan dianggap memberikan
gengsi sosial yang tinggi. Banyaknya yang menggemari fast food menjadikannya
sebagai bagian dari budaya populer. Menurut Raymond William, budaya populer
memiliki empat makna yang salah satunya adalah banyak disukai orang (Williams
1983:237). Budaya populer terdiri atas segala aktivitas yang tersebar luas di dalam
sebuah kebudayaan, dengan daya tarik dan tersedianya akses bagi seluruh orang, dan
digandrungi oleh sejumlah besar orang lintas kelas sosial. Dengan demikian fast food
seperti McDonald’s, KFC, dan Pizza Hut merupakan budaya populer.
5 Suwarsono dan Alvin Y. So. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT
Pustaka LP3ES Indonesia, 2006, hlm. 22.
4
Fenomena merebaknya restoran fastfood juga merupakan salah satu bentuk dari
budaya massa. Jika ditelusuri mendalam penyebaran restoran-restoran fastfood di
monopoli oleh sebuah perusahaan. Mereka menjalankan manipulasi publik dengan
menawarkan kelezatan, kecepatan, dan kenyamanan. Untuk itu, mereka menggunakan
media massa untuk mengiklankan makanan yang ditawarkan dengan tujuan menarik
masyarakat untuk membeli sehingga mampu mendapatkan keuntungan yang besar.
Seseorang yang ingin merasakan fast food harus membayar uang yang agak mahal, ini
memperlihatkan betapa komersialnya makanan cepat saji dan hanya diperuntukkan bagi
kelas-kelas tertentu. Dengan demikian, fast food merupakan budaya popular yang telah
dieksploitasi dan dikomersialisasi sehingga menjadi budaya massa. Budaya massa
sangat berhubungan dengan unsur biaya produksi yang mahal karena adanya
penggunaan media massa dan berkaitan dengan kelas tertentu.6
Fast Food dalam Pandangan Subjektivitas dan Identitas Cultural Studies
Pandangan kajian budaya kontemporer atau cultural studies menilai bahwa
pandangan kita mengenai diri kita adalah identitas diri (self-identity), sedangkan
harapan dan pandangan orang lain mengenai diri kita sendiri disebut identitas sosial
(Barker, 2005).7 Menjelajah identitas berarti menyelidiki bagaimana kita melihat diri
kita sendiri dan bagaimana orang lain melihat diri kita. Berdasarkan pandangan ini,
cultural studies kemudian memaparkan empat konsep mengenai identitas dan
subjektivitas sebagaimana diuraikan di bawah ini. Pertama, person/personhood adalah
sebagai produk budaya. Menjadi seorang person (subjek) sepenuhnya bersifat sosial dan
kultural. Kedua, identitas adalah suatu entitas yang dapat diubah-ubah menurut sejarah,
waktu dan ruang tertentu. Ketiga, identitas adalah sebuah proyek diri (Giddens dikutip
Barker, 2005). Bagi Giddens, individu akan berusaha untuk menyusun lintasan biografi
diri dari masa lalu ke masa depan yang telah diantisipasi. Dengan lintasan biografi
6 Burhan Bungin. Sosiologi Komunikasi : teori, paradigma, dan diskursus teknologi
komunikasi di masyarakat. Jakarta : Kencana, 2008, hlm.78.
7 Adisty Dwi Anggraini. Pembentukan Identitas Slankers Melalui Pemaknaan
Terhadap Simbol-Simbol Budaya Musik Slank. Bogor : Fakultas Pertanian IPB, 2008.
hlm. 30-31, dalam Chris Barker. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Hadi Purwanto &
Nurhadi (eds). Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005
5
tersebut, identitas tidak lagi dipahami sebagai suatu ‘ciri tetap’atau sekumpulan ‘ciri
khas’ yang dimiliki individu; akan tetapi merupakan ‘diri’ (pribadi) sebagaimana
dipahami orang secara reflektif terkait dengan biografinya. Keempat, identitas bersifat
sosial (Barker, 2005). Kita disusun menjadi individu (Subjek) melalui proses sosial.
Proses itu terjadi dalam diskursus bahasa yang memungkinkan kita melakukan interaksi
dengan yang lain;yang memungkinkan suatu biografi diri terbentuk. Dengan demikian,
subjektivitas merujuk pada kondisi proses bagaimana seseorang menjadi individu, dan
bagaimana ia dikonstitusi sebagai subjek. Sehingga identitas adalah hasil konstruksi
sosial dan senantiasa ada di di dalam berbagai bentuk representasi sosial.
Berkembangnya makanan cepat saji di Indonesia mempengaruhi perubahan gaya
hidup (life style). Kaum muda lebih suka makan fast food atau makanan cepat
saji,McDonald, KFS dan lain sebagainya dibandingkan makanan lokal. Ada rasa yang
beda ketika mereka memasuki restoran fast food yang indentik dengan makanan untuk
kelas elit. Jadi, tidak hanya rasa tetapi mereka membeli pola dan gaya hidup, agar
mereka menjadi orang modern. Ada penciptaan norma baru di masyarkat seolah-olah
orang akan menjadi udik dan ketinggalan zaman bila belum pernah menyantap pizza,
hamburger, dan berbagai produk makanan saji lainnya. Sehingga yang terjadi adalah
kaum muda menjadi subjek dari produk-produk makanan cepat saji yang mengubah
identitas mereka. Perubahan identitas yang terjadi ditunjukkan dengan perubahan
identitas lokal mengarah kepada identitas instan modern. Identitas kaum muda mulai
berubah seiring dengan masuknya budaya Amerika yang mempengaruhi selera makan.
Dengan adanya anggapan di tengah masyarakat bahwa mengkonsumsi makanan cepat
saji memberikan gengi sosial semakin mendesak individu untuk ikut larut menjadi
konsumen dari makanan cepat saji.
Tanpa sadar, semua orang masuk ke dalam
perangkap kapitalisme yang membentuk identitas baru. Jadi dapat disimpulkan,
identitas individu dapat berubah yang dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya.
Penutup
Fast food atau makanan cepat saji banyak digemari oleh masyarakat Indonesia.
Banyaknya orang yang menyukai makanan ini menjadikannya sebagai bagian dari
6
budaya populer. Namun, karena makanan cepat saji telah dieksploitasi dan
dikomersialisasi menjadikannya bagian dari budaya massa. Fast food memberikan
gengsi sosial yang tinggi dan di identikan dengan makanan kaum kelas elit. Karena
itulah dalam memproduksi makanan fast food membutuhkan biaya mahal dengan
menggunakan media massa sebagai alat untuk pemasaranannya. Adanya anggapan
bahwa fast food merupakan makanan kelas elit mendorong kaum muda untuk menjadi
konsumen dari makanan cepat saji seperti McDonald, KFC, dan lain sebagainya. Hal ini
mempengaruhi identitas dari kaum muda itu sendiri, karena telah berubah menjadi
identitas instan modern yang awalnya ber identitas lokal.
7
sebagai Identitas Baru di Kalangan Kaum Muda
Evi Fadillawati (4815111569)
Pendidikan Sosiologi Reguler 2011, FIS UNJ
ABSTRAK
Penulisan ini menyajikan telaah kritis mengenai fenomena menjamurnya
fastfood sehingga mengubah selera makanan kaum muda Indonesia. Fastfood dianggap
sebagai makan yang praktis dan memberikan gengsi sosial yang tinggi bagi yang
memakannya. Fastfood banyak digemari orang sehingga fastfood dapat dikatakan
sebagai salah satu budaya populer. Namun, ada pula yang menganggap fastfood sebagai
budaya massa karena telah dikomersialkan. Fastfood merupakan makanan yang berasal
dari budaya asing telah diadopsi kaum masyarakat Indonesia menjadi sebuah lifestyle.
Hal ini memperlihatkan munculnya budaya baru yaitu memakan fastfood.
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan subjektivitas dan
identitas dalam kajian Cultural Studies untuk menganalisa fenomena merebaknya fast
food di Indonesia. Berkembangnya fast food mendorong munculnya identitas baru pada
kalangan kaum muda yang dipengaruhi oleh adanya budaya asing (Budaya Barat).
Kata Kunci: FastFood, Subjektivitas, dan Identitas
1
LATAR BELAKANG
Di era globalisasi ini, Indonesia dihadapi dengan berbagai pengaruh dari adanya
globalisasi. Globalisasi merupakan istilah yang berhubungan dengan peningkatan
keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui
perdagangan, investasi, wisata atau perjalanan antar negara, lintas budaya, dan berbagai
bentuk interaksi lainnya sehingga batas-batas suatu kawasan atau negara atau juga
komunitas terterntu menjadi bias sedangkan peran negara itu sendiri menjadi
berkurang.1 Globalisasi mempengaruhi nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dan secara
perlahan menggeser nilai-nilai yang telah ada baik nilai positif maupun nilai negatif.
Globalisasi tidak hanya berkaitan dengan soal ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan isu
budaya. Globalisasi mampu mengikis identitas bangsa dan yang terjadi adalah
“pengaburan” identitas.
Globalisasi membuat batas antar negara tidak ada artinya, sehingga yang terjadi
adalah proses akulturasi, saling meniru dan saling mempengaruhi budaya masingmasing. Proses akulturasi mampu melunturkan nilai-nilai yang merupakan identitas
bangsa. Semakin berkembang pesatnya teknologi informasi memudahkan masyarakat
mengakses nilai-nilai dari budaya asing. Dengan demikian, adanya globalisasi
mendorong munculnya berbagai produk-produk kebudayaan baru dalam masyarakat
khusunya kaum muda Indonesia. Salah satu wujud kebudayaan yang dihasilkan dengan
adanya teknologi informasi adalah kebudayaan masa atau mass culture dan kebudayaan
popular atau pop culture. Berbagai wujud pop culture ada di kehidupan sehari-hari
seperti gaya berbusana, makanan, music dan film.
Saat ini, kaum muda Indonesia dalam hal selera makanan telah dipengaruhi oleh
budaya asing (Budaya Barat). Kaum muda sekarang sangat menggrandungi makanan
cepat saji atau fastfood yang dianggap lebih praktis dan menaikkan gengsi sosial di
kalangan masyarakat. Keberadaan fastfood ini merupakan wujud budaya popular karena
banyak orang yang menyukai makanan tersebut meskipun makan cepat saji tidak baik
untuk kesehatan. Di sisi lain, fenomena merebaknya fastfood dianggap sebagai bentuk
1 Tim Dosen Kewarganegaraan UNJ. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Fakultas
Ilmu Sosial UNJ, 2010, hlm.41.
2
dari budaya massa. Fastfood berusaha menarik konsumen dengan memasang berbagi
iklan di media elektronik maupun di media cetak, hal ini memperlihatkan adanya
komersialisasi makanan.
Sejarah Munculnya FastFood dan Perkembangannya di Indonesia
Fast food atau makanan cepat saji telah menjadi bagian dari kehidupan manusia
di era modern ini. Fastfood telah dikenal sejak lama bahkan sebelum namanya menjadi
fast food. Sebelumnya fastfood dikenal sebagai quick service restoran. Munculnya
fastfood dipelopori oleh Carl N.Karcher dan istrinya, Margaret Heinz dengan menjual
roti yang dipasarkan ke restoran-restoran dan pasar-pasar.2 Roti menjadi makanan yang
digemari pada saat itu di California Selatan dan mengubah cara makan masyarakatnya,
yang kemudian mendorong bermunculannya drive in restaurant yaitu mobil-mobil yang
menjual roti.
Pada tahun 1940-1945 pemerintah Amerika mengeluarkan dana sebanyak 20
milyar dollar untuk pembangunan California dan sekitar Los Angeles. Pada akhir
Perang Dunia ke-2, Los Angeles menjadi pusat produksi kedua di Amerika.
Kesejahteraan di wilayah ini berpengaruh pada kehidupan Carl dan Margaret yang telah
memiliki restoran hotdog dan hamburger. Namun, seiring dengan pembangunan kota
muncullah restoran McDonald’s Hamburger yang menjual hamburger dengan seharga
15 sen. George Ritzer mengungkapkan telah lahir ‘sarana konsumsi baru” di Amerika
Serikat selama kurun waktu lebih dari setengah abad sejak akhir Perang Dunia II. 3
McDonald’s (dan lebih umumnya industry makanan cepat saji) adalah salah satu sarana
konsumsi baru. Pada tahun 2006, McDonald memiliki gerai makanan hamper 31.000
berjalan di 126 negara dan enam benua.4 Banyaknya yang memilih makanan fastfood
2Ratih. 2010. Awal Mula Fast Food : Inspirasi untuk Berwiraswasta Makanan Baru.
http://openriceindonesia.wordpress.com/ dalam Eric Schlosser. Fast food nation: The
Dark Side of the all-American Meal. New York: Houghton Mifflin Company, 2001
3 George Ritzer dan Douglas J.Goodman. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Muktahir Teori Sosial Postmodern. Penerjemah Nurhadi
(Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2008) hlm. 617.
4 Ratih, Loc. Cit
3
mendorong bermunculannya restoran dan outlet makanan cepat saji lainnya di berbagai
negara.
Di Indonesia, masuknya bisnis franchise makanan cepat saji dimulai pada tahun
1970-an. Pada tahun ini, mulai masuk berbagai franchise makanan cepat saji seperti
KFC dan Burger King. Seiring dengan penerimaan dari masyarakat Indonesia akan
makanan cepat saji, meningkatkan persebarluasan outlet-outlet makanan cepat saji
(KFC,McDonald’s, dan lain sebagainya) di berbagai kota. Penyebaran outlet-outlet
makanan cepat saji diiringi dengan penyebaran budaya konsumtif yaitu budaya baru
yang merubah selera makan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan
telah terjadi proses Amerikanisasi. Proses Amerikanisasi merupakan bentuk dari
modernisasi, dimana Negara berkembang seperti Indonesia mencontoh atau mengadopsi
pengalaman Negara maju seperti Amerika.5
Fast Food sebagai Bagian dari Budaya Populer dan Budaya Massa
Fast food atau makanan cepat saji menjadi makanan yang digemari saat ini,
yang kemudian mendorong industri makanan cepat saji begitu cepat tersebar luas di
berbagai kota di Indonesia terlebih dibantu dengan media massa yang berperan
memperkenalkannya kepada masyarakat. Keberadaan outlet-outlet makanan cepat saji
mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, terutama kaum muda. Banyak kaum muda
yang suka makan ke outlet-outlet tersebut karena ke-istanan-nya yang memberikan
kemudahan untuk mengenyangkan perut. Tidak hanya itu, munculnya outlet-outlet fast
food memunculkan budaya nongkrong para kaum muda dan dianggap memberikan
gengsi sosial yang tinggi. Banyaknya yang menggemari fast food menjadikannya
sebagai bagian dari budaya populer. Menurut Raymond William, budaya populer
memiliki empat makna yang salah satunya adalah banyak disukai orang (Williams
1983:237). Budaya populer terdiri atas segala aktivitas yang tersebar luas di dalam
sebuah kebudayaan, dengan daya tarik dan tersedianya akses bagi seluruh orang, dan
digandrungi oleh sejumlah besar orang lintas kelas sosial. Dengan demikian fast food
seperti McDonald’s, KFC, dan Pizza Hut merupakan budaya populer.
5 Suwarsono dan Alvin Y. So. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT
Pustaka LP3ES Indonesia, 2006, hlm. 22.
4
Fenomena merebaknya restoran fastfood juga merupakan salah satu bentuk dari
budaya massa. Jika ditelusuri mendalam penyebaran restoran-restoran fastfood di
monopoli oleh sebuah perusahaan. Mereka menjalankan manipulasi publik dengan
menawarkan kelezatan, kecepatan, dan kenyamanan. Untuk itu, mereka menggunakan
media massa untuk mengiklankan makanan yang ditawarkan dengan tujuan menarik
masyarakat untuk membeli sehingga mampu mendapatkan keuntungan yang besar.
Seseorang yang ingin merasakan fast food harus membayar uang yang agak mahal, ini
memperlihatkan betapa komersialnya makanan cepat saji dan hanya diperuntukkan bagi
kelas-kelas tertentu. Dengan demikian, fast food merupakan budaya popular yang telah
dieksploitasi dan dikomersialisasi sehingga menjadi budaya massa. Budaya massa
sangat berhubungan dengan unsur biaya produksi yang mahal karena adanya
penggunaan media massa dan berkaitan dengan kelas tertentu.6
Fast Food dalam Pandangan Subjektivitas dan Identitas Cultural Studies
Pandangan kajian budaya kontemporer atau cultural studies menilai bahwa
pandangan kita mengenai diri kita adalah identitas diri (self-identity), sedangkan
harapan dan pandangan orang lain mengenai diri kita sendiri disebut identitas sosial
(Barker, 2005).7 Menjelajah identitas berarti menyelidiki bagaimana kita melihat diri
kita sendiri dan bagaimana orang lain melihat diri kita. Berdasarkan pandangan ini,
cultural studies kemudian memaparkan empat konsep mengenai identitas dan
subjektivitas sebagaimana diuraikan di bawah ini. Pertama, person/personhood adalah
sebagai produk budaya. Menjadi seorang person (subjek) sepenuhnya bersifat sosial dan
kultural. Kedua, identitas adalah suatu entitas yang dapat diubah-ubah menurut sejarah,
waktu dan ruang tertentu. Ketiga, identitas adalah sebuah proyek diri (Giddens dikutip
Barker, 2005). Bagi Giddens, individu akan berusaha untuk menyusun lintasan biografi
diri dari masa lalu ke masa depan yang telah diantisipasi. Dengan lintasan biografi
6 Burhan Bungin. Sosiologi Komunikasi : teori, paradigma, dan diskursus teknologi
komunikasi di masyarakat. Jakarta : Kencana, 2008, hlm.78.
7 Adisty Dwi Anggraini. Pembentukan Identitas Slankers Melalui Pemaknaan
Terhadap Simbol-Simbol Budaya Musik Slank. Bogor : Fakultas Pertanian IPB, 2008.
hlm. 30-31, dalam Chris Barker. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Hadi Purwanto &
Nurhadi (eds). Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005
5
tersebut, identitas tidak lagi dipahami sebagai suatu ‘ciri tetap’atau sekumpulan ‘ciri
khas’ yang dimiliki individu; akan tetapi merupakan ‘diri’ (pribadi) sebagaimana
dipahami orang secara reflektif terkait dengan biografinya. Keempat, identitas bersifat
sosial (Barker, 2005). Kita disusun menjadi individu (Subjek) melalui proses sosial.
Proses itu terjadi dalam diskursus bahasa yang memungkinkan kita melakukan interaksi
dengan yang lain;yang memungkinkan suatu biografi diri terbentuk. Dengan demikian,
subjektivitas merujuk pada kondisi proses bagaimana seseorang menjadi individu, dan
bagaimana ia dikonstitusi sebagai subjek. Sehingga identitas adalah hasil konstruksi
sosial dan senantiasa ada di di dalam berbagai bentuk representasi sosial.
Berkembangnya makanan cepat saji di Indonesia mempengaruhi perubahan gaya
hidup (life style). Kaum muda lebih suka makan fast food atau makanan cepat
saji,McDonald, KFS dan lain sebagainya dibandingkan makanan lokal. Ada rasa yang
beda ketika mereka memasuki restoran fast food yang indentik dengan makanan untuk
kelas elit. Jadi, tidak hanya rasa tetapi mereka membeli pola dan gaya hidup, agar
mereka menjadi orang modern. Ada penciptaan norma baru di masyarkat seolah-olah
orang akan menjadi udik dan ketinggalan zaman bila belum pernah menyantap pizza,
hamburger, dan berbagai produk makanan saji lainnya. Sehingga yang terjadi adalah
kaum muda menjadi subjek dari produk-produk makanan cepat saji yang mengubah
identitas mereka. Perubahan identitas yang terjadi ditunjukkan dengan perubahan
identitas lokal mengarah kepada identitas instan modern. Identitas kaum muda mulai
berubah seiring dengan masuknya budaya Amerika yang mempengaruhi selera makan.
Dengan adanya anggapan di tengah masyarakat bahwa mengkonsumsi makanan cepat
saji memberikan gengi sosial semakin mendesak individu untuk ikut larut menjadi
konsumen dari makanan cepat saji.
Tanpa sadar, semua orang masuk ke dalam
perangkap kapitalisme yang membentuk identitas baru. Jadi dapat disimpulkan,
identitas individu dapat berubah yang dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya.
Penutup
Fast food atau makanan cepat saji banyak digemari oleh masyarakat Indonesia.
Banyaknya orang yang menyukai makanan ini menjadikannya sebagai bagian dari
6
budaya populer. Namun, karena makanan cepat saji telah dieksploitasi dan
dikomersialisasi menjadikannya bagian dari budaya massa. Fast food memberikan
gengsi sosial yang tinggi dan di identikan dengan makanan kaum kelas elit. Karena
itulah dalam memproduksi makanan fast food membutuhkan biaya mahal dengan
menggunakan media massa sebagai alat untuk pemasaranannya. Adanya anggapan
bahwa fast food merupakan makanan kelas elit mendorong kaum muda untuk menjadi
konsumen dari makanan cepat saji seperti McDonald, KFC, dan lain sebagainya. Hal ini
mempengaruhi identitas dari kaum muda itu sendiri, karena telah berubah menjadi
identitas instan modern yang awalnya ber identitas lokal.
7