hubungan internasional politik luar nege

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mempelajari politik luar negeri, pengertian dasar yang harus kita
ketahui yaitu politik luar negeri itu pada dasarnya merupakan “action theory”,
atau kebijakasanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai
suatu kepentingan tertentu. Secara pengertian umum, politik luar negeri (foreign
policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk
mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam
percaturan dunia internasional. Suatu komitmen yang pada dasarnya merupakan
strategi dasar untuk mencapai suatu tujuan baik dalam konteks dalam negeri dan
luar negeri serta sekaligus menentukan keterlibatan suatu negara di dalam isu-isu
internasional atau lingkungan sekitarnya.
Salah satu cara untuk memahami konsep politik luar negeri adalah dengan
jalan memisahkannya ke dalam dua komponen: politik dan luar negeri. Politik
(policy) adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak,
atau seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan sebelumnya. Policy itu sendiri berakar pada konsep “pilihan
(choices)”: memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai
suatu tujuan. Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan dan konsep “wilayah”
akan membantu upaya memahami konsep luar negeri (foreign). Kedaulatan berarti

kontrol atas wilayah (dalam) yang dimiliki oleh suatu negara. Jadi, politik luar
negeri (foreign policy) berarti seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang
ditujukan ke luar wilayah suatu negara.
Pemahaman konsep ini diperlukan agar kita dapat membedakan antara
politik luar negeri dan politik domestik (dalam negeri). Namun, tidak dapat
dipungkiri pula bahwasanya pembuatan politik luar negeri selalu terkait dengan
konsekwensikonsekwensi yang ada di dalan negeri. Meminjam istilah dari Henry
Kissinger, seorang akademisi sekaligus praktisi politik luar negeri Amerika
Serikat, menyatakan bahwa “foreign policy begins when domestic policy ends”.
Dengan kata lain studi politik luar negeri berada pada intersection antara aspek

1

dalam negeri suatu negara (domestik) dan aspek internasional (eksternal) dari
kehidupan suatu negara. Karena itu studi politik luar negeri tidak dapat
menisbikan struktur dan proses baik dari sistem internasional (lingkungan
eksternal) maupun dari sistem politik domestik.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan politik luar negeri?

2. Bagaimana kasus politik luar negeri Indonesia pada zaman Soekarno?
3. Bagaimanakah kasus politik domestik dan dampak yang terjadi pada
politik luar negeri Indonesia?

BAB II
STUDI KASUS POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DAN STUDI
KASUS POLITIK DOMESTIK ERA SOEKARNO
A. Pengertian Politik Luar Negeri Indonesia
Sulit membuat definisi yang lengkap tentang politik luar negeri. Tetapi
secara umum, bisa dikatakan bahwa politik luar negeri merupakan kebijakan yang
diambil oleh Pemerintah suatu Negara dan aktor bukan Negara di dunia
Internasional (Eby Hara, 2010: 13). Politik luar negeri suatu Negara pada

2

hakikatnya merupakan hasil perpaduan dan refleksi dari kondisi dalam negeri
yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi internasional. Demikian pula halnya
politik luar negeri Indonesia tidak terlepas dari pengaruh factor internal dan factor
eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamikanya yang terjadi. Posisi
geografis strategis yang berada dipersilangan dua samudra dan dua benua,

susunan demografis dan sistem sosial politik yang dianut antara lain merupakan
aspek-aspek dari faktor dalam negeri yang mempengaruhi cara pandang dan cara
Indonesia memposisikan diri dalam percaturan tata hubungan internasional.
Sebaliknya, dalam rangka melaksanakan diplomasi global untuk mendukung
kepentingan nasionalnya, Indonesia juga perlu untuk selalu mengamati dan
menyesuaikan

politik

luar

negerinya

dengan

berbagai

perubahan

dan


perkembangan yang terjadi di berbagai belahan dunia, baik yang secara langsung
maupun tidak langsung telah mempengaruhi tata hubungan antarnegara dan
pandangan masing-masing Negara terhadap Indonesia.
Dalam kajian politik luar negeri sebagai suatu sistem, rangsangan dari
lingkungan eksternal dan domestik sebagai input yang mempengaruhi politik luar
negeri suatu negara dipersepsikan oleh para pembuat keputusan dalam suatu
proses konversi menjadi output. Proses konversi yang terjadi dalam perumusan
politik luar negeri suatu negara ini mengacu pada pemaknaan situasi, baik yang
berlangsung

dalam

lingkungan

eksternal

maupun

internal


dengan

mempertimbangkan tujuan yang ingin dicapai serta sarana dan kapabilitas yang
dimilkinya. Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang
dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau
unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan
nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.
Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara memang
bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya
meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu ditentukan oleh siapa
yang berkuasa pada waktu itu. Untuk memenuhi kepentingan nasionalnya itu,
negara-negara maupun aktor dari negara tersebut melakukan berbagai macam

3

kerjasama diantaranya adalah kerjasama bilateral, trilateral, regional dan
multilateral.
Tujuan dari kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan fungsi dari
proses dimana tujuan negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh sasaran

yang dilihat dari masa lalu dan aspirasi untuk masa yang akan datang. Tujuan
kebijakan luar negeri dibedakan atas tujuan jangka panjang, jangka menengah,
dan jangka pendek. Pada dasarnya tujuan jangka panjang kebijakan luar negeri
adalah untuk mencapai perdamaian, keamanan, dan kekuasaan. Sementara itu
Plano berpendapat bahwa setiap kebijakan luar negeri dirancang untuk
menjangkau tujuan nasional. Tujuan nasional yang hendak dijangkau melalui
kebijakan luar negeri merupakan formulasi konkret dan dirancang dengan
mangaitkan kepentingan nasional terhadap situasi internasional yang sedang
berlangsung serta power yang dimiliki untuk mengjangkaunya. Tujuan dirancang,
dipilih, dan ditetapkan oleh pembuat keputusan dan dikendalikan untuk mengubah
kebijakan (revisionist policy) atau mempertahankan kebijakan (status quo policy)
ihwal kenegaraan tertentu di lingkungan internasional.
Tujuan politik luar negeri dapat dikatakan sebagai citra mengenai keadaan
dan kondisi di masa depan suatu negara dimana pemerintah melalui para perumus
kebijaksanaan nasional mampu meluaskan pengaruhnya kepada negara-negara
lain dengan mengubah atau mempertahankan tindakan negara lain. Ditinjau dari
sifatnya, tujuan politik luar negeri dapat bersifat konkret dan abstrak. Sedangkan
dilihat dari segi waktunya, tujuan politik luar negeri dapat bertahan lama dalam
suatu periode waktu tertentu dan dapat pula bersifat sementara, berubah sesuai
dengan kondisi waktu tertentu (Elisabeth, 2011:23)

B. Kasus Ganyang Malaysia
Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau yang lebih dikenal sebagai
konfrontasi saja adalah sebuah perang mengenai masa depan Malaya, Brunei,
Sabah dan Sarawak yang terjadi antara Federasi Malaysia dan Indonesia pada
tahun 1962 hingga 1966. Perang ini berawal dari keinginan Federasi Malaya lebih
dikenali

sebagai

Persekutuan Tanah

Melayu

pada

tahun

1961

untuk


menggabungkan Brunei, Sabah dan Serawak ke dalam Federasi Malaysia uang
tidak sesuai dengan Persetujuan Manila. Oleh karena itu, keinginan tersebut

4

ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap pembentukan Federasi
Malaysia

yang

sekarang

dikenal

:

Malaysia sebagai

"boneka Inggris"


merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan
terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di
Indonesia.
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan,
sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah
Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Borneo Utara, kemudian
dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia
Tenggara,

Inggris

mencoba

menggabungkan

koloninya

di


Kalimantan

dengan Semenanjung Malaya, Federasi Malaya dengan membentuk Federasi
Malaysia. Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia, Presiden Soekarno
berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi
Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga
mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah,
dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui
Kesultanan Sulu.
Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak
pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang
minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris.
Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember,
Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa
seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963,
pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir. Filipina dan
Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia
apabila mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam
sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September,
sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi

ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar,
tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai Persetujuan Manila yang
dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.

5

“Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para
demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno,
membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul
Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk
menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.”
Demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur yang berlangsung tanggal 17
September 1963, berlaku ketika para demonstran yang sedang memuncak marah
terhadap Presiden Soekarno yang melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia dan
juga karena serangan pasukan militer tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Ini
mengikuti pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio bahwa
Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963.
Selain itu pencerobohan sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak
resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan
melaksanakan penyerangan dan sabotase pada 12 April berikutnya. Soekarno yang
murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesia yang
menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam
dengan

melancarkan

gerakan

yang

Malaysia. Soekarno memproklamasikan

terkenal

dengan

gerakan Ganyang

nama Ganyang
Malaysia melalui

pidato dia yang sangat bersejarah, berikut ini:
Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu djuga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh
Malaysian keparat itu
Doakan aku, aku bakal berangkat ke medan djuang sebagai patriot Bangsa,
sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang enggan diindjakindjak harga dirinja
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk
melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita

6

tundjukkan bahwa kita masih memiliki gigi dan tulang jang kuat dan kita
djuga masih memiliki martabat
Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satu-satu!
Sukarno
Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio
mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap
Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak
resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan
melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1964 di sebuah rapat
raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi
Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
1. Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan
Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang
Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja
berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia. Meskipun Filipina tidak
turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan
Malaysia. Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei
menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari. Ketegangan
berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para perusuh
7

membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan
Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen
Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan.
Pasukan Indonesia dan pasukan tidak resminya mencoba menduduki Sarawak dan
Sabah, dengan tanpa hasil. Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang
wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang
bertugas untuk mengoordinasi kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi
Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga
(Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga.
Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu)
berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga
Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya
Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebagai PangkopurI. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan
Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan
RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II.
Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL
dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi
di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap
di Johor. Aktivitas Angkatan

Bersenjata

Indonesia

di

perbatasan

juga

meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk
mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan
dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi
utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia.
Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah
Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air
Service (SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan
Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara Kalimantan.
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya
Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan

8

terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat
di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar
Melayu

Di

Raja dan Selandia

Baru dan

menumpas

juga Pasukan

Gerak

Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor. Ketika PBB
menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap, Soekarno menarik Indonesia dari
PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi
Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO
(Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta
pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48
negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500
wartawan asing.
Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke
Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan
Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian
Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan
Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan
Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalui perbatasan Indonesia. Tetapi,
unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara
rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya.
Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur
Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar
Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary. Dan Pada 1
Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak
pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan
terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan
"Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
Menjelang akhir 1965, Jenderal Soeharto memegang kekuasaan di
Indonesia setelah berlangsungnya Gerakan 30 September. Oleh karena konflik

9

domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia
menjadi berkurang dan peperangan pun mereda. Pada 28 Mei 1966 di sebuah
konferensi di Bangkok, meski diwarnai dengan keberatan Soekarno (yang tidak
lagi memegang kendali pemerintahan secara efektif), Kerajaan Malaysia dan
pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik dan normalisasi
hubungan antara kedua negara. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian
perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
Berakhirnya gejolak ini, disertai juga Singapura yang telah lepas dari
Federasi Malaysia dan kejadian tersebut seharusnya menjadi kemenangan besar
bagi Soekarno, karena proyek Gayang Malaysia yang digulirkan sejak awal tahun
1963 sudah menyebabkan Brunai tidak ikut dalam Federasi Malaysia dan
kemudian Singapura dikeluarkan dari Malaysia (Darmawan, 2008: 114)
C. Konflik Pembebasan Irian Barat
Bentuk perjuangan yang dijalankan pemerintah cenderung menerapkan
upaya diplomasi untuk menyelesaikan konfliknya dengan penjajah. Namun,
karena watak penjajah yang selalu ingkar janji, maka kesepakatan pun tidak
terlaksana. Demikian juga dengan perjuangan diplomasi yang dilakukan bangsa
Indonesia untuk membebaskan Irian Barat. Sesuai isi KMB, Irian Barat akan
diserahkan oleh Belanda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS. Namun,
pada kenyataannya lebih dari satu tahun pengakuan kedaulatan Indonesia,
Belanda tidak kunjung menyerahkan Irian Barat pada Indonesia. Bahkan pada
tahun 1952, Belanda memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan
Kerajaan Belanda. Padahal, sebelumnya Indonesia berupaya melakukan
pendekatan bilateral dengan Belanda dalam penyelesaian masalah Irian Barat
sejak masa Kabinet Natsir. Akhirnya, Indonesia membawa masalah Irian Barat ke
forum PBB pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I dan dilanjutkan pada masa
Kabinet Burhanuddin Harahap. Namun upaya ini tidak membawa hasil.
Pembebasan Irian Barat merupakan tuntutan nasional yang didukung oleh
semua partai politik dan semua golongan. Tuntutan itu didasarkan atas
Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi, “untuk membentuk suatu pemerintahan
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
10

darah Indonesia ....” Sedangkan Irian Barat adalah bagian mutlak dari tumpah
darah Indonesia. Oleh karena berbagai upaya diplomasi tidak berhasil, pemerintah
Indonesia akhirnya memutuskan untuk menempuh sikap keras melalui konfrontasi
total terhadap Belanda.
Pada tahun 1956, Indonesia secara sepihak membatalkan hasil KMB dan
secara otomatis membubarkan Uni Indonesia Belanda. Melalui UU No. 13 Tahun
1956 tanggal 3 Mei 1956, Indonesia menyatakan bahwa Uni Indonesia–Belanda
tidak ada. Pada 18 November 1957, diadakan rapat umum pembebasan Irian Barat
di Jakarta. Rapat tersebut mendorong seluruh rakyat Indonesia untuk mendukung
kebijakan yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam upaya merebut Irian Barat.
Para buruh Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda melakukan
mogok massal yang diikuti oleh pemboikotan berbagai media massa dan film-film
buatan Belanda. Akhirnya pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap berbagai
perusahaan Belanda yang ada di Indonesia pada tahun 1957, seperti Bank
Escompto, perusahaan Philips dan KLM, serta percetakan de Uni.
Untuk mencegah tindakan anarki dan untuk menampung keinginan rakyat
banyak, maka Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Nasution selaku
Penguasa Perang Pusat memutuskan untuk mengambil alih semua perusahaan
Belanda, dan kemudian menyerahkannya kepada pemerintah. Pada 17 Agustus
1960, Indonesia secara sepihak memutuskan hubungan diplomatik dengan
Belanda yang diikuti oleh pemecatan seluruh warga negara Belanda yang bekerja
di Indonesia. Kemudian pemerintah Indonesia mengusir semua warga negara
Belanda yang tinggal di Indonesia dan memanggil pulang duta besar serta para
ekspatriat Indonesia yang ada di Belanda. Menghadapi konfrontasi Indonesia
tersebut, ditanggapi Belanda dengan mempersiapkan pembentukan negara Papua
serta segala kelengkapannya seperti lagu kebangsaan dan bendera. Untuk
menandingi pembentukan negara Papua, pemerintah RI membentuk Provinsi Irian
Barat dengan ibu kota di Soasiu (Tidore).
Usaha merebut Irian Barat yang sebelumnya dilakukan dengan cara
diplomasi dan tekanan-tekanan ekonomi, mulai ditingkatkan ke arah perjuangan
dengan kekuatan bersenjata. Dalam rangka persiapan suatu kekuatan militer untuk
merebut Irian, pemerintah Republik Indonesia mencari bantuan senjata ke luar

11

negeri. Pembelian senjata itu dilakukan ke negara Moskow, India, Pakistan,
Thailand, Filipina, Australia, Selandia baru, Jerman, Prancis, dan Inggris.
Mengetahui usaha yang dilakukan oleh Indonesia tersebut, Belanda mulai
menyadari bahwa bila Irian Barat tidak diserahkan secara damai kepada
Indonesia, maka Indonesia akan membebaskannya dengan kekuatan militer.
Menghadapi persiapan-persiapan Indonesia itu, Belanda mengajukan
protes kepada PBB dengan menuduh Indonesia melakukan agresi, selanjutnya
PBB memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan mendatangkan bantuan
dan mengirimkan kapal perangnya ke perairan Irian Barat, di antaranya kapal
induk Karel Doorman. Puncak konfrontasi Indonesia terhadap Belanda terjadi saat
Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada
tanggal 19 Desember 1961 di Jogjakarta. Adapun isi Trikora adalah sebagai
berikut.
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda kolonial.
2. Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan tanah air dan bangsa.
Untuk melaksanakan Trikora, pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden/Pangti
ABRI/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan
keputusan Nomor 1 Tahun 1962 untuk membentuk Komando Mandala
Pembebasan Irian Baratdi Makassar (Ujung Pandang). Komando Mandala
bertugas untuk berikut ini.
1. Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi-operasi
militer dengan tujuan mengembalikan wilayah Provinsi Irian Barat ke
dalam kekuasaan negara Republik Indonesia.
2. Mengembangkan situasi militer di wilayah Irian Barat: a) sesuai dengan
taraf-taraf perjuangan di bidang diplomasi; b) supaya dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya di wilayah Provinsi Irian Barat dapat secara de facto
diciptakan

daerah-daerah

bebas

atau

didudukkan

untuk

kekuasaan/pemerintah daerah Republik Indonesia.

12

Komando Mandala merencanakan operasi-operasi pembebasan Irian Barat dalam
tiga fase, yaitu sebagai berikut.
1. Fase Infiltrasi
Fase ini berlangsung sampai akhir 1962. Pada fase ini usaha pembebasan
wilayah Irian Barat melibatkan rakyat dalam perjuangan fisik. Perjuangan
pembebasan Irian Barat adalah perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Di manamana dibentuk kesatuan-kesatuan sukarelawan seperti di kantor-kantor, sekolahsekolah, organisasi-organisasi, dan sebagainya. Sebagian dari para sukarelawan
tersebut bersama-sama dengan ABRI turut serta dalam operasi infiltrasi.
2. Fase Eksploitasi
Fase ini dimulai awal 1963 dengan dilakukan serangan terbuka terhadap
lawan untuk menduduki pos-pos pertahanan musuh yang penting.
3. Fase Konsolidasi
Fase ini terjadi awal 1964, di mana mulai ditegakkannya kekuasaan
Republik Indonesia di seluruh wilayah Irian Barat. Antara bulan Maret sampai
bulan Agustus 1962 oleh Komando Mandala dilakukan serangkaian operasioperasi pendaratan melalui laut dan penerjunan dari udara di daerah Irian Barat.
Operasi-operasi infiltrasi tersebut berhasil mendaratkan pasukan-pasukan ABRI
dan sukarelawan di berbagai tempat di Irian Barat. Antara lain Operasi Banteng di
Fak-Fak dan Kaimana, Operasi Srigala di sekitar Sorong dan Teminabuan,
Operasi Naga dengan sasaran Merauke, serta Operasi Jatayu di Sorong, Kaimana,
dan Merauke.
Sementara itu mulai disusun suatu rencana serangan terbuka merebut Irian
Barat sebagai suatu operasi penentuan yang dinamai Operasi Jayawijaya. Untuk
melaksanakan operasi operasi tersebut Angkatan Laut Mandala di bawah
pimpinan Kolonel Soedomo membentuk Angkatan Tugas Amphibi 17, terdiri atas
tujuh gugus tugas, sedangkan Angkatan Udara membentuk enam kesatuan tempur
baru.
Pada mulanya Belanda mencemoohkan persiapan-persiapan Komando
Mandala tersebut. Mereka mengira, bahwa pasukan Indonesia tidak mungkin
dapat masuk ke wilayah Irian. Tetapi setelah ternyata bahwa operasi-operasi

13

infiltrasi dari pihak kita berhasil yang antara lain terbukti dengan jatuhnya
Teminabuan ke tangan pasukan Indonesia, maka Belanda bersedia untuk duduk
pada meja perundingan guna menyelesaikan sengketa Irian. Dan dunia luar pun
yang dulunya mendukung posisi Belanda di forum PBB mulai mengerti bahwa
Indonesia tidak main-main.
Sementara itu Pemerintah Kerajaan Belanda sedikit banyak mendapat
tekanan dari pihak Amerika Serikat untuk berunding, untuk mencegah terseretnya
Uni Soviet dan Amerika Serikat ke dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik
Barat-daya di mana masing-masing pihak memberi bantuan kepada pihak yang
lain diantara yang bersengketa, yaitu Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.
Dengan demikian pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani suatu
perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York,
yang terkenal dengan Perjanjian New York. Adapun isi dari Perjanjian New York
adalah sebagai berikut.
1. Kekuasaan Belanda atas Irian Barat berakhir pada 1 Oktober 1962.
2. Irian Barat akan berada di bawah perwalian PBB hingga 1 Mei 1963
melalui lembaga UNTEA (United Nations Temporary Executive
Authority) yang dibentuk PBB.
3. Pada 1 Mei 1963, Irian Barat akan diserahkan kepada pemerintah
Indonesia.
4. Pemerintah Indonesia wajib mengadakan penentuan pendapat rakyat
(pepera) Irian Barat untuk menentukan akan berdiri sendiri atau tetap
bergabung dengan Indonesia, pada tahun 1969 di bawah pengawasan
PBB.
Perjanjian itu berdasarkan prinsip-prinsip yang diusulkan oleh Duta Besar
Ellsworth Bunker dari Amerika Serikat, yang oleh Sekretaris Jenderal PBB
diminta untuk menjadi penengah. Soal yang terpenting dalam perjanjian itu, ialah
mengenai penyerahan pemerintahan di Irian dari pihak Kerajaan Belanda kepada
PBB. Untuk kepentingan tersebut dibentuklah United Nations Temporary
Excecutive Authority (UNTEA) yang pada gilirannya akan menyerahkan
pemerintahan itu kepada Republik Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963.
Sedangkan Indonesia menerima kewajiban untuk mengadakan Penentuan

14

Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian sebelum akhir tahun 1969, dengan ketentuan
bahwa: kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, akan menerima hasil-hasilnya.
Selanjutnya untuk menjamin keamanan di wilayah Irian Barat, PBB
membentuk pasukan keamanan yang dinamakan United Nations Security Forces
(UNSF) di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Said Udin Khan dari Pakistan.
Sesuai dengan Persetujuan New York, pada tanggal 1 Mei 1963 kekuasaan
pemerintahan atas Irian Barat dari UNTEA diserahkan kepada Indonesia. Dengan
kembalinya Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, maka Komando
Mandala juga dibubarkan. Operasi terakhir yang dilaksanakan oleh Komando
Mandala untuk menyelenggarakan penyerahan kekuasaan pemerintahan Irian
Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI adalah Operasi Wisnumurti.
Dari hasil Pepera tahun 1969 itu, Dewan Musyawarah Pepera secara
aklamasi memutuskan bahwa Irian Barat tetap ingin bergabung dengan Indonesia.
Hasil musyawarah pepera tersebut dilaporkan dalam Sidang Majelis Umum PBB
ke-24 oleh diplomat PBB, Ortiz Sanz yang bertugas di Irian Barat. Kembalinya
Irian Barat ke pangkuan pemerintah Republik Indonesia berarti kembali
membaiknya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Belanda. Oleh karena
itu, pada tahun 1963 itu juga, dilakukan pembukaan Kedutaan Besar Republik
Indonesia di Den Haag dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta.

15

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Politik luar negeri suatu Negara pada hakikatnya merupakan hasil
perpaduan dan refleksi dari kondisi dalam negeri yang dipengaruhi oleh
perkembangan situasi internasional. Demikian pula halnya politik luar negeri
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh factor internal dan factor eksternal yang
berkembang sesuai dengan dinamikanya yang terjadi. Posisi geografis strategis
yang berada dipersilangan dua samudra dan dua benua, susunan demografis dan
sistem sosial politik yang dianut antara lain merupakan aspek-aspek dari faktor
dalam negeri yang mempengaruhi cara pandang dan cara Indonesia memposisikan
diri dalam percaturan tata hubungan internasional.
Kasus Ganyang Malaysia yang dikobarkan oleh Soekarno ini merupakan
salah satu kasus politik luar negeri Indonesia yang mendapatkan perhatian dari
beberapa Negara. Dalam perjuangannya Indonesia tidak menyerah begitu saja
terhadap pembentukan federasi Malaysia tersebut, karena jika Federasi Malaysia
16

tersebut terbentuk maka akan dikhawatirkan Malaysia menjadi boneka dari
Inggris. Dan tentu saja Indonesia sangat mengkhawatirkan keamanan Indonesia.
Sangat disayangkan, konflik ini pada akhirnya dimenangkan oleh Malaysia atas
dukungan dari Inggris. Namun tidak begitu disesalkan oleh Soekarno karena
Brunai dan Singapura tidak ikut bergabung dalam Malaysia.
Pembebasan Irian Barat merupakan upaya untuk mempertahankan
kedaulatan Republik Indonesia. Berbagai cara dilakukan Indonesia untuk
mendapatkan kembali wilayahnya, baik cara diplomasi maupun peperangan. Pada
awalnya Indonesia mengadakan cara diplomasi terhadap Belanda, namun cara itu
tidak membuat Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Maka dari itu
Indonesia menyatakan perang terhadap Belanda. Menghadapi persiapan-persiapan
Indonesia itu, Belanda mengajukan protes kepada PBB dengan menuduh
Indonesia melakukan agresi, selanjutnya PBB memperkuat kedudukannya di Irian
Barat dengan mendatangkan bantuan dan mengirimkan kapal perangnya ke
perairan Irian Barat, di antaranya kapal induk Karel Doorman. Puncak konfrontasi
Indonesia terhadap Belanda terjadi saat Presiden Soekarno mengumandangkan
Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Jogjakarta.
Berkat perjanjian New York, akhirnya Indonesia mendapatkan kembali wilayah
Irian Barat dan ini artinya hubungan diplomatic Indonesia-Belanda sudah
membaik.
B. Saran
Politik luar negeri adalah kebijakan yang diambil oleh suatu Negara dalam
hubungan internasionalnya. Sehingga dalam hal ini, pemerintah harus
memperhatikan kebijakan yang diambil agar dapat memberi manfaat bagi
nasional. Sehingga tidak mengambil kebijakan politik luar negeri yang tidak
seimbang manfaatnya. Maka dari itu, diperlukan analisa yang matang dengan
mempertimbangkan dampak-dampak yang diprediksi akan berefek pada Negara
tersebut.

17

18