KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH ATAS PENGEL

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH
ATAS PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007
BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Pengertian “otonomi” secara bahasa adalah “berdiri sendiri” atau dengan
“pemerintahan sendiri”. Sedangkan “daerah” adalah suatu wilayah atau lingkungan
pemerintah. Dengan demikian pengertian secara istilah “otonomi daerah” adalah
wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang mengatur dan mengelola
untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi politik,
dan peraturan perimabangan keuangan, termasuk pengaturan social budaya, dan ideology
yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Pelaksanaan otnomi daerah
dipengaruhi oleh factor-faktor yang meliputi kempuan pelaksana, kemampuan dalam
keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi
daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu terutama, seperti politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiscal dan agama, melainkan bidang-bidang

tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat.
Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan
dan keanekaragaman. Otonomi daearh tidak hanya pelaksanaan demokrasi pemerintahan
dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya melainkan juga untuk

memperbaiki nasibnya sendiri. Didalam Undang-Undang Dasar 1945 antara lain tersurat
bahwa system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia memberikan keleluasan
kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Namun dalam praktiknya hal
tersebut belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi,
keadilan dan pemerataan bahkan dalam kenyataannya justru mengandung kelemahan. Hal
ini antara lain disebabkan oleh berbagai permasalahan yang muncul salah satu yang paling
rawan adalah ancaman beberapa daerah untuk melepaskan diri dari pemerintahan pusat.
Merespon perkembangan tuntutan reformasi yang berkaitan dengan pemerintah daerah ini,
pertimbangan yang sangat strategis adalah adanya Undang-Undang yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang sesuai dengan perkembangan baru dan
mengantisipasi perkembangan masa depan dengan tetap memperhatikan factor eksistensi,
efektifitas, dan keserasian dengan tujuan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daearh.
Oleh karena itu walaupun di daerah, pemerintahan akan bersendi atas dasar
permusyawaratan, dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun kenyataannya

sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah sejak januari 2001, belum menunjukan perkembangan yang
signifikan bagi pemenuhan harapan masyarakat tersebut dengan berkembangnya
globalisasi, demokratisasi dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan tidak akan
terlepas dari pengaruh global tersebut. Prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan
menurut adanya pemberian peran serta kepada warga Negara dalam system pemerintahan,
antara lain perlindungan konstitusional artinya selain menjamin hak-hak individu,

konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas
hak-hak yang dijamin, badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum
yang bebas, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat atau berorganisasi dan
beroposisi, serta pendidikan kewarganegaraan.
Prinsip keistimewaan atau kekhususan sehingga pemerintah memberikan otonomi
khusus kepada daerah tertentu dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kebijakan politik hukum pemerintahan guna efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Pemberlakuan system hukum otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen kedua
tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk

mengatur pemerintahan daerah.

B.

Permasalahan
Dari latar belakang diatas berkaitan dengan hal tersebut, “Untuk Sistem
Pemerintahan Daerah di Indonesia Menurut Undang- Undang Dasar 1945” yang
merupakan suatu kebijakan yang diatur dalam sistem Negara berdasarkan kedudukan dan
wewenangnya, memberikan suatu kebijakan dalam system Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara Republik Indonesia.
Oleh karena itu ada 2 permasalahan yang terjadi dari latar belakang ini antara lain :
1. Bagaimana realisasi otonomi daerah dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI)?

2. Apa tujuan dilaksanakannya sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Republik
Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN


A. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilainilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filisofisnya yang tertinggi. Teori
hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidaktidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksi kehadiran teori hukum
secara jelas.

Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem)
yang menjadi bahan perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui,
yang merupakan masukan eksternal dalam penelitian ini.
Kerangka teori yang dijadikan sebagai fisio analisis dalam penelitian ini adalah
kepastian hukum, yakni teori yang menjelaskan bahwa suatu Sistem Pemerintahan Daerah di
Indonesia harus mempunyai kekuatan hukum yang pasti dengan segala akibatnya dapat
dipertanggung jawabkan menurut hukum.
Sebuah hipotesa Sistem Pemerintahan Daerah berpengaruh pada perubahan hukum,
karena Sistem Pemerintahan Daerah pada hakekatnya merupakan artikulasi perkembangan
aspirasi masyarakat.
Aspirasi dan tuntutannya merupakan basis materil dari suatu Pemerintahan Daerah akan tetapi
bisa juga disebabkan oleh kebutuhan dari suatu kekuasaan. Sistem Pemerintahan Daerah
menjadi signifikan terlihat dari pranata-pranata yang dikeluarkan dan konflik yang muncul.
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan

berbentuk republik”. Dengan demikian, adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri harus diletakkan dalam kerangka negara
kesatuan bukan negara federasi.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya. Kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Di dalam Pasal 18A UUD 1945, disebutkan
bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi,

kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undangundang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang.
Selanjutnya, dalam Pasal 18B UUD 1945 ditegaskan bahwa (1) Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang diatur dengan undang-undang; (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut (pasal 18, 18 A dan 18 B), dapat ditarik pengertianpengertian sebagai berikut:
1. Daerah tidaklah bersifat “staat” atau negara (dalam negara);

2. Wilayah Indonesia mula-mula akan dibagi dalam provinsi-provinsi. Provinsi ini kemudian
akan dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yaitu kabupaten atau kota;
3. Daerah-daerah itu adalah daerah otonom atau daerah administrasi;
4. Di daerah otonom dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan umum;
5. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan;
Sejak awal kemerdekaan, otonomi daerah telah mendapat perhatian melalui UndangUndang No. 1 Tahun 1945. Undang-undang ini, menurut Mahfud (2006:224), dibuat dalam

semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan yang memang menggelorakan
semangat kebebasan. Undang-undang ini berisi enam pasal yang pada pokoknya memberi
tempat penting bagi Komite Nasional Daerah (KND) sebagai alat perlengkapan demokrasi di
daerah. Asas yang dianut UU No. 1 Tahun 1945 adalah asas otonomi formal dalam arti
menyerahkan urusan-urusan kepada daerah-daerah tanpa secara spesifik menyebut jenis atau
bidang urusannya. Ini berarti bahwa daerah bisa memilih sendiri urusannya selama tidak
ditentukan bahwa urusan-urusan tertentu diurus oleh pemerintah pusat atau diatur oleh
pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi.
Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU sebelumnya
yang dirasakan masih dualistik. UU Nomor 22 Tahun 1948 ini menganut asas otonomi formal
dan materiil sekaligus. Ini terlihat dari pasal 23 (2) yang menyebut urusan yang diserahkan
kepada daerah (materiil) dan pasal 28 yang menyebutkan adanya pembatasan-pembatasan

bagi DPRD untuk tidak membuat Perda tertentu yang telah diatur oleh pemerintah yang
tingkatannya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya keinginan untuk memperluas otonomi
daerah. Di era demokrasi liberal, berlaku UUDS 1950, di mana gagasan otonomi nyata yang
seluas-luasnya tidak dapat dibendung sehingga lahirlah UU No. 1 Tahun 1957. Di sini, dari
sudut UU ini telah dikenal adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, meski belum
sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan politik. Dalam UU ini, menurut Mahfud
(2006:245), DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah, sedangkan tugas-tugas
pembantuan dilakukan oleh Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Pada era demokrasi terpimpin,
dikeluarkanlah UU Nomor 18 Tahun 1965. UU ini merupakan perwujudan Penpres No. 6
Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Istilah otonomi seluas-luasnya masih
dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya di dalam sistem pemerintahan justru merupakan

pengekangan yang luar biasa atas daerah. Kepala daerah ditentukan sepenuhnya oleh
pemerintah pusat dengan wewenang untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah.
Demikian juga wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD sehingga
lembaga ini praktis sama sekali tidak mempunyai peran. Setelah demokrasi terpimpin
digantikan oleh sistem politik Orde Baru yang menyebut diri sebagai Demokrasi Pancasila,
maka

politik


hukum

otonomi

daerah

kembali

diubah.

Melalui

Tap

MPRS

No.XXI/MPRS/1966 digariskan politik hukum otonomi daerah yang seluas-luasnya disertai
perintah agar UU No. 18 Tahun 1965 diubah guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang
dianut oleh Tap MPRS tersebut. Selanjutnya, melalui Tap MPR No.IV/MPR/1973 tentang

GBHN yang, sejauh menyangkut hukum otonomi daerah, penentuan asasnya diubah dari
otonomi “nyata yang seluas-luasnya” menjadi otonomi “nyata dan bertanggungjawab”
(Mahfud, 2006:226). Ketentuan GBHN tentang politik hukum otonomi daerah ini kemudian
dijabarkan di dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan
menumpulkan otonomi daerah. Dengan UU yang sangat sentralistik itu terjadilah
ketidakadilan politik. Seperti kedudukan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah dan
cara penetapan kepala daerah. Demikian juga terjadi ketidakadilan ekonomi karena kekayaan
daerah lebih banyak disedot oleh pusat untuk kemudian dijadikan alat operasi dan tawarmenawar politik.
Pada era reformasi, otonomi daerah kembali mendapat perhatian serius. Otonomi daerah,
yang di masa Orde Baru tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1974, kembali dipersoalkan
karena dianggap sebagai instrumen otoriterisme pemerintah pusat. Melalui UU No. 22 Tahun
1999, prinsip otonomi luas dalam hubungan pusat dan daerah dikembalikan. Ada tiga hal yang
menjadi visi UU No. 22 Tahun 1999, menurut Ryass Rasyid (2002:75), yaitu: (1)

membebaskan

pemerintah

pusat


dari

beban

mengurus

soal-soal

domestik

dan

menyerahkannya kepada pemerintah lokal agar pemerintah lokal secara bertahap mampu
memberdayakan dirinya untuk mengurus urusan domestiknya; (2) pemerintah pusat bisa
berkonsentrasi dalam masalah makro nasional; dan (3) daerah bisa lebih berdaya dan kreatif.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menganut prinsip yang sama dengan UU No. 22 Tahun
1999, yakni otonomi luas dalam rangka demokratisasi. Prinsip otonomi luas itu mendapat
landasannya di dalam pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen. Dalam UU ini juga
ditegaskan juga sistem pemilihan langsung kepala daerah. Rakyat diberi kesempatan yang
luas untuk memilih sendiri kepala daerah dan wakilnya. Menurut pasal 57 ayat (1),

Kepda/Wakepda dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan ini menjadi dasar hukum otonomi daerah dalam melaksanakan kewenangan di
daerah. PP No. 38 Tahun 2007 ini merupakan penjabaran langsung untuk dapat melaksanakan
Pasal 14 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.

B. Analisis Permasalahahan
Setelah

melihat dari permasalahan pada kerangka teori hukum Pemerintahan

Daerah, maka dilakukan analisa yang diperoleh yakni dengan mengadakan pengamatan
untuk melakukan suatu sistem pemerintahan daerah di Indonesia menurut Undang-Undang
Dasar 1945, pada asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang ditulis. Karena
penulisan ini normative, dilakukan interpretasi dan konstruksi hukum dengan menggunakan

logika berpikir deduktif, induktif menjawab dari permasalahan dan tujuan dari penulisan ini.
Sistem pemerintahan daerah di Indonesia menurut Undang-Undang 1945 merupakan suatu
perwujudan untuk melaksanakan amanah rakyat secara nasional, yang diamanahkan kepada
perintah Pusat dan Daerah agar dalam melaksanakan system pemerintahan daerah di
Indonesia harus berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dimana dalam Ketentuan Umum angka 2 dan angka 3, UU No. 32 Tahun 2004, disebutkan
bahwa (1) Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; (2) Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dengan melihat permasalahan tersebut, maka dengan ini penulis menarik kesimpulan bahwa
:
1.

Dalam melaksanakan sistem pemerintahan daerah di Indonesia, melaksanakan tugas dan
wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan secara adil dan sejahtera,
sehingga terwujud pencapaian dari tujuan Pemerintahan Daerah. Pada sistem
pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan sistem sentralisasi, melainkan
sistem otonomi daerah yang memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus

diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat diputuskan di tingkat pemerintah daerah.
Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di
daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di
pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah
adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkan
kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan
pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di
tingkat pusat.

2.

Tujuan Sistem pada otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh
masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk
menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi
pemerintahan yang jelas. Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan
dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau
titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota.
Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi
antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi,
dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih
oleh provinsi. Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang
masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun
kabupaten/kota.

B. SARAN
Agar pelaksanaan system pemerintahan daerah dapat terlaksana dengan baik dalam
suatu masyarakat, maka perlu pemahaman oleh semua pihak atau instrumen yang
berkepentingan dalam penegakan hukum pemerintahan daerah. oleh karena itu untuk
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, yang merata material dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sangatlah penting. Termasuk tentang hukum yang akan diperlakukan
di dalam mensejahterakan masyarakat itu sendiri. Sehingga dalam penjelesan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata
adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang
tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di
daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah
berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh
daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi

antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar 1945
Atamimi, A. Hamid. 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, Jakarta.
Bambang PS Brodjonegoro, 2008 Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Jakarta.
Ohio Kaho, Joset Riwu 1988, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik
Indonesia.

Yayasan Harkat Bangsa bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia
(PGRI) dan Eoropean Union (EU).

Dokumen yang terkait

ANALISIS ELASTISITAS TRANSMISI HARGA IKAN LEMURU DI DAERAH PENANGKAPAN IKAN KECAMATAN MUNCAR KABUPATEN BANYUWANGI

23 357 18

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

ANALISIS PENGARUH PERSEPSI TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS TERHADAP KINERJA LAYANAN PUBLIK SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI

19 247 18

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

KEBIJAKAN BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN DAERAH (BAPEDALDA) KOTA JAMBI DALAM UPAYA PENERTIBAN PEMBUANGAN LIMBAH PABRIK KARET

110 657 2

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

FUNGSI DAN KEWENANGAN BADAN PENGAWAS PASAR MODAL (BAPEPAM) DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM DI BURSA EFEK JAKARTA (BEJ)

5 65 215

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18

RECONSTRUCTION PROCESS PLANNING REGULATORY FRAMEWORK IN THE REGIONAL AUTONOMY (STUDY IN THE FORMATION OF REGULATION IN THE REGENCY LAMPUNG MIDDLE ) REKONSTRUKSI PERENCANAAN PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

0 34 50

EVALUASI ATAS PENERAPAN APLIKASI e-REGISTRASION DALAM RANGKA PEMBUATAN NPWP DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA TANJUNG KARANG TAHUN 2012-2013

9 73 45