POLA ASUH ORANG TUA DAN PENGEMBANGAN KEB

1

POLA ASUH ORANG TUA
DAN PENGEMBANGAN KEBERAGAMAAN ANAK

I.

PENDAHULUAN
Menurut Komarudin Hidayat, sebagaimana dikutip Ramayulis, bahwa salah satu

akibat memuncaknya rasionalisme dan teknologi di zaman modern ini adalah persepsi dan
apresiasi tentang Tuhan dan kebertuhanan (keberagamaan) tidak lagi mendapat tempat
yang terhormat. Menurut Peter I Berger, sebagaimana dikutip Komarudin Hidayat, Nilainilai spiritual telah lenyap dari manusia. Lenyapnya nilai-nilai tersebut dari masyarakat
modern menurutnya dapat diungkapkan dengan suatu istilah yang cukup dramatis : “Tuhan
telah mati” atau “berakhirnya zaman Kristus”. 1
Kecenderungan seperti digambarkan di atas sering juga dianggap sebagai
perkembangan logis dari lajunya proses sekularisasi. Sekularisasi dalam konteks ini
penekanannya bukan pada institusional, seperti terpisahnya persoalan agama dengan
negara, melainkan proses penerapan dalam pikiran manusia, yaitu apa yang disebut
sekularisasi kesadaran. Dengan hilangnya batasan-batasan yang dianggap dan diyakini
sebagai sakral dan absolut, manusia modern hanya berputar-putar dalam dunia serba

relative, terutama dalam sistem nilai dan moralitas yang dibangunnya, sehingga ukuran
baik dan buruk, benar dan salah hanya didasarkan pada keputusan intuisi dan kesepakatan
manusia.2

1
2

Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta : Kalam Mulia, 2011) Cet. Ke-9, h. 232
Ibid, h. 233

2

Seyyed Hossein Nasr juga mengatakan bahwa fenomena dan kondisi masyarakat
yang telah berada di luar kesadaran manusia itu sendiri dianalogikan sebagai “manusia
yang telah berada di luar lingkaran eksistensinya”. Ia menegaskan bahwa manusia telah
kehilangan identitasnya dan tidak lagi mempedulikan kebutuhan yang mendasar sehingga
mereka tidak bisa menemukan ketentraman batin serta keseimbangan dalam diri. 3
Fenomena tercerabutnya manusia modern dari kesadaran spiritualitasnya tentu
menggelisahkan dan menjadi problem keagamaan bagi setiap manusia. Dalam kacamata
psikologi agama, realitas ironis tersebut tidak bisa lepas dari peran keluarga dalam

menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam setiap pribadi anggotanya. Dan ini terkait erat
dengan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua pada keluarga tersebut dalam
mengembangkan keberagamaan bagi kehidupan anak-anaknya. Keluarga yang memiliki
kesadaran akan pentingnya agama bagi kehidupan akan melahirkan pribadi-pribadi yang
memiliki ketahanan spiritualitas yang kuat dan tahan dengan godaan serta tantangan
modernitas, begitupun sebaliknya.
Pentingnya peran keluarga dikarenakan keluarga menjadi pranata social pertama
dan utama yang memiliki peran paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai
kehidupan yang dibutuhkan oleh putra putrid yang tengah mencari makna kehidupannya.
Meskipun diakui bahwa keluarga bukan satu-satunya pranata yang menata kehidupannya
karena disamping keluarga masih banyak pranata social lainnya yang secara kontributif
mempunyai andil dalam pembentukan kepribadian. Dengan kata lain pranata keluarga
adalah titik awal keberangkatan, sekaligus sebagai modal awal perjalanan hidup mereka

3

Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995), cet. I, h. 67

3


yang kemudian dilengkapi dengan rambu rambu perjalanan yang digariskan pranata social
lainnya di lingkungan pergaulan sehari-hari. 4

II.

PEMBAHASAN

A.

Pengertian Pola Asuh
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu “pola” dan “asuh” yang berarti corak, model,

sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tepat 5 . Sedangkan kata “asuh” dapat berarti
menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih, dan
sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau
lembaga6. Lebih jelasnya kata asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan dengan
pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga orang tetap berdiri dan
menjalani hidupnya secara sehat 7.
Menurut Ahmad Tafsir, pola asuh berarti pendidikan, sedangkan pendidikan
adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani

anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama 8. Gunarso mengatakan pola asuh
merupakan cara orang tua bertindak, berinteraksi, mendidik, dan membimbing anak
sebagai suatu aktivitas yang melibatkan banyak perilaku tertentu secara individual maupun
bersama-sama sebagai serangkaian usaha aktif untuk mengarahkan anak 9.

4

Abin Syamsudin, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994)
Peny. Jalaluddin Rakhmat dan Muhtar Ganda Atmaja, Cet. Ke-2, h. v-vi
5
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988) h. 54
6
TIM Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta, Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h.692
7
Elaine Donelson, Asih, Asah, Asuh, dan Keutamaan Wanita, (Yogyakarta: Kanisius 1990), Cet. Ke-1, h.5)
8
Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian Keluarga Narkotika (Jakarta : Arcan, 1991) Cet. Ke-1, h.94
9
Yulia Singgih D Gunarsa, Psikologi Anak dan Remaja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002) h. 37


4

Pengertian lain tentang pola asuh orang tua terhadap anak yaitu bentuk interaksi
antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan yang berarti orang tua
mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk untuk mencapai
kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan setempat dan
masyarakat10.
Pola asuh yang diberikan oleh orangtua pada anak bisa dalam bentuk perlakuan
fisik maupun psikis yang tercermin dalam tutur kata, sikap, perilaku dan tindakan yang
diberikan11.
Jadi pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi antara orang tua
dengan anak, dimana orang tua bermaksud menstimulasi anaknya dengan mengubah
tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orang tua, agar
anak dapat mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
Semua sikap dan perilaku anak dalam keluarga dipengaruhi oleh pola asuh orang
tua. Dengan kata lain, pola asuh orang tua akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak,
sehingga sudah sepatutnya orang tua memilih pola asuh yang ideal untuk anak, namun
dalam pelaksanaannya banyak orangtua masih kaku dan terbatas dalam menerapkan satu
pola asuh saja dan tidak disesuaikan dengan konteks kebutuhan dan kemampuan yang

dimiliki oleh anak.
B. Jenis - Jenis Pola Asuh
Jenis-jenis pola asuh, secara garis besar menurut Baumrind, yang dikutip oleh
Kartini Kartono terdapat 4 macam pola asuh orang tua, yaitu:

10
11

Harris Clemes, Mengajarkan Disiplin Kepada Anak, (Jakarta: Mitra Utama, 1996) h. 28
Theo Riyanto, Pembelajaran sebagai Proses Bimbingan Pribadi, (Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2002) h. 89

5

1.

Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak,
tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh seperti

ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakkannya pada rasio atau pemikiranpemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak,
tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe
ini juga memberikan kebebasan pada anak untuk memilih dan melakukan suatu
tindakkan dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
Adapun ciri-ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut:
1)

Menentukan

peraturan

dan

disiplin

denga

memperhatikan

dan


mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima dan dipahami dan
dimengerti oleh anak
2) Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang harus dipertahankan oleh
anak dan yang tidak baik agar ditinggalkan
3) Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian
4) Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga
5) Dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua, anak dan sesama
keluarga12.
2.

Pola asuh otoriter

Dalam kamus Bahasa Indesia, otoriter berarti berkuasa sendiri dan sewenangwenang13. Menurut Singgih D Gunarsa dan Ny.Y. singgih D.Gunarsa, pola asuh
otoriter adalah suatu bentuk pola yang menuntut anak agarpatuh dan tunduk
12
13

Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan ( Jakarta : Gramedia Widiasarana, 1992), Cet. Ke-2,
h.88

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : bulan Bintang,1996), Cet Ke-15, h. 692

6

terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa ada kebebasan
untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya sendiri14.
Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya
dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa,
memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan
oleh orang tua, maka orang tua itu tidak segan-segan untuk menghukum anak.
Orang tua seperti ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi bersifat
satu arah. Orang tua seperti ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk
mengerti dan memahami anaknya.
Adapun ciri-ciri pola asuh otoriter adalah sebagai berikut:
1)

Anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh
membantah

2) Orang tua cenderung mencari kesalahan-kesalahan anak dan kemudian

menghukumnya
3) Orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak
4) Jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak dianggap
pembangkang
5) Orang tua cenderung memaksakan disiplin
6) Orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hamya
sebagai pelaksana
7) Tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak15.

14
15

Singgih D. Gunarsa dan Ny. Y Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta:
PT BPK Gunung Mulia, 1995), Cet. Ke-7, h. 87
Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan, ( Jakarta : Gramedia Widiasarana,1992), Cet. Ke-2,
h.88

7

Pola asuh otoriter memiliki ciri-ciri yang dikemukakan oleh Syaiful Bahr

Djamarah16:
1) Orang tua mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan anak
2) Orang tua kurang memberi kepercayaan kepada anak untuk melakukan sesuatu
3) Orang tua kurang memberikan hak anak untuk mengeluarkan pendapat untuk
mengutarakan perasaannya
3.

Pola Asuh Permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan
kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup
darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan apabila anak
sedang dalam masalah atau bahaya. Dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan
oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya hangat, sehingga seringkali disukai
oleh anak.
Adapun yang termasuk pola asuh permisif adalah sebagai berikut:
1) Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan membimbingnya.
2) Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif dan masa bodoh.
3) Mengutamakan kebutuhan material saja.
4) Membiarkan saja apa yang dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan untuk
mengatur diri sendiri tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-norma yang
digariskan orang tua).
5) Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga 17 . Sutari
Imam Badabid menyatakan orang tua yang permisif yaitu 18:

16
17

26Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta,
2004) h, 18-20
Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan, ( Jakarta : Gramedia Widiasarana,1992), Cet. Ke-2,
h.89-90

8

1) Kurang tegas dalam menerapkan peraturan yang ada
2) Anak diberi kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi
keinginannya.
Pola asuhan permisif ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak
untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah
memberi aturan dan pengarahan kepada anak tanpa pertimbangan orang tua. Anak
tidak mengerti apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah
membenarkan atau menyalahkan anak, akibatnya anak akan berperilaku sesuai
dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma
masyarakat atau tidak 19.
4.

Pola Asuh Penelantar

Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim
pada anak-anaknya. Waktu banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka,
seperti bekerja, memberikan biaya yang cukup minim untuk kebutuhan anak.
Sehingga selain kurangnya perhatian dan bimbingan kepada anak juga tidak
diberikan oleh orang tua20.
Pola asuh penelantar memiliki ciri-ciri yang dikemukakan oleh
Syaiful Bahri Djamarah 21:
1) Orang tua menghabiskan banyak waktu diluar rumah
2) Orang tua kurang memperhatikan perkembangan anak
3) Orang tua membiarkan anak bergaul terlalu bebas di luar rumah

18
19
20
21

M. Thalib, 40 Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995) h. 7-9
Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian Keluarga Narkotika (Jakarta : Arcan, 1991) Cet. Ke-1, h.97
Kartini Kartono, Peran Orang Tua dalam Memandu Anak, (Jakarta: Rajawali Press, 1992) h. 3
Ibid, h.20

9

C.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak terkait dengan pola
asuh

Proses penerapan pola asuh dalam pengembangan pribadi seorang anak, baik terkait
dengan perkembangan jiwa, intelektualitas, moralitas maupun spiritualitas (keagamaan)
harus memperhatikan tingkat perkembangan anak tersebut. Dan perkembangan tiap-tiap
anak berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besarnya faktorfaktor tersebut dapat dibedakan atas tiga faktor, yaitu:

1.

Faktor-faktor yang bersal dari dalam diri individu.

Diantara faktor-faktor di dalam diri yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan individu adalah:
a. Bakat atau pembawaan, anak dilahirkan dengan membawa bakat tertentu. Bakat
ini diumpamakan dengan bibit. Misalnya bakat musik, seni, agama, akal yang
tajam dan sebagainya. Dengan demikian jelaslah bahwa bakat atau pembawaan
mempunyai pengaruh terhadap perkembangan individu.
b. Sifat-sifat keturunan, sifat-sifat keturunan yang individu dipusatkan dari orang
tua atau nenek moyang dapat berupa fisik dan mental.
c. Dorongan dan instink, dorongan adalah kodrat hidup yang mendorong manusia
melakukan sesuatu atau bertindak pada saatnya. Sedangkan instink atau naluri
adalah kesanggupan atau ilmu tersembunyi yang
menyuruh atau membisikkan kepada manusia bagaimanan cara-cara
melakasanakan dorongan batin. 22
22

Desmita, Psikologi Perkembangan peserta didik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), cet.2, h 28

10

2.

Faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu

Di antara faktor-faktor luar yang mempengaruhi perkembangan individu adalah:
a. makanan, makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
perkembangan individu.
b. Iklim, iklim atau keadaan cuaca juga berpengaruh terhadap perkembangan dan
kehidupan anak. Sifat-sifat iklim, alam dan udara mempengaruhi pula sifat-sifat
individu dan jiwa bangsa yang berada di iklim yang bersangkutan.
c. Kebudayaan, latar belakang budaya suatu bangsa sedikit banyak juga
mempengaruhi perkembangan seseorang. Misalnya latar belakang budaya desa
keadaan jiwanya masih murni. Lain halnya dengan seseorang yang hidup dalam
kebudayaan kota yang sudah dipengaruhi oleh kebudayaan asing.
d. Ekonomi, latar belakang ekonomi juga mempengaruhi perkembangan anak.
Orang tua yang ekonominya lemah, yang tidak sanggup memenuhi kebutuhan
pokok anak-anaknya dengan baik, sehingga menghambat pertumbuhan jasmani
dan perkembangan jiwa anak. orang tua tercurah kepadanya, sehingga ia
cendrung memiliki sifat-sifat seperti, manja, kurang biasa bergaul dengan
teman.
e. Kedudukan anak dalam lingkungan keluarga. Kedudukan anak dalam
lingkungan keluarga juga mempengaruhi perkembangan anak. Bila anak itu
merupakan anak tunggal, biasanya perhatian orang tua tercurah kepadanya,
sehingga ia cendrung memiliki sifat-sifat seperti, manja, kurang biasa bergaul
dengan teman sebayanya.

11

3. Faktor-faktor Umum

Faktor-faktor umum maksudnya unsur-unsur yang dapat digolongkan dalam kedua
penggolongan tersebut diatas, yaitu faktor dari dalam dan dari luar diri individu. 23
Diantara faktor-faktor umum yang mempengaruhi perkembangan individu adalah:
a. Intelegensi, intelegensi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
perkembangan anak. Tingkat intelegensi yang erat kaitannya dengan kecepatan
perkembangan, misalnya anak yang cerdas sudah dapat berbicara pada usia 11
bulan, anak yang rata-rata kecerdasannya pada usia 16 bulan, bagi kecerdasan
yang sangat rendah pada usia 34 bulan, sedangkan bagi anak-anak idiot baru bisa
bicara pada usia 52 bulan.
b. Jenis kelamin, jenis kelamin juga memegang peranan yang penting dalam
perkembangan fisik dan metal seseorang. Dalam hal anak yang baru lahir
misalnya. Anak laki-laki sedikit lebih besar dari pada anak perempuan, tetapi
anak perempuan kemudian tumbuh lebih cepat dari pada anak laki-laki.
c. Kesehatan, kesehatan juga merupakan salah satu faktor umum yang
mempengaruhi perkembangan individu mereka, kesehatan mental dan fisiknya
baik dan sempurna akan mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang
memadai.
d. Ras, ras juga turut mempengaruhi perkembangan seseorang, misalnya anak-anak
dari ras Mediterranean (sekitar laut tengah) mengalami perkembangan fisik
lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak dari bangsa-bangsa Eropa Utara.24

23

Desmita, Psikologi Perkembangan peserta didik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), cet.2, h. 32

24

Desmita, Psikologi Perkembangan peserta didik,, h.27-33

12

Jadi, ketiga faktor utama yang mempengaruhi Pertumbuhan dan perkembangan
anak untuk mencapai tingkat kematangan tergantung pada sikap ibu dan ayah dalam
menjaga dan memelihara anak dengan baik sesuai kebutuhan dan perkembangannya. Hal
ini tidak bisa dilakukan dengan baik jika orang tuanya tidak memiliki pengetahuan dan
tidak mengetahui hikmah dari anak itu sendiri sebagai orang tuanya.

D.

Fungsi dan Tanggung Jawab Keluarga

Dalam kehidupan manusia, keperluan dan hak kewajiban, perasaan dan keinginan
adalah hak yang kompleks. Pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari keluarga
sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan diri seseorang, dan akan rusaklah
pergaulan sang anak seseorang bila orang tua tidak menjalankan tugasnya sebagai
pendidik.
Secara sosiologis keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk menciptakan
suatu masyarakat yang aman, tenteram, bahagia dan sejahtera, yang semua itu harus
dijalankan oleh keluarga sebagai lembaga sosial terkecil. Dalam buku Keluarga Muslim
dalam Masyarakat Moderen, dijelaskan bahwa berdasarkan pendekatan budaya keluarga
sekurangnya mempunyai tujuh fungsi. yaitu, fungsi biologis, edukatif, religius, protektif,
sosialisasi, rekreatif dan ekonomis. 25
1.

Fungsi biologis, perkawinan dilakukan antara lain bertujuan agar memperoleh
keturunan, dapat memelihara kehormatan serta martabat manusia sebagai
makhluk yang berakal dan beradab. Fungsi biologis inilah yang membedakan
perkawinan manusia dengan binatang.

25

Mufidah, Psikologi Keularga Islam Berwawasan Gender. (Malang : UIN Press, 2008). Cet. Ke-1, h. 43

13

2. Fungsi edukatif, keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua anggotanya
dimana orang tua memiliki peran yang cukup penting untuk membawa anak
menuju kedewasaan jasmani dan rohani dalam dimensi kognisi, afektif maupun
skill, dengan tujuan untuk mengembangkan aspek mental, spiritual, moral,
intelektual, dan profesioanl.
3. Fungsi relegius, keluarga merupakan tempat penanaman nilai moral agama
melalui pemahaman, penyadaran dan praktek dalam kehidupan sehari-hari
sehingga mencipta iklim keagamaan didalamnya dengan demikian keluarga
merupakan awal mula seseorang mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya.
4. Fungsi protektif, adalah dimana keluarga menjadi tempat yang aman dari
gangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menangkal segala
pengaruh negatif yang masuk didalamnya. Gangguan internal dapat terjadi
dalam kaitannya dengan keragaman kepribadian anggota keluarga, perbedaan
pendapat dan kepentingan, dapat menjadi pemicu lahirnya konflik bahkan juga
kekerasan. Adapun gangguan eksternal keluarga biasanya lebih mudah dikenali
oleh masyarakat karena berada pada wilayah publik.
5. Fungsi sosialisasi, adalah mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat
yang baik, mampu memegang norma-norma kehidupan secara universal baik
interrelasi dalam keluarga itu sendiri maupun dalam menyikapi masyarakat
yang pluralistic lintas suku, bangsa, ras, golongan, agama, budaya, bahasa
maupun jenis kelaminnya.
6. Fungsi rekreatif, bahwa keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan
kesejukan dan melepas lelah dari seluruh aktifitas masing-masing anggota

14

keluarga. Fungsi rekreatif ini dapat mewujudkan suasana keluarga yang
menyenangkan, saling menghargai, menghormati, dan menghibur masingmasing anggota keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis, damai, kasih
sayang dan setiap anggota keluarga merasa “rumahku adalah surgaku”.
7.

Fungsi ekonomis, yaitu keluarga merupakan kesatuan ekonomis dimana
keluarga memiliki aktifitas mencari nafkah, pembinaan usaha, perencanaan
anggaran,

pengelolaan

dan

bagaimana

memanfaatkan

sumber-sumber

penghasilan dengan baik, mendistibusikan secara adil dan proporsional, serta
dapat mempertanggung jawabkan kakayaan dan harta bendanya secara social
dan moral.
Melihat beragamnya fungsi keluarga tersebut, dapat disimpulkan bahwa keluarga
adalah institusi sentral penerus nilai-nilai budaya dan agama. Artinya keluarga merupakan
tempat pertama dan utama bagi seorang anak mulai belajar mengenal nilai-nilai yang
berlaku di lingkungannya, dari hal-hal yang sepele seperti menerima sesuatu dengan
tangan kanan sampai dengan hal-hal yang rumit seperti intepretasi yang kompleks tentang
ajaran agama atau tentang berbagai interaksi manusia.
Adapaun Dasar-dasar Tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anaknya
meliputi hal-hal berikut26:
1. Adanya motivasi atau dorongan cinta kasih yang menjiwai hubungan orang tua
dan anak.
2. Pemberian motivasi kewajiban moral sebagai konsekuensi kedudukan orang tua
terhadap keturunannya. Adanya tanggung jawab moral ini meliputi nilai-nilai
agama atau nilai-nilai spiritual.
26

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008). Cet. Ke-6. h, 44-45

15

3. Tanggung jawab sosial adalah bagian dari keluarga pada gilirannya akan menjadi
tanggung jawab masyarakat, bangsa dan negara.
4. Memelihara dan membesarkan anaknya. Tanggung jawab ini merupakan
dorongan alami untuk dilaksanakan, karena ia dapat hidup secara berkelanjutan.
Disamping itu juga ia bertanggung jawab dalam hal melindungi dan menjamin
kesehatan anaknya baik secara jasmaniah maupun rohaniah.
5. Memberikan pendidikan dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang berguna bagi kehidupan anak kelak, sehingga bila ia telah dewasa akan
mampu mandiri.
Demikanlah beberapa hal yang perlu diperhatikan sabagai tanggung jawab orang
tua terhadap anak, terutama dalam konteks pendidikan. Kesadaran akan tanggung jawab
mendidik dan membina anak secara terus menerus perlu dikembangkan kepada setiap
orang tua, sehingga pendidikan yang dilakukan tidak lagi berdasarkan kebiasaan yang
dilihat dari orang tua, tapi

telah

didasari

oleh

teori-teori

pendidikan

modern,

sesuai dengan perkembangan zaman

E.

Signifikansi Pendidikan Islam dalam Keluarga
Setiap orang tua tentu mendambakan anaknya menjadi anak yang shaleh, yang

memberi kesenangan dan kebanggaan kepada mereka. Kehidupan seorang anak tak lepas
dari keluarga (orang tua), karena sebagian besar waktu anak terletak dalam keluarga. Peran
orang tua yang paling mendasar didalam mendidik agama kepada anak-anak mereka
adalah sebagai pendidik yang pertama dan utama, karena dari orangtualah anak pertama
kali menerima pendidikan, baik itu pendidikan umum maupun agama. Adapun peranan
orang tua dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu 1) orang tua berfungsi sebagai

16

pendidik keluarga 2) orang tua berfungsi sebagai pemelihara serta pelindung keluarga. 27

1.

Orang tua sebagai pendidik keluarga

Dari orang tualah anak-anak menerima pendidikan, dan bentuk pertama dari
pendidikan itu terdapat dalam keluarga, oleh karena itu orang tua memegang peranan
penting dan sangat berpengaruh atas pendidikan anak.
Agar pendidikan anak dapat berhasil dengan baik ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan orang tua dalam mendidik antara lain:

a.

Mendidik dengan ketauladanan (Uswah Hasanah)
Ketauladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah metode yang

paling efektif dalam mempersiapkan dan membentuk anak secara moral, spritual dan
sosial. Seorang pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak yang tingkah laku
dan sopan santunnya akan ditiru, bahkan semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan
perasaannya.
Jika kita menelisik al-Qur`an, salah satu contoh orang tua ideal yang digambarkan
Allah Swt. adalah Luqman al- hakim. Konsep dan sikap mendidik Lukman terhadap
anaknya diungkap dalam surat Luqman ayat 12-18 yang menegaskan bahwa nilai-nilai
agama mulai dari penampilan pribadi luqman yang beriman, beramal saleh, bersyukur
kepada Allah SWT dan bijaksana dalam segala hal, kemudian yang di didik dan di
nasehatkan kepada anaknya adalah kebulatan iman kepada Allah Swt semata, akhlak dan
sopan santun terhadap kedua orang tua, kepada manusia dan taat beribadah.
Dalam konteks mendidik dengan keteladanan inilah, hendaklah orang tua
27

M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di lingkungan sekolah dan keluarga, (Jakarta: Bulan
Bintang: 1978), Cet. IV, h. 80

17

memberikan contoh yang ideal kepada anak-anaknya, misalnya ia sering terlihat oleh anak
melaksanakan sholat, bergaul dengan sopan santun, berbicara dengan lemah lembut dan
lain- lainnya. Dan semua itu akan ditiru dan dijadikan contoh oleh anak.

b.

Mendidik dengan adab pembiasaan dan latihan.
Setiap anak lahir dalam keadaan suci, artinya ia dilahirkan di atas fitrah (kesucian)

bertauhid dan beriman kepada Allah Swt. Oleh karena itu menjadi kewajiban orang tua
untuk

memulai

dan

menerapkan kebiasaan,

pengajaran dan pendidikan serta

menumbuhkan dan mengajak anak kedalam tauhid murni dan akhlak mulia.
Hendaknya setiap orangtua menyadari bahwa dalam pembinaan pribadi anak sangat
diperlukan pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan sesuai dengan
perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan itu akan membentuk sikap tertentu
pada anak, yang lambat laun sikap itu akan terlihat jelas dan kuat, sehingga telah masuk
menjadi bagian dari pribadinya.
Abdullah Nashih Ulwan mengemukakan bahwa, Pendidikan dengan pembiasaan
dan latihan merupakan salah satu penunjang pokok pendidikan dan merupakan salah satu
pilar terkuat dalam pendidikan dan motode paling efektif dalam membentuk iman anak
serta meluruskan akhlaknya.28 Di sinilah bahwa pembiasaan dan latihan sebagai suatu cara
atau metode mempunyai peranan yang sangat besar sekali dalam menanamkan pendidikan
pada anak sebagai upaya membina akhlaknya. Peranan pembiasaan dan latihan ini
bertujuan agar ketika anak tumbuh besar dan dewasa, ia akan terbiasa melaksanakan
ajaran-ajaran agama dan tidak merasa berat melakukannya.
Pembiasaan dan latihan jika dilakukan berulang-ulang maka akan menjadi

28

Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan anak dalam Islam, (Jakarta Pustaka Amani, 1995), Cet. I, h.65

18

kebiasaan, dan kebiasaan itulah yang nantinya membuat anak cenderung melakukan yang
baik dan meninggalkan yang buruk dengan mudah.

c.

Mendidik dengan nasehat
Di antara mendidik yang efektif di dalam usaha membentuk keimanan anak,

mempersiapkan moral, psikis dan sosial, adalah mendidik dengan nasehat. Sebab nasehat
ini dapat membukakan mata anak-anak tentang hakikat sesuatu dan mendorongnya
menuju situasi luhur, menghiasinya dengan akhlak mulia, serta membekalinya dengan
prinsip-prinsip Islam. 29 Nasehat yang tulus berbekas dan berpengaruh jika memasuki jiwa
yang bening, hati terbuka, akal yang bijak dan berpikir. Nasehat tersebut akan mendapat
tanggapan secepatnya dan meniggalkan bekas yang dalam. Al-Quran telah menegaskan
pengertian ini dalam banyak ayatnya, dan berulang kali menyebutkan manfaat dari
peringatan dengan kata-kata yang mengandung petunjuk dan nasehat yang tulus. 30
Diantaranya dalam Q.S Qaaf: 50:37 yang artinya :
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi
orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya,sedang dia
menyaksikannya”
Nasehat sangat berperan dalam menjelaskan kepada anak tentang segala hakekat
serta menghiasinya dengan akhlak mulia. Nasehat orang tua jauh lebih baik dari pada
orang lain, karena orang tualah yang selalu memberikan kasih sayang serta contoh
perilaku yang baik kepada anaknya. Disamping memberikan bimbingan serta dukungan
ketika anak mendapat kesulitan atau masalah, begitupun sebaliknya ketika anak
mendapatkan prestasi.

29
30

Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan anak dalam Islam…, h. 66
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan anak dalam Islam..., h. 70

19

c.

Mendidik dengan pengawasan
Pendidikan yang disertai pengawasan yaitu mendampingi anak dalam upaya

membentuk akidah dan moral, mengasihinya dan mempersiapkan secara psikis dan sosial,
memantau secara terus menerus tentang keadaannya baik dalam pendidikan jasmani
maupun dalam hal belajarnya.
Mendidik yang disertai pengawasan bertujuan untuk melihat langsung tentang
bagaimana keadaan tingkah laku anak sehari-harinya baik dilingkungan keluarga maupun
sekolah. Dilingkungan keluarga hendaknya anak tidak selalu di marahi apabila ia berbuat
salah, tetapi ditegur dan dinasehati dengan baik. Sedangkan dilingkungan sekolah,
pertama-tama anak hendaknya diantar apabila ia ingin pergi kesekolah. Supaya ia nanti
terbiasa berangkat kesekolah dengan sendiri. Begitu pula setelah anak tiba dirumah ketika
pulang dari sekolah hendaknya ditanyakan kembali pelajaran yang ia dapat dari gurunya.

2.

Orang tua sebagai pemelihara dan pelindung keluarga

Selain mendidik, orang tua juga berperan dan bertugas melindungi keluarga dan
memelihara keselamatan keluarga, baik dari segi moril maupun materil, dalam hal moril
antara lain orang tua berkewajiban memerintahkan anaknya untuk taat kepada segala
perintah Allah Swt, seperti sholat, puasa dan lain-lainnya. Sedangkan dalam hal materil
bertujuan untuk kelangsungan kehidupan, antara lain berupa mencari nafkah. 31
Menurut Abdul Rachman Shaleh, ada tida macam lingkungan keagamaan dalam
kehidupan keluarga yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan keagamaan dan
proses belajar pendidikan agama yaitu:
Pertama , keluarga yang sadar akan pentingnya pendidikan agama bagi

31

M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di lingkungan sekolah dan keluarga, h. 88

20

perkembangan anak. Orang tua dari lingkungan keluarga yang demikan yang akan selalu
mendorong untuk kemajuan pendidikan Agama serta kebersamaan mengajak anak untuk
menjalankan agamanya. Orang tua mendatangkan guru ngaji atau privat agama dirumah
serta menyuruh anaknya untuk belajar di Madrasah Diniyah dan mengikuti kursus Agama.
Kedua , keluarga yang acuh tak acuh terhadap pendidikan keagamaan anak-

anaknya. Keluarga yang semacam ini tidak mengambil peranan untuk mendorong atau
melarang terhadap kegiatan atau sikap keagamaan yang dijalani anak-anaknya.
Ketiga , keluarga yang antipati terhadap dampak dari keberadaan pendidikan agama

di sekolah atau dari masyarakat sekitarnya. Keluarga yang semacam ini akan menghalangi
dan mensikapi dengan kebencian terhadap kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh anakanaknya dan keluarga lainnya. 32
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa orang tua mempunyai tanggung
jawab besar dalam mendidik, khususnya didalam melindungi keluarga dan memelihara
keselamatan keluarga. Melindungi keluarga bukan hanya memberikan tempat tinggal saja,
tetapi memberikan perlindungan supaya keluarga kita terhindar dari mala petaka baik
didunia maupun di akhirat nanti yaitu dengan cara mengajak keluarga kita kepada
perbuatan-perbuatan yang di perintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi segala laranganlarangannya. Memelihara keselamatan keluarga yaitu mengajarkan kita supaya taat kepada
Allah SWT, agar keluarga kita di berikan keselamatan oleh Allah SWT baik di dunia
maupun di akhirat.
Oleh karena itu pelaksanaan pendidikan Agama Islam dalam keluarga harus benarbenar dilaksanakan. Dan sebagai orang tua harus menjadi contoh yang baik bagi anakanknya, karena anak itu sifatnya menerima semua yang dilakukan, yang dilukiskan dan
32

Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000).
Cet. I, h. 96

21

condong kepada semua yang tertuju kepadanya. Jika anak itu dibiasakan dan diajari
berbuat baik maka anak itu akan hidup bahagia di dunia dan di akherat. Tetapi jika
dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan begitu saja, maka anak itu akan celaka dan binasa.
Maka yang menjadi ukuran dari ketinggian anak itu ialah terletak pada yang bertanggung
jawab (pendidik) dan walinya.
Adapun upaya-upaya yang dilakukan keluarga dalam hal menanamkan pendidikan
keagamaan bagi anak, penulis membatasi dalam hal sebagai berikut:

1.

Menanamkan Nilai-Nilai Aqidah Pada Anak.
Anak yang baik merupakan harapan bagi setiap orang tuanya. Untuk menjadi anak

yang baik, Islam memiliki tuntunan tersendiri dengan berdasarkan Al-Quran, Hadits, atau
Sunnah Rasulullah SAW, dan kebijakan para ulama:
Diantara tuntunan yang ada beberapa hal yang paling substantif dan esensial yang
harus ditanamkan pada pribadi sang anak, antara lain:
a.

Nilai Tauhid

Nilai tauhid merupakan nilai yang sangat utama dalam pendidikan Islam, nilai ini
mutlak di miliki oleh setiap umat Islam dan di jadiakan landasan keimanan untuk
mengakui keesaan sang maha pencipta, karena utamanya Allah menurunkan ayat nya
dalam surat Al-Ikhlas untuk melihat keberadaan Allah SWT. Rasulullah SAW
menganjurkan agar setiap anak yang baru saja dilahirkan, hendaklah di perdengarkan
kalimat tauhid dengan suara azan dan Iqamat.33 Dengan demikian seorang anak ketika ia di
lahirkan akan mendapatkan lantunan kalimat yang menyatakan kebesaran Allah dan
kesaksian Islam. Azan ini memiliki pengaruh yang sangat kuat dan maksud yang sangat
33

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2207). Cet. Ke-9,
h. 137

22

agung di hati kedua orang tua anak tersebut.34 hal ini dilakukan agar suara pertama kali
yang didengar dan direkam dalam memori anak tidak lain hanyalah kalimah-kalimah yang
indah atau thayyibah, yang memuat pengagungan dan mengesakan Allah, pengakuan
kerasulan Muahammad serta ajakan shalat agar anak menjadi orang yang beruntung.
Bagi anak usia sekolah penanaman nilai tauhid merupakan landasan keimanan agar
kelak dapat terhindar dari penyimpangan aqidah Islam, misalnya sirik. Dan upaya agar
nilai tersebut dapat mengena dihati anak, baik sekali jika penanaman nilai tauhid ini
dikaitan dengan bentuk realita. Misalnya dengan menunjukan ke-Esaan Allah SWT,
membiasakan anak meminta atau berdoa hanya kepada-nya. Hal ini diarahkan agar anak
menyadari akan hakikat kehidupan di dunia.
Menanamkan kalimat Tauhid kepada anak sangat penting sebab kalimat tauhid
merupakan fondasi pertama dalam ajaran Islam, sehingga siapa saja yang mengucapkan
kalimat tauhid dengan penuh keikhlasan (bebas dari berbagai kepentingan ataupun
rekayasa spiritual), maka akan dipastikan ia akan masuk surga. Sebab kalimat tersebut
mampu melenyapkan, membebaskan dan membersihkan pikiran kita dari berbagai
kebimbangan dan keragu-keraguan yang tidak beralasan. Pada saat yang bersamaan akan
membantu akal untuk merenungkan sang khalik melalui ayat-ayat seluruh ciptaannya yang
bertebaran dijagat raya ini.
Para keluarga muslim, di berbagai kesempatan (bersama anak-anak) harus terus
mengupayakan membaca dan menanamkan kalimat tauhid kepada anak-anaknya,
disamping berupaya untuk menciptakan semacam keterikatan antara mereka dengan
penciptanya. Dengan semangat dan upaya tersebut pelan-pelan namun pasti, mereka akan
melebur dengan kalimat tersebut sehingga mereka mudah mengamalkan lainnya.
34

Syekh Muhammad Jamaludin Mahfuzh, psikologi anak dan remaja muslim. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
2001). Cet-ke 1, h. 125

23

b.

Membina rasa cinta kepada Allah
Setiap anak mempunyai permasalahan sendiri-sendiri baik yang berkaitan dengan

masalah psikologi, sosial, ekonomi, maupun masalah pendidikan. Yaitu seperti masalah
dalam perkembangan jiwa anak atau mental, masalah dalam lingkungan bermain yang
terkadang anak sulit untuk membuka diri untuk bersosialisasi, masalah dalam ekonomi
keluarga yang kurang ketika ia ingin memperoleh sesuatu anak sulit untuk mendapatnya
karna faktor keluarga yang kurang akan ekonomi. Dan terakhir masalah dalam pendidikan
berkaitan dengan masalah ekonomi yang kurang banyak anak yang ingin bersekolah tapi
karena faktor ekonomi membuat anak putus dalam pendidikannya Permasalahanpermasalahan tersebut berbeda antara anak dengan yang satu dengan yang lainnya.
Seorang anak terkadang ada yang dapat mengungkapkan permasalahan-permasalahannya
dengan penuh perasaan, namun sebagian yang lain tidak demikian.
Oleh karena itu orang tua harus mempunyai cara untuk meringankan beban
deritanya. Dengan cara orang tua menanamkan kecintaan kepada Allah, memohon
pertolongan dari-Nya, selalu merasa diawasi, dan beriman kepada Allah. Jika seseorang
anak telah memahami hal tersebut dengan baik maka ia akan dapat menyelesaikan
permasalahn-permasalahan dalam kehidupannya.
Dengan menyadari bahwa Allah adalah zat yang maha halus dan maha mengetahui
segala sesuatu, manusia akan menyadari bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah.
Kecerdasan seperti ini perlu ditanamkan sejak dini kepada anak sehingga ia memiliki etika
otonom, yaitu etika yang berangkat dari kesadaran bahwa dirinya selalu dalam
pengawasan Allah.

c.

Mengajarkan sesuatu yang Halal dan yang Haram

24

Orang tua diwajibkan mengajarkan yang halal dan haram kepada anak. Seperti
halnya memakan makanan yang halal yang dibolehkan untuk dimakan oleh anak dalam
syariat Islam. Dan cara memberikan makanan yang halal juga berdampak dari bagaimana
keluarga memberikan makanan yang halal dari hasil uang yang halal pula. Jadi orang tua
pula harus bisa memberikan suatu yang terbaik dalam keluarga yaitu terutama kepada
anak. Dan mengajarkan yang haram yaitu tidak boleh memakan dan meminum makanan
yang dilarang dalam agama seperti, anjing, babi, minuman-minuman keras yang dapat
memabukan dan semua yang dilarang dalam islam. Dan bukan hanya makanan dan
minuman yang haram yag tidak boleh dilakukan oleh seorang anak tetapi perbuatan yang
tidak baik seperti mencuri dan mengambil barang bukan hak sipemilik, ini pula
diharamkan untuk dilakukan.
Maka keluarga wajib untuk mengajarkan kepada anak hal yang halal dan haram
yang baik untuk anak yang bisa membawa mereka kedalam hidup yang baik. Disinilah
keluarga berperan penting di dalam menentukan nilai Tauhid yang ditanamkan dalam
keluarga.

III.

PENUTUP

Demikian deskripsi tentang pola asuh orang tua dan pengembangan keberagamaan
anak yang mencakup banyak hal baik tentang pengertian pola asuh, macam-macam pola
asuh, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak terkait dengan pola asuh,
fungsi dan tanggung jawab keluarga, dan signifikansi pendidikan Islam dalam keluarga.
Makalah ini tentu masih jauh dari kesempurnaan, karenanya kritik dan koreksi akan
kami terima dengan dada lapang dan pikiran jernih. Waffaqan̂ all̂hu wa iyŷkum

25

DAFTAR PUSTAKA

Abin Syamsudin, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern (Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 1994) Peny. Jalaluddin Rakhmat dan Muhtar Ganda Atmaja, Cet.
Ke-2
Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian Keluarga Narkotika (Jakarta : Arcan, 1991) Cet.
Ke-1
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988)
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta : Bulan Bintang,1996), Cet Ke-15
Desmita, Psikologi Perkembangan peserta didik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010)
Elaine Donelson, Asih, Asah, Asuh, dan Keutamaan Wanita , (Yogyakarta: Kanisius 1990),
Cet. Ke-1)
Harris Clemes, Mengajarkan Disiplin Kepada Anak, (Jakarta: Mitra Utama, 1996)
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008). Cet.
Ke-6
Kartini Kartono, Peran Orang Tua dalam Memandu Anak, (Jakarta: Rajawali Press, 1992)
M. Thalib, 40 Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak, (Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 1995)
Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender . (Malang : UIN Press, 2008).
Cet. Ke-1
Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta : Kalam Mulia, 2011) Cet. Ke-9
Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995), cet.I
Singgih D. Gunarsa dan Ny. Y Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja , (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1995), Cet. Ke-7
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga , (Jakarta:
Rineka Cipta, 2004)
Theo Riyanto, Pembelajaran sebagai Proses Bimbingan Pribadi, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2002)
TIM Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia , (Jakarta, Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1
Yulia Singgih D Gunarsa, Psikologi Anak dan Remaja , (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2002)

26

Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan ( Jakarta : Gramedia Widiasarana,
1992), Cet. Ke-2
M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di lingkungan sekolah dan
keluarga , (Jakarta: Bulan Bintang: 1978), Cet. IV
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan anak dalam Islam, (Jakarta Pustaka Amani, 1995),
Cet. I
Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta: Gemawindu
Pancaperkasa, 2000). Cet. I
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2207). Cet. Ke-9
Syekh Muhammad Jamaludin Mahfuzh, Psikologi Anak dan Remaja Muslim. (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar 2001). Cet-ke 1