EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PAJAK BUMI DAN
EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DALAM
MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI INDONESIA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ekonomi Publik
Dosen:
Yogi Pasca Pratama S.E., M.E.
Disusun Oleh:
Sendy Yulionita Budhy Saputri
NIM. F1117055
KELAS B
PRODI EKONOMI PEMBANGUNAN (TRANSFER)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dewasa ini istilah pembangunan nasional sudah dikenal di Indonesia.
Jika dilihat dari sudut pandang struktur pendapatan negara, Indonesia memiliki
banyak pemasukan dari berbagai sektor diantaranya adalah sektor Minyak dan
Gas (MIGAS) serta Non Minyak dan Gas (NON MIGAS). Kedua sektor tersebut
memiliki peran yang sangat penting dan merupakan komponen terbesar sebagai
sumber utama penerimaan dalam negeri untuk menopang pembiayaan
penyelenggaraan
pemerintah
dan
pemerataan
pembangunan
nasional.
Pembangunan nasional di Indonesia pada dasarnya dilakukan oleh masyarakat
dan pemerintah. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah memerlukan dana,
salah satunya bersumber dari pajak masyarakat sehingga diperlukan partisipasi
aktif
dari
seluruh
pembangunan,
lapisan
maupun
masyarakat
dalam
untuk
memikul
pertanggungjawaban
bersama
atas
beban
pelaksanaan
pembangunan yang diwujudkan dengan keikutsertaan dan kegotong-royongan
dalam pembangunan nasional demi terciptanya masyarakat yang sejahtera, adil,
dan makmur.
Namun dalam realitasnya penerimaan dalam sektor migas sering
mengalami kondisi harga yang fluktuatif, hal tersebut dibuktikan pada data
statistik harga migas dipasar global tahun 2006 sebesar US$ 64,27/barel
sedangkan pada tahun 2011 harga minyak bumi US$ 111,15/barel yang
disebabkan oleh rentannya kondisi nilai tukar mata uang rupiah terhadap
keadaan
ekonomi
baik
dilingkup
nasional
maupun
internasional.
(http://www.kemendag.go.id, 2005).
Sehingga dapat kita ketahui bahwa penerimaan dari sektor migas kurang
dapat diandalkan tingkat konsistensinya. Setelah mengetahui fenomena tersebut,
pemerintah kemudian berusaha untuk meningkatkan penerimaan dari sektor non
migas yang merupakan salah satu jalan yang harus ditempuh pemerintah
dengan menfaatkan segala sumber seefektif dan seefesien mungkin. Salah satu
penerimaan non migas yang digunakan untuk menyediakan dana pembangunan
EKONOMI PUBLIK | 1
adalah penerimaan dari sektor pajak yang nantinya diharapkan dapat
berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah.
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat
penting artinya sangat berpengaruh bagi pelaksanaan dan peningkatan
pembangunan nasional, dimana pajak juga merupakan pengamalan Pancasila
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
kemakmuran
dan
kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian perlunya peningkatan nilai efektifitas dan efisiensi
sistem perpajakan yang harus mampu serta bersih untuk mewujudkan peran
yang besar dalam pembangunan nasional.
EKONOMI PUBLIK | 2
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Dengan adanya penjelasan dari latar belakang diatas membuktikan
bahwa peran pajak sangatlah penting untuk menunjang pembangunan nasional
dan berpengaruh dalam penentuan tingkat pendapatan asli seluruh daerah di
Indonesia, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan tingkat efektifitas dan efisiensi penerimaan pajak
bumi bangunan di Indonesia?
2. Apakah penerimaan pajak bumi dan bangunan berpengaruh terhadap tingkat
pendapatan asli daerah?
EKONOMI PUBLIK | 3
BAB III
Kajian Literatur
3.1 Pajak
3.1.1
Pengertian Pajak
Menurut UU KUP Pasal 1 angka 1, yaitu Pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang-orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3.1.2
Fungsi Pajak
Pajak berfungsi sebagai budgeter, regulerend dan social yang
dikemukakan oleh Prawisosetoto (1989), Munawir (1992), Guritno
(1992;1994). Berikut penjelasan fungsi pajak menurut para ahli:
a. Budgetair (Fungsi Penerimaan)
Pajak memiliki fungsi budgeter yang berarti pajak bersifat
kontraksi terhadap keadanan masyarakat dan memberikan
kontribusi sebesar-besarnya untuk sumber dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran
Pendapata dan Belanja Daerah (APBD) yang memiliki dampak
multiplier bagi perekonomian negara.
b. Regulerend (Alat Pengatur/Pendorong)
Pajak berfungsi regulerend artinya pajak merupakan instrumen
penting untuk mengatur, mendorong atau bahkan menghambat
pertumbuhan pelaku dan bidang-bidang ekonomi tertentu.
c. Social
Pajak
berfungsi
social
artinya
instrumen
mengurangi
perbedaan antara si kaya dan si miskin.
EKONOMI PUBLIK | 4
3.2.3
Pengelompokan Pajak
Pajak dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Menurut golongannya
a) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri
oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau
dilimpahkan
kepada
orang
lain,
contohnya
Pajak
Penghasilan
b) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya
dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada pengguna
terakhir, conthnya Pajak Pertambahan Nilai
2) Menurut sifatnya
a) Pajak subjektif, yaitu yang berpangkal atau berdasarkan
pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri
wajib pajak, contohnya Pajak Pengahsilan
b) Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya
tanpa emperhatikan keadaan diri wajib pajak, contohnya
Pajak Pertambahan Nilai
3) Menurut lembaga pemungutnya
a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga
negara. Contohnya adalah pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai, dan Pajak atas Barang Mewah, Pajak
Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.
b) Pajak Daerah menurut Prof. Dr. Mardiasmo (2003),
“Pajak
Daerah
adalah
pajak
yang
dipungut
oleh
Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai
rumah tangga daerah”. Menurut Pasal 1 Ayat 1 Peraturan
Pemerintah RI No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah ,
“Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi atau badan kepadal daerah tanpa imbalan
langsung
yang
berdasarkan
seimbang
peraturan
yang
dapat
dipaksakan
perundang-undangan
yang
berlaku digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah daerah”.
EKONOMI PUBLIK | 5
Pajak terdiri atas:
1) Pajak daerah Tk I (Provinsi), contohnya Yaitu Pajak Kendaraan
Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
2) Pajak daerah Tk II (Kotamadya/Kabupaten), contohnya Pajak
Pembangunan I, Pajak Penerangan Jalan.
3.3 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah UU No. 12
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994.
Sedangkan asa Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut:
1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
2. Adanya kepastian hukum
3. Mudah dimengerti dan adil
4. Menghindari pajak berganda
3.3.1
Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Pengertian menurut Undang-Undang, PBB adalah iuran yang
dikenakan terhadap pemilik, pemegang kekuasaaan, penyewa dan
yang memperoleh manfaat dari bumi dan atau bangunan. Pengertian
Bumi adalah termasuk permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah
Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
diletakkan secara tetap pada tanah dan atau perairan dan digunakan
sebagai tempat tinggal atau tempat berusaha di wilayah Negara
Indonesia.
Berdasarkan UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang baru, bahwa selama ini PBB merupakan pajak
pusat, namun hampir seluruh penerimaannya diserahkan kepada
daerah. PBB merupakan salah satu kebijakan reformasi perpajakan
tahun 1985 yang memiliki lima (5) jenis yang biasa disingkat menjadi
P2 dan P3. PBB P2 adalah PBB sektor pedesaaan dan Perkotaan,
sedangkan PBB P3 adalah PBB sektor perkebunan, perikanan, dan
pertambangan.
EKONOMI PUBLIK | 6
3.3.2
Objek PBB
Pasal 2 Ayat (1) UU PBB, yang menjadi Objek PBB adalah bumi
dan atau bangunan, permukaan bumi, tanah (perairan) dan tubuh
bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan bangunan yang juga
dijadikan objek PBB adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
diletakkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Dalam Pasal 1
angka (2) UU PBB, menguraikan lebih lanjut mengenai pengertian
bangunan yang menjadi objek PBB adalah:
1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu komplek suatu
bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lainlain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut;
2) Jalan TOL;
3) Kolam renang;
4) Pagar mewah;
5) Tempat olahraga;
6) Galangan kapal;
7) Dermaga;
8) Taman mewah;
9) Tempat penampungan/kilang minyak, air, dan gas;
10) Pipa minyak.
Objek PBB yang tidak dikenakan PBB Pasal 3 UU PBB yaitu objek
pajak yang:
1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum
yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, antara
lain, Bidang ibadah, bidang kesehatan, bidang pendidikan,
bidang sosial, bidang kebudayaan.
2) Digunakan untuk area pemakaman, peninggalan purbakala,
atau sejenis dengan itu;
3) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa,
dan tanah negara yang belum dibebani oleh suatu hak;
EKONOMI PUBLIK | 7
4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan
asas perlakuan timbal balik;
5) Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional
yang ditentukan oleh menteri keuangan;
6) Objek pajak digunakan untuk penyelenggaraan pemerintah;
7) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOPTKP)
ditetapkan paling besar Rp 12.000.000 (dua belas juta rupiah)
untuk setiap Wajib Pajak.
3.3.3
Subjek PBB
Subjek PBB menurut Pasal 4 UU PBB adalah orang atau badan
yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan
atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek PBB meliputi:
1) Pemilik;
2) Pemegang kekuasaan;
3) Penyewa atau sebagainya.
3.3.4
Dasar Hukum PBB
1) UU No. 12 Tahun 1985 tentang PBB;
2) PP No. 46 Tahun 1985 Tentang presentase NJKP pada PBB;
3) Kep. Menkeu No. 1002/KMK.04/1985 tentang Tata Cara
Pendaftaran Objek Pajak PBB;
4) Kep.
Menkeu
No.
1003/KMK.04/1985
tentang
penuntun
klasifikasi dan besarnya NOJP sebagai dasar pengenaan PBB
5) Kep.
Menkeu
No.
1006/KMK.04/1985
tentang
tata
cara
penagihan PBB dan penunjukan pejabat yang berwenang
mmengeluarkan Surat Paksa;
6) Kep. Menkeu No. 1007/KMK.04/1985 tentang pelimpahan
Wewenang penagihan PBB kepada Gubernur Kepala Daerah TK
I dan atau Bupati/Walikota Madya Kepada Daerah TK II.
7) Peraturan Pelaksana lainnya
8) UU No.12 tahun 1994 Peraturan perpajakan tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan telah beberapa kali mengalami
EKONOMI PUBLIK | 8
perubahan, yang terakhir adalah UU No.16 Tahun 2009 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Perubahanperubahan yang terjadi tercermin dari Ketentuan-ketentuan yang
mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem
pemungutan pajak di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian,
kewajiban, dan peran serta Wajib Pajak untuk secara
langsung
bersama-sama
melaksanakan
kewajiban
perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan
pembangunan nasional.
b. Tanggung jawab dan kewajiban pelaksanaan pajak sebagai
pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada
Wajib Pajak sendiri.
c. Wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan
kegotong-royongan nasional melalui sistem menghitung,
membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
3.4 Pengertian Efektivitas dan Efisiensi
3.4.1 Efektivitas (hasil guna)
Efektifitas pada dasarnya merupakan hubungan antara
keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai.
Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan
tersebut mencapai tujuan dan sasaran akhir. Ditekankan bahwa
pekerjaan yang efesien tentu juga berarti efektif, namun demikian
pekerjaan yang efektif belum tentu efesien. Menurut Mohammad
Mahsun (2006:187) menyatakan bahwa’ “ Pengukuran tingkta
efektifitas
dan
efesien
memerlukan
data-data
realisasi
pendapatan dan anggaran atau target pendapatan.”
EKONOMI PUBLIK | 9
Untuk menghitung efektivitas penerimaan Pajak Daerah
bisa dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Efektivitas Pajak Daerah =
� �
��
�
�
�
��� � �� � �� � �
�� �� � �� � ��
−
−
%
Kriteria Efektivitas:
Nilai kurang dari 100% (x100% berarti efektif)
3.4.2
Efisiensi (daya guna)
Efisiensi mempunyai hubungan erat dengan konsep
produktifitas.
Menurut
Mohammad
Mahsun
(2006: 187) menyatakan bahwa, “Pengukuran Efisiensi
dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara output
yang dhasilkan terhadap input yang digunakan (cost
output).”
Sehingga
untuk
mengukur
tingkat
efisiensi
pemberian pajak Daerah adalah dengan membandingkan
biaya untuk mempperoleh Pajak Daerah hasil perolehan
Pajak Daerah.
Untuk menghitung efisiensi penerimaan Pajak Daerah
menggunakan rumus berikut
Efisiensi Pajak Daerah =
� � ��
�
� �� � �� �
�� �� � �� � ��
�
−
−
Kriteria Efesiensi:
Nilai kurang dari 100% (x100% berarti tidak efisien)
EKONOMI PUBLIK | 10
%
3.5 Pengertian Pajak Asli Daerah
Pajak daerah merupakan jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah
Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerahnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, pajak daerah selanjutnya disebut sebagai kontribusi
wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat
memaksa
berdasarkan
undang-undang,
dengan
tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
daerah. Sumber penerimaan daerah yang digali dari wilayah daerah yang
bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain untuk
menjamin keberlangsungan pembangunan daerah dapat diwujudkan dalam
bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber-sumber pendapatan
daerah menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah sebagai
berikut:
1) Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari:
a) Hasil pajak daerah;
b) Hasil retribusi daerah;
c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan;
d) Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah
2) Dana Perimbangan.
3) Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
EKONOMI PUBLIK | 11
Bab IV
Pembahasan
4.1 Tingkat Efektifitas dan Efesiensi Penerimaan Pajak Bumi Bangunan di
Indonesia
Perkembangan tingkat efektifitas dan efisiensi pada realisasi penerimaan
pajak sampai dengan 31 Desember 2015 mencapai Rp 1.061,3 triliun atau
82% dari target 2015 sebesar Rp 1.294,3 triliun. Kinerja capaian penerimaan
pajak tahun 2015 lebih rendah dari tahun 2014 yang mampu mencapai
angka 91,86%. Namun realisasi ini masih menunjukkan pertumbuhan yang
positif sebesar 12,64% (total pajak non PPh Migas) atau 7,73% (total pajak
termasuk PPh Migas). Adapun kinerja restitusi tahun 2015 menunjukkan
peningkatan meskipun tidak setinggi pertumbuhan restitusi tahun 2014.
Sampai dengan 31 Desember realisasi restitusi tercata sebesar Rp. 95,03
triliun atau tumbuh 13,11% dibandingkan restitusi tahun 2014 sebesar Rp 84
triliun.
Sejak triwulan II 2014 pertumbuhan realisasi pajak berasa di bawah
pertumbuhan alami, namun pada triwulan IV 2015 pertumbuhan realisasi
pajak mengalami peningkatan yang cukup signifikan sebesar 31,63%.
Kinerja penerimaan pada triwulan IV ini tidak terlepas dari capaian
extraordinary effort yang telah dilakukan DJP bersama para stakeholders
khususnya pada bulan Desember. Dari total penerimaan bulan Desember
tersebut terdapat Optimalisasi Pembayaran Pajak (yang merupakan
extraordinary efford) sebesar Rp 49,94 triliun. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pertumbuhan eztra efford dibulan Desember 2015 dibandingkan
periode yang sama di tahun 2014 jauh melampaui pertumbuhan rutinnya,
yaitu 92,07% dibandingkan 22,34%. Hal tersebut harus menjadi catatan
penting untuk pengamanan penerimaan di tahun 2016, mengingat peluang
terulang kembalinya keberhasilan extraordinary efford tersebut bisa
dikatakan sangat minim.
EKONOMI PUBLIK | 12
Data diatas menunjukkan bahwa pada periode 2014-2015 Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) mengalami penurunan pertumbuhan yang cukup besar
yang dicatatkan yakni 14,5% atau sebesar Rp 662,67 miliar dibandingkan
periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 1.208,83 miliar. Salah satu
penyebab
penurunan
pertumbuhan
PBB
adalah
terealisasinya
pemindahbukuan dari rekening Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke
rekening penerimaan pajak. Selain itu, diberlakukannya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 267/PMK.011 tahun 2014 tentang Pengurangan Pajak
Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak
Bumi dan Gas Bumi pada Tahap Eksplorasi juga turut berkontribusi pada
penurunan pertumbuhan PBB.
EKONOMI PUBLIK | 13
4.2 Pengaruh Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Tingkat Pendapatan Asli
Daerah
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) digunakan untuk membangun
daerah dalam suatu Negara. PBB harus didasarkan pada perekonomian
yang riil dan berkesinambungan agar pembangunan yang di cita-citakan
cepat tercapai. Peran PBB sangat vital dan dapat mengembalikan uang
tersebut ke daerah untuk pembangunan dan pemberdayaan daerah itu
sendiri.
PBB merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD adalah hak dari pemerintah daerah
yang diakui sebagai nilai kekayaan bersih dalam periode tahun yang
bersangkutan. PAD bertujuan untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah
di setiap wilayah Indonesia. PAD merupakan salah satu komponen sumber
penerimaan di seluruh daerah, tanpa adanya PAD dapat mengakibatkan
suatu daerah kurang berkembang dan tertinggal. Dengan adanya PBB maka
setiap adanya pembangunan disuatu daerah mayarakat wajib membayarkan
pajak,
baik
masyarakat
dalam
negeri
maupun
luar
negeri
(persyaratan/kriteria dibahas dalam bab III). Sehingga dengan adanya
pembayaran PBB maka akan menambah PAD dan pembangunan
infrastruktur diberbagai sektor pada setiap daerah.
Melihat bertapa pentingnya PBB dalam membangun daerah yang
sangat potensial, maka diperlukan sistem perpajakan yang bersih dan
strategis dalam pemungutan di lapangan, karena sering sekali para wajib
pajak tidak taat membayar pajak. Hal tersebut di akibatkan para wajib pajak
sering menjumpai koruptor di lembaga tersebut.
Dalam hal pembangunan daerah maka diperlukan kesadaran dalam
membayar pajak bumi dan bangunan agar pembangunan serta pendapatan
daerah melalui pajak bumi dan bangunan cepat meningkat dan terealisasi
dengan baik, sehingga masyarakat di daerahpun dapat meningkatkan
kemampuan dan kemandirian dengan pendapatannya sendiri.
EKONOMI PUBLIK | 14
Bab V
Kesimpulan
Kesimpulan
Tingkat Efektifitas dan Efesiensi Penerimaan Pajak Bumi Bangunan
(PBB) di Indonesia pada periode 2014-2015 mengalami penurunan
pertumbuhan yang cukup besar yang dicatatkan yakni 14,5% atau sebesar
Rp 662,67 miliar dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp
1.208,83 miliar. Salah satu penyebab penurunan pertumbuhan PBB adalah
terealisasinya pemindahbukuan dari rekening Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) ke rekening penerimaan pajak. Selain itu, diberlakukannya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267/PMK.011 tahun 2014 tentang
Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk
Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi pada Tahap Eksplorasi juga turut
berkontribusi pada penurunan pertumbuhan PBB.
PBB untuk membangun daerah dalam suatu Negara harus didasarkan
pada perekonomian yang riil dan berkesinambungan agar pembangunan
yang di cita-citakan cepat tercapai. Peran pajak bumi dan bangunan sangat
vital
dan
dapat
mengembalikan
uang
tersebut
ke
daerah
untuk
pembangunan dan pemberdayaan daerah itu sendiri. PBB merupakan salah
satu faktor yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD
adalah hak dari pemerintah daerah yang diakui sebagai nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun yang bersangkutan.
Saran
Melihat bertapa pentingnya PBB dalam membangun daerah yang
sangat potensial, maka diperlukan sistem perpajakan yang bersih dan
strategis dalam pemungutan di lapangan, karena sering sekali para wajib
pajak tidak taat membayar pajak. Hal tersebut di akibatkan para wajib pajak
sering menjumpai koruptor di lembaga tersebut. Dalam hal pembangunan
daerah maka diperlukan kesadaran dalam membayar pajak bumi dan
bangunan agar pembangunan serta pendapatan daerah melalui pajak bumi
dan bangunan cepat meningkat dan terealisasi dengan baik, sehingga
masyarakat di daerahpun dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian
dengan pendapatannya sendiri.
EKONOMI PUBLIK | 15
Daftar Pustaka
Adelina, R. (2013). Analisis Efektifitas dan Kontribusi Penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) terhadap Pendapatan Daerah di Kabupaten
Gresik. Jurnal Akuntansi Unesa, 1(2).
Arditia, R. (2013). Analisis kontribusi dan efektivitas pajak daerah Sebagai
sumber
pendapatan
asli
daerah
kota
surabaya. Jurnal
Akuntansi
Universitas Negeri, 1(3).
Arsjad Nurdjaman, Kusumanto Bambang dan Prawirosetoto Yuwono, 1992,
Keuangan Negara, Intermedia, Jakarta.
DEVY, S. O. (2014). Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pajak Daerah Serta
Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah di Provinsi Jawa
Tengah. Skripsi, Fakultas Ekonomi & Bisnis.
Guritno Mangkoesoebroto, 1999, Ekonomi Publik, Yogyakarta, BPFE
http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/charts/international-price-chart
Dipublikasikan pada tahun 2005
http://www.pajak.go.id/content/realisasi-penerimaan-pajak-31-agustus-2015
Dipublikasi pada Rabu, 16 September 2015-14.55
Irham, A. T. E., Bachri, S., & Halim, M. (2016). PENGARUH PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN
TERHADAP
PENDAPATAN
ASLI
DAERAH
KOTA
PALOPO. Jurnal Equilibrium, 1(1).
Jatmiko, A. N. (2006). Pengaruh sikap wajib pajak pada pelaksanaan sanksi
denda, pelayanan fiskus dan kesadaran perpajakan terhadap kepatuhan
wajib pajak (studi empiris terhadap wajib pajak orang pribadi di kota
Semarang) (Doctoral dissertation, Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro).
Jatmiko, A. N. (2006). Pengaruh sikap wajib pajak pada pelaksanaan sanksi
denda, pelayanan fiskus dan kesadaran perpajakan terhadap kepatuhan
wajib pajak (studi empiris terhadap wajib pajak orang pribadi di kota
Semarang) (Doctoral dissertation, Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro).
Julastiana, Y., & Suartana, I. W. (2012). Analisis Efisiensi dan Efektivitas
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Klungkung. Download:
http://www. google. com. Diakses tanggal, 17.
Kakunsi, I. E. (2013). ANALISIS PELAPORAN DAN KONTRIBUSI PAJAK BUMI
DAN BANGUNAN PADA DINAS PPKAD KABUPATEN KEPULAUAN
SANGIHE. JURNAL RISET EKONOMI, MANAJEMEN, BISNIS DAN
AKUNTANSI, 1(4).
Laporan Kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2015
Mahsun, Mohamad, 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik, Penerbit
BPFE,Yogyakarta.
Munawir. 2007. Analisis Laporan Keuangan. Yogyakarta : Edisi Empat, Liberty.
Nadhia, S. (2013). Efektivitas Prosedur Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dari Pajak Pusat ke Pajak Daerah Pada Dinas Pendapatan Daerah
Kota Palembang
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267/PMK.011/2014 Tahun 2014 Tentang
Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Untuk
Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi Pada Tahap Eksplorasi
Saputro, R. (2014). Efektivitas Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan (Pbb P2) terhadap Peningkatan Penerimaan
Pendapatan Asli Daerah (PAD)(Studi pada Dinas Pendapatan dan
Pengelolaan
Keuangan
Kota
Surabaya). Jurnal
Mahasiswa
Perpajakan, 2(1).
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI INDONESIA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ekonomi Publik
Dosen:
Yogi Pasca Pratama S.E., M.E.
Disusun Oleh:
Sendy Yulionita Budhy Saputri
NIM. F1117055
KELAS B
PRODI EKONOMI PEMBANGUNAN (TRANSFER)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dewasa ini istilah pembangunan nasional sudah dikenal di Indonesia.
Jika dilihat dari sudut pandang struktur pendapatan negara, Indonesia memiliki
banyak pemasukan dari berbagai sektor diantaranya adalah sektor Minyak dan
Gas (MIGAS) serta Non Minyak dan Gas (NON MIGAS). Kedua sektor tersebut
memiliki peran yang sangat penting dan merupakan komponen terbesar sebagai
sumber utama penerimaan dalam negeri untuk menopang pembiayaan
penyelenggaraan
pemerintah
dan
pemerataan
pembangunan
nasional.
Pembangunan nasional di Indonesia pada dasarnya dilakukan oleh masyarakat
dan pemerintah. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah memerlukan dana,
salah satunya bersumber dari pajak masyarakat sehingga diperlukan partisipasi
aktif
dari
seluruh
pembangunan,
lapisan
maupun
masyarakat
dalam
untuk
memikul
pertanggungjawaban
bersama
atas
beban
pelaksanaan
pembangunan yang diwujudkan dengan keikutsertaan dan kegotong-royongan
dalam pembangunan nasional demi terciptanya masyarakat yang sejahtera, adil,
dan makmur.
Namun dalam realitasnya penerimaan dalam sektor migas sering
mengalami kondisi harga yang fluktuatif, hal tersebut dibuktikan pada data
statistik harga migas dipasar global tahun 2006 sebesar US$ 64,27/barel
sedangkan pada tahun 2011 harga minyak bumi US$ 111,15/barel yang
disebabkan oleh rentannya kondisi nilai tukar mata uang rupiah terhadap
keadaan
ekonomi
baik
dilingkup
nasional
maupun
internasional.
(http://www.kemendag.go.id, 2005).
Sehingga dapat kita ketahui bahwa penerimaan dari sektor migas kurang
dapat diandalkan tingkat konsistensinya. Setelah mengetahui fenomena tersebut,
pemerintah kemudian berusaha untuk meningkatkan penerimaan dari sektor non
migas yang merupakan salah satu jalan yang harus ditempuh pemerintah
dengan menfaatkan segala sumber seefektif dan seefesien mungkin. Salah satu
penerimaan non migas yang digunakan untuk menyediakan dana pembangunan
EKONOMI PUBLIK | 1
adalah penerimaan dari sektor pajak yang nantinya diharapkan dapat
berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah.
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat
penting artinya sangat berpengaruh bagi pelaksanaan dan peningkatan
pembangunan nasional, dimana pajak juga merupakan pengamalan Pancasila
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
kemakmuran
dan
kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian perlunya peningkatan nilai efektifitas dan efisiensi
sistem perpajakan yang harus mampu serta bersih untuk mewujudkan peran
yang besar dalam pembangunan nasional.
EKONOMI PUBLIK | 2
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Dengan adanya penjelasan dari latar belakang diatas membuktikan
bahwa peran pajak sangatlah penting untuk menunjang pembangunan nasional
dan berpengaruh dalam penentuan tingkat pendapatan asli seluruh daerah di
Indonesia, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan tingkat efektifitas dan efisiensi penerimaan pajak
bumi bangunan di Indonesia?
2. Apakah penerimaan pajak bumi dan bangunan berpengaruh terhadap tingkat
pendapatan asli daerah?
EKONOMI PUBLIK | 3
BAB III
Kajian Literatur
3.1 Pajak
3.1.1
Pengertian Pajak
Menurut UU KUP Pasal 1 angka 1, yaitu Pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang-orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3.1.2
Fungsi Pajak
Pajak berfungsi sebagai budgeter, regulerend dan social yang
dikemukakan oleh Prawisosetoto (1989), Munawir (1992), Guritno
(1992;1994). Berikut penjelasan fungsi pajak menurut para ahli:
a. Budgetair (Fungsi Penerimaan)
Pajak memiliki fungsi budgeter yang berarti pajak bersifat
kontraksi terhadap keadanan masyarakat dan memberikan
kontribusi sebesar-besarnya untuk sumber dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran
Pendapata dan Belanja Daerah (APBD) yang memiliki dampak
multiplier bagi perekonomian negara.
b. Regulerend (Alat Pengatur/Pendorong)
Pajak berfungsi regulerend artinya pajak merupakan instrumen
penting untuk mengatur, mendorong atau bahkan menghambat
pertumbuhan pelaku dan bidang-bidang ekonomi tertentu.
c. Social
Pajak
berfungsi
social
artinya
instrumen
mengurangi
perbedaan antara si kaya dan si miskin.
EKONOMI PUBLIK | 4
3.2.3
Pengelompokan Pajak
Pajak dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Menurut golongannya
a) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri
oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau
dilimpahkan
kepada
orang
lain,
contohnya
Pajak
Penghasilan
b) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya
dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada pengguna
terakhir, conthnya Pajak Pertambahan Nilai
2) Menurut sifatnya
a) Pajak subjektif, yaitu yang berpangkal atau berdasarkan
pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri
wajib pajak, contohnya Pajak Pengahsilan
b) Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya
tanpa emperhatikan keadaan diri wajib pajak, contohnya
Pajak Pertambahan Nilai
3) Menurut lembaga pemungutnya
a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga
negara. Contohnya adalah pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai, dan Pajak atas Barang Mewah, Pajak
Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.
b) Pajak Daerah menurut Prof. Dr. Mardiasmo (2003),
“Pajak
Daerah
adalah
pajak
yang
dipungut
oleh
Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai
rumah tangga daerah”. Menurut Pasal 1 Ayat 1 Peraturan
Pemerintah RI No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah ,
“Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi atau badan kepadal daerah tanpa imbalan
langsung
yang
berdasarkan
seimbang
peraturan
yang
dapat
dipaksakan
perundang-undangan
yang
berlaku digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah daerah”.
EKONOMI PUBLIK | 5
Pajak terdiri atas:
1) Pajak daerah Tk I (Provinsi), contohnya Yaitu Pajak Kendaraan
Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
2) Pajak daerah Tk II (Kotamadya/Kabupaten), contohnya Pajak
Pembangunan I, Pajak Penerangan Jalan.
3.3 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah UU No. 12
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994.
Sedangkan asa Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut:
1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
2. Adanya kepastian hukum
3. Mudah dimengerti dan adil
4. Menghindari pajak berganda
3.3.1
Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Pengertian menurut Undang-Undang, PBB adalah iuran yang
dikenakan terhadap pemilik, pemegang kekuasaaan, penyewa dan
yang memperoleh manfaat dari bumi dan atau bangunan. Pengertian
Bumi adalah termasuk permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah
Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
diletakkan secara tetap pada tanah dan atau perairan dan digunakan
sebagai tempat tinggal atau tempat berusaha di wilayah Negara
Indonesia.
Berdasarkan UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang baru, bahwa selama ini PBB merupakan pajak
pusat, namun hampir seluruh penerimaannya diserahkan kepada
daerah. PBB merupakan salah satu kebijakan reformasi perpajakan
tahun 1985 yang memiliki lima (5) jenis yang biasa disingkat menjadi
P2 dan P3. PBB P2 adalah PBB sektor pedesaaan dan Perkotaan,
sedangkan PBB P3 adalah PBB sektor perkebunan, perikanan, dan
pertambangan.
EKONOMI PUBLIK | 6
3.3.2
Objek PBB
Pasal 2 Ayat (1) UU PBB, yang menjadi Objek PBB adalah bumi
dan atau bangunan, permukaan bumi, tanah (perairan) dan tubuh
bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan bangunan yang juga
dijadikan objek PBB adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
diletakkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Dalam Pasal 1
angka (2) UU PBB, menguraikan lebih lanjut mengenai pengertian
bangunan yang menjadi objek PBB adalah:
1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu komplek suatu
bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lainlain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut;
2) Jalan TOL;
3) Kolam renang;
4) Pagar mewah;
5) Tempat olahraga;
6) Galangan kapal;
7) Dermaga;
8) Taman mewah;
9) Tempat penampungan/kilang minyak, air, dan gas;
10) Pipa minyak.
Objek PBB yang tidak dikenakan PBB Pasal 3 UU PBB yaitu objek
pajak yang:
1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum
yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, antara
lain, Bidang ibadah, bidang kesehatan, bidang pendidikan,
bidang sosial, bidang kebudayaan.
2) Digunakan untuk area pemakaman, peninggalan purbakala,
atau sejenis dengan itu;
3) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa,
dan tanah negara yang belum dibebani oleh suatu hak;
EKONOMI PUBLIK | 7
4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan
asas perlakuan timbal balik;
5) Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional
yang ditentukan oleh menteri keuangan;
6) Objek pajak digunakan untuk penyelenggaraan pemerintah;
7) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOPTKP)
ditetapkan paling besar Rp 12.000.000 (dua belas juta rupiah)
untuk setiap Wajib Pajak.
3.3.3
Subjek PBB
Subjek PBB menurut Pasal 4 UU PBB adalah orang atau badan
yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan
atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek PBB meliputi:
1) Pemilik;
2) Pemegang kekuasaan;
3) Penyewa atau sebagainya.
3.3.4
Dasar Hukum PBB
1) UU No. 12 Tahun 1985 tentang PBB;
2) PP No. 46 Tahun 1985 Tentang presentase NJKP pada PBB;
3) Kep. Menkeu No. 1002/KMK.04/1985 tentang Tata Cara
Pendaftaran Objek Pajak PBB;
4) Kep.
Menkeu
No.
1003/KMK.04/1985
tentang
penuntun
klasifikasi dan besarnya NOJP sebagai dasar pengenaan PBB
5) Kep.
Menkeu
No.
1006/KMK.04/1985
tentang
tata
cara
penagihan PBB dan penunjukan pejabat yang berwenang
mmengeluarkan Surat Paksa;
6) Kep. Menkeu No. 1007/KMK.04/1985 tentang pelimpahan
Wewenang penagihan PBB kepada Gubernur Kepala Daerah TK
I dan atau Bupati/Walikota Madya Kepada Daerah TK II.
7) Peraturan Pelaksana lainnya
8) UU No.12 tahun 1994 Peraturan perpajakan tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan telah beberapa kali mengalami
EKONOMI PUBLIK | 8
perubahan, yang terakhir adalah UU No.16 Tahun 2009 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Perubahanperubahan yang terjadi tercermin dari Ketentuan-ketentuan yang
mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem
pemungutan pajak di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian,
kewajiban, dan peran serta Wajib Pajak untuk secara
langsung
bersama-sama
melaksanakan
kewajiban
perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan
pembangunan nasional.
b. Tanggung jawab dan kewajiban pelaksanaan pajak sebagai
pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada
Wajib Pajak sendiri.
c. Wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan
kegotong-royongan nasional melalui sistem menghitung,
membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
3.4 Pengertian Efektivitas dan Efisiensi
3.4.1 Efektivitas (hasil guna)
Efektifitas pada dasarnya merupakan hubungan antara
keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai.
Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan
tersebut mencapai tujuan dan sasaran akhir. Ditekankan bahwa
pekerjaan yang efesien tentu juga berarti efektif, namun demikian
pekerjaan yang efektif belum tentu efesien. Menurut Mohammad
Mahsun (2006:187) menyatakan bahwa’ “ Pengukuran tingkta
efektifitas
dan
efesien
memerlukan
data-data
realisasi
pendapatan dan anggaran atau target pendapatan.”
EKONOMI PUBLIK | 9
Untuk menghitung efektivitas penerimaan Pajak Daerah
bisa dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Efektivitas Pajak Daerah =
� �
��
�
�
�
��� � �� � �� � �
�� �� � �� � ��
−
−
%
Kriteria Efektivitas:
Nilai kurang dari 100% (x100% berarti efektif)
3.4.2
Efisiensi (daya guna)
Efisiensi mempunyai hubungan erat dengan konsep
produktifitas.
Menurut
Mohammad
Mahsun
(2006: 187) menyatakan bahwa, “Pengukuran Efisiensi
dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara output
yang dhasilkan terhadap input yang digunakan (cost
output).”
Sehingga
untuk
mengukur
tingkat
efisiensi
pemberian pajak Daerah adalah dengan membandingkan
biaya untuk mempperoleh Pajak Daerah hasil perolehan
Pajak Daerah.
Untuk menghitung efisiensi penerimaan Pajak Daerah
menggunakan rumus berikut
Efisiensi Pajak Daerah =
� � ��
�
� �� � �� �
�� �� � �� � ��
�
−
−
Kriteria Efesiensi:
Nilai kurang dari 100% (x100% berarti tidak efisien)
EKONOMI PUBLIK | 10
%
3.5 Pengertian Pajak Asli Daerah
Pajak daerah merupakan jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah
Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerahnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, pajak daerah selanjutnya disebut sebagai kontribusi
wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat
memaksa
berdasarkan
undang-undang,
dengan
tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
daerah. Sumber penerimaan daerah yang digali dari wilayah daerah yang
bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain untuk
menjamin keberlangsungan pembangunan daerah dapat diwujudkan dalam
bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber-sumber pendapatan
daerah menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah sebagai
berikut:
1) Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari:
a) Hasil pajak daerah;
b) Hasil retribusi daerah;
c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan;
d) Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah
2) Dana Perimbangan.
3) Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
EKONOMI PUBLIK | 11
Bab IV
Pembahasan
4.1 Tingkat Efektifitas dan Efesiensi Penerimaan Pajak Bumi Bangunan di
Indonesia
Perkembangan tingkat efektifitas dan efisiensi pada realisasi penerimaan
pajak sampai dengan 31 Desember 2015 mencapai Rp 1.061,3 triliun atau
82% dari target 2015 sebesar Rp 1.294,3 triliun. Kinerja capaian penerimaan
pajak tahun 2015 lebih rendah dari tahun 2014 yang mampu mencapai
angka 91,86%. Namun realisasi ini masih menunjukkan pertumbuhan yang
positif sebesar 12,64% (total pajak non PPh Migas) atau 7,73% (total pajak
termasuk PPh Migas). Adapun kinerja restitusi tahun 2015 menunjukkan
peningkatan meskipun tidak setinggi pertumbuhan restitusi tahun 2014.
Sampai dengan 31 Desember realisasi restitusi tercata sebesar Rp. 95,03
triliun atau tumbuh 13,11% dibandingkan restitusi tahun 2014 sebesar Rp 84
triliun.
Sejak triwulan II 2014 pertumbuhan realisasi pajak berasa di bawah
pertumbuhan alami, namun pada triwulan IV 2015 pertumbuhan realisasi
pajak mengalami peningkatan yang cukup signifikan sebesar 31,63%.
Kinerja penerimaan pada triwulan IV ini tidak terlepas dari capaian
extraordinary effort yang telah dilakukan DJP bersama para stakeholders
khususnya pada bulan Desember. Dari total penerimaan bulan Desember
tersebut terdapat Optimalisasi Pembayaran Pajak (yang merupakan
extraordinary efford) sebesar Rp 49,94 triliun. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pertumbuhan eztra efford dibulan Desember 2015 dibandingkan
periode yang sama di tahun 2014 jauh melampaui pertumbuhan rutinnya,
yaitu 92,07% dibandingkan 22,34%. Hal tersebut harus menjadi catatan
penting untuk pengamanan penerimaan di tahun 2016, mengingat peluang
terulang kembalinya keberhasilan extraordinary efford tersebut bisa
dikatakan sangat minim.
EKONOMI PUBLIK | 12
Data diatas menunjukkan bahwa pada periode 2014-2015 Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) mengalami penurunan pertumbuhan yang cukup besar
yang dicatatkan yakni 14,5% atau sebesar Rp 662,67 miliar dibandingkan
periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 1.208,83 miliar. Salah satu
penyebab
penurunan
pertumbuhan
PBB
adalah
terealisasinya
pemindahbukuan dari rekening Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke
rekening penerimaan pajak. Selain itu, diberlakukannya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 267/PMK.011 tahun 2014 tentang Pengurangan Pajak
Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak
Bumi dan Gas Bumi pada Tahap Eksplorasi juga turut berkontribusi pada
penurunan pertumbuhan PBB.
EKONOMI PUBLIK | 13
4.2 Pengaruh Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Tingkat Pendapatan Asli
Daerah
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) digunakan untuk membangun
daerah dalam suatu Negara. PBB harus didasarkan pada perekonomian
yang riil dan berkesinambungan agar pembangunan yang di cita-citakan
cepat tercapai. Peran PBB sangat vital dan dapat mengembalikan uang
tersebut ke daerah untuk pembangunan dan pemberdayaan daerah itu
sendiri.
PBB merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD adalah hak dari pemerintah daerah
yang diakui sebagai nilai kekayaan bersih dalam periode tahun yang
bersangkutan. PAD bertujuan untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah
di setiap wilayah Indonesia. PAD merupakan salah satu komponen sumber
penerimaan di seluruh daerah, tanpa adanya PAD dapat mengakibatkan
suatu daerah kurang berkembang dan tertinggal. Dengan adanya PBB maka
setiap adanya pembangunan disuatu daerah mayarakat wajib membayarkan
pajak,
baik
masyarakat
dalam
negeri
maupun
luar
negeri
(persyaratan/kriteria dibahas dalam bab III). Sehingga dengan adanya
pembayaran PBB maka akan menambah PAD dan pembangunan
infrastruktur diberbagai sektor pada setiap daerah.
Melihat bertapa pentingnya PBB dalam membangun daerah yang
sangat potensial, maka diperlukan sistem perpajakan yang bersih dan
strategis dalam pemungutan di lapangan, karena sering sekali para wajib
pajak tidak taat membayar pajak. Hal tersebut di akibatkan para wajib pajak
sering menjumpai koruptor di lembaga tersebut.
Dalam hal pembangunan daerah maka diperlukan kesadaran dalam
membayar pajak bumi dan bangunan agar pembangunan serta pendapatan
daerah melalui pajak bumi dan bangunan cepat meningkat dan terealisasi
dengan baik, sehingga masyarakat di daerahpun dapat meningkatkan
kemampuan dan kemandirian dengan pendapatannya sendiri.
EKONOMI PUBLIK | 14
Bab V
Kesimpulan
Kesimpulan
Tingkat Efektifitas dan Efesiensi Penerimaan Pajak Bumi Bangunan
(PBB) di Indonesia pada periode 2014-2015 mengalami penurunan
pertumbuhan yang cukup besar yang dicatatkan yakni 14,5% atau sebesar
Rp 662,67 miliar dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp
1.208,83 miliar. Salah satu penyebab penurunan pertumbuhan PBB adalah
terealisasinya pemindahbukuan dari rekening Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) ke rekening penerimaan pajak. Selain itu, diberlakukannya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267/PMK.011 tahun 2014 tentang
Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk
Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi pada Tahap Eksplorasi juga turut
berkontribusi pada penurunan pertumbuhan PBB.
PBB untuk membangun daerah dalam suatu Negara harus didasarkan
pada perekonomian yang riil dan berkesinambungan agar pembangunan
yang di cita-citakan cepat tercapai. Peran pajak bumi dan bangunan sangat
vital
dan
dapat
mengembalikan
uang
tersebut
ke
daerah
untuk
pembangunan dan pemberdayaan daerah itu sendiri. PBB merupakan salah
satu faktor yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD
adalah hak dari pemerintah daerah yang diakui sebagai nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun yang bersangkutan.
Saran
Melihat bertapa pentingnya PBB dalam membangun daerah yang
sangat potensial, maka diperlukan sistem perpajakan yang bersih dan
strategis dalam pemungutan di lapangan, karena sering sekali para wajib
pajak tidak taat membayar pajak. Hal tersebut di akibatkan para wajib pajak
sering menjumpai koruptor di lembaga tersebut. Dalam hal pembangunan
daerah maka diperlukan kesadaran dalam membayar pajak bumi dan
bangunan agar pembangunan serta pendapatan daerah melalui pajak bumi
dan bangunan cepat meningkat dan terealisasi dengan baik, sehingga
masyarakat di daerahpun dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian
dengan pendapatannya sendiri.
EKONOMI PUBLIK | 15
Daftar Pustaka
Adelina, R. (2013). Analisis Efektifitas dan Kontribusi Penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) terhadap Pendapatan Daerah di Kabupaten
Gresik. Jurnal Akuntansi Unesa, 1(2).
Arditia, R. (2013). Analisis kontribusi dan efektivitas pajak daerah Sebagai
sumber
pendapatan
asli
daerah
kota
surabaya. Jurnal
Akuntansi
Universitas Negeri, 1(3).
Arsjad Nurdjaman, Kusumanto Bambang dan Prawirosetoto Yuwono, 1992,
Keuangan Negara, Intermedia, Jakarta.
DEVY, S. O. (2014). Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pajak Daerah Serta
Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah di Provinsi Jawa
Tengah. Skripsi, Fakultas Ekonomi & Bisnis.
Guritno Mangkoesoebroto, 1999, Ekonomi Publik, Yogyakarta, BPFE
http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/charts/international-price-chart
Dipublikasikan pada tahun 2005
http://www.pajak.go.id/content/realisasi-penerimaan-pajak-31-agustus-2015
Dipublikasi pada Rabu, 16 September 2015-14.55
Irham, A. T. E., Bachri, S., & Halim, M. (2016). PENGARUH PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN
TERHADAP
PENDAPATAN
ASLI
DAERAH
KOTA
PALOPO. Jurnal Equilibrium, 1(1).
Jatmiko, A. N. (2006). Pengaruh sikap wajib pajak pada pelaksanaan sanksi
denda, pelayanan fiskus dan kesadaran perpajakan terhadap kepatuhan
wajib pajak (studi empiris terhadap wajib pajak orang pribadi di kota
Semarang) (Doctoral dissertation, Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro).
Jatmiko, A. N. (2006). Pengaruh sikap wajib pajak pada pelaksanaan sanksi
denda, pelayanan fiskus dan kesadaran perpajakan terhadap kepatuhan
wajib pajak (studi empiris terhadap wajib pajak orang pribadi di kota
Semarang) (Doctoral dissertation, Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro).
Julastiana, Y., & Suartana, I. W. (2012). Analisis Efisiensi dan Efektivitas
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Klungkung. Download:
http://www. google. com. Diakses tanggal, 17.
Kakunsi, I. E. (2013). ANALISIS PELAPORAN DAN KONTRIBUSI PAJAK BUMI
DAN BANGUNAN PADA DINAS PPKAD KABUPATEN KEPULAUAN
SANGIHE. JURNAL RISET EKONOMI, MANAJEMEN, BISNIS DAN
AKUNTANSI, 1(4).
Laporan Kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2015
Mahsun, Mohamad, 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik, Penerbit
BPFE,Yogyakarta.
Munawir. 2007. Analisis Laporan Keuangan. Yogyakarta : Edisi Empat, Liberty.
Nadhia, S. (2013). Efektivitas Prosedur Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dari Pajak Pusat ke Pajak Daerah Pada Dinas Pendapatan Daerah
Kota Palembang
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267/PMK.011/2014 Tahun 2014 Tentang
Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Untuk
Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi Pada Tahap Eksplorasi
Saputro, R. (2014). Efektivitas Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan (Pbb P2) terhadap Peningkatan Penerimaan
Pendapatan Asli Daerah (PAD)(Studi pada Dinas Pendapatan dan
Pengelolaan
Keuangan
Kota
Surabaya). Jurnal
Mahasiswa
Perpajakan, 2(1).
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.