View of PENDIDIKAN AQIDAH DAN AKHLAK DALAM SURAT AN-NABA’

  

PENDIDIKAN AQIDAH DAN AKHLAK DALAM SURAT AN-NABA

  Oleh: Syarboini, MA Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam

  Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Lhokseumawe

  

Abstrak

  Pendidikan Islam merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku, pengaturan emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia ini, serta bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih tujuan kehidupan sekaligus mengupayakan perwujudannya. Dalam al- qur’an surat an

  Naba’ ayat 38-40 mengandung nilai pendidikan ibadah. Nilai pendidikan aqidah disebut juga dengan nilai kematian ataupun sesuatu yang dipercayai dan diyakini kebenarannya oleh hati manusia. Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Mishbah mengatakan bahwa surat an Naba’ ayat 38-40 mengandung uraian tentang hari kiamat dan bukti-bukti kekuasaan Allah Swt. yang menunjukkan adanya hari pembalasan pada hari kiamat nanti. Oleh karena itu dalam al- qur’an surat an Naba’ ayat 38-40 mengandung nilai aqidah seperti rukun iman ada 6 yang mana rukun iman tersebut tersirat dalam ayat 38-

  40. Dalam surat an Naba’ ayat 38-40 juga mengandung nilai ibadah yaitu suatu bentuk pengabdian seorang hamba kepada sang pencipta sebagai rasa syukur atas segala nikmat yang telah

  .

  diterimanya

A. Pendahuluan

  Al-Q ur’an merupakan pedoman bagi ummat Islam yang paling utama, didalamnya terdapat berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan baik yang bersifat teoritis maupun bersifat praktis. Ia tersusun dengan beberapa surat yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, yang disampaikan kepada kita secara mutawattir baik dari segi tulisan maupun ucapannya, dari satu generasi ke generasi lain, terpelihara dari berbagai perubahan dan pergantian.

  Salah satu cara yang digunakan untuk menjelaskan nilai adalah dengan cara membandingkanya dengan fakta. Fakta adalah sesuatu yang ada atau tengah berlangsung begitu saja. Fakta dapat ditemui dalam konteks peristiwa yang unsur- unsurnya dapat diuraikan satu persatu secara rinci dan keadaan fakta pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Pada dasarnya Islam telah memberikan landasan yang kuat bagi pelaksaaan pendidikan. Pertama Islam telah menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama di mana proses pembelajaran dan transmisi ilmu sangat bermakna bagi manusia. Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah. Sebagai sebuah ibadah, pendidikan merupakan kewajibanindividual sekaligus kolektif. Ketiga, Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuan. Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat. Dan yang kelima kontruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif, dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari timur maupun barat.

  Tujuan pendidikan Islam, tidaklah sekedar proses alih budaya atau ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga proses alih nilai-nilai ajaran Islam (transfer of islamic values). Tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya menjadikan manusia yang bertaqwa, manusia yang dapat mencapai al-fala ḥ, serta kesuksesan hidup yang abadi di dunia dan akhirat (

  mufliḥun). Pendidikan Islam yang

  dilaksanakan dalam suatu sistem memberikan kemungkinan berprosesnya bagian- bagian menuju ke arah tujuan yang ditetapkan sesuai ajaran Islam.

  Al qur’an sebagai dasar pokok pendidikan Islam di dalamnya terkandung sumber nilai yang absolut, eksistensinya tidak mengalami penyesuaian sesuai dengan konteks zaman, keadaan dan tempat. Surat An- Naba’ adalah salah-satu surat al-Q ur’an yang mana pada ayat 38-40 di dalamnya terangkum aktivitas pendidikan. QS. an-

  Naba’ ayat 38-40 menjelaskan tentang perintah Allah agar manusia memilih jalan yang benar kepada tuhannya. Adapun bunyi firman Allah swt. adalah sebagai berikut:

  Ketiadaan wewenang dan kemampuan itu menurut ayat 38 akan sangat jelas terlihat pada hari kiamat, hari ketika ruh, yakni Malaikat Jibril dan para malaikat semuanya, berdiri bershaf-shaf, menghadap-Nya. Mereka tidak berkata-kata, lebih-lebih keberatan atau memohonkan ampunan atau syafaat kepada yang durhaka, kecuali siapa yang telah diberi izin khusus untuk berbicara oleh ar- Rahman, Tuhan yang Maha Pemurah itu; dan yang diberi izin itu mengucapkan kata yang benar.

  Ayat 39 menyatakan bahwa: Itulah hari yang pasti terjadi dan jika demikian maka siapa yang menghendaki, untuk menelusuri jalan keselamatan sebelum Jahanam menjadi tempat tinggalnya, maka hendaklah dia sekarang ini juga bersungguh-sungguh menempuh menuju tuhannya jalan kembali dengan beriman, bertaubat, dan beramal saleh.

B. Pembahasan 1.

  Asbabunnuzul Surat An Naba’ Surah an-

  Naba’ terdiri atas 40 ayat. Dinamakan an- Naba’ yang berarti “berita besar” diambil dari kata an-Naba´ yang terdapat pada ayat 2 surat ini. Dinamai juga Amma yatasaa aluun diambil dari perkataan Amma

  

yatasaa aluun yang terdapat pada ayat 1 surat ini. Asbabun nuzul ayat tersebut

  yaitu ketika Nabi Muhammad Saw. Diutus menjadi rasul, orang kafir Quraisy saling bertanya-tanya mengenai berita besar yang dibawa rasul pada saat itu, namun orang-orang kafir Quraisy mengingkari tentang peristiwa hari kiamat.

  Surah an- Naba’ bercerita tentang kaum kafir Mekkah yang selalu mempertanyakan peristiwa kiamat yang akan menuntup rangkaian kehidupan dunia. Perdebatan dan pertanyaan seperti itu telah menyebabkan banyak orang berbuat zalim. Mereka asyik memperkosa dunia untuk mendapatkan kesenangan sementara karena mereka tidak meyakini kehidupan akhirat yang kekal abadi.

  Sebagian besar Al q ur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu, maka al-Q ur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbabun Nuzul.

  Kalimat asbabun nuzul pada mulanya merupakan gabungan dua kalimat atau dalam bahasa arab disebutnya kalimat idhafah yakni dari kalimat asbab dan

  

nuzul . Secara etimologi maka asbab an-nuzul didefinisikan sebagai sebab-sebab

  yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Asbabun nuzul yang dimaksudkan disini adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya al-Qur ’an. Adapun

  asbabun nuzul surat An-

  Naba’ ayat 38-40 yaitu dikemukakan bahwa ketika Muhammad diutus menjadi rasul, orang-orang kafir Quraisyi saling bertanya- tanya tentang berita yang dibawa rasul.

  Subhi Shalih dalam Zaini menyatakan bahwa Asbabun Nuzul yaitu semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, atau memberi jawaban terhadap pertanyaan, atau menerangkan hukumnya pada saat terjadi peristiwa itu (Muhammad Zaini, 2012: 53).

  Surat an- Naba’ menerangkan pengingkaran orang-orang musyrik terhadap hari berbangkit, ancaman Allah terhadap sikap mereka, azab yang akan mereka terima di hari kiamat serta kebahagiaan orang-orang yang beriman. Ayat 38 surat An-

  Naba’ yaitu tentang maksud ruh dalam ayat tersebut. Ruh dalam ayat 38 tersebut ada yang mengatakan Jibril, ada yang mengatakan tentara Allah, ada pula yang mengatakan ruh manusia.

  Ditinjau dari aspek bentuknya, asbabun nuzul dapat diklasifikasikan dalam bentuk yaitu asbabun nuzul yang berbentuk peristiwa dan asbabun nuzul yang berbentuk pertanyaan (Muhammad Zaini, 2012: 54). Berkaitan dengan ayat 38-40 surat surat an-

  Naba’ yang tersebut di atas, maka asbabun nuzul ayat tersebut berbentuk peristiwa, yaitu peristiwa yang terjadi pada hari kemudian.

  Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, mengetahui asbabun nuzul bagi ayat-ayat al-Q ur’an adalah sangat penting, terutama dalam hal memahami ayat- ayat al-Q ur’an dan menghindarkan kesulitannya. Wawasan tentang asbabun

  

nuzul dapat memberikan pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara

khusus dalam mensyari’atkan hukum-hukum agama di dalam al-Qur’an.

2. Nilai-Nilai Pendidikan

  Kandungan dari surat an-Naba ’ ayat 38-40 yang menjadi bahasan utama dalam penelitian ini adalah nilai-nilai pendidikan Islam yang harus diajarkan kepada peserta didik, karena itu semua merupakan salah satu faktor untuk menggapai kebahagian, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian akan dipaparkan mengenai analisis terhadap nilai-nilai pendidikan Islam dalam surat an-Naba

  ’ ayat 38-40. Pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan Islam yang dilaksanakan dalam suatu sistem memberikan kemungkinan berprosesnya bagian- bagian menuju ke arah tujuan yang ditetapkan sesuai ajaran Islam. Jalannya proses itu baru bersifat konsisten dan konstan (tetap) bilamana dilandasi dengan pola dasar pendidikan yang mampu menjamin terwujudnya tujuan pendidikan Islam (Abdurrahman Saleh,1994: 54).

  Pendidikan Islam merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku, pengaturan emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia ini, serta bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih tujuan kehidupan sekaligus mengupayakan perwujudannya (Abdurrahman An Nahlawi, 1995: 34). Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah. Artinya, manusia tidak merasa keberatan atas ketetapan Allah dan Rasul-Nya.

  Pemahaman nilai-nilai pendidikan Islam dalam surat an-naba ’ ayat 38-40 bahwa pendidikan Islam merupakan usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. Dari sini, pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik (Abudin Nata, 3010: 28).

  Berdasarkan surat an-Naba ’ ayat 38-40, maka berikut akan dikemukakan mengenai nilai-nilai pendidikan Islam yang termuat dalam surat an-Naba

  ’ ayat 38- 40 tersebut. Nilai-nilai pendidikan Islam yang termuat dalam surat an-Naba ’ ayat 38-40 dapat diuraikan sebagai berikut:

  

  

   

    

  

  

Artinya: Hari ketika roh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf tidak ada yang

berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin oleh Tuhan Yang Maha

  Pemurah, dan yang mengucapkan kata-kata yang benar (an Naba’:38).

  Berdasarkan ayat di atas dapat dijelaskan bahwa (Pada hari itu) lafal

  

Yauma merupakan Zharaf bagi lafal Laa Yamlikuuna (ketika ruh berdiri) yakni

  malaikat Jibril atau bala tentara Allah Swt. (dan para malaikat dengan bershaf- shaf) lafal Shaffan menjadi Haal artinya dalam keadaan berbaris bershaf-shaf (mereka tidak berkata-kata) yakni makhluk semuanya (kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah) untuk berbicara (dan ia mengucapkan) perkataan (yang benar) mereka terdiri dari orang-orang yang beriman dan para Malaikat, seumpamanya mereka memberikan syafaat kepada orang-orang yang diridai oleh-Nya untuk mendapatkan syafaat. Pada hari ketika Jibril dan para malaikat berbaris dengan khusyuk. Tak satu pun di antara mereka yang berbicara, kecuali malaikat yang dizinkan oleh Sang Maha Penyayang untuk berbicara secara benar (M. Quraish Shihab, 2009: 22-27).

  Ar-ruuh

  ” maksudnya adalah Malaikat Jibril. Berarti semua malaikat ada di satu shaf, dan ada satu shaf lagi yang hanya di tempati ruh, yang ruh itu adalah malaikat jibril. laa yatakallamuuna illaa man adzinalahu al-rahman, artinya “tidak ada yang bisa berbicara kecuali yang diizinkan oleh Allah. Wa qaala

  shawaabaa

  , artinya “dan ia mengucapkan kata yang benar.” Atau juga bisa diartikan, “dan apa yang ia bicarakan itu haruslah pembicaraan yang benar.” Tidak ada yang bisa berbicara, kecuali jika ada izin dari Allah, dan kalaupun bisa berbicara maka haruslah dengan pembicaraan yang benar (M. Quraish Shihab, 2009: 22-27). Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim menjelaskan sebagai berikut:

  ِمْلِعْلاِب ِهْيَلَع َف اِمُهَدا َرَا ْنَم َو ِمْلِعْلاِب ِهْيَلَعَف َة َر ِخَ ْلْا َداَرَا ْنَم َو ِمْلِعْلاِب ِهْيَلَعَف اَيْنُّدلا َدا َرَا ْنَم ) ٌمِلْسُم َو ى ِراَخُبْلا ُها َو َر(

Artinya: Barangsiapa yang menghendaki kebaikan di dunia maka dengan ilmu.

  Barangsipa yang menghendaki kebaikan di akhirat maka dengan ilmu. Barangsiapa yang menghendaki keduanya maka dengan ilmu” (HR.

  Bukhori dan Muslim).

  Allah Penguasa di dunia dan di akhirat. Kekuasaan-Nya di akhirat sangat menonjol sehingga tidak satu pun yang mengingkarinya. Semua takut kepada- Nya, tidak seperti dalam hidup duniawi. Di sana, para malaikat yang dekat kepada-Nya pun tidak dapat berbicara kecuali dengan izin-Nya, maka tentu lebih lebih makhluk durhaka. Mereka pasti akan bungkam. Allah adalah Pemilik, Pemelihara, dan Pengatur alam raya dari yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya. Dia bukan sekadar Pencipta, lalu menyerahkan wewenang pengaturan aneka ciptaan-Nya kepada malaikat, baik dipersonifikasi dengan berhala-berhala, maupun tanpa personifikasi (sekadar percaya) (M. Quraish Shihab, 2009: 22-27).

  

   

   

  

  

Artinya : Itulah hari yang pasti terjadi. Maka Barang siapa yang menghendaki,

niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya (an Naba’:39).

  Ayat 39 di atas disebutkan bahwa: "Itulah hari yang pasti terjadi dan jika demikian maka siapa yang menghendaki, untuk menelusuri jalan keselamatan sebelum Jahanam menjadi tempat tinggalnya, maka hendaklah dia sekarang ini juga bersungguh-sungguh menempuh menuju Tuhannya jalan kembali dengan beriman, bertaubat, dan beramal saleh. Ayat tersebut mengandung makna bahwa ganjaran, bahkan balasan yang diberikan Allah adalah bagian dari rahmat-Nya, termasuk yang diterima oleh para pendurhaka. Bukankah merupakan rahmat menghukum yang bersalah. Bukankah merupakan rahmat membedakan antara yang baik dan yang buruk (M. Quraish Shihab, 2009: 22-27). Itulah hari yang pasti terjadi) hari yang pasti kejadiannya, yaitu hari kiamat. (Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabbnya) yakni, kembali kepada Allah dengan mengerjakan ketaatan kepada-Nya, supaya ia selamat dari azab-Nya pada hari kiamat itu. Di hari kemudian setiap orang akan melihat apa yang dikerjakannya di dunia. Itu dapat berarti melihat dengan mata kepala ganjaran dan balasan amalnya, atau bahkan melihatnya kembali sebagaimana yang terjadimelebihi cara manusia sekarang melihat rekaman peristwa-peristiwa (Ismail bin Katsir, 2001: 113).

  Pada hari itu, dalam suasana serba baru, keadilan berjalan sempurna: kepastian bahwa kebenaran (haqq) akan berlaku adalah mutlak. Keadilan sejati juga meliputi eksistensi ini, tapi sebagai makhluk yang terbatas manusia sering tidak mengetahuinya karena manusia tidak dapat memahami semua hubungan timbal-balik di antara berbagai sistem penciptaan yang sangat banyak sekali. Dari sudut pandang Wujud Mutlak tidak pernah ada sedikit pun ketidakadilan. Allah berkata, 'Aku menciptakan mereka untuk api neraka dan Aku tidak perduli.' Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan adil, bil-haqq. Hanya manusialah yang, karena kebodohannya, merusak keseimbangan itu sehingga menciptakan ketidakadilan yang nyata.

  Ungkapan 'Maka siapa yang menghendaki, hendaklah mencari perlindungan kepada Tuhannya' menunjukkan bahwa Allah sedang berbicara kepada orang- orang yang tidak menyadari kenyataan bahwa mereka dipelihara dan disantuni oleh Tuhan. Oleh karena itu ungkapan tersebut merupakan peringatan yang disampaikan kepada mereka yang sekarang berkeinginan untuk menemukan jalan kembali ke wujud tunggal yang telah memberi mereka kebebasan untuk menentang. Allah adalah 'tempat kembali yang berulang-ulang'. Dia berulang-kali menerima manusia kembali, laksana seorang ayah yang penuh kasih dan menyadari bahwa anaknya suka melawan sehingga akan pergi dan pergi lagi. Bilamana sang anak kembali pulang, si ayah menyambutnya, dengan tetap sepenuhnya menyadari bahwa kelak anaknya akan pergi lagi.

  Sifat rendah manusia penuh dengan kecemasan yang tidak menyenangkan. Tapi bagi orang yang percaya akan belas kasih Allah yang mutlak dan berserah diri kepada-Nya, maka takkan ada kecemasan lagi karena ia menerirna apa yang terjadi padanya sebagai hal terbaik baginya. Dari penerimaan yang tulus ini muncullah kepastian. Pada hari pengadilan, hari keputusan, semua keragu-an yang mengandung pertanyaan akan lenyap. Siapa pun yang ingin kembali ke dalam keesaan, yakni warisan sejati yang terkandung dalam hakikatnya, maka ia harus menemukan jalan (Ismail bin Katsir, 2001: 113).

  Jalan menuju pengenalan Tuhan adalah melalui pengenalan nafs, yakni, dengan mengetahui nafs yang rendah, nafs binatang, nafs yang kuat, nafs yang ragu, nafs yang bertingkah atau bersemangat, dan mengetahui gangguan yang disebabkan oleh semua aspek diri yang rendah ini. Kalau sudah mengetahui semua ciri ini maka orang yang berakal akan mampu menghindarinya dalam situasi yang akan datang, dan segala aspek diri yang lebih tinggi akan secara spontan menjadi terpelihara dan mulai berkuasa.

  Diri yang aman dan senang, nafs tinggi yang disucikan, yang tenteram dan damai dalam genggaman Tuhannya, dengan gembira memperkenankan Tuhan untuk berbuat sekehendak-Nya terhadap sang diri dengari mengikuti rancangan yang sempurna. Karena itu, jalan menuju Tuhan terietak pada pengenalan dan penghindaran semua hal yang akan menyebabkan manusia rugi dan kacau. Nilai- nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ayat 39 di atas antara lain: nilai aqidah dan nilai ibadah.

  Adapun Surat an Naba’ ayat 40 adalah sebagai berikut:

    

  

   

  

  

  

Artinya: Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir)

siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata:"Alangkah baiknya Sekiranya dahulu adalah tanah" (an Naba’:40).

  Di hari kemudian setiap orang akan melihat apa yang dikerjakannya di dunia. Itu dapat berarti melihat dengan mata kepala ganjaran dan balasan amalnya, atau bahkan melihatnya kembali sebagaimana yang terjadi melebihi cara manusia sekarang melihat rekaman peristiwa-peristiwa. Penghuni neraka menyesal, penyesalan yang tidak berguna, mengapa mereka harus diwujudkan di dunia untuk memikul tanggung jawab. Karena itu yang berakal hendaknya menggunakan kesempatan hidupnya di dunia, agar tidak menyesal di hari kemudian (M. Quraish Shihab, 2009: 22-27).

  Pada pangkal surat an Naba’ ayat 40 disebutkan bahwa “sesungguhnya telah kami ancam kamu sekalian, dengan azab yang telah dekat. Artinya, sebelum menghadapi hari perhitungan atau hari kiamat itu, ada hari yang lebih dekat lagi, pasti kamu temui dalam masa yang tidak lama lagi. Hari itu ialah hari bercerai dengan dunia fana ini, hari Malaikat Maut mengambil nyawamu: “Di hari yang seseorang akan memandang apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya.”

  Setelah nyawa bercerai dengan badan, maka lepaslah nyawa itu daripada sangkarnya dan bebaslah dia dari selubung hidup fana ini. Maka mulailah kelihatan jelas buruknya dan baiknya, bekas perbuatan tangan sendiri, semuanya kelihatan. Berbesar hati melihat bekas yang baik, bermuram durja melihat catatan yang buruk; manusia mungkin lupa namun dalam catatan Allah, setitik pun tiada yang hilang dan sebaris pun tiada yang lupa: “Dan akan berkata orang yang kafir.” Yaitu orang yang di kala hidupnya hanya menolak mentah-mentah seruan Rasul, dia melihat daftar dosa yang dia kerjakan.

  Pada ujung surat an Naba’ ayat 40 disebutkan “Alangkah baiknya kalau dahulu aku hanya tanah saja ”. Timbullah sesal dan keluhan, pada saat sesal dan keluh tidak ada gunanya lagi: “Kalau aku dahulunya hanya tanah saja, kalau aku dahulunya tidak sampai menjadi manusia, tidak tercatat dalam daftar kehidupan, tidaklah akan begini tekanan yang aku rasakan dalam kehidupan.

  Nabi Muhammad, semoga Allah melimpahkan kedamaian dan rahmat kepada beliau, keluarga dan para sahabatnya yang benar (sudah biasa, apabila disebut nama Nabi Muhammad manusia memohonkan kedamaian dan rahmat Allah untuk beliau, keluarga dan para sahabatnya yang saleh), memperingatkan umat manusia akan batas-batas tempat berakhirnya ketenangan dan berawalnya kerugian. Beliau mewanti-wanti pelanggaran terhadap ketetapan yang sudah disepakati dan menegaskan bahwa ketetapan itu adil; mengingkari dan menolak ketetapan ini berarti membuka diri terhadap penderitaan yang entah apa akibatnya.

  Makna yang paling dalam dari ayat ini adalah bahwa manusia menimpakan penderitaan atas diri manusia sendiri di sini dan saat ini juga, namun manusia tidak menyadarinya karena manusia senantiasa memberikan pembenaran terhadap diri manusia dengan segala macam alasan. Karena manusia memiliki nafs yang meliputi semua hal yang mengandung dan mencerminkan makna Rahmân (Maha Pengasih), dan juga makna syaithdn (setan), maka ia dapat membenarkan setiap tindakan, mulia atau hina, baik atau buruk (Ismail bin Katsir, 2001: 113).

  Pembenaran, sesungguhnya, mempakan cara untuk menghubungkan satu hal dengan hal lain. la mencerminkan hasrat sejati manusia terhadap tauhid yang memang sudah ada menetap dalam diri manusia, tapi sebenarnya merupakan aspek pembenaran yang menyimpang. Siapa pun yang menyatukan niat dan perbuatan, maka ia akan berada dalam keadaan beribadah. la bisa berada pada altar Yang Maha tinggi, yang menghasilkan pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha-kuasa, atau yang menghasilkan khayalan dan keputusan.

  Di hari kemudian setiap orang akan melihat apa yang dikerjakannya di dunia. Itu dapat berarti melihat dengan mata kepala ganjaran dan balasan amalnya, atau bahkan melihatnya kembali sebagaimana yang terjadimelebihi cara manusia sekarang melihat rekaman peristwa-peristiwa. Sebagian dari kondisi atau suasana hari kemudian ketika segala sesuatu disingkapkan bisa dirasakan sekarang oleh manusia jika manusia mau dan sanggup menghentikan pikiran dan perbuatan manusia dan mengadakan introspeksi yang menyeluruh terhadap diri manusia. Jika manusia punya keberanian untuk menghadapi segala niat manusia dan secara jujur mengakui tingkat kesucian manusia, manusia akan melihat sekilas apa arti hari pembalasan ini dan manusia akan memahami makna dari keseimbangan.

  Pada hari pengadilan manusia akan direkonstruksi ulang sesuai dengan niat dan perbuatan manusia di dunia ini. Jika manusia ingin mengetahui kondisi hati manusia di kehidupan mendatang, maka yang perlu manusia lakukan adalah memeriksa kondisi hati manusia di kehidupan ini. Jika kondisi hatinya bersih, maka mmah manusia di kehidupan mendatang akan dekat dengan Sumber penciptaan yang bersih. Jika tidak, maka tempatnya akan berada pada suatu tempat di sepan-jang spektrum, di ujung yang satu adalah api abadi dan di ujung satunya lagi adalah taman-taman yang paling tinggi. Jika manusia secara total menjalani kehidupan sekarang ini, dengan senantiasa menyadari dan memperhatikan diri manusia, maka berarti manusia sedang menjalani hari Kebangkitan itu sekarang.

  'Dan orang-orang kafir akan berkata: Oh, andaikan dahulu aku adalah debu!' Barang siapa menyangkal masa lalu, terputus hubungannya dengan masa lalu, dan secara tiba-tiba sadar telah menyia-nyiakan waktu dan kehidupannya yang berharga, maka ia akan berharap seandainya dahulu hanya menjadi debu saja, dan terlupakan. Sayangnya untuk manusia semacam itu tidak ada yang terlupakan.

  Setiap orang, setiap roh, akan benar-benar dihidupkan kembali dan menyadari sepenuhnya akan arti penting dirinya. Dia tidak akan dapat bersembunyi laksana debu yang sirna di padang pasir. Allah mengatakan bahwa bila seseorang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, maka kebaikan itu akan muncul di hadapannya. Tidak akan ada lagi ceruk untuk nafs menyelinap masuk; semua gang akan dibuka.

  Itulah sebabnya jika seseorang sungguh-sungguh menghadapi dirinya sendiri dalam kehidupan sekarang, maka tindakannya ini menjadi hari pengadilan pribadinya. Inilah salah satu makna dari ucapan Nabi, 'Jika engkau mengenal dirimu, engkau mengenal Tuhanmu', karena urusan Ketuhanan adalah mengungkapkan segala sesuatu secara terbuka dengan segala cara. Manusia semua mencari keabadian pada segala sesuatu dalam kehidupan ini, dalam hubungan dan pengetahuan, dan itulah sebabnya manusia membedakan antara pengetahuan yang benar dengan sekadar informasi. Informasi bisa berubah, seperti ketika obat-obat baru dikembangkan untuk mengobati penyakit tertentu.

  Namun pengetahuan yang benar tidak berubah. Ia bersifat mutlak, dan karena alasan inilah maka manusia semua mencarinya. Pengetahuan yang mutlak adalah berita ini, al-naba`. Apa yang mereka tanyakan? Berita apa yang mereka inginkan? Informasi atau berita lebih tinggi apa lagi yang mereka harapkan selain dari berita kebenaran yang menyatakan bahwa yang ada hanyalah Allah, dan dengan inayah-Nya manusia telah diciptakan. Bila manusia berserah diri kepada Allah dan mengikuti para rasul Allah, manusia akan memasuki alam pengetahuan mutlak yang dicari ini.

  Berdasarkan ayat 38-40 di atas, nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ayat tersebut adalah sebagai berikut: a.

  Nilai Pendidikan Aqidah Nilai aqidah adalah konsep-konsep nilai yang berpusat pada ketuhanan dan diimani manusia sehingga seluruh perbuatan dan perilakunya bersumber pada konsepsi tersebut. Secara terminologi aqidah berarti pengakuan atas keesaan Allah SWTsebagai Sang Pencipta seluruh alam yang melahirkan kepercayaan manusia akan kekuasaan Allah. Nilai ini sangat penting, karena dengan adanya kesadaran setiap muslim atas kekuasaan Allah SWT. yang merajai seluruh alam semesta termasuk ilmu pengetahuan yang pada hakikatnya bagian dari rahmat dan kekuasaan Allah Swt.

  Pondasi aktifitas manusia itu tidak selamanya bisa tetap tegak berdiri, maka dibutuhkan adanya sarana untuk memelihara pondasi yaitu ibadah. Ibadah merupakan bentuk pengabdian dari seorang hamba kepada allah. Ibadah dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah.

  Apabila aqidah telah dimiliki dan ibadah telah dijalankan oleh manusia, maka kedua hal tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, oleh karena itu diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur itu semua. Aturan itu disebut Muamalah. Muamalah adalah segala aturan islam yang mengatur hubungan antar sesama manusia. Muamalah dikatakan berjalan baik apabila telah memiliki dampak sosial yang baik.

  Untuk dapat mewujudkan aqidah yang kuat yaitu dengan cara ibadah yang benar dan juga muamalah yang baik, maka diperlukan suatu adanya ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menjelaskan yang seharusnya dilakukan manusia kepada yang lainya, yang disebut dengan nilai ibadah. Dengan akhlak yang baik seseorang akan bisa memperkuat aqidah dan bisa menjalankan ibadah dengan baik dan benar. Ibadah yang dijalankan dinilai baik apabila telah sesuai dengan muamalah (Ismail bin Katsir, 2001: 113). Rasulullah bersabda:

  ُعِفَتْنَي ُمِلاَعْلا : َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُالله ىَّلَص ِالله ُل ْوُسَر َلاَق : َلاَق ُهْنَع ُالله َي ِضَر ٍّ يِلَع ْنَع ) ِمَلْيَّدلا ُها َوَر( ٍّدِباَع ِفْلَا ْنِم ٌرْيَخ ِهِمْلِعِب

  

Artinya: Dari Ali R.A ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Orang-orang yang

berilmu kemudian dia memanfaatkan ilmu tersebut (bagi orang lain) akan lebih baik dari seribu orang yang beribadah atau ahli ibadah. (H.R Ad-Dailami).

  Orang yang beriman tidak bakal putus asa atau patah hait pada keadaan yang bagaimanapun. Orang yang beriman mempunyai kemauan keras, kesabaran yang tinggi dan percaya teguh kepada Allah SWT. Keimanan membuat keberanian dalam diri manusia. Keimanan terhadap kalimat La Ilaha illa al-Allah dapat mengembangkan sikap cinta damai dan keadilan menghalau rasa cemburu, iri hati dan dengki.

  Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa aqidah itu merupakan satu hal yang sangat fondamental dalam Islam dan dengan sendirinya dalam kehidupan. Kemantapan aqidah dapat diperoleh dengan menanamkan kalimat tauhid La Illaha illa al-Allah. Tiada yang dapat menolong, memberi nikmat kecuali Allah; dan tiada yang dapat mendatangkan bencana, musibah kecuali Allah. Pendek kata, kebahagiaan dan kesengsaraan hanyalah dari Allah.

  b.

  Nilai pendidikan Akhlak Akhlak merupakan kehendak lahir dan jiwa seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan atau tingkah laku yang berupa pekerjaan yang baik dan terpuji baik secara akal dan s

  yara’.Berdasarkan tafsir

  surat an-Naba ’ ayat 38-40 terdapat nilai pendidikan akhlak yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Namun pada ayat 40 dijelaskan mengenai akhlak Manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat, dan telah menjadi kebiasaan. Kata akhlak dalam pengertian ini disebut dalam al-Q ur’andengan bentuk tunggalnya, khulq, pada firman Allah Swt yang merupakan konsiderans pengangkatan Muhammad sebagai Rasul Allah. Dijelaskan dalam al- Q ur’ansebagai berikut:

  ٍميِظَع ٍقُلُخ ٰىَلَعَل َكَّنِإَو

Artinya :Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pengerti

yang agung (QS Al-Qalam :4)

  Beberapa istilah yang bekaitan dengan akhlak. Menurut jamil salibah (ahli bahasa arab kontemporer asal suriah), adalah akhlak yang baik dan ada yang buruk. Akhlak yang baik disebut adab (adab). Kata adab juga digunakan dalam arti etika yaitu tata cara sopan santun dalam masyarakat guna memelihara hubungan baik antar mereka.

  Selanjutnya, dikalangan Ulama terdapat perbedaan pendapat tentang apakah akhlak yang lahir dari manusia merupakan hal pendidikan dan latihan ataukah pembawah sejak lahir. Sebagian mengatakan bahwa akhlak merupakan pembawah sejak lahir orang yang bertingkah laku baik atau buruk karena pembawanya sejak lahir. Karenanya, akhlak tidak bisa diubah melalui pendidikan atau latihan. Pandangan ini dipegang oleh kaum jabariah, salah satu aliran dalam teologi Islam. Sebagian lain berpendapat bahwa akhlak merupakan hasil pendidikan. Karenanya, akhlak bisa diubah melalui pendidikan, dan itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW “diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Malik).

  Pendapat ini dipegang oleh kebanyakan ulamah. Ibnu maskawaih, ketika mengeritik pandangan pertama, mengatakan bahwa pandangan negatif tersebut antara lain akan memebuat segalah bentuk normal dan bimbingan jadi tertolak, orang jadi tunduk pada kekejaman dan kelaliman, serta nak-anak jadi liar karena tubuh dan perkembangan tanpa nasihat dan pendidikan.

  Menurut Quraish Shihab, meskipun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, ada issyarat dalam Al qur’anbahwa manusia pada dasarnya cendrung pada kebajikan. Di dalam Al qur

  ’an diuraikan bahwa iblis menggoda Adam, lalu adam durhaka kepada Tuhan. Sebelum digoda iblis, Adam tidak durhaka artinya ia tidak melakukan sesuatu yang buruk akibat godaan itu, adam menjadi sesat, tetapi kemudian bertobat kepada tuhan sehingga kembali kepada kesuciannya (M. Quraish Shihab, 2009: 35).

  Adapun sasaran ahlak dalam Islam, secara garis besar akhlak manusia mencangkup tiga sasaran, yaitu terhadap Allah Swt, terhadap bersama manusia, dan terhadap lingkungannya. akhlak manusia terhadap Allah Swt bertitik tolak dari pengakuan dan kesadaran bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Swt yang memiliki segalah sifat terpuji dan sempurna.

  Mensucikan Allah Swt dan memuji-nya. Bertaqwa (berserah diri) kepada Allah Swt setelah berbuat atau berusaha lebih dahulu. Berbaik sangka kepada Allah Swt akhlak terhadap sesama manusia, sebagai contoh akhlak terhadap orang tua diantaranya sebagai berikut : (1) Memelihara keridaan orang tua; (2) Berbakti kepada orang tua; dan (3) Memelihara etika pergaulan kepada orang tua. Akhlah terhadap Lingkungan. Dimaksudkan dengan lingkungan disini ialah segalah sesuatu yang berada disekitar manusia, seperti binatang, tumbuhan-tumbuhan dan benda-benda yang tak bernyawa.

  Sementara menurut Ibnu Katsir, akhlak yang dianjurkan Al qur ’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Khalifah menuntut adanya interaksi antara manusia dan alam. Khalifah mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, dan bimbingan agar setiap mahluk mencapai tujuannya (Ismail bin Katsir, 2001: 125). Mahluk-mahluk itu adalah umat seperti manusia juga.

  Al qur’an menggambarkan :                      

    

  Artinya: “dan tiada binatang-binatang yang ada dibumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melaikan umat-umat (juga) seperti kamu… ”(Q.S. al An’am :38).

  Tujuan akhlak sendiri adalah menghasilkan nilai yang mampu menghadirkan kemanfaatan bagi manusia, bukan nilai materi. karena Akhlak adalah salah satu dasar bagi pembentukan kepribadian individu. Tentu saja secara pasti, akhlak sebagai salah satu dasar pembentuk masyarakat tidak akan diabaikan begitu saja. Manusia tidak akan baik kecuali ketika akhlaknya baik. Namun, masyarakat tidak akan menjadi baik hanya dengan akhlak, tetapi dengan dibentuknya pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan dan tingkah laku yang baik dalam kehidupan sehari-hari akan meningkatkan keimanan kepada Allah dan terhindar dari ajaran-ajaran sesat yang berkembang saat ini.

  c.

  Nilai pendidikan Ibadah Pendidikan ibadah adalah proses pendidikan yang mengajarkan kepada seorang anak harus menjalankan rukun Islam pada khususnya dan seluruh ajaran Islam pada umumnya. Sehingga menjadi hamba Tuhan yang taat (Ismail bin Katsir, 2001: 114). sebagaimana firman Allah Swt. sebagai berikut:

  

    

   

  

  

    

Artinya: Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang

baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

  (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.( Q.S Al Ahzab ayat 21).

  Akhlak terhadap sesama manusia, sebagai contoh akhlak terhadap orang tua di antaranya sebagai berikut : (1) Memelihara keridaan orang tua; (2) Berbakti kepada orang tua; dan (3) Memelihara etika pergaulan kepada orang tua. Akhlah terhadap Lingkungan. Dimaksudkan dengan lingkungan disini ialah segalah sesuatu yang berada disekitar manusia, seperti binatang, tumbuhan-tumbuhan dan benda-benda yang tak bernyawa. Nilai ibadah yang dianjurkan al- Qur

  ’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Khalifah menuntut adanya interaksi antara manusia dan alam. Khalifah mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, dan bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuannya.

  Berdasarkan nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam surat an Naba’ ayat 38-40 dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia dianjurkan untuk beribadah kepada Allah Swt.untuk menempuh jalan kebenaran, beribadah serta dapat mengimplementasikan nilai-nilai aqidah karena semua itu akan di pertanggung jawabkan di hari kiamat. Karena setiap orang, setiap roh, akan benar-benar dihidupkan kembali dan menyadari sepenuhnya akan arti penting dirinya. Dia tidak akan dapat bersembunyi laksana debu yang sirna di padang pasir. Allah mengatakan bila seseorang mengerjakan kebaikan sekecil apapun, maka kebaikan itu akan muncul di hadapannya.

  S urat an Naba’ayat 39 di atas disebutkan bahwa: "Itulah hari yang pasti terjadi dan jika demikian maka siapa yang menghendaki, untuk menelusuri jalan keselamatan sebelum Jahanam menjadi tempat tinggalnya, maka hendaklah dia sekarang ini juga bersungguh-sungguh menempuh menuju Tuhannya jalan kembali dengan beriman, bertaubat, dan beramal saleh. Menurut Quraish Shihab ayat tersebut mengandung makna bahwa balasan yang diberikan Allah adalah bagian dari rahmat-Nya, termasuk yang diterima oleh para pendurhaka.

  Se mentara Surat an Naba’ ayat 40 di atas menerangkan bahwa di hari kemudian setiap orang akan melihat apa yang dikerjakannya di dunia. Itu dapat berarti melihat dengan mata kepala ganjaran dan balasan amalnya, atau bahkan melihatnya kembali sebagaimana yang terjadi melebihi cara kita sekarang melihat rekaman peristiwa-peristiwa. Penghuni neraka menyesal, penyesalan yang tidak berguna, mengapa mereka harus diwujudkan di dunia untuk memikul tanggung jawab. Karena itu yang berakal hendaknya menggunakan kesempatan hidupnya di dunia, agar tidak menyesal di hari kemudian.

  Surat an Naba’ ayat 38-40 dalam perspektif ahli pendidikan Islam pada dasarnya tidak menjelaskan secara khusus atau secara terperinci bahwa dalam surat an-

  Naba’ ayat 38-40 mengandung nilai aqidah di nilai ibadah, tetapi Abdul Wahab Khalaf (pengarang terakhir tasyrik) lebih memperhatikan pokok kandungan al-Q ur’an yang terdiri dari 3 kategori yaitu sebagai berikut: (1)

  Masalah aqidah (kepercayaan yang berhubungan dengan hukum lima); (2) Masalah etika; dan (3) Masalah amaliylah.

  Menurut Muhaimin dan Abdul Mujid, nilai aqidah sangatlah kompleks dan sangat banyak. Nilai itu dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Jika dilihat dari sumbernya nilai aqidah Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu: (1) Nilai ilahiyah yaitu nilai yang lahir dari keyakinan yang mencakup nilai kematian dan nilai ibadah; dan (2) Nilai insaniyah yaitu nilai yang lahir dari kebudayaan yang mencakup nilai etika dan sosial (Muhaimin dan Abdul Mujid, 1993: 111). Sementara menurut Moh. Mathna, dalam ayat-ayat Makiyah kebanyakan mengandung masalah aqidah (ketauhidan), masalah kepercayaan adanya Allah Swt, masalah ibadah, mengenai azab dan nikmat dihari kemudian (Moh. Mathna, 2008: 28).

C. Kesimpulan

  Seperti diketahui bahwa pokok-pokok iman itu ada 6 perkara yaitu percaya kepada Allah, percaya kepada malaikat, percaya kepada kitab Allah, percaya kepada Rasul, percaya kepada hari kiamat dan percaya kepada qadha dan qadhar. Keenam pokok iman tersebut harus selalu lengkap dan tidak boleh terlepas walaupun hanya satu diantaranya.

  Nilai pendidikan akhlak yaitu nilai moral, nilai etika dan karakter yang terdapat dalam diri seseorang. Ruang lingkup nilai akhlak mencakup akhlak kepada Allah, akhlak kepada manusia dan akhlak kepada lingkungan. Sebagai umat Islam memang selayaknya akhlak kepada Allah itu harus yang baik-baik jangan akhlak yang buruk. Seperti kalau kita sedang diberi nikmat, kita harus bersyukur kepada Allah. Titik tolak Ahlak kepada orang lain adalah kesadara bahwa manusia hidup di dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang berbeda- beda bahasa dan budaya. Akhlak yang baik terhadap lingkungan adalah ditunjukkan kepada penciptaan suasana yang baik, serta pemeliharaan lingkungan agar tetap membawa kesegaran, kenyamanan hidup, tanpa membuat kerusakan dan polusi sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap manusia itu sendiri yang menciptanya.

  Nilai ibadah yaitu suatu bentuk pengabdian seorang hamba kepada sang pencipta sebagai rasa syukur atas segala nikmat yang telah diterimanya. Ibadah adalah sarana untuk menghubungkan diri kita dengan Tuhan dan untuk membuktikan diri kita sebagai hamba serta sekaligus untuk menegaskan keberadaan Tuhan. Manakala ibadah dilakukan tanpa totalitas penghambaan diri kepada Tuhan, apalagi jika ibadah itu dilakukan sebagai manifestasi kepentingan pribadi kita sebagai manusia, yakni untuk memperoleh manfaat biologis, dengan kata lain, ibadah yang kita lakukan bukan mur ni penghambaan diri yang dilakukan secara ikhlas dan khusyuk kepada Allah Swt.

DAFTAR PUSTAKA

  Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995 Abdurrahman Saleh, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Quran, terj. H. M.

  Arifin, Bandung: Rineka Cipta, 1994 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2010.

  Ismail bin Katsir, Tafsir Ibn Katsir, ter:Bahrun Abu Bakar, Vol. VII, Bandung: Sinar Baru Algensindo: 2001

  Muhaimin dan Abdul Mujid, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosof dan

  Kerangka Dasar Operasional , Bandung Trigenda Karya: 1993

  Muhammad Zaini,

  Pengantar ‘Ulumul Qur’an, Banda Aceh: Pena, 2012 M. Quraish Shihab, Al Misbah, Volume XV, Ciputat: Lentera Hati, 2009.

  Moh. Mathna, Pendidikan Agama Islam, Jakarta, 2008

Dokumen yang terkait

1 KRISIS KREATIFITAS DALAM PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER Oleh: Rasyidin Muhammad Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN-Malikussaleh Lhokseumawe- Aceh ABSTRAK - View of KRISIS KREATIFITAS DALAM PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

0 0 15

THAHARAH SEBAGAI KUNCI IBADAH Oleh : Dra. Hj. Aisyah Maawiyah, M.Ag ABSTRAK - View of THAHARAH SEBAGAI KUNCI IBADAH

0 0 17

PENGARUH TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS DAN KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP KINERJA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH (Studi Pada Pemda Kabupaten Aceh Selatan)

1 2 9

STAIN Malikussaleh Lhokseumawe ABSTRACT - View of PERLAKUAN AKUNTANSI IJARAH PADAPEMBIAYAAN QARDH BERAGUN EMAS (RAHN) DI BANK ACEH SYARIAH CABANG LHOKSEUMAWE

0 0 30

PENGARUH DIVIDEN TUNAI, ARUS KAS BEBAS, DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP UTANG PADA PERUSAHAAN PERTAMBANGAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA.

0 0 10

View of HAK WARIS BAYI TABUNG DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

0 0 21

PROBLEMATIKA PENGELOLAAN ZAKAT PADA BAITUL MAL ACEH Zulhamdi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe E-Mail: zoel_hamdiyahoo.co.id ABSTRACT - View of PROBLEMATIKA PENGELOLAAN ZAKAT PADA BAITUL MAL ACEH

0 0 18

ANALISIS PENGARUH PEMBIAYAAN KONSUMTIF DAN PRODUKTIF TERHADAP PENDAPATAN BSM KCP LHOKSEUMAWE PADA PERIODE OKTOBER 2012 SAMPAI JUNI 2015 Harjoni Desky, S.SosI.,M.Si Dosen IAIN Malikussaleh Lhokseumawe Email:harjonideskyyahoo.com, Abstrak - View of ANALISIS

0 1 15

PENGARUH PELUANG PERTUMBUHAN, MODAL KERJA BERSIH, DAN FINANCIAL LEVERAGE TERHADAP CASH HOLDING PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA

2 1 10

View of PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF BERBASIS MICROSOFT POWER POINT PADA SISTEM KOORDINAT KARTESIUS

0 1 21