RESEPSI PEMBACA TERHADAP TJERITA NJAI DASIMA

RESEPSI PEM BA CA TERHA DA P TJERITA NJAI DASIM A
Reader Reception toward Tjerita Njai Dasima
Yulitin Sungkowati

Balai Bahasa Surabaya, Jalan Siwalanpanji II/ I, Buduran, Sidoarjo
Telepon: 08155055022, Pos-el: yulitina@yahoo.com
Naskah masuk: 3 Agustus 2011 – Revisi akhir: 2 Desember 2011

Abstrak: Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan bentuk dan perubahan resepsi pembaca terhadap Tjerita
Njai Dasima dengan teori resepsi sastra dan metode resepsi diakronis. Penelitian ini menghasilkan temuan
bahwa sejak era kolonial hingga era reformasi Tjerita Njai Dasima telah mendapat tanggapan berupa
karya-karya baru dalam bentuk puisi, prosa, teks drama, skenario film, film, sinetron, dan drama musikal.
Perubahan resepsi terjadi dari generasi ke generasi seiring dengan perubahan zaman dan perubahan
horison harapan pembacanya. Resepsi pada masa sebelum kemerdekaan menunjukkan ideologi prokolonial
dan pada era awal kemerdekaan sebaliknya, antikolonial. Resepsi pembaca yang muncul di era Orde
Baru berisi kritik sosial terhadap pembangunan dan di era reformasi memperlihatkan semangat pluralisme
dan kebebasan.
Kata kunci: resepsi sastra, pembaca, horison harapan, diakronis, dan semangat zaman
Abstract: This paper is aimed at describing the form and the change reader reception toward
Tjerita Njai Dasima by using reception of literary theory and diachronic reception method. This
research revealed that since colonial period until reformation period, Tjerita Njai Dasima got

appreciation in the form of new literary works such as poem, prose, drama text, film scenario, film,
series, and musical drama. The change of reception can be seen from generation to generation,
together with the development and reader’s horizon expectation. The reception before independence showed procolonial ideology. While, in the early independence period tended to be anticolonial. Reader reception emerged in the new era period showed social critic toward development,
while in the reformation period was in the form of spirit of pluralism and freedom.
Key words: reception of literary, reader, horizon of expectation, diachronic
I.

Pendahuluan

Novelet berjud ul Tjerita Njai D asima
diterbitkan pertama-tama tahun 1896 oleh
penerbit Kho Tjeng Bie & Co milik etnis
keturunan Tio ng ho a d i Betaw i (To er,
2003:46). Novel itu kemudian dicetak ulang
oleh penerbit Druk, F.O. Camoeni, Batavia
pada tahun 1926, oleh penerbit Kho Tjeng
Bie & Co tahun 1930, oleh penerbit Hasta
Mitra tahun 1982, oleh penerbit Lentera
Dipantara tahun 2003, dan o leh penerbit
Masub tahun 2007. Samp ul luar naskah

terbitan pertama sudah rusak dan diganti

d engan sam p ul baru yang d ibuat o leh
Perp ustakaan Museum Pusat. G. Francis
dianggap sebagai orang yang pertama kali
m enulis kisah N y ai D asim a (Salm o n,
1985:31). Berkat karya G. Francis itulah,
cerita Nyai Dasima populer di masyarakat
dan mulai muncul dalam berbagai versi
(Danandjaja dlm. Nda/ B-2, 2001).
Nyai Dasima menjadi tokoh yang hidup
di antara fakta dan fiksi. Sebagian orang
m eng ang g ap ny a benar-benar ny ata,
sedangkan yang lain meragukannya. Orang

195

METASASTRA, Vol. 4 No. 2 , Desem ber 2011: 195—207
yang memercayainya sebagai kisah nyata
mendasarkan argumennya pada adanya

penyebutan angka tahun 1813 dan catatan
di halaman pertama novelet G. Francis yang
berbunyi ‘ Tjerita Bagoes Sekali jang Belon
Berapa Lama Soedah D jadi di Betawi” serta
“ D engen Terhias Gambarnja Njai D asima”
(Francis,1896:1).
Sebag ian o rang
menganggap kisah Nyai Dasima merupakan
karya fiksi yang merefleksikan zamannya
dan ideologi pengarangnya (Sungkowati,
2007). Junus (1999) mengatakan bahwa G.
Francis, yang mendasarkan ceritanya pada
laporan orang lain karena ada perbedaan
w aktu p eristiw a (1813) d an w aktu
penulisan (1896), dipengaruhi oleh ideologi
y ang d o m inan p ad a abad 19 d an
subjektivitasnya sebagai bagian dari bangsa
kolo nial sehingga karyanya tidak d apat
dijadikan sebagai dokumen sejarah. Hellwig
(1992:3—4) meragukan cerita Nyai Dasima

sebagai kisah nyata justru karena adanya
foto Nyai Dasima dalam novelet G. Francis
y ang tid ak d ap at d ip astikan sebag ai
perempuan yang sama dengan foto Nyai
Dasima dalam buku syair O.S. Tjiang.
Para pengamat pun menyikapi berbagai
karya sastra baru tentang Nyai Dasima
yang muncul sejak zaman kolonial hingga
era reformasi secara berbeda-beda. Kalangan
y ang m engangg ap cerita N yai D asim a
sebagai kisah nyata memand ang karyakarya sastra tentang Nyai Dasima yang
d ihasilkan kem ud ian d an tid ak sesuai
dengan karya G. Francis sebagai kesalahan,
p eny im p ang an, atau p eng khianatan
terhad ap teks “ asal” . Sebagian kalangan
yang menganggapnya sebagai karya fiksi
mendasarkan argumennya pada adanya
peran pengarang dalam penciptaan suatu
karya sastra sebagaimana d ikemukakan
oleh Wellek dan Warren, (1990:276—277)

bahw a kehidupan yang tergambar dalam
karya sastra merupakan kehidupan yang
telah melew ati proses pemilihan berdasar
sud ut p and ang
d an kep enting an
pengarangnya sehingga dapat diperindah,
diejek, atau digambarkan bertolak belakang
dengan kehidupan yang sebenarnya.
Penulis berpendapat bahw a berbagai
196

karya sastra yang bertutur tentang Nyai
Dasima yang berbeda dengan novel Tjerita
Njai D asima karya G. Francis tidak dapat
dipandang sebagai penyimpangan, tetapi
merupakan suatu bentuk resepsi pembaca.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
terhad ap feno m ena m unculny a resep si
pembaca itu dengan sebuah p endekatan
yang dapat menjaw abnya. Masalah yang

menjadi fokus tulisan ini adalah bagaimana
bentuk dan perubahan resep si p embaca
terhadap Tjerita Njai Dasima sejak terbitnya
tahun 1896 hingga tahun 2010? Tujuannya
adalah untuk mendeskripsikan bentuk dan
perubahan resepsi pembaca terhadap Tjerita
Njai Dasima sejak terbitnya tahun 1896
hing g a tahun 2010. Teo ri y ang sesuai
dengan masalah dan tujuan penelitian ini
ad alah teo ri resep si sastra yang asumsi
dasarnya mengatakan bahwa karya sastra
akan d itang g ap i secara berbed a d ari
generasi ke generasi (Jauss, 1983:21).

2. Kajian Teori
2.1 Resepsi

Resep si d ap at d iartikan sebag ai
tang g ap an, p enerim aan, atau resp o n.
Resepsi sastra berarti tanggapan pembaca

terhadap karya sastra. Karya sastra dapat
hidup karena partisipasi aktif pembacanya
(Jauss, 1983:19). Teori ini menempatkan
pembaca pada posisi yang penting karena
karya sastra hanyalah artefak jika tidak
mendapat tanggapan pembaca. Karya sastra
d irasakan had ir karena p eng alam an
pembaca sehingga realisasi makna karya
sastra bersifat estetis subjektif dan bukan
estetis objektif (Fokkema, 1977:143). Teori
yang mengemukakan bahw a pembacalah
yang memberi makna pada karya sastra ini
telah menggeser fo kus p enelitian karya
sastra dari struktur teks ke arah penerimaan
o leh p em baca. Berd asarkan p embagian
sud ut p and ang p end ekatan sastra
sebagaimana dikemukakan A brams, teori
resep si term asuk d alam p end ekatan
pragmatik.
Jauss (1983:19—20) mengemukakan

bahw a d alam seg itig a sem io tik antara

Y ULI TI N SUN GKOW ATI : RESEPSI PEMBACA TERHADAP TJERI TA NJAI D ASI MA

p eng arang — kary a
sastra— p em baca,
pembaca menduduki posisi yang penting
karena pembaca bukan bagian yang pasif,
melainkan justru menjadi energi pembuat
sejarah. Sejarah sastra tid ak m ung kin
disusun tanpa partisipasi aktif pembacanya.
Kaitan antara karya sastra d an pembaca
mem iliki imp likasi estetis d an histo ris.
Implikasi estetis tampak pada kenyataan
bahw a p enerima p ertama sebuah karya
sastra o leh pembaca mencakup uji nilai
estetik d alam p erband ingannya d engan
karya-karya yang telah dibaca, sedangkan
implikasi historis terlihat dari fakta pembaca
pertama akan dilanjutkan atau diperkaya

melalui resepsi atau penerimaan lebih lanjut
dari generasi ke generasi.
Jauss (1983:20—42) mengemukakan
tujuh tesis, yaitu p engalaman p embaca,
horiso n harapan p embaca, jarak estetik,
semangat zaman, rangkaian sejarah, aspek
d iakro nik— sinkro nik, d an hubung an
sejarah sastra—sejarah umum. Pengalaman
p em baca berp eran d alam m enentukan
kesejarahan sastra, tidak hanya tergantung
kepada fakta-fakta sastra yang telah mapan,
tetap i p ad a p erjalanan kesastraan
sebelumnya. Oleh karena itu, karya sastra
bukan o bjek y ang berd iri send iri yang
m enaw arkan p and ang an y ang sam a
kepada setiap pembaca pada setiap periode,
tetapi seperti orkestrasi yang selalu memberi
reso nansi-reso nansi baru d i antara
p em bacany a. Ho riso n harap an ad alah
p eng etahuan atau w aw asan tentang

kehidupan yang mencakup pengetahuan
kesastraan yang dimiliki seorang pembaca.
Jarak estetik ad alah jarak antara batas
harapan-harapan yang ada dan penampilan
sebuah karya baru yang p enerimaannya
menghasilkan perubahan harapan melalui
penyangkalan terhadap pengalaman estetik
y ang sud ah d ikenal. Sem ang at z am an
memungkinkan warna resepsi yang berbeda
antara berbagai pembaca dalam berbagai
p erio de karya sastra. Rangkaian sejarah
sastra menemp atkan karya sastra tid ak
hany a d alam p erkem bang an histo ris
penerimaannya, tetap i juga penyusunan
hasil karya ind ivid ual. Secara sinkronis

karya sastra diterima p ada suatu w aktu
sesuai d engan atau bagi p embaca p ad a
w aktu itu, sed angkan secara d iakro nis,
sastra diterima dengan cara yang berbedabeda tiap periode sesuai dengan horison

harap an p em baca p ad a tiap m asany a.
Sejarah sastra memiliki hubungan yang unik
d eng an sejarah um um . Kary a sastra
membantu menentukan horiso n harapan
pembaca dengan menumbangkan nilai-nilai
yang telah mapan dalam masyarakat, tetapi
fungsi sosial sastra hanya dapat terw ujud
jika p eng alam an kesastraan p em baca
m em bentuk interp retasi d unia d an
menentukan tindakan-tindakannya.
2.2 Pembaca

Pembaca dalam teori resepsi beragam
m acam ny a. Iser (1987:27) m em bag i
pembaca menjadi dua jenis, yaitu pembaca
nyata d an p embaca hip o tesis. Pem baca
hipotesis terbagi menjadi pembaca ideal dan
p em baca ko ntem p o rer. Pembaca ny ata
ad alah p em baca y ang m elakukan
p embacaan terhad ap suatu karya sastra
secara nyata. Pembaca nyata dapat dikenali
d ari reaksi-reaksi
terd o kum entasi,
sedangkan pembaca hipotesis adalah siapa
saja yang diproyeksikan, semua aktualisasi
potensial teks. Pembaca ideal tidak eksis
secara o bjektif, sed ang kan p em baca
kontemporer, meskipun eksis, tetapi sulit
untuk dibentuk dalam suatu generalisasi.
Segers (1978:50—53) mengelompokkan
p embaca ke dalam tiga go lo ngan, yaitu
p em baca id eal, p em baca im p lisit, d an
pembaca real. Pembaca ideal adalah suatu
konstruksi hipotesis yang dibuat oleh ahli
teori dalam proses interpretasi. Pembaca
ideal ini sejajar dengan konsep superreader
yang dikemukakan oleh Micheal Rifattere.
Pem baca im p lisit ad alah keseluruhan
ind ikasi tekstual y ang m eng arahkan
pembaca real. Pembaca implisit merupakan
faktor imanen teks yang mempunyai satu
jenis ciri tand a y ang sering mend ap at
tanggap an p embaca real secara berbedabeda. Golongan pembaca ini sejajar dengan
implied reader d alam p em bag ian Iser.
Pembaca real adalah pembaca dalam arti
197

METASASTRA, Vol. 4 No. 2 , Desem ber 2011: 195—207
fisik, yaitu orang yang melakukan tindak
pembacaan secara nyata. Pembaca nyata
dibutuhkan dalam studi-studi mengenai
reaksi p embaca, yaitu bagaimana suatu
karya telah diterima oleh pembaca tertentu.
Penilaian, komentar, dan pendapat pembaca
tentang karya yang dibacanya merefleksikan
berbagai sikap dan norma publik tersebut.
Reko nstruksi terhad ap reaksi p em baca
ny ata y ang terd o kum entasi akan
m erefleksikan no rm a-no rm a m ereka
sehingga dapat diperoleh gambaran tentang
no rma-norma d an selera masing-masing
masyarakat pembaca (Iser, 1987:28).
Pem baca bukan fakto r y ang stabil
karena dipengaruhi oleh waktu, tempat, dan
situasi
so sial
bud ay a
y ang
m elatarbelakang iny a. Perubahan y ang
terjad i p ad a latar belakang so sial akan
mempengaruhi makna yang diungkapkan
sehingga tidak tertutup kemungkinan suatu
karya sastra akan memperoleh makna yang
berm acam -m acam d ari p em baca y ang
berm acam -m acam p ula (Cham am ahSoeratno,1994:21). Pembaca dapat bersifat
pasif hanya dengan memberi makna, tetapi
d ap at p ula berlaku aktif d eng an
menghasilkan teks lain. Teks asal mungkin
diperlakukan secara “ utuh” , tetapi mungkin
jug a
d eng an
m eng ubahny a
(Junus,1984:189).
Pembaca yang menjadi fokus perhatian
dalam penelitian ini adalah pembaca nyata
yang berlaku aktif, yaitu pembaca yang
menghasilkan karya sastra baru. Dengan
kata lain, pengarang.

3. M etode
Penelitian ini termasuk jenis penelitian
d eskrip tif kualitatif. Penelitian d eng an
m eto d e kualitatif m eng hasilkan d ata
deskriptif mengenai sasaran yang diamati
o leh p eneliti (A sw atini, 2007:25— 26).
Menurut Teeuw (1984:208—218) ada tiga
metode penelitian resepsi sastra, yaitu (1)
p enelitian
resep si
sastra
secara
eksperimental, (2) penelitian resepsi lewat
kritik sastra dan penciptaan karya sastra
“ baru” , d an (3) p enelitian resep si

198

intertekstual. Penelitian (1) hanya d ap at
dilakukan untuk resepsi masa kini. Penelitian
(2) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
secara sinkro nik d an secara d iakro nik.
Penelitian resepsi secara sinkronik berarti
meneliti resepsi sastra dalam satu kurun
w aktu atau satu periode saja, sedangkan
penelitian resepsi sastra secara diakronik
berarti meneliti resepsi sastra sep anjang
sejarahny a d ari p erio d e ke p erio d e.
Penelitian (3) dapat dilakukan dengan cara
membandingkan karya-karya yang memiliki
kaitan intertekstual. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian (2),
yaitu metode resepsi sastra secara diakronik.
Sumber data penelitian ini adalah karyakarya sastra yang bertutur tentang Nyai
Dasima yang muncul sep anjang sejarah
sejak terbitnya yang pertama tahun 1896
sampai dengan tahun 2010 dan dokumend o kum en y ang berkaitan d eng anny a.
Peng um p ulan d ata d ilakukan d eng an
metode studi pustaka yang ditopang dengan
teknik baca, catat, simak, dan transkripsi.
Data d ikelomp okkan berd asarkan tahun
kemunculannya. Untuk melihat perubahan
resepsi, dipilih lima karya secara khusus,
yaitu novel Njai Dasima (1926) karya A. Th.
Manusama, teks d rama “ Njai D asim a”
(1965) kary a S.M . A rd an, p uisi “ N y ai
D asim a” (1980-an) kary a W .S. Rend ra,
novel Nyai Dasima (2000) karya Rahmat Ali,
d an Ny ai D asimah (2004) kary a Yuliad i
Soekardi dan U. Syahbudin. Lima karya itu
dianalisis dan ditafsirkan dengan melihat
hubung an antarkary a, p eng arang d an
ho riso n harap anny a, serta sem ang at
z am anny a. Penafsiran tid ak d ap at
dipisahkan dari analisis karena penafsiran
m erup akan p encarian y ang lebih luas
berkaitan d engan p enemuan-p enemuan
(Nazir, 1999:437).

4. Temuan dan Pembahasan
4.1 Bentuk Resepsi Pembaca

Sep anjang sejarah, d ari tahun 1896
samp ai d engan tahun 2010, Tjerita Njai
D asima telah mendapat tanggapan dalam
beragam bentuk. Pada periode 1896—1944

Y ULI TI N SUN GKOW ATI : RESEPSI PEMBACA TERHADAP TJERI TA NJAI D ASI MA

(masa sebelum kemerdekaan) muncul resepsi
dalam bentuk p uisi (syair) Sair Tjerita di
Tempo Tahoen 1813 Soeda Kedjadian di Betawi,
Terpoengoet Tjeritanja dari Boekoe N jaie
Dasima karya Lie Kim Hok dan syair O.S.
Tjiang berjudul Sair Tjerita di Tempo Tahon
1813 jang Belon Brapa Lama Soeda Kadjadian
di Batawi, Terpoengoet Tjeritanja dari Boekoe
Njaie D asima, Boekoe ini A da Satoe Boekoe
Nasihat, Bergoenanja Boeat Kasi Persent Saorang Prampoean jang D itinggalken Harta
Benda (Salmo n, 1985:31—32). Ked uanya

muncul pada tahun 1897. Pada tahun 1922,
syair ini diubah dalam bentuk manuskrip
oleh pengarang Malaysia bernama Ahmad
Baram ha d an d itulis d eng an nam any a
(Chamber-Loir, 1994). Pada aw al abad ke20, resepsi pembaca muncul dalam bentuk
syair lagu keroncong. Transkripsi dua lirik
lagu keroncong yang bercerita tentang Nyai
Dasima ini dapat dilihat pada tulisan Kenji
Tsuchiya (1990:76—77). Sekitar tahun 1926,
hadir novel berbahasa Belanda berjudul Njai
Dasima, het Slachtoffer van Bedrog en Misleading. Een Historisch Zedenroman van Batavia

d an no v el berbahasa M elay u Rend ah
berjudul Njai Dasima: Tjerita Satoe Prempoean
Eilok jang Kena Boedjoekan, Hingga Menjadi
Korban dari Pemboenoehan Hebat. Keduanya

d itulis o leh p eng arang Eurasia, A . Th.
Manusama.
Resepsi pembaca dalam bentuk drama
terlihat lewat komedi stamboel Miss Ribut
yang telah mementaskan cerita ini tid ak
kurang d ari 127 kali (To er, 2003:47).
Sand iw ara
D ard anela
jug a
telah
mementaskan cerita Nyai Dasima dalam
law atannya ke berbagai negara sebelum
Perang D unia ke II. Leno ng Betaw i
menjad ikan kisah Nyai Dasima sebagai
andalan pementasannya. Di kota Malang,
kisah ini jug a m uncul d alam seni
pertunjukan ludruk (Janarto, 1990).
Film y ang meng ang kat kisah Ny ai
Dasima adalah produksi Tan’ s Bersaudara
berjud ul “ D asim a” p ad a tahun 1929,
“ D asim a II” p ad a tahun 1930, d an
“ Pem balasan N ancy ” (“ N ancy Bikin
Pem balesan” ) atau “ N jai D asim a III” .
Tahun 1940, Jav a Ind ustri Film (JIF)

m em buat film berjud ul “ D asim a”
(Wahyudi, 2007).
Roestam Sutan Palindih menuliskan
kembali cerita Nyai Dasima dengan judul
D asima, Kissa Lama M enoeroetkan Langgam
Baru tanpa menggunakan kata Nyai, yang
kemungkinan diterbitkan pada tahun 1940
o leh p enerbit Ko lff-Buning, Yo gyakarta.
Tsuchiya (1990:76) menyebut teks ini sebagai
skenario film. Junus (1999:84—86) menyebut
teks Palindih dengan judul Dasima, tanpa
kata N y ai d an subjud ul. M enurutny a,
meskipun tidak ditulis dalam format screenplay , jejak film masih terasa dalam versi ini.
Pad a p erio d e kemerd ekaan (1945—
2010), resepsi pembaca dapat dibagi menjadi
tiga periode. Pada periode 1945—1966 (awal
kemerdekaan—Orde Lama) muncul prosa
dan drama. Pada tahun 1960, S.M. A rdan
menulis cerita sandiwara Njai Dasima yang
d im uat bersambung d alam surat kabar
W arta Berita p ad a bulan Sep tem ber—
O kto ber. Tahun 1963, M elani Tjio k
memublikasikan cerita bersambung Hikajat
Njai Dasima dalam rubrik “ Lentera” , surat
kabar Bintang Timoer tanggal 17 Februari, 24
Februari, dan 5 Maret. Pada tahun 1964,
A rd an m enulis naskah d ram a “ N jai
Dasima” dan mementaskannya berkeliling
di berbagai kota. Naskah drama yang terdiri
atas tiga babak itu kemudian diterbitkan
d alam bentuk buku o leh Triw arsa p ad a
tahun 1965 (Rizal, 2006).
Pada periode 1967—1998 (Orde Baru),
pentas lenong Betawi masih menghadirkan
kisah Nyai Dasima sebagaimana terlihat
d alam transkrip si Keith Fo ulcher (2004)
yang d id asarkan p ad a p entas lenong d i
Taman Ismail Marzuki pada tanggal 27 September 1969. Resepsi pembaca juga muncul
d alam bentuk film (tahun 1970) y ang
diproduksi oleh Chitra Dewi Film Production berjudul “ Samiun dan Dasima” . Tahun
1971, drama Nyai Dasima karya S.M. Ardan
dimuat ulang sebagai cerita bersambung
oleh majalah Budaya Jaya dan diterbitkan
dalam bentuk buku oleh penerbit Pustaka
Jaya.
Tahun 1982, Pramoedya A nanta Toer

199

METASASTRA, Vol. 4 No. 2 , Desem ber 2011: 195—207
menerbitkan Tjerita Njai D asima karya G.
Francis dalam antologi sastra pra-Indonesia,
Tempo D oeloe, yang diterbitkan oleh Hasta
Mitra d an kemudian dicetak ulang oleh
penerbit Lentera Dipantara sebagai ed isi
revisi pada tahun 2003. Di samping foto
N y ai D asim a d an g ambar may at Ny ai
D asim a y ang “ d ihilang kan” , p ad a
suntingan Pramoedya juga terdapat bagian
(kata, kalimat, paragraf) yang “ hilang” dan
“ berubah” , seperti kata bodo menjadi pintar,
d ari teks G. Francis (lihat Sungko w ati,
2006:73—76).
Pad a tahun 1980-an, W .S. Rend ra
membacakan dan merekam puisi berjudul
“ Nyai Dasima” . Tahun 1988, Harry Aveling
m enerjem ahkan Tjerita N jai D asima
sunting an Pram o ed y a A nanta To er ke
dalam bahasa Inggris dengan judul “ The
Sto ry o f Nyai Dasima” d iterbitkan o leh
penerbit Monash University. Naskah ini
kemudian dicetak ulang pada tahun 1996
dengan jud ul Nyai D asima oleh p enerbit
yang sama.
Pada tahun 1990, Herry Gendut Janarto
menyadur bebas cerita Tjerita Njai D asima
dalam rangka memperingati ulang tahun
ke-463 kota Jakarta dan diterbitkan dalam
majalah Femina nomor 24/ XVIII, tanggal
21—27 Juni sebagai suplemen. Teks saduran
Janarto diberi tambahan pantun dan fotofoto film “ Dasima” produksi Tan Bersaudara
tahun 1926. Tahun 1993, Rahm at A li
menulis cerita rakyat Betawi, salah satunya
adalah cerita Nyai Dasima. Setelah dunia
film melesu dan digantikan dunia televisi,
Nyai Dasima pun dibuat sinetron oleh Focus A udio V isual Production House d an
ditayangkan oleh stasiun televisi RCTI pada
tahun 1996—1997.
Pad a p erio d e 1999— 2010 (O rd e
Reformasi) terbit novel Nyai Dasima karya
Rahmat A li (2000). Pada tanggal 27—28
Juni 2001, Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) D ance Company mementaskan
drama musikal berjudul “ Madame Dasima:
To Fall in Love with Someone You are Not
Supposed to” di Graha Bakti Budaya, TIM,
Jakarta. Tahun 2004, terbit buku cerita

200

rakyat yang ditulis oleh Yuliadi Soekardi dan
U. Syahbudin dengan judul Nyai Dasimah
sebagai cerita rakyat Betawi dan diterbitkan
oleh penerbit Pustaka Setia, Bandung. Pada
tang g al 17 Juli 2005, Trans TV jug a
menayangkan sinetron komedi Senyum Nyai
D asima. Veven Sp W ard hana menyad ur
cerita Nyai Dasima dan mengungkap seputar
kehidupan p ara nyai dalam sinetro nnya
yang berjudul Nyai Desi Nyai Imah. Trans
TV kembali menayangkan sinetron berjudul
“ Nyai Dasima” pada tanggal 2 Maret 2007.
Tahun 2007, drama Nyai Dasima karya S.M.
A rd an d iterbitkan ulang o leh p enerbit
Masub. Dalam terbitan ini disertakan pula
versi G. Francis.
4.2 Perubahan Resepsi Pembaca

(1) Resepsi Th. A. Manusama
Dalam novelnya, Njai D asima: Tjerita
Satoe Prempoean Eilok jang Kena Boedjoekan,
Hingga M enjadi Korban dari Pemboenoehan
Hebat , A . Th. M anusam a m elakukan
p erluasan p lo t d eng an m em berikan
pengantar latar belakang cerita dan di akhir
mengemukakan pengadilan terhadap orang-o rang p ribumi atas kem atian Ny ai
D asim a. Resep si A . Th. M anusam a
m em p erlihatkan d ukung anny a p ad a
p enerap an p o litik id entitas d an p raktik
pernyaian yang dilakukan oleh penguasa
kolonial. Ia mengafirmasi teks Tjerita Njai
D asima yang prokolonial, bahkan dengan
intensitas yang lebih kuat. Keberpihakan
pada kolonial terlihat dalam penggambaran
p ribumi yang sangat buruk, baik fisik,
karakter maupun sebutannya, sep erti si
kolot, si bodoh, iblis perempuan, si lidah
jahat, ibu terkutuk, istri durjana, jahanam
besar, prampoean-prampoean berhati palsu ,
p esakitan, bumiputera kamp ungan, dan
pengeret (Sungkow ati, 2007). Nyai Dasima
digambarkan sebagai p erempuan p ezina
dan gila harta, sebuah gambaran yang lebih
buruk darip ad a teks G. Francis. Opo sisi
pribumi >< Eropa, Islam >< Kristen, terjajah
>< penjajah pun sangat ditonjolkan. Nyai
Dasima yang kembali pada agama Islam
disebut telah jauh tersesat dan tidak akan

Y ULI TI N SUN GKOW ATI : RESEPSI PEMBACA TERHADAP TJERI TA NJAI D ASI MA

bisa kembali. Bahkan, pernyaian dinilai lebih
baik daripada perkawinan cara Islam.
Resep si A . Th. Manusama itu tid ak
dapat dilepaskan dari latar belakang dan
ko nteks z am anny a. A . Th. M anusam a
merupakan Indo-Belanda. Novelnya ditulis
sekitar tahun 1926 ketika benih-benih
nasio nalism e sud ah tum buh subur d i
kalangan pribumi. Bangkitnya nasionalisme
pada awal abad ke-20 ini telah mengarah
p ad a tujuan kemerd ekaan (Karto d ird jo ,
1984:13— 14).
Situasi
z am an
itu
kem ung kinan
m em p eng aruhi
Th.
Manusama, sebagai bagian dari kekuasaan
y ang kian terancam o leh bang kitny a
nasionalisme sehingga menulis Njai Dasima
d eng an nad a marah d an benci kep ad a
p ribum i lebih kuat d arip ad a y ang
ditunjukkan oleh G. Francis (Sungkowati,
2007).

(2) Resepsi S.M. Ardan
Resep si S.M . A rd an m uncul d alam
bentuk naskah drama tiga babak. Karena
m erup akan naskah d ram a, teks “ N jai
Dasima” didominasi oleh dialog. S.M. Ardan
m em buat p erubahan y ang sang at
signifikan. Ia menceritakan bahw a Nyai
Dasima pergi meninggalkan Edward William bukan karena bujukan pribumi dengan
d alih ajaran Islam , m elainkan karena
kesadaran terhadap martabatnya sebagai
pribumi.
“ Saja tidak sudi direndahkan,” omongan
Dasima mulai teratur, “ habis sud ah
kesabaran saja. Saja...juga marah sama
tuan.”
“ Ije...,” kata Mak Leha lagi.
“ Memang sudah lama saja tidak tahan
lagi. Bagi saja tidak ada djalan lain ketjuali
keluar dari gedong. Saja...saja minta
tjerai....”
Mak Bujung terlontjat, “ Tuan bilang
ape?”
“ Tuan tjo ba bud juk saja,” Dasima
menggeleng, “ tapi pertjuma sadja, karena
saja ingin bisa kembali kepada banga saja,
sud ah lama saja tid ak tahan lag i.”
(Ardan, 1965)

Nyai Dasima juga tidak digambarkan
sebagai perempuan haus harta sebagaimana
d alam teks G. Francis, tetap i sebag ai
perempuan dengan naluri keibuan yang
tinggi sehingga menjadi sedih dan bimbang
ketika harus meninggalkan anaknya.
“ Ada satu soal yang betul² bikin saja
bingung,” kata Dasima dan dengan suara
mo ho n bantuan d isambung nja,
“ bagaimana dengan Nancy, Mak?”
“ A pe Nji, Nengsi?” Mak Buyung jadi
bingung.
Dasima minta pengertian lawan bicara.
“ Tuan mau lepas saja, tuan mau kasih
saja uang, barang segala rupa. Tapi Nancy
tuan jang ambil, Mak.”
Mak Bujung coba meringankan beban
madjikannya, “ Ah, kan Njai masih bisa
ketemu Nengsi.”
“ Apa arti harta dibandingkan dengan
Nancy seorang, Mak,” jawab Dasima
dengan air mata mengembang. “ Bagi saja
dia adalah segala-galanja, Mak,” lalu
menuju korsi dan mendjatuhkan diri di
sana
sambil
meng eluh.
“ O h,
Nancy...Nancy.” (Ardan, 1965)

William yang tidak rela ditinggalkan
o leh Nyai Dasima kemudian membayar
Bang Puase untuk membunuhnya ketika
hendak pergi menonton dengan Samiun.
Jika di dalam teks G. Francis Nyai Dasima
d ibunuh o leh p ribumi, d alam teks S.M.
Ardan Nyai Dasima dibunuh oleh William
(Eropa).
Resep si S.M. A rd an ini tid ak d ap at
dilepaskan dari latar belakangnya sebagai
budayawan Betawi dan situasi zamannya.
Ia menuliskan kembali kisah Nyai Dasima
di era kemerdekaan, ketika Indonesia sudah
lep as d ari beleng g u ko lo nial. Sebag ai
seo rang p ribum i, S.M . A rd an m elihat
ketid akad ilan d alam Tjerita Njai D asima
karya G. Francis yang menggambarkan
semua tokoh pribumi Islam sebagai orang
jahat.
Satu-satuny a
to ko h
y ang
digambarkan berhati mulia hanya William
y ang berkebang saan sam a d eng an
penulisnya. Ketidaksetujuan S.M. A rdan
terhad ap p eng g am baran to ko h-to ko h
201

METASASTRA, Vol. 4 No. 2 , Desem ber 2011: 195—207
pribumi di dalam teks G. Francis pernah
diungkapkan saat berceramah di Lembaga
Kebud ay aan Betaw i (Riz al, 2007:v i).
Menurutnya, karakterisasi yang dibuat G.
Francis telah m encip takan m o d el
perempuan dan orang Betawi yang tidak
sesuai dengan kenyataan d an ia dengan
tegas menolaknya.

(3) Resepsi W.S. Rendra
Pada aw al tahun 1980-an, WS Rendra
menulis puisi berjudul “ Nyai Dasima” yang
dipublikasikan dalam bentuk audio cakram
padat. W .S. Rendra mentransfo rmasikan
Tjerita Njai Dasima ke dalam bentuk puisi.
D alam p uisi ini latar kehid up an N y ai
Dasima pun diubah. Ia bukan lagi nyai yang
hidup di era kolonial, tetapi sudah hidup di
era “ pembangunan” .
D alam p uisiny a, Rend ra tetap
m eng g am barkan N y ai D asim a sebag ai
seorang p eremp uan yang cantik, sep erti
terlihat dalam larik-larik berikut / Nyai
D asim a y ang lebat ram butny a/ .../ kini
kulihat tetap saja kamu jelita/ / .../ Nyai
Dasima yang lentik bulu matanya/ .../ kini
kulihat lesung pipitnya tetap sempurna/ /
.../ Nyai Dasima bibirnya merah kesumba/
.../ kini kulihat ia tetap cantik dan perkasa/
/ .../ kebay am u y ang rap i berkanji/ .
Perubahan zaman itu digambarkan oleh
Rendra membuat Nyai Dasima yang tetap
cantik jelita, menjad i terbata-bata d an
kadang-kadang menangis meskipun hanya
sebentar. Rendra mengubah karakter Nyai
Dasima sebagai perempuan yang perkasa,
bukan perempuan lemah dan bergantung
pada laki-laki sebagaimana yang dicitrakan
oleh G. Francis.
Keperkasaan Nyai Dasima tergambar
dalam posisinya sebagai orang tua tunggal
y ang hid up d alam situasi y ang tid ak
berpihak pada orang-orang seperti dirinya.
Ia digambarkan sebagai perempuan yang
cekatan, mampu menangkap setiap peluang,
dan tanggap terhadap perubahan. Ketika
pabrik batik gulung tikar, ia segera beralih
membuka kedai makan dan ketika anaknya
yang lulus SMA tidak mendapat pekerjaan,
ia pun dengan sigap membawanya ke pasar
202

untuk berd agang. Dalam berd agang, ia
dicitrakan sebagai p ekerja keras dengan
bekerja siang-malam dan sebagai seorang
yang tegas, khususnya p ad a p elanggan
yang suka berutang. Nyai Dasima bekerja
siang malam, mengumpulkan uang untuk
masa depan. Citra Nyai Dasima ini sangat
bertentang an d eng an g am baran y ang
diberikan oleh G. Francis. Rendra mengubah
citra Ny ai Dasima y ang d alam teks G.
Francis digambarkan sebagai perempuan
haus harta suaminya menjadi perempuan
mandiri yang sanggup mencari uang sendiri
dan mempunyai tujuan yang jelas dengan
uang yang dikumpulkannya, yaitu untuk
masa depan.
Melalui puisi “ Nyai Dasima” ini, W.S.
Rendra melancarkan kritik sosial terhadap
keadaan yang tidak berpihak kepada kaum
marginal, sep erti terlihat p ad a kutip an
berikut ini.
Kamu mengadu kepadaku
Ya ya ya ya ya keadaan sudah berubah
tentu saja
Pabrik-pabrik didirikan di desa
Orang desa menjual tanahnya
Pergi ke kota jadi gelandangan
Ya ya ya ya ya keadaan sudah berubah
tentu saja
Bendungan yang didirikan ditumbuhi
enceng gondok
Pengairan malah berkurang
Dan tenaga listriknya hanya mampu
terbeli oleh modal asing

Pad a kutip an itu terg am bar suatu
proses industrialisasi yang memarginalkan
o rang -o rang kecil (p ara p etani) karena
lahan-lahan p ertanian d iubah menjad i
p abrik. Para p etani kehilang an tanah
pertaniannya dan tidak mudah bagi mereka
untuk berubah profesi menjadi buruh pabrik
hingga terpaksa pergi ke kota. Akan tetapi,
keterampilan mereka sebagai petani tidak
dibutuhkan di kota sehingga mereka hanya
m enjad i g eland ang an. Pem bang unan
bend ung an yang kerap kali meng gusur
tanah-tanah d an p erm ukim an w arg a
ternyata juga tidak membawa manfaat bagi

Y ULI TI N SUN GKOW ATI : RESEPSI PEMBACA TERHADAP TJERI TA NJAI D ASI MA

mereka karena justru d ijual p ada orang
asing.
Kritik so sial jug a d itujukan p ad a
kehid up an kaum buruh y ang rentan
terhad ap PHK d an tid ak tersed iany a
lapangan pekerjaan, seperti terlihat pada
kutipan berikut ini.
Dunia berubah ia terbata-bata
Tetapi cuma sementara
Ketika pabrik batik gulung tikar
Dan wanita-wanita pembatik kluyuran
di jalan di waktu malam
Dengan cepat ia membuka kedai makan
Ia jud es terhad ap lang ganan y ang
berhutang
Ia bekerja siang dan malam
Nyai Dasima bibirnya merah kesumba
Sudah lama tidak berjumpa
Kini kulihat ia tetap cantik dan perkasa
Ia tak pernah ragu-ragu
Kadang-kadang menangis juga
Tetapi cuma sedikit air matanya
Anaknya yang tamat SMA tak dapat kerja
Cepat-cepat ia seret ke pasar
Ia suruh berdagang saja

Resepsi W.S. Rendra itu muncul pada
awal tahun 1980-an. Pada awal tahun 1980,
puisi-puisi Rendra menunjukkan perhatian
yang lebih intens terhadap persoalan sosial
dalam masyarakat yang dapat dilihat pada
kump ulan p uisinya Potret Pembangunan
dalam Puisi. Gaya dan penyajian puisi dalam
Potret Pembangunan dalam Puisi bersifat
pamflet dan slogan-slogan politik yang vulg ar d an p ro v o katif (Ind ijati, 1996:46).
Perubahan ini menurut Teeuw (1980:119)
bukanlah perubahan kecil. Rupanya W.S.
Rend ra kian g elisah m elihat p ro ses
pembangunan di era Orde Baru yang tidak
berp ihak p ad a rakyat. Rend ra melihat
kehid up an m asyarakat y ang terancam
sehingga p uisi-p uisinya bernad a p ro tes
sosial. Resepsi W.S. Rendra terhadap Tjerita
N jai D asima m em p erlihatkan ad any a
p erubahan ho riso n harap annya sebagai

pembaca (yang juga seorang penyair) dan
menggambarkan situasi zaman, yaitu zaman
Orde Baru yang menjadikan pembangunan
sebag ai p ang lim a,
tetap i bany ak
m enim bulkan p erso alan so sial d i
masyarakat.

(4) Resepsi Rahmat Ali
Resepsi Rahmat Ali dalam novel Nyai
D asima: Tragedi W anita A sal D esa Kuripan
menunjukkan ad anya p erluasan d alam
p enyaluran, p eno ko han, d an p elataran.
Dari segi penyaluran, no vel ini memiliki
rentang waktu penceritaan yang lebih lama,
d imulai d eng an jatuhnya Batavia yang
semula d ikuasai VOC ke tangan tentara
Inggris hingga setelah terbunuhnya Nyai
Dasima. Perluasan ini memberi gambaran
proses masuknya Dasima dalam kehidupan
William. Dari segi penokohan, perluasan
dilakukan dengan menambahkan toko htokoh baru dari kalangan Eropa yang tidak
menyukai Nyai Dasima. Penghinaan dari
tokoh-tokoh itu mengusik harga diri Nyai
D asim a hing g a ia m em utuskan untuk
kem bali p ad a ling kung an bang sany a.
Perluasan
d alam
hal
p elataran
m enunjukkan
tiad any a p em isahan
permukiman kalangan Eropa dan pribumi
secara rad ikal. Bahkan, d i atas Sungai
Ciliwung digambarkan terdapat jembatanjem batan kecil y ang m eng hubung kan
tempat tinggal William (Eropa) dan Samiun
(pribumi). Kemudian, William menyumbang
lam p u-lam p u kecil untuk p enerang an
jembatan dan menyumbang kambing untuk
perayaan keagamaan di Kampung Kwitang.
Novel Nyai Dasima: Tragedi W anita Asal
Desa Kuripan juga memberikan pandangan
yang berbeda dalam masalah ras, agama (Islam), dan gender. Rahmat Ali menentang
gagasan Islam sebagai masalah dalam teks
G. Francis dengan menghadirkan gagasan
Islam sebag ai so lusi. Sem ua unsur
berp retensi
y ang
d itafsirkan
mendiskreditkan Islam dihilangkan. Dalam
masalah gender, ia menunjukkan bahw a
p erny aian m uncul sebag ai akibat
penjajahan. Dengan demikian, perempuan
pribumi sesungguhnya merupakan korban
203

METASASTRA, Vol. 4 No. 2 , Desem ber 2011: 195—207
sistem kolonial. Nyai Dasima digambarkan
meninggalkan William karena merasakan
penghinaan dan perlakuan yang tidak adil
terhadap dirinya sebagai pribumi di tengah
lingkungan Ero pa. Hal itu menunjukkan
bahw a ia memiliki kesad aran terhad ap
harga diri dan martabatnya, tidak seperti
g am baran N yai D asim a d alam teks G.
Francis.
Rahmat Ali juga menghilangkan politik
identitas dalam teks G. Francis dengan cara
mengkarakterisasi tokoh-tokohnya secara
hetero g en. N o v el N y ai D asima tid ak
menempatkan o rang Islam d an Kristen,
Eropa dan pribumi, kulit putih dan kulit
coklat dalam posisi yang saling menjaga
jarak atau berlaw anan secara radikal dan
m em berikan g am baran w atak secara
stereotipe berdasarkan ras dan agamanya.
Perubahan itu tidak dapat dilepaskan
dari horison harapan Rahmat Ali. Rahmat
A li lahir di kota Malang dan d ibesarkan
dalam keluarga Jawa Islam. Sebagai seorang
marinir, ia memiliki pandangan kebangsaan
dan menghargai realitas kemajemukan yang
ad a d i Ind o nesia. Rahm at A li m enulis
kem bali kisah N y ai D asim a d i era
kemerdekaan dalam kondisi bangsa yang
sedang terpuruk akibat berbagai krisis. Ia
menentang p o litik id entitas yang p ad a
dasarnya merupakan politik devide et impera
yang pada masa kolonial digunakan untuk
m em p erkukuh p o sisi p enjajah d an
menimbulkan permusuhan antargolongan.
Di era kolonial, permusuhan antargolongan
d i masyarakat akan memp erkuat p osisi
penjajah karena jika terjadi konflik, pihak
penjajahlah yang akan menyelesaikannya
sehingga menimbulkan kebergantungan di
antara p end ud uk jajahan. D i era
kemerd ekaan, p ermusuhan d an ko nflik
antarg o lo ng an atau kelo m p o k d alam
m asy arakat justru akan m elem ahkan
kesatuan
sebag ai
sebuah
bang sa
(Sungkow ati, 2006:236—237).

(5) Resepsi Yuliadi Soekardi dan U.
Syahbudin
Yuliad i So ekard i d an U. Syahbud in
menanggap i cerita Nyai Dasima dengan
204

sudut pandang Islam. Dalam bukunya yang
berjudul Nyai Dasimah, cerita yang ditulis
Soekardi dan Syahbudin diberi keterangan
sebagai cerita rakyat Betawi. Buku ini terdiri
atas sepuluh bab, yaitu (1) Dasima Si Cantik
yang Lugu, (2) Hidup Bersama Tuan Edw ard, (3) Menjadi Buah Bibir, (4) Samiun
dari Pejambon, (5) Samiun Jatuh Cinta, (6)
Rencana-Rencana Samiun, (7) Diusir Tuan
Ed w ard , (8) Pernikahan Ked ua, (9)
Pernikahan yang Tidak Bahagian dan (10)
Kembali.
Resep si Yuliad i So ekard i d an U.
Syahbudi berangkat dari pandangan Islam.
Dalam versi Soekardi dan Syahbudin ini,
diceritakan bahwa Dasimah bukan gundik,
melainkan istri yang dinikahi secara sah dan
resmi oleh Edw ard William. A kan tetapi,
baik D asim a m aup un W illiam tetap
berp egang p ad a agama masing-masing.
Padahal, perkawinan beda agama dilarang
oleh Islam. Di samping itu, sebagai kepala
keluarga, Edw ard William menginginkan
Dasimah mengikuti dan beribadah sesuai
d engan agama d an keyakinannya. Dari
perkawinan campur inilah persoalan demi
persoalan digulirkan.
Selam a m enikah d eng an W illiam ,
Dasimah tidak dapat leluasa menjalankan
ajaran Islam untuk beribadah kepada Allah
SWT karena William digambarkan sangat
membenci agama Islam. Dasimah beribadah
secara sembunyi-sembunyi.
“ Diam-diam kau mengaji, diam-diam kau
membaca Alquran, diam-diam kau salat.
A p a itu bukan p eng khianatan
namany a?” Mata Tuan Ed w ard
membesar merah, memelototi Dasima.
“ Papa, saya lahir dari keluarga muslimm,
d an sampai saat ini pun saya tetap
seorang muslim. Apakah saya salah, jika
saya menjalankan ibadah agama saya?”
Air mata mulai meleleh di pipi Dasima.
Tuan Edward terdiam.
“ Selama ini, Papa pun rajin menjalankan
ibad ah Papa. Pergi ke gereja setiap
minggu, berdoa. Lalu, mengapa saya
tidak boleh?”
“ Dasima, kau adalah istriku. Aku kepala

Y ULI TI N SUN GKOW ATI : RESEPSI PEMBACA TERHADAP TJERI TA NJAI D ASI MA

keluarg a d i sini. A kulah yang
menentukan mana yang boleh mana yang
tidak. Kau harus taat pada segala yang
kukatakan. Jika kau memang ingin
beribadah, ikutlah denganku ke gereja,
berdoalah bersamaku.”
“ Papa, kita berbeda. Meskipun saya istri
Papa, tapi saya tidak bisa mengikuti apa
y ang p ap a lakukan. Say a seo rang
muslim! Saya muslim, Pa! Beri saya
kebebasan untuk menjalankan ibadah
agama saya.”
Jadi, kau ingin bebas? Kau ingin bebas
menjalankan ibadah agamamu?!”
Tuan Edward memandang Dasima sinis.
Dasima hanya terdiam dan menunduk.
“ Baik, baik. Mulai saat ini aku akan
membebaskanmu! Lakukan apa saja
sesukamu! Pergi d ari rumah ini!”
(Soekardi, 2004:85).

Setelah diusir, Nyai Dasimah tinggal di
rum ah M ak Buy ung sam p ai akhirny a
d ip eristri o leh Sam iun d eng an alasan
pernikahannya belum dikaruniai anak. Islam sesungguhnya membolehkan poligami.
Hayati dihasut oleh Mak Idah, saudaranya,
untuk memfitnah Nyai Dasimah sehingga
N y ai D asim ah d iusir d ari rum ah d an
dicelakai oleh Samiun yang marah karena
merasa dikhianati. Tubuh Nyai Dasimah
ditemukan oleh William di sungai belakang
rum ah. Berkat bantuan d o kter, N y ai
D asim ah selam at. W illiam akhirny a
menyadari kesalahannya dan masuk Islam.
“ Dasima…maafkan aku…maafkan aku,
Sayang. Semua ini gara-gara aku.” Tuan
Edward tergugu. Matanya basah oleh air
mata. “ Dasima, cepatlah sembuh, aku
ingin kita bisa hidup bahagia seperti dulu
lagi. Dasima, kini aku telah berubah. Aku
telah menyadari semuanya. Aku tahu,
aku sangat tahu bahwa keyakinanmu itu
benar. D an kini d i had ap anmu, d i
hadapan A llah, Tuhan Yang Esa, aku
berikrar...A sy had u
alla
ilaaha
illallah...W aasy had u
anna
muhammaddarasulullah... Aku bersaksi

bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku
bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah
utusan Allah....” (Soekardi, 2004:126).

Nyai Dasimah d an Ed w ard William
menikah kembali secara Islam. Edward William dipecat oleh Gubernur Jenderal Hindia
Belanda. William mengajak Nyai Dasimah
d an N ancy kem bali ke Ing g ris untuk
memulai hidup baru.
Resep si Yuliad i So ekard i d an U.
Syahbudin ini dapat dikatakan sebagai versi
Islam d an kebebasan. D alam v ersi ini
m uncul tuntutan akan kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama
dan keyakinan Islam. Buku cerita rakyat ini
d iterbitkan o leh Penerbit Pustaka Setia,
Band ung. Dengan semangat kebebasan,
penerbit ini berupaya menerbitkan kembali
cerita rakyat yang populer di masyarakat
dengan memasukkan nilai-nilai Islam di
dalamnya.

5. Simpulan
Dari p embahasan d apat disimpulkan
bahwa sepanjang sejarah, resepsi terhadap
Tjerita Njai Dasima muncul dalam beragam
bentuk, yaitu p uisi, p ro sa, teks d rama,
skenario film, film, sinetron, dan d rama
musikal. Munculnya bentuk-bentuk resepsi
itu tid ak terlep as d ari p erbed aan latar
belakang pembaca (baca pengarang) dan
perubahan zaman.
Resep si p em baca m enunjukkan
perubahan dari periode ke periode. Resepsi
p ad a m asa sebelum kem erd ekaan
menunjukkan id eo lo gi p ro ko lo nial d an
sebalikny a p ad a era kem erd ekaan,
antikolonial. Resepsi pembaca yang muncul
di era Orde Baru berisi kritik sosial terhadap
pembangunan dan resepsi pembaca di era
refo rmasi memperlihatkan p enghargaan
terhad ap hetero g enitas d an kebebasan
manusia. Perubahan resepsi ini tidak dapat
dilepaskan dari adanya perubahan zaman
d an sem ang at z am an serta p erubahan
horison harapan pembaca.

205

METASASTRA, Vol. 4 No. 2 , Desem ber 2011: 195—207

Daftar Pustaka

Ali, Rahmat. 1993. Cerita Rakyat Betawi 2. Jakarta: Grasindo
Ali, Rahmat.2000.Nyai Dasima: Tragedi Wanita Asal Desa Kuripan. Jakarta: Grasindo
Ardan, S.M. 1965. Njai Dasima. Cet. I. Jakarta: PT Tri Warsa
Ardan.1971. Njai Dasima. Cet. II. Jakarta: Pustaka Jaya
Aswatini.2007.”Rancangan Penelitian”. Dalam Modul Diklat Fungsional Peneliti. Jakarta: Pusat
Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Peneliti LIPI.
Aveling, Harry. 1996. “Nyai Dasima”. Working Papers in Centre of Southeast Asian Studies. Clayton:
Monash University
Chamamah-Soeratno, Siti. 1994. “Penelitian Resepsi Sastra dan Problematikanya” dalam Teori Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia dan IKIP Muhammadiyah Yogyakarta
Chamber-Loir, Henri.1994. “Un Cas Récent de´ Emprunt Littéraire: Tahar Ben Jelloun” in Archipel, No.
48. Paris: Centre National de la Recherche Scientifique ett de l´Institut National des Langues et
Evilisation Orientales.
Fokkema, D.W. & Elrud Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in Twentieth Century: Structuralism Marxism Aesthetics of Reception Semiotics. London: C. Hurst & Company.
Foulcher, Keith.2004. “Community and the Metropolis: Lenong, Nyai Dasima, and the New New Order”
in Asian Research Institute Working Papar Series, University of Sidney. p. 1—26
Francis, G. 1896. Tjerita Njai Dasima Soewatoe Korban Daripada Pemboedjoek. Batavia
Hellwig, Tineke.1992. “Nyai Dasima, a Fictional Women” translated by Ernst van Lennep in Review of
Indonesia and Malaysian Affairs (RIMA), Volume 26, No. 1. Sidney: The Departement of
Southeast Asian Studies, The University of Sidney. p. 1—20
Indijati, Harlina dan A. Murad. 1996. Biografi Pengarang Rendra dan Karyanya. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Iser, Wolfgang.1978. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Rsponse. Fourt Printing. Baltimore:
The John Hopkins University Press
Janarto, Herry Gendut.1990. “Nyai Dasima, Cerita Betawi Lama yang Tetap Menggema”. Dalam Femina,
nomor 24/XVII, tanggal 21—27 Juni
Jauss, Hans Robert.1983.Toward an Aesthetic of Reception. Translated from German by Timothy Bahti.
Introduction by Paul de Man. Second printing. Mennapolis: University of Minnesota
Junus, Umar.1984.”Di Bawah Lindungan Ka’bah: Dialog Antara Film dan Novel” dalam Masyarakat
Indonesia, Tahun Ke-20, No. 2
Junus.1999. “The Problem of Interpretation, Intertextuality, Reception Theory, and New Historicism” in
Humaniora, No.12, September—December
Kartodirdjo, Sartono.1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya
Manusama, A. Th.1926. Njai Dasima, Tjerita Satoe Prempoean Eilok jang Kena Boedjoeken, Hingga
Mendjadi Korban Pemboenoehan Hebat
Nazir, Moh.1999. Metode Penelitian. Cet. IV. Jakarta: Ghalia Indonesia
Nda/B-2.2001. “Dasima, Simbol Benturan Budaya Barat dan Timur”. Dalam Media Indonesia, Tanggal
30 April.
Rizal, J.J.2006. “ Nyai yang Sejati”. Dalam Kompas, Sabtu, 4 Maret.
Rizal.2007. “Membaca Dua Dasima”. Dalam Nyai Dasima. Jakarta: Masub.

206

Y ULI TI N SUN GKOW ATI : RESEPSI PEMBACA TERHADAP TJERI TA NJAI D ASI MA

Salmon, Claudine.1985.Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Terjemahan Dede Oetomo.
Jakarta: Balai Pustaka
Segers, Rien T.1978. The Evaluation of Literary Texts. Lisse: The Peter de Ridder Press.
Soekardi, Yuliadi dan U. Syahbudin.2004.Nyai Dasimah. Bandung: Pustaka Setia
Sungkowati, Yulitin.2006. “Nyai Dasima Karya Rahmat Ali: Kajian Intertekstual”. Tesis. Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Sungkowati 2007. “Representasi Pribumi dalam Nyai Dasima Versi Th. Manusama”. Dalam Atavisme:
Jurnal Ilmiah Kajian Sastra, Volume 10, Edisi Januari—Juni.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Tjiok, Melani.1963a. “Hikajat Njai Dasima”. Dalam surat kabar Bintang Timoer, 17 Februari
Tjiok.1963b.”Hikajat Njai Dasima”. Dalam surat kabar Bintang Timoer, 24 Februari
Tjiok.1963c.”Hikajat Njai Dasima”. Dalam surat kabar Bintang Timoer, 5 Maret
Tsuchiya, Kenji. 1990. “Reading Cerita Nyai Dasima Published in 1896, Batavia” in Asian Panorama:
Essays in Asian History, Past & Present. New Delhi: Vikas. p. 75—88
Toer, Pramoedya Ananta.1982. Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia. Cet. I. Jakarta: Hasta
Mitra
Toer.2003.Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia. Cet. II. Jakarta: Lentera Dipantara
Wahyudi, Ibnu. 1995. “The Nyai in Nyai Dasima, Nyai Ratna, and Nyai Alimah: A Reflection of Indonesian Women’s Lives as Concubines of European in Indonesia’s Colonial Periode”. Unpublished
Thesis. Clayton: Monash University
Wahyudi, Ibnu.2003.”Potret Buram? Para Nyai Masa Kolonial” dalam Srinthil: Media Perempuan
Multikultural. Jakarta: Desantara
Wahyudi, Ibnu.2007.”Fenomena Dasima”. Dalam Pikiran Rakyat, Sabtu 10 Maret
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusasteraan. Cet. II. Terjemahan Melani Budianta.
Jakarta: Gramedia

207