DAN TUHANKU LEBIH TAU AKU

DAN TUHANKU LEBIH TAU AKU!.
Ujian
Nasional
selesai
Durrah jalani. Sebagai siswi
kelas XII di Madrasah
ternama di daerah tempat
tinggalnya, MAN 1 Praya,
ada semangat optimis akan
lulus di hatinya. Ia mulai
berani menatap matahari
kembali dengan sunggingan
senyum kepuasan. Ia merasa
belajarnya
tidak
sia-sia
karena
soal-soal
ujian
nasional
dapat

diselesaikannya tanpa harus menggadaikan keimanan seperti mayoritas teman-temannya.
Sekarang tugasnya hanya menunggu pengumuman kelulusan keluar.Durrah Althafunnisa, puteri
semata wayang dari pasutri Ahmad Hijazi dan Lailatul Munawaroh ini memang dikenal sebagai
siswi teladan dengan segudang prestasi. Bagi banyak orang ia mendekati level sempurna.
Kecantikannya yang natural tanpa polesan kerap mendatangkan pujian tak diundang. Ia mampu
menumbuhkan tiga kecerdasan sekaligus dalam dirinya, yang tak banyak orang mampu
menumbuhkannya. Kecerdasan intelektualnya yang tak diragukan lagi, kecerdasan emosionalnya
yang selalu mampu meneduhkan perasaan orang-orang sekitarnya, juga kecerdasan spiritual
yang mulai terbentuk sejak kecil karena dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang
agamis.Matahari mulai menyembunyikan sinarnya. Mega merah mulai menghiasi langit
mengundang alunan azan maghrib disetiap penjuru Kota Praya yang damai. Segera Durrah
meraih mukena selepas berwudlu’ untuk menyerahkan diri kepada Sang Pemilik diri. Khusyuk ia
melapazkan kalam Illahi yang terdengar hanya olehnya secara lahiriah di setiap rakaat shalatnya.
Makna tiap bacaan shalat yang ia fahami semenjak mengenyam pendidikan di madrasahnya
mengundang isak keharuan yang seketika itu mulai mengalir butiran-butiran bening membasahi
sebagian mukena hijaunya. Suasana menghening. Ia merasakan kedamaian dalam pelukan Illahi.
Seusai salam, ia tak ingin menghentikan kedamaian dalam diri. Ia meraih bungkulan kitab suci
Al Qur’an pemberian sahabatnya di hari milad ke-17nya.Bacaannya terhenti saat ia sampai
kepada ayat yang seolah diturunkan khusus untuknya, “Azzanii laa yangkihu illa zaaniyah”. Ia
merasa tersindir. “Apa ayat ini Engkau turunkan untukku Robby? Apakah ini sindiranMu?”

bisiknya dalam hati. Ia mulai mengingat bagaimana kabar hatinya belakangan ini. Menyadari itu
adalah kesalahan yang tak ia sadari sebelumnya. Ia membiarkan hatinya terjebak dalam zina
karena mengangankan orang yang tidak halal untuknya. Ia mulai merasa berdosa. Rasa takut
menghampirinya. Takut yang menikahinya nanti adalah seorang pezina, meski hanya pezina hati.
Ia beranggapan antara zina yang satu dengan zina yang lain tetap bisa mengundang kemarahan
Sang Pencipta. “Astagfirullahaladziim”, ia tundukkan kepala dan beristighfar, berharap
kekeliruannya itu segera dapat ia benahi.Matahari mulai memancarkan sinarnya. Kicauan
burung-burung seolah berlomba-lomba menyambut hari yang penuh berkah. Kokokkan ayam tak
ingin kalah, bersahut-sahutan terdengar di beberapa tempat. “Hari yang cerah, ini anugerah”,
kalimat yang tak pernah alpa untuk diucapkan Durrah di setiap paginya. Hari ini ia memutuskan
untuk ke Madrasah. Meski tidak ada kegiatan pasti yang akan dilakukannya disana. Ia merasa
sangat rindu dengan suasana Madrasah. Rindu guru-gurunya, rindu teman-temannya, rindu adikadik angkatannya juga yang biasa memanggilnya Kk Dee seperti orang tuanya.Madrasah tetap
seperti biasa. Tampak asri dengan hiasan pohon kelapa di sekeliling bangunan. Dengan bismillah
ia melangkahkan kakinya menyisiri lingkungan madrasah. Ada perasaan khawatir dalam hatinya.

Khawatir kalau-kalau ia nantinya bertemu dengan ikhwan yang membuat dirinya merasa sangat
berdosa
karena
tak
bisa

menjaga
hatinya.
“Kk Dee…”. Panggilan Alna, adik kelasnya yang satu organisasi dengannya membuyarkan
kekhawatirannya.“Kk, kangen deh sama Kk”“Iya dinda, Kk juga kangen sama semuanya”
“Kk, ada lomba Karya Tulis Ilmiah, kami harus ikut kata Pembina. Tapi ini kali pertama kami
ikut
lomba
tanpa
kakak-kakak.
Jadi
mikir
gak
usah
ikut
saja.”
“Loh, kok gitu? Pokoknya harus ikut. Harus! Jangan kecewakan Pembina, ya! Masa kami
dijadikan alasan ketidakinginan kalian untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan identitas
gemilang kalian.”“Bukan gitu kakak, kami kan selalu minta bantuan Kk Dee tiap ada lomba
dulu-dulu. Kalau tidak ada Kk, kami minta bantuan siapa lagi? Nanti ndak selese-selese lagi
karyanya”“Kan pembina ada. Tenang saja, kk juga masih di sini kan. Dan ingat! Kk masih resmi

siswi sini.”Bel berbunyi tanda waktu istirahat pertama berakhir. Lingkungan madrasah di luar
kelas mulailengang. Siswa dan guru melaksanakan tugas masing-masing. Belajar dan mengajar.
Rutinitas yang ia pernah jalani pula selama hampir tiga tahun.Perpustakaan tampak merekahkan
senyum simbolisnya. Ia merasa terpanggil untuk memasukinya. Belum sempat ia menyelesaikan
salamnya, terlihat Zaki, siswa kelas Bahasa yang membuat hatinya tak mampu ia manage.
Perasaannya mulai berkecamuk. Ingin rasanya ia tinggalkan tempat itu segera, namun
keengganannya untuk membuat laki-laki yang di matanya berwibawa itu berpikiran macammacam tentangnya, menahannya untuk melanjutkan langkahnya memasuki ruangan yang tibatiba berubah sembab itu.“Sendirian ukh?”“Nggih,” jawaban singkat menurutnya terbaik untuk
bisa menjaga kesan tenang bagi dirinya.“Anti niat baca buku yang mana? Kalau tidak ada, ini
tiang sudah baca. Sepertinya cocok untuk dibaca para akhwat. Anti mau baca?”.
“Boleh”.Durrah tak ingin berlama-lama di perpustakaan. Magnet-magnet perangkap setan sudah
dapat ia rasakan di dalam sana. Ia beranjak keluar perpustakaan dengan menenteng buku
pinjaman yang membuatnya penasaran, “cocok dibaca para akhwat? Seperti apa ya isinya?”.
Durrah bertanya-tanya dalam hati. Langkah kakinya dipercepat. Musholla tampak sepi. Ia
memutuskan untuk melihat-lihat isi buku itu disana, “judulnya lucu, 24 Jam Amalan Agar Suami
Makin Sayang”. Ada sedikit rasa malu dihatinya untuk membaca buku ditangannya itu. Ia
merasa belum pantas untuk membaca buku semacam itu. Ia takut terkesan sudah siap menikah
dengan membaca buku itu jika dilihat orang. Tapi rasa penasaran yang menancap di hati
menggerakkan jari-jemarinya untuk membuka halaman demi halaman buku itu. Hatinya
terperanjat membaca hadits shahih riwayat Muslim di salah satu halamannya, “wanita itu jika
dipandang dari depan akan meniupkan nafsu setan (merangsang birahi) dan dipandang dari

belakang pun (meniupkan nafsu) setan”. Ia merenung. Apakah ia sudah mampu menjaga dirinya?
Atau ialah yang dijadikan alat oleh setan? Untuk merusak lawan jenisnya dengan nafsu yang
terhias pada dirinya? Istighfar ia lisankan berulang-ulang. Di halaman berikutnya ia menemukan
hadits yang senada dengan yang sebelumnya “wanita itu aurat, bila ia keluar rumah maka setan
akan menghiasinya, (untuk menampak-nampakkan kemolekannya dalam pandangan lelaki
sehingga terjadilah fitnah)”. Ia coba menerawang dirinya.
Menerawang keseringannya keluar rumah tanpa didampingi mahram. Lantas ia memvonis
dirinya alat setan. Kembali istighfar terdengar dari lisannya. Keinginannya untuk melanjutkan
kuliyah selepas menamatkan Aliyah kembali ia pertimbangkan. Ia akan selalu berada diluar
rumah. “Ah, Rasulallah juga mengatakan uthlubul ‘ilma falau bissiin. Selama itu keluar rumah
untuk alasan yang dibenarkan agama, insyaAllah Allah ridho”. Ia memantapkan hatinya. Ia tutup
buku itu, ia memutuskan untuk melanjutkan membacanya di rumah saja karena musholla
madrasah sudah mulai dipadati para siswa dan beberapa guru untuk melaksanakan shalat zuhur
berjama’ah.
Usai
shalat
ia
memutuskan
untuk
meninggalkan

madrasah.
Fajar mulai menyingsingkan diri. Sebagai puteri semata wayang, Durrah tidak pernah merasakan
kekurangan
kasih
sayang
orang
tua.“Jadi
daftar
kuliyah
kemana
Dee?”
“UIN Malang Mak, ambil Kimia. Menurut Bapak dan Mamak gimana?”

“Kalau bapak setuju-setuju saja, tapi ada sedikit rasa khawatir. Kamu perempuan. Keluarga
disini semua.”“InsyaAllah perlindungan Allah akan tetap bersama tiang. Jadi, tiang harap jangan
khawatir
nggih…”.“Dee,
ada
yang
bapak

ingin
sampaikan”
“Napi nike pak?”“Bapak tidak berani mengambil keputusan tanpa persetujuan darimu”
“Maksud bapak?”“Sekitar dua minggu lalu, waktu Dee masih menjalankan Ujian, teman bapak,
Ust. Hasan, melamarmu untuk puteranya. Puteranya itu tidak mengenalmu, tapi setelah Ust.
Hasan menceritakan tentangmu padanya, dia mengiyakan. Karena yakin pilihan bapaknya tidak
sembarangan. Bapak tidak menyampaikan ini padamu karena waktu itu bapak tidak ingin
mengganggu ujianmu. Bapak menyampaikan ini sekarang karena menurut bapak kamu sudah
tidak aktif lagi di madrasah. Apa tanggapanmu?”Durrah tersentak mendengar penuturan laki-laki
yang ia panggil bapak itu. Lidahnya terasa berat untuk mengucapkan sepatah katapun. Aliran
darahnya terasa semakin cepat memaksa keringatnya keluar melalui lubang pori-pori kulitnya. Ia
mencoba menerka-nerka kalimat yang harus ia keluarkan. Ia merasa menjadi seperti batita yang
baru belajar bicara. “Dee…”“Bapak tidak memaksamu untuk menerima atau menolak lamaran
itu nak. Tapi, bapak perlu mengingatkan, ketika seorang wanita dilamar laki-laki sholih, dan si
wanita siap menikah, maka sebaiknya diterima. Sekarang bapak Tanya, Dee siap berumah
tangga?”“Dee…”“Kalau Dee belum siap tidak apa-apa, nanti bapak sampaikan ke Ust. Hasan.”
“Terserah
bapak
saja,
Dee

insyaAllah
ridho”
“Terserah bapak? Pikirkan baik-baik Dee. Ini bukan hal yang ringan. Ini tentang hidupmu.”
“Dee ingin kuliyah juga pak. Tapi jika ada laki-laki sholih yang datang melamar, seperti yang
bapak katakan tadi, alangkah baiknya jika diterima. Jadi, Dee serahkan ke bapak saja. Apapun
yang menurut bapak baik, insyaAllah baik untuk Dee”
“Bapak dan Mamak sudah istiharahkan ini. Dan kami merasa, petunjuk Allah mengarahkan
untuk Dee menerima lamaran ini saja.”
“Nggih jika itu yang lebih baik”
“Bapak akan segera mengabari Ust. Hasan. Setelah pengumuman kelulusanmu diterima,
insyaAllah akad nikahmu segera dilangsungkan”.
“Nggih”, lirih ia mengucapkan kata terakhir sebelum ia berlalu menuju kamarnya. Ia masih tidak
menyangka akan segera menikah. Di usianya yang masih sangat belia, 18 tahun. Namun ia
teringat hadits Rasulallah tentang seorang istri yang dipersilakan masuk surga dari pintu
manapun yang ia kehendaki “Jika seorang wanita mengerjakan sholat lima waktu, puasa di bulan
Ramadhan, menjaga kemaluan (kehormatannya) dan taat kepada seuaminya, ia berhak untuk
masuk surga dari pintu manapun yang ia kehendaki”. Ia memantapkan diri untuk yakin dengan
keputusannya.Pengumuman kelulusan dibagikan. Durrah Althafunnisa, nama pertama yang
disebut saat pengumuman lulusan terbaik dibacakan. Ia lulus sebagai lulusan terbaik. Ia
meninggalkan madrasah aliyahnya dengan meninggalkan nama yang harum berparfumkan

prestasi membanggakan. Yang sekaligus sebagai akhir status lajang dalam rentetan kisah
hidupnya.