INVENTARISASI DAN DIGITALISASI NASKAH-NASKAH KUNA DI WILAYAH EKS-KARESIDENAN SURAKARTA SEBAGAI UPAYA PENYELAMATAN INTANGIBLE ASSET BANGSA

  ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72

  

INVENTARISASI DAN DIGITALISASI NASKAH-NASKAH KUNA DI

WILAYAH EKS-KARESIDENAN SURAKARTA SEBAGAI UPAYA

PENYELAMATAN INTANGIBLE ASSET BANGSA

Asep Yudha Wirajaya, dkk.

  

Prodi Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Sebelas Maret

E-mail: asepyudha.w@gmail.com atau asepyuda@yahoo.com

  

Abstrak

Penelitian kodikologi terhadap naskah-naskah kuna di wilayah eks-

Karesidenan Surakarta masih belum banyak dilakukan. Pada umumnya, telaah

manuskrip dilakukan dengan titik berat pada perbandingan naskah dalam hal

kandungan isi. Terlebih lagi, penelitian naskah yang berupaya menginventarisir

keberadaan naskah yang masih dalam koleksi-koleksi pribadi sekaligus juga

mengupayakan penyelamatannya dengan memanfaatkan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi (digitalisasi dan cybermedia), dapat dipastikan

masih sangat jarang dilakukan. Selain itu, keberadaan naskah-naskah kuna di

wilayah eks-Karesidenan Surakarta kondisinya sudah berada dalam ambang

batas kepunahan. Hal ini disebabkan oleh usia kertas yang sudah semakin

tua, kurangnya perawatan karena keterbatasan dana, kondisi kelembaban

iklim tropis yang sangat tidak bersahabat terhadap kertas, kondisi keasaman

tinta yang sudah mulai merusak lembar kertas (slowfire), serangan serangga

yang mengakibatkan kondisi kertas semakin memprihatinkan, dan bencana

alam yang datang silih berganti (banjir atau kebakaran). Oleh karena itu, perlu

dilakukan upaya penyelamatannaskahdenganmemanfaatkan teknologi digital.

  Kata Kunci: inventarisasi, digitalisasi, dan naskah kuna

  Sejak berdirinya suatu kerajaan, istana atau keraton mempunyai fungsi ganda. Di samping sebagai pusat pemerintahan, istana berfungsi pula sebagai pusat kebudayaan (Darsiti- Suratman, 1990). Contoh fungsi yang kedua ialah bahwa sebagai pusat kebudayaan, pemerintah kerajaan banyak menghasilkan peninggalan bersejarah yang bersifat monumental berupa bangunan yang usianya sudah berabad-abad yang dapat disaksikan hingga sekarang. Misalnya, Candi Prambanan merupakan peninggalan Kerajaan Mataram (Hindu), Candi Penataran merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit, Masjid Demak merupakan peninggalan Kerajaan

  Demak, serta istana Surakarta dan Yogyakarta merupakan peninggalan Kerajaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

  Di samping temuan-temuan arkeologis itu, warisan sejarah kebesaran masa lampau dapat pula ditemukan dalam wujud naskah-naskah. Naskah membuka cakrawala pengetahuan yang lengkap mengenai masa lalu tentang sastra lama; historiografi, ramuan obat- obatan tradisional, kebiasaan, upacara keagamaan, tata krama pergaulan, dan kehalusan tutur sapa terdapat dalam naskah-naskah tersebut. Sulit untuk diketahui secara pasti jumlah naskah yang oleh satu dan lain sebab telah

  ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72

  musnah, atau belum berhasil ditemukan kembali (Tjiptaningrum-Fuad Hassan dalam Ikram, 2004: 61). Namun, masih ada sejumlah naskah yang terselamatkan dan disimpan dengan baik di dalam negeri dan di luar negeri.

  Beberapa faktor yang perlu mendapatkan perhatian adalah penelitian terhadap aspek kodikologis naskah-naskah Nusantara masih belum banyak dilakukan. Pada umumnya, telaah manuskrip dilakukan dengan titik berat pada kandungan isi. Terlebih lagi, penelitian naskah yang berupaya menginventarisir keberadaan naskah yang masih dalam koleksi-koleksi pribadi sekaligus juga mengupayakan penyelamatannya dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (digitalisasi dan cybermedia), dapat dipastikan masih sangat jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan, maka hampir dapat dipastikan penelitinya berasal dari luar negeri (lihat Solopos, Jawa Pos, Suara Merdeka dan Kompas, pada awal sampai pertengan Mei 2009). Hal ini terkait dengan masalah pembuatan mikrofilm terhadap naskah- naskah di Surakarta, khususnya koleksi Museum Radyapustaka, Sasanapustaka dan Reksapustaka yang dilakukan oleh Nancy. K. Florida dari Cornell University (Australia) pada sekitar tahun 1980- an. Ketika kondisi ini “dibiarkan” terus terjadi secara berkepanjangan, maka ada hal mendasar yang harus segera dibenahi dalam konteks pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya bidang pernaskahan Nusantara.

  Belum lagi, mengingat keberadaan naskah-naskah Nusantara ini kondisinya sudah berada dalam ambang batas kepunahan. Selain disebabkan usia kertas yang sudah semakin tua, kurangnya perawatan karena keterbatasan dana, kondisi kelembaban iklim tropis yang sangat tidak bersahabat terhadap kertas, kondisi keasaman tinta yang sudah mulai merusak lembar kertas (slowfire), serangan serangga yang mengakibatkan kondisi kertas semakin memprihatinkan, dan bencana alam yang datang silih berganti (banjir atau kebakaran).

  Oleh karena itulah, perlu dilakukan upaya penyelamatan, mengingat peninggalan tertulis ini sudah terancam punah dengan memanfaatkan kemajauan ilmu pengetahuan dan teknologi (digitalisasi dan cybermedia) yang tidak hanya menjangkau keraton sebagai ikon kebudayaan, tetapi juga menjangkau naskah-naskah Nusantara yang masih tersimpan dalam koleksi-koleksi pribadi masyarakat di wilayah Eks-karesidenan Surakarta. Akhirnya, nilai-nilai universal yang terkandung di dalam naskah tersebut dapat dijadikan sumber inspirasi dalam pembangunan bangsa.

  B. Metode Penelitian

  1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah daerah eks-karesidenan Surakarta yang meliputi wilayah kotamadya Surakarta, kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen dan Klaten, Propinsi Jawa Tengah.

  2. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah masyarakat atau orang-orang yang bertempat tinggal di daerah eks- karesidenan Surakarta. Adapun sampel penelitian ini adalah orang-orang tua atau muda yang diperkirakan memiliki koleksi pribadi -- naskah Kuna. Sampel ini ditetapkan sebagai responden. Dalam pemilihan sampel ini digunakan teknik sampling, yaitu purposive sampling.

  3. Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian ini merupakan naskah kuna yang tersimpan dalam koleksi-koleksi pribadi masyarakat di Eks-Karesidenan Surakarta.

  ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72

  4. Pendekatan yang Digunakan Dalam penelitian ini akan digunakan model pendekatan kodikologi dan pendekatan digitalisasi. Artinya, pendekatan kodikologi digunakan pada tahap katalogisasi. Adapun pendekatan digitalisasi digunakan dalam rangka konservasi naskah sehingga softfile naskah dapat ditransfer pada cybermedia.

  Pendekatan kodikologi dimulai dengan menguraikan kondisi suatu naskah sesuai model yang terdapat dalam ”De Descriptione Codicum” (Hermans dan Huisman, 1979: 11—13). Akan tetapi, penerapannya disesuaikan dengan kondisi fisik naskah Nusantara yang ditemukan sehingga tidak semua rincian dipakai untuk menguraikan kondisi naskah. Penyederhanaan ini misalnya pada penjilidan.

  Aspek yang dirinci dalam suatu naskah mencakup hal-hal sebagai berikut.

  a. Identifikasi Ini diawali dengan penjelasan tentang tempat naskah tersimpan, nomor naskah, bentuk naskah lengkap atau merupakan fragmen atau kumpulan. Catat pula judul, bahasa yang digunakan, tanggal yang tercantum dalam naskah. Kodikologi memang tidak membahas isi teks, tetapi hanya mencatat teks awal, tengah, dan akhir saja.

  b. Bagian Buku Naskah Nusantara pada umumnya menggunakan alas berupa kertas, baik kertas Eropa maupun kertas Daluwang (dluwang).

  Walaupun demikian, ada pula naskah yang masih tertulis pada daun tal (daun lontar), kulit kayu, ataupun kulit hewan. Bagian ini membicarakan ciri dan keadaan kertas, penyusunan kuras, ukuran naskah serta halaman, dan cara penggarisan kertas.

  c. Tulisan Pokok ini menjelaskan jenis huruf yang digunakan, misalnya huruf Jawa atau huruf Pegon (Arab – Jawa). Penyalinan dilakukan oleh satu orang atau lebih, dan juga cara menulis rapi atau tidak. Selain itu, yang masih berkaitan dengan tulisan adalah rubrikasi, iluminasi, ilustrasi, dan gambar.

  d. Penjilidan Untuk naskah Nusantara, teknik penjilidannya lebih sederhana bila dibandingkan dengan naskah Barat pada abad pertengahan.

  Sebagai contoh, sampul naskah pada umumnya memakai karton atau kulit kayu. Pada siku sampul tidak diberi penguat, sampulnya tidak diberi hiasan. Punggung naskah tidak ada rusuk.

  e. Sejarah Dalam usaha menelusuri riwayat naskah, hal-hal yang dapat diteliti adalah kolofon, ciri kepemilikan, catatan-catatan dalam naskah, penggunaan naskah, cara memperoleh naskah, dan data-data luar. Untuk data luar, contohnya siapakan pemilik naskah (Maria Indra Rukmi, 1997: 3—5; Mu’jizah dan Maria Indra Rukmi, 1998: 3—4). Dengan kata lain, penelitian kodikologi memperhatikan segala segi material naskah, yaitu hal- hal yang mencakupi huruf, alas atau bahan yang digunakan, iluminasi, ilustrasi, penyalinan, penyalin, tempat penyimpanan, dan sebagainya (Vermeeren dan Hellinga, 1961: 130—140). Agar lebih jelas, model penelitian disertakan sebagai lampiran.

  • – Goverment). Diharapkan dengan FGD

  ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72

  Pendekatan digitalisasi digunakan pada tahap konservasi dalam penelitian ini. Pendekatan digitalisasi merupakan konsep baru yang berupaya mendesain sebuah naskah dalam bentuk kemasan softfile/digital. Tahap- tahapan digitalisasi konservasi adalah (1) pengambilan gambar/ pemotretan dengan kamera digital, (2) pengolahan gambar dengan software Photopaint, (3) pembuatan file Flipbook, dan (4) pembuatan Web Design.

  5. Teknik Pengumpulan Data Data penelitian ini dikumpulkan dengan teknik pustaka dan teknik digital.

  Artinya, dengan membaca secara cermat sumber data penelitian, ditemukan data yang relevan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Data yang telah dikumpulkan akan diklasifikasikan sesuai dengan jenisnya. Setelah itu, data penelitian yang berupa naskah dilakukan tahapan digitalisasi (pemotretan/pengambilan gambar). Tahap berikutnya, dilakukan FGD yang melibatkan ACG (Academic – Community

  ini akan didapat berbagai masukan, baik yang terkait dengan draf katalog maupun hal-hal teknis lainnya. Masukan ini nantinya akan dipertimbangkan dan diolah, baik sebagai bahan penyempurnaan draf katalog naskah kuna maupun penyempurnaan format digitalisasi cybermedia.

  6. Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan teknik analisis komparatif (comparatif analysis). Artinya, data yang telah diklasifikasi akan ditelaah dan dikaji kemudian dikomparasikan dengan teori yang sudah dipaparkan sebelumnya. Perlu dikemukakan bahwa ilmu kodikologi merupakan pengertian yang baru, di bidang ini mulai diperkenalkan oleh Alphonse Dain dalam kuliahnya di Paris pada Februari 1944. Kemudian, dengan kehadiran karya Les

  Manuscripts pada tahun 1949 kodikologi mulai diperkenalkan kepada masyarakat.

  Hal ini berarti data tentang kodikologi dalam naskah-naskah Nusantara yang ditemukan akan disistematiskan, kemudian dikaji, dan akhirnya di komparasikan sehingga menghasilkan sebuah pemahaman yang baik dan lengkap.

  Namun, sebelum digitalisasi dilakukan, terlebih dahulu dilakukan deskripsi naskah berdasarkan model penelitian kodikologi. Artinya, segala keterangan yang terkait dengan seluk- beluk naskah akan dideskripsikan. Dengan demikian, hasil deskripsi naskah yang baik dan benar inilah yang nantinya akan dijadikan bahan analisis bagi pembuatan katalogisasi dan digitalisasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

  C. Pembahasan

  1. Keraton sebagai Ikon Pusat Kebudayaan

  Keberadaan keraton atau istana sebagai pusat kebudayaan – khususnya pusat kegiatan kesusastraan – dapat berjalan karena didukung oleh konsistensi para pujangga dalam terus berkarya (Riyadi, 2002: 5). Para pujangga, seperti Empu Kanwa, Empu Sedah, Empu Panuluh, Prapanca, Yasadipura, dan Ranggawarsita adalah para abdi raja atau punggawa kerajaan yang mempunyai keahlian dalam bidangnya. Mereka disebut pujangga karena memiliki delapan keahlian, yaitu (1) paremeng sastra ‘ahli (ilmu) sastra dan bahasa’; (2) paremeng-

  kawi ‘ahli mengarang’; (3) awi-carita ‘ahli

  mendongeng atau bercerita’; (4) mardawa

  lagu ‘ahli tembang dan gending’; (5)

  • – yang disimpan di perpustakaan dan koleksi di luar negeri, misalnya di Belanda dan Inggris (Lih. Ricklef dan Voorhoeve, 1977). Belum lagi, naskah-naskah yang tersebar dan tersimpan dalam koleksi pribadi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kesinambungan penulisan karya sastra di istana atau di keraton terus berlangsung sehingga fungsi istana sebagai pusat kebudayaan – khususnya pusat kegiatan sastra – telah berjalan.

  ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72 mardawa-basa ‘ahli dalam bidang bahasa;

  (6) mandra-guna ‘ahli karya cipta’; (7)

  nawung kridha ‘perasa hingga mampu

  meramal’; dan (8) sambegama ‘berwatak utama’ (Padmosoekotjo, 1958: 12). Dengan demikian, para pujangga adalah orang-orang yang terpilih dan sekaligus sebagai budayawan intelektual yang juga menguasai ilmu kasunyatan. Oleh karena itu, banyak orang berpendapat bahwa pujangga (Jawa) yang memiliki keahlian tersebut hanya sampai pada pujangga Ranggawarsita sehingga ia disebut pujangga terakhir (Padmosoekotjo, 1958: 13).

  Ranggawarsita sendiri – yang dikenal sebagai pujangga terkahir Istana Surakarta – menghasilkan karya yang jumlahnya mencapai kurang lebih 94 judul (Riyadi, 1988: 61 – 64) dengan isi dan jenis yang beraneka ragam. Berakhirnya sistem kepujangaan sampai dengan Ranggawarsita, bukan berarti bahwa setelah itu tidak ada orang atau abdi keraton / istana yang melakukan kegiatan kesusastraan. Di Keraton Surakarta dan Yogyakarta, misalnya, kegiatan kesusastraan tetap berlangsung meskipun pada periode terakhir ini intensitasnya jauh lebih menurun daripada periode-periode sebelumnya. Kegiatan itu dilakukan oleh para (abdi

  dalem) carik, yakni abdi yang ditugasi untuk menulis dan menyalin karya sastra.

  Karya para pujangga dan carik itu tersimpan di berbagai perpustakaan dan museum serta koleksi yang lain, misalnya di Perpustakaan Nasional Jakarta, Perpustakaan Kasunanan, Mangkunegaran, dan Museum Radya Pustaka di Surakarta serta di Widya Budaya Kasultanan, Perpustakaan Pakualaman, dan Museum Sonobudoyo di Yogyakarta (Lih. Pigeaud, 1968; Mudjanattistomo, 1971; Girardet, 1981; Behrend, 1990; dan Lindsay, dkk, 1994).

  Di samping itu, banyak naskah (Jawa/ Nusantara) – termasuk naskah keraton

  Berdasarkan keterangan dalam

  Babad Kuntharatama – Hamengku

  Buwana I, ketika masih muda dengan nama Pangeran Mangkubumi dikenal sebagai arsitek, penyair, dan pelukis yang amat disayangi oleh kakaknya, Paku Buwana II. Dialah yang merancang berbagai bangunan di kawasan Kartasura dan Isatana Surakarta (Nusantara, 1999: 161). Ketika bertahta di Kasultanan Yogyakarta, Hamengku Buwana

  I memfungsikan istana sebagai pusat kebudayaan (Lih. Supadjar, 1993: 223), seperti halnya penguasa-penguasa kerajaan Jawa lainnya. Sebagai pusat kebudayaan, kegiatan tulis-menulis yang menghasilkan karya sastra dilakukan pula. Contoh konkret dikemukakan oleh Ricklefs (1974: 212 – 226) bahwa pada masa Hamengku Buwana I terdapat naskah (tulisan 28 September 1777 – 22 Mei 1778) dengan judul Babad Kraton yang kini tersimpan di Inggris. Mikrofilm naskah itu (beserta fotokopi naskah mikrofilmnya) diserahkan ke Keraton Yogyakarta pada tahun 1969. Fotokopi naskah mikrofilm itu kemudian disalin dalam bentuk naskah (berhuruf Jawa) oleh (abdi dalem) carik Kawedanan Ageng Punakawan Widya Budaya Kasultanan Yogyakarta (Lih. Lindsay, dkk., 1994: 106).

  ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72

  Letters disebutkan pula bahwa setelah

  2. Pemilik Naskah dan Koleksinya Meskipun naskah-naskah Jawa atau

  Dari gambaran situasi dan kondisi kerajaan yang sarat dengan gejolak tersebut tentu saja sangat menghambat kegiatan dan fungsi keraton sebagai pusat kebudayaan – khususnya pusat kegiatan sastra. Namun, kondisi tersebut tidak mematikan kegiatan sastra baik yang berlangsung di dalam keraton maupun di luar tembok keraton (bdk. Riyadi, 2002: 13 – 14; Ikram, 2004: 62 – 63)

  IV) pada Juni 1812 oleh pasukan Inggris dengan bantuan serdadu Sepoi dari India dan Prajurit Legiun Mangkunegaran. Sementara itu, pada masa pemerintahan Hamengku Buwana V (1822 – 1855) intensitas penulisan (termasuk penyalinan) naskah amat melonjak. Setidaknya, ada 121 naskah yang dapat diidentifikasi sebagai karya (atas prakarsa) Hamengku Buwana V. Naskah-naskah tersebut disimpan bersama dengan naskah-naskah lain hasil penulisan sampai periode Hamengku Buwana IX dan naskah-naskah yang berasal dari luar keraton sebagai pisungsung ‘hibah’ (Riyadi, 2002: 14 – 15).

  III terjadi Perang Jawa atau Perang Dipanegara (1825 – 1830). Hal ini ditegaskan oleh Ricklefs (1981 : 109; bdk Lindsay, dkk., 1994: xi – i) bahwa langkanya naskah dari abad ke-18 dan sebelumnya disebabkan oleh penaklukan Keraton Yogyakarta (Hamengku Buwana

  Demikianlah, sekilas gambaran tentang kegiatan kesusastraan di lingkungan istana atau keraton yang berlangsung dari waktu ke waktu, meskipun menghadapi berbagai kendala. Misalnya, pada masa pemerintahan Hamengku Buwana I, selalu mendapat tekanan dari pemerintah colonial Belanda. Pada periode pemerintahan Hamengku Buwana II harus menghadapi serbuan serdadu Inggris yang berhasil membobol benteng kerajaan. Selanjutnya, pada pemerintahan Hamengku Buwana

  Ratu Ageng, Ibunda Hamengku Buwana II (Arps, 1991: 101).

  Menak dengan huruf Arab untuk Kanjeng

  1792 dilakukan penyalinan naskah Serat

  ‘dikeramatkan’ di Dalem Prabayeksa, serta dua buah disimpan di K.A.P. Widya Budaya yang masing-masing merupakan salinan atas prakarsa Hamengku Buwana V dan Adipati Danureja IV (cucu Hamengku Buwana IV). Naskah dengan judul yang sama, antara lain disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta, Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Perpustakaan Pakualaman, dan Perpustakaan Balai Bahasa Yogyakarta (Lih. Girardet, 1981; Behrend, 1990; Lindsay, dkk., 1994: dan Suyamto, 1994). Dalam Golden

  Dalam buku Golden Letter atau

  Serat Surya Raja; sebuah naskah disebut Kanjeng Kyai Serat Surya Raja, disengker

  sendiri oleh putra mahkota pada bulan Maret 1774 (Arps, 1991: 80; bdk. Ricklefs, 1974: 188; Supadjar, 1993: 225; dan Lindsay, dkk., 1994: 133). Kini, di Keraton Yogyakarta terdapat tiga naskah

  Raja. Naskah itu ditulis dan disungging

  putra mahkota (yang kemudian bergelar Hamengku Buwana II) menghasilkan karya tulis yang berjudul Serat Surya

  Golden Letter dinyatakan pula bahwa

  Selain itu, masih dalam buku

  bahwa Pangeran Natakusuma (yang kemudian bergelar Paku Alam I), putra Hamengku Buwana I, pernah menghadiahi manuskrip kepada Crawfurd. Bait-bait awal naskah itu berisi wejangan almarhum Hamengku Buwana I kepada anak cucu dan para punggawa (sehingga dalam tulisan ini disebut Serat Wejangan Dalem Hamengku Buwana I).

  Surat Emas (Arps, 1991: 78) dinyatakan

  Nusantara merupakan koleksi publik dan disimpan dalam lembaga-lembaga resmi,

  ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72

  seperti Museum dan Perpustakaan, terdapat juga naskah yang masih merupakan milik atau koleksi pribadi masyarakat. Koleksi pribadi ini lazimnya merupakan warisan yang diteruskan secara turun-temurun. Meskipun naskah- naskah yang diwariskan ini dihormati sebagai pusaka warisan nenek moyang, tetapi dewasa ini – oleh keterbatasan kemampuan para pewarisnya – naskah- naskah tersebut kini terancam perawatan dan pelestariannya.

  Faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah bahan naskah yang dipergunakan pada umumnya kurang baik sehingga tidak dapat bertahan lama. Iklim tropis dengan kelembabannya yang tinggi juga tidak menguntungkan bagi diselamatkannya naskah. Lebih lagi, faktor manusia yang cenderung acuh terhadap perawatan naskah dan tidak biasanya menyimpan naskah tersebut dalam tempat yang layak; begitu pula para pembaca yang tidak memperlakukan naskah dengan sebagaimana mestinya. Kesemuanya itu turut menyumbang terhadap terjadinya kerusakan naskah, bahkan pada kepunahannya.

  Pada mulanya, naskah-naskah milik pribadi itu tadinya dibaca, tetapi setelah si pemilik naskah meninggal dunia, kebiasaan tersebut tidak lagi berlanjut. Sepeninggal si pemilik naskah, sebagian besar anggota keluarga pemilik naskah yang bersangkutan justru menyimpan naskah tersebut di tempat tersembunyi yang terkadang akhirnya naskah itu hancur dimakan masa atau serangga. Selain itu, salah satu halangan lain ialah adanya anggapan dari sebagian anggota pemilik naskah yang menganggap naskah warisannya sebagai barang pusaka sehingga terlalu berlebihan dalam proses penjagaannya (over protectif). Bahkan, mendapatkan izin untuk dapat melihat dan membacanya saja harus dengan persyaratan tertentu yang kadang tidak masuk akal.

  Belum lagi, kini semakin gencarnya ‘tawaran manis makelar naskah’ yang begitu aktif dan progresif berburu naskah sampai ke pelosok-pelosok daerah terpencil semakin membuat tantangan para pegiat dan pemerhati naskah Nusantara semakin besar. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa para ‘makelar naskah’ ini bergerak secara terorganisir. Bahkan, mereka juga dapat ‘menarik’ naskah yang berada di luar daerah operasi dengan catatan bahwa naskah tersebut memang isinya menarik dan kondisi masih baik. Naskah semacam ini ketika berada dalam genggaman mereka, maka akan cepat sekali pergerakannnya hingga sampai pada ‘pengepul atau bandar kecil’ dan ‘pengepul atau bandar besar’ dan berakhir di luar negeri. Sayang, dalam hal ini kehadiran negara belum terasa sama sekali. Padahal, Undang-Undang Cagar Budaya No 11 Tahun 2010 telah disahkan sejak lama, tetapi aplikasinya di lapangan masih sangat lemah (khususnya, Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2). Hal ini tentu saja harus menjadi keprihatinan dan pekerjaan rumah bagi para pemerhati dan pegiat naskah Nusantara.

  Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka kerusakan dan kepunahan naskah Nusantara akan menjadi sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, perlu sinergi dan kordinasi dengan berbagai pihak agar permasalahan ini dapat segera teratasi. Perlu diketahui bahwa hilang atau punahnya suatu rekaman sejarah dan data kebudayaan nenek moyang berarti hilang atau punahnya data sejarah kebudayaan bangsa ini. Dengan demikian, langkah konkret yang coba dilakukan adalah melakukan inventarisasi naskah yang menyeluruh,

  • – Klaten. Naskah ini berisi ayat-ayat alquran, dimulai dengan Juz A’ma (kumpulan Surat-surat pendek), yaitu potongan surat Al-Bayyinah ayat ke-3 hingga akhir Surat Al-maidah (juz 7). Lalu ditutup dengan semacam uraian dan doa-doa dalam bahasa Arab dan Jawa 4). Siti Rokhanah – Jaten – Karanganyar Koleksi naskah milik Siti Rokhanah ini sebagian besar merupakan warisan dari almarhum suaminya

  ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72

  khususnya terhadap naskah-naskah yang masih tersebar dan tersimpan dalam koleksi-koleksi pribadi masyarakat. Langkah berikutnya ialah melakukan pencatatan naskah-naskah tersebut dalam suatu katalogus yang lengkap serta sekaligus menyediakan data digitalnya sehingga dapat dimanfaatkan oleh para peneliti atau peminat naskah Nusantara. Sekali lagi saya tekankan, bahwa upaya ini tidak semudah yang dibayangkan. Koleksi pribadi kurang jelas jumlah dan keberadaannya, tetapi masih dapat diduga bahwa masih ada naskah milik pribadi yang disimpan di rumah-rumah penduduk yang tersebar di wilayah eks-Karesidenan Surakarta. Maka tidak mustahil masih ada teks yang langka karena tidak atau belum ditemukan sebagai simpanan lembaga- lembaga resmi.

  Berikut ini beberapa nama pemilik naskah yang berhasil diwawancarai: 1). Sajogja Darnawi – Gondang -

  Manahan – Surakarta Koleksi naskah milik Sajogja

  Darnawi pada umumnya merupakan hadiah / hibah / pemberian dari para pemilik naskah sebelumnya. Hal ini disebabkan para pemilik naskah sebelumnya sudah tidak dapat membaca lagi tulisan atau aksara yang digunakan di dalam naskah sehingga naskah tersebut hanya disimpan dan didiamkan begitu saja sampai akhirnya mulai lapuk karena iklim tropis yang tidak bersahabat (lembab). Sebenarnya, beliau (Sajogja Darnawi) sendiri juga tidak dapat membaca semua jenis huruf yang digunakan di dalam naskah. Hanya karena beliau merupakan sahabat baik dari ayah para pemilik naskah tersebut, akhirnya beliau bersedia menerima naskah-naskah tersebut. Adapun naskah-naskah yang sempat didigitalisasi adalah sebagai berikut.

  a). Sujinah

  b). Pustaka Raja Purwa

  c). Kitab Mujarobat 2). Muhammad Ramelan – Kauman –

  Surakarta Berdasarkan keterangan Bapak

  Muhammad Ramelan diketahui bahwa semua naskah koleksinya didapatkan dari warisan Mbah Buyut

  H. Muhammad Rasyid As-Samamin Ash-Shuluy. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya pencantuman nama yang sama pada kolofon naskah. Pada umumnya kondisi naskah koleksi Muhammad Ramelan masih baik dan dapat dibaca dengan jelas. Sayang, pada bagian sampul atau cover sudah mulai lapuk, terutama pada bagian rusuknya. Pada koleksi Muhammad Ramlan ditemukan 1 (satu) naskah dengan judul Qur’an Jawi yang terbagi ke dalam 10 jilid.

  3). Alwi Mulaim – Gemolong – Sragen Naskah milik Alwi Mualim ini merupakan warisan dari kakeknya yang bernama Mu’alim, yang tinggal di Cawas, Klaten. Alwi mendapatkan naskah ini ketika sang kakek turut menjadi korban dalam gempa Yogya

  ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72

  (Paina Partana). Adapun Bapak Paina Partana mendapatkan naskah- naskah tersebut dari warisan kedua orangtua beliau. Selain itu, ada juga beberapa naskah yang merupakan hibah atau pemberian dari sahabat beliau yang tinggal di Malaysia (Ibu Noriah Mohammad) yang merasa bahwa naskah tersebut merupakan naskah-naskah Jawa yang akan lebih bermanfaat bila keberadaan naskah tersebut tetap di Jawa. Sayang, perawatan naskah tersebut kurang begitu baik sehingga ada beberapa naskah yang kondisinya sudah sangat lapuk dan menyulitkan bagi penulis untuk membacanya. Adapun naskah- naskah yang sempat didigitalisasi adalah sebagai berikut.

  a). Hikmat Obat Melayu Naskah ini merupakan pemberian atau hibah dari Ibu Noriah Mohammad. Naskah ini merupakan bunga rampai dari 5 teks yang lain, yaitu Hikmat Obat

  Melayu (1—26), Hikmat an-Nisā’

  (26—65), Kitab Nubuat (65—74),

  Punika Kitab Nubuat Shala Alam

  (75-91), dan Lawang Syahwat (92 – 203).

  b). Aneka Ragam Naskah ini merupakan bunga rampai dari 5 teks yang lain, yaitu obat-obatan herbal, cara pembuatan obat herbal, rajah dan khasiatnya, pernikahan, dan talak.

  c). Kitab Ilmu Hukum Al-Ahkamul AL-

  Aqra

  Naskah ini berisi tentang penjelasan ilmu fikih. 5). Wishnu – Sukoharjo

  Koleksi naskhah milik Wishnu – Sukoharjo diperoleh dari warisan ayahnya. Berdasarkan sebuah catatan yang diperkirakan merupakan tulisan ayah Wishnu, diketahui bahwa naskah-naskah yang disimpan dalam koleksinya merupakan warisan dari kakeknya Wishnu. Isi tulisan tersebut menyatakan bahwa kakek Wishnu tidak dapat meninggalkan sesuatu yang berharga kecuali naskah-naskah. Karena sang kakek merupakan pejuang, maka ia selalu berpindah-pindah tempat. Ketika Belanda masuk ke wilayah Jaten, sang kakek pindah ke daerah Selatan (Sukoharjo). Mereka meninggalkan semua harta benda yang dimilikinya di daerah Jaten, kecuali sebagian naskah yang sempat dibawa. Wishnu sendiri mengaku bahwa dirinya sudah tidak dapat membaca tulisan yang ada pada naskah tersebut. Ia hanya sekedar menjalankan amanat dari sang ayah bahwa naskah-naskah tersebut harus disimpan dan dirawat dengan baik. Saat ini, Wishnu tinggal di Jl Mayor Sunaryo no 32 Sukoharjo.

  Di lokasi ini ditemukan sebanyak 28 naskah yang kesemuanya dituliskan dalam huruf Jawa dan bahasa Jawa.

  Pada saat peneliti mencoba melakukan proses digitalisasi diketahui bahwa secara umum, kondisi naskah-naskah tersebut dalam kondisi masih baik. Artinya, tulisan yang terdapat pada naskah itu masih dapat terbaca dengan baik dan jelas. Selain itu, diketahui pula bahwa naskah-naskah tersebut merupakan naskah hasil salinan. Hal ini diketahui dari bahan alas naskah (kertas) yang digunakan merupakan kertas atau bahan dari buku yang dibuat sekitar tahun 1940 – 1950-an. Selain itu, ditemukan pula beberapa draft naskah yang ditulis beberapa kali atau draft naskah yang direvisi pada draft naskah yang lainnya.

  ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72

  Kidung Wedha Nirwana 1 Kidung Wedha Nirwana 2 Kidung Wedha Nirwana 3 Babad Wayang Kuna Jilid 1 Babad Wayang Kuna Jilid 2 Babad Wayang Kuna Jilid 3 Babad Wayang Kuna Jilid 4

u)

v)

w)

x)

y)

z)

aa)

ab)

Wedha Wening Agami Para Hyang 3

  Kedua, meskipun naskah-naskah

  Kegiatan semacam ini pun tersebar tidak hanya di dalam lingkungan keraton, tetapi juga di luar lingkungan keraton.

  dalem) carik, yakni abdi yang ditugasi untuk menulis dan menyalin karya sastra.

  1. Simpulan Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan pertama, keberadaan keraton atau istana sebagai pusat kebudayaan – khususnya pusat kegiatan kesusastraan – dapat berjalan karena didukung oleh konsistensi para pujangga dalam terus berkarya. Berakhirnya sistem kepujangaan sampai dengan Ranggawarsita, bukan berarti bahwa setelah itu tidak ada orang atau abdi keraton / istana yang melakukan kegiatan kesusastraan. Di Keraton Surakarta dan Yogyakarta, misalnya, kegiatan kesusastraan tetap berlangsung meskipun pada periode terakhir ini intensitasnya jauh lebih menurun daripada periode-periode sebelumnya. Kegiatan itu dilakukan oleh para (abdi

  Sayang, sampai saat ini penulis belum diperkenankan untuk melakukan digitalisasi naskah. Penulis hanya diberi kesempatan membaca katalog yang sudah beliau buat sambil sesekali melihat wujud naskahnya.

  6). Suwanto – Jaten – Karanganyar Koleksi naskah beliau ini cukup beragam. Ia mendapatkan naskah dengan berbagai macam cara. Ada yang merupakan pemberian atau hibah, warisan dan pembelian. Beliau adalah sosok yang sangat peduli terhadap keberlangsungan budaya Jawa sehingga tidaklah mengherankan apabila beliau begitu semangat dalam menyelamatkan, melestarikan dan menyebarkan budaya Jawa. Setidaknya, ada 83 naskah yang tersimpan dalam koleksi beliau.

  Wedha Wening Agami Para Hyang 4 Katrangan Warni-Warni 1 Katrangan Warni-Warni 2 Katrangan Warni-Warni 3 Katrangan Warni-Warni 4 Katrangan Warni-Warni 5 Katrangan Warni-Warni 6

  h) i) j) k) l) m) n) Dinten Ageng Among Tani 2

  Adapun naskah-naskah yang sempat berikut. didigitalisasi adalah sebagai

  g)

  Serat Babad Beksa Sekar Sukengtyas 1 Sekar Sukengtyas 2 Wedha Wening Agami Para Hyang 1 Wedha Wening Agami Para Hyang 2

  f) Sekar Pralambang Jaman Babad Sekar Parepat Papat 1 Babad Sekar Parepat Papat 2 Sekar Macapat Tengahan Babad Sekar Wedha Wening Dinten Ageng Among Tani 1

o)

p)

q)

r)

s)

t)

Babad Wayang Kuna Jilid 4

  e)

  d)

  c)

  b)

  a)

  Jawa atau Nusantara merupakan koleksi publik dan disimpan dalam lembaga-lembaga resmi, seperti Museum dan Perpustakaan, terdapat juga naskah yang masih merupakan milik atau koleksi pribadi masyarakat. Koleksi pribadi ini lazimnya merupakan warisan yang diteruskan secara turun-

  ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72

  temurun. Meskipun naskah-naskah yang diwariskan ini dihormati sebagai pusaka warisan nenek moyang, tetapi dewasa ini – oleh keterbatasan kemampuan para pewarisnya – naskah-naskah tersebut kini terancam perawatan dan pelestariannya. Belum lagi, semakin gencarnya ‘tawaran manis makelar naskah’ yang begitu aktif dan progresif berburu naskah sampai ke pelosok-pelosok daerah terpencil semakin membuat tantangan para pegiat dan pemerhati naskah Nusantara semakin besar. Artinya, efektivitas Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 dalam UU No. 11 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya perlu dipertanyakan kembali.

  Ketiga, berdasarkan hasil

  inventarisasi yang telah dilakukan, ditemukan lebih dari 100 naskah Nusantara yang tersimpan dalam koleksi-koleksi pribadi masyarakat di wilayah eks-karesidenan Surakarta yang belum terdaftar dalam data base katalog naskah. Kondisi naskah yang ditemukan tidak semuanya baik. Artinya, ada beberapa naskah yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan (kertasnya sudah benar-benar lapuk) sehingga cukup menyulitkan pada saat dilakukan proses digitalisasi. Ada pula kondisi naskah yang masih baik karena terawat dengan baik. Hal ini disebabkan oleh kesadaran dan kemampuan dari masing-masing pemilik naskah memang berbeda. Ada yang menganggap bahwa naskah adalah warisan yang sangat berharga sehingga harus diupayakan penyelamatan dan penggalian isinya. Ada juga yang menganggap bahwa naskah hanyalah sebagai buku biasa sehingga hanya diletakkan begitu saja di atas lemari sampai akhirnya kertas naskah tersebut menjadi lapuk. Ada pula yang menganggapnya sebagai pusaka warisan lelehur, yang tidak sembarang orang dapat mengaksesnya.

  2. Saran Perlu kesadaran, komitmen, kerjasama, dan koordinasi lintas sektoral agar dapat menyelamatkan naskah kuna sebagai intangible asset bangsa yang terancam punah. Selain itu, pemerintah tidak cukup hanya dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, melainkan juga perlu lebih pro aktif untuk dapat melibatkan semua stakeholder terkait agar penyelamatan naskah ini dapat berjalan dengan baik dan benar.

  

Daftar Pustaka

Arps, Bernard. 1991. Golden Letters. London: The British Library.

  Behrend, T.E. (Penyunting). 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid I Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Djambatan. Darsiti-Suratman. 1990. Istana sebagai Pusat Kebudayaan Lampau dan Kini. (Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada). Yogyakarta. Girardet, Nikolaus. 1981. Descriptive Catalogue of the Javanese Manuscripts and

  Printed Books in Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta. Weisbaden: Franz Steiner Verlog G.M.B.H.

  Ikram, Achadiati (ed.). 2004. Jati Diri yang Terlupakan: Naskah-naskah Palembang.

  Jakarta: Yayasan Naskhah Nusantara (YANASSA). Lindsay, Jennifer, dkk. 1994. Katalog Naskah-naskah Nusantara Jilid 2 Keraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mudjanattistomo. 1971. Katalogus Manuskrip Keraton Jogjakarta. Jogjakarta: Lembaga Bahasa Nasional Tjabang II. Nusantara, A. Ariobimo (Editor). 1999. Sri Sultan Hamengku Buawana X: Meneguhkan Tahta untuk Rakyat. Jakarta: Grasindo. Padmosoekotjo, S. 1958. Ngengrengan Kasusastraan Djawa I. Jogjakarta: Hiien Hoo Sing. Pigeaud, Th. P. Th. 1967 – 1970. Literature of Java Jilid I – III. The Hague: Martinus Nijhoff. Ricklef, M.C. 1974. Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749 – 1792. London: Oxford University Press. Ricklef, M.C. dan P. Voorhoeve. 1977. Indonesian Manuscripts in Great Britain. London: Oxford University Press. Riyadi, Slamet. 2002. Tradisi Kehidupan Sastera di Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Gama Media. Supadjar, Damardjati. 1993. Nawangsari. Yogyakarta: Media Widya Mandala. Suyamto. 1994. “Katalog Manuskrip Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta” dalam Berita Pustaka. Nomor 15. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

  ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72