PENGGUNAAN PEMBELAJARAN DAN KOOPERATIF DALAM

PENGGUNAAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF
DALAM MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK
Mira Olivia HR1, Tri Jalmo2 , Abdurrahman2
1

Mahasiswa Program Studi Magister Keguruan IPA FKIP Universitas Lampung
1
email. hroliviamira@gmail.com
2

Dosen Program Studi Magister Keguruan IPA FKIP Universitas Lampung
2
email. jalmotri@yahoo.com
2
email. abeunila@gmail.com

ABSTRAK
Studi meta analisis ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan pembelajaran kooperatif dalam
meningkatkan literasi sains. Metode ini mengintegrasikan 10 artikel yang terdiri atas 2 artikel
jurnal nasional dan 8 artikel jurnal internasional. Analisis data dengan menghitung rata-rata
effect size (ES) dan dikategorikan berdasarkan interpretasi dari kriteria Cohens’s. Hasil analisis

data menunjukkan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif berpengaruh signifikan terhadap
literasi sains dengan rata-rata ES sebesar 0.56 berkategori tinggi. Pada perbandingan
antarnegara, ES tertinggi adalah Turki (1.67), pada perbandingan antar jenjang pendidikan, ES
tertinggi pada jenjang Perguruan Tinggi (1.24) dan antar bidang studi ES tertinggi pada bidang
IPA (0.74). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran Kooperatif dapat
digunakan pada berbagai Negara, jenjang pendidikan dan bidang studi sains.
Kata Kunci: Pembelajaran Kooperatif, Literasi Sains
I. PENDAHULUAN
Pembelajaran sains bukanlah pembelajaran yang hanya menekankan pada produk yang berkualitas.
Pada hakikatnya, sains adalah proses penemuan. Menurut Siahaan (2010), adapun hasil dari proses
penemuan tersebut adalah proses, produk, dan sikap. Dalam proses pembelajaran sains, peserta
didik harus mampu membangun pengetahuannya agar lebih bermakna. Menurut BSNP (dalam
Ratnawati, dkk. 2010), tujuan pembelajaran sains adalah agar dapat menjadi wadah bagi peserta
didik untuk mempelajari dirinya sendiri dan alam sekitar dan dapat mengaplikasikannya di
kehidupan sehari – hari. Dalam pernyataan tersebut, tersirat bahwa pembelajaran sains memiliki
peranan dan kewajiban untuk dapat mencetak peserta didik yang berliterasi sains (Liliasari. 2011).
Literasi sains adalah pengetahuan ilmiah individu dan kapasitas menggunakan pengetahuan
tersebut untuk untuk mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan
fenomena ilmiah, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti tentang isu – isu yang berkaitan
dengan sains (OECD, 2014). Literasi sains juga berkaitan erat dengan kemampuan membaca,

menulis, seperti layaknya kemampuan berbahasa dengan efektif, kritis, dan lancar (Alwasilah,
dalam Rubini. 2016). Oleh sebab itu, menurut Toharudin (dalam Asyhari. 2015), literasi sains
perlu dikuasai peserta didik untuk dapat memahami lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi, dan
masalah masnyarakat modern lainnya.
Literasi sains peserta didik perlu ditingkatkan. Kenyataannya, literasi sains telah diakui sebagai
karakter yang penting sebagai warga negara (Turiman, dalam Khasanah. 2016) dan mendukung
hasil belajar dan aktivitas peserta didik di kelas (Haristy, 2013). Namun demikian, sebanyak 20%
negara peserta OECD berada dibawah level 2, sedangkan semua peserta didik harus mencapai
Level 2 pada saat mereka meninggalkan pendidikan wajib sekolah. Selain itu, sebagian besar
negara peserta OECD pun tidak memiliki hasil literasi sains yang jauh berbeda dari tahun 2006
(PISA, 2016). Menurut Rustaman (dalam Muhajir dan Rohaeti, 2015), penyebab rendahnya literasi

sains adalah literasi membaca yang rendah. Literasi membaca memberikan kontribusi pada literasi
sains. Hal itu disebabkan karena sebagian besar soal literasi sains disajikan dalam bentuk bacaan.
Sementara itu menurut Firman (2007), penyebab rendahnya literasi sains peserta didik adalah
pembelajaran yang kurang mengedepankan dimensi proses. Dimensi proses pembelajaran
melibatkan model pembelajaran yang digunakan oleh guru di dalam kelas. Menurut PISA (2016),
kegiatan efektif yang dirancang oleh guru dengan dikolaborasikan dengan eksperimen dan bantuan
kepada peserta didik untuk membuat peserta didik bekerja sama dan menciptakan ide-ide ilmiah
dan menyelesaikan masalah kehidupan nyata dapat membantu peserta didik mengembangkan

pemahaman konseptual ide ilmiah. Selanjutnya ide ilmiah akan dikembangkan menjadi literasi
sains.
Model dan strategi pembelajaran konvensional bukan tidak tepat digunakan di dalam kelas, tetapi
model dan strategi pembelajaran di dalam kelas seharusnya dapat mengakomondasi tujuan yang
akan dicapai oleh peserta didik. Jenis materi dan indikator kompetensi yang berbeda tentunya
memerlukan model pembelajaran yang berbeda pula. Pembelajaran kooperatif sering digunakan
sebagai wahana untuk mencapai tujuan dan agar diperoleh hasil belajar yang optimal. Penggunaan
pembelajaran kooperatif dan belajar aktif dapat meningkatkan prestasi belajar pada ketrampilan
kuantitatif (Yuretich dkk, 2001). Pada salah satu pembelajaran koperatif misalnya, pada
pembelajaran sains berbasis masalah, peserta didik memperoleh skor tes yang lebih tinggi daripada
peserta didik di dalam kelas konvensional (Schneider, dkk. 2002).
Banyaknya pilihan model dan strategi pembelajaran yang dapat digunakan oleh pendidik,
khususnya dalam rangka meningkatkan literasi sains membuat para peneliti gencar melakukan
studi terkait dengan hal ini, baik dalam maupun luar negeri. Hal tersebut semakin marak sejak
adanya Programe for International Studen Assesment (PISA) yang dilakukan oleh Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD) yang bertujuan untuk memonitor hasil dari
sistem pendidikan negara anggota dan bukan anggota OECD (Bybee. 2009).
Berdasarkan artikel jurnal yang relevan maka penulis tertarik untuk melakukan studi meta analisis
dengan tujuan untuk menganalisis lebih dalam mengenai penggunaan pembelajaran kooperatif
dalam meningkatkan literasi sains. Studi ini bertujuan pula untuk membandingkan penggunaan

pembelajaran kooperatif dalam meningkatkan literasi sains antar Negara, jenjang pendidikan dan
bidang studi.
II. METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode meta analisis yang mengkaji sejumlah
penelitian dalam masalah sejenis (Merriyana, 2006). Masalah yang dikaji dalam penelitian ini
yaitu penggunaan pembelajaran kooperatif dalam meningkatkan literasi sains peserta didik.
Sampel dalam penelitian ini adalah 10 hasil penelitian berupa artikel jurnal yang terdiri dari dua
artikel jurnal nasional dan delapan artikel jurnal internasional dengan tema yang sama.
Adapun langkah - langkah dalam melakukan meta analisis menurut Merriyana (2006) adalah
sebagai berikut : 1) Menetapkan masalah, 2) Menentukan periode penelitian , 3) Mencari laporan
penelitian, 4) Membaca judul dan abstrak, 5) Memfokuskan penelitian, 6) Mengkategorikan
penelitian, dan 7) Membandingkan hasil penelitian. Hasil penelitian yang dibandingkan dalam
meta analisis ini adalah perbandingan Effect size (ES). ES merupakan formula yang telah lama
digunakan dalam mengevaluasi dampak perlakuan atau treatment dalam berbagai studi review
sistematik, termasuk kajian meta analisis, formula umum yang digunakan adalah rumus Glass
Delta (Glass,1976) seperti pada rumus berikut ini:

UE=

x eksperimen−x kontrol

SDcontrol

Adapun interpretasi dari hasil Effect size yang diperoleh dari artikel jurnal yang di analisis terdapat
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kategori Effect Size
Cohen’s
Standard
Large/tinggi
Medium/seang
Small/rendah

Effect
Size
0,6-2,0
0,3-0,5
0,0-0,2

Percentile
Standing
73-97,7

62-49
50-58

Percent of
Non overlap

Sumber: Cohen (1988)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis data pada 10 artikel jurnal ditemukan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif
efektif meningkatkan literasi sains dengan Effect size sebesar 0,56 (tinggi) (Tabel 2).

Tabel 2. Karakteristik Data Penelitian dan Ukuran Efek (Effect Size)
No
1
2
3
4

Peneliti
(Tahun)


Negara

Anaele Nigeria
dan Ibe
(2014)
Bagiarta, IIndonesia
Nyoman
(2010)
Cerventi, USA
dkk.
(2012)
Fang,dkk USA
(2010)

Bidang
Studi/
Jenjang
SMP /
Biologi

SMP /
IPA
SD/IPA
SMP /
IPA

5

Gucluer Turkey
(2012)

SD/IPA

6

Khasanah,Indonesia
Nur
(2016)
Mc. Cright USA


SMA /
Biologi
PT/ IPA

Nbina, JB Nigeria
(2013)

SMA /
Kimia

Nwagbo,
Chinwe
(2006)

SMA /
Biologi

7
8
9


10

Nigeria

Wendt dan USA
SMP/IPA
Rockinson
(2013)
Rata-Rata Effect Size

Kajian
Pembelajaran
KooperatifLiterasi Sains
Pembelajaran
KooperatifLiterasi Sains
Pembelajaran
KooperatifLiterasi Sains
Pembelajaran
KooperatifLiterasi Sains

Pembelajaran
KooperatifLiterasi Sains
Pembelajaran
KooperatifLiterasi Sains
Pembelajaran
KooperatifLiterasi Sains
Pembelajaran
KooperatifLiterasi Sains
Pembelajaran
KooperatifLiterasi Sains
Pembelajaran
KooperatifLiterasi Sains

Kategori

EksperiMen

Kontrol

Konvensional
dengan STE

Konvensional

Group
Investigation

Guide Inquiry

Integrated
approach

Konvensional

ISR (Inquiry)

IR

N

ES

162

0,52

Tinggi

174

0,38

Sedang

0,59

Tinggi

140

0,26

Sedang

Pengembangan
70
aktifiktas
Konvensional
dengan literasi
sains
300
Guided
Konvensional
Discovery

1.67

Tinggi

0,46

Sedang

157

1,24

Tinggi

145

0,07

Rendah

147

0,09

Rendah

90

0,32

Sedang

Inquiry based
Konvensional
learning project
Guide
Discovery

Konvensional

Guide Learning Konvensional
Kolaborasi
online dengan
etmodo

Konvensional
0.56

Tinggi

Berdasarkan tabel 2 di atas rata-rata nilai ES artikel yang dianalisis memperoleh nilai sebesar 0,56 (tinggi),
artinya bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dalam meningkatkan literasi sains tergolong efektif.
Nilai ES tertinggi pada penelitian Gucluer (2012) dengan nilai 1,67 sedangkan terendah pada penelitian
Nbina (2013) dengan nilai 0,07. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kelas eksperimen dengan
pembelajaran kooperatif dibandingkan dengan kelas kontrol tanpa pembelajaran kooperatif. Menurut Slavin
(dalam Colak, 2015). Pembelaran kooperatif mampu meningkatkan hasil belajar peserta didik disebabkan
pembelajaran ini memungkinkan peserta didik untuk bekerja sama untuk mempelajari materi. Selain itu
ditambahkan pula oleh Sonnewald dan Li (dalam Colak, 2015) bahwa Pembelajaran kooperatif mampu
meningkatkan hasil belajar peserta didik.

Nilai ES tertinggi ditemukan pada penelitian Gucluer (2012) dengan nilai 1,67. Penelitian tersebut
menggunakan pengembangan aktifivitas dengan literasi sains. Keberhasilan pada penelitian tersebut
disebabkan kecocokan aktivitas yang dikembangkan dan dikolaborasikan dengan literasi sains. Aktivitas
yang dikembangkan tersebut sesuai dengan jenjang sample penelitian, yaitu tingkat SD. Menurut Bergen dan
Corscia (dalam Riojaz, dkk, 2008), anak SD memiliki keingintahuan yang tinggi terhadap dirinya sendiri dan
dunia sekitarnya. Kegiatan multisensory pada beragam aktivitas yang diberikan kepada peserta didik mampu
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengeksplorasi kemampuannya.

Sementara itu, ES terendah diperoleh pada penelitian Nwangbo (2013) dengan nilai 0,07 menggunakan
pembelajaran kooperatif guided discovery learning. Idealnya, guided learning menurut Bruner (dalam Balim.
2009) memungkinkan peserta didik berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran seperti penemuan,
melibatkan kegiatan refleksi, berfikir, bereksperimen, dan menjelajahi. Pembelajaran dengan guided learning
pada dasarnya merujuk pada teori konstruktivitis, penemuan Bruner, kognitif Piage, dan kooperatif Vygotsky
(Guiterez, dalam Khasanah. 2016) sehingga mampu meningkatkan hasil belajar peserta didik. Rendahnya
nilai ES pada penelitian ini kemungkinan adalah dalam pembelajaran, peserta didik kurang mampu dan
belum terbiasa membangun pengetahuan mereka sendiri. Hal ini selaras dengan pendapat Geary (dalam
Khasanah. 2016), pembelajaran dengan menggunakan guided learning dapat membangun pemahaman
peserta didik tanpa bimbingan dan dapat dilakukan oleh peserta didik karena telah terbiasa melakukannya
pada berbagai konteks dalam kehidupan sehari – hari.

Perbandingan nilai ES pembelajaran kooperatif pada keempat negara (Indonesia, USA, Nigeria, dan Turki)
diperoleh nilai ES tertinggi adalah negara Turki dengan nilai sebesar 1,67 (gambar 1).

ES
2

1.67

1.5
1
0.5
0

0.42
Indonesia

0.6
0.27
USA

Nigeria

Turki

Gambar 1.Perbandingan nilai ES berdasarkan Negara

Nilai ES pada keempat negara menunjukkan bahwa penelitian di Turki memperoleh nilai ES tertinggi
dibandingkan dengan negara lainnya (Gambar 1). Hasil ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya,
pada penelitian di Turki, kelas eksperimen menerapkan metode pengembangan aktivitas dengan literasi sains.
Pada penelitian tersebut, aktivitas peserta didik dikembangkan namun tetap berbasis literasi sains, sedangkan
pada penelitian di negara lainnya, kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran kooperatif biasa
tanpa berbasis literasi sains. Menurut Nurul (2015), Departemen Pendidikan di Turki menetapkan kurikulum
dasar, menyiapkan dan menyetujui buku pelajaran dan alat peraga dalam proses pembelajaran. Walaupun,
kenyataannya, Turki merupakan negara dengan urutan literasi sains yang rendah, namun Turki memiliki nilai
rata – rata sains yang cukup baik (Pisa, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Ceylan dan Abaci (2013)
menerangkan bahwa peserta didik di Turki lebih menekankan pada kegiatan berbasis teknologi dan informasi
dalam mengerjakan tugas, aktivitas sains di waktu luang, dan memberi perhatian penting pada pelajaran
sains. Selain itu, perubahan kurikulum yang dilakukan sejak tahun 2007 mampu mengubah sistem
pendidikan di Turki yakni teacher-centered menjadi student-centered.

Sementara itu, nilai ES di negara Nigeria terendah dibandingkan negara lainnya. Penyebab hal tersebut
terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Nwagbo (2006), bahwa guru – guru di Nigeria awalnya
tidak dilatih untuk mengajar dengan metode yang innovatif. Sehingga mereka menjadi ragu untuk
mengaplikasikannya. Pada akhirnya nilai akhir yang diperoleh peserta didik kurang memuaskan. Penyebab
lain akibat keraguan yang muncul pada diri guru adalah keraguan peserta didik dalam menjalankan aktivitas
sesuai metode yang guru ajarkan. Sementara itu, menurut Geary (dalam Khasanah. 2016), penggunaan
guided learning di kelas eksperimen membutuhkan pemahaman oleh peserta didik agar peserta didik terbiasa
dan hasilnya menjadi maksimal.

Nilai ES untuk jenjang pendidikan meliputi SD, SMP dan SMA diperoleh nilai tertinggi pada jenjang PT
dengan nilai sebesar 1,24 (Gambar 2).

ES
1.5

1.24

1.13

1
0.37

0.5
0

SD

SMP

0.21
SMA

Rata-rata Effect Size

PT

-

Gambar 2.Perbandingan nilai ES jenjang pendidikan

Perbandingan nilai ES pada jenjang pendidikan juga terdapat perbedaan. Hasilnya, diperoleh bahwa nilai ES
terendah tingkat SMA dan tertinggi yaitu pada tingkat PT (Gambar 2). Berdasarkan teori Piaget (1972 dalam
Badrul, 2010) pada usia SMP dan SMA, peserta didik harusnya sudah mulai memikirkan pengalaman di luar
pengalaman konkret, dan memikirkannya secara lebih abstrak, idealis, dan logis. Selain itu, menurut Piaget
bahwa pada usia SMA, peserta didik sudah pada tahapan formasi formal. Sedangkan menurut Wenning
(dalam Khasanah. 2016), perkembangan psikologi peserta didik merupakan syarat literasi sains dapat tercapai
selain kurikulum dan pembelajaran di kelas.

Rendahnya literasi sains pada tingkat SMA, kemungkinan disebabkan karena peserta didik belum mampu
berfikir secara abstrak dan logis. Hal ini didukung oleh pernyataan Herron (dalam Erman dan Mintarto,
2004) bahwa seseorang bisa saja tidak dapat mencapai tingkat berpikir formal sepanjang hidupnya jika tidak
pernah berlatih menggunakan kemampuan tersebut. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pemikiran Jarvis
(dalam Ibda. 2015) bahwa semua manusia melalui setiap tingkat, tetapi dengan kecepatan yang
berbeda. Menurutnya mungkin saja peserta didik diumur yang sama tetapi pada tingkat
yang berbeda, bahkan ada kemungkinan peserta didik yang berumur lebih muda memiliki
tingkat tahapan intelektual yang lebih tinggi. Selain itu, penyebab lainnya adalah peserta didik
tidak terbiasa dengan model pembelajaran yang digunakan. Pada ketiga penelitian di jenjang SMA tersebut
menggunakan model pembelajaran guided learning di kelas eksperimen. Menurut Geary (dalam Khasanah.
2016), penggunaan guided learning oleh guru wajib mengikutsertakan pemahaman peserta didik terhadap
langkah yang harus mereka kerjakan agar peserta didik terbiasa dan hasilnya menjadi maksimal.

Berbanding terbalik dengan jenjang SMA, peserta didik PT memperoleh nilai ES tertinggi. Berdasarkan
teori Piaget (1972), perkembangan pengetahuan seseorang erat kaitannya dengan perkembangan
biologis dan interaksinya
dengan lingkungan. Oleh sebab itu, pertumbuhan fisik seseorang akan
diikuti dengan pertumbuhan intelektualitasnya yang didukung oleh interaksi dengan lingkungannya.
Akibatnya, pengetahuan seseorang menjadi bertambah dan berkembang. (Erman dan Mintarto, 2004). Selain
itu, pada jenjang PT, peserta didik seharusnya sudah memiliki kemampuan asimiliasi, akomondasi, dan
ekuilibrium yang mungkin belum dicapai pada jenjang sebelumnya. Hasil dari ketiga aspek tersebut akan
memunculkan kematangan berfikir dewasa yang menjadi ciri khas pada jenjang PT (Syaodih dan Mubair,
2008).

ES
0.8
0.6
0.4
0.2
0

0.74
0.36
0.07
IPA

Biologi

Kimia

Rata-rata Effect Size
Gambar 3.Perbandingan nilai ES berdasarkan bidang studi
Perbandingan nilai ES berdasarkan bidang studi diperoleh bahwa bidang IPA memperoleh nilai yang lebih
tinggi dibandingkan dengan Kimia dan Biologi dengan rata-rata sebesar 0,74 (Gambar 3). Hal ini
dikarenakan pada bidang IPA mengkolaborasikan dengan teknologi pada penelitian Wendt dan Rockinson
(2013). Menurut pemikiran Koll dan Taylor (2009), syarat terpenuhinya literasi sains haruslah mampu untuk

mendeskripsikan hakikat sains, mengetahui hubungan sains dan mengkomunikasikannya, dan menggunakan
teknologi dalam sains. Selain itu, penggunaan model inquiry pada sebagian besar kelas eksperimen turut
mempengaruhi rata - rata ES yang tinggi. Model inquiry terbukti mampu meningkatkan hasil belajar peserta
didik, ketrampilan proses sains, dan sikap terhadap ilmu. Adapun ketiga aspek tersebut termasuk penilaian
literasi sains (Chen, LC. 2011). Gormally, Carra, dkk (2009), dalam penelitiannya bahkan mengungkapkan
bahwa metode mengajar menggunakan inquiry merupakan jalan terbaik untuk literasi sains. Menurutnya,
inquiry memungkinkan peserta didik untuk mendiskusikan dan menukar argumen seperti debat dalam proses
pembelajaran.

IV. SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan perhitungan ES dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat
meningkatkan literasi sains dengan nilai rata-rata ES 0,56 dan berkategori tinggi. Pada perbandingan antar
negara, nilai ES di negara Turki (1,67) lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia, USA, dan Turki.
Sementara itu, pada perbandingan nilai ES berdasarkan jenjang pendidikan, nilai ES pada jenjang PT (1,24)
memperoleh nilai lebih tinggi dibandingkan SD, SMP, dan SMA. Sedangkan pada perbandingan bidang
studi, IPA (0.74) memperoleh nilai ES lebih tinggi dibandingkan dengan Kimia dan Biologi.

DAFTAR PUSTAKA
Anaele, dkk. 2014. Gender and Scientific Literacy levels: Implication for sustainable science and technlogy
education (STE) for the 21 st Century Jobs. Journal of Education and Practice.
Asyhari, Ardian, dkk. 2015. Profil Peningkatan Kemampuan Literasi Sains Peserta didik Melalui
Pembelajaran Saintific. Jurnal Ilmiah Pendidikan Fisika Al-Biruni 179-191.
Badrul, Muhammad, dkk. 2010. Pemetaan Pekembangan Kognitif Piaget Peserta didik Sma Menggunakan
Tesn Opeasi Logis (Tol) Piaget Ditinjau Dari Perbedaan Jenis Kelamin. UNS. Surabaya.
Bagiarta, Nyoman I, dkk. 2015. Komparasi Literasi Sains Antara Peserta didik Yang Dbelajarkan Dengan
Model Pembelajaran Kooperatf Tipe GI (Group Investigation) Dan Mdel Pembelajaran Inquiry
Terbimbing Ditinjau Dari Motivasi Berprestasi Peserta didik SMP. Universitas Pendidikan
Ganesha. Singaraja.
Balim, AG. 2009. The Effects Of Discovery Learning On Students’s Succes Amd Inquiry Learning Skills.
Eurasian Journal of Educational Research, 1-20.
Bybee,dkk. 2009. PISA 2006. An Assesment of Scientific Literacy. Journal of Research International
Science Teaching Vol 46 No.8.
Cerventi, Gina N., dkk. 2012. The Impact of an Integrated Approach to Science and Literacy in
Elementary School Classrooms. Journal Of Research In Science Teaching Vol. 49, No. 5,
Pp. 631–658.
Ceylan, Eren. Abacı , Serdar. 2013. Differences between Turkey and Finland based on Eight Latent
Variables in PISA 2006. International Online Journal of Educational Sciences, 2013, 5 (1), 10-21
Chen, Lin Ching. 2011. The Effect Of Information Literacy In Science Curriculum On First Grade Students’
Memory And Comprehension Using The Super3 Model. An International Journal, Vol 3, No. 3.

Colak, Esma. 2015. The Effect Of Cooperative Learning On The Learning Approaches Of Students With
Different Learning Styles. Eurasian Journal of Education Research Issue 59 17-34.
Erman. & Mintarto, Edi. 2004. Memacu Kemampuan Berpikir Formal Siswa Melalui Pembelajaran Ipa
Sejak Dini.
Fang, Zhihui. 2010. Improving Middle School Students Science Litracy Through Reading Infusion. The
journal of educationaln research, 103: 262-273.
Firman, H. (2007). Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil PISA Nasional Tahun 2006. Jakarta. Pusat
Penilaian Balitbang Depdiknas.
Gormally, Carra., dkk. 2009. Effects of Inquiry-based Learning on Students’ Science Literacy Skills and Confidence.
International Journal for the Scholarship of Teaching and Learning Vol.3 No.2.
Gucluer, Efe. 2012. The Effect Of Using Activities Improving Scientific Literacy On Students’
Achievement In Science And Technology Lesson. International Online Journal Of Primary
Education - 2012, Volume 1, Issue 1.
Haristy, D.R. 2013. Pembelajaran Berbasis Literasi Sains Pada Materi Larutan Elektrolit Dan Non Elektrolit.
Resource Document: Http://Jurnal.Untan.Ac.Id/Index.Php/Jpdbb/Article/View/4002. Accessed 15
January, 2016.
Ibda, Fatimah. 2015. Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Intelektualita - Volume 3, Nomor 1, Januari-Juni 2015
Liliasari. 2011. Membangun Masyarakat Melek Sains Berkarakter Bangsa Melalui Pembelajaran. Jurnal
Pendidikan IPA Indonesia.
Khasanah, Nur. & Dwi Hastuti. 2016. Pengaruh Model Guided Discovery Learning Terhadap Literasi Sains
Peserta didik Ditinjau Dari Kecerdasan Naturalis. Proceeding biologi education conference. Vol. 13
(1).
Koll, K. Richard. & Neil Taylor. 2009. Beyond Science Literacy: Science and The Public. International
Journal of Enviromental and Scince Education. Vol.4. No.3.
Mc Cright, Aaron. 2012. Enhancing students’ scientific and quantitative literacies through an inquirybased learning project on climate change. Journal of the Scholarship of Teaching and
Learning, Vol. 12, No. 4.
Merriyana A, Rosa. 2006. Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru. Jurnal Pendidikan Penabur No. 06/
Th V/Juni.
Muhajir, Siti., & Rohaeti, Eli. 2015. Perbedaan Penerapan Model Pembelajaran STS dan CTL terhadap
Literasi Sains dan Prestasi Belajar IPA. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains Tahun III, No 2.
Desember 2015.
Nbina, J.B. 2013. The Relative Effectivenes of Guided Discovery and Demonstration Teaching Methods on
Achievment Chemistry Students of Different Levels of Scientific Litracy. Journal of resach in
educational and society Vol. 4, No.1.
Nurul, Ikhsan Saleh M., 2015. Perbandingan Sistem Pendidikan di Tiga Negara; Mesir, Iran dan
Turki. Jurnal Pendidikan Islam Volume IV, Nomor 1, Juni 2015/1436.
Nwagbo, Chinwe. 2006. Effects of Two Teaching Methods on The Acievment In And Attitude To Biology of
Students of Different Levels of Scientific Literacy. International journal of educational research
45.

OECD. 2013. PISA 2012 Asessment and Analytical Framework: Mathematic, Readig, Science, Problem
Solving, and Financial Literacy. OECD Publishing.
OECD. 2014. PISA 2012 Result: What Srudents Know and Can Do- Student Performance in Mathematic,
Reading, and Science (Volume 1). OECD Publishing.
PISA. 2016. PISA 2015 Results in Focus. OECD Publishing.
Ratnawati, dkk. 2010. Pemahaman Hakikat Sains Mahapeserta didik Tahun Ketiga Program Studi
Pendidikan Kimia. Universitas Malang. Malang.
Riojaz, dkk. 2008. Using cultural tools to develop scientific literacy of young Mexican
American
preschoolers. Early Child Development and Care, 178:5, 527-536.
Rubini, dkk. 2016. Identify Scientif Literacy from The Science Teacher Perspective. Journal Pendidikan
Unnes.
Schneider, R.M., & Krajcik, J.S., & Marx, R.W. 2002. Performance of students in project-based science
classrooms on a national measure of science achievement. Journal of Research in Science Teaching,
39, 410-422.
Siahaan, Parsaoran, dkk. 2010. Hakekat Sains dan Pembelajarannya. FPMIPA UPI. Bandung.
Wendt, Jillian L., & Rockinson-Szapkiw , Amanda. 2013. The Effect of Online Collaboration on
Middle School Student Science Misconceptions As An Aspect of Science Literacy. Journal
of Research In Science Teaching
Yuretich, R.F., Khan, S.A., & Leckie, R.M. (2001). Active-Learning Methods to Improve Student
Performance and Scientific Interest in A Large Introductory Oceanography Course. Journal of
Geoscience Education, 49.