INTEGRASI ETIKA SOSIAL POLITIK UNTUK SYA

INTEGRASI ETIKA SOSIAL POLITIK
UNTUK SYARIAT ISLAM DI ACEH
Noviandy
Abstrak: Tulisan ini mengkaji perlunya integrasi etika di dalam
dinamika perpolitikan Aceh yang kompleks. Di dalam proses
pengambilan kebijakan para pemangku kuasa (eksekutif) dan
legislator acap kali terjebak dalam politik pragmatis yang bersifat
transaksional. Etika menjadi bagian penting yang harus
diintegrasikan di dalam kancah politik karena erat kaitannya dengan
hak-hak dasar warga negara yang sudah terpatenkan dalam Hak
Azazi Manusia (HAM). Sebuah hukum ditegakan demi terciptanya
keadilan, dan keadilan tidak bisa lepas dari konteks HAM, karena
penegakan HAM itu sendiri merupakan prasyarat terciptanya
keadilan. Atas dasar ini, maka penelaahan akan pentingnya
pengintegrasian nilai-nilai etis dalam proses mempolitisasi kebijakan
menjadi penting, dan sekaligus bisa menjadi kritik konstruktif untuk
perbaikan di Aceh
Kata Kunci: Syariat Islam, Qanun Jinayah, Etika, dan HAM.

Pendahuluan
Proses penerapan Syari’at Islam di Aceh terus

bergulir seiring dengan dinamika perpolitikan di tingkat
lokal dan nasional yang format dan tujuan fnalnya
entah kemana. Di dalam proses pengaplikasian syari’at
tersebut berbagai kontroversi terus bergejolak searah
 Noviandy, M. Hum, saat ini tercatat sebagai Dosen tetap di Prodi Komunikasi
Penyiaran Islam (KPI), STAI Teungku Dirundeng Meulaboh. Menyelesaikan pendidikan
Pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2012. Aktif melakukan penelitian
sosial keagamaan, terutama berhubungan Syariat Islam dan HAM di Aceh. Diantara
publikasinya adalah Etika Politik dalam Perumusan Qanun Jinayah, 4th International
Conference on Aceh and Indian Ocean Studies, Lhokseumawe, 6-8 Juni 2013, by
International Center on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), Proceeding; Meneropong
LGBT dalam Teologi & Seksualitas ‘Menuju Pengakuan Terhadap Lesbian, Gay, Biseksual
& Transeksual (LGBT),’ dalam Noviandy (ed), Aceh Tafsir 2012 ‘Bunga Rampai Himpunan
Mahasiswa Pascasarjana Aceh-Yogyakarta (HIMPASAY)’, Yogyakarta: Larasita &
HIMPASAY, 2013; LGBT dalam Kontroversi Sejarah Seksualitas dan Relasi Kuasa, STIB
Blambangan: Jurnal Momentum, Vol II, No 1, Desember 2012; Pemetaan Syariat Islam di
Aceh: Problematika dan Solusi, (Penerima Hibah Penelitian Studi Keagamaan (PSKg))
Kemenag RI 2013, sedang proses penelitian). Dapat dihubungi melalui email:
[email protected] atau Hp. 081360721416.


2
dengan dinamika politik yang juga entah tujuannya
apa. Penetapan Qanun Jinayah dan Qanun Hukum
Acara Jinayah oleh Dewan Perwakilan Daerah Aceh
(DPRA) pada tahun 2009 adalah awal dari percikan api
yang menyambar emosi dan memompa adrenalin
kontroversi,
yang
beritanya
menyita
perhatian
masyarakat lokal, nasional dan bahkan internasional.
Isu utamanya terfokus pada penetapan sanksi rajam
bagi pelaku tindak pidana zina. Sekalipun menyadari
bahwa
sanksi
rajam
merupakan
bagian
dari

pengaplikasian Syari’at Islam, namun bagi sebagain
kalangan -utamanya di lingkungan eksekutif, aktifs dan
LSM- sanksi rajam patut dibenturkan dengan masalah
penjaminan hak-hak kodrati manusia yang dipatenkan
dalam format Hak Asasi Manusia (HAM). 1 Di samping itu
mereka menganggap bahwa hukuman rajam belum
waktunya diaplikasikan di Aceh yang masyarakatnya
masih terkendala oleh kesenjangan ekonomi dan sosial
serta keamanan publik pasca konfik.
Belum selesai masalah rajam, di tahun yang
sama, keputusan Bupati Aceh Barat yang mengeluarkan
aturan larangan menggunakan celana panjang bagi
perempuan menambah catatan kontroversi tentang
penerapan Syari’at Islam. Celana panjang dianggap
tidak mewakili pakaian dan kepribadian muslimah yang
seharusnya menutup aurat. Bupati menganggap bahwa
satu-satunya pakaian wanita yang bercitra rasa islami
adalah pakaian yang berbalut rok panjang.2 Berbeda
dengan kasus pertama yang umumnya ditentang oleh
organisasi sosial dan kelompok Islam liberal, keputusan

1 Noviandy, Etika Politik dalam Perumusan Qanun Jinayah di Aceh, 4th International
Conference on Aceh and Indian Ocean Studies, Lhokseumawe, 6-8 Juni 2013, by
International Center on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), Proceeding, 2013
2 Harian Serambi Indonesia, 27 Oktober 2009. Aturan ini berisi larang kepada
perempuan di Aceh Barat untuk mengenakan celana panjang. Pemerintah Aceh Barat akan
menggunting celana perempuan yang melanggar dan menggantikannya dengan rok.
Pemerintah telah menyediakan 7000 rok sebagai pengganti celana panjang. Meskipun aturan
ini efektif akan diberlakukan pada tahun 2010, pada tanggal 3November 2009 Aparat
Wilayatul Hisbah Aceh Barat telah melarang perempuan bercelana panjang memasuki areal
Rumah Sakit Umum Cut Nyak Dien, Meulaboh. Serambi Indonesia Edisi 4 November 2009

3
Bupati Aceh Barat ini juga ditentang oleh sejumla h
ulama
Aceh
sendiri,
termasuk
ketua
Majelis
3

Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.
Isu kontroversial tentang proses pengaplikasian
Syari’at Islam yang sama sekali tidak substansial terjadi
lagi di awal tahun 2013, yaitu himbauan Walikota Kota
Lhokseumawe mengenai larangan perempuan duduk
mengangkang di atas sepeda motor. 4 Menurut sang
Bupati,
duduk
menyamping
bagi
perempuan
merupakan muslimah style dalam berkendaraan.
Begitupula dengan larangan menari bagi remaja wanita
Aceh Utara. Lucu memang, Syari’at Islam yang
diidamkan
masyarakan
Aceh
sebagai
solusi
problematika sosial kini terkebiri oleh urusan seksual.

Belum lagi dengan kasus-kasus tindak kekerasan kaum
mayoritas kepada kaum minoritas yang tidak mungkin
disebutkan satu-persatu.
Patut diingat kembali bahwa Syari’at Islam merupakan pilihan
masyarakat Aceh untuk menata kehidupan yang lebih baik pasca
konflik dan tsunami. Syari'at Islam yang diformulasikan menjadi
Qanun kini sudah menjadi identitas politik-religius dan identitas
sosial-kultural masyarakat Aceh, suatu ciri khas daerah yang
membedakannya dari provinsi-provinsi lain di belahan nusantara.
Sebagai idiologi, Syari'at Islam mampu meredam dendam bangsa
Aceh dan menyatukannya ke dalam satu visi, yaitu, mengembalikan
kejayaan bangsa Aceh sebagai negeri Serambi Mekah dengan Islam
yang kaffah. Bagi penduduk Aceh, visi tersebut bukan lagi utopia atau
absurd, karena telah ditunjang oleh undang-undang otonomi daerah,
sekalipun dalam prakteknya bukan perkara mudah.
Pengejawantahan Syari’at Islam yang dituangkan ke dalam
bentuk Qanun, Peraturan Gubernur (pergub), Peraturan Bupati, dan
3 Komentar Muslim Ibrahim dilansir beberapa media masa, seperti Harian Aceh,
Serambi Indonesia, dan vivanews.com. Muslim Ibrahim menegaskan bahwa Islam tidak
melarang menggunakan celana, yang diatur adalah celana tidak ketat. Dalam kehidupan saat

ini
mustahil
melarang
perempuan
menggunakan
celana
panjang.
Lihat
http://m.serambinews.com/news/larangan-pakai-celana-ketat-tak-perlu-ditiru
4 Himbauan bupati tentang larangan perempuan duduk mengangkang ketika
berkendaraan pada awalnya dipicu oleh keinginan Bupati untuk membatasi ruang gerak
pemuda-pemudi yang berpacaran, khususnya ketika duduk berdampingan di atas jok bersama
non muhrim. Seruan ini mendapat dukungan dari ulama-ulama di kota Lhokseumawe.

4
peraturan Wali Kota (perbub/perwal), adalah bagian dari usaha
mewujudkan Syari'at Islam secara kaffah, walaupun setiap hasil
pembahasannya cendrung dilematis dan bersifat polemik, seperti
contoh yang telah disebutkan di atas. Dalam konteks pengambilan
kebijakan publik, Qanun, Pergub, Perbup/Perwal, seruan bupati adalah

bentuk dari positivisasi Syari'at Islam. Tegasnya, suatu proses
kodifikasi Syari'at Islam menjadi hukum positif. Di dalam proses
kodifikasi tersebut para legislator sering kali menemukan benturan,
terutama dengan political interest kaum elitis dan kaum mayoritas
yang pragmatis-konservatif. Fenomena ini dapat kita saksikan dalam
proses tarik ulur perumusan Rancangan Qanun Jinayat, pro-kontra
kebijakan para pimpinan di tingkat kabupaten/kota.
Walaupun Islam menjadi agama mayoritas dan sudah menjadi
identitas politik-religius dan identitas sosial-kultural masyarakat Aceh,
namun pengejawantahan Syari'at Islam dalam berbagai bentuk tidak
melulu berjalan indah. Dalam prakteknya, identitas mayoritas tersebut
seringkali dijadikan sebagai justifikasi etis perumusan untuk menekan,
dan bahkan menafikan identitas-identitas lain di luar mainstream.
Terlebih ketika para pemuka agama—gagap dan kurang sensitif atas
berbagai dinamika kehidupan sosial- bertindak sebagai garda politisreligius yang mengkerdilkan Syari'at Islam menjadi eksklusivisme
mazhab. Pada titik ini, semangat humanisme yang merupakan tujuan
dari Syariat itu sendiri sudah terkamuflasekan oleh vandalisme yang
memicu konflik hingga pada level wong cilik (grassroot).
Kemunculan dua kubu bersebrangan, radikalis (mereka yang
memahami Syari'at Islam secara literalis-konservatif) dan liberalis

(mereka yang memahami Syari'at Islam secara kontekstualis-liberal)
yang mengendalikan eksekutif dan legislatif, merupakan salah satu
indikator hilangnya nilai-nilai etis dalam setiap perumusan kebijakan.
Keduanya terjebak dalam politik transaksional, dan tidak jarang
dengan mengatasnamakan Tuhan dan Syari'at Islam, saling cakar
berebut benar. Mirisnya, masyarakat digiring untuk memposisikan diri
pada dua pilihan kubu tersebut. Dan bahkan, seperti diungkapkan
Hefner Smith, konflik sengit kedua kelompok tersebut lebih menonjol
dan menjadi wacana dominan dalam proses perumusan, mengalahkan
tema utama, yaitu problematika kehidupan umat.5
5 Hefner Smith, Islam dan Tantangan Dunia Modern. Diterjemahkan oleh Ahmad
Hambal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 210.

5
Kehadiran kaum moderat—digawangi sebagian masyarakat
Dayah yang melingkupi komunitas pesantren, akademisi, sebagian
birokrat, dan para penggiat LSM- yang menengahi kedua kubu di atas
mampu menyedot animo masyarakat karena menawarkan konsep
Islam yang lebih transformatif, anti-kekerasan dan terorisme, serta
corak pemikiran keagaman yang mengkombinasikan cara pandang

tekstualis dan kontektualis.6 Namun, dalam perjalanannya kaum ini
sering diidentikan dengan kaum liberalis karena dalam realitas praktis
mereka sering terjebak pada pergulatan pemikiran kontemporer yang
sangat teoritis, kurang mengedepankan prinsip-prinsip etika universal
(common good) yang sebenarnya dapat menjadi kendali sistem sosial
masyarakat Aceh.
Tidak bisa dinafikan bahwa dalam setiap proses, ketiga
kelompok di atas saling tarik ulur kepentingan, terlebih jika terjadi
konflik horisontal antar masyarakat dan adanya gonjang ganjing
politik di tingkat nasional. Idealnya, dan demi terciptanya keadilan,
masyarakat Aceh harus berperan aktif untuk menghindari dan
mempersempit ruang-ruang konflik politik dengan mengedepankan
prinsip-prinsip etik, dan mengedepankan problema utama yang sedang
dihadapinya, yaitu bagaimana perumusan kebijakan yang dilakukan
oleh legislatif maupun eksekutif dapat mensejahterakan rakyat sesuai
dengan visi suci Syari'at Islam, serta mengakomodir kepentingan
seluruh golongan. Alasan inilah yang menjadi titik tolak kenapa kita
perlu mengintegrasikan etika sosial dalam kancah perpolitikan di
Aceh yang erat kaitannya dengan proses tarik ulur perumusan qanun.
Formulasi Kebijakan Syariat Dalam Hukum Positif

Tauhid dan humanisme pada dasarnya adalah landasan
teologis-filosofis para Fuqaha dalam merumuskan Maqashid alSyariah yang terdiri dari: Hifd al-Din (memelihara agama), Hifd alNafs (memelihara jiwa), Hifd ‘Aql (memelihara akal), Hifd al-Nasl
(memelihara keturunan), Hifd al-Mal (memelihara harta) dan Hifd alBiah (memelihara ekologi). Setiap orang yang menyalahi atau
melanggar Maqashid al-Syariah dianggap sebagai tindakan kriminal
(jarimah) yang harus diberi sanksi (‘uqubat) sesuai dengan porsinya,

6 Ahmad Najib Burhani, Islam Moderat adalah Sebuah Paradoks. Jurnal Ma’arif,
Vol. 3, No.1, Februari 2008.

6
baik berupa hudūd, qishash ataupun ta’zir.7 hal ini karena Maqashid
al-Syariah berperan sebagai penjamin hak-hak dasar umat yang
menjadi titik tolak penegakan keadilan. Di samping itu, dalam konteks
Syari’at Islam, Maqashid al-Syariah juga berperan sebagai prinsip etis
yang mutlak dipatuhi oleh para legislator dalam menjabarkan Hukum
Pidana Islam. Pun dalam konteks Aceh, Maqashid al-Syariah yang
berperan sebagai penjamin hak-hak dasar umat dan prinsip dasar etis,
idealnya menjadi pijakan dasar para legislatif-eksekutif dalam
perumusan Qanun. Hal ini dikarenakan, sebagai hukum positif Islam,
Qanun merupakan tatanan hukum komunal untuk mengatur hak dan
kewajiban tiap individu di ranah sosial.
Ada pertanyaan yang terus menghantui kita di dalam proses
pengaplikasian Syari’at Islam, yaitu, kenapa dalam proses formulasi
Qanun di Aceh acap kali menimbulkan resistensi dan konflik, baik di
level grass root, akademisi, ataupun legislator-eksekutif? Jawabannya
sangat dilematis dan kompleks. Kendati demikian menurut hemat
penulis, fenomena ini setidaknya disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
Pertama, kurang responsifnya masyarakat dan otoritas agama
terhadap dinamika zaman yang menuntut reinterpretasi teks-teks
teologis. Kedua, para pemangku kuasa terjebak pada politik transaksional, alias menafikan politik etis.
Fakta menunjukan bahwa hingga saat ini sebagain besar masyarakat dan otoritas agama di Aceh kurang apresif terhadap isu-isu
kontemporer, khususnya masalah HAM, multikulturalisme, Gender,
LGBT, dan pluralisme agama. Padahal isu ini acap kali menjebak masyarakat dan otoritas agama di Aceh untuk memposisikan diri pada
dua pilihan yang sama sekali tidak produktif, yaitu fundamentalisme
atau liberalisme. Dengan fundamentalisme masyarakat terkungkung
oleh eklusivisme mazhabiyah dan sikap antipati terhadap dinamika realitas dan pemikiran-pemikiran baru di luar mainstream. Dan dengan
liberalisme umat sering kali keblabasan keluar dari Syari’at.
Di lain pihak dinamika perpolitikan Aceh berjalan kurang sehat. Permasalahan umat yang esensial—terlebih perumusan
Qanun/kebijakan pemerintah—selalu dikooptasi oleh kepentingan politik pragmatik yang bersifat transaksional dan temporal. Kita tidak
menafikan akan urgensi politik dalam pemerintahan, karena basis dan
7 ‘uqubah di sini harus dimaknai sebagai balasan yang ditetapkan demi kemaslahatan
masyarakat dan demi tegaknya Syari’at. Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam (Jakarta:
Sinar Garafika, 2005), hal. x

7
tujuan politik adalah kepentingan publik. Yang kita kritisi adalah penafian nilai-nilai etis dalam kancah politik praktis yang mengebiri proses perumusan kebijakan-kebijakan tersebut, dan mempertaruhkannya
untuk kepentingan golongan tertentu.
Penafian etika politik di komunitas politikus Aceh setidaknya
tampak jelas dalam dua hal berikut:
1. Disintegrasi (Privatisasi) Kebijakan Syariat
Masyarakat Aceh merupakan komunitas yang budayanya dibangun
di atas pondasi Syari’at Islam. Artefak yang menunjukan keintiman
Syari’at Islam dengan masyarakat Aceh termaktub dalam pepatah
leluhur bangsa Aceh, “Hukum ngon adat lage zat ngon sifeut”,8 dan
“Adat ban Adat, Hukom ban Hukom, Adat ngon Hukom sama
Kuembeu, Wate meupakat adat ngon hukom, nanggroe seunang hana
Goga”. 9 Atas dasar inilah kenapa masyarakat Aceh menyambut baik
tawaran pemerintah untuk menerapkan Syari’at Islam sebagai solusi
terbaik pasca konflik.
Syari’at Islam bisa dikatakan sebagai bentuk perlakuan
istimewa pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Aceh. Istimewa,
karena memang pemerintah daerah Aceh diberi keleluasaan oleh
Undang-Undang No. 44 tahun 1999 untuk mengatur wilayahnya—
tentunya dengan monitoring pemerintah pusat—secara otonom dalam
tiga bidang Agama, Pendidikan dan Peradatan sesuai dengan Syari’at
Islam. Bahkan pemerintah Aceh-pun mereson Undang-Undang
tersebut dengan menjabarkan Syari’at Islam ke dalam wujud Hukum
dan perundang-undangan yang di atur oleh Qanun.
Keistimewaan Aceh semakin jelas ketika tahun 2001
pemerintah pusat kembali mengesahkan Undang-Undang No. 18
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam otonomi
ini, Aceh diberikan kuasa untuk membentuk Peradilan Syari‘at Islam
yang dijalankan oleh Mahkamah Syar‘iyah. Undang-undang ini
kemudian direspon positif oleh pemerintah daerah Aceh dengan

8 Artinya: Hubungan syari‘at dengan adat ibarat hubungan suatu zat dengan sifatnya,
melekat tidak dapat dipisahkan.
9 Artinya: Hukum Adat menurut hukum adat, hukum syara’ menurut hukum syara’,
Hukum adat dengan hukum syara’ sama kembar, tatkala mufakat adat dan hukum syara‘ itu
terjadi, negeri tenang tanpa huru hara

8
membentuk Makamah Syari’ah yang kewenangannya di atur dalam
Qanun Provinsi NAD No. 10 tahun 2002.10
Pada bulan Maret 2003 Mahkamah Syar‘iyah Aceh diresmikan
oleh Menteri Kehakiman, dan ketuanya dilantik oleh Mahkamah
Agung. Adapun pada tingkat Nasional, diperkuat oleh Undang-undang
No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dalam pasal 15
disebutkan bahwa peradilan Syari‘at Islam di Aceh adalah Peradilan
Khusus dalam lingkungan Peradilan Agama dan Pengadilan Khusus
dalam lingkungan Peradilan Umum.
Adapun mengenai pembahasan Rancangan Qanun Jinayah di
DPR Aceh dimulai sejak dikeluarkannya Surat Keputusan oleh DPR
Aceh tentang pembetukan Tim Pansus XII pada bulan september 2008
yang dimotori oleh Barom Moh. Rasyid, dan kemudian dikukuhkan
oleh Surat Keputusan (SK) tentang Penetapan Tenaga Ahli Pansus XII
DPR Aceh,11 dan dimonitoring oleh Pemerintah Aceh yang diwakili
timnya.12 Dari pembahasan Pansus XII dihasilkan Rancangan Qanun
Jinayah yang pada tanggal 14 September 2009 disahkan oleh DPR
Aceh. Sayangnya, Rancangan tersebut hanya berkisar masalah huku10 Kewenangan Makamah Syari’ah dalam bidang jinayah berkenaan dengan (1)
Hudūd, meliputi Zina, menuduh zina (qadaf), mencuri, merampok, minuman keras dan napza,
murtad, dan pemberontakan atau Bughah (2) Qishas/Diyat, meliputi pembunuhan dan
penganiayaan (3) Ta‘zir, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melanggar
syari’at selain Hudūd dan Qishas seperti; maisir (perjudian), penipuan, pemalsuan, khalwat,
meninggalkan shalat fardhu dan puasa ramadhan (4) Zakat. Semuanya kewenangan ini
termaktub dalam Qanun Provinsi NAD No 11 tahun 2002, Qanun Provinsi NAD No 12 tahun
2002, Qanun Provinsi NAD No 13 dan 14 tahun 2003, dan Qanun Provinsi NAD No 7 tahun
2004.
11 Berdasarkan SK Sekretaris DPR Aceh Nomor: 161/5.258/2008 tertanggal 27
Oktober 2008, Tenaga Ahli Pansus XII yang terdiri dari: H. Effendi Gayo, S.H, M.H.
(Pengadilan Tinggi), Drs. Jufroi Ghalib, S.H., M.H (Mahkamah Syar‘iyah), Drs. H. Armia
Ibrahim, S.H. (Mahkamah Syar‘iyah), Budiono (Polda), Prof. Dr. Rusydi Ali Muhammad,
S.H. (IAIN Ar-Raniry), Prof. Dr. Al Yasa‘ Abubakar, M.A. (IAIN Ar-Raniry), Mawardi
Ismail, S.H., M.Hum, Darwis, S.H (Advokat) dan Muhammad Rum, Lc., M.A (Tim Ahli
DPR Aceh).
12 Tim yang ditunjuk mewakili pemerintah Aceh berdasarkan Surat Gubernur
Nomor: 188/41970 tertanggal 6 november 2008 dalah sebagai berikut: Asisten Pemerintahan
Sekda Prov NAD, kepala biro pemerintahan setda prov NAD (Koordinator), kepala Biro
Keistimewaan dan Kesra prov. NAD (Ketua TIM), kepala Biro Hukum dan Humas Sekda
Provinsi NAD (Wakil Ketua TIM), kepala BPM Prov. NAD (Anggota), Drs. Ziauddin (kepala
Dinas Syari’at Islam), Prof. Dr. Muslim Ibrahim (Ketua MPU), Drs. Mukhtar Yusuf, S.H.
(Hakim Tinggi MAkamah Syar‘iyah), Drs. H. Rizwan Ibrahim (hakim Tinggi), Prof. Dr. Al
Yasa‘ Abu Bakar (Dosen IAIN), Khairani Arifin, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum), Ria
Fitri, S.H., M.H. (Dosen Fak. Hukum Unsyiah), Syamsiar, S.H. (narasumber), Prof. Dr. Tgk.
Daniel Djuned (Dosen IAIN), dan M. Din, S.H., M.H.

9
man lima tindak pidana yang sangat privatif, yaitu: Khalwat (Mesum),
Maisir (Perjudian), Khamar (Minuman Keras) serta Aqidah dan
Ibadah. Tidak menohok ke jantung masalah yang dihadapi oleh
masyarakat Aceh, yaitu kesejahteraan ekonomi dan keamanan sosial.
Peraturan Bupati Aceh Barat di tahun 2010 yang melarang
kaum wanita mengenakan celana panjang menjadi bagian yang
mewarnai problematika penerapan Syari’at Islam, tegasnya syari’at Islam yang terkebiri oleh urusan hasrat seksual yang dikemas seolah
bagian dari isu esensial. Bagi Bupati dan kelompoknya, celana
panjang dianggap tidak islami karena memperjelas lekuk tubuh wanita
yang dapat memompa hasrat. Bupati menganggap satu-satunya
pakaian wanita yang merepresentasikan Islamic fashion adalah
pakaian yang dibalut dengan rok panjang. Saking optimisnya dengan
masalah itu, pemerintah Aceh Barat menyediakan 7000 rok dan memandatkan Wilayatul Hisbah untuk melakukan sweeping para wanita
yang mengenakan celana panjang. Meskipun aturan ini diberlakukan
pada tahun 2010, namun sebagai pilot project pada tanggal 3 November 2009 Wilayatul Hisbah telah melarang perempuan bercelana panjang memasuki areal Rumah Sakit Umum Cut Nyak Dien, Meulaboh.13
Di awal tahun 2013, himbauan Walikota Kota Lhokseumawe
mengenai larangan perempuan duduk mengangkang ketika
mengendarai sepeda motor menjadi catatan sejarah menggelikan di
dalam proses penerapan Syaria’at Islam yang entah kemana arahnya.14
Menurut sang Bupati, duduk menyamping bagi perempuan merupakan
muslimah style dalam berkendaraan. Pun dengan seruan Bupati Aceh
Utara yang melarangan remaja perempuan menari karena dianggap
sensual dan dapat menabur aroma kebinalan.15
Tentu saja rancangan dan berbagai kebijakan-kebijakan para
pemangku kuasa di atas menuai banyak kritik, selain karena penuh
13 Serambi Indonesia Edisi 4 November 2009
14 Himbauan bupati tentang larangan perempuan duduk mengangkang ketika
berkendaraan pada awalnya dipicu oleh keinginan Bupati untuk membatasi ruang gerak
pemuda-pemudi yang berpacaran, khususnya ketika duduk berdampingan di atas jok bersama
non muhrim. Seruan ini mendapat dukungan dari ulama-ulama di kota Lhokseumawe.
15 Larangan bupati Aceh Utara mendapat dukungan Majelis Ulama Nanggroe Aceh
(MUNA), MUNA merupakan majelis ulama bentukan dari efek perseteruan politik antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan RI, dan masih eksis sampai saat ini.
http://theglobejournal.com/sosial/muna-aceh-utara-islam-melarang-wanita-dewasa-menari/
index.php

10
dengan aroma eklusivisme fundamentalis, mengebiri Syria’t Islam
dalam urusan seksualitas, isi berbagai kebijakan malah menjadi beban
baru masyarakat Aceh yang sudah lama terhimpit oleh beban
ekonomi, kesenjangan sosial dan ketidakadilan hukum. Sebagaimana
diungkapkan direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Evi Narti Zain, qanun
atau kebijakan yang kerap dihasilkan sangat tidak logis dan hanya
mengurus masalah privasi, tidak melangkah ke dimensi sosialekonomi yang sudah carut marut. Evi menegaskan, seharusnya
kebijakan menyangkut permasalahan kesejahteraan rakyat,
pembukaan lapangan kerja, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan,
pemberantasan korupsi, atau permasalahan sosial-ekonomi yang real
lainnya. Karena persoalan hukum yang privasi akan mudah ditegakan
jika stabilitas sosial-ekonomi telah terpenuhi.
Suatu yang niscaya jika ada sebagian masyarakat Aceh yang
galau dengan pengebirian ke ranah privasi,16 terlebih mereka yang dari
awal tidak setuju dengan penerapan Syari’at Islam di Aceh. 17 Karena
pengebirian kebijakan-kebiajakn ke ranah privasi, seperti pada lima
tindak pidana dalam Qanun Jinayah, etika duduk berkendaraan,
pengenaan rok panjang, tarian remaja dan lain sebagainya, bisa jadi
merupakan keberhasilan intrik politik pemerintah nasional dalam
membius masyarakat rakyat Aceh yang ektase dengan romantisisme
penegakan Syari’at Islam di era kejayaan Sultan Iskandar Muda. Atau,
bisa jadi pula fenomena ini sebagai fakta nyata kecacatan para politisi
lokal yang menggunakan kebijakan-kebijakannya sebagai legitimasi
religius atas kekuasaannya, dan proyek akal-akalan demi memenuhi
self interest. Karena faktanya, sekian jumlah APBD hanya dihabiskan
untuk menyelesaikan perkara-perkara yang tidak korelatif dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Apalagi Aceh yang berdasarkan
Syari’at Islam kini telah dinobatkan sebagai provinsi terkorup ke-2
setelah DKI Jakarta.
16 Meskipun galau umumnya masyarakat Aceh takut untuk mengungkapkannya. Hal
ini setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu: Pertama, takut memperbincangkan hal-hal yang
bersentuhan dengan agama dengan alasan wilayah teologis yang tidak sepantasnya
diperdebatkan. Kedua, tidak mau berkonflik dengan banyak pihak dan memilih mengikuti apa
yang menjadi keputusan politik.
17 Sebagian masyarakat Aceh menolak penerapan Syari’at Islam di Aceh. Penolakan
ini didasarkan pada asumsi bahwa Syari’at Islam adalah manuver politik pemerintah pusat
agar Aceh tidak lepas dari NKRI. Bagi mereka, yang dibutuhkan masyarakat Aceh bukan
Syari’at Islam, tapi kesejahteraan dan keadilan. Sehat Ihsan Sadiqin, Islam dalam Masyarakat
Kosmopolit: Relevankah Syariat Islam Aceh untuk Masyarakat Modern?, Annual Conference
on Islamic Studies (ACIS) ke 10, (Banjarmasin, 1-4 November 2010).

11
Lebih mengerikan lagi, baik Qanun Jinayah maupun
ngangkang style, rok style, dancing style ataupun yang lainnya penuh
dengan aroma eklusivisme fundamentalis yang seringkali menjadi
tameng untuk menggilas entitas keagamaan di luar pemahamannya.
Sehingga tidak jarang kita menyaksikan konflik sosial di level grass
root. Sebut saja kafir-mengkafirkan karena perbedaan cara ibadah,
atau menghukumi dan memarginalkan kaum minoritas yang distigmakan negatif. Anehnya, tidak sedikit dari otoritas agama yang menganggap fenomena ini sebagai perkara yang lumrah, bahkan dianggap
sebagai bagian dari jihad li i’lai kalimatillah.
Sepenuhnya kita meyakini akan pentingnya Syari’at Islam ditegakan di Aceh, begitu pula dengan urgensi dari kebijakan-kebijakan
tersebut. Namun, kebijakan terhadap Syariat Islam harus terarah
kepada jaminan hak-hak dasar umat yang lebih luas, utamanya untuk
peningkatan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat Aceh, kesejahteraan sosial, serta penegakan HAM, karena semua itu menjadi hak umat
dan prasyarat terciptanya keadilan dan bandatun tayyibun. Bukan
hanya bergelut di wilayah hukuman tindak yang privatif. Tidak elok
jika kebijakan pemerintah yang menguras kas negara hanya diarahkan
untuk mengurus masalah rok, cara duduk wanita di jok, atau
menghukum wanita binal dan pria nakal dengan cambuk. Akan menjadi indah jika Syari’at Islam diorientasikan terlebih dahulu untuk pemerataan dan kestabilan ekonomi, pertahanan dan keamanan sosial,
peningkatan pendidikan serta pemberantasan tindak korupsi.
2. Kebijakan Syariat Islam: Tapal Batas Logika Politik Elitis
Ada apa di balik Syariat Islam sehingga para eksekutif, legislatif dan masyarakat sipil kerap terlibat adu garang untuk menang?
Bagi penulis, munculnya pertanyaan ini sangat wajar karena dalam
proses legislasi Rancangan Qanun Jinayah di Aceh, masalah rajam
menjadi isu yang sangat vital dan menyita perhatian bukan hanya
warga lokal, tetapi juga nasional dan internasional. Kontroversi hukuman rajam pertama kali mencuat setelah ada penolakan dari fraksi
Demokrat yang disampaikan dalam sidang ke IV DPR Aceh tahun
2009. Sidang yang membahas draft akhir Rancangan Qanun Jinayah.18
18 Menurut M. Arqom Pamulutan, dari Daftar Infentaris Masalah (DIM) pendapat
akhir fraksi di DPR Aceh, fraksi-fraksi yang menyetujui hukuman rajam adalah: Fraksi Partai
Golkar, Fraksi PPP, Fraksi PAN, Fraksi PKS, Fraksi PBB, Fraksi PBR, Fraksi Partai Umat
Islam, dan Fraksi Perjuangan Umat. Hanya Fraksi Partai Demokrat menolak hukuman rajam,

12
Penolakan hukuman rajam oleh fraksi Demokrat di ranah
legislatif diikuti oleh para pemangku kuasa di ranah eksekutif. Dalam
hal ini, Gubernur selaku kepala pemerintahan daerah Aceh tidak
sependapat dengan dimasukannya poin rajam ke dalam Qanun
Jinayah. Karena sejak awal pembahasan hukuman rajam bagi pelaku
zina yang berstatus muḩṣan tidak diusulkan dan tidak dimasukkan
dalam materi Rancangan Qanun. Mengenai hal ini Edrian
mengungkapkan:
…bahwa pada awal penyusunannya, dalam draf awal yang
disampaikan ke DPR Aceh, tidak ada persoalan rajam,
yang ada hanya cambuk. Hal ini dilakukan dalam rangka
pembinaan, bukan berarti pemerintah Aceh ingin
menyimpangi dari al-Quran dan Hadis. Tetapi ini
dilakukan secara step by step, jangan langsung begitu.
Lalu kalaulah persoalan zina dan persoalan ini sudah
merajalela, maka baru di tingkatkan menjadi rajam.19
Penolakan tersebut berimplikasi kepada penolakan Gubernur
untuk menandatangani Qanun yang sudah disahkan oleh DPR Aceh.
Dalam suratnya yang dilayangkan kepada DRP Aceh, Gubernur hanya
menyatakan “Belum Dapat Memberikan Persetujuan”.20 Bahkan surat
ini ditembuskan kepada ketua Makamah Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan HAM. Dan pastinya surat ini memicu
berbagai reaksi. Suasana bertambah pelik ketika Gubernur Aceh melaporkan sikap para anggota DPR Aceh kepada Menteri Dalam Negeri
c/q Direktur Otonomi Daerah dengan tuduhan penyalahgunaan we-

fraksi ini mengusulkan agar uqubat zina diubah menjadi 10 kali cambuk dan denda 100 gram
emas murni atau penjara maksimal 10 bulan. Usulan lainnya adalah agar setiap uqubat bagi
semua jarimah dikurangi hingga menjadi 10% dari uqubat yang dirumuskan dalam
Rancangan QJ. M. Arqom Pamulutan, Menakar Uqubat Rajam, hal. 125-126. Lihat pula
Pemandangan Umum Anggota DPR Aceh terhadap Rancangan QJ dan Hukum Acara Jinayah
tanggal 10 Desember 2009, dan Pendapat Akhir Fraksi DPR Aceh terhadap Rancangan Qanun
Hukum jinayah dan Hukum Acara Jinayah tanggal 14 september 2009.
19 Wawancara, Edrian, S.H., M.Hum. (Kepala Bagian Perundang-Undangan Pada
Bagian Hukum Secretariat Daerah Aceh), 7 juli 2010, dalam Noviandy, Penegakan HAM di
Negeri Syariat, 4th International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies,
Lhokseumawe, 6-8 Juni 2013, by International Center on Aceh and Indian Ocean Studies
(ICAIOS), Proceeding, 2013
20 Surat Nomor: 188.342/58391 tertanggal 25 September 2009 perihal “Belum
Dapat Memberikan Persetujuan”.

13
wenang karena memasukan persoalan rajam dalam draf Rancangan
Qanun secara sepihak.21
Walaupun anggota Pansus XII dari DPR Aceh punya alasan
lain kenapa masalah rajam dimasukan dalam draf Rancangan Qanun. 22
Secara hukum Rancangan Qanun memang sudah sah dan wajib
diundang-undangkan dalam peraturan Daerah, walaupun mengundang
banyak polemik.23 Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan yang telah
diputuskan oleh para eksekutif. Baik itu larangan mengangkang bagi
perempuan di kota lhokseumawe, larangan menari bagi remaja putri di
21 Surat Nomor: 188/62308 tertanggal 14 oktober 2009 perihal “Penyampaian
Rancangan Qanun Aceh”. Surat ini ditembuskan kepada ketua DPRA, ketua Komisi A dan
Ketua Komisi C DPR Aceh. Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, menegaskan bahwa
penolakan eksekutif terhadap penerapan hukum rajam di Aceh adalah pilihan final ’penolakan
eksekutif bukan berarti menolak hukum Tuhan, akan tetapi yang kita lakukan adalah
mengurangi hududnya, bukan menghilangkan subtansi hukumnya, dan ini dilakukan untuk
menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Aceh yang belum stabil. Pemerintah Aceh
menginginkan penerapan hukuman pada Qanun Hukum Acara Jinayat lebih terarah kepada
denda atau secara adat, bukan fisik’ The Global Jurnal, Pro Kontra Pengesahan Qanun
Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, Rabu, 11 November 2009. http.tgj.com
22 Diantaranya adalah:
1. Karena pemerintah Aceh telah mengusulkan delik zina dan sanksi sebagai
materi rancangan qanun, maka sanksi yang diberikan tidak cukup hanya
dengan cambuk 100 kali. Karena ketentuan seperti itu dalam hukum Islam
berlaku bagi yang belum menikah, maka bagi yang sudah menikah ada
hukuman lain, yaitu rajam.
2. Jika hukuman rajam tidak dimasukkan, berarti kita menyembunyikan hukum
Allah.
3. Pada masa lalu Sultan Iskandar Muda juga pernah melaksanakan eksekusi
rajam terhadap anaknya, Meurah Pupok, karena berzina
4. Aceh sudah diberikan peluang untuk menerapkan Syari’at Islam, dan ini
momentum penting untuk memasukan hukuman rajam ke dalam materi
Rancangan QJ. Momentum yang bagi anggota DPR Aceh tidak akan terulang
di masa yang akan datang. Selain itu, penetepan hukum ini dianggap sebagai
bentuk tanggung jawab anggota DPR Aceh kepada agama dan tugasnya di
DPR Aceh
Wawancara, Muhammad Rum (Tim Ahli DPR Aceh dan Anggota Tim Pansus
XII), Bahrom Rasyid, (Ketua Pansus XII), dan Bustanul Arifin (Sekretaris
Pansus), dalam Noviandy, Etika Politik dalam Perumusan Qanun Jinayah, 4th
International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies, Lhokseumawe, 6-8
Juni 2013, by International Center on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS),
Proceeding, 2013
23 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan
pasal 38 (2), dan juga dalam Qanun No. 3 tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun
pasal 37 (2), yang menyatakan bahwa dalam hal Rancangan Qanun sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur/ Bupati/ Wali Kota dalam waktu paling
lama 30 hari sejak Rancangan Qanun disetujui bersama, maka rancangan Qanun tersebut sah
menjadi Qanun dan wajib diundangkan.

14
Aceh Utara, maupun larangan memakai celana bagi perempuan di
Aceh Barat. Kebijakan yang diputuskan cendrung sepihak, tanpa
proses komunikasi publik yang baik dan bijak. Efeknya, hampir setiap
kebijakan yang diputuskan memunculkan kontroversi akut dan
seringkali dilecehkan oleh masyarakat.24
Dalam hemat penulis, tidak adanya titik temu antara eksekutif
dan legislatif dan masyarakat sipil dalam permasalahan Syariat Islam
merupakan tapal batas dan bentuk pemiskinan etika politik di Aceh.
Dalam kancah perpolitikan lokal, para pemangku kepentingan dan
politisi tersebut terjebak ke dalam logika menang-kalah (binary
opposition logic), Logika yang menuntut adu belati untuk meraih
simpati. Logika yang menyulut api dendam dan konflik sosial karena
selalu menuntut kemenangan dan memastikan siapa yang kalah, bukan
kemaslahatan. Karena itu menjadi lumrah jika masyarakat Aceh
digiring untuk memasuki medan pertarungan yang sama sekali absurd.
Idealnya, dalam proses legislasi atau penentuan kebijakan
publik para politisi di Aceh harus bersandar pada logika komunikatif
partisifatif etis. Logika yang mengedepankan proses komunikasi dan
partisipasi publik dengan tetap mengacu kepada nilai-nilai etis.
Tatanan nilai-nilai yang membangun budaya Aceh. Semua yang
menyangkut dengan kepentingan publik -yang kemudian dituangkan
menjadi kebijakan atau peraturan pemerintah- semestinya
dikomunikasikan, disosialisasikan, dan kemudian dirumuskan dengan
melibatkan partisipasi masyarakat serta diuji kelayakan dan
prioritasnya agar tidak keluar dari nilai-nilai etik masyarakat Aceh.
Tampaknya, logika inilah yang sulit ditemukan di benak para
pemangku kuasa. Sebagian para pemangku kuasa di Aceh lebih
disibukan dengan pencarian citra agar daerahnya terkesan paling, atau
setidaknya lebih islami, di tengah derita rakyat yang kian menjadi.
Karena itu tidak aneh jika isu yang dihembuskan seputar rok mini.
Legislasi Etis Menuju Integrasi Etika Politik
Menurut Frans Magniz-Suseno kebijakan atau legislasi hukum
yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat setidaknya harus memenuhi
tiga prinsip umum, prinsip legalitas, prinsip legitimasi demokratis dan
prinsip legitimasi moral. Dengan prinsip legalitas para legislator
24 Hal ini membuktika kebijakan yang tidak menjawab kebutuhan publik, kerap
tidak menjadi perhatian. http://aceh.tribunnews.com/2013/04/05/larangan-ngangkang-takjalan

15
dihadapkan dengan pertanyaan apakah proses legislasi hukum telah
sesuai dengan hukum yang berlaku. Melalui prinsip legitimasi
demokratis para legislator dituntut untuk membuktikan apakah proses
legislasi hukum dilakukan secara transparan, dialogis-kritis serta
diputuskan secara demokratis. Dan dengan prinsip legalitas moral para
legislator dibrondong oleh pertanyaan apakah legislasi hukum tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral.25
Dalam sistem pemerintahan, ketiga prinsip di atas merupakan
basis etis yang bertindak sebagai legitimasi etis rakyat yang
membatasi hak para penguasa, sekaligus menjadi kepanjangan tangan
rakyat untuk menolak setiap legislasi hukum yang bertentangan
dengan hak-hak dasar rakyat. Tidak hanya itu, ketiga prinsip ini juga
menjadi acuan rakyat untuk memonitor apakah proses legislasi hukum
dilakukan secara dialogis, dialektis, kritis dan demokratis.
Dalam konteks Aceh, ketiga prinsip yang telah disebutkan di
atas bisa dijadikan acuan dalam menilai kebijakan-kebijakan yang
dilakukan oleh para eksekutor maupun legislator. Pertama, Apakah isi
kebijakan-kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang
berlaku, baik ditingkat lokal dan nasional (Prinsip Legalitas).
Tegasnya, apakah isi kebijakan yang diterapkan di Aceh tidak akan
menimbulkan polemik hukum ketika hukum yang berlaku di tingkat
lokal dibenturkan dengan hukum yang berlaku di tingkat nasional. Hal
ini sangat rentan, karena jika terjadi polemik hukum, maka yang
terlihat kebijakan yang lahir hanya mampu menghukum masyarakat
kelas bawah yang terbelit ekonomi, dan akan menjadi mainan kaum
elitis yang bengal. Mereka yang berduit akan mudah bebas dari
hukuman hanya dengan membayar advokat untuk mengajukan kasasi
di tingkat nasional.
Kedua, Apakah kebijakan yang diambil atau disahkan secara
dialogis-demokratis (Legitimasi Demokrastis). Seluruh elemen
masyarakat harus berperan aktif dan memastikan apakah kebijakan
yang diputuskan hasil konvensi yang dialogis, kritis dan demokratis,
atau didominasi oleh kepentingan otoritas agama tertentu yang
memaksakan
eklusivisme
keberagamaannya
dengan
cara
menunggangi para legislator.

25 Frans Magniz-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 67-69

16
Ketiga, Apakah kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip etis atau prinsip-prinsip moral (Legitimasi Moral).
Sebagai warga negara kita punya tanggung jawab moral untuk
memastikan apakah kebijakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip moral
yang tujuannya untuk menegakan HAM, atau hanya menjadi sampan
yang membawa visi dan misi sempit kelompok tertentu.
Dengan ketiga prinsip di atas, kita bukan diarahkan untuk
menjadi Shu’udhanolog alias berpikiran ngawur, tetapi agar kita lebih
kritis dalam menyikapi fenomena yang ada. Karena ketiga prinsip di
atas tujuannya hanya satu, yaitu untuk mengarahkan agar kualitas
kebijakan terhadap Syariat yang dihasilkan benar-benar untuk
kesejakteraan dan keadilan rakyat, bukan untuk menambah beban
rakyat.
Apakah proses pengambilan kebijakan para pemimpin di Aceh
searah dengan ketiga prinsip di atas? Harapannya seperti itu, namun
realitas berkata lain. Perseteruan tanpa ujung terus terjadi, baik itu
antara legislatif dan eksekutif, maupun kelompok sipil dengan
pemangku kepentingan—yang kerap ditunggangi oleh kepentingan
golongan dan otoritas agama tertentu, terkhusus masalah Syariat Islam
—dalam proses pengambilan kebijakannya menjadi indikator penafian
ketiga prinsip di atas.
JMSPS[26] (Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah) menilai
bahwa Qanun Jinayah atau kebijakan Syariat Islam lainnya terlalu
menitikberatkan pada semangat untuk menghukum secara kejam,
bukan untuk menciptakan kesejahteraan dan menegakan keadilan.
Dengan tegas JMSPS mengungkapkan bahwa kebijakan-kebijakan
terhadap Syariat Islam saat ini bukan jawaban solutif bagi kebutuhan
masyarakat Aceh. Bahkan sebaliknya, berpotensi menciptakan konflik
horizontal yang mengganggu proses perdamaian yang sedang
berlangsung. Mereka menuntut pemerintah untuk sesuai dengan nilainilai universal Islam dan Hak Asasi Manusia, memastikan
harmonisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan, serta
melibatkan partisipasi berbagai elemen masyarakat.
Kebuntuan komunikasi antara legislatif dan eksekutif, antara
pemimpin dengan kelompok masyarakat sipil dalam proses
26 Anggota JMSPS terdiri dari Koalisi NGO HAM, Kontras Aceh, RPuK, LBH
APIK Aceh, KPI, Flower Aceh, Tikar Pandan, ACSTF, AJMI, KKP, SelA, GWG, SP Aceh,
Radio Suara Perempuan, Violet Grey, Sikma, Pusham Unsyiah, dan Yayasan Sri Ratu
Safiatuddin.

17
pengambilan kebijakan adalah wujud dari apa yang diidentifikasi oleh
Haryatmoko sebagai upaya “Pemisikinan Poltik” di ruang publik.[27]
Modus operandi pemiskinan politik ini berjalan melalui tiga modus,
yaitu: Pertama, Penafian dialektika ideologi, diskusi nilai-nilai, dan
perdebatan tentang skala prioritas. Dengan waktu yang relatif singkat,
sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan telah
dilahirkan digodog melalui dialektika idiologis, yang nilai-nilainya
telah ditempa dalam diskusi-diskusi kritis. Apalagi jika kita berbicara
skala prioritas, materi kebijakan yang telah dilahirkan jauh dari
substansi yang diinginkan rakyat Aceh yang gandrung akan
kesejahteraan sosial-ekonomi dan penegakan keadilan.
Efek signifikan dari penafian dialektika ideologi, diskusi nilainilai, dan perdebatan tentang skala prioritas dalam dalam perumusan
kebijakan memunculkan modus yang Kedua, yaitu pereduksian ruang
publik menjadi ruang pasar yang berorientasi untung rugi. Dalam
konteks ini, proses pengambilan kebijakan yang merupakan ruang
dialektika publik sudah berubah fungsi menjadi pasar modal, tempat
transaksi para politikus yang berjubel kepentingan. Atas dasar ini
tidak salah jika banyak yang menganggap bahwa kebijakan Syariat
Islam di Aceh merupakan produk transaksional para politikus yang
dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu.
Yang lebih parah, dengan pereduksian ruang publik menjadi
pasar, maka lahirlah modus yang Ketiga, yaitu pemiskinan etika
politik. Dalam prosesnya common good semestinya menjadi dasar
etika politik. Etika politik harus menjadi panglima yang
mengendalikan para politikus. Karena dengan menjadikan etika
sebagai panglima setiap politikus akan terdorong untuk terus mencari
makna dan nilai-nilai untuk kemudian dirumuskan dalam setiap
kebijakan, bukan menjadikan moral sebagai basis modal politis, yang
pada akhirnya mengaburkan makna dan nilai-nilai.
Terlepas dari berbagai polemik, bagaimanapun juga
masyarakat Aceh harus menyadari bahwa upaya pemiskinan politik
hanya bisa dicegah dengan partisipasi dan peran aktif masyarakat
untuk menguji kelayakan dan skala prioritas setiap kebijakan yang
terintegrasi yang diputuskan oleh para pemangku kuasa.

27 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2003), hal. 22

18
II. KESIMPULAN
Syari’at Islam bagi masyarakat Aceh adalah pilihan final, dan
kebijakan terhadap Syariat Islam adalah kebutuhan urgen untuk
menjalankan roda pemerintahan. Maka dari itu, Idealnya, dalam
proses legislasi atau penentuan kebijakan publik para politisi harus
bersandar pada logika komunikatif partisifatif etis. Logika yang
mengedepankan proses komunikasi dan partisipasi publik dengan
tetap mengacu kepada nilai-nilai etis masyarakat yang dibangun dari
syari’at dan adat. Karena setiap kebijakan senantiasa terkait dengan
hajat hidup masyarakat, maka dalam proses perumusannya wajib
dikomunikasikan, disosialisasikan, dan kemudian dirumuskan dengan
melibatkan partisipasi masyarakat serta diuji kelayakan dan
prioritasnya agar tidak keluar dari nilai-nilai etik dan harapan
masyarakat Aceh.
Logika komunikatif partisifatif etis adalah mindset etika politik
yang semestinya terintegrasi di dalam kancah perpolitikan masyarakat
Aceh. Karena dengannya proses legislasi dan penentuan kebijakan
akan terhindar dari upaya “Pemisikinan Politik” yang dilakukan oleh
para politikus prakmatik di ruang publik. Proses pemiskinan yang
modus operandinya berjalan melalui tiga tahapan, yaitu: Pertama,
Penafian dialektika ideologi, diskusi nilai-nilai, dan perdebatan
tentang skala prioritas. Kedua, Pereduksian ruang publik menjadi
pasar. Ketiga, Pemiskinan etika politik. Di atas semua itu,
hanya rakyat Aceh-lah yang mampu memperjuangkan
dan menjadikan Aceh sebagai baldatun tayyibah.
Daftar Pustaka
Abubakar, Al-Yasa, Syari'at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan (Banda Aceh:
Dinas syari'at Islam, 2008).
Alfian, Teuku Sofyan Ibrahim, Demokrasi dalam Perspektif Budaya
Aceh dalam Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Ed.
Muhammad Najib (Yogyakarta: LKPSM, 1996).
Amal, Taufik Adnan & Samsu Rizal Panggabean, Syariat Islam di
Aceh dalam Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal (Jakarta:
Aksara Nusantara Sembrani, 2003).

19
An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Al-Qur`an, Syari’ah, dan HAM: Kini
dan di Masa Depan. Jurnal Islamika, No. 2, Oktober-Desember
1993.
_______________, Islam dan Negera Sekuler: Menegosiasikan Masa
Depan dengan Syariah (Bandung: Mizan, 2007)
Arfiansyah, The Politicization of Shari’ah: Behind the
Implementation of Shari’ah in Aceh-Indonesia (Tesis Institute of
Islamic Studies, McGill University, 2009)
Burhani, Ahmad Najib, Islam Moderat adalah Sebuah Paradoks.
Jurnal Ma’arif, Vol. 3, No.1, Feb 2008.
Devayan, Ampuh, Murizal Hamzah, Polemik Penerapan Syariat
Islam di Aceh (Banda Aceh: Yayasan Insan Cita Madani &
Patnership)
El Ibrahimy, M. Nur, Tengku Muhammad Daud Bereueh: Peranannya
Dalam Pergolakan di Aceh (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1986).
Facruddin, Fuad, Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2006).
Fatwa, A. M., Demokrasi Teistik: Upaya Merangkai Integrasi Politik
dan Agama di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2001).
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara, 2003).
Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta:
LP3ES, cet II. 1999).
Husda, Husaini, Sejarah Pemberlakuan Syari'at Islam di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dalam Syariat Islam di Nanggroe
Aceh Darussalam. Ed. M. Zain Banda (Aceh: Dinas Syariat Islam
Provinsi Aceh Darussalam, 2007)
Ichwan, Moch. Nur, The Politics of Shari'atization; Central
Governmental
and
Regional
Discourses
of
Shari'a
Implementation in Aceh dalam
Islamic Law in Modern
Indonesia: Ideas and Institution. Ed. Michael Feener and Mark
Cammack (Harvard: Harvard University Press, 2007).
Kawilarang, Harry, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki
(Banda Aceh: Bandar Publishing, 2008).
Kelsay, John & Summer B Twiss, Agama dan Hak Asasi Manusia.
Diterjemahkan oleh Ahmad Suedy dan Elga Sarapung
(Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2007).

20
Madjid, Nurcholish, Kebebasan Nurani (Freedom Of Conscience) dan
Kemanusiaan Universal Sebagai Pangkal Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Keadilan dalam Demokratisasi Politik, Budaya dan
Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru. Ed. Elza
Peldi Taher (Jakarta: Paramadina, 1994).
Mughni, Syafiq A. (Peny), Pendidikan Kewarganegaraan:
Demokrasi, HAM, Civil Society, dan Multiculturalisme (Malang:
Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat (PuSAPoM), 2007).
Muhammad, Rusjdi Ali, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh:
Problema, solusi dan implementasi menuju pelaksanaan Hukum
Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu & IAIN Ar-Raniry, 2003).
Muzaffar, Chandra, Hak Asasi Manusia Dalam Tatanan Dunia Baru:
Menggugat Dominasi Global Barat (Bandung: Mizan, 1995).
Pamulutan, M. Arqom, Menakar ‘Uqubat Rajam/Hukuman Mati di
Aceh: Subtansi, Operasionalisasi dan Dampaknya Terhadap
HAM (Tesis: Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, 2010)
Vallely, Paul, ed., Cita Masyarakat Abad 21 (Yogyakarta: Kanisius,
2007)
Sadikin, Sehat Ihsan, Islam dalam Masyarakat Kosmopolit:
Relevankah Syariat Islam Aceh untuk Masyarakat Modern?,
Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke 10,
Banjarmasin, 1-4 November 2010
Suseno, Frans Magniz, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2003).
Syamsuddin, Nazaruddin, Masyarakat Aceh dan Demokrasi dalam
Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Ed. Muhammad
Najib (Yogyakarta: LKPSM, 1996).
Tim Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Kajian Akademik: Pola
Penyelesaian Pelanggaran Syariat Islam (Banda Aceh:
Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam, 2008)
Perundang-undangan
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang
“Peningkatan Langkah-langkah Komprehenshif Dalam Rangka
Penyelesaian Masalah Aceh”.

21
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2001 tentang
“Langkah-langkah Komprehenshif Dalam Rangka Penyelesaian
Masalah Aceh”.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2001 tentang
Langkah-langkah Komprehenshif Dalam Rangka Penyelesaian
Masalah Aceh
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2003 tentang
“Pernyataan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan
Darurat Militer Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.
Konvensi Hak Anak PBB (Children on The Right) dan Undangundang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
“Perlindungan Anak”
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002
tentang “Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan
Syi’ar Islam”.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 44 Tahun 1999 tentang
“Penyelenggaraan
Keistimewaan
Provinsi
Daerah
Istimewa Aceh”.
Undang-undang Republik Indonesia No 11 tahun 2006 tentang
“Pemerintahan Aceh”
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang
“Kewarganegaraan Republik Indonesia”
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2001 tentang
“Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang
“Hak Asasi Manusia”
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang
“Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau
merendahkan Martabat Manusia (Convention Againt Torture and
Other Cruel, in Human or Degrading Treatment or Punishment)”
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang
“Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on Ilimination of all
Form of Discrimination Against Women)”
Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 22 Tahun 1999 tentang
“Pemerintah Daerah”

22
Situs/web
Harian Aceh.com, Pengadilan Jalanan,12 maret 2